tinjauan pustaka peternakan sapi perah2003) menyatakan pemilihan bibit sapi perah merupakan hal...

16
TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 36/KPTS/TN.120/5/1990, peternakan rakyat merupakan usaha yang dilakukan oleh rakyat disamping usaha taninya sehingga sifat usahanya masih tradisional. Peternakan sapi perah di Indonesia telah dilakukan sejak abad ke-19 yaitu dengan mengimpor sapi dari luar negeri. Pengimporan sapi Frisian Holstein (FH) dari Belanda dilakukan pada awal abad ke-20. Bangsa sapi FH mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi serta mampu bertahan di daerah tropis. Sejak itu peternakan sapi perah mulai berkembang di Indonesia terutama di daerah Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Sudono, 1999). Usaha peternakan sapi perah mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya usaha yang tetap karena fluktuasi harga sedikit, produksi dan konsumsi tidak begitu berfluktuasi, sapi perah termasuk hewan yang efisien dalam mengubah pakan menjadi susu, jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap dan tidak musiman, kotorannya dapat dimanfaatkan untuk pupuk, pedet jantan dijual untuk sapi potong dan pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu (Sudono et al., 2003). Menurut Sudono (1999) faktor yang terpenting untuk mendapatkan sukses dalam usaha peternakan sapi perah adalah peternak harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan menentukan lokasi peternakan yang baik, besarnya peternakan, sapi-sapi yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk tanaman hijauan makanan ternak, dan pemasaran yang baik. Usaha peternakan sapi perah rakyat dilakukan secara individual dan membentuk kelompok untuk proses pemasarannya. Fungsi kelompok dalam usaha sapi perah adalah untuk membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak guna meningkatkan kemandirian usaha tani ternak perah dan dalam rangka meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan peternak. Kriteria pengelompokan sapi perah rakyat adalah berdasarkan kepemilikan sapinya. Skala usaha kecil yaitu kepemilikan sapi < 4 ekor, skala usaha sedang 4-7 ekor, dan skala usaha besar > 7 ekor (Priyanti et al., 2009).

Upload: hoangkhanh

Post on 02-Mar-2019

250 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Peternakan Sapi Perah

Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.

36/KPTS/TN.120/5/1990, peternakan rakyat merupakan usaha yang dilakukan oleh

rakyat disamping usaha taninya sehingga sifat usahanya masih tradisional.

Peternakan sapi perah di Indonesia telah dilakukan sejak abad ke-19 yaitu dengan

mengimpor sapi dari luar negeri. Pengimporan sapi Frisian Holstein (FH) dari

Belanda dilakukan pada awal abad ke-20. Bangsa sapi FH mempunyai kemampuan

produksi susu yang tinggi serta mampu bertahan di daerah tropis. Sejak itu

peternakan sapi perah mulai berkembang di Indonesia terutama di daerah Sumatera

Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Sudono, 1999).

Usaha peternakan sapi perah mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya

usaha yang tetap karena fluktuasi harga sedikit, produksi dan konsumsi tidak begitu

berfluktuasi, sapi perah termasuk hewan yang efisien dalam mengubah pakan

menjadi susu, jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap dan tidak

musiman, kotorannya dapat dimanfaatkan untuk pupuk, pedet jantan dijual untuk

sapi potong dan pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu

(Sudono et al., 2003). Menurut Sudono (1999) faktor yang terpenting untuk

mendapatkan sukses dalam usaha peternakan sapi perah adalah peternak harus dapat

menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan menentukan lokasi

peternakan yang baik, besarnya peternakan, sapi-sapi yang berproduksi tinggi,

pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk tanaman hijauan makanan

ternak, dan pemasaran yang baik.

Usaha peternakan sapi perah rakyat dilakukan secara individual dan

membentuk kelompok untuk proses pemasarannya. Fungsi kelompok dalam usaha

sapi perah adalah untuk membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

peternak guna meningkatkan kemandirian usaha tani ternak perah dan dalam rangka

meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan peternak. Kriteria

pengelompokan sapi perah rakyat adalah berdasarkan kepemilikan sapinya. Skala

usaha kecil yaitu kepemilikan sapi < 4 ekor, skala usaha sedang 4-7 ekor, dan skala

usaha besar > 7 ekor (Priyanti et al., 2009).

4

Manajemen Pemeliharaan

Manajemen pemeliharaan sapi perah yang sedang masa produksi meliputi

semua aspek dalam hal cara-cara pemeliharaan, tata laksana pemberian pakan,

pengaturan perkawinan, perkandangan, dan pengendalian penyakit (Sudono, 1983).

Direktorat Jendral Peternakan (1983) menerangkan bahwa manajemen pemeliharaan

teknis sapi perah meliputi: pembibitan ternak dan reproduksi, makanan ternak,

pengelolaan, kandang dan peralatan, dan kesehatan hewan.

Pembibitan dan Reproduksi

Sudono et al. (2003) menyatakan pemilihan bibit sapi perah merupakan hal

penting dari keberhasilan usaha ternak sapi perah. Bibit yang baik bisa dilihat dari

genetik dan keturunan, bentuk ambing, bentuk luar, dan umur bibit. Usaha sapi

perah sangat bergantung dengan keberhasilan dalam manajemen reproduksi.

Pengetahuan mendasar tentang reproduksi adalah pubertas, siklus birahi, fertilitas,

kebuntingan, dan kelahiran (Partodiharjo, 1982). Ginting dan Sitepu (1989)

menambahkan cara perkawinan, kegagalan reproduksi, dan cara penanggulangannya.

Pemilihan Bibit

Bibit yang baik adalah bibit yang dapat menghasilkan keturunan yang baik.

Bibit yang baik berasal dari keturunan dan genetik yang baik (berasal dari induk

yang produktivitasnya tinggi dan pejantan unggul), bentuk ambing (bentuk ambing

yang besar, pertautan otot kuat dan memanjang sedikit ke depan, puting tidak lebih

dari empat), bentuk luar (proporsional, tidak kurus dan tidak terlalu gemuk, kaki

berdiri tegak, jarak kaki kiri dan kanan cukup lebar, dan bulu mengkilat), umur bibit

(umur sapi perah yang ideal adalah 1,5 tahun, bobot 300 kg, pejantan 350 kg)

(Sudono et al., 2003).

Pubertas

Pubertas atau dewasa kelamin adalah periode alat-alat reproduksi sudah

berfungsi didalam tubuh. Proses dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh

terjadi. Keterangan ini menjadikan catatan agar proses kawin tidak dilakukan pada

saat pubertas pertama, karena rawan dengan terjadinya keguguran atau keturunan

yang tidak baik. Faktor yang mempengaruhi pubertas adalah keturunan, iklim,

sosial, dan makanan. Sapi FH yang dipelihara di Indonesia mencapai pubertas pada

5

umur 12 bulan dengan variasi 12-15 bulan. Jika sapi FH diberikan ransum yang

memiliki kadar protein tinggi maka pubertas akan semakin cepat daripada yang

diberi ransum dengan kualitas protein rendah (Partodiharjo, 1982). Sapi dara yang

akan dikawinkan hendaknya berumur 18 bulan dengan bobot hidup sekitar 200-225

kg (Williamson dan Payne, 1993).

Siklus Berahi

Siklus berahi pada sapi betina yang masih dara berbeda dengan sapi betina

yang sudah beranak. Siklus berahi pada sapi dara berkisar 18-22 hari, sapi betina

yang sudah beranak antara 18-24 hari. Birahi pada sapi terjadi selama 18-19 jam

untuk sapi betina yang sudah beranak dan 15 jam untuk sapi dara. Ciri-ciri estrus

pada sapi bisa dilihat dari tanda-tanda estrus. Tanda-tanda estrus adalah:

a. Keluar lendir jernih terang dari serviks yang mengalir ke vagina.

b. Gelisah, ingin keluar dari kandang

c. Melenguh-lenguh

d. Menunggangi sapi lain

e. Pangkal ekor terangkat sedikit

f. Vagina berwarna merah

g. Diam, tidak nafsu makan, dan tidak mau minum.

Sapi dara menunjukkan tanda-tanda estrus bisa mencapai satu hari satu

malam tanpa mau ditunggangi oleh pejantan. Hal ini menjadi catatan agar tidak

terburu-buru untuk kawin agar tidak gagal (Partodiharjo, 1982). Sapi perah yang

sudah beranak akan birahi setelah 30-60 hari. Perkawinan setelah 60 hari akan

menyebabkan sapi perah sulit untuk beranak kembali (Williamson dan Payne, 1993).

Inseminasi Buatan (IB)

Inseminasi Buatan (IB) adalah cara perkawinan secara buatan atau dengan

bantuan inseminator. IB dilakukan dengan tujuan memperkecil biaya yang

dikeluarkan dalam pemeliharaan sapi perah. Pelaksanaan IB yang baik dilakukan

dengan memperhatikan estrus pada sapi. Pelaksanaan IB yang dianjurkan adalah,

jika birahi terlihat pada pagi hari ini, maka IB dilakukan pada hari ini juga dan jika

sapi terlihat pada malam hari, maka IB dilakukan besok hari sebelum jam 12 siang

(Partodiharjo, 1982).

6

Keuntungan yang dirasakan oleh peternak dalam melaksanakan IB adalah,

peternak dapat menekan biaya pemeliharaan sapi dan keberhasilan kebuntingan lebih

tinggi dibandingkan dengan kawin alam. Hasil kebuntingan bisa didapatkan setelah

30-60 hari setelah konsepsi dan keberhasilan 70% - 75%. Hasil tersebut merupakan

ramalan sementara bahwa sapi telah mengalami kebuntingan, peternak tidak harus

melakukan IB jika sapi tidak terjadi birahi lagi. Keberhasilan untuk IB yang

dilaksanakan pada konsepsi pertama sekitar 55% dengan skala 34% - 75%.

Diagnosis kebuntingan lebih akurat dilakukan dengan non return rate (NRR), palpasi

rektal dan conseption rate (CR) (Leaver, 1983).

Pakan Sapi Perah

Sapi perah merupakan hewan ruminansia yang memiliki dua sistem

metabolisme yaitu: mikroba rumen dan organ tubuh. Pemberian pakan untuk sapi

perah harus bisa menyeimbangkan kebutuhan untuk kedua sistem tersebut agar

mendapatkan produksi yang optimal (William et al., 1996). Pakan sapi perah adalah

rumput dan konsentrat sebagai penguat. Sapi perah dapat mengonsumsi berbagai

jenis hijauan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian, seperti jerami, jagung, serta

sisa pabrik misalnya ampas tahu atau bungkil kelapa. Pemberian pakan lokal untuk

sapi perah diperlukan suplementasi guna mengoreksi ketidakseimbangan nutrien

untuk produksi susu. Konsentrat dapat berupa limbah hasil ikutan industri pertanian

seperti dedak padi dan pollard (Sudono et al., 2003).

Pemberian pakan sapi perah sangat memengaruhi kualitas dan kuantitas susu

yang dihasilkan. Peranan hijauan pakan menjadi lebih penting karena berpengaruh

terhadap kadar lemak susu (Aryogi et al., 1994). Peranan pakan konsentrat adalah

untuk meningkatkan nilai nutrisi yang rendah meningkatkan dan mempertahankan

produksi susu (Sukria dan Krisnan, 2009). Menururt Sudono (1999) ransum untuk

sapi perah yang baik terdiri dari 60% hijauan dan 40% konsentrat dihitung

berdasarkan total bahan kering.

Satu dari beberapa faktor yang memengaruhi produksi susu adalah cara

pemeberian pakan. Cara pemberian pakan yang tidak sesuai dapat menimbulkan

penurunan produksi, gangguan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian.

Pencegahan terjadinya kerugian tersebut dilakukan dengan memperhatikan secara

cermat terhadap pemberian pakan sapi perah (Sudono, 1999). Pemberian pakan

7

seharusnya mengacu pada kebutuhan gizi yang seimbang dan ditinjau aspek

ekonomis menguntungkan (Sukria dan Krisnan, 2009).

Pakan Anak Sapi

Anak sapi mempunyai saluran pencernaan yang berbeda dengan sapi dewasa.

Anak sapi yang baru lahir diberikan kolostrum untuk waktu 3 hari dari puting

induknya. Kolostrum sangat penting untuk anak sapi, karena kolostrum mengandung

sejumlah vitamin dan mineral yang jauh lebih besar dari susu biasa. Kolostrum juga

dikenal sebagai antibodi pertama yang membantu melindungi dari penyakit. Setelah

beberapa hari anak sapi diberikan minum dengan ember. Metode awal pembiasaan

minum dengan ember adalah meletakan jari dalam mulutnya sehingga susu tumpah

kedalam mulutnya (Williamson dan Payne, 1993).

Anak sapi tidak dapat memakan hijauan sampai umur tiga sampai empat

bulan. Jika dipaksakan diberikan, maka pertumbuhannya akan lambat. Sebaiknya

anak sapi diberikan susu dengan ember sampai siap memakan hijauan dan kosentrat.

Anak sapi yang berumur dua minggu harus dibiasakan untuk mencoba konsentrat

dan hijauan yang memiliki kualitas baik. Hijauan yang diberikan harus dipotong

terlebih dahulu agar mudah dimakan. Pemberian air susu yang diberikan yaitu 10-12

persen dari bobot badannya/hari. Minggu ke-1 anak sapi diberikan susu 2,8 kg/hari,

minggu ke-4 ditingkatkan menjadi 3,7 kg/hari (Williamson dan Payne, 1993).

Konsentrat yang diberikan kepada anak sapi lebih baik disesuaikan dengan

sumberdaya lokal agar lebih hemat. Sapi yang berumur dua bulan akan memakan

konsentrat sebesar 0,45 kg per hari, umur 3 bulan 0,75 kg, dan diatas 3 bulan akan

segera makan 1,4-1,8 kg per hari. Anak sapi juga memulai makan hijauan.

Konsentrat yang diberikan harus disuplementasi oleh mineral dan vitamin jika

dipelihara dalam kandang. Anak sapi juga harus mendapatkan cukup air agar

konsentrat larut didalam tubuh (Williamson dan Payne, 1993).

Pakan Sapi Dara

Pemberian pakan untuk sapi dara bertujuan untuk pertumbuhan dan

perkembangan kelamin. Sapi dara yang dipelihara dengan sistem kandang harus

diperhatikan kebutuhan air, mineral mikro, vitamin, hijauan, dan konsentrat. Pakan

8

sapi dara disesuaikan dengan bobot badan sapi. Standar kebutuhan makanan sapi

dara ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar Makanan untuk Sapi Dara per Hari

Bobot Hidup (kg) Bahan Kering (Kg) TDN (kg) PK (kg) Ca (g) F (g)

150 3,6-4,4 2,30-2,80 0,43-0,53 12 11

200 4,8-5,6 2,90-3,40 0,47-0,57 13 12

250 5,8-6,6 3,30-3,80 0,57-0,69 14 13

300 6,8-7,6 3,85-4,35 0,59-0,75 15 14

Sumber : (Williamson dan Payne, 1993).

Sapi dara yang sudah dikawinkan mempunyai kebutuhan untuk tumbuh dan

perkembangan janin untuk sembilan bulan. Sapi yang bunting harus diberikan pakan

yang lebih bagus dari sapi yang lainnya, terutama menjelang dua bulan kelahiran.

Pemberian pakan untuk sapi dara yang bunting sama dengan sapi yang sedang

berproduksi dan mendapatkan tambahan konsentrat didalam kandang pemerahan.

Pemberian konsentrat tambahan selama periode kebuntingan dikenal dengan

pemanasan. Hal yang harus diperhatikan dan dijaga adalah sapi yang sedang bunting

memerlukan mineral yang lebih tinggi di dalam ransum yang diberikan. Pakan yang

diberikan harus disesuaikan dengan bobot sapi tersebut. Sapi yang menjelang

kelahiran harus mempunyai bobot badan yang tidak kurus dan tidak gemuk agar

mempermudah dalam kelahiran (Williamson dan Payne, 1993).

Pakan Sapi Laktasi

Induk laktasi merupakan arus utama pendapatan dari usaha sapi perah. Induk

laktasi menghasilkan susu setiap harinya yang bernilai ekonomis tinggi. Induk

laktasi akan mampu menghasilkan susu yang baik ketika diberikan makanan yang

cukup dan nutrisi yang baik. Hal ini harus diperhatikan oleh peternak, karena induk

laktasi akan mencapai puncak laktasi lebih cepat jika kekurangan nutrien untuk

mencukupi kebutuhannya. Setelah puncak laktasi maka produksi susu akan

berangsur-angsur turun. Kejadian ini mengakibatkan usaha ternak sapi perah kurang

efisien (Williamson dan Payne, 1993).

Kebutuhan pakan setiap sapi jumlahnya bervariasi tergantung dari produksi

susunya. Secara praktis dilapangan sulit untuk dilaksanakan pada usaha kecil, karena

9

kurang ekonomis untuk memisahkan tiap sapi yang disesuaikan dengan

kebutuhannya. Pendekatan yang lebih banyak diterapkan adalah dipisahkan

berdasarkan umur kelahiran anaknya (Williamson dan Payne, 1993). Standar

kebutuhan makanan untuk sapi yang sedang berproduksi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi untuk 1 Kg Susu yang dihasilkan Sapi Perah

LK Susu Bahan kering Daya cerna PK Kalsium Fospor

(%) (kg) (kg) (g) (g)

3,5 0,60 0,112 2,6 1,8

4,0 0,64 0,123 2,9 1,8

4,5 0,68 0,139 2,9 1,8

5,0 0,73 0,148 3,1 1,8

Sumber : McDonald et al. (1973).

Pakan Sapi Betina Kering

Pengaturan untuk usaha sapi perah seharusnya dibuat secara minimum. Sapi

betina laktasi dapat memanfaatkan energi secara efisien. Sapi betina kering dianggap

sebagai sapi tidak produktif dalam jangka waktu dua bulan. Sapi yang sedang masuk

periode kering diharapkan dapat meningkatkan bobot badannya agar lebih siap untuk

periode laktasi berikutnya. Sapi dikeringkan bertujuan untuk memelihara sapi dalam

kondisi baik dan mengoptimalkan pertumbuhan janin di dalam induk sapi. Sapi

kering biasanya diberikan konsentrat yang cukup dan diberi tambahan mineral.

Kebutuhan sapi kering yaitu 2-3 kg zat makanan setara dengan tepung, protein kasar

yang dicerna 0,27 kg, kalsium 17 g dan fospor 9 g (McDonald et al., 1973).

Kualitas Konsentrat Sapi

Konsentrat merupakan pakan yang kaya akan sumber protein dan atau

sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan dan atau imbuhan pakan.

Konsentrat diberikan pada sapi sesuai dengan periode umur dan kondisi sapi.

Berdasarkan periode umur dan kondisi sapi terbagi menjadi konsentrat pemula 1 (0-3

minggu), pemula 2 (>3minggu-6 bulan), dara (6-12 bulan), laktasi (setelah beranak-

bunting 7 bulan), laktasi produksi tinggi (rata-rata 15 l/hari), kering bunting (2 bulan

sebelum melahirkan), dan pejantan. Kualitas konsentrat berdasarkan SNI 3148-1-

2009 dapat dilihat pada Tabel 3.

10

Tabel 3. Persyaratan Mutu Konsentrat Sapi Perah berdasarkan Bahan Kering

No Jenis TDN (%) KA (%) PK (%) LK (%) Ca (%) P (%)

1. Pemula 1 94 14 21 12 0,7-0,9 0,4-0,6

2. Pemula 2 78 14 16 7 0,4-0,6 0,6-0,8

3. Dara 75 14 15 7 0,6-0,8 0,5-0,7

4. Laktasi 70 14 16 7 0,8-1,0 0,6-0,8

5. Laktasi Produksi Tinggi 75 14 18 7 1.0-1,2 0,6-0,8

6. Kering bunting 65 14 14 7 0,6-0,8 0,6-0,8

7. Pejantan 65 14 12 6 0,5-0,7 0,3-0,5

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2009).

Pengelolaan

Anak Sapi (Pedet)

Pemeliharaan anak sapi pada sapi perah dilakukan untuk anak sapi jantan

ataupun betina. Pedet betina dipelihara sebagai sapi pengganti (replacement stock)

untuk sapi laktasi dan pedet jantan dipelihara sebagai sapi pedaging. Pemeliharaan

pedet bisa dilakukan di dalam maupun di luar ruangan. Kasus di Indonesia pada

umumnya adalah daerah dengan iklim tropis yang lembab dimana resiko terhadap

parasit tinggi. Sistem pemeliharaan yang menjadi pilihan adalah pemeliharaan anak

sapi didalam kandang (Williamson dan Payne, 1993).

Teknik Pemerahan

Sapi perah akan menghasilkan pedet sekitar satu tahun sekali, jika didukung

dengan manajemen yang baik. Pemerahan sapi perah selama satu tahun yaitu 10

bulan, dimana dua bulan digunakan untuk kering kandang jika sapi sedang bunting

tujuh bulan. Pemerahan yang dilakukan terus-menerus tanpa ada periode kering

kandang akan mempengaruhi produksi susu berikutnya. Periode kering kandang

diperlukan oleh sapi perah untuk memperbaiki glanduri mamari dari sapi agar

menguatkan dan memungkinkan untuk membentuk cadangan makanan dalam tubuh

agar siap diperiode laktasi berikutnya (Williamson dan Payne, 1993).

Pemerahan bertujuan agar sapi menghasilkan susu yang optimal dari

ambingnya. Jika pemerahan dilakukan tidak sempurna, maka sapi induk cenderung

kering lebih cepat dan produksi total menjadi turun. Sapi induk biasanya diperah dua

kali dalam sehari dengan selang waktu 12 dan 12 jam atau 16 dan 8 jam. Cara

11

pemerahan bisa dilakukan dengan tangan atau menggunakan mesin. Sapi induk

memerlukan rangsangan sewaktu awal pemerahan. Kondisi alamiah puting sapi

mendapatkan rangsangan dari anaknya. Peternak memberikan rangsangan kepada

sapi menggunakan handuk hangat sekaligus untuk mencuci ambing. Rangsangan

akan dikirimkan ke glandula pituitaria posterior yang akan mengeluarkan hormon

oxytocin. Hormon ini disirkulasikan dalam darah, dibawa ke jaringan ambing, dan

diprakarsai untuk pengeluaran susu (Williamson dan Payne, 1993).

Proses pemerahan dilakukan dengan pemberian tekanan di bagian otot-otot

sekitar puting. Penambahan tekanan didalam puting mengencangkan otot sprinter

dan “teat meastu” dipaksa terbuka dan susu keluar. Proses pemerahan

mengakibatkan lubang diputing tidak segera tertutup rapat, perlu beberapa waktu

untuk bisa rapat kembali. Lubang puting yang terbuka bisa menyebabkan penyakit

mastitis. Penyakit ini dapat dikontrol secara efektif bila dilakukan striping cup

dengan ketat dan tepat. Pencucian ambing secara hygiene dan sanitasi kandang

merupakan langkah pencegahan yang bisa dilakukan (Williamson dan Payne, 1993).

Penanganan Susu Pasca Pemerahan

Susu merupakan salah satu produk pangan yang tergolong mudah rusak.

Penanganan susu pasca pemerahan menjadi hal yang penting untuk mencegarah

keruskan susu baik fisik, kimia, dan mikrobiologis. Penanganan awal setelah susu

selesai diperah yaitu dilakukan proses penyaringan. Penyaringan berfungsi untuk

memisahkan kotoran dalam bentuk fisik dengan susu yang terkontaminasi dari

lingkungan sekitar kandang. Susu yang telah disaring segera dilakukan pendinginan.

Pendinginan akan sangat membantu dalam menghambat perkembangan bakteri

patogen. Bakteri yang tumbuh didalam susu akan mempengaruhi komposisi susu

dan perubahan kimia susu sehingga terbentuk asam laktat. Asam laktat yang

terbentuk menyebabkan protein susu menjadi rusak (Williamson dan Payne, 1993).

Pengelolaan Limbah

Peternakan menghasilkan limbah yang cukup banyak. Limbah dari

peternakan harus dikelola agar tidak mencemari air, tanah, dan sungai. Produksi

limbah oleh satu ekor sapi rata-rata 50-60 liter/hari dan sekitar 10%-15% bahan

kering. Pengelolaan limbah secara sederhana adalah mengalirkan limbah ke dalam

12

lahan pastura. Pengelolaan yang lebih modern adalah menggunakan limbah sebagai

bahan baku pembuatan pupuk organik, biogas, dan media tanam untuk cacing.

Pengelolaan seperti itu masih dianggap tidak ekonomis (Leaver, 1983).

Kandang dan Peralatan

Kandang

Kandang merupakan bangunan sebagai tempat tinggal ternak, yang ditujukan

untuk melindungi ternak dari gangguan luar yang merugikan seperti: panas matahari,

hujan, angin, binatang buas serta untuk memudahkan dalam pengelolaan. Kandang

yang baik adalah kandang yang memenuhi persyaratan, lokasi kandang, arah

kandang, dan kebersihan kandang. Syarat untuk mendirikan kandang adalah bahan

bangunan kandang yang ekonomis, tahan lama, awet, mudah didapat dan tidak

menimbulkan refleksi panas terhadap ternak yang dipelihara. Kandang harus

memberikan rasa nyaman bagi ternak dan pemilikinya, ventilasi yang cukup untuk

pergantian udara, mudah dibersihkan, dan tidak ada genangan air (Ernawati, 2000).

Lokasi kandang merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan karena

menyangkut masalah keamanan, akses dan keramahan lingkungan. Lokasi kandang

yang dianjurkan adalah terpisah dari rumah dengan jarak ± 10 meter, tidak

berdekatan dengan fasilitas umum, letak kandang lebih tinggi dari daerah sekitarnya,

terdapat tempat penampungan kotoran, tersedia air bersih yang cukup. Arah kandang

bertujuan untuk mengatur cahaya dan angin yang masuk ke kandang. Arah kandang

untuk kandang tunggal menghadap ke timur, untuk bangunan kandang majemuk

membujur dari utara ke selatan. Hal ini bertujuan untuk membantu proses

pembentukan vitamin D dalam tubuh ternak sekaligus pembasmi penyakit. Peralatan

kandang sapi perah yang digunakan selama dikandang adalah skop, sapu, ember,

sikat, troli, tali dan bangku kecil. Peralatan untuk pemerahan sapi yaitu milk can,

saringan dan ember (Ernawati, 2000).

Peralatan

Peternak yang menggunakan tangan dalam pemerahan menggunakan

beberapa perlengkapan seperti ember, ember pencuci, handuk, cawan untuk tes

mastitis, dan bangku. Peternak juga disarankan memiliki timbangan agar

mengetahui produksi susunya. Peralatan yang digunakan sangat perlu untuk

13

kepentingan pemerahan yang hygienis. Kualitas dari susu yang didapatkan sangat

dipengaruhi oleh peraltan yang digunakan dan kebersihannya. Susu yang didapatkan

dari proses pemerahan diperlukan alat saring dan milk can untuk menampung

(Williamson dan Payne, 1993).

Kesehatan Hewan

Sapi perah mempunyai resiko dalam gangguan kesehatan. Sapi perah yang

terkena penyakit akan mengakibatkan penurunan produksi susu atau lebih parahnya

menyebabkan kematian. Kematian anak sapi perah di daerah tropis sangat tinggi

yaitu sekitar 50%. Penyebabnya adalah pengelolaan dan makanan yang jelek.

Penyakit yang umum dari pedet adalah mencret, pneumonia dan penyakit yang

disebabkan oleh parasit internal (cacing gelang, cacing benang, cacing tambang,

cacing paru-paru, cacing pita, coccidia dan parasit lainnya). Mastitis adalah penyakit

yang umum mengenai sapi perah yang sedang berproduksi. Pencegahan dan

pengobatan penyakit harus dilakukan dengan cara yang baik dan tepat. Pencegahan

penyakit bisa dilakukan dengan cara membersihkan kandang, memberikan hijauan

yang baik, memberikan obat cacing secara berkala, memberikan vaksinansi dan

pemberian vitamin dan mineral agar mempunyai daya tahan terhadap penyakit

(Williamson dan Payne, 1993).

Gangguan terhadap kesehatan sapi bisa dialami oleh pedet, sapi dara, sapi

laktasi dan pejantan. Penyakit yang menyerang sapi perah dikelompokkan

berdasarkan organ atau sistem tubuh yang terkena gangguan. Kelompok penyakit

tersebut adalah penyakit reproduksi, penyakit metabolisme/sistem pencernaan,

penyakit pada ambing, penyakit pada kaki dan penyakit yang lain (Leaver, 1983).

Penyakit yang menyerang pada sistem reproduksi sapi perah antara lain

distokia, kerusakan plasenta, endometritis, keterlambatan birahi, dan keberhasilan

kebuntingan. Distokia sering terjadi pada sapi yang baru melahirkan pertama karena

anak sapi lebih besar ukurannya daripada ukuran pembukaan pelvis atau posisi anak

sapi yang tidak normal. Sapi yang mengalami distokia harus dibantu oleh dokter

hewan atau peternak agar proses kelahiranya lancar. Kerusakan pada plasenta sering

terjadi terhadap anak sapi yang lahir secara prematur. Hypocalcemia dan infeksi

bakteri brucellosis menyebabkan plasenta tidak baik. Endometritis terjadi akibat

serangan bakteri setelah terjadi kelahiran pada uterus. Penyebab terjadinya

14

endometritis adalah kebersihan yang tidak terjaga pada saat kelahiran atau beberapa

waktu setelah kelahiran. Keterlambatan birahi setelah melahirkan merupakan

kejadian yang sering terjaidi. Umumnya birahi terjadi setelah 3-6 minggu setelah

kelahiran. Keberhasilan kebuntingan pada saat dilakukan Inseminasi Buatan (IB)

adalah langkah awal dalam keberhasilan reproduksi. Keberhasilan dalam IB masih

sekitar 55%. Penyebab dari ketidakberhasilan IB adalah fertilitas sperma yang

rendah, salah mendeteksi birahi, sapi terlalu kurus atau terlalu gemuk dan kecukupan

nutrisi rendah (Leaver, 1983).

Penyakit yang menyerang sistem metabolisme/pencernaan antara lain

hypocalcaemia, hypomagnesaemia, ketosis dan bloat. Hypocalcaemia atau “milk

fever” terjadi setelah tiga hari setelah kelahiran. Hypocalcaemia terjadi ketika

kandungan susu yang terlalu banyak mengandung kalsium akibat pemberian hijauan

atau konsentrat tinggi kalsium. Sementara kalsium yang berada di dalam darah

mengalami penurunan dari 10 mg/100 ml menjadi 7 mg/100 ml. Sapi yang terkena

Hypocalcaemia diberi calcium borogluconate dengan injeksi (Leaver, 1983).

Penyakit lain yang menyerang sistem metabolisme tubuh hypomagnesaemia.

Penyakit ini dapat menyebabkan kematian karena tubuh kekurangan magnesium

yang dipeoleh dari pakan. Kandungan magnesium sekitar 2 mg/ 100 ml darah

menyebabkan kondisi yang kritis. Kecukupan terhadap magnesium sangat

diperhatikan dari manajemen hijauan yang diberikan. Ketosis merupakan salah satu

penyakit yang menyerang sistem metabolisme tubuh yang menyebabkan kurang

nafsu makan dan produksi susu. Keton yang dihasilkan oleh tubuh menyebabkan

bau terhadap susu. Pencegahan terhadap penyakit ini adalah induk setelah

melahirkan diberikan pakan dengan energi tinggi pada enam minggu pertama. Bloat

adalah penyakit yang disebabkan oleh tersergapnya udara didalam perut (kembung)

yang diakibatkan oleh gas yang dihasilkan dari proses fermentasi. Bloat terjadi

ketika sapi diberikan banyak leguminosa atau rumput yang sedikit dan konsentrat

yang banyak. Cara mengobati bloat adalah menambahkan anti busa seperti kacang

tanah, minyak parafin yang dicampurkan kedalam air minum (Leaver, 1983).

Mastitis merupakan penyakit yang menyerang jaringan pada ambing sapi

yang disebabkan oleh satu atau beberapa jenis bakteri yang masuk kedalam lubang

puting. Penyakit mastitis mula-mula subklinis yang tidak terlihat perubahan pada

15

ambing atau pada susu, tetapi jika dibiarkan akan menjadi penyakit yang klinis

dimana pada susu terdapat gumpalan yang menyebabkan ambing sapi menjadi keras.

Upaya pencegahan untuk penyakit mastitis adalah dengan menerapkan pemerahan

yang baik dan penggunaan desinfektan setelah selesai diperah (Leaver, 1983).

Penyakit lain yang sering menyerang sapi adalah penyakit pada bagian kaki.

Penyakit ini menyerang bagian kuku yang disebabkan infeksi oleh mikroorganisme.

Penyakit ini terjadi ketika kuku tidak dipotong dengan baik, permukaan lantai yang

basah, dan kandang jarang dibersihkan. Upaya pencegahan yang biasa dilakukan

adalah membuat permukaan kaki lebih kering, membersihkan kandang dengan

teratur dan membersihkan luka pada kaki dengan 5% formaldehid jika ada yang luka

(Leaver, 1983).

Brucellossis adalah penyakit yang disebabkan oleh Brucella abortus.

Penyakit ini menyebabkan aborsi pada saat kebuntingan dan bisa menular melalui

makanan. Penyakit ini termasuk penyakit menular sehingga perlu disolasi jika ada

sapi yang terkena. Pencegahannya adalah dengan vaksinasi menggunakan vaksin

strain 19 atau vaksin RPB51. Penyakit ini perlu perhatian khusus karena

pengobatannya masih belum diketahui (Leaver, 1983).

Faktor-faktor Produksi Sapi perah

Soekartawi (1994) menyebutkan bahwa faktor produksi adalah sesuatu yang

dikorbankan untuk menghasilkan produksi. Sihite (1998) menyebutkan bahwa

faktor-faktor produksi yang diukur dalam usaha peternakan rakyat yang

mempengaruhi produksi susu sapi perah yaitu: jumlah produksi susu, jumlah

makanan hijauan, jumlah makanan konsentrat, jam kerja produksi dan persentase

sapi laktasi. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh positif terhadap pendapatan

peternakan sapi perah di kawasan Garut dan Bogor dipengaruhi oleh peubah-peubah

seperti pakan, tenaga kerja, produksi susu per ekor per hari, rasio betina laktasi dan

non laktasi, dan jumlah kepemilikan sapi perah. Faktor produksi yang berpengaruh

positif terhadap produksi susu adalah pakan konsentrat, pemeliharaan kesehatan

ternak, tenaga kerja dan jumlah betina laktasi (Mudjadi dan Saleh, 1995).

16

Produksi Susu

Setiap bangsa sapi perah mempunyai sifat-sifat yang berbeda dalam

menghasilkan volume, warna air susu, dan komposisi susu (Sudono et al., 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu yaitu : bangsa, lama bunting, masa

laktasi, bobot badan, estrus (birahi), umur, selang beranak (calving interval), masa

kering, frekuensi pemerahan serta makanan dan tata laksana. Sapi yang mempunyai

bobot badan besar akan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi yang

berbobot badan kecil dalam bangsa dan umur yang sama (Sudono, 1999).

Secara fisiologis produksi susu secara umum meningkat pada bulan pertama

pasca kelahiran dan terjadi penurunan secara berangsur-angsur, sebaliknya

kandungan lemak meningkat menjelang akhir laktasi (Ensminger dan Howard,

2006). Saat dalam masa bunting tua produksi susu akan mengalami penurunan

karena nutrisi di dalam makanan terserap pada janin. Produksi susu berbanding

terbalik dengan persentase protein dan lemak yang dihasilkan. Persentase protein

dan lemak berada dititik terendah ketika produksi berada di puncak laktasi dan

berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al., 1988).

Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan hal yang penting dalam usaha peternakan sapi perah

tenaga kerja yang diperlukan harus terampil dan berpengalaman dalam bidangnya

agar penggunaan tenaga kerja menjadi efisien. Penggunaan tenaga kerja dalam skala

usaha peternakan sapi perah rakyat yang efisien adalah satu tenaga kerja mampu

menangani enam sampai tujuh sapi perah, semakin banyak sapi yang dipelihara maka

akan semakin efisien dalam penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan

dalam usaha peternakan rakyat adalah tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja yang

tercurah adalah tenaga kerja laki-laki, tenaga kerja perempuan, dan tenaga kerja

anak. Kemampuan penanganan sapi perah yang semakin tinggi oleh seorang

peternak meningkatkan efisiensi penggunaaan tenaga kerja (Sudono, 1999).

Efisiensi Produksi

Efisiensi merupakan perbandingan antara jumlah faktor-faktor produksi yang

digunakan untuk menghasilkan output tertentu. Konsep efisiensi dikenal dengan

konsep efisiensi teknis, efisiensi harga (allocative), dan efisiensi ekonomis. Efisiensi

17

teknis dicapai ketika peternak mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikan

rupa sehingga mampu menghasilkan output yang tinggi (Daniel, 2002). Efisiensi

produksi secara teknis dilihat dari nilai elastisitas dari faktor produksinya jika (e>1)

maka belum mencapai efisiensi teknis. Jika (0<e<1) maka efisiensi sudah tercapai,

dan jika (e<0) tidak rasional (Teken dan Asnawi, 1977). Efisiensi harga akan

tercapai jika petani dapat melakukan upaya Nilai Produk Marjinal (NPM) untuk

suatu input sama dengan harga input (P) tersebut atau dapat dituliskan:

NPMx = Px atau

1 = NPMx

Px

Kenyataannya efisiensi jarang ditemukan, jika efisiensi tidak ditemukan maka

kondisinya akan terjadi.

a. NPMx/Px <1 artinya penggunaan input X belum efisien. Untuk mencapai

efisien input X perlu ditambah.

b. NPMx/Px >1 artinya penggunaan input X belum efisien. Untuk mencapai

efisien input X perlu dikurangi.

(Soekartawi, 1994).

Efisiensi ekonomis dilakukan oleh peternak ketika melakukan efisiensi harga

dan efisiensi teknis secara bersamaan. Efisiensi ekonomis dapat dituliskan dengan

rumus:

Efisiensi ekonomis = efisiensi teknis x efisiensi harga

Tujuan dari dilakukannya efisiensi adalah agar peternak mendapatkan

keuntungan yang maksimal (Colman dan Young, 1989).

Fungsi Produksi

Mubyarto (1989) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah fungsi

matematis yang menggambarkan adanya hubungan antara faktor-faktor produksi

(input) dengan produksi (output). Model matematik untuk fungsi produksi adalah :

Y = f (X1, X2,..., Xn)

Keterangan :

Y = hasil produksi

X1, X2,..., Xn = faktor-faktor produksi yang digunakan.

18

Berdasarkan fungsi diatas, upaya yang dapat dilakukan oleh petani untuk

meningkatkan produksi (Y) yaitu menambah jumlah salah satu input yang digunakan

atau menambah jumlah input yang digunakan (Daniel, 2002). Bentuk dari fungsi

produksi antara lain bentuk linier, kuadratik, eksponensial, polinomial akar pangkat

dua, CES (Constant Elasticity of Subtitution) Transcendetal dan Translog, dimana

setiap bentuk memiliki karakteristik dan fungsi sendiri (Soekartawi, 1994).