tinjauan pustaka pembelajaran kooperatif melibatkan scaffolding

31
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Matematika Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Karena itu, untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Menyadari pentingnya penguasaan matematika, maka dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 (Depdiknas, 2009:20) ditegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Wujud dari mata pelajaran matematika adalah matematika sekolah yang dipilih berdasarkan pada kepentingan pendidikan dan kepentingan untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan. Selain itu mata pelajaran matematika juga dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan

Upload: nursalsabila-rezki

Post on 06-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Efektivitas pembelajaran matematika model kooperatif dengan melibatkan Scaffolding

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Matematika

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan

memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi

informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di

bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.

Karena itu, untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan

diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Menyadari pentingnya penguasaan matematika, maka dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 37 (Depdiknas, 2009:20) ditegaskan bahwa mata pelajaran

matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa di jenjang

pendidikan dasar dan menengah. Wujud dari mata pelajaran matematika adalah

matematika sekolah yang dipilih berdasarkan pada kepentingan pendidikan dan

kepentingan untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan. Selain

itu mata pelajaran matematika juga dimaksudkan untuk membekali siswa dengan

kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta

kemampuan bekerjasama. Kemampuan tersebut, merupakan kompetensi yang

diperlukan oleh siswa agar dapat memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan

informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan

kompetitif.

Untuk dapat memberikan jawaban yang pasti tentang arti dari matematika

sangatlah sulit. Defenisi dari matematika makin lama makin sukar untuk dibuat

secara tepat dan singkat. Cabang-cabang matematika makin lama makin

bertambah dan makin bercampur satu sama lain. Sampai sekarang ini diantara

para ahli matematika belum ada kesepakatan yang bulat untuk memberikan

jawaban dari defenisi tentang matematika.

Namun ada beberapa ahli yang dapat mendefinisakan matematika dan

sekaligus tentang telaahan dari matematika itu sendiri. Hal ini akan memberikan

9

gambaran tentang hakekat matematika termasuk cara pencarian yang benar dan

cara berpikir matematik.

James dan James (Karso, 1993:2) dalam kamus matematikanya mengatakan

bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran,

dan konsep-konsep yang berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak.

Matematika timbul karena pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses

dan penalaran, matematika terdiri dari empat wawasan yang luas yaitu aritmatika,

aljabar, geometri dan analisis. Di dalam aritmatika tercakup antara lain teori

bilangan dan statistika. Namun ada pula kelompok matematikawan yang

berpendapat bahwa statistika bukan bagian dari matematika. Malahan kelompok

ini berpendirian pula, selain statistika juga ilmu computer bukan bagian dari

matematika.

Kelompok matematikawan yang berpendirian bahwa statistika dan ilmu

computer bukan bagian dari matematika. Mereka berpendapat bahwa matematika

adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri terstruktur yang

bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan semacamnya.

Walaupun matematika menjadi sukar, abstrak dan terasa kurang kaitannya

dengan kehidupan tetapi pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-

konsep matematika tersebut. Matematika telah banyak memberikan

sumbangannya dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan Alam dan teknologi.

Hal ini membuktikan bahwa matematika memang berkaitan erat dengan

kehidupan.

Kline (Karso, 1993:2) mengatakan bahwa matematika bukan pengetahuan

yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri tetapi keberadaanya

untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan social,

ekonomi dan alam.

Kemudian Johnson dan Rising (Karso, 1993:2) mengemukakan beberapa

definisi tentang matematika sebagai berikut :

1. Matematika adalah pola pikir (cara bernalar). Matematika memuat cara

pembuktian yang logis, rumus-rumus atau aturan umum, atau sifat penalaran

matematika yang sistematis.

10

2. Matematika adalah bahasa, bahasa yang menggunakan istilah yang

didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan symbol

dan padat, lebih berupa bahasa simbul mengenai ide.

3. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisir.Sebagai suatu

struktur, terdiri dari beberapa komponen yang antara lain sifat-sifat atau teori-

teori dianut secara deduktif berdasarkan unsur-unsur yang

didefinisikan,dalil/teorem, aksioma-aksioma/postulat, sifat-sifat yang terbukti

kebenarannya.

4. Matematika adalah ilmu tentang pola pikir deduktif. Matematika merupakan

pengetahuan berpola pikir deduktif, artinya suatu teori atau pernyataan dalam

matematika diterima kebenarannya bila telah dibuktikan secara deduktif

(umum).

5. Matematika adalah suatu seni kreatif. Penalaran yang logis dan efisien serta

perbendaharaan ide-ide dan pola-pola yang kreatif dan menakjubkan, maka

matematika sering pula disebut sebagai seni, khususnya merupakan seni

berpikir yang kreatif.

Secara singkat, Tiro (2010:18) mengemukakan bahwa matematika adalah

suatu system aksioma yang memiliki ciri sebagai berikut:

1. Ada unsur primitif (undefined terms) sebagai komponen utama.

2. Seperangkat aksioma (unproven statements) juga sebagai suatu komponen.

3. Semua defenisi atau teorema dibuat dengan menggunakan unsur primitive,

aksioma, definisi atau teorema yang sudah ada sebelumnya.

4. Nilai benar dan salah ditentukan atau diukur oleh hukum-hukum yang sudah

ada.

Menurut Tiro (2010:20) mengemukakan beberapa sifat yang memungkinkan

matematika memegang peranan penting dalam proses kegiatan keilmuan sebagai

berikut:

1. Matematika adalah metode dalam penalaran (reasoning) yang merupakan

pemikiran logis dalam menarik kesimpulan secara deduktif yang mengubah

pengalaman indera menjadi bentuk yang berbeda-beda kemudian diubah

menjadi bentuk yang lebih umum melalui suatu perampatan (generalization).

11

2. Matematika berhubungan dengan pernyataan yang berupa teorema dan

konsekuensinya dimana pengujian kebenarannya secara matematis dapat

diterima oleh setiap orang yang berpikir rasional.

3. Matematika adalah bahasa yang sangat simbolis, yang melambangkan

serangkaian makna yang ingin disampaikan. Simbol (lambang atau notasi)

matematika bersifat “artifisial” yang akan mempunyai arti setelah sebuah

makna diberikan padanya. Matematika adalah bahasa yang berupaya untuk

menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal.

4. Matematika tidak bergantung pada perubahan ruang dan waktu. Artinya,

matematika dapat berkembang sendiri atas pengaruh dari dalam diri

matematika itu sendiri, tanpa memperhatikan lingkungannnya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa defenisi

matematika yaitu cabang ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak, pembuktiannya

dan penalaran logis yang bersifat deduktif, fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang

dan bentuk, aturan-aturan yang ketat dan pola keteraturan serta struktur yang

terorganisir secara sistematis.

2.1.2 Keefektifan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadinata, 2011:311) “efektif

berarti: (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) dapat membawa

hasil, berhasil guna, sedangkan Keefektifan berarti: (1) keadaan berpengaruh; hal

berkesan, (2) keberhasilan usaha atau tindakan. Efektivitas diartikan adanya

kesesuaian antara yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang akan dicapai.

Efektivitas pembelajaran tidak lepas dari hasil atau prestasi belajar yang telah

dicapai oleh siswa. Efektivitas proses pembelajaran, dapat dilihat dari sejauh

mana proses belajar mengajar itu berlangsung yang didalammya terdapat interaksi

antara guru dan siswa untuk mecapai tujuan dalam pembelajaran.

Keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah

pelaksanaan proses belajar mengajar.Menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik

Metodik Kurikulum IKIP Surabaya (Trianto, 2009:20) bahwa efisiensi dan

keefektifan mengajar dalam proses interaksi belajar yang baik adalah segala daya

upaya guru untuk membantu para siswa agar bisa belajar dengan baik. Untuk

12

mengetahui keefektifan mengajar, dengan memberikan tes, sebab hasil tes dapat

dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses pengajaran.

Keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian si

belajar. Ada 4 aspek penting yang dapat dipakai untuk memprediksikan

keefektifan pembelajaran (Uno, 2010:21) yaitu (1) kecermatan penguasaan

perilaku yang dipelajari atau sering disebut dengan “tingkat kesalahan”, (2)

kecepatan unjuk kerja, (3) tingkat alih belajar, dan (4) tingkat retensi dari apa

yang dipelajari.

Efisiensi pembelajaran biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan dan

jumlah waktu yang dipakai si belajar dan jumlah biaya pembelajaran yang

digunakan.

Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama

keefektifan pengajaran (Trianto, 2009: 20) yaitu:

1. Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM;

2. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi di antara siswa;

3. Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa(orientasi

keberhasilan belajar) diutamakan; dan

4. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif.

Dari penjelasan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa keefektifan

pembelajaran yaitu ukuran yang menyatakan sejauh mana tingkat ketercapaian

tujuan dalam pembelajaran. Keefektifan pembelajaran didasarkan pada hasil

belajar siswa, aktivitas siswa dan respons siswa terhadap pembelajaran.

2.1.3 Hasil Belajar

Pada proses belajar mengajar ada suatu penilaian akhir setelah proses

pembelajaran yaitu penilaian hasil belajar. Penilaian adalah unsur lain yang sangat

penting dari keseluruhan proses administrasi. Penilaian pada umumnya ditujukan

untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi organisasi dalam mencapai

tujuannya, Sehingga untuk efektif tidaknya dengan pendekatan kontekstual perlu

dilakukan penilaian hasil belajar siswa.

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui

kegiatan belajar. Menurut Benjamin S. Bloom (Abdurrahman, 2003:38) ada tiga

ranah (domain) hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut A.

13

J. Romiszowki (Abdurrahman, 2003:38) hasil belajar merupakan keluaran

(outputs) dari suatu sistem pemprosesan masukan (inputs). Masukan dari sistem

tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya adalah

perbuatan atau kinerja (performance). Menurut A. J. Romiszowki (Abdurrahman,

2003:38) perbuatan merupakan petunjuk bahwa proses belajar telah terjadi dan

hasil belajar dapat dikelompokkan ke dalam dua macam saja, yaitu pengetahuan

dan keterampilan. Pengetahuan terdiri dari empat kategori yaitu (1) pengetahuan

tentang fakta, (2) pengetahuan tentang prosedur, (3) pengetahuan tentang konsep,

dan (4) pengetahuan tentang prinsip.

Tujuan belajar adalah mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan

penanaman sikap mental atau nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berarti akan

menghasilkan hasil belajar (Abdurrahman, 2003:39). Relevan dengan uraian

mengenai tujuan belajar tersebut, hasil belajar meliputi:

1. Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif).

2. Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif).

3. Hal ihwal kelakuan, ketempilan atau penampilans (psikomotorik).

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hasil

belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar.

Hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan anak dan aspek

yang diinginkan sebagai hasil belajar berupa pengetahuan, sikap dan

keterampilan.

2.1.4 Respons

Respons menurut bahasa diartikan sebagai reaksi jawaban, reaksi balik.

Sedangkan respons menurut istilah merupakan suatu tanggapan dari sebuah topik

bahasan yang dilakukan oleh seorang siswa atau lebih. Respons adalah reaksi

objektif daripada individu terhadap situasi sebagai perangsang yang wujudnya

juga dapat bermacam-macam sekali seperti misalnya menutup pintu, memukul

bola, mengambil makanan, dan sebagainya. Titik berat perhatian Watson

sebenarnya tidak terletak pada analisis tingkah laku menjadi respons-respons

muscular dan glandular yang sederhana, melainkan pada apa yang dikerjakan oleh

individu pada situasi tertentu (Suryabrata, 2008:268). Respons siswa yaitu

pendapat siswa terhadap model pembelajaran kooperatif dengan melibatkan

14

scaffolding setelah mengikuti pembelajaran.Untuk mengetahui respon siswa

tersebut maka siswa diberi angket.

2.1.5 Aktivitas Belajar

Mengapa di dalam belajar diperlukan aktivitas? Sebab pada prinsipnya

belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan

kegiatan. Tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktifitas

merupakan prinsip atau asa yang sangat penting di dalam interaksi belajar

mengajar. Sebagai rasionalitasnya hal ini juga mendapatkan pengakuan dari

berbagai ahli pendidikan.

Frobel (Sardiman, 2008:96) mengatakan bahwa “manusia sebagai

pencipta”. Dalam ajaran agama pun diakui bahwa manusia adalah sebagai

pencipta yang kedua (setelah Tuhan). Secara alami anak didik memang ada

dorongan untuk mencipta. Anak adalah suatu organisme yang berkembang dari

dalam. Prinsip utama yang dikemukakan Frobel (Sardiman, 2008:96) bahwa anak

itu harus bekerja sendiri. Untuk memberikan motivasi, maka dipopulerkan suatu

semboyan “berpikir dan berbuat”. Dalam dinamika kehidupan manusia, berpikir

dan berbuat sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan . Begitu juga

dalam belajar sudah barang tentu tidak mungkin meninggalkan kedua kegiatan itu,

berpikir dan berbuat.

Dalam hal kegiatan belajar Rousseau memberikan penjelasan bahwa

segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman

sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang

diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Ilustrasi ini diambil dalam

kasus dalam lingkup pelajaran Ilmu Bumi. Ini menunjukkan setiap orang yang

belajar harus aktif sendiri. Tanpa ada aktivitas, proses belajar tidak mungkin

terjadi (Sardiman, 2008:96).

Dengan mengemukakan beberapa pandangan dari berbagai ahli tersebut

diatas, jelas bahwa dalam kegiatan belajar, subjek didik atau siswa harus aktif

berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya

aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik.

Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental.

Dalam kegiatan belajar kedua aktivitas harus selalu berkait. Sehubungan dengan

15

hal ini, Piaget menerangkan bahwa seseorang anak itu berpikir sepanjang ia

berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar

anak berpikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.

Berpikir pada taraf verbal baru akan timbul setelah anak itu berpikir pada taraf

perbuatan.

Dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala proses

interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang

diinginkan.

2.1.6 Model Pembelajaran

Joyce dan Weil mempelajari model-model pembelajaran berdasarkan teori

belajar yang dikelompokkan menjadi empat model pembelajaran. Model tersebut

merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang diharapkan. Joyce dan Weil (Rusman, 2010:133) berpendapat

bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan

untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang

bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang

lain. Model pembelajaran dapat dijadikan sebagai pola pilihan, artinya para guru

boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan

pendidikannya.

Model pembelajaran memiliki ciri (Rusman, 2010:136) sebagai berikut:

1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai

contoh model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan

berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi

dalam kelompok secara demokratis.

2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu misalnya model berpikir

induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif.

3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas,

misalnya model synectic dirancang untuk memperbaiki kreatifitas dalam

pelajaran mengarang.

4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah

pembelajaran(syntac); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) system social; (4)

16

system pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila

guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.

5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak

tersebut meliputi: (1) Dampak pembelajaran yaitu hasil belajar yang dapat

diukur; (2) Dampak pengiring yaitu hasil belajar jangka panjang.

6. Membuat persiapan mengajar (desain intruksional) dengan pedoman model

pembelajaran yang dipilihnya.

Dari penjelasan diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa model

pembelajaran yaitu suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk

membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang

bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang

lain.

2.1.7 Model Pembelajaraan Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk

pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kelompok

kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang

dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.

Pada hakikatnya cooperative learningsama dengan kerja kelompok. Oleh

karena itu, banyak guru yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh

dalam pembelajaran cooperative learning karena mereka beranggapan telah biasa

melakukan pembelajaran cooperative learning dalam bentuk belajar kelompok.

Menurut Abdulhak (Rusman, 2010:203) bahwa pembelajaran cooperative

dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar sehingga dapat

mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri

Menurut Nurulhayati (Rusman, 2010:203) pembelajaran kooperatif adalah

strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok

kecil untuk saling berinteraksi. Dalam sitem belajar yang kooperatif siswa belajar

bekerja sama dengan anggota lainnya. Dalam model ini siswa memiliki dua

tanggung jawab yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama

anggota kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah kelompok

kecil dan mereka dapat melakukannya seorang diri.

17

Menurut Slavin (Trianto, 2009:57) ide utama dari belajar kooperatif adalah

siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar

temannya. Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan

kesuksesan kelompok yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok

mencapai tujuan atau penguasaan materi.

Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda

latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas

tugas-tugas bersama dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif,

belajar untuk menghargai satu sama lain.

Menurut Sanjaya (Rusman, 2010:206) pembelajaran kooperatif akan efektif

digunakan apabila: (1) guru menekankan pentingnya usaha bersama di samping

usaha secara individual, (2) guru menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam

belajar, (3) guru ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman

sendiri, (4) guru menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif siswa, (5) guru

menghendaki kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai masalah.

Pembelajaran kooperatif mempunyai dua komponen utama (Djamarah,

2010:358) yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task) dan komponen

struktur insentif kooperatif (cooperative incentive structure). Tugas kooperatif

berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota kelompok bekerja sama dalam

menyelesaikan tugas kelompok sedangkan struktur insentif kooperatif merupakan

sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerja sama mencapai

tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap sebagai keunikan dari pembelajaran

kooperatif karena melalui struktur insentif setiap anggota kelompok bekerja keras

untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi

pelajaran sehingga mencapai tujuan kelompok.

Terdapat beberapa karakteristik model pembelajaran kooperatif (Sanjaya,

2007:244) sebagai berikut:

1. Pembelajaran Secara Tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim harus mampu

membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus

saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria

keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim. Setiap kelompok

18

bersifat heterogen. Artinya kelompok terdiri atas anggota yang memiliki

kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakan social yang berbeda.

2. Didasarkan Pada Manajemen Kooperatif.

Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok,

yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan, dan fungsi

kontrol demikian juga pada pembelajaran kooperatif.

3. Kemajuan untuk Bekerja Sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara

kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses

pembelajaran kooperatif.

Selain memiliki karakter model pembelajaran kooperatif juga mempunyai

prinsip-prinsip yang membedakan dengan pembelajaran lainnya (Riyanto,

2010:266) sebagai berikut:

1. Prinsip Ketergantungan Positif (Positive interdependence)

Hakikat dari ketergantungan positif pada pembelajaran kooperatif yaitu

tugas kelompok tidak mungkin bias diselesaikan manakala ada anggota yang tidak

bias menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik

dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai

kemampuan lebih diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk

menyelesaikan tugasnya.

2. Tanggung Jawab Individual (Individual Accountability)

Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung

jawab siswa dalam hal : (a) Membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b)

siswa tidak dapat hanya sekedar”membonceng” pada hasil kerja teman dan teman

kelompoknya.

3. Interaksi Tatap Muka (Face to face Promotion Interaction)

Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antar siswa. Siswa yang

membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya

4. Partisipasi dan Komunikasi (Participation Communication)

Dalam pembelajaran kooperatif selain dituntut untuk mempelajari materi

yang diberikan seorang siswa juga dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi

19

dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai

anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut

keterampilan khusus.

5. Proses kelompok

Pembelajaran kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok.

Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana

mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang

baik.

Pada pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama atau tahapan di

dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif (Trianto, 2009:66).

Tabel 1 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif

Fase Tingkah Laku guru1. Menyampaikan tujuan dan

memotivasi siswaGuru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin di capai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

2. Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada

siswa dengan pendekatan dan metode

pembelajaran yang di pilih

3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien

4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok –kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka

5. Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

6. Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber: Ibrahim, dkk. (2000:10).

Berdasarkan pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa model

pembelajaran kooperatif yaitu suatu model pembelajaran yang memberikan

kesempatan kepada untuk bekerjasama dan berinteraksi di dalam kelompok kecil

20

dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuannya sendiri (individual) dan

mencapai tujuan bersama (kelompok).

2.1.8 Scaffolding

Menurut Vygotsky (Cahyo, 2013:126) perkembangan kognitif terjadi

melalui interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya.

Orang lain disebut sebagai pembimbing atau guru. Pada umumnya, bimbingan ini

dikomunikasikan melalui bahasa. Jerome Bruner (Cahyo, 2013:127) menyebut

bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah scaffolding, yaitu

sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan dapat

berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan

problemdalam beberapa tahap, memberikan contoh atau segala sesuatu yang

mendorong seorang siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam

memecahkan problem yang dihadapinya.

Secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membantu siswa pada awal

belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan

bantuan tersebut dikurangisampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan

menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya.

Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu

berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga yang memudahkan pekerja

membangun gedung. Sebagian pakar pendidikan mendefiniskan scaffolding

berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik

dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi

yang bersifat positif.

Teori scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950 oleh Jerome

Bruner (Cahyo, 2013:128) scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang

dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanakan

sesuatu di luar usaha siswanya.

Menurut Vygotsky (Cahyo, 2013:129) peserta didik mengembangkan

keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi ketika mendapat bimbingan

(scaffolding) dari seorang yang lebih ahli melalui teman sejawat yang memilki

kemampuan lebih tinggi. Demikian juga, Piaget berpendapat bahwa peserta didik

21

akan mendapat pencerahan ide-ide baru dari seseorang yang memiliki

pengetahuan atau memiliki keahlian.

Menurut Lange (Cahyo, 2013: 129) ada dua langkah utama yang terlibat

dalam scaffolding pembelajaran yaitu pengembangan rencana pembelajaran untuk

membimbing peserta didik dalam memahami materi baru, dan pelaksanaan

rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada peserta didik di setiap langkah

pada proses pembelajaran. Scaffolding terdiri dari beberapa aspek khusus yang

dapat membantu peserta didik dalam internalisasi penguasaan pengetahuan.

Berikut aspek-aspek scaffolding (Cahyo, 2013:129):

1. Intensionalitas yaitu kegiatan yang mempunyai tujuan yang jelas terhadap

aktivitas pembelajaran berupa bantuan yang selalu diberikan kepada setiap

peserta didik yang membutuhkan.

2. Kesesuaian yaitu peserta didik yang tidak bias menyelesaikan sendiri

permasalahan yang dihadapinya maka pembelajaran memberikan bantuan

penyelesaiannya.

3. Struktur yaitu modelingdan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar

sebuah model pendekatan yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan

alam pemikiran dan bahasa.

4. Kolaborasi yaitu pembelajar menciptakan kerja sama dengan peserta didik dan

menghargai karya yang telah di capai oleh peserta didik. Peran pembelajar

adalah kolaborator bukan sebagai evaluator.

5. Internalisasi yaitu eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap

ditarik sebagai pola yang diinternalisasi oleh peserta didik.

Adapun keuntungan mempelajari scaffolding(Cahyo, 2013133)adalah

1. Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.

2. Menyederhanakan tugas belajar sehingga bias lebih terkelola dan bias dicapai

oleh anak

3. Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan

4. Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar

atau yang diharapkan.

5. Mengurangi frustasi atau risiko.

22

6. Memberi model dan mendefinisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas

yang akan dilakukan.

Prinsip-prinsip belajar konstruktivisme dengan scaffolding yang diterapkan

dalam pembelajaran (Cahyo, 2013:134) adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali

hanya

3. Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.

4. Peserta didik aktif mengonstruksi secara terus menerus sehingga selalu terjadi

perubahan konsep ilmiah.

5. Pembelajar sekadar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar

proses konstruksi belajar lancer.

6. Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik.

7. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

8. Mencari dan menilai pendapat peserta didik

9. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.

Secara umum, langkah-langkah pembelajaran scaffolding dapat dilihat

(Nurlia, 2014:24) sebagai berikut :

1. Menjelaskan materi pembelajaran.

2. Menentukan zone of proximal development (ZPD) atau level perkembangan

siswa berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai hasil belajar

sebelumnya.

3. Mengelompokkan siswa menurut ZPD

4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan

materi pembelajaran.

5. Mendorong siswa untuk belajar menyelesaikan soal-soal secara mandiri

dengan berkelompok.

6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata

kunci atau hal lain yang dapat memancing siswa kea rah kemandirian belajar.

7. Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu siswa

yang memiliki ZPD yang rendah.

8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.

23

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa scaffolding adalah pemberian

bantuan yang diberikan kepada siswa secara ketat pada awal kemudian berangsur-

angsur dikurangi dan tanggung jawab diserahkan kepada siswa yang belajar

sehingga siswa dapat menyelesaikan sendiri tugasnya dengan bantuan atau

petunjuk yang sudah diberikan.

2.1.9 Model Pembelajaran Kooperatif dengan melibatkan Scaffolding

Pembelajaran Kooperatif yaitu pembelajaran yang dilakukan secara

kelompok, siswa di dalam kelas di bagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang

terdiri dari beberapa siswa tiap kelompok dengan memperhatikan keberagaman

anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama memecahkan suatu masalah

melalui interaksi dengan teman kelompok.

Scaffolding merupakan pemberian bantuan, bimbingan, dukungan,

maupun motivasi kepada siswa dalam proses belajar. Siswa dituntut untuk

menyelesaikan sendiri tugasnya dengan bantuan yang diberikan oleh seorang guru

maupun teman sebayanya. Scaffolding perlu diberikan agar siswa atau kelompok

siswa yang lambat dalam memahami suatu materi bisa mengikuti pembelajaran

secara lancar dan tidak terlalu tertinggal dengan kelompok yang lain. Scaffolding

juga bermanfaat untuk meluruskan pemahaman jika ada kelompok yang masih

ragu maupun salah dalam memahami konsep. Dengan adanya scaffolding,

kemampuan aktual siswa yaitu kemampuan yang mampu dicapai oleh siswa

dengan belajar sendiri dapat berkembang lebih tinggi dan lebih baik sehingga

dicapai kemampuan potensialnya. Dengan demikian scaffolding mampu

membantu siswa mengembangkan kemampuan aktualnya menjadi kemampuan

potensialnya. Ketika siswa menunjukkan peningkatan dalam menyelesaikan suatu

masalah maka guru secara perlahan-lahan mengurangi pemberian bantuan dan

memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang

semakin besar setelah anak dapat melakukannya (Nurlia, 2014:25). Jadi siswa

dibagi menjadi kelompok kecil dan diharapkan untuk dapat bekerjasama

menyelesaikan tugas atau permasalahan yang dihadapi dengan diberikan bantuan,

motivasi, petunjuk dari guru setelahnya ketika guru sudah yakin siswa dapat

menyelesaikannya sendiri maka pemberian bantuan berangsur-angsur dikurangi

dan tanggung jawab diserahkan kepada siswa yang belajar (Muijs, 2008:100).

24

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran

kooperatif dengan melibatkan scaffolding diharapkan hasil belajar siswa dalam

kelompok dan individu akan meningkat secara bertahap sesuai dengan tujuan

yang diharapkan karena selain mendapatkan bimbingan dari teman sebaya, siswa

juga dapat berinteraksi bersama teman kelompok untuk saling bertukar pikiran

dalam menyelesaikan masalah.

2.2 Hasil Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin Side (2008)

diperoleh bahwa: (1) Hasil belajar matematika siswa sebelum diadakan tindakan

berada pada kategori tinggi dengan skor rata-rata 78,40, (2) Hasil belajar

matematika siswa setelah diadakan tindakan berupa pembelajaran dengan

penerapan scaffolding dengan setting kooperatif pada Siklus I berada dalam

kategori tinggi dengan skor rata-rata 81,30, (3) Hasil belajar matematika setelah

diadakan tindakan berupa pembelajaran dengan penerapan scaffolding dengan

setting kooperatif pada Siklus II berada dalam kategori tinggi dengan skor rata-

rata 88,37, (4) Terjadi peningkatan kemampuan siswa bekerjasama dalam

kelompoknya sekaligus peningkatan keaktifan siswa dalam kelompok, (5)

Kehadiran, minat, perhatian dan motivasi siswa dalam mengikuti proses

pembelajaran matematika juga mengalami peningkatan.

Demikian halnya penelitian yang dilakukan Septriani Nicke (2014)

diperoleh bahwa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang belajar

dengan pendekatan scaffolding lebih baik daripada kemampuan pemahaman

konsep matematika siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran

konvensional pada kelas VIII SMP Pertiwi 2 Padang.

Penelitian yang dilakukan Norma Rahayu Pujiningtyas (2014) diperoleh

bahwa aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran dikatakan baik, aktivitas

siswa dikatakan baik, hasil belajar siswa tercapai, dan respon siswa terhadap

pembelajaran matematika menggunakan metode scaffolding dikatakan baik.

Penelitian yang dilakukan Nicke dan Irwan (2014) diperoleh bahwa

kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang belajar dengan

pendekatan scaffolding lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep

25

matematika siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional

pada kelas VIII SMP Pertiwi 2 Padang.

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan kajian teori yang telah disampaikan di atas, maka kerangka

pikir penelitiannya adalah dengan melihat hasil nilai, keefektifan dan prestasi

oleh siswa dalam pembelajaran matematika kurang memuaskan dan kuarang baik,

maka dengan demikian, guru perlu mencari cara pembelajaran, yang diharapkan

dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

Dalam pembelajaran matematika, guru lebih cenderung menggunakan

model pembelajaran langsung dengan metode ceramah, dimana pembelajaran

hanya terfokus kepada guru yang melakukan transfer ilmu kepada siswa tanpa

melibatkan siswa untuk berperan aktif dalam proses belajar mengajar.

Pembelajaran langsung identik dengan pembelajaran individual dimana siswa

menyelesaikan masalah yang diberikan dengan bekerja sendiri, interaksi diantara

siswa kurang, dan siswa yang berkemampuan rendah sulit dan semakin tertinggal

dalam proses belajar. Hal ini menyebabkan aktivitas siswa cenderung tidak

memperhatikan pelajaran, hasil belajar siswa menjadi tidak maksimal dan respons

siswa terhadap pembelajaran rendah.

Sejalan dengan hal tersebut banyak diperkenalkan berbagai model

pembelajaran yang sesuai diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu

model pembelajaran yang memposisikan peran aktif siswa dalam pembelajaran

dan guru tidak lagi menjadi sumber utama pembelajaran yaitu model

pembelajaran kooperatif dengan scaffolding.

2.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini terdiri atas hipotesis mayor dan hipotesis

minor sebagai berikut:

1. Hipotesis Mayor

Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan

melibatkan scaffolding efektif diterapkan pada siswa kelas X SMA Negeri 3

Palopo.

26

2. Hipotesis Minor

a. Hipotesis Minor 1

Rata-rata hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 3 Palopo setelah

diterapkan model pembelajaran kooperatif dengan melibatkan scaffolding

lebih besar dari 77,99 atau sama dengan KKM (78).

b. Hipotesis Minor 2

Rata-rata gain ternormalisasisiswa kelas X SMA Negeri 3 Palopo setelah

diterapkan model pembelajaran kooperatif dengan melibatkan scaffolding

lebih besar dari 0,29 (kategori sedang).

c. Hipotesis Minor 3

Ketuntasan belajar siswa dengan diterapkan model pembelajaran

kooperatif dengan melibatkan scaffolding secara klasikal lebih besar dari

0,849.

d. Hipotesis Minor 4

Rata-rata nilai aktivitas belajar siswa minimal berada pada kategori aktif.

e. Hipotesis Minor 5

Rata-rata nilai respons siswa minimal berada pada kategori cenderung

positif.