tinjauan pustaka case death

18
SINDROM DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL (MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION SYNDROME/MODS) Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS) adalah kegagalan fungsi organ yang melibatkan >2 sistem organ, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. Berdasarkan konsensus The American College of Chest Physicians (ACCP)/Society of Critical Care Medicine (SCCM) tahun 1992, Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/ MODS) didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. Disfungsi dalam MODS melibatkan >2 sistem organ. 1,2 Patofisiologi Saat ini terdapat berbagai teori yang berusaha menjelaskan patofisiologi terjadinya MODS, antara lain hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis kegagalan mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi. 2 Hipotesis mediator diungkapkan atas dasar ditemukannya peningkatan nyata kadar TNF-a dan IL-1b. Sitokin-sitokin ini diduga menyebabkan kerusakan seluler primer dan bahwa ternyata pemberian antisitokin 1

Upload: radias-zasra

Post on 19-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tinjauan

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka Case Death

SINDROM DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL

(MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION SYNDROME/MODS)

Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction

Syndrome/MODS) adalah kegagalan fungsi organ yang melibatkan >2 sistem

organ, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi.

Berdasarkan konsensus The American College of Chest Physicians

(ACCP)/Society of Critical Care Medicine (SCCM) tahun 1992, Sindrom

Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/ MODS)

didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah pada pasien yang sakit

akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi.

Disfungsi dalam MODS melibatkan >2 sistem organ.1,2

Patofisiologi

Saat ini terdapat berbagai teori yang berusaha menjelaskan patofisiologi

terjadinya MODS, antara lain hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”,

hipotesis kegagalan mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi.2

Hipotesis mediator diungkapkan atas dasar ditemukannya peningkatan nyata

kadar TNF-a dan IL-1b. Sitokin-sitokin ini diduga menyebabkan kerusakan

seluler primer dan bahwa ternyata pemberian antisitokin dapat menghentikan atau

paling tidak mengurangi terjadinya MODS-like syndrome. Hipotesis “gut-as

motor,” teori yang paling banyak dibahas saat ini, menyatakan bahwa translokasi

bakteri atau produknya menembus dinding usus memicu terjadinya MODS.

Malnutrisi dan iskemia intestinal diketahui sebagai penyebab translokasi toksin

bakteri ini. 1

Hipotesis yang terkuat dibanding dua hipotesis patogenesis MODS

sebelumnya adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler. Pada kasus sepsis dan

SIRS, terdapat penurunan curah jantung, penurunan tekanan perfusi sistemik, atau

perubahan selektif perfusi sistem organ, yang mengakibatkan hipoperfusi atau

iskemia sistem organ. Perfusi jaringan menjadi inadekuat dan terjadi gangguan

1

Page 2: Tinjauan Pustaka Case Death

distribusi aliran darah yang membawa oksigen, nutrien, dan zat-zat penting

lainnya. Ada pula hipotesis yang menyatakan bahwa suplai oksigen ke sel

sebenarnya memadai tetapi oksigen tersebut tidak dapat digunakan oleh sel,

mungkin disebabkan abnormalitas jalur fosforilasi oksidatif di mitokondria.

Kerusakan endotel vaskuler akibat mediator SIRS menyebabkan defek

permeabilitas dan mengganggu integritas endotel, menimbulkan edema atau

gangguan fungsi sistem organ. Eritrosit yang rusak dengan perubahan bentuk atau

properti rheologik juga memudahkan terjadinya sumbatan atau obstruksi

mikrovaskuler yang kemudian menyebabkan iskemia seluler. Hipotesis “two-hit”

menyatakan bahwa terdapat 2 pola MODS, dini (dalam 72 jam setelah jejas) dan

lambat. MODS dini disebabkan oleh proses “one hit”, sedangkan MODS tipe

lambat disebabkan oleh proses “two hit”. Pada model “one hit”, jejas primer

sedemikian masifnya sehingga mempresipitasi SIRS berat, menyebabkan MODS

yang dini dan seringkali letal. Pada model “two hit”, terjadi jejas akibat

pembedahan/ trauma yang tidak terlalu berat (first hit), menyebabkan SIRS yang

moderat. Adanya presipitasi infeksi/ jejas non-infeksi dapat mengamplifikasi

keadaan inflamasi awal tersebut menjadi SIRS yang berat, yang cukup untuk

menginduksi MODS tipe lambat (umumnya 6-8 hari setelah jejas awal).1

Sepsis akan mengaktifkan tissue faktor yang akan memproduksi trombin

yang merupakan suatu substantasi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan

gumpalan fibrin didalam mikroveskuler. Sepsis selain megaktifkan tissue faktor,

juga akan mengganggu fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNF-α dan

memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat menghambat

fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan aktivasi protein C (APC) dan

antitrombin. Protein C sebenarnya bersikulasi sebagai ziminogen yang inaktif

tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin, yang berubah menjadi enzyme

activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan

produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va danVIIIa sehingga

tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga bekerja menghambat plasminogen

activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukan palsminogen menjadi

2

Page 3: Tinjauan Pustaka Case Death

plasmin yang sangat penting dalam merubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua

proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanifestasi

pendarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang

merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa.1,2

Sepsis dapat menyebabkan kerusakan pada endotel paru yang menyebabkan

gangguan aliran darah kapiler dan perubahan permeabilitas kapiler yang

mengakibatkan edem intertisial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam

mikrosirkulasi paru dapat menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli.

Edem pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoksia arteri sehingga akan

mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis juga dapat

mengakibatkan gagal ginjal akut yang disebabkan oleh hipoksia dan iskemik pada

pembuluh darah ginjal yang mengakibatkan kerusakan pada tubulus yang memicu

terjadinya proses inflamasi.

Semua komplikasi yang disebabkan oleh sepsis akan berakumulasi

menyebabkan terjadinya kegagalan sistem organ MODS. Pada sebagian besar

pasien MODS, tidak dapat ditelusuri satu penyebab sebagai pemicu MODS. Oleh

karena itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa tampaknya MODS merupakan

akibat akhir dari disregulasi homeostasis yang melibatkan sebagian besar

mekanisme yang telah diuraikan di atas.1

Gejala dan Tanda

Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati, hematologi, dan neurologi

merupakan sistem organ yang paling sering dievaluasi pada MODS. Sistem organ

lain yang juga sering diikutsertakan dalam evaluasi adalah gastrointestinal (GI),

endokrin, dan imunologi.1

Tatalaksana

Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting, dilakukan terutama

pada pasien sakit berat, karena hingga saat ini belum ditemukan terapi yang

spesifik untuk MODS. Manajemen pasien MODS yang terutama adalah suportif,

3

Page 4: Tinjauan Pustaka Case Death

sedangkan terapi spesifik diarahkan untuk mengidentifikasi dan melakukan terapi

penyakit dasar. Infeksi dan sepsis adalah kondisi tersering sebagai penyebab

MODS. Oleh karena itu sangat perlu dilakukan investigasi terhadap kemungkinan

adanya infeksi aktif pada setiap kasus MODS dengan pemeriksaan kultur dari

lokasi infeksi hingga dengan pemeriksaan diagnostik lain.1

Tatalaksana suportif yang utama pada pasien MODS, sesuai dengan disfungsi

sistem organ yang paling sering terjadi, meliputi manajemen hemodinamik,

respirasi, ginjal, hematologi, gastrointestinal, endokrin, dan tidak kalah

pentingnya adalah nutrisi.1

UREMIC ENCEPHALOPATHY

Definisi

Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun

subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.

Biasanya dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15

mL/mnt. Sebutan uremic encephalopathy sendiri memiliki arti gejala neurologis

non spesifik pada uremia. 3

Patofisiologi

Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar

darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan

satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan

kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya

asterixis dan myoclonus.4

Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan

rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan pada

perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik

berkurang. Pompa Na/K ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan

penting dalam menjaga gradien kalsium 10 000:1 (di luar−di dalam sel). Dengan

adanya uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi

4

Page 5: Tinjauan Pustaka Case Death

menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada

keadaan uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan

neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu menjelaskan

gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi neurotransmitter yang

ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 5

Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah

glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan

metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal

berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi

sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya uremia, terjadi akumulasi

komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat pada

otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan ã-

aminobutyric acid (GABA) dan glisin pada binatang percobaan, juga

mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). Toksin ini kemungkinan

menganggu pelepasan neurotransmitter dengan cara menghambat channel klorida

pada membran neuronal. Hal ini dapat menyebabkan myoklonus dan kejang.

Sebagai tambahan, methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K

ATPase.5

Gejala klinis

Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi

konfusi, gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat

berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien,

terutama pada pasien anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat hingga koma.

Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan gangguan konsentrasi dapat

berlanjut selama beberapa minggu.

Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai

gangguan motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien mulai

kedutan, jerk dan dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh

otot, atau ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada saat bangun

5

Page 6: Tinjauan Pustaka Case Death

ataupun tidur. Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi, tremor aritmik,

mioklonus, khorea, asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi phenomena motorik

yang tidak terklasifikasi, yang disebut uremic twitch-convulsive syndrome.

Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma.

Jika asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan

Kussmaul yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.6

Ringan Sedang BeratAnoreksia Muntah GatalMual Lamban Gangguan

orientasiInsomnia Mudah lelah Kebingungan“restlessness” Mengantuk Tingkah laku

anehKurang atensi Perubahan pola

tidurBicara pelo

Tidak mampu menyalurkan ide

Emosional Hipotermia

Penurunan libido Paranoia MioklonusPenurunan kognitif AsterixisPenurunan abstraksi

Kejang

Penurunan kemampuan seksual

Stupor

Koma

Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum7

Diagnosis

Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan

kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan laboratorium

pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, fungsi

hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang tinggi. Darah lengkap

diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat berperan dalam beratnya

perubahan status mental. Sementara jika ditemukan leukositosis menunjukkan

6

Page 7: Tinjauan Pustaka Case Death

adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk menyingkirkan

penyebab ensefalopati lainnya.

Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan

infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala menunjukan

pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya konsentrasi protein

(biasanya <100mg/dl).

Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk menyingkirkan

adanya hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya menunjukkan atrofi

serebri dan pelebaran ventrikel pada pasien dengan chronic kidney disease.8

Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi

sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis buruk

tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan hemodialisis

atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari

dibutuhkan untuk mengembalikan status mental. Kelainan kognitif dapatmenetap

meskipun setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga

dialisis juga dapat menghilangkan komponen esensial. Transplantasi ginjal juga

dapat dipertimbangkan.9

Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi

renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan

pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan toksin

uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau probiotik seperti

bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting untuk eliminasi toksin

uremik.9

Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam

menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine untuk

kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau absens;

ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk status

7

Page 8: Tinjauan Pustaka Case Death

epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk kejang

myoklonik pada end stage renal disease. 10

HELLP SYNDROME

Definisi

Sindrom HELLP merupakam preeklamsia-eklampsia yang disertai

timbulnya hemolysis,peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan

trombositopenia. Dimana sindrom HELLP : H untuk Hemolysis, EL untuk

Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelet11.

Etiologi dan Patogenesis

Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang

ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler,

vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor

pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang

menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit

intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan

selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi

hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas12.

Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang

endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan

spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells12.

Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi

aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan

nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan

intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati.

Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik

yang paling sering ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan

pemakaian dan/atau destruksi trombosit12.

Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi

dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter

8

Page 9: Tinjauan Pustaka Case Death

koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT),

dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali

menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2

antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini

memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan

DIC dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma <

300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 µg/ml2. Semua pasien sindrom HELLP

mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi12.

Manifestasi Klinis

Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat

bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada

pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP12.

Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan

nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan

muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien

(90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda

lain. Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium

diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh

deposit fibrin intravaskuler12.

Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan

yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa

hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan.

Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai

tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolic 90 mmHg12.

Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah

(13 pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg.

Jadi sindrom HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat

bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan

pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis,

glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus 12.

9

Page 10: Tinjauan Pustaka Case Death

Diagnosis

Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan

kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah12.Banyak penelitian yang

mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan

dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan

dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah

sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD12.

Hemolisis

- Kelainan apusan darah tepi

- Total bilirubin > 1,2 mg/dl

- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L

Peningkatan fungsi hati

- Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L

- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L

Jumlah trombosit yang rendah

- Hitung trombosit < 100.000/mm

Tabel Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee,Memphis)

Penatalaksanaan

Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier

dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi.

Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya

kelainan pembekuan darah12.

10

Page 11: Tinjauan Pustaka Case Death

DAFTAR PUSTAKA

1. El-Menyar, Ayman, et.al. 2012. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS): Is it Preventable or Inevitabe?. USA: International Journal of Clinical Medicine.

2. Karim Rafaat. 2012. Multiple Organ Dysfunction Syndrome. USA: International Journal of Clinical Medicine.

3. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009

4. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor Univ Press. 2002. Hlm 175

5. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry Vol.65, No.6 810-821

6. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill. 2009

7. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006. Hlm 214.

8. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2 2011. Pg 139-141.

9. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012). Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second Look, Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech

10. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8

11. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535.

 12. Jason, K Baxter, Louis W. CME Review Article. Dari :

http://www.anestesinorr.se. Download tanggal 9 agustus 2014

11