referat brain death

38
BAB I. PENDAHULUAN Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan mati (Jacobalis, 1997). Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini fungsi vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak (Wijdicks, 2001). Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Gunther et al., 2011), Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau 1

Upload: rizkaririnar7932

Post on 24-Jul-2015

394 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Brain death

BAB I. PENDAHULUAN

Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif

sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut

jantungnya, dinyatakan mati (Jacobalis, 1997). Namun dengan kemajuan

teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini fungsi vital dapat

dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal tersebut

pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang

kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda

kematian. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak (Wijdicks, 2001).

Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati

batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan

60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan

oleh tumor dan infeksi (Gunther et al., 2011), Di Amerika, penyebab utama brain

death adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat

mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada

kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah

atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari

pada batang otak (Lazar et al., 2001)

Kriteria untuk Brain death atau mati otak sendiri berevolusi seiring waktu.

Pada tahun 1979, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible

coma” , untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam

kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta

menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1988, komite ad

hoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi Brain death dan

mendefinisikan koma ireversibel atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon

dan reseptivitas, pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya

koma yang penyebabnya telah diidentifikasi. Pada tahun 1991, President’s

Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and

1

Page 2: Referat Brain death

2

Behavioral Research mempublikasikan panduan berkaitan dengan Brain

death .Pada tahun 1996, The Conference of Medical Royal Colleges di Inggris

menyatakan bahwa Brain death adalah hilangnya fungsi batang otak yang

komplet dan ireversibel

Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1991 tentang bedah mayat

klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia,

meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran

yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang

telah berhenti. Diagnosis mati batang otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat

pada pernyataan IDI tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen

utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan

komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang otak.

Konsep kematian batang otak akan menimbulkan implikasi yang sangat

kompleks, baik dari aspek bioetik, formulasi sosial, filosofi kultural dan religius,

maupun aspek hukum (Brocks, 1999). Karena itulah diperlukan telaah yang baik

mengenai definisi dan penegakan diagnosis mati otak bagi seorang dokter.

Page 3: Referat Brain death

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Mati

Thomas Furlow menyebutkan kematian sebagai suatu proses, yaitu proses

penarikan diri (process of withdrawl). Pada proses itu, manusia dianggapnya

menarik diri, berturut-turut dari kehidupan sosial, kemudian dari kehidupan

intelektual, dan terakhir dari kehidupan biologis. Sesuai dengan hipotesisnya,

maka kematian pun dbedakan menjadi kematian sosial, kematian intelektual dan

kematian biologis (Jacobalis, 1997).

Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan) ditambah

henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak

ireversibel (Indries, 1997). Pada masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi

dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak

nomal, asal diberikan terapi yang optimal.

Mati seluler (mati molekuler) atau mati biologis ialah suatu kematian

organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis.

Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak

dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati

biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan. Daya tahan hidup masing-

masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler

pada tiap organ tidak bersamaan. Mati biologis dimulai dengan neuron otak yang

menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung,

ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari

(Indriati et al., 2003).

Mati serebral (kematian kortek) adalah kematian akibat kerusakan kedua

hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan

kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi

dengan bantuan alat (Gunther et al., 2011)

3

Page 4: Referat Brain death

4

Mati sosial (status vegetatif yang menetatap/ Persistent Vegetative States)

merupakan kerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan

tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa

reflek yang utuh. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur

(Widjick, 2001).

Brain death atau mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral

ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan

batang otak (Lazar et al., 2001).

2.2 Definisi Brain Death

Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan

kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Sampai saat ini, terdapat beberapa

definisi dari batang otak.

Definisi mati otak yang pertama adalah dari komite ad hoc Harvard tahun

1968. Kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Definisi pertama, adanya

otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak

adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan

tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang,

pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip,

aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara,

refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang

plantar. Definisi yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang iselektris.

Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya

hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat seperti

barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter (Jacobalis,

1997)

Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society

(ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, mati otak didefinisikan sebagai

berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat

terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang

Page 5: Referat Brain death

5

otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah

intrakranial secara ireversibel.

Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh

National Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s

Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and

Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1)

terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2) terhentinya

semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel.

Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung

dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak

dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa

absennya refleks-refleks.

Definisi mati otak di Amerika (New York State De Department of Health,

2005). kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara

ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak

adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea.

Di Indonesia, seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian

batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini

seperti dituangkan dalam pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat

Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusulkan

dengan Surat Keputusan PB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut

dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung

telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian

batang otak

2.3 Etiologi

Penyebab kematian otak yang utama adalah sedera kepala traumatic,

cerebrovascular accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah henti jantung.

Waktu antara cedera ke diagnosis mati otak bervariasi dari jam samapai beberapa

hari, tergantung tingkat keparahan dan respon terhadap terapi (Shemie et al.,

2003).

Page 6: Referat Brain death

6

Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat,

tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam

kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab

kematian otak.

2.4. Patofisiologi

Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat

tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK

meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral

(TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak

terjadi (Lazar, 2001).

Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-

rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh

otak, yang kira-kira beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840

ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan

hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena

tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung

menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk

tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel

(Guyton 1996).

Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat

terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah

konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen.

Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan

meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen

akan meningkatkan aliran (wilson, 1994).

Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran

oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu

secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran

darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal

55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di

Page 7: Referat Brain death

7

atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran

darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung

lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100

mg/menit.

Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara

parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan

oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1)

tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun.

Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk

menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal

(Gunther et al., 2011).

Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa

dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat

diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat

teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan

berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian

pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan

vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos

pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi

sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan

pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan

reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit.

Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai

dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark (Guyton

1996).

Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.

Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai

mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat

dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan

Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas

mitokondria (Cryer, 2007).

Page 8: Referat Brain death

8

2.5 Kriteria Brain Death

Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de

passé (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan

hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil

elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite Ad hoc

pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan

kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak

adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks

batang otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut

menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam (Reis, 2007).

Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang

otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi

perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di

Kerajaan Inggris pada tahun 1996, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai

diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi

batang otak secara lengkap dan ireversibel.

Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya

perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai

pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun

1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga

penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut

merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang

dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien

dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat

untuk menentukan kematian otak (Doyle, 2007).

Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus

berdasarkan bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam

praktek. Laporan ini secara spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan

pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji

apnea dalam praktek. Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak,

Page 9: Referat Brain death

9

maupun metode terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan.

Beberapa diantaranya:

1. Kriteria Harvard

Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria

Harvard”, kunci diagnosis tersebut adalah:

a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive

coma).

b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.

c. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.

d. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.

e. EEG datar.

Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.

Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-

kurangnya 24 jam kemudian.

2. Kriteria Minnesota

Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan

mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou

mengusulkan “Kriteria Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan

dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG

(elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan

untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria Minnesota adalah

a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.

b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya

refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye

movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya

refleks tonus leher.

c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan

d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki

(Dimancescu, 2002).

Page 10: Referat Brain death

10

Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai

berikut: 1) Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk

respirasi spontan, dan 3) bersifat ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai

dengan berkurangnya pergerakan spontan dan berkurangnya respon motorik dan

vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-

refleks spinalis mungkin saja ada (Wijdicks, 2001) .

EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak

lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS),

yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak

ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit

yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral

dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat

terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-

obatan hipnotik-sedatif (Reis, 2007).

Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi

pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal

atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada

pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan

terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak

penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien

dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan

bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan

spontan (Doyle, 2007).

Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang,

maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa

keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif

yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi

selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas

walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan

terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya

kematian otak (Walton, 1997).

Page 11: Referat Brain death

11

2.6 Penetapan Diagnosis Brain Death

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak

diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan

refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila

temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan

konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat

diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan (NYSDH,

2005).

Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah, yaitu (1)

evaluasi etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi penyebab reversible;

(2) penemuan 3 temuan klinis mati otak; (3) konfirmasi test (Gunther et al., 2011).

Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya

respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. (Doyle, 2007).

2.6.1 Koma atau tidak adanya respon.

Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri pada

penekanan daerah supraorbita, sternum dan dasar kuku.

2.6.2 Absennya refleks batang otak.

a. Pupil.

Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon

terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang

berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien

yang mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm,

namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Yang harus

diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat

mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma

kornea atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil

dan menyebabkannya menjadi non reaktif.

Page 12: Referat Brain death

12

b. Pergerakan okuler.

Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala

da tes kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah dipastikan tidak

ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera

kepala. Pergerakan okuler dilihat dari dua reflex, yaitu reflex okulosefalik

dan tes kalori.

Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala secara

cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada

orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan

gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan

fleksi leher. Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan

kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan horizontal.

Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan perbedaan

temperatur untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf ke delapan. Jika

terjadi kematian batang otak, maka tidak akan muncul deviasi tonus dari

mata sebagai resfleks terhadap rangsangan yang diberikan. Posisi pasien

tidur terlentang, dengan kepala fleksi 30º, atau duduk dengan kepala

ekstensi 60º. Tes ini terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori cara Kobrak dan

tes kalori bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang

direkomendasikan adalah tes kalori kobrak (UDD,1997).

Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung jarum

disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan

air es (0ºC), sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam liang

telinga.Sebagai akibatnya terjadi transfer panas dari telinga dalam yang

menimbulkan suatu arus konveksi dalam endolimfe. Hal ini menyebabkan

defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding dengan gravitasi, dan

rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu cairan dingin yang dialirkan

ke liang telinga kanan akan menimbulkan nistagmus dengan fase lambat

ke kanan.

Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini

dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30ºC,

Page 13: Referat Brain death

13

sedangkan suhu air panas adalah 44ºC. Volume air yang dialirkan ke

dalam liang telinga masing-masing 250 mL, dalam waktu 40 detik

.Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul.Setelah liang

telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air

dingin juga kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga

kanan.Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air

dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori

bitermal ini untuk melihat dan membandingkan fungsi vestibuler.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori adalah

adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik,

yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat

antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma

fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat

pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi

respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi

langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat

menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi

dengan prosesus mastoideus yang ekimosis (FK Unhas, 2009).

c. Sensasi fasial dan respon motor fasial

Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan

refleks rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit saat diberikan

rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan

obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau

tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi

temporomandibuler.

Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma

fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang

otak.

Page 14: Referat Brain death

14

d. Refleks faring dan trakhea

Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior

dengan laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction

bronkhial juga harus tampak.

Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang

diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.

Gambar 2.1 Pemeriksaan reflex batang otak (Pandhita, 2005)

Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan

sebagai bukti fungsi batang otak (AAN, 1995)

a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi

patologis

b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan

punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)

c. Berkeringat, kemerahan, takikardi

d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau

peningkatan mendadak tekanan darah

e. Tidak-adanya diabetes insipidus

Page 15: Referat Brain death

15

f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi

triple

g. Refleks babinski

2.6.3 Apnea

Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya

pengujian. Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan:

a. suhu inti ≥ 36,5o C

b. tekanan darah sistolik ≥ 90 mm Hg,

c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam

sebelum pemeriksaan),

d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri ≥ 40 mm Hg), dan

e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri ≥ 200 mm Hg).

Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut:

a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang

oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi

Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri ≥ 200 mm

Hg

Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan

nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi resiko

hipoksik akibat dilakukannya tes apnea.

Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat

syarat terpenuhi (PO2 arteri arteri ≥ 200 mm Hg)

b. Lepas ventilator

c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-8lpm

d. Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati

dengan seksama pergerakan respirasi.

e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10 menit,

pasang kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan PCO2. Lalu

hubungkan kembali dengan ventilator.

Page 16: Referat Brain death

16

f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, atau

oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia,

segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa gas darah arteri.

Pasien pun segera di hubungkan kembali dengan ventilator tanpa

harus menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya

komplikasi tes apnea.

Interpretasi hasil tes apnea adalah:

Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar

PCO2 arteri ≥60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 ≥20mmHg

dari PCO2 awal untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia).

Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi.

Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2

kanul terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan

PCO2 < 60 mm Hg, atau peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini

diperlukan tes konfirmasi untuk diagnosis mati batang otak.

Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan

tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10

menit kemudian (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000.

Eduardo,2009).

Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah:

Asidosis (63%)

Hipotensi (24%)

Aritmia kardiak (3%)

Page 17: Referat Brain death

17

Gambar 2.2. Tes Apnea (Pandhita, 2005)

2.6.4 Tes Konfirmasi

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak

diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan

refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa

pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas

kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan

klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes

konfirmatif (Widjicks,2001; NYSDH,2005.

Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria

berikut:

a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi

adanya kematian otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau

memiliki potensi untuk sembuh.

b. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian

otak benar-benar terjadi atau tidak.

c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti

efek obat atau gangguan metabolik.

Page 18: Referat Brain death

18

d. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi

hasilnya.

e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah

dilakukan.

Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian

batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan

pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan

konfirmatif direkomendasikan (Widjicks, 2001):

a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat

b. Kelainan pupil sebelumnya

c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan

trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen

blokade neuromuskular

d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi

kronis CO2

Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada

pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang

mungkin terjadi (Widjicks, 2001). Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan

antara lain:

a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes

elektrofisiologis (elektroensefalografi, potensial pacuan

somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang otak, dan

respon pacuan motorik),

b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran

nuklir aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi

resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT),

c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan

oksigen vena jugularis, dan tes atropin.

Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat

menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada

klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara

Page 19: Referat Brain death

19

fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di

bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur subkorteks, seperti batang

otak atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan

cembung otak besar. Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap

sehingga dapat memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang

masih hidup di batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang

menguji validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga

memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor yang dapat

menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau isoelektris saat terjadi

overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya merupakan

kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu

maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk

penentuan kematian otak (Leis, 2007).

Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran

darah ke otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah

ke otak umumnya diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki

kepastian, karena konsep bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah

selama periode waktu tertentu akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya

kondisi hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan.

Kematian otak dapat disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek massa

yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan

darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak

memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol,

mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan

kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak memberikan metode yang

dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan kematian otak. Tes

tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat

sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat, dimana pasien

tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa

(karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran

nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT

Page 20: Referat Brain death

20

emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua

dimensi (Framnas et al., 2009).

.Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan

perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami

kematian otak secara patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi

dimana tekanan intrakranial menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti

kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak

dengan tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus

diingat bahwa adanya aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan

kematian otak. Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian

otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih

berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami kematian otak

daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah

terjadi kematian otak.

Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah

angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan

memndahkan pasien ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah

intrakranial dari arteri karotis interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan

intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-rata. (Young et al. 2006)

New York State Department of Health (2005) menyebutkan langkah-

langkah yang diperlukan dalam penetapan kematian batang otak adalah sebagai

berikut:

a. Evaluasi kasus koma

b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien

c. Penilaian klinis awal refleks batang otak

d. Periode interval observasi

1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam

2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval observasi

24 jam

Page 21: Referat Brain death

21

3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode

interval observasi 12 jam

4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam

e. Penilaian klinis ulang refleks batang otak

f. Tes apnea

g. Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi

h. Persiapan akomodasi yang sesuai

i. Sertifikasi kematian batang otak

j. Penghentian penyokong kardiorespirasi

2.7 Diferensial Diagnosis

Status vegetative menetap ( Persistent Vegetative States ) . Keadaan ini

berbeda dengan mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS yang

diperkirakan hilang adalah fungsi neokortikal dari otak. Pasien masih dapat

bernafas spontan dan reflex-reflex masih ada. Pasien tidak sadarkan diri dengan

mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria Harvard tidak terpenuhi.

Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi secara intelektual dan sosial sudah

mati. Kemungkinan pulih ke keadaan normal sangat sulit, hanya satu banding

seribu (Jacobalis, 1997).

2.8 Tindakan terhadap Pasien Mati Otak

Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak

(Jacobalis, 1997). Pasien dengan mati otak adalah manusia yang sudah mati,

Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak, sekalipun

elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal (Indries, 1997).

Jika semua criteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat

pendukung hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit

tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan tindakan

transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak diusahakan

Page 22: Referat Brain death

22

secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk

keperluan transplantasi calon resepien (Jacobalis, 1997).

Page 23: Referat Brain death

BAB III. KESIMPULAN

Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan

pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang

definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan

paru, dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis.

Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian

otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel,

termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma,

hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada pasien, perlu diperiksa kondisi-

kondisi serta kriteria eksklusi. Karena umumnya mati otak disebabkan oleh cedera

kepala berat, maka perlu ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten

dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil

yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak. Saat ini masih banyak

kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena masih kurangnya

literatur atau panduan yang berbasis bukti.

23

Page 24: Referat Brain death

24

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Neurology. 1995. Practice parameters for determining brain death in adults (summary statement), Neurology. 45(5):1012-4 Brock DW. 1999. The role of the public in public policy on the definition of death, in: Youngner SJ, Arnold RM, Schapiro R, eds. The definition of death: contemporary controversies. Baltimore: Johns Hopkins University PressFrampas, Videcoq, Kerfiller, Ricolfi. 2009. CT Angiography for Brain Death Diagnosis. Am J Neuroradiol 30:1566-1570Gunther et al. 2011. Determination of Brain Death: An Overview with a Special Emphasis on New Ultrasound Techniques for Confirmatory Testing. The Open Critical Care Medicine Journal,4: 35-43Guyton AC, Hall JE. 1996. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan metabolisme otak. dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; hal.975-83.Indriati, Etty. 2003. Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik. Berkala Ilmu Kedokterran 35(4): 231-239Jacobalis, Samsi. 1997. Hidup dan Kehidupan Manusia. Ebers Papyrus. 3 (1): 33-46Lazar, Shemie, Webster, Dickens. 2001. Bioethics for clinicians: Brain death. CMAJ. 164(6):833-836Luhulima JW. 2002. Anatomi III susunan saraf pusat jilid II. Makassar : bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; hal.1-2Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; hal.280.New York State Department of Health and New York State Task Force on Life and The Law. 2011. Guidelines for Determining Brain Death, Department of Health, New York New York State Department of Health. 2005. Guidelines for Determining Brain Death, Department of Health, New York Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.231/PB.A.4/07/90 Shemie, Doig, Baletsky. 2003. Advancing toward a modern death: the path from severe brain injury to neurological determination of death. CMAJ. 168(8): 993-995Taveras JM, Wood EH. 1997. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd ed. Baltimore : The William & Wilkins Company; p.650-1.Walton JN. 1977. Brains Diseases of the nervous system. 8th ed. New York: Oxford University Press..p.1169-70.Wijdicks. 2001. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J Med. 344 (16)

Page 25: Referat Brain death

25

Wilson LM. 1994. Sistem Saraf Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi Kedua. Jakarta: EGC; hal.902.