tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi...

14
TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Kekurangan gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Kehamilan yang disertai oleh penyakit atau kondisi seperti diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, usia remaja, dan vegetarian merupakan kehamilan berisiko tinggi. Pengertian Anemia Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari nilai normal (Hb < 11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab utama dari suatu penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan dari keadaan patologis atau penyakit tertentu. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang diderita makin berat (Wirakusumah 1998). Pada ibu hamil peningkatan volume plasma darah terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada trimester 1 dan 2 sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester 3 kehamilan (Cheryl 1996 diacu dalam Darlina 2003). Klasifikasi anemia Menurut Wirakusumah (1998), anemia secara morfologis dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandung seperti berikut. (1) Makrositik, (2) Mikrositik, dan (3) Normositik. Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan anemia non megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan sintesis DNA merupakan penyebab anemia megaloblastik. Sedangkan anemia non megaloblastik disebabkan oleh eritropoiesis yang dipercepat dan peningkatan luas permukaan membran.

Upload: doandieu

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

TINJAUAN PUSTAKA

Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil

Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun

pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling

rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Kekurangan

gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses

pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Kehamilan yang disertai oleh

penyakit atau kondisi seperti diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, usia

remaja, dan vegetarian merupakan kehamilan berisiko tinggi.

Pengertian Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih

rendah dari nilai normal (Hb < 11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia bisa juga

berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau

kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab utama dari suatu

penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan dari keadaan

patologis atau penyakit tertentu. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang

diderita makin berat (Wirakusumah 1998). Pada ibu hamil peningkatan volume

plasma darah terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah

merah menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada trimester 1 dan 2

sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir

kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester 3 kehamilan

(Cheryl 1996 diacu dalam Darlina 2003).

Klasifikasi anemia

Menurut Wirakusumah (1998), anemia secara morfologis dapat

diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandung seperti

berikut. (1) Makrositik, (2) Mikrositik, dan (3) Normositik. Pada anemia makrositik

ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga

bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan

anemia non megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan

sintesis DNA merupakan penyebab anemia megaloblastik. Sedangkan anemia

non megaloblastik disebabkan oleh eritropoiesis yang dipercepat dan

peningkatan luas permukaan membran.

5

Anemia mikrositik adalah anemia yang disebabkan oleh mengecilnya

ukuran sel darah merah merupakan salah satu tanda anemia mikrositik.

Penyebabnya adalah defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin, dan

heme, serta gangguan metabolisme besi lainnya. Sedangkan pada anemia

normositik ukuran sel darah merah tidak berubah. Penyebab anemia jenis ini

adalah kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara

berlebihan, penyakit, penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.

Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan karena kekurangan zat

besi (Fe) sehingga disebut Anemia Gizi Besi. Anemia gizi besi adalah anemia

yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Artinya, konsentrasi

hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel

darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Semakin berat

kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita

(Wirakusumah 1998). Anemia defisiensi gizi besi merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang serius. WHO (2001) memperkirakan sekitar 40.0% penduduk

dunia terkena anemia defisiensi zat besi. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu

hamil secara global tahun 2000 sebesar 51.0% (Aritonang 2010), di Indonesia

sebesar 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat sebesar 51.7%

pada tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta prevalensi anemia ibu hamil di Kota

Bogor tahun 2002 sebesar 40.4.0% (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001)

menyatakan bahwa prevalensi anemia >20% menunjukkan anemia masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Penyebab Umum Anemia Gizi Besi

Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya anemia gizi besi

adalah zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia gizi

dibanding defisiensi zat gizi lain, seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin,

dan trace elements lainnya. Itulah sebabnya anemia gizi sering diidentikkan

dengan anemia gizi besi. Wirakusumah (1998) menyatakan secara umum, faktor

utama yang menyebabkan anemia gizi besi adalah;

1. Kurangnya konsumsi zat besi dan zat gizi lainnya yang berasal dari makanan

terkait proses pembentukan sel darah merah. Apabila zat-zat gizi tersebut

tidak terpenuhi kecukupannya berdampak terhadap kurangnya prosuksi sel

darah merah dalam tubuh sehingga mengakibatkan anemia.

6

2. Tidak terpenuhinya kebutuhan zat besi selama masa kehamilan sebab

rendahnya absorpsi zat besi yang ada dalam makanan ke dalam tubuh.

Pangan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme memiliki

penyerapan yang lebih rendah dibandingkan dengan pangan protein hewani

sebagi sumber zat besi heme. Zat besi non heme harus dibantu

penyerapannya dengan vitamin C. Oleh karena itu tingkat kecukupan

vitamin C harus terpenuhi tingkat kecukupannya agar penyerapannya optimal

dan terhindar dari anemia.

3. Pendarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah merah.

Pendarahan dapat terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak yang

bisa disebut pendarahan ekternal dan terjadi pada waktu kecelakaan. Selain

itu, pendarahan kronis juga dapat mengakibatkan kehilangan sel darah

merah dalam jumlah banyak. Yang dimaksud pendarahan kronis adalah

pendarahan yang sedikit demi sedikit, tetapi berlangsung secara terus

menerus. Pendarahan jenis ini dapat disebabkan oleh kanker saluran

pencernaan, wasir, atau peptik ulser.

4. Investasi cacing tambang pada masyarakat di daerah tertentu menyebabkan

banyak darah yang keluar, karena cacing tambang menghisap darah. Selain

itu, pada gadis remaja dan wanita dewasa, kehilangan darah dalam jumlah

banyak bisa terjadi akibat menstruasi.

Faktor lain yang berpengaruh pada kadar hemoglobin ibu hamil selain

dari konsumsi yaitu karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga

cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk

keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002). Berdasarkan

Laporan SKRT (1985-1986) dalam Wijianto (2002) bahwa semakin rendah

jumlah paritas, maka semakin rendah angka prevalensi anemia. Selain itu, usia

ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Umur seorang ibu

berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem reproduksi wanita yang

sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur

<20.0 tahun dan >35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan

pada umur <20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil,

mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang

mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat

gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur >35 tahun terkait dengan

7

kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang

sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Apabila zat gizi yang dibutuhkan

tidak terpenuhi maka akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dengan bayinya

(Wijianto 2002).

Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan

diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah

menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa

ibu hamil ataupun bayinya. Menurut Suhardjo (1989) dalam Permatahati (2012)

menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih

untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi

tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi

keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam

memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi

tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga. Tristiyanti (2006)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai

hubungan nyata dengan prilaku gizi dari makanan yang dikonsumsinya.

Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh

dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya. Menurut Junadi

(1998) dalam Permatahati (2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang

lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya

tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan

bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi

makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk

menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006) status pekerjaan

biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu

hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar

dibanding dengan yang bekerja. Hal ini kemungkinan disebabkan pada ibu yang

bekerja akan dapat menyediakan makanan terutama yang mengandung sumber

zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Biasanya

dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadi perubahan-

perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih

banyak untuk pangan tidak menjamin konsumsi pangan akan lebih beragam.

Terkadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah

pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama

8

(1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan

kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan

gizi.

Dampak Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil

Wirakusumah (1998) menyatakan bahwa anemia gizi besi dapat

berakibat fatal bagi ibu hamil karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk

melahirkan. Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu

memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungannya.

Oleh karena itu, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir

rendah, atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita

anemia gizi besi.

Selain itu Depkes (1998) menyakatan anemia dalam kehamilan yang

tidak diterapi dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada ibu, persalinan dan

janin. Pengaruh buruk bagi ibu antara lain (1) timbulnya gejala umum anemia

yaitu lesu, lemah, letih, lalai dan lunglai (5L), (2) pendarahan saat melahirkan, (3)

preeklampsi, (4) abortus, (5) kematian ibu dan (6) hipoksia akibat anemia dapat

menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit (Depkes 1998).

Muslimatun et.al (2000) menyatakan bahwa anemia pada masa kehamilah

berdampak ibu berisiko melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat

badan lahir rendah (BBLR), atau bayi lahir dalam keadaan meninggal

Allen et al. (2000) juga menyatakan bahwa rendahnya kadar hemoglobin yang

terus menerus terjadi selama masa kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi

dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Penilaian Status Gizi Besi

Perkembangan defisiensi besi terbagi atas tiga tahapan. Tahapan

defisiensi besi ini umumnya digunakan untuk menetapkan status besi di dalam

tubuh seseorang dan menunjukkan tingkatan defisiensi besi yang terjadi

(Briawan 2008). Tiga tahapan tersebut adalah perubahan besi pada simpanan,

defisiensi besi tanpa anemia, dan defisiensi besi dengan anemia (Gibson 2005).

Tahap pertama terjadi ketika terjadi penurunan yang bersifat progresif

simpanan besi di hati. Pada tahap ini, suplai besi ke dalam setiap bagian

fungsional tubuh tidak terpengaruh dan hemoglobin dalam keadaan normal.

Pada tahap ini, konsentrasi serum feritin menurun. Oleh karena itu, pengukuran

serum feritin dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya defisiensi besi

tahap pertama (Gibson 2005).

9

Defisiensi tahap kedua ditunjukkan dengan habisnya cadangan besi dan

adanya penurunan suplai besi ke dalam sumsum tulang sehingga produksi sel

darah merah terganggu. Pada tahap ini juga terjadi penurunan kejenuhan

transferin, dan kenaikan konsentrasi eritrosit protoporfirin (Gibson 2005), serta

tingginya serum transferin reseptor (STfR) (WHO 2004 dalam Briawan 2008).

Kadar hemoglobin mungkin mulai menurun, tetapi umumnya tidak jauh dari

rentang normal (Gibson 2005).

Tahap ketiga merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tahap ini

ditandai dengan habisnya simpanan besi, penurunan kadar besi dalam sirkulasi,

serta terjadi penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Penurunan kadar

hemoglobin dan hematokrit dapat dilihat dari ukuran sel darah yang lebih kecil

dari normal (mikrositik) dan warnanya lebih pucat (hipokromik). Kondisi ini

disebut sebagai anemia defisiensi besi dan sering disertai gejala-gejala terkait

anemia (Gibson 2005).

Indikator yang dapat digunakan untuk menilai status besi yaitu kadar

hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), dan mean

cell volume (MCV). Kombinasi antara pengukuran Hb dan serum feritin (SF) akan

meningkatkan ketepatan dalam pengukuran status besi. Jika kedua indikator ini

menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb

normal kemungkinan pada individu simpanan besinya berkurang (AISAP 2005

dalam Briawan 2008).

Penggunaan indikator serum feritin tidak dianjurkan pada populasi

dengan kemungkinan infeksi tinggi karena keadaan infeksi mempengaruhi kadar

serum feritin (WHO & CDC 2004 dalam Briawan 2008). Jika biaya menjadi

kendala dalam penelitian maka Indikator Hb dapat digunakan tanpa pengukuran

SF dan STfR (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Hemoglobin dapat digunakan

untuk mengukur status besi pada beberapa populasi. Pemilihan indikator

hemoglobin dengan alasan lebih sederhana dan membutuhkan biaya lebih

rendah dibandingkan indikator lain (Gibson 2005). Berdasarkan WHO dan CDC

(2004) dalam Briawan (2008), pengukuran kadar hemoglobin sangat penting

untuk mengetahui tingkat keparahan dari defisiensi besi.

Salah satu metode pengukuran kadar hemoglobin yang biasa dilakukan

yaitu metode Cyanmethemoglobin. Merupakan salah satu metode

untuk mengukur kadar hemoglobin menggunakan spektrofotometer

dengan prinsip hemoglobin yang ada pada sel darah merah diubah menjadi

10

cyanmenthemoglobin dengan larutan drabkin yang diukur pada

panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin berperan sebagai pengubah

semua derivat hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin yang berwarna merah.

Tinggi rendahnya nilai absorbansi atau intensitas warna merah akan menentukan

kadar hemoglobin dari sampel. (Kee 2007). Tabel 1 berikut adalah cut off point

kadar hemoglobin sebagai indikator anemia.

Tabel 1 Nilai Cutoff Hemoglobin

Umur (tahun) Nilai Cut off Hemoglobin untuk anemia (g/L)

Pria dan Wanita Pria Wanita

0,5-5 < 110 - -

5-11 < 115 - -

12-13 < 120 - -

>14 (Pria) - 130

>14 (Wanita) - - <110 (hamil)

<120 (tidak hamil)

Sumber : Gibson (2005)

WHO (2005) menggolongkan tingkatan anemia ibu hamil dengan kategori

normal, anemia ringan dan anemia berat. Nilai ambang batas yang digunakan

untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun

2005 yang ditetapkan dalam tiga kategori dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia ibu hamil

Tingkatan Anemia Kadar Hemoglobin (g/dL)

Normal ≥ 11 Ringan 8-10 g/dL Berat < 8 g/dL

Sumber : WHO 2005

Status Gizi Ibu Hamil

Kelompok ibu hamil merupakan kelompok yang memerlukan pengukuran

khusus dalam penentuan status gizinya. Penentuan status gizi menggunakan

Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak berlaku pada kondisi fisiologis hamil.

Oleh karena itu, status gizi ibu hamil ditetapkan dengan menggunakan

pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) (Anggraeni 2012). Apabila nilai LILA

<23.5 cm maka termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan

apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001

yang diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang

KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir

Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa

persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pascapersalinan yang sulit

11

karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan

menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri.

Konsumsi Pangan Ibu Hamil

Konsumsi pangan ibu hamil adalah jenis pangan yang dimakan oleh ibu

hamil dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis,

maupun sosial (Baliwati et.al 2004). Ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga,

maupun masyarakat. Setiap metode masing-masing mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan untuk menilai

konsumsi pangan harus dipilih yang paling relevan dan cocok dengan penelitian.

Kombinasi antara metode yang satu dengan metode yang lain dapat dilakukan

untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu, dapat pula dilakukan

modifikasi terhadap suatu metode yang digunakan dengan menyesuaikannya

terhadap karakteristik masyarakat setempat (Kusharto 2010).

Penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan dengan berbagai

cara dan metode. Untuk menentukan kuantitas pangan yang dikonsumsi

seseorang, metode yang dapat digunakan antara lain metode recall 24 jam,

metode ulangan recall 24 jam, metode pencatatan makanan (food record),

metode penimbangan makanan, dan metode riwayat makanan (dietary history).

Sedangkan untuk menilai frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi, metode yang

dapat digunakan adalah menggunakan food frequency questionnaire (FFQ).

Frekuensi konsumsi pangan ini dapat memberikan gambaran kualitatif tentang

pola konsumsi pangan (Gibson 2005).

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih

pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik,

sosial dan budaya (Sanjur 1982). Kebiasaan makan merupakan hasil interaksi

anatar beberapa peubah yang terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur (1982),

kebiasaan makan mencakup empat komponen : konsumsi pangan, preferensi

terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan sosial

budaya pangan. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006), kebiasaan

makan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan segi gizi, yaitu kebiasaan

makan yang baik dan kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan makan yang baik

adalah kebiasaan makan yang mendorong terpenuhinya kebutuhan gizi.

Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang

12

menghambat terpenuhinya kebutuhan gizi. Kebiasaan makan bahan makanan

dari sumber protein dan zat besi berpengaruh terhadap proses pembentukan sel

darah merah terkait dengan komponen pembentuk hemoglobin (Sayogo 2007).

Pangan Sumber Protein, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial

berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi

genetik, neurotransmmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk

pertumbuhan (Sayogo 2007). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi

mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralisasi tubuh,

membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan

esensial dalam mengangkut zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari

darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel.

Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging,

unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk

olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2002).

Sayogo (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya pangan hewani

mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati.

Pangan protein hewani sebagai sumber zat besi heme yang penyerapannya

lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati sebagai sumber zat besi non

heme.

Pangan Sumber Zat Besi, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan sebagai

inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu

penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi

terutama oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam

setiap jaringan tubuh (Wirakusumah 1998). Besi merupakan mineral mikro yang

paling banyak terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5

di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2002).

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat

dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat besi non heme

dalam makanan nabati. Besi heme merupakan bagian kecil dari besi yang

diperoleh makanan. Akan tetapi yang dapat diabsorbsi mencapai 25%

sedangkan besi non heme hanya 5% (Almatsier 2002). Konsumsi pangan dapat

menjadi faktor penyebab terjadinya anemia. Pangan yang dikonsumsi bila

termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi, mampu memberikan

13

kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani

dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat

besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami

kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia.

Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan

dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et.al (1978) dalam Permatahati

(2012) menyatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal

bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong

penyerapan zat besi. Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme,

yang bioavailabilitasnya tinggi sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat

berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk

nabati (Achadi 2007). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non

heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi non heme. Daging,

ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi.

Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu

penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga

tidak dapat membantu penyerapan besi. Lebih lanjut (Alsuhendra 2005)

menyebutkan bahwa polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu

mengikat besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga

zat besi tidak dapat diserap dengan baik.

Metabolisme Zat Besi (penyerapan, transportasi, penyimpanan)

Di dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin

dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Ferritin dan hemosiderin merupakan

simpanan zat besi ada di hati dan sumsum tulang. Simpanan zat besi sebagai

feritin dan hemosiderin sebanyak 30% dalam hati, sumsum tulang sebanyak 30%

dan sisanya berada dalam limfa dan otot. Simpanan zat besi yang dapat

dimobilisasi untuk keperluan tubuh berkisar 50 mg sehari (IOM-FNB 2001;

Almatsier 2002)

Ferritin bersikulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam

tubuh. Pengukuran ferritin dalam serum merupakan indikator penting untuk

menilai status besi. Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi antara 0-1000 mg

dimana jumlahnya pada wanita lebih rendah dari pria. Simpanan besi pada pria

dewasa berkisar antara 500-1000 mg sedangkan pada wanita dewasa lebih

rendah lagi dan jarang melebihi 500 mg. Wanita di negara berkembang banyak

yang tidak mempunyai cadangan besi karena keterbatasan biologis rendah dan

14

sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’Brien et al. 1999).

Total besi pada manusia dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin,

jumlah kompartemen, simpanan besi, dan konsentrasi Hb. Hemoglobin

merupakan senyawa protein heme yang mengandung Fe++. Diperkirakan bahwa

hemoglobin berisi lebih dari 65% zat besi tubuh. Hemoglobin berfungsi

mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang

lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah

tersebut dapat mengangkut 0.03 gram oksigen. Perhitungan perkiraan

penyerapan zat besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu penyerapan

zat besi tinggi (15%), penyerapan zat besi sedang (10%), dan penyerapan besi

rendah (5%) (Gibson 2005).

Banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukkan hemoglobin

umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik,

dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali.

Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan

hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial sumsum tulang,

hati dan limfa. Eksresi zat besi sebanyak 0.5- 1.0 mg per hari yang dikeluarkan

bersama-sama urin, keringat dan feses. Zat besi dalam hemoglobin dapat pula

keluar dari tubuh melalui pendarahan, menstruasi, dan saluran urin. Siasanya

dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan sedangkan kelebihan besi

dapat mencapai 200-1500 mg disimpan sebagai protein ferritin dan hemosiderin

di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%), dan selebihnya di dalam

limfa dan otot (Mahan et.al 2004).

Pangan Sumber Vitamin A, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Vitamin A dalam bentuk retinol terdapa pada makanan hewani seperti

hati, kuning telur, krim, mentega, dan susu difortifikasi. Sedangkan dalam bentuk

karoten terdapat pada makanan nabati yaitu sayuran berwarna hijau dan jingga,

serta buah-buahan. Vitamin A berfungsi pada siklus penglihatan yaitu

penyesuaian terhadap terang dan gelap serta berguna untuk pertumbuhan

jaringan terutama kulit (Almatsier 2009).

Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di

dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe

tubuh untuk dapat mensintesa Hb. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh

kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi

pada proses erythropoesis (Setiyobroto et.al 2004) dalam (Andriani 2012).

15

Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Vitamin C banyak ditemukan pada cabe hijau, buah sitrus (jeruk lemon),

strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau dan sayuran hijau lainnya serta semangka.

Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu proses penyerapan zat besi non

heme dari bahan pangan ke dalam tubuh dengan mereduksi bentuk besi ferro

menjadi ferri agar lebih mudah diserap usus halus (Sayogo 2007). Apabila terjadi

kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap tidak akan optimal

sehingga persediaan zat besi dalam tubuh akan berkurang dan lambat laun

menurunkan kadar hemoglobin darah sebagai salah satu indikator status

anemia (Khomsan 2002).

Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Asam folat banyak ditemukan pada sayuran berdaun hijau, hati ayam

atau sapi, kacang merah, dan kedelai (Almatsier 2009). Asam folat berfungsi

sebagai salah satu komponen pembentuk hemoglobin dalam proses

pembentukan sel dalrah merah (Khomsan 2002). Ketika makanan sumber asam

folat dimakan, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hari

menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang.

Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah

merah (Khomsan 2002). Apabila terjadi kekurangan asam folat maka akan

menghambat proses pembentukan sel darah merah yang berdampak terhadap

penurunan kadar hemoglobin sebagai salah satu indikator anemia.

Pangan Sumber Seng (Zn), Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Seng banyak ditemukan pada daging, makanan laut seperti lobster,

kerang, ikan, dan daging kepiting, kacang-kacangan dan produk olahan susu

seperti yougurt dan keju (Almatsier 2009). Seng memegang peranan esensial

dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor

pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng memiliki peran dalam berbagai

aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan

degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Sebagai bagian dari

karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan dalam keseimbangan

asam basa di dalam tubuh. Peran penting lain dari seng adalah sebagai bagian

integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam

sintesis DNA dan RNA. Seng juga berperan dalam perkembangan fungsi

reproduksi (Almatsier 2004).

16

Berdasarkan Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012)

seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat

berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam

pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin

biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan,

kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung

porsi besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit

transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng akan lebih

rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan

besi akan terhambat oleh seng.

Angka dan Tingkat Kecukupan Gizi pada Ibu Hamil

Gizi pada ibu hamil merupakan hal penting yang harus dipenuhi selama

kehamilan berlangsung. Risiko akan kesehatan janin yang sedang dikandung

dan ibu yang mengandung akan berkurang jika ibu hamil mendapatkan gizi yang

seimbang. Bersama dengan usia kehamilan yang terus bertambah, makan

bertambah pula kebutuhan gizi ibu hamil, khususnya ketika usia kehamilan

memasuki trimester kedua. Pada saat trimester kedua, janin tumbuh dengan

sangat pesat, khususnya mengenai pertumbuhan otak dan sistem syarafnya

(Sayogo 2007).

Selama kehamilan, angka kecukupan zat gizi yang terkait dengan proses

pembentukan hemoglobin seperti energi, protein, vitamin C, asam folat, zat besi

dan seng pun meningkat berdasarkan acuan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis

ibu hamil trimester ke II. Angka kecukupan gizi energi, protein, vitamin C,

vitamin A asam folat, zat besi dan seng masing-masing sebesar 2100.0 kkal,

67.0 g, 85.0 mg, 800 RE, 600.0 µg, 26.0 mg dan 11.5 mg. Perhitungan asupan

zat gizi seseorang dapat menggunakan Daftar Kecukupan Gizi (DKG) yaitu daftar

yang memuat angka-angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari bagi

orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah

memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara

dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat

aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan gizi seseorang

(Hardinsyah & Briawan 1994).

Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang

berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan

hampir semua orang sehat (Almatsier 2009). Namun, angka kecukupan ini

17

digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti

merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok

penduduk (Almatsier 2002). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat

gizi dilakukan dengan membandingkan antar asupan zat gizi aktual (nyata)

dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian

dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan zat gizi dirumuskan sebagai berikut

menurut Hardinsyah & Briawan 1994:

Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menurut Depkes

(1996) menjadi (1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang

jika 70-79% AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG, (4) normal jika

90-119% AKG dan (5) kelebihan jika ≥120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi

mikro seperti vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu kurang

jika <77% AKG dan cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).

Tingkat kecukupan zat gizi =

x 100%