metabolisme besi

29
TINJAUAN PUSTAKA Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Untuk memperoleh status gizi yang baik, seseorang memerlukan makanan yang seimbang yaitu yang mengandung zat gizi: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup. Keenam macam zat gizi tersebut diperlukan manusia dalam jumlah yang berbeda- beda tergantung tahap atau masa perkembangan hidupnya. Kekurangan atau kelebihan salah satu atau lebih zat gizi tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan masalah gizi atau malnutrition (Almatsir 2002). Pada Tabel 1 dapat dilihat angka kecukupan berbagai macam zat gizi untuk wanita di Indonesia. Tabel 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari Deskripsi 16-8 tahun 19-29 tahun 30-49 tahun Berat badan (kg) 50 52 55 Tinggi badan (cm) 150 156 156 Energi (Kal) 2 200 1 900 1 800 Protein(g) 55 50 50 Vitamin A (μg) 600 500 500 Vitamin D (IU) 5 200 200 Vitamin E (mg) 15 15 15 Vitamin C (mg) 75 75 75 Thiamin (mg) 1.1 1.0 0.9 Riboflavin (mg) 1.0 1.1 1.1 Niasin (mg) 14 14 14 Vitamin B-6 (mg) 1.2 1.3 1.3 Vitamin B-12 (μg) 2.4 2.4 2.4 Asam Folat (μg) 400 400 400 Vitamin K (μg) 55 55 55 Kalsium (mg) 1 000 800 800 Fosfor (mg) 240 240 270 Magnesium (mg) 1 000 600 600 Fluor (mg) 2.5 2.5 2.7 Besi (mg) 26 26 26 Mangan (mg) 1.6 1.8 1.8 Seng (mg) 14 9.3 9.8 Selenium (μg) 30 30 30 Yodium (μg) 150 150 150 Sumber: LIPI (2004)

Upload: alfi-kamalia

Post on 27-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metabolisme Besi

7

TINJAUAN PUSTAKA

Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS)

Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi,

penyerapan dan penggunaan makanan. Untuk memperoleh status gizi yang baik,

seseorang memerlukan makanan yang seimbang yaitu yang mengandung zat gizi:

karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup.

Keenam macam zat gizi tersebut diperlukan manusia dalam jumlah yang berbeda-

beda tergantung tahap atau masa perkembangan hidupnya. Kekurangan atau

kelebihan salah satu atau lebih zat gizi tersebut jika berlangsung lama akan

menimbulkan masalah gizi atau malnutrition (Almatsir 2002). Pada Tabel 1 dapat

dilihat angka kecukupan berbagai macam zat gizi untuk wanita di Indonesia.

Tabel 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari

Deskripsi 16-8 tahun 19-29 tahun 30-49 tahun

Berat badan (kg) 50 52 55

Tinggi badan (cm) 150 156 156

Energi (Kal) 2 200 1 900 1 800

Protein(g) 55 50 50

Vitamin A (μg) 600 500 500

Vitamin D (IU) 5 200 200

Vitamin E (mg) 15 15 15

Vitamin C (mg) 75 75 75

Thiamin (mg) 1.1 1.0 0.9

Riboflavin (mg) 1.0 1.1 1.1

Niasin (mg) 14 14 14

Vitamin B-6 (mg) 1.2 1.3 1.3

Vitamin B-12 (μg) 2.4 2.4 2.4

Asam Folat (μg) 400 400 400

Vitamin K (μg) 55 55 55

Kalsium (mg) 1 000 800 800

Fosfor (mg) 240 240 270

Magnesium (mg) 1 000 600 600

Fluor (mg) 2.5 2.5 2.7

Besi (mg) 26 26 26

Mangan (mg) 1.6 1.8 1.8

Seng (mg) 14 9.3 9.8

Selenium (μg) 30 30 30

Yodium (μg) 150 150 150

Sumber: LIPI (2004)

Page 2: Metabolisme Besi

8

Sebagaimana negara yang sedang berkembang, hingga kini Indonesia masih

mengalami berbagai masalah gizi, khususnya gizi kurang yang terutama dialami

oleh keluarga miskin. Secara khusus, terdapat empat masalah gizi utama yang

masih dihadapi Indonesia yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia

gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi dan protein (KEP).

Masalah gizi yang banyak ditemui pada kelompok WUS 18-45 tahun adalah AGB

(Atmarita 2005).

Pertumbuhan WUS masih dipengaruhi oleh perubahan hormonal, kognitif,

serta emosi. Pada masanya ini WUS memerlukan makanan dengan zat-zat gizi

yang optimal agar pembentukan butir darah merahnya cukup. Bila konsumsi

makanan tidak mencukupi, sehingga gizi yang dibutuhkan pun kurang, maka

status gizinya akan terganggu. Hal ini berpengaruh pula pada menurunnya

kebugaran tubuhnya apalagi jika sebagai pekerja, energi yang harus

dikeluarkannya cukup banyak (Almatsier 2002).

Menurut PKK Depkes RI (2004), para pekerja WUS selama ini kebanyakan

lebih tergiur pada makanan yang sedang ngetren, yang sebagian besar tidak

mengacu pada pola makan yang mencukupi asupan zat gizi optimal Selain itu,

rendahnya upah yang diterimanya sering menjadi alasan mengapa untuk makan

siangnya para pekerja wanita tersebut hanya membeli makanan kecil/jajanan yang

tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Kondisi ini yang membuat

mereka sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro, terutama zat besi sehingga

mengakibatkan AGB.

Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain

Zat gizi mikro dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di

dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara

keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan

ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam golongan mineral mikro tubuh yang

telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi (Fe), seng (Zn),

selenium (Se), yodium (I), Fluor (F) dan mangan (Mn).

Besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam

tubuh manusia dan hewan. Besi merupakan elemen kunci dalam metabolisme

hampir semua organisme hidup. Pada manusia, besi merupakan komponen

Page 3: Metabolisme Besi

9

penting dari ratusan protein dan enzim. Dalam bentuk padat, besi sebagai metal

atau senyawa besi. Dalam larutan, besi ada dalam bentuk ferro dan bentuk ferri.

Besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai

pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam

senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot juga ada dalam sel.

Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon

dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim. Besi dapat disimpan

sementara dalam suatu bentuk larut protein plasma atau bentuk tak larut dalam

hati (IOM 2001-FNB; Gibson 2005).

Selain pada Hb, besi juga ditemukan pada mioglobin, hemosiderin, feritin

serta sejumlah protein dan enzim (misalnya, enzim sitokrom e oksidasi). Kadar

total besi dalam senyawa-senyawa tersebut sekitar 15-40 persen. Mioglobin juga

berfungsi untuk mengangkut oksigen. Oksigen pada mioglobin juga terikat pada

Fe++

. Oksigen yang telah diangkut Hb dari paru-paru ke jaringan tubuh akan

diberikan ke mioglobin. Mioglobin akan memberikan oksigen tersebut ke organel

sel yang mengkonsumsi oksigen yaitu mitokondria. Oksigen pada mitokondria

digunakan untuk proses oksidasi sehingga dihasilkan energi.

Fungsi dan Metabolisme Besi

Besi mempunyai fungsi penting seperti sebagai alat angkut oksigen, sebagai

alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi

enzim di dalam jaringan tubuh. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai

hemoglobin, myoglobin, enzim diperlukan dalam fungsi metabolisme. Besi

mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut elektron mitokondria dan

sintesis DNA. Total besi tubuh pada manusia adalah sekitar 3.8 g, pada wanita

kurang lebih 2.3 gram (Vijayaraghavan 2009), adapun menurut Almatsier (2002)

besi tubuh pada manusia dewasa mencapai 3-5 gram. Sebesar 60 sampai 80

persen besi dalam tubuh manusia terdapat pada Hb. Dalam tubuh, senyawa besi

dikelompokkan menjadi dua yaitu (a) senyawa fungsional (esensial) dan

berhubungan dengan fungsi enzimatik atau metabolik seperti hemoglobin (Hb),

mioglobin, non heme enzim, transferin dan (b) senyawa besi yang berhubungan

dengan transportasi dan penyimpanan. Alur perjalanan besi dalam tubuh dapat

dilihat pada Gambar 1.

Page 4: Metabolisme Besi

10

Gambar 1 Skema perjalanan Fe di dalam tubuh

(Whitney & Rolfes 1999)

Dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam

hati, limpa dan sumsum tulang. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang yaitu

sebagai feritin dan hemosiderin. Simpanan zat besi sebagai feritin dan

hemosiderin sebanyak 30%, sumsum tulang belakang 30% dan selebihnya di

dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg sehari dapat

dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb (IOM-FNB 2001;

Almatsier, 2002).

Feritin bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam

tubuh. Pengukuran feritin didalam serum merupakan indikator penting untuk

menilai status besi. Jumlah besi dalam tubuh bervariasi dari 0-1000 mg dimana

Kelebihan disimpan

sebagai feritin Sebagian

hilang melalui sel

usus halus yang

dibuang Fe dalam alat transport

transferin reseptor

Sel mukosa usus halus: Fe pindah ke alat

transport transferin reseptor

Fe diangkut Transferin

mukosa

Fe dalam saluran cerna

Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah dan

mengikatkan ke transferin

Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb

sel darah merah

Darah mengangkut Fe

sebagai Hb sel darah merah

Fe dibawa darah oleh

transferin

Kelebihan disimpan sebagai feritin &

hemosiderrin

Sebagian hilang melalui

darah

Sebagian hilang dalam

keringat, kulit, urin

Menyimpan kelebihan

sebagai metalotionin

Page 5: Metabolisme Besi

11

jumlah pada wanita lebih rendah dari pria. Pada pria dewasa simpanan besi

berkisar 500-1000 mg, sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah dan jarang

melebihi 500 mg. Banyak wanita di negara sedang berkembang tidak mempunyai

cadangan besi karena ketersediaan biologis rendah dan sumber besi heme dalam

makanan terbatas (O’ Brien et.al, 1999). Total besi pada manusia sangat

bervariasi dengan berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen simpanan besi

dan konsentrasi Hb. Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang

mengandung Fe ++

. Hemoglobin adalah senyawa yang paling banyak dan sangat

mudah disampel dari protein-protein heme; diperkirakan berisi lebih dari 65%

besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari

paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah

mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0,03 gram oksigen

(Gibson 2005).

Metabolisme besi termasuk unik karena kecilnya pertukaran besi dengan

lingkungan setiap harinya. Hal ini tergambar dari hanya 1 mg yang harus diserap

tubuh untuk mempertahankan keseimbangan besi karena ekskresi. Rangkaian

metabolisme besi di dalam tubuh terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan,

transportasi, pemanfaatan/pengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Pada Gambar

2 dapat dilihat skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa.

Penyerapan besi dalam tubuh terjadi di bagian atas duodenum dengan

bantuan alat angkut protein khusus. Dalam bahan makanan besi terdapat dalam

bentuk besi-hem (seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan

hewani) dan besi-nonheme (dalam makanan nabati). Absorpsi besi hem dapat

mencapai 25%, sedangkan besi-nonhem (ion besi) hanya 5%. Agar dapat

diabsorpsi besi nonhem harus berada dalam bentuk terlarut. Di dalam lambung

besi nonhem diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi ferro dan

dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam amino yang

mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di dalam duodenum, sebagian

besar besi dalam bentuk ferri akan mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut

seperti di atas. Besi fero larut pada pH 7 sehingga dapat diserap. Taraf

penyerapan besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan

Page 6: Metabolisme Besi

12

Gambar 2 Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa

(Krause & Mahan 2004)

tubuh. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai

alat angkut protein yang berbolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus

halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna

untuk mengangkut besi lain. Di dalam sel mukosa besi dapat mengikat apoferitin

dan membentuk feritin sebagai simpanan besi sementara dalam sel. Di dalam sel

mukosa apoferitin dan feritin bergabung masuk melewati membran basoteral

secara difusi dan siap untuk diabsorpsi melalui transpor aktif.

Penyebaran (transpor) besi dari sel mukosa ke sel-sel tubuh berlangsung

lebih lambat dibandingkan penerimaannya pada saluran cerna, bergantung pada

simpanan besi dalam tubuh dan kandungan besi dalam makanan. Laju transpor

besi diatur oleh jumlah dan tingkat kejenuhan transferin. Besi dilepaskan dari

feritin dalam bentuk ferro masuk ke plasma darah, sedangkan apoferitin yang

DESQUAMASI

SEL-SEL

Page 7: Metabolisme Besi

13

terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel

mukosa. Setelah masuk kedalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi

menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu

transferin. Plasma darah selain menerima besi yang berasal dari penyerapan

makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel

yang telah mati. Plasma juga harus mengirim besi ke sumsum tulang untuk

pembentukan hemoglobin, ke sel endothelial untuk disimpan, dan ke semua sel

untuk fungsi enzim yang mengandung besi. Jumlah besi yang setiap hari yang

diganti (turnover) sebanyak 20-25 mg per hari, di mana hanya sekitar 1 mg yang

berasal dari makanan.

Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin

umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik,

dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali.

Besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan

hemosiderin di dalam sel parenkhim hepatic, sel retikuloendotelial sumsum

tulang, hati dan limfa.

Ekskresi dari besi sebanyak 0,5-1,0 mg per hari, dikeluarkan bersama-sama

urin, keringat dan fases. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh

melalui perdarahan, menstruasi dan saluran urin. Sisanya dibawa ke bagian tubuh

lain yang membutuhkan, sedangkan kelebihan besi yang dapat mencapai 200

hingga 1.500 mg disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati

(30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot.

Simpanan besi dapat mencapai 50 mg per hari yang dapat dimobilisasi untuk

keperluan tubuh seperti membuat hemoglobin (Krause & Mahan 2004)

Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah keasaman lambung dan

bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme.

Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya konsumsi

antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi. Vitamin C dan asam

organik lain merupakan pemacu penyerapan besi nonheme. Adapun fitat,

polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi

nonheme (IOM-FNB 2001).

Page 8: Metabolisme Besi

14

Angka kecukupan besi pada kelompok wanita di atas 18 tahun adalah 26

mg/hari yang didasarkan pada tingkat penyerapan 10% dan estimated average

requirement (EAR) = 14.6. Estimated average requirement (EAR) adalah

rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi

dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu.

Untuk wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat

menstruasi sehingga kecukupan besi adalah 12 mg/hari. Pada wanita hamil,

kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO/UNU (2001)

menganjurkan agar wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan

tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari)

terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan

kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg

atau total sekitar 1.1 gram. Adapun bagi wanita yang sedang menyusui,

kecukupan besi selama masa menyusui memperhitungkan kehilangan besi akibat

menstruasi serta kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Jika

kecukupan besi pada keadaan normal (tidak hamil) adalah 26 mg/hari. Ekskresi

besi melalui ASI sekitar 0.25 mg/hari atau dibutuhkan sekitar 2.5 mg/hari jika

tingkat penyerapan 10%. Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 32 mg/hari

(Kartono & Soekatri 2004).

Makanan sumber besi antara lain daging, jeroan, ikan dan unggas yang

mengandung tinggi besi heme. Adapun sumber besi non-heme adalah dari nabati

kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber nabati

(non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam

besi dari sumber hewani (Almatsier 2002; Gibson 2005).

Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap (30%) lebih

baik dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam

dan daging) sendiri mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi

heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%)

dibanding besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non

heme. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap

penyerapan besi. Adapun vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi.

Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan

Page 9: Metabolisme Besi

15

yaitu penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan

penyerapan besi rendah (5%). Menu makanan yang porsi sumber hewaninya

besar, penyerapan besinya menjadi maksimal dan sebaliknya (Gibson 2005; IOM-

FNB 2001).

Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya

Penyerapan mineral dalam usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor

salah satunya adalah adanya interaksi dengan zat gizi lain. Interaksi ini dapat

dalam bentuk interaksi sinergistik (saling bekerjasama/menguntungkan),

antagonistik (mengurangi kerja yang lain) maupun kombinasi keduanya. Interaksi

zat besi antagonistik terlihat antara zat besi dengan mineral seng dan antara zat

besi dengan kalsium. Pada pemberian suplemen besi dosis tinggi bersamaan

dengan seng, zat besi akan menghambat penyerapan seng. Menurut O’Brien et al.

(1999), jika rasio antara besi dan seng lebih dari 2:1 akan mengakibatkan

gangguan penyerapan pada unsur yang lebih sedikit. Besi dan seng saling

berkompetensi pada saat transportasi karena keduanya sama-sama diangkut oleh

transferin. Menurut Almatsier (2002), sintesis hem akan terganggu bila terjadi

kekurangan seng, hal ini dikarenakan seng merupakan ko-faktor dari asam amino

levulinik dehidrase (ALA Dehidrase). Salah satu peranan seng dalam tubuh

adalah meningkatkan kekebalan, oleh karenanya kekurangan seng akan dapat

meningkatkan infeksi yang pada akhirnya mengganggu metabolisme besi.

Interaksi zat besi dengan tembaga (Cu) dan interaksi zat besi dengan vitamin

A adalah contoh interaksi sinergistik di mana status tembaga yang cukup

diperlukan untuk zat besi ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah.

Vitamin A bersama dengan asam folat, vitamin B12, riboflavin dan vitamin B6

diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal. Vitamin A bersama

vitamin C dan riboflavin juga dapat mencegah anemia dengan cara

meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu mobilisasi besi

dari simpanan tubuh (Fishman, Christian & West 2000).

Efek pemberian vitamin A sangat menguntungkan dalam peningkatan status

besi pada penderita defisiensi anemia defisiensi zat besi. Review beberapa studi

yang dilakukan MIP (2000) dalam Briawan (2008) menunjukkan bahwa

penambahan vitamin A yang cukup dapat membantu pemeliharaan besi di dalam

Page 10: Metabolisme Besi

16

plasma dan jaringan sehingga akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel

darah merah. Ekayanti (2005) dalam penelitian membuktikan bahwa penambahan

vitamin A (betakaroten 10.000 IU) pada suplemen besi folat (ferro fumarat 250

mg dan asam folat 0,5 mg) dapat meningkatkan hemoglobin pekerja WUS anemik

sebesar 1,31±1,23 g/dl. Angka peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan jika

tidak ditambahkan vitamin A yakni sebesar hanya 0,53±1,09 g/dl. Hasil penelitian

ini mirip pula dengan penelitian Ahmed et al. (2001) di Bangladesh.

Besi berinteraksi sinergis dengan vitamin B kompleks. Vitamin B12 dan

asam folat diperlukan pula dalam pembentukan sel darah merah, sehingga

kekurangan kedua vitamin tersebut juga dapat mengakibatkan anemia akibat

penurunan produksi darah merah (anemia megaloblastik). Selama ini asam folat

selalu ditambahkan pada suplemen besi untuk wanita hamil, namun penambahan

vitamin B12 ke dalam suplemen besi masih jarang dilakukan. Vitamin B2

(riboflavin) berperanan dalam proses penyerapan, mobilisasi simpanan besi dan

eritropoiesis. Kekurangan riboflavin dalam jangka waktu lama dapat

menyebabkan anemia normositik normokromik. Piridoksin merupakan kofaktor

enzim untuk sintesis heme, sehingga defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan

anemia sideroblastik. Adapun thiamin, niasin dan asam pantotenat berperanan

penting pada beberapa enzim yang secara tidak langsung berhubungan dengan

meatabolisme besi dan eritropoiesis. Pada Gambar 3 dapat dilihat peranan

vitamin pada metabolisme zat besi.

Interaksi zat besi juga dapat terjadi dengan Mangan (Mn) dan Kobal (Co),

yang mana penyerapan mangan yang banyak akan meningkatkan resiko defisiensi

zat besi, sedangkan interaksi kekurangan kobalamin dengan zat besi dapat

menyebabkan anemia pernisiosa. Zat besi juga dapat berinteraksi dengan beberapa

logam berbahaya seperti aluminium (Al), timah (Pb) dan cadmium (Cd)

(Crichton, 2001).

Page 11: Metabolisme Besi

17

Gambar 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi

(Hughes-Jones & Wickramasinghe 1996 dalam Fishman et al. 2000)

Penentuan Status Gizi dan Status Besi

Status gizi seseorang dapat dinilai melalui berbagai metode, antara lain,

pemeriksanaan fisik (klinis), pemeriksaan biokimiawi (laboratoris), antropometri,

studi konsumsi pangan dan studi faktor-faktor ekologi. Pemeriksanaan klinis

dilakukan dengan cara mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat

gangguan kesehatan dan penyakit gizi, sedangkan pemeriksaan laboratoris

Kehilangan Darah

(haid, pendararahan)

Retikulosit

Eritroblast

Pro-

Eritroblast

Stem sel

Sumsum Tulang

Eritropoesis:

Vitamin A

Asam Folat

Vitamin B12

Riboflavin

Vitamin B6

Fungsi Antioksidan:

Vitamin E

VitaminC

Mobilisasi besi:

Vitamin A

Vitamin C

Riboflavin

Eritrosit darah

Simpanan Besi

(Feritin, hemosiderin)

(dalam hati, darah)

Transferin Darah

Sel Retikulo

endothelial

(Hati, Limpa)

Penyerapan di

usus:

Vitamin A

Vitamin C

Riboflavin

Jaringan Periferal

(contoh: otot, plasenta)

Kehilangan besi di feses

Mukosa

Usus

Asupan besi

Page 12: Metabolisme Besi

18

dilakukan untuk mendektesi defisiensi zat gizi marjinal (batas antara kurang dan

cukup), terutama bila data riwayat makanan tidak lengkap dan tidak tersedia.

Kedua pemeriksaan di atas memerlukan tenaga ahli yaitu paramedis dan teknisi

laboratorium. Penilaian status gizi yang paling sering dilakukan karena cukup

mudah dan praktis adalah antropometri menggunakan indeks masa tubuh (IMT)

dan studi konsumsi pangan menggunakan metode mengingat kembali (recall) dan

kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaires).

Indek masa tubuh (IMT) atau Body Mask Indeks (BMI) merupakan ukuran

antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan

gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Ukuran

antropometri lainnya adalah rasio lingkar pinggang-pinggul (RPP) yang

menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul, dan lingkar

lengan atas (LILA) yang menggambarkan simpanan lemak di dalam tubuh. IMT

dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

di mana

IMT = indeks massa tubuh dalam kg/m2

BB = Berat Badan dalam kg, dan

TB = Tinggi Badan dalam m

Status gizi menurut IMT untuk orang dewasa dapat dikategorikan sebagai

berikut: kurus (<18.5 kg/m2), normal (18.5-25.0 kg/m

2) dan gemuk (>25 kg/m

2).

Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal adalah ≤0,8 untuk wanita

dewasa dan ≤ 0,9 untuk pria dewasa. Ukuran LILA menggunakan cut-off point ≤

23,5 untuk mendeteksi adanya kekurangan energi kronis (KEK) (Gibson, 2005).

Sesuai dengan rekomendasi INACG (2003), untuk mengkaji status besi

dalam suatu populasi selama ini umumnya menggunakan biomarker yang

memungkinkan secara rutin dilakukan di lapangan yaitu hemoglobin atau

hematokrit darah. Hal ini juga sesuai dengan WHO (2008) yang menyatakan

bahwa konsentrasi hemoglobin adalah indikator anemia yang paling handal di

tingkat populasi. Pengukuran konsentrasi hemoglobin secara relatif mudah dan

murah dilakukan, dan pengukuran ini paling sering digunakan sebagai satu

2TB

BBIMT

Page 13: Metabolisme Besi

19

indikator kekurangan zat besi. Selain itu, hematokrit juga salah satu biomarker

yang pada umumnya dilakukan dalam pengkajian klinis dan sering digunakan

dalam survai anemia karena kesederhanaan dan kemudahan dalam penyediaan

peralatan yang diperlukan.

Sementara itu WHO (2005) menyatakan bahwa serum ferritin (SF) adalah

indikator terbaik untuk mengukur respon suatu intervensi yang bertujuan untuk

mengatasi kekurangan zat besi, sehingga harus diukur bersamaan dengan

konsentrasi hemoglobin dalam evaluasi program. Namun demikian pengukuran

feritin cenderung tinggi pada sampel yang mengalami infeksi sehingga tidak

menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat. Adapun pengukuran serum

transferin reseptor (STfR) lebih sesuai digunakan pada yang mengalami infeksi

karena kurang begitu terpengaruh oleh kondisi infeksi. Menurut WHO (2007),

pengukuran SF dikombinasikan dengan STfR memberikan pendekatan terbaik

untuk mengukur status zat besi populasi. Pada umumnya konsentrasi STfR tidak

naik dalam respon terhadap peradangan sehingga bila dikombinasikan dengan

konsentrasi serum feritin memungkinkan untuk membedakan antara defisiensi

besi dan peradangan. Keuntungan lainnya adalah jumlah zat besi dalam tubuh

dapat dihitung dari rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan

formula Cook et al. (2003) yaitu:

Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207

di mana: Fe = jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan

Log = logaritma 10

STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103

SF = serum feritin dalam ug/l

Penelitian pada 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika, rataan

simpanan besi tubuhnya sebesar 4.87±4.14 mg/kg. Namun demikian analisis

distribusinya menunjukkan bahwa terdapat dua populasi, 93% memiliki rataan

simpanan besi tubuh sebesar 5.5±3.35 mg/kg, sedangkan sisanya 7% mengalami

kekurangan besi dalam jaringan sebesar -3.87±3.23 mg/kg.

Ukuran tingkat bawah (cuttoff) hemoglobin dan hematokrit untuk

mendeteksi anemia pada suatu wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah

120 g/l dan 36% (WHO 2001, BPPK Depkes 2008). Berdasarkan konsentrasi SF,

Page 14: Metabolisme Besi

20

ukuran relatif simpanan besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan

kelebihan (beresiko berat) jika > 150 ug/l. Namun pada yang mengalami infeksi

ambang batas yang ditetapkan lebih tinggi yakni < 30 ug/l (WHO 2007). Salah

satu cara untuk mengetahui ada tidaknya infeksi dalam tubuh dapat dilakukan

dengan pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju Endap Darah (LED) atau

Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin

untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah diukur dengan

memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel

darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya.

Tinggi rendahnya nilai pada Laju LED dipengaruhi oleh keadaan tubuh, terutama

selama ada peradangan. Standar normal LED adalah 10 ml/jam pada 1 jam

pertama dan 20 ml/jam pada 1 jam berikutnya atau setelah 2 jam. Seseorang yang

anemia biasanya memiliki nilai LED yang tinggi.

Untuk standar konsentrasi STfR, hingga kini belum ada yang baku karena

tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam

penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai

cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l.

Kebugaran Fisik

Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik atau jasmani didefinisikan sebagai kemampuan tubuh

seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan

kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati

waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Kebugaran fisik dalam bahasa

Inggris adalah physical fitness. Physic artinya kondisi fisik sementara fitness

artinya kecocokan, keserasian serta secara lebih jauh lagi kemampuan tubuh kita

untuk beradaptasi, menjaga keseimbangan proses faali dan biokimiawi tubuh

dalam keadaan stres berat termasuk kerja fisik. Kebugaran fisik dapat dibagi

menjadi 3 kategori, yaitu kebugaran fisik yang statis (static), dinamis (dynamice)

dan keterampilan motorik (motor skills). Kebugaran fisik statis artinya

ketidakadaan atau keadaan terbebas dari kecacatan atau penyakit. Kebugaran fisik

dinamis atau fungsional artinya kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik

yang berat. Adapun kebugaran fisik keterampilan motorik adalah kemampuan

Page 15: Metabolisme Besi

21

untuk melakukan gerakan koordinasi yang kompleks. Selain pengkategorian di

atas, kebugaran fisik meliputi komponen-komponen seperti daya tahan jantung-

paru, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, berat badan seimbang, daya ledak

otot, kecepatan, kelincahan, koordinasi, dan keseimbangan (Marley 1982; Sharky

1991). Adapun Quinn (2008) sebagaimana banyak pakar lainnya menetapkan

bahwa komponen kebugaran fisik yang diperlukan untuk menunjang kegiatan

sehari-hari adalah daya tahan jantung-paru, daya tahan otot, kekuatan otot,

kelenturan dan komposisi tubuh.

Daya tahan jantung-paru (cardiovascular endurance) merupakan

kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sedang secara terus menerus dalam

jangka waktu tertentu. Hal ini merefleksikan seberapa baik jantung dan paru-paru

bekerjasama untuk menyuplai oksigen ke tubuh seseorang selama melakukan

kegiatan atau latihan. Daya tahan jantung-paru juga disebut kebugaran aerobik

(aerobic fitness).

Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan untuk bertahan

pada satu posisi tertentu pada satu periode waktu atau pada satu pergerakan yang

berulang-ulang. Kekuatan otot (muscular strength) adalah kemampuan untuk

menggunakan kekuatan maksimum otot sekali, seperti mengangkat beban paling

berat yang bisa diangkat. Kekuatan otot seseorang dapat pada satu area tubuhnya

saja, misalnya lengan tangan, sementara area lainnya seperti kakinya lemah.

Kelenturan (fleksibility) adalah kemampuan untuk menggerakkan satu sendi

dengan suatu gerakan menekuk, meregang dan memuntir. Kelenturan yang baik

akan memberikan keleluasaan gerak tubuh tanpa mengalami cedera.

Komposisi tubuh (body composition) adalah proporsi lemak dalam tubuh

dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat

badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga digambarkan sebagai

berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Berat badan tanpa lemak terdiri dari

massa otot (40-50%) tulang (16-18%) dan organ tubuh (29-39%). Lemak badan

yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja,

menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara

umum. Berat lemak (body fat-BF) dinyatakan dalam persentase berat lemak

badan terhadap berat badan total (%LB). Ketidakmampuan tubuh dalam

Page 16: Metabolisme Besi

22

melakukan aktivitas sering dikaitkan dengan berat (penimbunan) lemak (Marley

1982; Quinn 2008).

Pengukuran Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan

sehari-hari para pekerja. Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap-tiap orang

berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik

dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Memperhatikan

komponen kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis

pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan

kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan

jantung-paru (cardiorespiratory endurance) paling sering dilakukan di lapangan

dan paling baik dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2Maks). VO2Maks

merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan

volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah

ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008.).

Performa seorang pekerja sebagaimana juga seorang atlet berhubungan

langsung dengan jumlah oksigen yang disuplai ke otot. Suplai oksigen ditentukan

oleh seberapa sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh

tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah tersebut. Juga tergantung kepada

seberapa baik jaringan atau otot mengekstrak oksigen. Volume gerakan biasanya

diukur dalam ml per denyut. Output jantung merupakan produk dari volume

gerakan dan kecepatan jantung dan diukur dalam ml per menit. Hasilnya

dikalikan dengan perbedaan konsentrasi oksigen maka didapatkan liter O2 yang

diproses per menit. Jika melakukan pengukuran ini ketika seseorang bekerja pada

kecepatan jantung maksimumnya, maka didapat VO2maks. Dengan bertambahnya

usia akan semakin rendah nilai VO2maks-nya. Berdasarkan usia, puncak nilai

VO2maks adalah pada usia 18-20 tahun (Quinn 2008).

Berdasarkan kondisi dengan memperhatikan jenis kelamin dan usia, maka

kriteria kebugaran fisik seseorang berdasarkan nilai VO2maks untuk wanita usia

20-29 tahun adalah sebagai berikut: bila kurang atau sama dengan 28 ml/kg/menit

maka derajat kebugarannya sangat kurang, antara 28 dan 34 kurang, antara 35 dan

Page 17: Metabolisme Besi

23

43 sedang, antara 44 dan 48 baik dan bila lebih dari 48 adalah baik sekali

(RHSFNS 2008).

Kebugaran fisik seseorang yang beraktivitas aktif selain dapat ditentukan

melalui pengukuran kapasitas aerobik, juga melalui pengukuran komposisi tubuh,

serta test pemeriksaan beberapa parameter biomarker antara lain kadar

hemoglobin, serum feritin serta tekanan darah dan denyut jantung dalam keadaan

istirahat (Golding 1989; Sharkey 1991). Menurut Culpepper and Francis (1987),

uji kapasitas aerobik adalah salah satu cara yang paling valid dalam menilai

kebugaran fisik. Kapasitas aerobik terbesar adalah tingkat di mana tubuh dapat

mengkonsumsi oksigen dan paling efisien mewakili integrasi dari berbagai proses

fisiologis yang menyusun sistem transportasi oksigen. Namun demikian,

pengukuran langsung dari kapasitas aerobik memerlukan peralatan laboratorium

yang canggih, dan menimbulkan ketidaknyamanan subjek.

Untuk memperkirakan kapasitas aerobik seseorang, uji yang paling banyak

digunakan selama ini adalah step test (uji naik turun bangku) karena korelasinya

terhadap VO2maks cukup tinggi dengan peralatan yang mudah dan praktis

dioperasikan baik untuk di dalam maupun di luar ruangan. Peralatan yang

diperlukan pada uji ini adalah bangku dengan ketinggian bervariasi antara 15-50

cm atau 6-20 inch, stopwach dan pengukur denyut jantung. Protokol Uji bangku

Harvard (Harvard step test-HST) merupakan salah satu uji bangku tertua yang

dikembangkan oleh Harvard Fatigue Laboratory (Brouha, Graybiel, and Heath

1943). Beberapa protokol uji bangku yang muncul berikutnya banyak yang

merupakan pengembangan dari HST, seperti Astrand-Ryhming (A-R) step test

(Astrand 1960).

Pengujian kebugaran fisik dengan Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand

1960), memiliki beberapa keuntungan antara lain adalah: membutuhkan peralatan

dan biaya minimal, memerlukan waktu sebentar sehingga memungkinkan untuk

dikelola dengan lebih baik. Alat yang diperlukan bangku setinggi 33 cm (13 inci)

untuk wanita dan 40 cm (16 inci) untuk pria, stopwatch dan metronome. Peserta

diminta untuk naik-turun bangku selama 5 menit dengan frekuensi 22.5 kali per

menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama yang disetel dari metronome diset

pada 90 ketuk/menit). Pada akhir menit ke lima, peserta diminta untuk tetap

Page 18: Metabolisme Besi

24

berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik

pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher

(carotid artery).

Selain HST dan A-Rstep test, uji naik turun bangku lain yang cukup sering

digunakan sebagai acuan adalah Queens College Step Test – QCST serta the

National Young Men's Christian Association (YMCA) three minutes step test.

Kedua protokol tersebut juga merupakan modifikasi dari protokol uji naik turun

Bangku Harvard (Harvard Step Test) yang telah banyak diuji validitas dan

reabilitasnya antara lain oleh McArdle et al. (1972), Culpepper and Francis

(1987), dan Lee et al. (2008).

Setiap protokol di atas bergantung pada pengamatan bahwa ada hubungan

linear antara denyut jantung dan tingkat kerja. Seseorang yang bugar (fit) akan

memiliki respons denyut jantung lebih rendah pada suatu tingkat kerja, dan akan

menunjukkan suatu perubahan dalam detak jantung yang rendah dengan adanya

perubahan tingkat pekerjaan. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi

akan memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena

denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan

fisik.

Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur

Anemia dan Kekurangan Zat Besi

Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah

merah yang beredar di dalam tubuh. Adapun dalam kesehatan masyarakat anemia

didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang rendah, yakni berada di bawah

ambang batas menurut umur dan jenis kelamin. Ambang batas hemoglobin untuk

wanita dewasa sebesar 120 g/l; sedangkan untuk wanita hamil 110 g/l. Penyebab

anemia yang paling banyak ditemui adalah akibat kekurangan zat besi. Penyebab

anemia lainnya adalah adanya infeksi yang akut maupun kronis yang

menyebabkan peradangan, kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat,

vitamin B12 dan vitamin A, serta sifat-sifat genetis yang diwariskan seperti

talasemia (WHO 2007).

Kekurangan zat besi adalah suatu keadaan di mana jumlah zat besi di dalam

tubuh tidak cukup untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal jaringan

Page 19: Metabolisme Besi

25

seperti darah, otak, dan otot. Kekurangan zat besi dapat terjadi tanpa anemia jika

berlangsung belum cukup lama atau jika belum cukup parah yang menyebabkan

konsentrasi hemoglobin berada di bawah ambang batas. Faktor-faktor yang

menyebabkan kekurangan zat besi dalam tubuh adalah rendahnya asupan zat besi

dan ketersediaan biologi zat besi dalam makanan, adanya faktor penghambat zat

besi dan rendahnya makanan atau zat yang memperlancar penyerapan zat besi.

Kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia gizi besi (AGB) ditandai

dengan kulit pucat, lemah/letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen.

Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan

menurunkan kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh.

Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi kehabisan

besi simpanan cadangan. Simpanan besi berkurang terlihat dari penurunan feritin

dalam plasma hingga 12-15 μg/l. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan

penyerapan besi yang terlihat dari pengangkutan total iron binding capacity

(TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap

ke dua terlihat perubahan dengan habisnya simpanan besi dan menurunnya

transferin jenuh hingga kurang dari 16% dan meningkatnya protoporfirin

(prekursor heme). Pada tahap ini hemoglobin di dalam darah masih berada pada

95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga

menyebabkan menurunnya kemampuan belajar karena malas, cepat lelah, letih,

lesu, pusing, menurunnya nafsu makan, karena terjadi gangguan produksi

hemoglobin (defisiensi besi tanpa anemia). Tahap ke tiga terjadi anemia

defisiensi besi, di sini kadar Hb total menurun hingga di bawah nilai normal.

Anemia defisiensi berat ditandai oleh sel darah merah yang mengecil

(mikrositosis) dan nilai Hb rendah (hipokromia) (Almatsier 2002).

Pemeriksaan hitung sel darah dapat digunakan sebagai tes skrining untuk

memeriksa kemungkinan adanya anemia dan tipenya. Konsentrasi hemoglobin

mencerminkan pengaruh gabungan dari mekanisme yang mengontrol ukuran

massa sel darah merah dan volume plasma. Sel darah merah beredar dalam

darah selama sekitar 90-120 hari dan satu persen di antaranya diganti setiap hari.

Pada manusia normal massa sel darah merah dikontrol oleh laju produksi sel

darah merah, sebab kehilangan sel darah merah karena penuaan relatif tetap.

Page 20: Metabolisme Besi

26

Sel-sel yang beredar di dalam aliran darah dibagi menjadi tiga jenis: sel darah

putih (leukosit), sel darah merah (eritrosit), dan platelet (trombosit). Tinggi

rendahnya hasil penghitungan mungkin menunjukkan adanya berbagai bentuk

kelainan, penyakit atau status kesehatan seseorang. Standar normal leukosit

adalah 4—10 x 103/ul, eritrosit 4.2—5.4 x 10

6/ul sedangkan trombosit adalah

150—400 x 103/ul (WHO, 2007).

Sel darah merah meliputi mean corpuscular volume (MCV), mean

corpuscular hemoglobin (MCH) dan mean corpuscular hemoglobin concentration

(MCHC). Mean corpuscular volume (MCV) adalah ukuran atau volume rata-rata

eritrosit dengan standar normal sebesar 81-90 fl. Jika eritrosit lebih besar dari

biasanya (makrositik) MCV meningkat, misalnya pada anemia karena kekurangan

vitamin B12. Sebaliknya MCV menurun jika eritrosit lebih kecil dari biasanya

(mikrositik) seperti pada anemia karena kekurangan zat besi. Mean corpuscular

hemoglobin (MCH) adalah jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit, dengan

standar normal sebesar 26.0-30.6 pg. Eritrosit yang lebih besar (makrositik)

cenderung memiliki MCH yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada eritrosit yang lebih

kecil (mikrositik) akan memiliki nilai MCH yang lebih rendah. Mean

corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) adalah perhitungan rata-rata

konsentrasi hemoglobin di dalam eritrosit, standar normalnya 32.0-33.9 g/l.

Kadar MCHC menurun (hipokromia) ditemukan pada kondisi di mana

hemoglobin abnormal diencerkan di dalam eritrosit, seperti pada anemia dan

kekurangan zat besi dalam talasemia (WHO 2007). Adapun jenis anemia

menurut BPPK Depkes (2008) sesuai bentuk dan warna (morfologi) sel darah

merah untuk wanita adalah anemia mikrositik (MCV <96 fl), anemia normositik

(MCV = 96 – 108 fl), anemia makrositik (MCV >108 fl), anemia hipokromik

(MCHC <33 %), anemia normokromik (MCHC = 33–36%), anemia hiperkromik

(MCHC >36 %), serta kombinasi dari jenis-jenis di atas. Anemia mikrositik-

hipokromik, biasanya karena kekurangan zat besi, penyakit kronis tingkat lanjut,

atau keracunan timbal. Anemia normositik- normokromik biasanya karena

penyakit kronis fase awal atau perdarahan akut. Anemia makrositik biasanya

karena kekurangan vitamin B12.

Page 21: Metabolisme Besi

27

Kekurangan zat besi dan anemia dapat mengurangi kapasitas kerja serta

menurunkan produktivitas seseorang bahkan populasi secara keseluruhan. Secara

nasional hal ini akan menjadi serius karena dapat menyebabkan terganggunya

ekonomi serta terganggunya pembangunan nasional. Anemia gizi besi (AGB)

dapat menurunkan kapasitas kerja fisik seseorang melalui menurunnya

ketersediaan oksigen bagi jaringan. Selain itu AGB juga mengakibatkan turunnya

kekebalan dan fungsi kognitif pada penderitanya (WHO 2001).

Kekurangan zat besi dapat mempengaruhi aktivitas fisik melalui terutama

dua jalur. Pertama, sebagai akibat turunnya kadar hemoglobin dalam darah,maka

jumlah maksimum oksigen yang dapat digunakan oleh tubuh (kapasitas aerobik)

juga menurun. Ke dua, sebagai akibat berkurang atau habisnya simpanan zat besi,

maka jumlah oksigen yang tersedia untuk otot pun berkurang, sehingga

mengurangi daya tahan dan jantung menjadi bekerja lebih keras untuk dapat

menghasilkan sejumlah aktivitas yang sama. Penelitian baik pada binatang

maupun manusia telah mendemonstrasikan adanya satu hubungan sebab akibat

antara kekurangan zat besi dengan menurunnya kapasitas aerobik maksimum

(VO2maks). Beberapa penelitian membuktikan bahwa AGB berhubungan dengan

berkurangnya daya tahan pada tingkat kerja yang di bawah maksimal (Haas &

Brownlie 2001).

Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia

Anemia merupakan masalah gizi yang relatif sukar ditanggulangi. Masalah

ini cukup luas terjadi di masyarakat, melanda sejumlah besar anak-anak dan

wanita di negara-negara yang sedang berkembang, serta menjadi satu-satunya zat

gizi yang angka kekurangannya juga masih nyata dijumpai pula di negara-negara

industri. Lebih dari 30% penduduk di dunia ini menderita anemia yang sebagian

besar diakibatkan oleh kekurangan zat besi, serta di beberapa daerah diperburuk

oleh adanya penyakit infeksi. Pada umumnya, penduduk miskin dan

berpendidikan rendah merupakan golongan yang paling rawan terkena

kekurangan zat besi dan mereka itu pula yang akan paling merasakan penurunan

itu (WHO 2008).

Menurut Usfar et al. (2009), prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia

adalah 30%, di mana di negara-negara yang sedang berkembang adalah 40-50%,

Page 22: Metabolisme Besi

28

sedangkan di negara maju 10%. Konsekuensi utama kekurangan zat besi adalah

meningkatkan risiko kelahiran prematur, meningkatkan frekuensi kematian ibu

dan bayi baru lahir, penurunan perkembangan psikomotorik, serta penurunan

kapasitas kerja dan produktivitas. Penyebab utama kekurangan zat besi adalah

rendahnya asupan besi, rendahnya bioavailabilitas asupan besi, kenaikan

kebutuhan besi, dan kecacingan serta adanya infeksi Helicobacter pylori (Hp).

Kelompok penduduk yang beresiko mengalami defisiensi besi adalah bayi dan

anak-anak, remaja putri, wanita usia subur, dan wanita hamil.

Hasil pemetaan yang tidak lengkap pada tahun 1999 dan 2000 menyingkap

secara keseluruhan bahwa prevalensi anemia pada balita masih cukup tinggi yakni

berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%. Kisaran angka

yang cukup tinggi ini masih tetap bertahan hingga tahun 2007 sebagaimana

terlihat pada Tabel 2 (Almatsir & Fallah 2004; BPPK Depkes RI 2008).

Tabel 2 Perkembangan prevalensi anemia pada WUS di beberapa provinsi di

Indonesia

Provinsi Tahun

1999 a)

2000a)

2007b)

Sumbar 29.2 34.0 29.8

Lampung Na 24.1 25.9

Sulsel Na 27.8 19.7

Jatim 28.7 26.5 15.6

Jabar 28.9 26.5 13.4

Jateng 23.4 25.8 22.8

Jakarta 42.5 33.3 27.6 a)

Atmarita dan Fallah (2004); b)

BPPK Depkes RI (2008); Na, data tidak tersedia

Penelitian tentang prevalensi anemia di Indonesia selama ini masih lebih

banyak dilakukan pada kelompok wanita yang sedang hamil atau menyusui serta

bayi dan balita. Adapun penelitian pada kelompok pekerja WUS masih jarang

dilakukan dan kalau pun ada lebih banyak dilakukan di daerah Jawa dan Bali.

Beberapa studi yang telah lama dilakukan oleh Husaini et al. (1981) di Jawa Barat

Suharjo (1986) di Jawa Barat, Scholz et al. (1997) di Jakarta dan Untoro et al.

(1998) di Kudus Jawa Tengah mendapatkan prevalensi anemia pada pekerja

wanita berkisar antara 35.5%-50%. Adapun studi Husaini et al. (1999)

melaporkan bahwa hasil studinya di Tangerang tahun 1999 menunjukkan

prevalensi anemia pada pekerja wanita mencapai 69%.

Page 23: Metabolisme Besi

29

Studi yang dilakukan oleh Mulyawati (2003) menemukan bahwa dari 72

pekerja wanita di sebuah perusahaan plywood di Jakarta ditemukan 56 orang

(77.77%) menderita anemia, di mana 54 responden di antaranya tergolong usia

reproduksi berkisar antara 19 sampai dengan 35 tahun (rataan 23 tahun).

Prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria yang

dikarenakan pada usia reproduksi sesuai dengan kodratnya, wanita harus

mengalami haid setiap bulannya. Darah yang keluar pada waktu haid

menyebabkan kehilangan zat besi 1.3 mg per hari. Ditinjau dari faktor resikonya,

maka yang berpendidikan rendah mempunyai resiko menderita anemia 2.05 kali

dibandingkan dengan yang berpendidikan sedang dan tinggi. Adapun Depkes RI

(2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia

menderita anemia gizi atau kekurangan zat besi.

Data dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1997 menunjukkan

prevalensi anemia pada pekerja wanita usia produktif yang berpenghasilan rendah

berkisar antara 30-40%. Menurut WHO (2001), prevalensi anemia antara

20.0-39.9% sudah tergolong sebagai masalah kesehatan masyarakat pada kategori

sedang. Secara umum prevalensi AGB di kalangan pekerja wanita Indonesia

masih tinggi. Menurut laporan WHO (2008), prevalensi AGB di Indonesia pada

wanita usia subur yang tidak hamil tahun 2006 mencapai 33% atau kategori

sedang. Pada wanita yang hamil dan anak-anak ditemukan lebih tinggi lagi yakni

44.5% dan 44.3% atau kategori berat. Adapun berdasarkan hasil Riset Dasar

Kesehatan (Riskesdas) 2007 oleh BPPK Depkes RI (2008) diketahui bahwa

prevalensi anemia tahun 2007 pada wanita 19.7%, khusus pada wanita dewasa

14.8%, wanita hamil 24.5% dan anak balita 27.7%. WHO (2008) menyarankan

bahwa untuk menurunkan prevalensi kekurangan zat besi pada bayi dan wanita

hamil maka seharusnya wanita sudah disuplementasi sebelum hamil.

Suplementasi Besi pada WUS

Supplementasi besi untuk wanita hamil di Indonesia sudah dimulai pada

1974 dengan cakupan 60% selama 90 hari berturut-turut. Adapun suplementasi

besi pada bayi dan anak-anak melalui sirup yang diperkaya dengan zat besi

dimulai di desa-desa yang kurang berkembang di kawasan timur Indonesia pada

tahun 1996. Hal yang mendasari ini disinyalir bayi dan anak-anak tidak dapat

Page 24: Metabolisme Besi

30

memenuhi kecukupan besi melalui diet saja, kecuali jika mengkonsumsi makanan

yang difortifikasi dengan zat besi. Selain itu sejak tahun 1996, pabrik-pabrik di

Indonesia sudah diharuskan memberikan suplemen zat besi kepada pekerja wanita

sekali per minggu, 16 minggu per tahun secara mandiri, guna meningkatkan

kesejahteraan dan produktivitas pekerja wanita (Kodyat et al. 1998). Namun

demikian menurut Atmarita dan Fallah (2004), intervensi anemia secara nasional

masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya

pun masih sulit dipantau. Studi Husaini et al. (1999) melaporkan bahwa di

kalangan tenaga kerja, pekerja yang menderita anemia dari hasil penelitian

produktivitasnya 20% lebih rendah dari pada pekerja yang sehat. Hasil penelitian

yang lain menjelaskan bahwa peningkatan status gizi besi dapat meningkatkan

produktivitas pekerja.

Sudah lama INACG (2003) menyarankan agar para WUS yang sedang tidak

hamil juga diberi suplemen berisis 60 mg besi elemental yang disertai dengan 400

µg folat sebagai usaha preventif untuk mencegah anemia dan kesulitan melahirkan

pada selama dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), menyarankan

untuk memperbaiki status gizi WUS dengan suplementasi berbagai mineral mikro

yaitu 15 macam vitamin dan mineral, tidak cukup hanya dengan suplementasi zat

besi saja. Kedua suplemen tersebut sama seperti yang diberikan kepada wanita

hamil. Perbedaannya hanya pada dosis pemberiannya, jika pada wanita hamil

adalah dianjurkan minum setiap hari atau sekurang-kurangnya 90 hari pada saat

hamil; sedangkan pada yang tidak hamil dianjurkan sekali seminggu dan setiap

hari pada selama menstruasi. Pada Tabel 3 dapat dilihat komposisi kedua

suplemen tersebut.

Adanya hubungan linear antara kekurangan zat besi dan kapasitas kerja pada

pekerja di sektor pertanian banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian yang

sudah cukup lama yakni dilakukan sebelum tahun 2000. Studi di China oleh Li et

al. (1994) yang dilakukan di pabrik katun menemukan bahwa diantara 447 orang

pekerja wanita terdapat 83 pekerja wanita yang tidak sedang hamil (usia 19—44

tahun) terdiagnosa kekurangan zat gizi besi. Bahkan 10 orang diantaranya

mengalami anemia gizi besi (AGB) dengan kadar hemoglobin yang kurang dari

100 g/dl. Kepada 40 orang wanita tersebut kemudian diberi perlakuan dengan

Page 25: Metabolisme Besi

31

Tabel 3 Komposisi suplemen yang dianjurkan dibandingkan dengan angka

kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk WUS di Indonesia

Jenis zat gizi mikro Suplemen* AKG WUS

**

IFA MMN 19-29 tahun 30-49 tahun

Vitamin A (μg) — 800 500 500

Vitamin D (IU) — 200 200 200

Vitamin E (mg) — 10 15 15

Vitamin C (mg) — 70 75 75

Thiamin (mg) — 1.4 1.0 0.9

Riboflavin (mg) — 1.4 1.1 1.1

Niasin (mg) — 18 14 14

Vitamin B-6 (mg) — 1.9 1.3 1.3

Vitamin B-12 (μg) — 2.6 2.4 2.4

Asam Folat (μg) 400 400 400 400

Besi (mg) 60 30 26 26

Seng (mg) — 15 9.3 9.8

Copper (mg) — 2 2***

2***

Selenium (μg) — 65 30 30

Yodium (μg) — 150 150 150 *

MMN, multiple micronutrients (UNICEF/WHO/UNU 1999); IFA, iron and folate acid-besi dan

asam folat (INACG 2003). **

LIPI (2004) ***

NRC (1989)

memberikan suplemen tablet ferro sulfat yang berisi 60 mg Fe per hari dan 40

orang lainnya diberi plasebo, sedangkan tiga lainnya tidak bersedia disertakan

dalam penelitian. Setelah pemberian suplemen Fe selama 12 minggu, maka pada

grup perlakuan memiliki kadar hemoglobin (Hb) dan serum feritin (SF) yang

meningkat (p<0.05), sedangkan Free erythrocyte protoporphyrin (FEP), Heart

Rate at Work (HRW) dan Energy Expenditure at Work (EEW) turun secara nyata

(p<0.01). Nilai Hb, SF, dan FEP sebelum perlakuan tidak berbeda nyata, dan

setelah perlakuan perbedaan nilainya (sebelum vs sesudah intervensi) nyata antar

grup (p<0.01). Selain itu, perbedaan nilai HRW dan EEW sebelum dan sesudah

perlakuan juga nyata antar grup (p<0.01). Penelitian ini menjelaskan bahwa

suplementasi gizi besi pada pekerja WUS selain dapat memperbaiki status besi

juga memungkinkannya untuk bekerja dengan menggunakan energi yang lebih

rendah atau lebih hemat energi.

Studi lainnya yang mirip dengan penelitian di atas telah lebih dulu dilakukan

di Colombia (Spurr et al. 1978), Guatemala (Viteri & Torun 1974), Indonesia

(Basta et al. 1979; Husaini et al. 1981), Kenya (Davies et al. 1973), Sri Lanka

Page 26: Metabolisme Besi

32

(Edgerton et al. 1981; Gardner et al, 1977), dan Philipina (Popkin 1978) serta di

negara-negara lain. Dari hasil studi-studi tersebut dapat disimpulkan bahwa

kapasitas kerja pada pekerja yang anemia dapat kembali normal bahkan

meningkat dengan adanya suplementasi besi serta produktivitas kerja dan upah

kerjanya meningkat 10-30% dibandingkan dengan sebelum menerima

suplementasi.

Beberapa penelitian tentang pengaruh suplementasi zat besi pada wanita

tidak hamil yang dilakukan di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain

oleh Mulyawati (2003), Baharudin (2004), Dillon (2005), Ekayanti (2005) dan

Briawan (2008). Adapun di negara lain pernah dilakukan antara lain di

Bangladesh (Ahmed et al. 2005) dan di Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada

studi Mulyawati (2003) di sebuah perusahaan Plywood yang berlokasi di Jakarta,

dilaporkan bahwa dari 72 pekerja wanita 56 orang (77.77%) diantaranya

ditemukan menderita anemia. Setelah dilakukan perlakuan yakni dengan

memberikan Tablet Tambah Darah/TTD (200 mg ferro sulfat dan 0.25 mg asam

folat) dengan dan tanpa 100 mg vitamin C, 1 kapsul per minggu dan 1 kapsul

selama 10 hari (waktu haid), dalam jangka waktu 16 minggu; maka prevalensi

anemia menurun tinggal menjadi 8.95% (6 responden). Meskipun masih

dinyatakan anemia, keenam responden tersebut telah mengalami kenaikan Hb dari

rata-rata 8.5 g/dl menjadi 11.9 g/dl. Dengan intervensi selama 16 minggu telah

berhasil meningkatkan kadar hemoglobin dan serum ferritin secara bermakna p<

0.05 pada kelompok I (dengan vitamin C) dan kelompok II (tanpa vitamin C).

Walaupun demikian, peningkatan kadar Hb, SF, dan indeks masa tubuh yang

lebih tinggi pada kelompok perlakuan (I dan II) dibandingkan kelompok kontrol,

secara statistik tidak bermakna.

Mirip dengan studi Mulyawati di atas, Baharudin (2004) dalam studinya di

Aceh juga memberikan suplementasi Pil Besi dan vitamin C pada mahasiswi yang

anemik. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dengan pemberian pil besi (60

mg) saja sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan dapat

meningkatkan Hb secara nyata sebesar 1.72 g/dl. Adapun pemberian pil besi (60

mg) ditambah dengan vitamin C (50 mg) sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama

2 (dua) bulan memberi pengaruh secara nyata (p=0.000) terhadap peningkatan

Page 27: Metabolisme Besi

33

kadar Hb yang lebih tinggi (naik sebesar 3.28 g/dl) dan peningkatan kebugaran

fisik mahasiswi dengan menggunakan tes Ergocycle Sepeda Monar.

Ekayanti (2005) dalam penelitiannya memberikan suplementasi zat besi

selama delapan minggu kepada 83 orang WUS (15-44 tahun) anemia yang bekerja

di pabrik kerupuk, dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok P1 menerima zat besi-

asam folat (250 mg Ferro Fumarat dan 0.5 mg asam folat) dibandingkan dengan

kelompok P2 menerima besi-asam folat ditambah dengan vitamin A (betakaroten

10.000 IU), dan kelompok P3 menerima besi-asam folat + kombinasi vitamin A,

seng-tembaga (betakaroten 10.000 IU, seng 15 mg, dan tembaga 1.5 mg). Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan kadar Hemoglobin dan hematokrit

antarkelompok berbeda nyata. Peningkatan hemoglobin yang tertinggi dialami

oleh kelompok P3 (1.76±0.93 g/dl), diikuti oleh P2 (1.31±1.23 g/dl) dan P1

(0.53±1.09 g/dl), demikian pula peningkatan hematokrit yang tertinggi pada

kelompok P3 (4.29±2.14%) diikuti P2 dan terendah P1 (1.85±3.45%). Adapun

peningkatan serum ferritin paling tinggi juga dialami oleh P3 (6.33±21.24 ng/l),

ini nyata lebih tinggi (p=0.045) dibandingkan dengan P2 (1.41±14.28 ng/l),

sedangkan pada P1 tidak terjadi peningkatan serum ferritin yang nyata. Dari hasil

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyertaan pemberian kombinasi vitamin

A, seng dan tembaga dalam suplementasi besi dapat membantu meningkatkan

keberhasilan suplementasi besi.

Studi pemberian zat besi dan vitamin (multivitamin) yang lebih baru,

dilakukan pada remaja lanjut oleh Briawan (2008). Dalam penelitian ini 224

remaja berusia 17-20 tahun yang merupakan mahasiswi tingkat satu dibagi

menjadi tiga kelompok perlakuan secara acak. Kelompok tersebut adalah

kelompok kontrol yang diberi plasebo, kelompok B-F yang diberi besi 60 mg dan

folat 250 μg, serta kelompok B-MV yang diberi besi 60 mg, folat 800 μg, vitamin

A 4200 μg, vitamin C 500 mg, dan vitamin B12 16.8μg. Hasil studi tersebut

menunjukkan bahwa pemberian plasebo, besi dengan folat dan besi dengan

multivitamin dapat meningkatkan kadar Hb berturut-turut sebesar 8.3 g/l; 11.2 g/l

dan 10.5 g/l. Namun demikian, perbedaan peningkatan Hb antara ketiga

kelompok tersebut tidak nyata (p>0,05). Suplementasi kedua kapsul tersebut

berhasil meningkatkan serum ferritin lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan

Page 28: Metabolisme Besi

34

peningkatan SF pada kelompok kontrol 1.1 ug/l; B-F 4.2 ug/l; dan B-MV 11.0

ug/l. Adapun efek suplementasi terhadap serum transferin reseptor (STfR) adalah

kelompok B-MV berhasil menurunkan STfR lebih besar dibandingkan dengan

kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR berturut-turut pada kontrol, B-F dan

B-MV adalah 0.5 mg/l; 1.3 mg/l dan -3.8 mg/l. Perubahan STfR antar ketiga

kelompok tersebut significan (p<0,05)

Studi yang lebih baru suplementasi zat besi pada WUS yang tidak hamil

dilakukan di negara lain yakni Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada studi ini

suplementasi zat besi diberikan kepada WUS (18-35 tahun) yang mendapatkan

hasil bahwa penambahan zat besi 60 mg per hari selama empat bulan dapat

meningkatkan Serum Feritin dan Hemoglobin WUS. Peningkatan Serum Feritin

berhubungan dengan meningkatnya performa kognitif (p=0.001), sedangkan

peningkatan Hemoglobin berhubungan dengan kecepatan menyelesaikan soal-soal

pada tes kognitif (p=0.038).

Penelitian Ahmed et al. (2005) di Bangladesh merupakan penelitian yang

melakukan suplementasi pada wanita anemik yang tidak hamil dengan komposisi

yang sesuai dengan anjuran UNICEF/WHO/UNU (1999) sebagaimana

ditunjukkan pada Tabel 2 di atas. Pada penelitian ini, remaja wanita (14-18 tahun)

yang anemik, tidak sedang hamil dan masih sekolah dibagi menjadi dua grup.

Grup-1 menerima suplemen besi folat (IFA) dan grup-2 menerima multimicro

nutrient (MMN) sebagaimana tercantum pada Tabel 1, masing-masing dua kali

per minggu selama 12 minggu. Setelah perlakuan, kedua grup mengalami

kenaikan dalam hemoglobin dan serum ferritin namun perbedaan rata-rata antar

grup tidak nyata. Disimpulkan bahwa suplementasi MMN dua kali per minggu

selama 12 minggu secara nyata dapat meningkatkan status gizi mikro yang diukur

(serum vitamin A, plasma vitamin C, asam folat sel darah merah, dan riboflavin);

namun dalam meningkatkan hemoglobin darah tidak seefikasi suplementasi IFA

dan disarankannya suplementasi sebaiknya diberikan lebih dari dua kali per

minggu.

Penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmed et al. (2005), dan

Briawan (2008) sebaiknya juga dilakukan pada pekerja WUS yang sudah menikah

dan merencanakan untuk hamil sehingga pada selama kehamilannya nanti tetap

Page 29: Metabolisme Besi

35

memiliki status gizi yang baik. Menurut Briawan (2008), sasaran program

perbaikan gizi pada wanita yang tidak hamil ini dianggap strategis dalam upaya

memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar

tidak meluas ke generasi selanjutnya.