tinjauan pustaka asal usul itik di indonesia · rumpun dan galur ternak adalah itik alabio yang ......

14
TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Itik di Indonesia Berdasarkan sejarahnya, itik pertama kali didomestikasi di China (Cherry & Morris 2008). Meskipun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa sejarah domestikasi itik dilakukan di dua tempat, yaitu China dan Eropa Barat (Clayton 1984). Selanjutnya disebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat utama domestikasi, seperti pada berbagai jenis ayam. Berdasarkan data-data arkeologi, lingkungan pertanian yang disukai oleh itik telah ditemukan di daratan China Selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar itik didomestikasi di daerah tersebut sebelum dikembangkan khusus di Eropa Barat. Pada musim dingin, itik-itik bermigrasi dari wilayah utara ke tempat- tempat terbuka dengan lingkungan yang tersedia banyak air dan pakan melimpah, terutama air dangkal sebagai area sumber pakannya. Dalam hal bersarang, itik lebih menyukai tempat yang kering, seperti rerumputan di dataran tinggi, di rawa- rawa kering, atau daerah persawahan yang banyak jerami (Crawford 1993). Salah satu tempat migrasi itik adalah wilayah Indonesia karena memiliki daerah perairan lebih besar jika dibandingkan dengan daratannya. Daerah perairan merupakan tempat paling disukai oleh itik yang dikenal sebagai unggas air (water fowl). Oleh karena itu, keberadaan itik di Indonesia merupakan ternak pendatang. Itik dikelompokkan sebagai ternak lokal, karena daya adaptasinya yang tinggi pada lingkungan di Indonesia selama bertahun-tahun dan mampu berkembang biak (Hardjosworo 1995). Itik domestik diturunkan dari wild mallard (Anas platyrhynchos) dengan ciri-ciri, antara lain warna bulu cokelat pada tubuhnya, terutama itik betina, leher dan kepala berwarna hijau terang mengkilap, paruh dan kakinya berwarna kuning terang, dan warna bulu sayap adalah biru terang (Crawford 1993). Warna-warna terang dan mengkilap tersebut diduga membantu sebagai petunjuk kontak visual ketika sedang bermigrasi (Ogilvie & Pearson 1994). Selain warna bulu, karakteristik khusus pada Anas platyrhynchos jantan adalah adanya empat helai bulu ekor yang mencuat ke atas, dan ini hanya dapat ditemukan pada itik liar (wild mallard) sebagai Anas platyrhynchos (Cherry & Morris 2008).

Upload: trananh

Post on 21-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

9

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul Itik di Indonesia

Berdasarkan sejarahnya, itik pertama kali didomestikasi di China (Cherry

& Morris 2008). Meskipun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa

sejarah domestikasi itik dilakukan di dua tempat, yaitu China dan Eropa Barat

(Clayton 1984). Selanjutnya disebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat

utama domestikasi, seperti pada berbagai jenis ayam. Berdasarkan data-data

arkeologi, lingkungan pertanian yang disukai oleh itik telah ditemukan di daratan

China Selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar itik didomestikasi di daerah

tersebut sebelum dikembangkan khusus di Eropa Barat.

Pada musim dingin, itik-itik bermigrasi dari wilayah utara ke tempat-

tempat terbuka dengan lingkungan yang tersedia banyak air dan pakan melimpah,

terutama air dangkal sebagai area sumber pakannya. Dalam hal bersarang, itik

lebih menyukai tempat yang kering, seperti rerumputan di dataran tinggi, di rawa-

rawa kering, atau daerah persawahan yang banyak jerami (Crawford 1993). Salah

satu tempat migrasi itik adalah wilayah Indonesia karena memiliki daerah perairan

lebih besar jika dibandingkan dengan daratannya. Daerah perairan merupakan

tempat paling disukai oleh itik yang dikenal sebagai unggas air (water fowl). Oleh

karena itu, keberadaan itik di Indonesia merupakan ternak pendatang. Itik

dikelompokkan sebagai ternak lokal, karena daya adaptasinya yang tinggi pada

lingkungan di Indonesia selama bertahun-tahun dan mampu berkembang biak

(Hardjosworo 1995).

Itik domestik diturunkan dari wild mallard (Anas platyrhynchos) dengan

ciri-ciri, antara lain warna bulu cokelat pada tubuhnya, terutama itik betina, leher

dan kepala berwarna hijau terang mengkilap, paruh dan kakinya berwarna kuning

terang, dan warna bulu sayap adalah biru terang (Crawford 1993). Warna-warna

terang dan mengkilap tersebut diduga membantu sebagai petunjuk kontak visual

ketika sedang bermigrasi (Ogilvie & Pearson 1994). Selain warna bulu,

karakteristik khusus pada Anas platyrhynchos jantan adalah adanya empat helai

bulu ekor yang mencuat ke atas, dan ini hanya dapat ditemukan pada itik liar (wild

mallard) sebagai Anas platyrhynchos (Cherry & Morris 2008).

10

Karakterisasi terhadap sifat fenotipik kualitatif itik-itik lokal, yaitu itik

alabio, mojosari, cihateup, magelang, tegal, dan damiaking diperoleh hasil pola

warna bulu yang hampir sama dengan itik Mallard dengan empat helai bulu ekor

jantan yang mencuat ke atas (Susanti & Prasetyo 2007a). Berdasarkan kesamaan

ciri-ciri tersebut diduga bahwa itik-itik lokal Indonesia merupakan keturunan itik

Mallard (Anas platyrhynchos).

Itik Alabio

Salah satu rumpun itik lokal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri

Pertanian nomor : 19/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Penetapan dan Pelepasan

Rumpun dan Galur Ternak adalah itik alabio yang berasal dari Kalimantan

Selatan, dan saat ini banyak diintroduksi ke daerah-daerah lain di wilayah

Indonesia. Rumpun itik alabio memiliki potensi yang tinggi, baik sebagai

produsen telur maupun daging (Hetzel 1985). Potensi itik alabio sebagai galur

petelur unggul menjadikannya sebagai tetua dalam program persilangan untuk

meningkatkan produktivitas itik-itik lokal lain. Prasetyo dan Susanti (2000)

melakukan persilangan antara itik alabio dengan itik mojosari yang menghasilkan

itik petelur unggul yang disebut itik MA. Itik hasil persilangan tersebut memiliki

rataan produksi telur sebanyak 74.22 butir selama periode produksi 12 minggu,

dan memiliki nilai heterosis produksi telur mencapai 11.69%. Selain itu, itik MA

memiliki umur pertama bertelur yang lebih cepat dan kualitas telur yang lebih

baik daripada induk-induk tetuanya (alabio dan mojosari).

Selain sebagai petelur unggul, itik alabio berpotensi pula menjadi itik

pedaging. Matitaputty et al. (2011) melakukan persilangan itik alabio (A) dan itik

cihateup (C) dengan hasil yang diperoleh menunjukkan nilai persentase heterosis

itik persilangan CA lebih unggul dari AC dalam bobot hidup akhir (7.05%),

pertambahan bobot hidup (7.32%), bobot karkas (9.24%), dan persentase karkas

(2.55%). Pada potongan karkas bagian paha, persentase tertinggi diperoleh itik

persilangan AC (10.13%), sementara potongan karkas bagian dada itik tetua

murni AA lebih unggul (6.13%). Itik persilangan CA memiliki sifat-sifat unggul

lebih banyak dan bernilai ekonomis dibandingkan dengan itik persilangan AC.

Berdasarkan performans dapat disimpulkan bahwa hasil persilangan terbaik untuk

11

menghasilkan performans dan produksi karkas yang baik adalah itik persilangan

cihateup jantan x alabio betina (CA).

Keunggulan lain dari itik alabio adalah memiliki ciri-ciri warna bulu

hampir seragam yang didominasi oleh warna cokelat, hijau, dan hitam keabu-

abuan pada sebagian besar tubuhnya, yaitu leher, kepala, punggung, dan dada.

Suryana et al. (2010) mengidentifikasi warna bulu itik alabio dan menyimpulkan

bahwa itik alabio jantan memiliki warna bulu hijau mengkilap pada kepala, biru

mengkilap pada sayap, dan hitam keabu-abuan pada bagian dada dan ekor. Bulu

itik alabio betina didominasi warna cokelat bintik-bintik hitam. Bagian tubuh

paruh, paha, dan kaki itik alabio didominasi warna kuning dan oranye.

Berdasarkan potensi-potensi tersebut tampak bahwa itik alabio mampu

mengekspresikan keunggulannya sehingga dalam penelitian ini digunakan itik

alabio yang diharapkan mampu mencapai tujuan penelitian ini, yaitu menginisiasi

terbentuknya populasi itik yang berproduksi telur tinggi dengan kejadian rontok

bulunya yang sudah terkendali.

Itik Peking

Itik peking merupakan keturunan itik Mallard (Anas plathyrhynchos).

Hasil penelusuran sejarah domestikasi itik peking dengan menggunakan analisis

penanda mikrosatelit dan mitokondria menunjukkan bahwa itik peking memiliki

sekuens yang sama dengan itik Mallard (Qu et al. 2009). Saat ini performans itik

peking, dengan postur besar dan berbulu putih, berbeda dari keturunan itik

Mallard yang lainnya, dengan postur ramping dan berbulu cokelat kombinasi

warna hitam, hijau, dan abu-abu. Hal ini terjadi akibat dari seleksi yang relatif

lama terhadap itik peking sehingga menjadi strain atau galur pedaging dengan

warna bulu putih dan bobot dewasa 2.7 sampai 3.8 kg (Cherry & Morris 2008;

Rouvier 1999).

Produksi telur itik peking relatif rendah dibandingkan itik-itik tipe petelur

lain yang mempunyai bentuk tubuh ramping. Rata-rata produksi telur itik peking

adalah 210 butir per 500 hari atau 42% (Pingel 1990). Itik peking yang

dikembangbiakkan di Eropa ternyata mampu menghasilkan telur sebanyak 175-

226 butir dalam 40 minggu dengan cara dipelihara secara intensif (terkurung).

Rata-rata pengamatan dilakukan selama 40 minggu, karena setelah 40 minggu itik

Comment [T3]: oranye?

12 peking mengalami rontok bulu sehingga berhenti produksi telurnya. Itik peking

mengalami rontok bulu pada akhir periode produksi sehingga dikelompokkan

sebagai itik late molting. Sifat rontok bulu dengan kategori late molting

merupakan salah satu keunggulan itik tersebut sehingga digunakan dalam

penelitian ini untuk disilangkan dengan itik lokal dengan harapan dapat dipelajari

pewarisan sifat rontok bulu yang late molting tersebut, sekaligus mengurangi

kejadian rontok bulu pada itik lokal.

Persilangan dan Heterosis

Prasetyo dan Susanti (1997) menyatakan bahwa program kawin silang

telah umum digunakan dalam industri peternakan, jika fenotipe yang diinginkan

merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi

produksi melalui penggunaan galur jantan dan betina yang spesifik. Perkawinan

antarkelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan, antargalur, antarrumpun,

maupun antarbangsa dengan tujuan untuk pembentukan bangsa baru dengan

menggabungkan sifat-sifat menguntungkan ke dalam ternak silangan untuk

mempercepat peningkatan produktivitas ternak (Martojo 1992; Warwick et al.

1995).

Persilangan dilakukan sebagai strategi untuk pemanfaatan keunggulan

hibrida yang disebut heterosis. Tejadinya heterosis diduga sebagai akibat dari aksi

gen non-aditif seperti efek dominan, overdominan, dan epistasis (Falconer &

Mackay 1996; Noor 2010). Besarnya heterosis bergantung pada dominansi dari

semua pasangan gen yang mempengaruhinya dan rataan perbedaan frekuensi gen

antara kedua tetuanya untuk semua pasangan gen yang ada sehingga semakin jauh

perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya akan semakin tinggi heterosisnya.

Heterosis paling baik pada persilangan tunggal antarpopulasi dengan jarak

genetik yang jauh akan diperoleh pada generasi pertama, kemudian menurun

secara gradual dari F1, F2, F3, dan seterusnya akan hilang pada generasi tertentu.

Nilai heterosis umumnya mempunyai nilai yang berlawanan dengan nilai

heritabilitas. Noor (2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi nilai

heritabilitas suatu sifat akan semakin kecil nilai heterosis. Hal ini disebabkan

13

heritabilitas dikontrol oleh aksi gen aditif, sedangkan heterosis dipengaruhi oleh

aksi gen nonaditif.

Romanov et al. (2002) mempelajari gen major sex-linked dan gen

dominan autosomal sebagai gen yang mempengaruhi sifat mengeram melalui

persilangan ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang

mengeram. Prasetyo dan Susanti (2000) melakukan persilangan itik alabio dengan

mojosari untuk meningkatkan produksi telur pada hasil persilangannya. Huang et

al. (2009) mempelajari peta genetik itik melalui AFLP fingerprinting dengan

melakukan persilangan antara itik brown tsaiya, sebagai galur petelur lokal di

Taiwan, dengan itik peking, yang dikenal sebagai galur pedaging. Berdasarkan

uraian di atas, program persilangan dilakukan untuk berbagai tujuan. Pada

penelitian ini pun digunakan program persilangan yang serupa, yaitu antara itik

peking dan itik lokal alabio untuk mempelajari sifat-sifat rontok bulu secara

genetis.

Upaya peningkatan produktivitas ternak melalui persilangan biasanya

dikombinasikan dengan seleksi. Suksesnya suatu program persilangan bergantung

pada materi genetik individu-individu yang disilangkan, metode seleksi dan

sistem perkawinan yang digunakan (Warwick et al. 1995).

Seleksi

Seleksi berperan dalam pengubahan frekuensi gen yang mengatur sifat

kualitatif dan kuantitatif (Falconer & Mackay 1996; Noor 2010). Kegiatan seleksi

merupakan aktivitas paling penting bagi pemulia dan sebagai dasar utama dalam

pemuliaan ternak (Warwick et al. 1995). Tujuan seleksi adalah memilih ternak-

ternak dengan sifat yang diinginkan untuk dijadikan tetua dan dihasilkan generasi

berikutnya. Pada sektor peternakan, sifat-sifat yang diinginkan adalah sifat unggul

yang berhubungan dengan produktivitas dan biasanya adalah sifat kuantitatif. Di

tingkat peternak, seleksi biasanya dilakukan berdasarkan sifat kualitatif yang

diduga berhubungan dengan produktivitas karena pada umumnya peternak tidak

memiliki catatan produksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dicoba mencari

peubah dari rontok bulu yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dan

berhubungan dengan produksi telur. Sifat-sifat tersebut diharapkan dapat

14 dijadikan sebagai kriteria seleksi sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak

secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Seleksi yang paling banyak dan mudah dilakukan adalah berdasarkan

catatan atau fenotipe individu yang bersangkutan sehingga disebut seleksi

individu atau seleksi massa (Noor 2010). Seleksi ini hanya efektif untuk sifat-sifat

yang terdapat pada kedua jenis kelamin, namun kurang akurat untuk sifat-sifat

yang hanya muncul pada salah satu jenis kelamin saja. Seleksi berdasarkan sifat

rontok bulu sebagai peubah sifat kualitatif dapat dilakukan dengan seleksi

individu ini. Pada sifat yang hanya muncul pada ternak betina saja, seperti

produksi telur, memerlukan metode seleksi yang lain, yaitu seleksi berdasarkan

catatan keturunan (progeny test), tetua (silsilah), atau kerabatnya (kolateral),

terutama untuk ternak-ternak yang hanya menghasilkan satu keturunan per tahun

dengan interval generasi yang panjang. Pada unggas, dengan interval generasi

yang relatif singkat, yaitu sekitar 1 tahun, metode seleksi berdasarkan progeny

kurang efektif karena ketika informasi tetua unggul diperoleh, tetua tersebut sudah

memasuki masa tidak produktif. Oleh karena itu, pemilihan pejantan untuk

dikawinkan dengan betina terseleksi dapat memanfaatkan itik-itik jantan yang

berasal dari keturunan betina-betina terseleksi segenerasi, dengan asumsi bahwa

pejantan tersebut mempunyai sifat unggul yang diinginkan karena berasal dari

induk-induk betina terseleksi.

Sistem perkawinan dengan memanfaatkan pejantan dan induk dari

generasi yang sama dikenal dengan perkawinan interse (Martojo 1992).

Perkawinan interse biasanya dilakukan dalam upaya untuk pemantapan galur

dengan sifat yang diinginkan sudah terfiksasi. Perkawinan interse akan

mengurangi nilai keragaman sifat yang diinginkan tersebut dan galur dikatakan

“mantap” atau stabil apabila nilai keragamannya kurang dari 5%.

Pertumbuhan Bulu

Pertumbuhan bulu pada hewan unggas dimulai sejak tahapan embrio

(Bellairs & Osmond 2005). Folikel-folikel bulu tumbuh pada batas tertentu di

permukaan kulit dan disebut pterylae yang tampak pada daerah tulang belakang

memanjang dari leher sampai ekor dan sekitar dada. Penampakan pterylae secara

15

ventral dan lateral terdapat pada paha, sayap, dan kepala. Pterylae pada itik

hampir menyebar di seluruh tubuh, sedangkan pada ayam hanya ada di bagian-

bagian tertentu dari bagian tubuhnya (Gambar 2).

Gambar 2 Penyebaran pterylae pada itik (a) dan ayam (b).

Pada Gambar 2 tampak bahwa folikel bulu itik menyebar hampir di

seluruh permukaan kulit sehingga pterylae pun tampak pada seluruh permukaan

kulit, sedangkan folikel bulu ayam hanya tumbuh pada bagian tertentu di

permukaan kulit sehingga pterylae tampak jelas membatasi folikel-folikel bulu

ayam. Hal ini menyebabkan perbedaan ketika proses membului. Itik memerlukan

perlakuan khusus, biasanya menggunakan lilin untuk melepaskan bulunya,

sedangkan pada ayam pencabutan bulu dapat dilakukan dengan mudah hanya

dengan mencelupkannya pada air panas.

La Bonde (1998) menyatakan bahwa fungsi bulu pada spesies unggas

sangat penting, yaitu sebagai insulator, pelindung terhadap suhu lingkungan yang

ekstrim, untuk terbang, dan memperindah penampilan. Selanjutnya, Bellairs dan

Osmond (2005) menyatakan bahwa bulu pada itik dewasa yang menentukan

plumage terdapat tiga tipe, yaitu :

1. Bulu kontur (contour feather), yaitu bulu penutup tubuh itik yang terdapat

pada sayap dan ekor. Bulu kontur terdiri atas batang atau rachis dengan

percabangan (vane) di luar dan di dalam yang disusun parallel seperti duri dan

disebut barb yang ditutupi semuanya oleh barbules.

b a

Comment [T4]: Cek: contour atau countour

16 2. Bulu bagian bawah (down feather) yang terdapat di bawah bulu kontur dengan

tekstur bulu halus dan lembut. Bulu-bulu tersebut hanya mempunyai batang

yang pendek dengan barb dan barbules yang menyebar bebas.

3. Tipe bulu yang ketiga adalah filoplumae dengan bentuk batang pendek,

fleksibel, seperti rambut dengan dibatasi barb sampai ke puncak.

Itik yang baru menetas mempunyai bulu penutup dari down feather halus

dan pendek, hampir mirip dengan plumule dewasa. Pertumbuhan bulu down

feather pada anak itik terjadi selama 10 hari sejak menetas, kemudian bulu-bulu

tersebut akan tumbuh dengan cepat menjadi bulu kontur selama 50 sampai 60

hari, termasuk bulu sayap primer maupun sekunder yang tumbuh dengan cepat

pada umur 24 sampai 56 hari. Pada molting pertama, bulu-bulu muda muncul dari

folikel-folikel yang sama. Bulu-bulu muda yang paling luar mirip dengan bulu

kontur pada unggas dewasa, tetapi mempunyai tekstur yang lebih halus. Bagian-

bagian bulu tersebut tercantum

pada Gambar 3.

Sumber : Bellairs & Osmond (2005) Gambar 3 Bagian-bagian bulu itik dewasa terdiri atas bulu kontur (a)

dan bulu halus (down feather) (b).

17

Pertumbuhan bulu baru distimulir oleh hormon tiroksin dan prolaktin

(Steven 1996). Setiap folikel bulu mengalami siklus perubahan pertumbuhan

dengan merujuk pada fase anagen, bergiliran dengan periode istirahat (fase

telogen). Istilah anagen dan telogen diadopsi dari pertumbuhan rambut (Spearman

1971). Fase pertumbuhan folikel bulu terjadi sebelum molting plumage tua yang

terjadi setiap tahun. Sekali terjadinya molting, maka feather yang lengkap akan

tumbuh pada tempat melekatnya folikel yang rontok tersebut. Pada akhir periode

pertumbuhan telogen, folikel sel semula sekali lagi masuk ke dalam periode

anagen yang pendek. Seperti halnya pertumbuhan, bulu baru akan tumbuh ke atas

mengarah pada permukaan kulit. Bulu-bulu tua didorong ke luar kanal, namun

masih tersisa folikel yang ada di dalam pembungkus berbentuk tanduk sebagai

tempat tumbuhnya bulu-bulu baru. Ketika pembungkus ini terbuka untuk

mendapatkan bulu baru, maka bulu-bulu tua akan jatuh sehingga peristiwa

molting adalah murni proses mekanis dari tumbuhnya bulu-bulu generasi baru

(Spearman 1971). Proses pertumbuhan bulu baru dan lepasnya bulu lama

tercantum pada Gambar 4.

Sumber : Spearman (1971) Gambar 4 Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase telogen), (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru), dan (c) fase anagen akhir (lepasnya bulu lama dan munculnya bulu baru pada

epidermis).

18

Sifat Rontok Bulu

Rontok bulu adalah proses lepasnya bulu-bulu lama karena terdorong oleh

pertumbuhan bulu-bulu baru (Spearman 1971). Kejadian rontok bulu berkaitan

dengan peremajaan saluran reproduksi sehingga masa rontok bulu disebut juga

masa istirahat memproduksi telur (Berry 2003).

Setiap tahun kebanyakan unggas secara alami mengalami penurunan bobot

badan hampir 40% yang berhubungan dengan lepasnya bulu-bulu sayap dan

menurunnya aktivitas reproduksi (Brake & Thaxton 1979; Mrosovsky & Sherry

1980). Biasanya hewan liar mengatur sendiri untuk mengambil masa istirahat

bertelur pada musim-musim tertentu, terutama ketika kurangnya ketersediaan

pakan sehingga kejadian rontok bulunya hanya satu kali dalam setahun (Bell

2003). Pada ternak domestik, banyak hal pemicu munculnya sifat rontok bulu.

Setioko (2005) mengungkapkan faktor-faktor penyebab rontok bulu adalah

kurangnya ketersediaan pakan, perubahan susunan ransum pada itik yang

dikandangkan, perpindahan kandang, adanya hewan pengganggu, dan lingkungan

yang tidak nyaman dapat menyebabkan itik mengalami rontok bulu. Banyaknya

faktor pemicu tersebut mengakibatkan munculnya rontok bulu dapat terjadi setiap

saat secara spontan bersama-sama atau bersifat sporadis. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa munculnya rontok bulu adalah akibat stress dan

kejadiannya bergantung pada ketahanan masing-masing individu terhadap stress

tersebut (Webster, 2000; Duncan, 2001). Ketahanan individu terhadap stress

dikontrol oleh gen, sehingga munculnya kejadian rontok bulu pun diduga

dipengaruhi oleh gen, dan penanganan terhadap rontok bulu dapat dilakukan

secara genetis pula.

Berry (2003) menyatakan bahwa kejadian mengeram merupakan faktor

utama yang menginisiasi rontok bulu secara alami. Hampir semua unggas

mengalami penurunan konsumsi pakan dan bobot badan selama masa mengeram

(Sherry et al. 1980). Perubahan-perubahan fisiologis ini menyebabkan

berhentinya sistem reproduksi sehingga akan menghentikan produksi telur (Park

et al. 2004). Unggas-unggas yang telah mengalami masa rontok bulu akan

menunjukkan produksi telur yang lebih tinggi, efisiensi pakan yang lebih baik,

dan kualitas kerabang yang lebih baik (Lee 1982).

Comment [T5]: Terjadi bersamaan tanpa ada hubungan fungsional atau memang harus rontok bulu dulu untuk meremajakan saluran reproduksi?

19

Kejadian rontok bulu yang bersifat alami pada unggas ini membuat para

peternak berupaya dengan berbagai cara agar ternak peliharaannya mengalami

rontok bulu secara serempak atau forced molting yang biasanya dilakukan dengan

pengambilan pakan dari kandang atau feed withdrawal, yaitu memuasakan ternak

dengan hanya diberi air minum atau pemberian pakan dengan jumlah yang sangat

terbatas dan kualitas rendah (Setioko 2005). Kegiatan forced molting banyak

ditentang oleh para pencinta binatang karena termasuk kegiatan penyiksaan yang

merupakan pelanggaran terhadap animal welfare. Hal ini memerlukan upaya dari

bidang ilmu lain untuk mengatasi rontok bulu. Salah satunya dari ilmu genetika

yang akan memberikan dampak yang lebih permanen.

Rontok bulu dapat dibagi dua, yaitu rontok bulu kecil apabila bulu badan

rontok dan rontok bulu besar, yaitu bila bulu sayap yang rontok. Sebelum rontok

bulu besar, biasanya itik akan mengalami rontok bulu kecil terlebih dahulu atau

terjadi secara bersamaan. Kadang-kadang itik langsung mengalami rontok bulu

besar tanpa harus melalui rontok bulu kecil. Rontok bulu besar ialah lepasnya bulu

sayap, baik primer maupun sekunder. Andrews et al. (1987) dan Herremans et al.

(1988) menyatakan bahwa rontoknya bulu sayap primer berpengaruh pada

penampilan reproduksi setelah molting. Hilangnya bulu sayap primer dengan jelas

disebabkan oleh tidak adanya pengaruh oestrogenic pada papilla bulu (Peczely

1992). Oleh karena itu, produksi estrogen mencapai titik paling rendah selama

terjadinya rontok bulu sayap primer (Park et al. 2004), sedangkan menurut

Setioko (2005) rontok bulu besar ditandai dengan lepasnya bulu sayap sekunder

ke 12, 13 dan 14 yang akan rontok terlebih dahulu sebelum bulu sayap yang lain.

Pada penelitian ini digunakan kategori rontok bulu sayap primer dan sekunder,

karena rontoknya kedua jenis bulu tersebut berkaitan dengan berhenti bertelur.

Tanda-tanda lain yang perlu mendapat perhatian pada itik yang rontok bulu ialah

produksi telur. Gejala penurunan produksi yang tajam tanpa ada alasan atau sebab

(biasanya sampai 20-30%) mengindikasikan itik akan segera rontok bulunya.

Pada saat rontok bulu, ovarium unggas mengalami pengecilan (regress)

sehingga produksi telur secara otomatis akan berhenti. Berry (2003) menyatakan

bahwa kejadian mengeram dikontrol oleh hormon prolaktin.

20

Hormon Prolaktin

Kejadian rontok bulu merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks

dengan melibatkan peranan hormon gonadotropin dan hormon lain, yaitu tiroksin

dan prolaktin (Steven 1996; Berry 2003). Hormon prolaktin terlibat pula dalam

pembentukan telur, yaitu dalam proses pembuatan kerabang dalam saluran shell

gland (Hazelwood 1983). Berdasarkan fungsi ganda dari hormon prolaktin

tersebut maka diduga rontok bulu berkaitan erat dengan berhentinya produksi

telur akibat kerja hormon prolaktin. Oleh sebab itu, diduga bahwa gen pengontrol

sifat rontok bulu adalah gen prolaktin (Bhattacharya et al. 2011; Alipanah et al.

2011; Cui et al. 2006).

Hormon prolaktin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh hipofisa

anterior, bersama-sama dengan hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH untuk

merangsang kelenjar saluran reproduksi agar menghasilkan hormon seks, yaitu

estrogen, progesterone, dan androgen. Hazelwood (1983) menyatakan bahwa

hormon prolaktin terlibat dalam pembentukan telur, yaitu ketika proses

pembuatan kerabang di saluran shell gland. Efek kerja hormon adalah negative

feedback mechanism (Djojosoebagjo 1996), sehingga bila kadar hormon prolaktin

di dalam peredaran darah mencapai suatu keadaan yang telah melebihi dari yang

diperlukan maka produksi yang terus menerus akan mengacaukan keseimbangan.

Konsentrasi prolaktin di dalam darah meningkat setelah masa produksi telur.

Level hormon prolaktin yang tinggi akan menurunkan pengeluaran gonadotropin-

releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus, selanjutnya akan menurunkan

pengeluaran luteinizing hormone (LH) dari hipofisis sehingga tidak ada telur yang

diovulasikan (Tabibzadeh et al. 1995). Pada spesies unggas yang menunjukkan

sifat mengeram, seperti ayam hutan ataupun ayam-ayam domestik lainnya,

perubahan hormon endokrin yang terjadi pada saat induksi molting dimulai

dengan meningkatnya level prolaktin. Sastrodiharjo (1996) menyatakan bahwa

sifat mengeram dikontrol oleh hormon prolaktin. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa ayam kampung yang dimandikan setiap dua hari sekali pada

saat mengeram akan menurun hormon prolaktinnya dibandingkan dengan yang

tidak dimandikan, yaitu masing-masing sebesar 2.66 ng/mL dan 4.17 ng/mL

plasma darah. Menurunnya hormon prolaktin ini berkaitan dengan lamanya

21

istirahat produksi telur. Istirahat produksi telur pada ayam yang dimandikan

adalah 12.7 hari, sedangkan pada ayam yang tidak dimandikan adalah 41.2 hari.

Kejadian rontok bulu pada itik-itik lokal juga menyebabkan berhentinya produksi

telur sehingga diduga bahwa sifat rontok bulu juga berhubungan dengan hormon

prolaktin.

Sekresi hormon-hormon reproduksi yang mempengaruhi rontok bulu

tersebut diduga dikontrol oleh gen-gen tertentu sehingga kejadian rontok bulu

berbeda pada setiap spesies dan jenis unggas. Purba (2005) menyatakan bahwa

lamanya rontok bulu pada itik alabio lebih cepat daripada itik mojosari. Hal ini

mengindikasikan bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh bangsa ternak atau

gen.

Pola Pewarisan Sifat Rontok Bulu

Upaya untuk mengatasi sifat rontok bulu pada itik dapat didekati dengan

mempelajari kejadian mengeram pada ayam dengan asumsi bahwa mekanisme

genetisnya dikontrol oleh gen yang sama karena proses fisiologisnya yang sama,

yaitu terkait dengan kelangsungan produksi telur. Sartika (2005) menyatakan

bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang diwariskan. Tinggi rendahnya sifat

mengeram bergantung pada faktor genetik, seperti bangsa atau strain ayam.

Lessons dan Summer (2000), menyatakan bahwa sifat mengeram memiliki nilai

heritabilitas relatif tinggi sehingga sifat ini dapat digunakan sebagai kriteria

seleksi.

Pengamatan secara genetik atas sifat rontok bulu masih jarang dilakukan.

Pendekatan dengan sifat mengeram mungkin akan memberikan hasil yang sama.

Berdasarkan hasil penelitian Dunn et al. (1998) diperoleh bahwa sifat mengeram

dikontrol oleh gen utama yang terpaut kelamin (major gen sex-linked).

Dinyatakan pula bahwa lokasi gen mayor sifat mengeram ini terletak pada

kromosom Z. Romanov et al. (2002) menegaskan bahwa secara genetik sifat

mengeram tidak hanya dipengaruhi oleh gen sex-linked, akan tetapi dipengaruhi

pula oleh adanya aksi gen dominan autosomal tidak lengkap pada satu lokus

dengan genotipe AA, sedangkan pada ayam yang tidak mengeram dikontrol oleh

gen dominan autosomal tidak lengkap sebagai inhibitor dengan genotipe BB.

22 Artinya bahwa paling sedikit terdapat 3 pasang gen yang mempengaruhi sifat

mengeram, yaitu 1 gen terpaut kelamin pada kromosom Z dan 2 gen autosomal

yang terdiri atas 1 penyebab dan 1 penghambat sifat mengeram, dan keduanya

mempunyai pengaruh yang sama. Pendugaan pola pewarisan sifat mengeram

tersebut dilakukan pada persilangan resiprokal (F1) dan backcross (F2) antara

ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang mempunyai

sifat mengeram tinggi. Pola pewarisan sifat rontok bulu diduga sama dengan pola

pewarisan sifat mengeram pada ayam. Ilustrasi pola pewarisan tersebut tercantum

pada Gambar 5.

Sumber : Romanov et al. (2002) Gambar 5 Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara

ayam white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan dengan white leghorn betina (b), dan persilangan backcross F1 jantan dengan white leghorn betina (c).

♂ WL X ♀ B aaBB AAbb F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb

♂ B X ♀ WL AAbb aaBB F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb

a b

♂ F1(♂ WL X ♀ B) X ♀ WL AaBb aaBB F2 : ♂ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBb; ♀ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBB

c