tinjauan hukum perdata internasional mengenai kontrak …
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI
KONTRAK INTERNASIONAL DAN PENERAPAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2009 (STUDI KASUS: PT BANGUN
KARYA PRATAMA LESTARI MELAWAN NINE AM LTD)
M. Yuli Setiawan
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
Abstrak
Perjanjian pinjam-meminjam merupakan salah satu bentuk perjanjian dalam ranah hukum privat. Perjanjian pinjam-meminjam dapat juga menjadi perjanjian yang bersifat Hukum Perdata Internasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur setiap perjanjian atau nota kesepahaman yang dibuat melibatkan subyek hukum Indonesia dengan pihak asing harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini merupakan kaidah memaksa dan bukan ketertiban umum. Antara kaidah memaksa dengan ketertiban umum memang terdapat bidang irisan, tetapi tidak selalu apa yang termasuk kaidah memaksa merupakan bertentangan dengan ketertiban umum. Ketentuan tersebut juga mempengaruhi keabsahan dari kontrak internasional yang memiliki titik taut dengan wilayah atau kepentingan Indonesia.
Kata Kunci:
Perjanjian pinjam-meminjam, kaidah memaksa, ketertiban umum
PRIVATE INTERNATIONAL LAW ON REVIEW ABOUT INTERNATIONAL CONTRACT AND APPLICATION OF LAW 24/2009
(CASE STUDY: PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI V. NINE AM LTD)
Abstract
Loan agreement is one form of private law. Loan agreement can also be an agreement that is both Private International Law. Under the provisions of Article 31 paragraph (1) and (2) Law of 24/2009 organize any agreement or memorandum of understanding that created involving Indonesian law subjects with foreign parties must be made in Indonesian. This provision is a mandatory rules and not a public order. Among the rules to force the public order there was indeed a slice field, but it is not always what is included mandatory rules is contrary to public order. Such provision also affects the validity of an international contract that has a point link with the territory or the interests of Indonesia.
Keywords:
Loan agreement, mandatory rules, public order
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Pendahuluan
Memasuki abad ke-21 interaksi antara negara-negara di dunia mengalami peningkatan
intensitas. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis yang tak terelakkan dari suatu kondisi
yang dikenal dengan istilah “globalisasi,"1 termasuk di dalamnya globalisasi ekonomi.2
Wujud riil dari kondisi tersebut terlihat dari semakin meningkatnya transaksi bisnis
internasional.3 Transaksi tersebut merupakan sebuah hubungan hukum. Hubungan hukum
tersebut menciptakan adanya hak dan kewajiban terhadap para pihak terhadap pihak lainnya.
Dasar dari hubungan hukum dalam transaksi bisnis internasional tersebut ialah hubungan
kontraktual.
Transaksi bisnis internasioanal yang sering terjadi ialah perjanjian pinjam-meminjam
(loan agreement). Perjanjian pinjam-meminjam merupakan salah satu perjanjian dalam ranah
hukum perdata.4 Perjanjian pinjam-meminjam dapat menjadi bersifat internasional karena
adanya unsur-unsur asing dalam perjanjian tersebut, misalnya para pihak (subyek) atau obyek
dari perjanjian tersebut. Kontrak yang bersifat internasional sering dibedakan dengan kontrak
yang bersifat nasional. Perbedaannya, bahwa kontrak nasional yang dibuat tetapi ada unsur-
1 Globalisasi memiliki banyak makna atau pengertian tergantung darimana titik berat yang diutamakan dari pemberian pengertian istilah tersebut. Pembahasan yang cukup baik dari pengertian-pengertian globalisasi ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Martin Wolf, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan [Why Globalization Works], diterjemahkan oleh Samsudin Berlian, cet. 1, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Freedom Institute, 2007).
2 Cukup sulit untuk memberikan definisi yang tuntas dari istilah globalisasi ekonomi ini, mungkin definisi terbaik dari istilah globalisasi ekonomi menurut Martin Wolf, seorang ekonom senior Bank Dunia sebagaimana beliau kutip dari Brink Lindsey dari Cato Institute di Washington, dalam bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan globalisasi ekonomi itu dalam tiga makna yang saling berhubungan. Pertama, globalisasi sebagai fenomena ekonomi. Kedua,globalisasi sebagai fenomena politik. Ketiga, globalisasi sebagai keterkaitan antara fenomena politik dan ekonomi dalam ruang lingkup internasional. Menurut Martin Wolf dari ketiga pengertian tersebut memiliki makna yang saling berkaitan. Martin Wolf, Op. Cit., hlm. 17., dikutip dari Brink Lindsey, Against the Dead Hand: The Uncertain Struggle for Global Capitalism, (Washington DC: Jhon Wiley, 2002), hlm. 275.
3 Tidak ada definisi yang baku mengenai transaksi bisnis internasional, tetapi kurang lebih dapat disimpulkan bahwa transaksi bisnis internasional adalah suatu bentuk transaksi (dalam arti luas seperti jual beli, lisensi, penanaman modal misalnya) yang melibatkan pihak yang bersifat melintasi batas negara. Kenneth C. Randall dan Jhon E. Norris, "A New Paradigm for International Business Transactions," Washington University Law Review Vol. 71, (1993), hlm. 599. 4 Pada penulisan jurnal ini istilah yang digunakan sebagai padanan dari loan agreement adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang digunakan pada salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor Registrasi Perkara 451/PDT.G/2012/PN.Jkt.Bar.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
unsur asing.5 Bersifat internasional di sini maksudnya ada unsur-unsur asingnya bukan
internasional dari segi hukumnya, tetapi peristiwa, materi, dan fakta-faktanya yang
internasional, sedangkan sumber hukumnya tetap hukum nasional.6
Pada perjanjian pinjam-meminjam sama seperti perjanjian pada umumnya berlaku asas
kebebasan berkontrak. Untuk hal-hal tertentu, kebebasan berkontrak dibatasi oleh aturan-
aturan yang disebut sebagai kaidah memaksa (mandatory rules), yakni kaidah hukum yang
tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam perjanjian. Persoalan kaidah memaksa
dalam perjanjian tercermin pada kasus perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bangun Karya
Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd. Pada saat perjanjian pinjam-meminjam ini disepakati
oleh para pihak, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut "UU No. 24 Tahun 2009")
khususnya Pasal 31 ayat (1) dan (2), menentukan bahwa setiap perjanjian yang melibatkan
subyek hukum Indonesia dengan pihak asing, maka perjanjian tersebut wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia.7
Pada pelaksanaan perjanjian tersebut, PT Bangun Karya Pratama Lestari menggugat
Nine AM Ltd. Penggugat mendalilkan bahwa perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum
karena melanggar kaidah-kaidah hukum publik yang bersifat memaksa yang tidak dapat
disimpangi, khususnya ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009, yang
mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia pada perjanjian atau nota kesepahaman.8 Putusan
pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan perjanjian pinjam-
5 Sudargo Gautama (a), Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 7.
6 Sudargo Gautama (b), Pengantar Hukum Perdata Internasional, cet. 5, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 3-4.
7 Indonesia (a), Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, UU No. 24 Tahun 2009, LN RI No. 109 Tahun 2009, TLN RI No. 5035 Tahun 2009, Pasal. 31 ayat (1) dan (2).
Pasal 31 1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
8 Salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor Registrasi Perkara 451/PDT.G/2012/PN.Jkt.Bar., hlm. 3-4.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
meminjam antara kedua belah pihak batal demi hukum.9 Putusan pada tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Jakarta dan putusan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung juga
menyatakan perjanjian tersebut batal demi hukum.10
Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan
perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bina Karya Pratama Lestari dan Nine AM Ltd bahwa
perjanjian tersebut bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009.
Oleh karena itu, merupakan perjanjian terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang.
Majelis hakim merujuk pada Pasal 1335 jo. 1337 KUHPerdata, pertimbangan ini
memperlihatkan irisan antara persoalan kaidah memaksa dan ketertiban umum. Keberlakuan
Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 juga mempengaruhi keabsahan suatu
kontrak atau perjanjian.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, pokok-pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 1) Apakah ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No.
24 Tahun 2009 merupakan kaidah memaksa atau ketertiban umum ditinjau dari hukum
perdata internasional?; dan 2) Bagaimana keabsahan kontrak internasional dengan
keberlakuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009?
Tinjauan Teoritis
Untuk membatasi ruang lingkup dari penelitian ini, penulis akan memberikan beberapa
istilah kunci yang digunakan untuk memperjelas dan menseragamkan pemahaman dari topik
penelitian ini supaya tidak timbul perbedaan persepsi dan pemahaman yang berbeda.
1. Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan stelsel-stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara
pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan
9 Ibid., hlm. 63.
10 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor Registrasi Perkara 48/PDT/2014/PT.DKI., hlm. 5. Portal Informasi Kepaniteraan Mahkamah Agung yang diakses pada pada tanggal 11 Juni 2016 pukul 11.48 WIB http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/perkara_detail.php?id=7ad59ba0-f39d-139d-97a8-31313130
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-
lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal.11
2. Status Personal adalah kelompok kaidah-kaidah (hukum yang) mengikuti seseorang di
mana pun ia pergi.12
3. Pilihan Hukum adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk dalam bidang
perjanjian memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan. Para pihak memiliki
kebebasan untuk memilih hukum yang diperlakukan untuk perjanjian mereka.13
4. Unsur Asing adalah ada unsur luar negerinya, bukan sumber-sumbernya yang
internasional tetapi hubungan-hubungannya adalah internasional.14
5. Kaidah Memaksa adalah ketentuan hukum yang tidak dapat disimpangi atau dilanggar.15
6. Ketertiban Umum adalah keadaan di mana kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku,
menjadi dikesampingkan apabila bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari hukum sang
hakim.16
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu
penelitian yang menggunakan bahan pustaka sebagai bahan utama penelitian baik yang
berupa bahan hukum tertulis maupun hukum positif.17 Tipe dari penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:18
11 Sudargo Gautama (b), Op. Cit., hlm. 21.
12 Sudargo Gautama (d), Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid III Bagian 1 Buku ke-7, ed. 2, cet. 2, (Bandung: PT Alumni, 2004), hlm. 3.
13 Sudargo Gautama (c), Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 4 Buku ke-5, ed. 2, cet. 3, (Bandung: PT Alumni, 2004, hlm. 5.
14 Sudargo Gautama (b), Op. Cit., hlm. 3-4.
15 Sudargo Gautama (c), Op. Cit., hlm. 6.
16 Sudargo Gautama (e), Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 3 Buku ke-4, ed. 2, cet. 3, (Bandung: PT Alumni, 2007), hlm. 15.
17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet. 13, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 29.
18 Ibid., hlm. 33.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
1. Bahan hukum primer, yakni berupa putusan pengadilan dan peraturan perundang-
undangan.
2. Bahan hukum sekunder, yakni buku-buku dan referensi yang terkait seperti jurnal,
artikel majalah yang mendukung penjelasan bahan hukum primer.
3. Bahan hukum tersier, seperti kamus dan ensiklopedi khusunya digunakan untuk
mendapatkan definisi secara singkat mengenai istilah atau terminologi tertentu.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kaidah memaksa (mandatory rules, dwingend recht) merupakan salah satu persoalan
yang sering dibahas dalam persoalan HPI.19 Masalah tentang kaidah memaksa menjadi salah
satu persoalan penting dalam ranah HPI. Karena seiring dengan semakin meningkatnya
volume transaksi bisnis internasional. Terlebih penerapan suatu kaidah memaksa juga terkait
dengan kepentingan nasional suatu negara.20 Karena dengan adanya kaidah memaksa justru
mempengaruhi hubungan hukum antara para pihak maupun mengubah atau menciptakan hak
dan kewajiban dari hubungan hukum tersebut.21 Karena pada dasarnya semua aturan yang
bersifat kaidah memaksa memiliki sifat untuk mengikat dan tidak memungkinkan untuk
dihilangkan atau disimpangi oleh para pihak dalam perjanjian, karena kaidah memaksa ini
terkait dengan kepentingan nasional suatu negara. Para subyek hukum kadang bertemu
dengan ketentuan kaidah memaksa pada lex fori, lex causae, atau negara ketiga di mana
pelaksanaan kontrak atau perjanjian memiliki hubungan. Negara ketiga ini bisa berupa negara
di mana perjanjian dibuat, prestasi perjanjian dilaksanakan, tempat sesungguhnya berada
(habitual residence) atau tempat di mana menjalankan bisnisnya sehari-hari.22
19 Kerstin Ann-Susann Schafer, "Application of Mandatory Rules in the Private International Law of Contracts: A Critical Analysis of Approaches in Selected Continental and Common Law Jurisdictions, with a View to the Development of South Africa Law, "([Thesis] Disertasi Doktor University of Cape Town, Cape Town, 2002), hlm. 1.
20 Kerstin Ann-Susann Schafer, Op. Cit., hlm. 4.
21 Ibid., dikutip dari Trevor C. Hartley, "Beyond the Proper Law, Mandatory Rules Under Drafts Convention on the Law Applicable to Contractual Obligations, " European Law Reports 4, (1979), hlm. 236-237.
22 Ibid., dikutip dari Kurt Lipstein, "Conflict of Public Laws – Visions and Realities dalam Feschrift fur Imre Zajtay, "(Tubingen: [S.P], 1982), hlm. 357.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Kaidah memaksa sering juga dibedakan antara kaidah memaksa intern dan kaidah
memaksa ekstern (international mandatory rules).23 Pada persoalan HPI, yang memiliki
sumber hukum utama yaitu hukum nasional masing-masing negara,24 maka sumber hukum
untuk kaidah memaksa itu juga bersumber dari hukum masing-masing negara. Suatu kaidah
memaksa yang digolongkan sebagai kaidah memaksa intern justru tidak jarang berlaku pula
sebagai kaidah memaksa ekstern.25 Hal ini berarti tidak semua kaidah memaksa intern
merupakan kaidah memaksa ekstern. Antara kaidah memaksa dan ketertiban umum memang
memiliki hubungan, tetapi tidak semua kaidah memaksa adalah juga ketertiban umum.26
Sedikit dibahas mengenai bagaimana suatu aturan dapat digolongkan sebagai kaidah
memaksa. Kaidah hukum berdasarkan sifatnya dibedakan atas kaidah hukum imperatif dan
kaedah hukum fakultatif.27 Kaidah imperatif adalah kaidah hukum yang secara a priori harus
ditaati. Artinya suatu perbuatan hukum harus mentaati kaidah hukum yang berhubungan
dengan perbuatan itu. Kaidah hukum imperatif merupakan kaidah yang di dalam suatu
keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat para pihak.28
Kaidah fakultatif adalah kaidah hukum yang secara a priori tidak mengikat atau wajib
dipatuhi. Artinya suatu perbuatan hukum tidak harus mentaati kaidah hukum yang
berhubungan dengan perbuatan tersebut.29 Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka, suatu kaidah hukum yang bersifat memaksa memiliki dua maksud
kemungkinan, yakni tidak dapat dielakkan atau dilanggar dan melakukan paksaan.30
Hubungan antara isi kaidah hukum dengan sifat kaidah hukum, bahwa kaidah hukum yang
berisi perintah atau larangan merupakan kaidah hukum yang bersifat imperatif dan kaidah 23 Sudargo Gautama (c), Op. Cit., hlm. 123.
24 Sudargo Gautama (b), Op. Cit., hlm. 4.
25 Sudargo Gautama (c), loc. cit.
26 Soerjono Soekanto dan Purnadhi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, cet. 6, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.129.
27 Ibid.
28 Ibid.
29 Ibid.
30 Ibid., hlm. 57-58.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
hukum yang berisi kebolehan merupakan kaidah hukum yang bersifat fakultatif. Untuk
kaidah hukum imperatif sering disebut juga sebagai hukum memaksa, sedangkan untuk
kaidah hukum fakultatif sering disebut juga sebagai hukum mengatur.31
Membaca rumusan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009, dari penggunaan
kata-kata wajib, secara jelas hal tersebut merupakan isi kaidah hukum yang berisi perintah.
Isi kaidah hukum yang bersifat perintah merupakan kaidah hukum yang bersifat imperatif.
Berdasarkan tinjauan dari segi isi dan sifat kaidah hukum, ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2)
UU No. 24 Tahun 2009, maka ketentuan tersebut adalah kaidah hukum yang bersifat
memaksa.
Tinjauan dari segi perundang-undangan, suatu aturan hukum harus memenuhi
keberlakuan secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Ditinjau dari segi keberlakuan yuridis,
UU No. 24 Tahun 2009 merupakan pengaturan lebih lanjut dari norma hukum diatasnya yaitu
UUD 1945. Pada BAB XV UUD 1945 yang berjudul Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah
Putih, Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia, Lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal
36 secara jelas menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang berlaku. Pasal
36C sebagai pasal baru dari amandemen UUD 1945 menyatakan, "ketentuan lebih lanjut
mengenai bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan untuk diatur dengan
undang-undang."32
Keberlakuan secara sosiologis UU No. 24 Tahun 2009 khususnya Pasal 31 ayat (1) dan
(2) bisa dilihat pada jumlah penutur bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa
dengan jumlah penutur terbesar ke-10 di dunia.33 Terlebih lagi setelah bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa resmi ASEAN, maka jumlah individu yang menuturkan bahasa
Indonesia akan jauh lebih banyak lagi. Dengan jumlah penutur yang sedimikian banyak,
maka bukanlah hal yang aneh jika kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian
31 Ibid., hlm. 38.
32 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal. 36C. Sebelumnya hanya terdiri dari dua pasal, setelah amandemen terdiri dari lima pasal dengan tambahan Pasal 36A, 36B, dan 36C.
33 Republika, "Bahasa Apa yang Paling Banyak Dipakai di Dunia?," http://www.m.republika.co.id/berita/senggang/unik/12/11/14/mdtgtm0-bahasa-apa-yang-paling-banyak-dipakai-di-dunia
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
atau nota kesepahaman diterapkan. Jika diperhatikan pada Pasal 3 huruf a UU No. 24 Tahun
2009 bisa dilihat ada tujuan bahwa untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan kesatuan. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pada Pasal 36 UUD 1945 juga
ditetapkan bahasa resmi adalah bahasa Indonesia. Di sini ada ciri yang sangat kental bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa yang harus digunakan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia, yang sering mengalami
konflik bahasa untuk menetapkan bahasa yang dijadikan bahasa resmi negara, maka bangsa
Indonesia sebaliknya sudah memiliki sebuah bahasa yang proses kelahirannya tidak
memunculkan konflik atau pertentangan, yang justru memperoleh dukungan dari suku bangsa
yang ada. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 25 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009
menyatakan, "bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan
nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan
antarbudaya daerah."34 Dari sosiologis, UU No. 24 Tahun 2009 juga telah memenuhi syarat
keberlakuan secara sosiologis.
Keberlakuan secara filosofis, jika kita lihat pada bagian Menimbang UU No. 24 Tahun
2009, bahwa pembentukan UU No. 24 Tahun 2009 sudah sesuai dengan cita hukum positif
tertinggi yakni Pancasila.35 Berdasarkan dari segi daya laku tersebut, UU No. 24 Tahun 2009
telah memenuhi persyaratan sebagai undang-undang yang memenuhi daya laku dari segi
yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Memahami sebuah undang-undang tidak dapat dibaca secara parsial. Seluruh pasal-
pasal dalam undang-undang harus dilihat sebagai kesatuan yang sistematis. Jika diperhatikan
lebih lanjut kewajiban penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada perjanjian
atau nota kesepahaman saja. Hal ini bisa dibaca pada pasal-pasal yang berkaitan dengan
kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, yakni dari Pasal 25 ayat (3) – Pasal 39 UU No. 24
Tahun 2009. Berikut adalah petikan beberapa pasal tersebut.
Pasal 25 ayat (3)
34 Indonesia (a), Op. Cit., Pasal. 25 ayat (2).
35 Ibid., Bagian Menimbang.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Pasal 30
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan.
Pasal 33 ayat (1) dan (2)
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.
(2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.
Jika frasa bahasa Indonesia dibaca sesuai dengan yang dimaksud pasal 1 huruf 2 UU
No. 24 Tahun 2009, maka secara jelas kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sangat terikat
aspek teritorial atau wilayah. Wilayah di sini juga sudah sangat jelas wilayah yang dimaksud
sudah pasti wilayah NKRI. Hal ini berarti jika dibaca secara lengkap, frasa bahasa Indonesia
yang dimaksud pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 akan dibaca bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di wilayah NKRI yang wajib
digunakan dalam perjanjian atau nota kesepahaman yang mana salah pihaknya adalah subyek
hukum Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa kewajiban penggunaan bahasa
Indonesia dalam perjanjian atau nota kesepahaman adalah perjanjian yang memiliki titik taut
dengan wilayah Indonesia. Titik taut ini jika dikaitkan dengan teori HPI misalnya locus
contractus atau perjanjian disepakati di wilayah Indonesia, locus solutionis atau prestasi
perjanjian yang dilakukan wilayah Indonesia ataupun obyek perjanjian terdapat di wilayah
Indonesia. Berdasarkan tinjauan dari segi perundang-undangan, maka ketentuan UU No. 24
Tahun 2009 terutama Pasal 31 ayat (1) dan (2) merupakan ketentuan yang sudah memiliki
kekuatan mengikat dan keberlakuan. Oleh karena itu, merupakan kaidah memaksa.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Ketertiban umum adalah suatu keadaan di mana hukum asing yang seharusnya berlaku
menjadi tidak berlaku karena dianggap bertentangan dengan hukum awak.36 Penerapan
ketertiban umum harus selalu dianggap sebagai rem darurat oleh hakim negara awak.37
Ketertiban umum baru dipergunakan jika ada nilai-nilai keadilan, kesopanan, dan kesusilaan
yang dianggap terancam apabila ketertiban umum tidak diterapkan. Ketertiban umum
memang sering beririsan dengan kaidah memaksa, tetapi tidak selalu apa yang termasuk
kaidah memaksa adalah termasuk ketertiban umum.38 Ketertiban umum sering dikatakan
bersifat relatif, karena penerapan dari ketertiban umum terkait tempat dan waktu. Apa yang
dianggap bertentangan dengan ketertiban umum disuatu negara belum tentu dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum pula di negara lain.
Rujukan mengenai ketertiban umum ini dalam hukum tertulis Indonesia bisa dilihat
pertama-tama pada Pasal 23 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang menyatakan,
"Door gene handelingen of overeenkomsten kana an de wetten, die op de publieke orde of de
goede zeden betrekking hebben, hare kracht ontnomen worden."39 Oleh Sudargo Gautama
diterjemahkan, "Pada perjanjian-perjanjian khusus para pihak tidak dapat melanggar
peraturan-peraturan yang melindungi ketertiban umum dan kesusilaan baik."40 Ketentuan
Pasal 23 AB dianggap berlaku pula dalam ruang lingkup HPI.41 Lalu pada Pasal 1335
KUHPerdata dinyatakan bahwa "suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum." Penjelasan apakah
yang dimaksud dengan suatu sebab yang terlarang pada Pasal 1337 KUHPerdata, "Suatu
sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan yang baik atau ketertiban umum." Di sini hubungan antara ketentuan Pasal 23 AB
dengan ketertiban umum dalam HPI menurut Van Brakel sebagaimana dikutip oleh Sudargo
Gautama terdapat titik-bertolak yang sama meski dalam perumusan dan isinya terdapat
36 Sudargo Gautama (e), Op. Cit., hlm. 7. 37 Ibid., hlm. 46.
38 Sudargo Gautama (c), Op. Cit., hlm. 129.
39 Sudargo Gautama (e), Op. Cit., hlm. 58-59.
40 Ibid.
41 Ibid.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
perbedaan.42 Pada rumusan Pasal 23 AB, istilah ketertiban umum disebut pula dengan
kesusilaan yang baik. Tetapi dalam pengertian ketertiban umum dalam HPI, tercakup pula
istilah kesusilaan yang baik. Secara isi, konsepsi ketertiban umum pada Pasal 23 AB lebih
luas daripada ketertiban umum yang dimaksud dalam HPI. Berdasarkan hal tersebut,
ketentuan yang merupakan kaidah memaksa (dwingend recht) tak dapat dikesampingkan oleh
para pihak, sedangkan dalam konsepsi ketertiban umum HPI tidak semua kaidah memaksa
dianggap sebagai bertentangan dengan ketertiban umum.43
Pada perkara perjanjian pinjam-meminjam PT Bina Karya Pratama Lestari dan Nine
AM Ltd para pihak menyepakati pilihan hukum adalah hukum Indonesia. Forum yang
mengadili adalah Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Bagi majelis hakim yang memeriksa
perkara tersebut, tentu hukum Indonesia tidak dianggap sebagai hukum asing, justru hukum
yang memang dipahami oleh hakim (lex fori), jika dikembalikan kepada pengertian ketertiban
umum secara umum, menurut penulis perkara tersebut bukanlah termasuk perkara yang
berkaitan dengan ketertiban umum. Bahwa kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sesuai
Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 tidak dapat dikatakan melanggar ketertiban
umum, melainkan hanya melanggar kaidah yang bersifat memaksa (mandatory rules).
Walaupun mungkin ada kesulitan dalam membedakan ketertiban umum dan kaidah
memaksa, menurut penulis ada perbedaan yang dapat dilihat untuk memahami perbedaan
antara ketertiban umum dan kaidah memaksa. Kaidah memaksa lebih menekankan kepada
ketentuan penerapan hukum positif semata, sedangkan pada ketertiban umum tidak semata-
mata hanya melihat pada ketentuan penerapan hukum positif, tetapi juga melihat kepada
norma-norma di luar norma hukum seperti kesopanan dan kesusilaan.44
Keberlakuan UU No. 24 Tahun 2009 khususnya Pasal 31 ayat (1) dan (2)
mempengaruhi keabsahan suatu perjanjian atau kontrak. Selain syarat subyektif dan obyektif
Pasal 1320 KUHPerdata, terhadap perjanjian juga harus memenuhi syarat formalitas tertentu
yakni kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Pada perkara pembatalan perjanjian
pinjam-meminjam antara PT Bina Karya Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd, syarat
42 Ibid., hlm. 61.
43 Ibid.
44 Ibid., hlm. 47.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
subyektif dan obyektif telah terpenuhi, dengan begitu pada perjanjian pinjam-meminjam
antara PT Bina Karya Pratama Lestari dan Nine AM Ltd adalah sah berdasarkan syarat
sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Berarti yang ditinjau untuk menentukan
keabsahan perjanjian tersebut hanya tinggal dari sisi formalitas.
Menurut Subekti, pengaturan oleh undang-undang mengenai syarat formil tertentu
yang harus dipenuhi pada perjanjian-perjanjian formil merupakan pengecualian dari asas
konsensualisme.45 Terhadap kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada perjanjian atau
nota kesepahaman, hal tersebut menjadi syarat formil. Bahwa terhadap bentuk perjanjian
yang dibuat atau memiliki kepentingan tertentu di Indonesia, maka harus dalam bentuk
menggunakan bahasa Indonesia. Terhadap syarat sahnya perjanjian berarti saat ini juga harus
memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009. Akibat hukum jika
syarat formal ini tidak terpenuhi, lazimnya perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
Berdasarkan tinjauan tersebut, penulis membenarkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat menyatakan perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bina Karya Pratama
Lestari dan Nine AM Ltd batal demi hukum. Sedangkan untuk pertimbangan hukumnya
seharusnya perjanjian tersebut batal karena kaidah memaksa bukan karena ketertiban umum,
dan bukan batal karena melanggar syarat obyektif perjanjian tentang sebab atau causa yang
halal sebagaimana Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata, melainkan karena melanggar syarat
formil kewajiban pengguanaan bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana yang diatur
pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009.
Tidak dibuatnya perjanjian dengan bahasa Indonesia tidak berarti perjanjian tersebut
menjadi batal. Tetapi memberikan kemungkinan terhadap para pihak untuk mengajukan
kepada pengadilan, untuk menyatakan perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia
untuk dinyatakan batal. Asas kebebasan berkontrak yang menjadi asas yang fundamental
dalam perjanjian, termasuk perjanjian yang bersifat HPI tidak dilanggar dengan adanya
kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Jika dicermati pada Pasal 31 ayat
(2) UU No. 24 Tahun 2009, dengan jelas pula dinyatakan perjanjian atau nota kesepahaman
dapat dibuat bukan hanya dalam bahasa Indonesia saja, tetapi juga dengan bahasa asing
lainnya atau bahasa Inggris. Oleh karena itu, UU No. 24 Tahun 2009 tetap menghormati asas
kebebasan berkontrak dan menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki kedudukan
yang lebih tinggi, melainkan menunjukkan memberi kedudukan yang sejajar antara bahasa
45 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 21, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hlm. 15.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Indonesia dengan bahasa asing lainnya (equal dan tidak terkesan mendudukan bahasa
Indonesia pada kedudukan lebih tinggi).
Mengenai sanksi yang tidak diatur pada UU No. 24 Tahun 2009, maka penentuan
sanksi atau akibat hukum jika perjanjian tidak dibuat dalam bahasa Indonesia hal itu
merupakan kewenangan hakim. Sanksi berupa batal demi hukum atas perjanjian pinjam-
meminjam tersebut merupakan individual norms, yang diciptakan oleh kekuasaan yudikatif
(pengadilan) sebagai penemuan hukum (rechtvinding).46
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan penulis tentang tinjauan HPI mengenai
kontrak internasional dan penerapan UU No. 24 Tahun 2009, maka kesimpulan dan saran
yang ada sebagai berikut:
1) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan perjanjian pinjam-meminjam antara
kedua pihak batal demi hukum. PT Bina Karya Pratama Lestari mendalilkan perjanjian
yang dibuat dengan Nine AM Ltd bertentangan dengan kewajiban penggunaan bahasa
Indonesia dalam perjanjian atau nota kesepahaman sebagaimana yang diatur oleh Pasal
31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Barat yang menyatakan batal demi hukum atas perjanjian tersebut karena
bertentangan dengan ketertiban umum. jika dikembalikan kepada pengertian ketertiban
umum, perkara tersebut bukanlah termasuk perkara yang berkaitan dengan ketertiban
umum. Bahwa kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sesuai Pasal 31 ayat (1) dan (2)
UU No. 24 Tahun 2009 tidak dapat dikatakan melanggar ketertiban umum, melainkan
hanya melanggar kaidah yang bersifat memaksa (mandatory rules).
2) Keberlakuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 mempengaruhi kebsahan
perjanjian atau kontrak yang bersifat HPI. Selain syarat sahnya perjanjian yang diatur
Pasal 1320 KUHPerdata, juga harus memenuhi syarat formalitas tertentu. Sepanjang
perjanjian tersebut memiliki titik taut dengan wilayah atau kepentingan Indonesia seperti
locus contractus, locus solutionis atau jaminan perjanjian, maka penggunaan bahasa
Indonesia dalam perjanjian atau nota kesepahaman adalah keharusan.
46 Hans Kelsen, General Theory of Law And State [Allgemeine Staatslehre], diterjemahkan oleh Anders Wedberg, cet. 6, (Cambridge-Massachusetts: Harvard University, 2003), hlm. 146.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Saran
1) Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada kontrak internasional jangan menganggap
hal tersebut sebagai beban. Justru jika sedari awal pada kontrak telah dibuat dengan
bahasa yang dipahami masing-masing para pihak, maka mengurangi perbedaan
penafsiran yang terjadi jika kontrak hanya dibuat dalam satu bahasa yang lazimnya dalam
bahasa Inggris. Hal ini juga penting dalam pembuktian jika timbul sengketa dikemudian
hari. Penerjemahan kontrak yang dilakukan oleh penerjemah tersumpah kadang tidak
sesuai dengan maksud dalam bahasa hukum. Khususnya dalam pembuktian pada badan
peradilan di Indonesia.
Daftar Referensi
Buku
Gautama, Sudargo (a). Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran.
Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
_______________ (b). Pengantar Hukum Perdata Internasional, cet. 5. Bandung: Binacipta,
1987.
_______________ (c). Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 4 Buku ke-5,
ed. 2, cet. 3. Bandung: PT Alumni, 2004.
_______________ (d). Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid III Bagian 1 Buku ke-
7, ed. 2, cet. 2. Bandung: PT Alumni, 2004.
_______________ (e). Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 3 Buku ke-4,
ed. 2, cet. 3. Bandung: PT Alumni, 2007.
Kelsen, Hans. General Theory of Law And State [Allgemeine Staatslehre], diterjemahkan
oleh Anders Wedberg, cet. 6. Cambridge-Massachusetts: Harvard University, 2003.
Lindsey, Brink. Against the Dead Hand: The Uncertain Struggle for Global Capitalism.
Washington DC: Jhon Wiley, 2002.
Lipstein, Kurt. "Conflict of Public Laws – Visions and Realities dalam Feschrift fur Imre
Zajtay." Tubingen: [S.P], 1982.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Perihal Kaedah Hukum, cet. 6. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
ed. 1, cet. 13. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Subekti. Hukum Perjanjian, cet. 21. Jakarta: PT Intermasa, 2005.
Jurnal
Trevor C. Hartley. "Beyond the Proper Law, Mandatory Rules Under Drafts Convention on
the Law Applicable to Contractual Obligations." European Law Reports 4, (1979),
hlm. 236-243.
Randall, Kenneth C dan Jhon E. Norris. "A New Paradigm for International Business
Transactions." Washington University Law Review Vol. 71 (1999): hlm. 599-636.
Disertasi
Schafer, Kerstin Ann-Susann. "Application of Mandatory Rules in the Private International
Law of Contracts: A Critical Analysis of Approaches in Selected Continental and
Common Law Jurisdictions, with a View to the Development of South Africa Law.
"([Thesis] Disertasi Doktor University of Cape Town, Cape Town, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
______(a). Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan, UU No. 24 Tahun 2009, LN RI No. 109 Tahun 2009, TLN RI No.
5035 Tahun 2009.
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor Registrasi Perkara
451/PDT.G/2012/PN.Jkt.Bar.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor Registrasi Perkara 48/PDT/2014/PT.DKI.
Putusan Mahkamah Agung Nomor Registrasi Perkara 601/K/PDT/2015.
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016
Internet
Republika. "Bahasa Apa yang Paling Banyak Dipakai di Dunia?,"
http://www.m.republika.co.id/berita/senggang/unik/12/11/14/mdtgtm0-bahasa-apa-
yang-paling-banyak-dipakai-di-dunia
Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016