sengketa perdata internasional kbc_pertamina_pln

Upload: astrid-unggul-pawestri

Post on 07-Jul-2015

1.198 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

PILIHAN HUKUM DALAM KLAUSULA PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE LUAR NEGERI DALAM KASUS SENGKETA JOINT OPERATION CONTRACT DAN ENERGY SALES CONTRACT PERTAMINA BESERTA PLN DENGAN KARAHA BODAS COMPANY

Pengajar: Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCArb Disusun oleh: A. Iranti Widowati NPM: 1101 2010 0022

MATA KULIAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL PROGRAM MAGISTER (S2) HUKUM BISNIS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 30 Juni 2011

2

3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Saat pemerintah Indonesia bermaksud melakukan kerja sama dengan pemerintah asing, biasanya akan melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ada di Indonesia. Hubungan ini kemudian diwujudkan dalam suatu kontrak kerja atau perjanjian yang antara lain berupa Kontrak Karya, Joint Operation Contract, Joint Venture Agreement, Production Sharing atau Contract Sales Contract. Dalam peraturan hukum di Indonesia, terdapat syarat-syarat untuk membuat suatu perjanjian agar perjanjian tersebut sah. Hal ini telah tercantum secara tegas dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya obyek tertentu, dan adanya kausa yang halal. Kontrak yang menurut Pasal 1320 KUHPerdata telah sah, secara yuridis mengikat para pihak seperti suatu undang-undang, dimana para pihak berjanji untuk melaksanakannya dengan itikad baik. Sedangkan, perlu kita ingat kembali bahwa Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberlakukan asas kebebasan berkontrak. Prinsip ini

membebaskan para pihak untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian. Selain itu para pihak juga dibebaskan untuk menentukan mekanisme penyelesaian

4

sengketa, bila di kemudian hari terjadi sengketa. Mengenai penentuan mekanisme penyelesaian sengketa ini, seharusnya menjadi hal yang sangat penting dalam pembuatan suatu kontrak atau perjanjian. Sayangnya, para pihak sering tidak memasukkan pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) dalam kontrak yang mereka buat entah karena kelalaian atau memang kesengajaan. Dalam kasus ini, karena salah satu pihak merupakan kepanjangan tangan dari sebuah perusahaan asing di Indonesia, maka akan banyak mengandung elemen-elemen asing. Sebuah kontrak yang salah satu pihaknya merupakan perusahaan asing, bila di kemudian hari terjadi sengketa biasanya akan menimbulkan banyak persoalan. Salah satunya adalah mengenai hukum manakah yang berlaku (applicable law) dan forum (pengadilan) manakah yang berwenang mengadili sengketa tersebut. Karaha Bodas Company (KBC) adalah perusahaan yang saham terbesarnya dimiliki oleh Caithness Energy, L.L.C., dan FPL Energy, L.L.C., sebagai cabang dari FPL Group, Inc. KBC merupakan suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plasa Aminta Suite 901, Jl. T. B. Simatupang, Kav. 10 Jakarta 12310 Indonesia, yang bekerja sama dengan salah satu BUMN Indonesia yaitu Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Pertamina adalah perusahaan yang didirikan dan bergerak atas hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Kramat Raya No. 59, Lantai 4,

5

jakarta 10450, Indonesia. Sengketa berawal dari Kontrak Kerja Sama Operasi (Joint Operation Contract/JOC) yang dibuat oleh Pertamina dan KBC. Pertamina dan KBC mengadakan kontrak mengenai eksplorasi dan

pemanfaatan eksploitasi gas bumi dalam wilayah konsesi di Karaha Bodas pada 4 Desember 1994. Kontrak ini merupakan salah satu jenis penanaman modal asing di Indonesia yang dituangkan dalam kontrak kerja sama. Kontrak ini dilanjutkan dengan adanya suatu Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ESC) antara KBC, Pertamina, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN berkedudukan di Jl. Trunojoyo No. 135 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sengketa antara Pertamina dan KBC terjadi sebagai akibat dari krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 yang mendorong Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 jo Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 yang isinya antara lain menghentikan proyek geothermal yang juga melibatkan PLN sebagai salah satu pihak. KBC kemudian menyatakan berlakunya klausula force majeure dan menghentikan pelaksanaan kontrak tersebut yang dilanjutkan dengan pengajuan klaim atas kontrak JOC dan ESC mereka dengan Pertamina dan PLN melalui suatu badan arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa berkenaan dengan penanaman modal asing di Indonesia terdapat kecenderungan untuk memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa. Dalam kontrak yang dibuat antara Pertamina

6

dengan KBC klausula pilihan hukum dan pilihan forum tunduk pada UNCITRAL Arbitation Rules (UAR). Klausula arbitrase yang dibuat para pihak dalam kasus disusun sebelum terjadinya sengketa atau perselesihan. Klausula ini merupakan pactum de compromittedo dengan mencantumkan kalusula arbitrase dalam perjanjian pokok, yaitu dengan membawa sengketa ke forum UNCITRAL, hal ini ditegaskan dalam Pasal 13 JOC dan Pasal 8 ayat (2) ESC.

B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan kondisi sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang hendak diuraikan pada makalah ini, antara laian adalah:1. Bagaimana penerapan pilihan forum (forum of choice) dan pilihan (forum of

law) dalam mekanisme penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Mechanism) Internasional?2. Bagaimana posisi hukum Indonesia dalam mekanisme penyelesaian

yang

seharusnya

berlaku

menurut

Hukum

Perdata

sengketa (Dispute Settlement Mechanism) kasus antar KBC dengan Pertamina dan PLN?

7

BAB II PILIHAN HUKUM DAN PILIHAN FORUM DALAM KLAUSULA PENYELESAIAN SENGKETA ATAU ARBITRASE BERDASARKAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. Teori Hukum Perdata Internasional Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas Negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antra para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.1 Hukum Perdata Internasional termasuk dalam kelompok hukum privat, karenanya maka Hukum Perdata Internasional juga mengatur hubungan hukum antara pihak (party) dalam suatu kontrak yang timbul dari hukum perikatan. Hukum Perdata Internasional memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar yuridiksi suatu negara. Hukum Perdata Internasional adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan internasional. Jadi yang internasional adalah hubungan-hubungannya, sedangkan kaidah-kaidahnya adalah hukum perdata nasional belaka.21 2

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional, diakses 27 Juni 2011 http://maspurba.wordpress.com/2008/05/10/penyelesaian-sengketa-bisnis-melaluiarbitrase-internasional/, diakses 27 Juni 2011

8

Hukum kontrak memiliki beberapa asas yang bersifat universal seperti asas kebebasan berkontrak (party authonomy). Asas ini menyatakan bahwa kontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Asas ini memberi kewenangan kepada para pihak yang untuk menentukan sendiri hukum mana yang akan berlaku dalam perjanjian yang dibuatnya. Tentu saja kontrak tersebut sebelumnya dibuat atas kesepakatan bersama para pihak dimana isi yang diperjanjikan oleh mereka melewati batas satu negara. Bila kemudian timbul suatu sengketa perlu ditetapkan terlebih dahulu cara-cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Salah satu upaya untuk

menyelesaikan sengktea adalah dengan arbitrase. Hal-hal yang harus disepakati oleh para pihak saat memilih arbitrase adalah pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of forum/jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile). Sayangnya, sekalipun telah ada kesepakatan tentang cara-cara penyelesaian sengketa, dalam prakteknya dilapangan ternyata sangat sulit. Masalah yang sering muncul terutama dari pihak yang tidak menerima hasil arbitrase. Masalah tersebut antara lain menyangkut kompetensi para pihak, kompetensi pengadilan, prosedur (proceedings) beracara, materi yang dipersengketakan dan daya eksekusi dari putusan arbitrase tersebut. Informasi yang disebutkan diatas menunjukkan peran penting pilihan hukum dan pilihan forum dalam penyusunan klausula penyelesaian sengketa.

9

B. Pilihan Hukum (Choice of Law)

Sebagaimana diketahui, untuk menentukan hukum apa yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa merupakan hal yang sangat penting. Hal ini menjadi penting karena biasanya para pihak mengabaikan tentang masalah ini, sehingga memunculkan konflik baru mengenai hukum apa yang akan dipakai saat proses arbitrase dimulai. Proses menentukan pilihan hukum apa yang dipakai dalam klausula arbitrase diserahkan sepenuhnya kepada para pihak. Bahkan tidak harus menggunakan hukum dari salah satu Negara yang saling berjanji. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.3 Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukumnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Asas ini dikemukakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.4 Dalam Hukum Perdata Internasional, ada 2 (dua) macam pilihan hukum yang dapat dibagi. Kedua pilihan hukum tersebut adalah:5 1. Pilihan hukum secara tegas Secara tegas maksudnya adalah dalam perjanjian yang dibuat bersama oleh para pihak, telah dicantumkan dengan jelas mengenai klausula penyelesaian sengketa atau adanya klausula tambahan yang berisi tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Klausul ini dengan tegas telah menentukan hukum nasional Negara manakah yang akan digunakan dalam proses arbitrase. 2. Pilihan hukum secara diam-diam Dalam pilihan hukum secara diam-diam, tidak ditegaskan pilihan hukum apa yang dipilih oleh para pihak dalam klausula penyelesaian3

4

5

Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa, Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa, Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (Edisi Revisi), cetakan ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 46.

10

sengketa. Bila kemudian terjadi sengketa, maka akan digunakan penafsiran terhadap isi perjanjian atau diserahkan kepada para pihak. Pilihan hukum ini memiliki kelemahan, yaitu bila para pihak sama sekali tidak memberi petunjuk mengenai pilihan hukum yang akan digunakan. Ketentuan mengenai pilihan hukum ini dalam kontrak bisnis disebut dengan Governing Law. Klausula tentang Governing Law berisi ketentuan tentang hukum yang harus digunakan oleh para pengambil keputusan (baik hakim atau arbiter) dalam menyelesaikan sengketa. Dalam proses

penyelesaian sengketa melalui arbitrase terdapat 2 (dua) jenis hukum yang berlaku, yaitu:6 1. Hukum Formal, merupakan aturan-aturan yang dipilih oleh para pihak untuk menentukan prosedur arbitrase; dan 2. Hukum Materiil, merupakan aturan-aturan hukum substantif yang dipilih oleh para pihak untuk menentukan hak dan kewajiban. Sedangkan dalam dunia hukum Internasional terdapat 4 (empat) macam rezim hukum yang berlaku, yaitu:7 Substantive Law, merupakan hukum yang berlaku bagi penyelesaian sengketa; 2. Curial law atau Lex Arbitri, merupakan hukum yang berlaku atas kegiatan arbitrase; 3. Hukum yang berlaku bagi pelaksanaan putusan arbitrase; dan 4. Hukum perdata internasional yang berlaku atas hukum a, b, dan c.1.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bila para pihak tidak menentukan pilihan hukum yang dipakai dalam proses arbitrase, maka para6

7

Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 54. Ibid, hlm. 55

11

pengambil keputusan (arbiter) yang memeriksa perkara dapat menggunakan hukum yang mereka pilih sendiri. Bila terjadi hal yang seperti ini, akan menimbulkan rasa ketidakadilan di antara para pihak. Sehingga, proses menentukan pilihan hukum ini menjadi penting. Apabila dalam perjanjian tidak mencantumkan pilihan hukum, maka pengadilan atau lembaga arbitrase harus mempertimbangkan faktor-faktor untuk menentukan Negara mana yang paling signifikan (the country most significantly connected), yaitu:81. Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus) 2. Tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis)

3. The proper law of the contract 4. The most characteristic connection.

C. Pilihan Forum (choice of forum) Pada dasarnya pilihan forum merupakan ketentuan yang mengatur tentang forum penyelesaian sengketa. Dalam suatu perjanjian, pilihan forum biasa disebut dengan dispute settlement. Forum ini dipilih para pihak untuk menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul mengenai atau

sehubungan dengan perjanjian.

8

Lembaga Arbitrase sebagai Pilihan Forum, http://www.blogster.com/dansur/lembagaarbitrase-sebagai, diakses 30 Juni 2011.

12

Ada beberpa hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan dispute settlement, terutama bila mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase. Hal-hal tersebut adalah: 1. Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sengketa bersama dengan para pihak; 2. Penentuan mekanisme penyelesaian sengketa; 3. Sebaiknya para pihak tidak mengatur 2 (dua) pilihan forum penyelesaian di dalam kontraknya agar tidak menimbulkan kerancuan di dalam pelaksanaannya di kemudian hari; 4. Bila perjanjian arbitrase dibuat setelah mubnculnya sengketa, para pihak harus memperhatikan ketentuan pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;5. Klausula arbitrase perlu menyebutkan, apakah arbitrase yang akan

digunakan berupa arbitrase ad hoc arbitration atau yang lembaga (institutional arbitration); 6. Tempat dan prosedur arbitrase; 7. Penentuan pilihan hukum; komposisi arbiter (tunggal atau majalis); hukum acara yang akan digunakan oleh para arbiter; bahasa yang digunakan; pernyataan bahwa putusan arbitrase final dan mengikat; dan bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase dan pembebanan biaya arbitrase. Biasanya klausula dalam perjanjian yang mereka buat, para pihak telah mencantumkan klausula pilihan forum dan klausula penyelesaian sengketa.

13

Para pihak yang tidak mencantumkan mengenai klausula pilihan forum akan mengalami kesulitan bila di kemudian hari terjadi sengketa. Mengenai pilihan forum ini, sebenarnya sudah ada ketentuan internasional yang mengatur, yaitu Konvensi den haag 2005 tentang Perjanjian Pilihan Forum (The Hagues Convention on the Choice of Courte Agreements of 2005). Konvensi ini belum diratifikasi di Indonesia, yang menjadi alasan sulit diterimanya konvensi ini di Indonesia adalah bahwa Indonesia masih sulit menerima pelaksanaan putusan pengadilan atau arbitrase asing di Indonesia.

14

BAB III PELAKSANAAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM SENGKETA ANTARA PERTAMINA DAN PLN DENGAN KBC

A. Kronologis Kasus Sengketa berawal dari suatu Kontrak Kerjasama Operasi (Joint Operation Contract/JOC) yang dibuat oleh Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) dan Karaha Bodas Company (KBC). KBC adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan pada tahun1994 yang berbadan hukum di Cayman Island untuk eksplorasi dan pembangunan proyek pembangkit listrik energi panas bumi di Jawa barat, Indonesia. Saham mayoritas KBC dimiliki oleh Caithness Energy, L.L.C., dan FPL Energy, L.L.C., sebagai cabang dari FPL Group, Inc. Caithness dan FPL Energy merupakan developer dan operator terkemuka penggunaan teknologi pada pembangkit dengan energi yang dapat diperbaharui atau tidak dapat habis dipakai; yang mengoperasikan fasilitas pembangkit energi panas bumi, angin dan solar (tenaga surya atau matahari) di seluruh Amerika Serikat.9 Di Indonesia sendiri KBC dibentuk oleh PT. Sumarah Dayasakti bersama Java Geothermal dan Duval Corporation, tanggal 9 November 1994. KBC mengadakan kontrak mengenai eksplorasi dan pemanfaatan eksploitasi gas bumi dalam wilayah konsesi di Karaha Bodas pada 4 Desember9

http://www.karahabodas.com/backgroundwho.php, (diterjemahkan penulis), diakses 30 Juni 2011.

15

1994. Kontrak ini kemudian diteruskan dengan adanya suatu kontrak penjualan energi (Energy Sales Contract/ESC) antara KBC, Pertamina, dan PLN untuk jangka waktu 30 tahun, menyangkut sektor penjualan energi listrik yang dihasilkan dari ekploitasi tersebut. Tujuan dari proyek tersebut adalah untuk menyediakan sebanyak mungkin sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan serta berkelanjutan bagi rakyat Indonesia. Saat terjadi krisi ekonomi di Indonesia pada tahun 1997, International Monetary Fund (IMF) meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau ulang kembali proyek-proyek pembangunan yang sedang dilakukan, salah satunya JOC dan ESC antara Pertamina, PLN, dan KBC. Akhirnya tanggal 20 Desember 1997 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit Presiden No. 47 Tahun 1997 ke dalam bentuk Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 yang isinya antara lain menunda dilaksanakannya proyek KBC. Seminggu setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997, KBC meminta bantuan Pertamina dan PLN dalam hal penangguhan proyek tersebut. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1998, dikeluarkan kembali Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 yang mencabut Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997, akan tetapi isinya juga menunda proyek KBC. Pertamina telah menyetujui untuk membantu KBC agar proyek ini dapat dilanjutkan, sayangnya 2 (dua) minggu setelah itu KBC menyatakan berlakunya klausula force majeure dan menghentikan pelaksanaan kontrak tersebut. Puncaknya, pada tanggal 30 April

16

1998, KBC mengajukan klaim atas kontrak JOC dan ESC mereka dengan Pertamina dan PLN melalui suatu badan Arbitrase.

B. Pelaksanaan Arbitrase Internasional

KBC menggugat Pertamina dan PLN ke badan arbitrase internasional di Jenewa, Swiss karena selama ini kontrak bisnis internasional yang dilakukan oleh Indonesia biasanya selalu memakai arbitrase di Jenewa. UAR dipilih berdasarkan klausula arbitrase yang terdapat dalam perjanjian para pihak dan merupakan arbitrase ad hoc karena UNCITRAL tidak mendirikan lembaga arbitrase berkenaan dengan Arbitration Rules yang dibuatnya. Perjanjian yang dibuat antara Pertamina dengan KBC yaitu JOC dan antara Pertamina, KBC dan PLN yaitu ESC merupakan perjanjian terpisah. JOC dan ESC yang telah ditandatangani para pihak, telah memilih forum arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa. Arbitrase ini merupakan arbitrase internasional yang bersifat publik. Bersifat publik dikarenakan perjanjian yang dibuat, walaupun yang menjadi pihak yang berkepentingan adalah Pertamina dan PLN, merupakan perjanjian yang membawa nama Indonesia sebagai Negara dan ditandatangani oleh menteri yang bersangkutan. Hasil dari perjanjian tersebut nantinya juga akan digunakan untuk kepentingan masyarakat Indonesia.

17

Yang menjadi penggugat dalam kasus ini adalah KBC. Yang menjadi tergugat adalah Pertamina dan PLN. Proses arbitrase dilakukan di Jenewa dengan 3 (tiga) orang hakim arbiter. Prosedur arbitrase yang digunakan dalam kasus ini berdasarkan dengan UAR dan telah ditegaskan dalam Pasal 13 JOC dan Pasal 18 ayat (2) huruf b dan d ESC. Sedangkan hukum yang dipakai adalah hukum Indonesia seperti yang tercantum dalam Pasal 20 JOS dan Pasal 12 ESC. Sehingga, hukum arbitrase yang berlaku bagi para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut pada saat itu adalah Pasal 641 Kitab Undang-undang Hukum Acara Indonesia, yaitu Rv, dimana hal ini berpengaruh pada pengaturan jangka waktu arbitrase. Jangka waktu arbitrase berdasarkan Pasal 652 ayat (2) Rv menyatakan bahwa pengangkatan arbiter akan berlaku dan habis setelah 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaannya. Sementara Pasal 620 ayat (1) Rv memberikan kesempatan untuk klausula arbitrase menentukan jangka waktu kapan arbitrase harus diselesaikan. Dalam kasus ini, Pasal 13 ayat (2) JOC dan Pasal 8 ayat (2) a ESC menentukan bahwa para pihak secara tegas mengesampingkan pemakaian Pasal 502 Rv dan 620 ayat (1) Rv. Artinya, bahwa JOC dan ESC telah mengantisipasi pembatasan waktu, karena ditakutkan proses arbitrase internasional akan berlangsung lama. Jadi pengangkatan arbiter tidak berhenti

18

selama 6 (enam) bulan dari tanggal pengangkatan mereka dan proses arbitrase ini tidak harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Secara singkat kronologis proses pelaksanaan arbitrase internasional dalam sengketa antara Peramina, PLN dan KBC adalah sebagai berikut:10 1. Pada 30 September 1999, KBC menggugat Pertamina di pengadilan arbitrase internasional, Swiss. Saat itu dibentuk Tim Arbitrase yang kemudian mengadakan Prelimenary award di Jenewa, Swiss. 2. Pada 18 Desember 2000, Tim Arbitrase mengeluarkan Final Award yang memutuskan bahwa Pertamina dan PLN secara bersama-sama dihukum untuk membayar ganti rugi senilai (diperkirakan) US$ 261,1 juta kepada KPC sebagai ganti rugi atas semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dan potensi kehilangan keuntungan KBC di masa depan. Pengadilan Swiss menolak semua banding yang dilakukan oleh Pertamina dan tidak ada jalan lain yang tersedia bagi Pertamina di swiss, namun Pertamina tetap mengajukan banding. 3. Pada 30 November 2001, pengadilan banding di Texas, Amerika, memperkuat keputusan pengadilan arbitrase. Sekali lagi Pertamina mengajukan banding. 4. Pada 22 Februari 2002, Bank of America dan Bank of New York membekukan rekening US$ 520 juta hasil penjualan minyak dan gas atas nama Pertamina. 5. Pada Desember 2004, Mahkamah Agung Amerika menolak banding Pertamina dan memutuskan Pertamina harus membayar ganti rugi US$ 299 juta kepada KBC. 6. Pada Juli 2005, Pemerintah memutuskan meneruskan kasus Karaha untuk memperkecil kerugian.

10

http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=node/5294, diakses 27 Juni 2011.

19

BAB IV HUKUM INDONESIA SEBAGAI PILIHAN HUKUM DALAM KASUS PENYELESAIAN SENGETA ANTARA PERTAMINA DAN PLN DENGAN KBC

Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, kontrak yang dibuat dalam sengketa antara Pertamina dan PLN dengan KBC tunduk pada UAR dan untuk mencari hukum yang berlaku dalam suatu kontrak yang mengandung unsur Hukum Perdata Internasional dapat dipergunakan bantuan titik-titik pertalian atau titik-titik taut sekunder. Titik taut sekunder adalah keadaankeadaan yang dapat menentukan hukum yang berlaku dalam hubungan internasional.11 Diantaranya adalah pilihan hukum (choice of law), tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus), atau tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis). Ditinjau dari aspek Hukum Perdata Internasional, kasus ini menggunakan titik pertalian berupa pilihan hukum (choice of law). Ada beberapa alasan mengapa pilihan hukum ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan. Alasan-alasan tersebut adalah:12 1. Pertama, pilihan hukum dianggap cukup memberi rasa puas bagi para pihak yang menganggap kebebasan itu penting, sebagai dasar murni dari hukum.

11

12

H. Sudiarto dan Zaeni Ahyhadie, Menenal Arbitrase: Salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 138. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, Ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas Company), dalam http://khotibwriteinc.blogspot.com/2008/04/pelaksanaan -putusan-arbitrase.html, dikutip dari Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 128-129, diakses 30 Juni 2011.

20

2. Kedua, pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian berupa kemudahan bagi para pihak untuk menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut. 3. Ketiga, pilihan hukum memberikan efisiensi, manfaat, dan keuntungan. 4. Keempat, pilihan hukum memberikan kepada Negara insentif bersaing. Telah diketahui bahwa penggunaan hukum Indonesia sebagai pilihan hukum dan UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) sebagai pilihan forum dengan tegas dituangkan dalam kontrak yang dibuat antara Pertamina, PLN, dan KBC. Ketentuan mengenai pilihan hukum tersebut tercantum dalam Pasal 20 JOC dan Pasal 12 ayat (1) ESC, yang isinya menunjukkan bahwa kontrak ini tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia seperti yang telah dikehendaki para pihak. Artinya, telah ditentukan bahwa hukum substantifnya (bukan materiil) adalah hukum indonesia. Sedangkan ketentuan mengenai pilihan forum tercantum dalam Pasal 13 JOC dan Pasal 8 ayat (2) ESC, dimanaditentukan bahwa jika terjadi sengketa atas kontrak yang dibuat maka akan diselesaikan berdasarkan UAR dengan menerapkan hukum Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UAR, dimana dewan arbitrase harus menerapkan hukum yang telah ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa sebagai hukum yang berlaku sebagai substansi dari sengketa ini. Dalam kontrak ini juga tidak disinggung mengenai penggunaan hukum Swiss, sebagai Negara tempat diadakannya arbitrase. Melainkan, hukum Indonesia-lah yang lebih sering disebutkan. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal

21

13 ayat (2) huruf a JOC yang secara tegas mengesampingkan Pasal 502 dan Pasal 640 ayat (1) RV, dimana hukum arbitrase yang berlaku pada saat itu adalah Rv (Hukum Acara Perdata Indonesia). Para pihak juga setuju untuk menggunakan Pasal 641 Rv dimana para pihak telah melepaskan haknya untuk mengajukan banding atas putusan arbitrase yang dihasilkan dan tidak melakukan upaya banding ke badan peradilan mana pun. Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah hukum Indonesia telah digunakan secara tepat dan efektif? Pada kenyataannya, akan sangat sulit untuk menerapkan hukum indonesia dalam proses arbitrase yang akan dilakukan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Pertamina, PLN, dan KBC. Pilihan forum yang ditunjuk oleh para pihak adalah UAR dan tempat beracara yang dipilih adalah di Jenewa, Swiss. Sedangkan pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak untuk diberlakukan dalam proses arbitrase adalah hukum Indonesia. Artinya, seharusnya dipilih dewan arbiter yang mengenal hukum Indonesia. Tentu saja hal ini cukup sulit untuk diterapkan mengingat tempat dilakukannya arbitrase bukan di Indonesia. Selain itu pada pelaksanaannya, mulai dari proses pemeriksaan sampai dengan pengambilan dan pembacaan putusan tidak dilaksanakan di Swiss, melainkan di Paris. Dalam kasus ini pengangkatan dewan arbitrasi mengacu pada UAR dimana Indonesia telah menjadi bagian di dalamnya, dan menurut Pasal 7 ayat (1) UAR mengenai komposisi arbiter dijelaskan bahwa, Jika terdapat tiga Arbiter yang akan diangkat, setiap pihak akan menunjuk satu arbitrator. Kedua

22

Arbiter yang ditunjuk kemudian akan memilih arbitrator ketiga yang akan bertindak sebagai presiding arbitrator dari pengadilan. Pada pelaksanaannya, pihak Pertamina tidak diberitahukan secara layak mengenai pengangkatan arbiter dan tidak diberi kesempatan untuk mengajukan arbiternya sendiri. Hal ini juga bertentangan dengan Konvensi New York 1958 yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Alasan yang digunakan oleh KBC sebagai dasar gugatan kepada Pertamina dan PLN juga tidak jelas berdasar pada hukum Indonesia. Dalam pengambilan putusan tim arbiter mengatakan telah menggunakan hukum Indonesia sebagai dasar pertimbangan. Dikatakan hukum Indonesia juga mengenal dengan apa yang dinamakan dengan pengembalian dari

keuntungan yang telah hilang (recovery of lost profit atau lucrum cessans), di samping kerugian yang dikenal dengan damnum emergens, akan tetapi tidak disebutkan dasar hukum kenapa mereka menyatakan demikian.13 Keadaan ini berhubungan dengan awal terjadinya sengketa dimana Pertamina dan PLN dianggap melakukan pelanggaran perjanjian (Pasal 15 ayat (1) ESC14) dengan tidak meneruskan kontrak dengan KBC. KBC menyatakan klausula force majeure dan menghentikan pelaksanaan kontrak tersebut. Tim arbiter menyatakan bahwa klausula force majeure hanya berlaku bagi KBC, sedangkan bagi Pertamina tidak berlaku, karena yang menjadi alasan adalah

13

14

Sudargo Gautama, Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, (Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 6. Pasal 15 ayat (1) ESC menyatakan bahwa para pihak harus dapat menjamin kontrak dapat dilaksanakan.

23

suatu peristiwa yang berhubungan dengan Pemerintah (goverment related event). Dalam hal ini tim arbiter (bila mengacu pada hukum Indonesia) telah salah menginterpretasikan Pasal 5 ayat (2) e JOC dan pasal 9 ayat (2) e ESC. Hal ini tentu saja sangat tidak adil bagi Pertamina, yang pada saat bersamaan harus patuh pada hukum dan Pemerintah Indonesia. Klausula force majeure ini mengijinkan KBC untuk mengajukan klaim atas kontrak JOC dan ESC mereka dengan Pertamina dan PLN melalui suatu badan arbitrase yang telah disepakati bersama. Hal yang diingikan dari klaim ini, salah satunya untuk meminta ganti rugi kepada Pertamina dan PLN, akan tetapi bila mengacu pada Pasal 1245 KUHPerdata,15 maka dapat dibatalkan putusan arbitrase yang memerintahkan Pertamina dan PLN untuk membayar ganti rugi. Semakin jelas tidak dapat dimintakan lost profit karena diketahui bahwa tahap pelaksanaan pekerjaan KBC belum sampai pada tahap eksplorasi, artinya belum dibangun apa pun sehingga tidak ada yang perlu di ganti rugi. Hal tersebut menggambarkan bahwaa secara jelas tim arbiter telah melampaui wewenangnya terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Selain itu, kontrak yang dibuat antara KBC dengan Pertamina dan KBC dengan Pertamina dan PLN merupakan kontrak terpisah. Akan tetapi, KBC menuntuk PLN dan Pertamina secara bersama-sama, padahal kontrak KBC

15

Pasal 1245 KUHPerdata menerangkan bahwa, Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berhutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

24

dengan Pertamina dan PLN (dalam hal ini ESC) belum dapat terealisasi bila kontrak pendahulunya (JOC) belum terlaksana. Jadi sebenarnya PLN belum ada ikatan apa pun dengan KBC karena kontraknya belum secara nyata terjadi. Dalam putusannya (Final Award), para arbiter juga telah melanggar tata cara yang layak (due process rights), karena penangguhan atau alasan tidak dapat dilaksanakannya JOC dan ESC oleh Pertamina dilakukan atas perintah Pemerintah Indonesia, dan tidak mungkin menggugat dan menghukum Pertamina dan PLN atas suatu hal yang dilakukannya karena kepatuhannya terhadap hukum dan Pemerintah Indonesia, sedangkan dalam kontrak yang dibuat secara jelas telah diterangkan bahwa memilih hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa (arbitrase). Bila dikatakan oleh para hakim arbiter mengambil keputusan telah menggunakan hukum Indonesia sebagai dasar pertimbangan, maka hal itu hanyalah sebagai pemanis tanpa dasar hukum yang jelas. Keadaan tersebut menjelaskan bahwa pemakaian hukum Indonesia dalam kasus ini sangatlah tidak efektif, karena dengan arbiter yang tidak mengerti dan tidak berpendidikan hukum Indonesia akan sulit menerapkan putusannya. Jadi, bukan dikarenakan hukum Indonesia tidak cukup

mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia. Maka sekali lagi, harus ditegaskan oleh para pihak mengenai klausula pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) dalam klausula penyelesaian sengketa yang dibuat oleh para pihak.

25

BAB V KESIMPULAN

Dalam arbitrase internasional bila para pihak tidak menentukan sendiri hukum substantif yang akan dipakai dalam proses arbitrase, maka akan ditentukan kemudian oleh hakim arbiter, dengan memperhatikan aturan arbitrase setempat dan kaidah Hukum Perdata Internasional. Pemilihan forum dalam arbitrase juga diserahkan kepada kesepakatan para pihak, dimana forum yang ditunjuk nantinya akan menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul. Pilihan forum secara khusus diatur dalam Konvensi Den Haag pada tahun 2005 yaitu dengan Perjanjian Pilihan Forum (The Hagues Convention on the Choice of Court Agreements of 2005). Hal ini dikarenakan banyak pengadilan di berbagai Negara di dunia memiliki pandangan berbeda mengenai status putusan pengadilan asing dan tidak sedikit pengadilan yang bahkan menolak untuk melaksanakan putusan asing tersebut dengan bebagai alasan. Selain itu, banyak pula pengadilan di berbagai Negara yang tidak menghargai klausul pilihan forum yang dipilih dan disepakati oleh para pihak, yang sayangnya konvensi ini belum diratifikasi oleh Indonesia. Menurut hukum Indonesia, berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, mengenai proses pemilihan hukum dalam suatu arbitrase diserahkan sepenuhnya kepada para pihak. Dengan kata lain, hukum dimana tempat

26

arbitrase

dilakukan

tidak

secara

otomatis

digunakan

dalam

proses

penyelesaian sengketa, kesemuanya diserahkan kepada kesepakatan para pihak dalam perjanjian mereka. Hal ini senada dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam proses arbitrase Internasional, karena dikenalnya asas kebebasan berkontrak, yang membebaskan para pihak untuk menentukan isi dan bentuk kontrak yang dibuat. Indonesia, oleh KBC, dianggap melakukan breach of contract (pelanggaran perjanjian). Pelanggaran perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana salah satu pihak tidak memenuhi prestasi yang telah disepakati bersama atau dengan perkataan lain telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dalam kasus ini adalah terjadinya pemutusan secara sepihak, sehingga KBC mengajukan gugatan melalui badan arbitrase. Dalam Pasal 13 JOC dan ayat (2) ESC telah ditentukan bahwa jika terjadi sengketa atas kontrak yang dibuat maka akan diselesaikan dengan UAR dengan menerapkan hukum Indonesia sebagai hukum yang dipilih berdasarkan Pasal 20 JOC dan Pasal 12 ESC. Penggunaan hukum Indonesia dalam proses arbitrase tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ketidak sesuaian ini dapat dilihat dari hal-hal berikut: 1. Dalam proses pemilihan hakim arbitrase (arbiter) terjadi kesalahan prosedural karena tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak yang diperjanjikan.

27

2. Tim

arbitrase

internasional

melampaui

kewenangannya

dengan

menetapkan potential loss of profit KBC secara spekulatif yang melanggar hukum positif Indonesia.3. Tim arbitrase mengartikan klausula force majeure yang berkaitan dengan

Pemerintah (goverment related event Hukum Indonesia sendiri dianaktirikan dalam pemilihan hukum dan forum arbitrase. Kecenderungan untuk tidak memilih hukum dan forum Indonesia, disamping adanya klausul-klausul yang memberatkan atau sepihak, lebih dikarenakan karena ketidakpercayaan pihak asing dan ditunjang oleh fakta-fakta tentang pelaksanaan suatu kontrak di Indonesia, yaitu: 1. Adanya kekhawatiran tentang birokrasi yang terlampau rumit. Hal ini termasuk lemahnya sistem, prosedur dan pelaksanaan perundangundangan, sehingga diatasi dengan pembuatan klausul-klausul yang memberatkan dan bersifat sepihak2. Sistem judiciary Indonesia dipandang tidak konsisten dalam menjalankan

aturan dan hukum sehingga sering membuat keputusan yang tidak konsisten dan beberapa diantaranya bersifat kontroversial. Putusan Arbitrase Internasional di Jenewa belum dapat dilaksanakan secara efektif di Indonesia karena masih terdapat hambatan dari Indonesia terhadap pelaksanaan putusan dimaksud. Namun, terhadap aset Pertamina yang ada di Negara lain masih ada kemungkinan untuk dimintakan dieksekusi oleh pengadilan lokal atas permintaan KBC sebagai pihak yang menang dalam

28

proses arbitrase di Jenewa. Hal ini berdasarkan asas Hukum Perdata Internasional yaitu lex rei sitae, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat di mana benda itu berada.

29

DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa B. Buku Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional (Edisi Revisi), cetakan ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Gautama, Sudargo, Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, (Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, 2004). Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007). Sudiarto, H. dan Zaeni Ahyhadie, Menenal Arbitrase: Salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). Sumartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. C. Website http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional, diakses 27 Juni 2011 http://www.blogster.com/dansur/lembaga-arbitrase-sebagai, Lembaga Arbitrase sebagai Pilihan Forum, diakses 30 Juni 2011. http://www.karahabodas.com/backgroundwho.php, diakses 30 Juni 2011. http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=node/5294, diakses 27 Juni 2011. http://khotibwriteinc.blogspot.com/2008/04/pelaksanaan-putusan-arbitrase.html, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, Ditinjau dari Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas Compan), diakses 30 Juni 2011. http://maspurba.wordpress.com/2008/05/10/penyelesaian-sengketa-bisnismelalui-arbitrase-internasional/, diakses 27 Juni 2011

30