tinjauan hukum mengenai masalah penerapan izin pinjam

25
Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Kegiatan Pertambangan Batubara di Indonesia dan Kaitannya Dengan Investasi Marisa Harfiana, Tri Hayati, Bono Budi Priambodo Program Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia E-mail : [email protected] ABSTRAK Nama : Marisa Harfiana Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Kegiatan Pertambangan Batubara di Indonesia dan Kaitannya Dengan Investasi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep, tujuan, pengaturan, dan permasalahan penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam kegiatan pertambangan batubara di Indonesia serta mengetahui dampaknya terhadap investasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundangan-undangan, buku, dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yang menjawab pokok permasalahan, yaitu bahwa IPPKH merupakan sebuah fasilitas untuk menjembatani kepentingan investasi dan kepentingan pelestarian hutan dimana keduanya merupakan kepentingan strategis bagi Negara yang tidak bisa dikesampingkan salah satunya. Namun, IPPKH masih mengalami masalah dalam penerapannya karena beberapa faktor seperti masih banyaknya perusahaan yang tidak atau belum mengajukan IPPKH, perbedaan pemetaan, serta kepastian hukum pengaturan IPPKH. Masalah-masalah tersebut disebabkan oleh faktor dari Pemerintah maupun pihak pengusaha pertambangan itu sendiri. Kondisi ini menimbulkan potensi terganggunya investasi di bidang pertambangan batubara. Dengan demikian perlu diwujudkan penerapan IPPKH yang efektif sehingga fungsi dan tujuan dari IPPKH untuk mengakomodir kepentingan investasi dan pelestarian hutan dapat terlaksana secara optimal. Kata kunci : batubara, hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, investasi, pertambangan. Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Kegiatan Pertambangan Batubara di Indonesia dan

Kaitannya Dengan Investasi

Marisa Harfiana, Tri Hayati, Bono Budi Priambodo

Program Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

E-mail : [email protected]

ABSTRAK Nama : Marisa Harfiana Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

pada Kegiatan Pertambangan Batubara di Indonesia dan Kaitannya Dengan Investasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep, tujuan, pengaturan, dan permasalahan penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam kegiatan pertambangan batubara di Indonesia serta mengetahui dampaknya terhadap investasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundangan-undangan, buku, dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yang menjawab pokok permasalahan, yaitu bahwa IPPKH merupakan sebuah fasilitas untuk menjembatani kepentingan investasi dan kepentingan pelestarian hutan dimana keduanya merupakan kepentingan strategis bagi Negara yang tidak bisa dikesampingkan salah satunya. Namun, IPPKH masih mengalami masalah dalam penerapannya karena beberapa faktor seperti masih banyaknya perusahaan yang tidak atau belum mengajukan IPPKH, perbedaan pemetaan, serta kepastian hukum pengaturan IPPKH. Masalah-masalah tersebut disebabkan oleh faktor dari Pemerintah maupun pihak pengusaha pertambangan itu sendiri. Kondisi ini menimbulkan potensi terganggunya investasi di bidang pertambangan batubara. Dengan demikian perlu diwujudkan penerapan IPPKH yang efektif sehingga fungsi dan tujuan dari IPPKH untuk mengakomodir kepentingan investasi dan pelestarian hutan dapat terlaksana secara optimal. Kata kunci : batubara, hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan,

investasi, pertambangan.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 2: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

ABSTRACT Name : Marisa Harfiana Study Program : Law Title : Juridical Review of The Issues on Implementation of Borrow-to-Use Permit for

Forest Area on Coal Mining in Indonesia and Its Relation to Investment This research aims to determine the concept, purpose, regulations, and implementation of Borrow-to-Use Permit For Forest Area (IPPKH) on coal mining activities in Indonesia, as well as the impact on investment climate. This research is a normative legal research using secondary data, such as legislations, books, and interviews with experts. From this research, it can be concluded that IPPKH is a permit to facilitate the interests of forest protection and investment which both of them have strategic importance to Indonesiaand none of them can be ruled out. However, IPPKH still experiencing problems in its implementation because of several factors such as; many companies don’t obtain IPPKH, differences in mapping, and legal certainty of IPPKH regulations. These problems are caused by factors from the Government and the mining investors itself. This condition poses a potential disruption of investment climate in coal mining. Thus, IPPKH needs an effective implementation so that the function and the purpose of IPPKH to accommodate the interests of investment and forest protection can be implemented optimally. Key words :coal, forest, borrow-to-use permit for forest area, forest area use, investment,

mining.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 3: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam yang

mencakup kekayaan hutan, laut, dan tambang. Kekayaan alam Indonesia menjadi

faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian negara. Konsep

dari kepemilikan dari kekayaan alam bangsa Indonesia, termasuk bahan galian

tambang adalah “milik seluruh Rakyat Indonesia”, sesuai amanat Pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945.1 Atas hal tersebut, Negara harus dapat mengelola

kekayaan alam untuk kemanfaatan bagi rakyat. Pertambangan adalah salah satu sektor

penting yang dapat menghasilkan komoditas bernilai tinggi yang dapat menarik

perhatian para investor. Indonesia terus menjadi pemain signifikan dalam industri

tambang global dengan level produksi tinggi pada batubara, tembaga, emas, besi, dan

nikel.2 Pemerintah memegang peran vital dalam industri pertambangan dengan

membentuk peraturan pertambangan nasional, standar, panduan, dan kriteria, serta

membuat keputusan.3

Hampir seluruh wilayah geografis Indonesia mengandung kekayaan alam

tambang, termasuk Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Di antara

wilayah tersebut, banyak daerah yang mengandung bahan galian tambang yang

berada di kawasan hutan. Maka dari itu, dalam industri pertambangan dilakukan kerja

sama antara Kementrian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan,

Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementerian terkait lainnya untuk menjamin

berbagai aturan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan dan meningkatkan

manfaat terhadap masyarakat lokal.4 Pemanfaatan kawasan hutan tidak hanya untuk

pembangunan sektor kehutanan, namun juga sektor non-kehutanan.

Kegiatan pertambangan di kawasan hutan menggunakan suatu izin khusus

bernama izin pinjam pakai kawasan hutan.5 Hal ini sesuai dengan Pasal 38 Undang-

                                                                                                               1 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. vi. 2 PricewaterhouseCoopers, Mining in Indonesia: Investment and Taxation Guide (4th edition),

(Indonesia: Pwc, 2012), hlm. 3. 3 PricewaterhouseCoopers, Ibid. hlm 3. 4 Adrian Sutedi, op. cit., hlm. 39. 5 Izin pinjam pakai adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk

kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

Indonesia (a), Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.18/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 1 ayat (8).

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 4: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana ditentukan bahwa

penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan

kehutanan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai tanpa mengubah fungsi

pokok kawasan hutan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini bertujuan untuk

membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan

strategis atau kepentingan umum terbatas di luar sektor kehutanan tanpa mengubah

status, fungsi, dan peruntukan kawasan hutan tersebut, serta menghindari terjadinya

enclave di kawasan hutan.6 Potensi tambang yang terkandung di kawasan hutan dapat

berada di berbagai jenis kawasan hutan. Namun, dalam Pasal 3 Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II Tahun 2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai

Kawasan Hutan, diatur bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat diberikan di dalam kawasan

hutan produksi dan atau kawasan hutan lindung. 7 Kepentingan pembangunan di luar

kegiatan kehutanan diklasifikasikan menjadi beberapa kegiatan, termasuk di

dalamnya adalah kegiatan pertambangan yang meliputi pertambangan minyak dan gas

bumi, mineral, batubara, dan panas bumi termasuk sarana dan prasarananya. Hasil

tambang yang banyak terkandung di kawasan hutan salah satunya adalah batubara,

dimana pertambangan batubara memberikan pengaruh signifikan dalam industri

sektor pertambangan di Indonesia.

Pengaturan mengenai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan mengalami

perkembangan dari masa ke masa. Pedoman mengenai Izin Pinjam Pakai pertama

kali diterbitkan pada tahun 1994 yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor 55/Kpts-II/1994. Setelah itu Keputusan Menteri tersebut mengalami

perubahan pada tahun 1996, 1997, dan 1998 sebelum diterbitkannya Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kemudian, pada tahun 2006 akhirnya

diputuskan untuk diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Izin

                                                                                                               6 Kementerian Kehutanan, Pinjam Pakai Kawasan Hutan, www.bpkh4.dephut.go.id diunduh

pada tanggal 29 Oktober 2012, pukul 00:31 WIB. 7 Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memproduksi hasil hutan. Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan LN RI Tahun 2010 Nomor 15, Pasal 1 ayat (8) dan . Pasal 1 ayat (12).

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 5: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Pinjam Pakai Kawasan Hutan karena Keputusan Menteri sebelumnya yakni tahun

1994, 1996, 1997, dan 1998 dianggap sudah tidak sesuai lagi. Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor 14/ Menhut-II/2006 ini kemudian juga kerap mengalami

perubahan hingga tahun 2012 ini.

Undang-undang dan peraturan tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

mengatur berbagai hal mengenai penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non

kehutanan mulai dari prosedur permohonan, kewajiban yang harus dipenuhi,

persyaratan, dan beberapa hal penting lainnya. Para pengusaha pertambangan perlu

mencermati pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan hutan ini karena

perkembangannya cukup dinamis dari tahun ke tahun. Pada prakteknya, ternyata

terjadi beberapa masalah pada penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam

kegiatan pertambangan. Seperti yang terjadi pada proyek Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)8, dimana terdapat sembilan

proyek MP3EI yang berlokasi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terhambat

karena tersandung masalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Di antara sembilan

proyek tersebut terdapat proyek yang bergerak di bidang pertambangan batubara.

Hambatan ini terjadi karena beberapa faktor seperti tumpang tindih lahan dengan

lahan hutan produksi serta belum keluarnya surat rekomendasi dari Gubernur.9

Permasalahan ini otomatis menyebabkan beberapa proyek MP3EI tertunda. Target

proyek ground breaking tahun 2012 yang sebelumnya dipublikasikan sebanyak 86

proyek dengan nilai Rp 493,68 miliar turun menjadi 55 proyek dengan nilai Rp

369,85 miliar per Juli 2012. Hal demikian diungkapkan oleh Luky Eko Wuryanto,

Deputi Menteri Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan

Wilayah.10

                                                                                                               8 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan

langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan melalui melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang terdiri dari 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, (Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011), hlm. 10.

9 Wahyu Utomo, Internalisasi Kemajuan Debottlenecking Proyek MP3EI Semester I-2012, Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Agustus 2012.

10 Luky Eko Wuryanto, Internalisasi Kemajuan Debottlenecking Proyek MP3EI Semester I-2012, Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Agustus 2012.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 6: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Hal di atas merupakan beberapa masalah dalam penerapan sistem Izin Pinjam

Pakai Kawasan Hutan di Indonesia. Hasil tambang yang banyak terkandung di bawah

kawasan hutan Indonesia menjadi tugas tersendiri bagi Pemerintah Indonesia untuk

merancang dan merumuskan peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi

kepentingan hutan negara maupun investasi. Pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan

Hutan ini pada dasarnya untuk melindungi kelestarian hutan Indonesia. Namun, di sisi

lain negara juga memiliki kepentingan untuk menarik penerimaan negara sebesar-

besarnya. Penerimaan negara dapat diperoleh dari sektor pertambangan dimana sektor

ini mampu menghasilkan komoditas yang sangat potensial. Kepentingan investasi

tidak dapat dikesampingkan karena hal ini sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan

perkembangan perekonomian negara. Menyikapi hal tersebut, diperlukan analisa lebih

lanjut terhadap penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini. Apakah

penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini membawa dampak khusus

terhadap iklim investasi khususnya di sektor pertambangan batubara? Mengingat

sebagian besar pertambangan batubara dilakukan di kawasan hutan.

Sesuai dengan latar belakang di atas, penulis akan membatasi masalah menjadi

beberapa permasalahan pokok, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk

kegiatan pertambangan?

2. Masalah apa saja yang timbul dalam penerapan Izin Pinjam Pakai dalam

rangka kegiatan usaha pertambangan batubara?

3. Apakah pengaruh masalah penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

terhadap investasi pertambangan batubara?

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai ruang

lingkup penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan

pertambangan dan implikasi nya terhadap investasi sektor pertambangan batubara di

Indonesia.

Tinjauan Teoritis

1. Pertambangan

“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umumm

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 7: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan

pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.”

(Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara)11

2. Batubara

“Merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam dalam

tingkat/grade yang berbeda dari lignit, subbitumine, dan antarasit.”12

3. Investasi / Penanaman Modal

“Segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam

negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah

Negara Republik Indonesia” (Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal).13

4. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

“Izin penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain yang diterbitkan

oleh Menteri Kehutanan setelah dipenuhinya seluruh kewajiban dalam persetujuan

prinsip pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.”14

5. Baseline

“Merupakan deskripsi secara kuantitatif dan kualitatif kondisi awal penutupan

lahan areal pinjam pakai pada masing-masing kategori L1, L2, dan L3 yang

mengklasifikasikan kondisi lahan yang dapat direvegetasi atau tidak direvegetasi

sebagai dasar penilaian keberhasilan reklamasi.”15

6. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

“Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat

yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan”16

                                                                                                               11 IBR Supanca, et.al., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal, (Jakarta: National Legal Reform

Program, 2010), hlm. 409. 12 Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 217. 13 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3. 14 Indonesia (f), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.02/2009 Tentang Tata Cara

Pengenaan, Pemungutan, Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan, Pasal 1 ayat (7).

15 Indonesia (f), Ibid. Pasal 1 ayat (7). 16 Indonesia (d), Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan

Pajak, LN RI Tahun 1997 Nomor 43, TLN Nomor 3687, Pasal 1 ayat (1).

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 8: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

7. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berasal Dari Penggunaan

Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan

“Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan

untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan

hutannya di atas 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau.”17

8. Enclave

"Lahan milik pihak ketiga (bukan kawasan hutan) yang terletak di dalam kawasan

hutan."18

Metode Penelitian

Metode penelitan yang digunakan penulis adalah penelitian yang bersifat yuridis-

normatif, dimana penelitian ini mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam

peraturan perundang-undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di

masyarakat.19 Norma hukum yang menjadi acuan dalam penelitian ini antara lain

mencakup Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Kehutanan, Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun

2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 2

Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di

Luar Kegiatan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II

Tahun 2011 Tentang Pedoman pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Tipe penelitian yang akan dilakukan jika ditinjau dari sifatnya adalah penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan

secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk

                                                                                                               17 Indonesia (e), Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan, Pasal 1 ayat (1).

18Kementerian  Kehutanan,  Pranalogi  Kehutanan,  http://www.dephut.go.id/halaman/pranalogi_kehutanan/definisi.pdf  .  diakses  pada  tanggal  25  April  2013,  pukul  20:00  WIB.  

19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 9: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

menentukan frekuensi suatu gejala.20 Tipe penelitian deskriptif ini terkait dengan

pembahasan tentang masalah penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

dalam kegiatan investasi sektor pertambangan batubara.

Dipandang dari sudut bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian evaluatif.

Penelitian evaluatif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk menilai suatu

program yang dijalankan.21 Dalam hal ini penulis ingin menilai dan mengevaluasi

penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam kegiatan investasi sektor

pertambangan batubara.

Sedangkan jika dipandang dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan

penelitian problem identification. Penelitian problem identification bertujuan untuk

mengidentifikasi suatu masalah. 22 Dalam hal ini penulis ingin mengidentifikasi

masalah dari penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan terhadap iklim dan

kelangsungan kegiatan usaha sektor pertambangan batubara.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

bersumber dari tulisan-tulisan, data arsip, data resmi, dan data-data lain yang

dipublikasikan pada bidang hukum pertambangan, bidang kehutanan, dan bidang

hukum investasi. Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder, tersier yaitu antara lain:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yang meliputi bahan hukum yang berkekuatan mengikat

berupa peraturan perundang-undangan Indonesia seperti Undang-undang Nomor

41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor

2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan

Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan

Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.18/Menhut-II Tahun 2011 Tentang Pedoman pinjam Pakai Kawasan

Hutan.                                                                                                                

20 Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm. 10. 22 Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 10.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 10: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terkait erat dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan

bahan hukum primer. Contoh bahan hukum sekunder antara lain teori para

sarjana, buku, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, disertasi, surat

kabar, serta makalah.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, meliputi bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan

ensiklopedia.

Selain itu, untuk mendukung penelitian lebih mendalam, akan dilakukan

wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pertambangan batubara

dan kehutanan seperti dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia serta

Kementerian Kehutanan.

Hasil Penelitian

Batubara merupakan salah satu hasil galian tambang yang strategis. Batubara,

atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan coal ini adalah endapan senyawa organik

karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan.23 Ditinjau

secara historis, pertambangan batubara di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial

Hindia Belanda dulu. Selain mencari rempah-rempah, pemerintah kolonial Hindia

Belanda mencari sumber daya batubara untuk kepentingan armada angkatan laut dan

kereta api uap.24 Lokasi pertambangan batubara di Indonesia yang pertama kali

dibuka pada tahun 1849 berlokasi di Pengaron, Kalimantan Timur yang dikelola oleh

sebuah perusahaan swasta yaitu NV Oost Borneo Maatschappij (OBM).25

Dalam Undang-undang Minerba yang lama, yaitu UU nomor 11 Tahun 1967,

bentuk pengusahaan mineral dan batubara ada dua jenis. Untuk batubara, kontrak

yang berlaku adalah Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan

                                                                                                               23Indonesia (h), Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara, LN RI Tahun 2009 Nomor 4, TLN Nomor 4959, Pasal 1 ayat (3). 24 Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia-ICMA, Pengabdian Pertambangan Batubara di

Bumi Indonesia, (Jakarta : Tigot Communications, 2012), hlm. 50. 25 APBI-ICMA, Ibid. hlm. 50.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 11: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Pertambangan Batubara (PKP2B). Sedangkan untuk mineral, kontrak yang berlaku

adalah Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK). Dalam

perkembangannya, rezim kontrak pertambangan batubara berubah menjadi rezim

perizinan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan UU Minerba lama

yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan. Dalam UU ini, diatur bahwa pengelolaan pertambangan batubara

dilakukan melalui IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat),

dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).

Sesuai Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun

2013 Tentang Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha

Pertambangan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota, Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan pengawasan

dilakukan oleh Direktur Jenderal yang dalam pelaksanaanya dapat berkoordinasi

dengan Kementerian Dalam Negeri dan atau instansi terkait lainnya. Pengawasan

yang dilakukan Direktur Jenderal adalah berdasarkan evaluasi dan verifikasi dalam

rekonsiliasi IUP dan IPR secara nasional terhadap penerbitan perizinan.26 Hasil

pengawasan oleh Direktur Jenderal diumumkan dengan pengumuman status Clear

and Clean dan penerbitan sertifikat Clean and Clear. Terdapat empat syarat Clean

and Clear, yaitu:27

1. Syarat Administrasi, lokasi tidak tumpang tindih dan dokumen perizinan

sesuai dengan prosedur;

2. Syarat Teknis, seperti melengkapi laporan eksplorasi dan studi kelayakan;

                                                                                                               26 KP, SIPD, dan SIPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2009 oleh gubemur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya termasuk proses penyesuaian menjadi IUP dan IPR; serta IUP yang diterbitkan oleh gubemur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan Kuasa Pertambangan yang telah diterima oleh gubemur atau bupati/walikota dan telah mendapatkan pencadangan wilayah sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dinyatakan tetap berlaku. Indonesia (i), Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota, Pasal 11 huruf (a).

27 Ibid., Pasal 11 huruf (c).

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 12: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

3. Syarat Lingkungan, seperti melengkapi persetujuan dokumen lingkungan;

4. Syarat Finansial, seperti membayar kewajiban iuran tetap dan royalti yang

termasuk dalam PNBP.

Proses Clean and Clear dikenal juga dengan proses rekonsiliasi IUP. Proses

Clean and Clear ditujukan untuk menata industri pertambangan di Indonesia atas

permasalahan-permasalahan yang terjadi seperti masalah tumpang tindih. Proses

Clean and Clear ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak

yang terkait dengan industri pertambangan.

Terkait pengelolaan sumberd daya batubara di kawasan hutan, di dalam Pasal

33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pengertian dikuasai

bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban

dan wewenang dalam hukum publik. Hutan sebagai kekayaan alam memiliki fungsi

yang beraneka ragam, tidak hanya sebagai penyangga kehidupan lokal dan

penggerak perekonomian nasional, namun juga memiliki fungsi kelestarian bagi

keseimbangan ekosistem global. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan lokal

masih sangat dominan di Indonesia dimana sebanyak 49 juta penduduk masih

menggantungkan kehidupannya dari sumber daya hutan. 28 Indonesia memiliki

hutan yang sangat luas. Dimana sampai tahun 2011, luas hutan Indonesia tercatat

mencapai 99 juta hektar.29

Hutan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu forest. Forest

merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk

kepentingan di luar kehutanan. Definisi hutan juga dipaparkan dalam Pasal 1 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa “Hutan

adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Semua kawasan hutan di Indonesia

termasuk kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran

                                                                                                               28Komisi Pemberantasan Korupsi, Semiloka Menuju Kawasan Hutan Yang Berkepastian Hukum

Dan Berkeadilan, (Jakarta:KPK, 2012), hlm. 13. 29 Ibid., hlm. 14.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 13: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

rakyat sebesar-besarnya. Dalam angka penguasaan tersebut Negara memberikan

wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

berkaitan dengan hutan.30

Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan merupakan bagian dari

kegiatan pengelolaan hutan. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan

kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan jasa lingkungan,

memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk

kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Beberapa izin terkait

pemanfaatan hutan antara lain; IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan), IUPJL

(Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan), IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu), dan beberapa izin lainnya. Sedangkan penggunaan kawasan hutan

adalah penggunaan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan tanpa

mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan. Izin yang diberikan untuk

penggunaan kawasan hutan adalah IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).

Pertambangan merupakan salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan sehingga

membutuhkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan adalah izin atas penggunaan sebagian kawasan

hutan oleh pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan

tanpa mengubah status, peruntukan, dan fungsi kawasan hutan tersebut. Penerapan

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini adalah untuk membatasi dan mengatur

penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan strategis atau kepentingan

umum terbatas di luar sektor kehutanan tanpa mengubah status, fungsi, dan

peruntukan kawasan hutan, serta menghindari terjadinya enclave.31 Izin Pinjam Pakai

Kawasan Hutan (IPPKH) diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia

pertama kali pada tahun 1978 yaitu dengan Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan

Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978. Kemudian, pada tahun 1994 pengaturan tentang Izin

Pinjam Pakai Kawasan Hutan disempurnakan dalam Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang

kemudian direvisi sebanyak tiga kali sampai tahun 1998 yaitu dengan Keputusan                                                                                                                

30  Indonesia  (g),  Op.  cit.,  Pasal  4.    31Kementerian Kehutanan, Pinjam Pakai Kawasan Hutan,

http://bpkh4.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Itemid=80, diunduh pada tanggal 11 Januari 2013, pukul 18:31 WIB.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 14: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1996, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

614/Kpts-II/1997, dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998. Dari

tahun 1994 hingga tahun 1998, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dilakukan dengan

konsep perjanjian yang melibatkan pihak pemohon dan pihak dari Kementerian

Kehutanan sebagai pihak Pemerintah. Hal ini menimbulkan kerancuan antara konsep

izin dan perjanjian. Kemudian, pada tahun 2006 diterbitkan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2006 yang merevisi seluruh pengaturan pinjam

pakai kawasan hutan sebelumnya karena dianggap sudah tidak sesuai lagi. Dalam

peraturan ini, pinjam pakai kawasan hutan sudah sepenuhnya diatur dalam bentuk izin

dan bukan lagi dengan bentuk perjanjian. Setelah itu, peraturan ini terus mengalami

penyempurnaan yaitu dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-

II/2006, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008, dan Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011. Peraturan pinjam pakai kawasan

hutan tahu 2011 ini kemudian selanjutnya mengalami dua kali revisi yaitu dalam

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012 dan terakhir, Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2013. Dengan demikian pengaturan

tentang IPPKH telah mengalami penyempurnaan sebanyak sepuluh kali.

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ini diberikan oleh Menteri Kehutanan

berdasarkan permohonan.32 Kewenangan pemberian IPPKH ini dapat dilimpahkan

kepada gubernur, dengan ketentuan untuk:

a. luasan paling banyak 1 (satu) hektar;

b. pembangunan fasilitas umum; dan

c. kegiatan yang bersifat non-komersial.

Terdapat dua bentuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yaitu:33

a. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan Kompensasi

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan kompensasi diberikan untuk

kegiatan operasi produksi. IPPKH dengan kompensasi terbagi menjadi dua

yaitu:

1) Kompensasi Lahan Pada Provinsi Dengan Luas Kawasan Hutan < 30%

                                                                                                               32 Indonesia (a), Op. cit., Pasal 8. 33 Indonesia (a), Op., cit, Pasal 7.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 15: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Adalah kompensasi lahan pada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan di

provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari luas Daerah

Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi. Terdapat tiga jenis

kompensasi lahan, yaitu:

a) Non-Komersil

Rasio paling sedikit 1:1 ditambah dengan luas rencana areal

terganggu dengan kategori L3.

b) Komersil

Rasio paling sedikit 1:2 ditambah dengan luas rencana areal

terganggu dengan kategori L3.

c) Jika realisasi L3 lebih luas dari rencana L3, maka luas kompensasi

ditambah dengan luas perbedaan dari selisih antara rencana L3

dengan realisasi L3.

2) Kompensasi Membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan

Melakukan Penanaman Pada Provinsi Dengan Luas Kawasan Hutan >

30%

a) Non-Komersil

Rasio penanaman 1:1.

b) Komersil

Rasio penanaman paling sedikit 1:1 ditambah dengan luas rencana

areal terganggu dengan kategori L3.

b. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tanpa Kompensasi

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tanpa kompensasi diberikan untuk

kegiatan survei atau eksplorasi dan untuk kegiatan pertahanan negara, sarana

keselamatan lalu lintas laut atau udara, sarana meteorologi, klimatologi, dan

geofisika.

Dalam melakukan kompensasi lahan, ada beberapa tahap yang harus

dilakukan, yaitu:

a. Memenuhi syarat lahan kompensasi yaitu antara lain: 1) letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan, kecuali lahan

kompensasi tersebut dapat dikelola dan dijadikan satu unit pengelolaan hutan;

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 16: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

2) terletak dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi yang sama;

3) dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; 4) tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak

tanggungan; dan 5) mendapat rekomendasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota.

b. penilaian kelayakan teknis LK oleh tim yang dikoordinasikan oleh Dinas

Kehutanan Provinsi, dan hasilnya dituangkan ke dalam berita acara

kelayakan teknis calon lahan kompensasi;

c. serah terima fisik lapangan yang dituangkan dalam berita acara serah

terima fisik lapangan; dan

d. serah terima dokumen lahan kompensasi untuk selanjutnya dilakukan

proses pengukuhan kawasan hutan.

Sesuai Pasal 26 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2013,

terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pihak pelaku usaha pemegang

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan operasi produksi. Kewajiban

tersebut antara lain:34

a. melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi bagi pemegang Izin

Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan kewajiban menyediakan lahan

kompensasi;

b. melaksanakan reklamasi dan revegetasi pada kawasan hutan yang sudah

tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu Izin Pinjam

Pakai Kawasan Hutan;

c. memenuhi kewajiban keuangan sesuai peraturan perundang-undangan,

meliputi:

1) membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan

Kawasan Hutan;

2) membayar penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan

(PSDH), Dana Reboisasi (DR);

3) membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal

yang dimohon merupakan areal reboisasi;

                                                                                                               34 Ibid., Pasal 26 ayat (2).

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 17: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

4) mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada

pengelola/pemegang Izin Pemanfaatan Hutan apabila kawasan hutan

yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berada pada areal

yang telah dibebani Izin Pemanfaatan Hutan/pengelolaan;

5) mengganti iuran izin yang telah dibayarkan oleh pemegang izin

pemanfaatan hutan berdasarkan luas areal yang digunakan kepada

pemegang izin pemanfaatan hutan apabila kawasan hutan yang

diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berada pada areal yang

telah dibebani izin pemanfaatan hutan; dan

d. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai

(DAS) dan dilaksanakan sebelum jangka waktu Izin Pinjam Pakai

Kawasan Hutan berakhir;

e. melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar areal Izin Pinjam Pakai

Kawasan Hutan;

f. melakukan pemeliharaan batas areal pinjam pakai kawasan hutan;

g. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang- undangan;

h. mengamankan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dalam hal

areal pinjam pakai kawasan hutan berbatasan dengan kawasan hutan

konservasi dan hutan lindung.

i. membuat daerah penyangga (buffer zone) yang berbatasan dengan

kawasan hutan konservasi selebar 500 (lima ratus) meter dari batas luar

kawasan hutan konservasi bagi kegiatan pertambangan, kecuali minyak,

gas, dan panas bumi;

j. memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah

pada saat melakukan monitoring atau pengawasan dan evaluasi di

lapangan;

k. mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan setempat dan/atau

kepada pemegang Izin Pemanfaatan Hutan atau pengelola hutan;

l. menyerahkan rencana kerja pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud

pada huruf a sampai dengan huruf i, selambat-lambatnya 100 (seratus) hari

kerja setelah ditetapkan keputusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 18: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

m. membuat laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada

Menteri mengenai penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai

n. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf m di atas memuat antara lain:

a. rencana dan realisasi penggunaan kawasan hutan;

b. rencana dan realisasi reklamasi dan revegetasi;

c. rencana dan realisasi reboisasi lahan kompensasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

d. pemenuhan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan;

e. rencana dan realisasi penanaman dalam wilayah daerah aliran sungai

sesuai peraturan perundang-undangan; dan

f. pemenuhan kewajiban lainnya sesuai izin pinjam pakai kawasan hutan.

Pembahasan

Sebelum adanya sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluruh

kegiatan non-sektor kehutanan di kawasan hutan dilakukan dengan perjanjian

pinjam pakai kawasan hutan. Namun, sejak diterapkan IPPKH, semua pelaku

kegiatan non-sektor kehutanan termasuk pertambangan di kawasan hutan wajib

memiliki IPPKH. Permasalahannya adalah, hingga kini masih banyak perusahaan

tambang yang belum mengajukan IPPKH. Padahal perusahaan tambang yang

melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa adanya IPPKH telah

melakukan pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 51 UU

Kehutanan. Tumpang tindih ini juga disebabkan oleh faktor tumpang tindih izin

dan wilayah seperti tumpang tindih IUP dengan izin sektor lainnya. Pejabat yang

berwenang mengeluarkan izin melakukan penerbitan dua izin berbeda di wilayah

yang sama. Hal ini menyebabkan pemegang izin tidak dapat memperoleh status

dan sertifikat clean and clear sehingga tidak dapat memperoleh IPPKH.

Selanjutnya, setiap pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan akan

dibebani tarif PNBP. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh

penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.35

                                                                                                               35 Indonesia (d), Op., cit, Pasal 1 butir 1.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 19: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Salah satu bentuk PNBP di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup

signifikan dalam penerimaan negara adalah PNBP di bidang pertambangan

umum. Penerimaan PNBP di bidang pertambangan umum ini tidak lepas kaitanya

dengan sektor kehutanan. Pembayaran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c butir 1 di atas

mengacu pada Pasal 26 ayat (1) butir b jo. Pasal 16 ayat (3) Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/Tahun 2011 dimana PNBP Penggunaan

Kawasan Hutan dibayar berdasarkan baseline penggunaan kawasan hutan yang

telah diatur dalam Peraturan Menteri tersebut. Pembayaran PNBP Penggunaan

Kawasan Hutan dilakukan beserta penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah

aliran sungai (DAS) bagi pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan

jenis kewajiban tersebut. IPPKH seperti yang diketahui, dapat dilakukan dengan

cara sesuai luas kawasan hutannya. Dulu, IPPKH diterapkan hanya dengan

penggantian lahan kompensasi. Namun, pada akhirnya IPPKH dilakukan dengan

dua cara, yaitu dengan lahan kompensasi dan pembayaran tarif PNBP. IPPKH

dengan pembayaran tarif PNBP efektif mulai berlaku sejak diterbitkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasn Hutan

untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada

Departemen Kehutanan.

Banyak pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang melakukan

penunggakan pembayaran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan yang disebabkan

beberapa faktor seperti misinterpretasi teknis pembayaran PNBP itu sendiri dan

besarnya jumlah tarif PNBP yang memberatkan pemegang izin. Sampai tahun

2011 terdapat 85 perusahaan tambang pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan

Hutan yang mengunggak pembayaran PNBP yang berpotensi menimbulkan

kerugian negara sebesar Rp60.898.385.950. Tunggakan tersebut merupakan

akumulasi tunggakan sejak tahun 2009. Pada tahun 2010 terdapat 32 perusahaan

penunggak dengan nilai potensi kerugian negara sebesar Rp15.074.704.489.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 20: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Perusahaan yang menunggak ini juga terancam pencabutan izin pinjam pakai

hutannya.36

Selain masalah pengajuan dan penunggakan, beberapa masalah juga terjadi

dalam penerapan IPPKH, seperti yang terjadi pada PT X. Permasalahan terjadi

ketika PT X sebelumnya telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. XXX. Daerah yang terganggu pada

kegiatan pertambangan PT X ini adalah kategori L1 dan L2. Namun, terdapat

kendala dalam penentuan perhitungan PNBP PT X ini yang disebabkan adanya

perbedaan batas kawasan hutan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dengan Balai

Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) IV. Hal ini terjadi karena tidak adanya

kesamaan acuan dalam menentukan batas kawasan hutan antara Pemerintah

Pusat, yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Planologi

Kementerian Kehutanan dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang

berkedudukan di daerah. Di atas areal-areal yang menjadi sengketa tersebut

terdapat bangunan dan sarana kantor, CPP, dan gudang Handak yang berdasarkan

peta lampiran IPPKH SK Menteri Kehutanan No. XXX berada di luar kawasan

hutan. Sedangkan berdasarkan hasil desk analysis tim verifikasi PNBP BPKH IV

menyatakan bahwa sarana-sarana dan bangunan tersebut dianggap berada di

dalam kawasan hutan, dimana analisa tersebut didasarkan pada peta lampiran

Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan Produksi Hulu Sungai Kendilo–Sungai

Samu. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perbedaan acuan perhitungan PNBP

bagi PT X. Berdasarkan Berita Acara Verifikasi PNBP, PT X dianggap

melakukan pelanggaran terhadap penggunaan kawasan hutan karena sarana-sarana

dan bangunan berupa kantor, CPP, dan gudang Handak tidak sesuai dengan areal

yang diberikan IPPKH berdasarkan SK No. XXX tersebut. Hal ini juga

menyebabkan beban PNBP PT X bertambah akibat bangunan dan sarana milik PT

X yang tadinya tidak berada di kawasan hutan menjadi dianggap berada di

kawasan hutan berdasarkan Berita Acara Verifikasi oleh BPKH IV. Karena

verifikasi wajib dilakukan secara reguler setiap tahunnya, maka acuan besaran

                                                                                                               36 Bambang Soepijanto, Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan bidang Planologi

Kehutanan, Samarinda, 14 Juli 2011. http://agroindonesia.co.id/2011/07/19/puluhan-perusahaan-tambang-menunggak-pnbp/, diakses pada tanggal 2 Mei 2013, pukul 19:00 WIB.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 21: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

nilai dalam pembayaran PNBP PT X didasarkan pada hasil verifikasi tersebut.

Masalah perbedaan pemetaan ini salah satunya dapat terjadi karena kurangnya

koordinasi. Pihak Direktorat Jenderal Planologi dan BPKH yang bersama-sama

berada di lingkup Kementerian Kehutanan seharusnya mampu melakukan

koordinasi dengan baik. Meskipun masalah perbedaan pemetaan ini tidak selalu

terjadi di setiap pemegang IPPKH, namun pada nyatanya masih dapat terjadi

seperti pada PT X ini. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini

salah satunya adalah dengan meningkatkan koordinasi dan perbaikan tata batas

kawasan hutan. Secara umum, upaya pengukuhan kawasan hutan sangat

diperlukan saat ini dalam rangka menyelaraskan kegiatan seluruh sektor agar tidak

terjadi lagi masalah tumpang tindih dan masalah-masalah lain yang timbul akibat

penataan ruang yang kurang baik. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menjalankan program Percepatan

Pengukuhan Kawasan Hutan yang dilakukan dengan koordinasi seluruh sektor.

Sebagai salah satu sektor yang berpartisipasi, Kementerian Kehutanan melakukan

beberapa upaya dalam rangka program Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

ini yang salah satunya adalah dengan meningkatkan kinerja tata batas kawasan

hutan. Hal ini merupakan langkah yang tepat dan hendaknya ditingkatkan lagi

agar pemetaan kawasan hutan selaras sehingga tidak lagi muncul masalah

perbedaan pemetaan hingga masalah tumpang tindih.

Selain masalah penerapan di lapangan, masalah juga terjadi pada kepastian

hukum pengaturan mengenai IPPKH itu sendiri. Pengaturan mengenai IPPKH

yang telah mengalami perubahan sebanyak sepuluh kali cenderung terlalu sering

mengalami perubahan, terutama perubahan dari tahun 2011 hingga tahun 2013.

Perubahan peraturan dari tahun 2012 ke tahun 2013 hanya berjarak lima bulan.

Inkonsistensi pengaturan salah satunya terlihat dalam ketentuan mengenai jangka

waktu IPPKH untuk kegiatan operasi produksi. Ketentuan mengenai jangka waktu

IPPKH bagi kegiatan produksi sebelumnya diatur dalam Pasal 36 (3) Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 dimana jangka waktu IPPKH

bagi kegiatan operasi produksi adalah paling lama dua puluh tahun. Kemudian

pada tahun 2012, pasa tersebut diubah dalam Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.38/Menhut-II/2012 yang mengatur bahwa jangka waktu IPPKH kegiatan

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 22: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

operasi produksi diberikan paling lama lima tahun. Pada tahun 2013, pasal

tersebut kembali diubah dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.14/Menhut-II/2013 yang mengatur bahwa IPPKH untuk operasi produksi kini

ditetapkan berlaku sesuai dengan jangka waktu izin kegiatannya.37 Perubahan

ketentuan mengenai jangka waktu IPPKH operasi produksi dari tahun 2011

hingga 2013 mencerminkan inkonsistensi karena pengaturan jangka waktu dalam

peraturan tahun 2011 tidak berbeda dengan jangka waktu yang diatur dalam

peraturan tahun 2013. Jangka waktu 20 tahun adalah sama dengan jangka waktu

maksimum IUP operasi produksi. Pengaturan jangka waktu IPPKH operasi

produksi maksimal 5 tahun dalam peraturan tahun 2012 bertujuan untuk

memperketat kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Namun, pengaturan

tersebut tidak bertahan lama dan menurut beberapa pihak kembali memberikan

kelonggaran bagi pengusaha pertambangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian

hukum dalam pengaturan IPPKH dan dapat menimbulkan kerancuan pagi

kalangan pengusaha pertambangan.

Kesimpulan

Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang dapat ditarik:

1. Terkait pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan

pertambangan:

a. IPPKH diterapkan sesuai dengan amanat UU Kehutanan yang mengatur

bahwa penggunaan kawasan hutan di luar fungsi dan peruntukannya, sejauh

mungkin harus dibatasi dan ditertibkan sehingga penggunaan kawasan hutan

untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan dengan

pemberian IPPKH.

b. Pengaturan tentang IPPKH telah mengalami penyempurnaan sebanyak

sepuluh kali. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah terus berusaha untuk

mencari jalan terbaik untuk mendukung kepentingan kehutanan dan

pembangunan negara tanpa harus mengesampingkan salah satu sektor.

c. IPPKH menjadi salah satu sarana untuk menjembatani kepentingan

                                                                                                               37 Ibid.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 23: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

perlindungan hutan dan kepentingan investasi sehingga investasi sektor

pertambangan batubara tetap dapat dilakukan di kawasan hutan dengan syarat

dan batasan tertentu dan kelestarian hutan pun tetap terlindungi.

2. Terkait permasalahan penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk

kegiatan pertambangan:

a. Penerapan IPPKH masih mengalami banyak masalah seperti masih banyaknya

perusahaan yang tidak atau belum mengajukan IPPKH, perbedaan pemetaan

IPPKH dan kepastian hukum pengaturan IPPKH. Masalah ini disebabkan oleh

faktor dari perusahaan itu sendiri dan dari pihak Pemerintah.

b. Dari pihak perusahaan, masih banyak perusahaan yang belum kompeten dalam

menjalankan usahanya termasuk belum kompeten dalam menjalankan

prosedur sehingga menyulitkan diri sendiri dalam memperoleh IPPKH dan

melaksanakan kewajiban IPPKH.

c. Faktor utama masalah penerapan IPPKH dari pihak Pemerintah adalah

sosialisasi IPPKH yang belum berjalan maksimal dan masih banyaknya

masalah tumpang tindih izin dan wilayah. Sementara masalah tumpang tindih

tersebut disebabkan oleh belum sempurnanya pengukuhan hutan di Indonesia,

lemahnya pengawasan, dan banyaknya aparat yang tidak melaksanakan

kewajiban dengan baik.

d. Perubahan pengaturan mengenai IPPKH yang telah direvisi sebanyak sepuluh

kali cenderung terlalu sering. Hal ini menimbulkan tidak terwujudnya

kepastian hukum. Dalam kurun waktu yang singkat sosialisasi atas satu

peraturan belum berjalan maksimal namun sudah terbit perubahan yang baru

lagi sehingga penerapan peraturan tersebut tidak efektif.

3. Masalah penerapan IPPKH dan masalah lain yang terjadi pada pertambangan

batubara di kawasan hutan otomatis akan mengganggu kegiatan investasi itu

sendiri. Kondisi ini tidak berbanding lurus dengan iklim pertambangan batubara

dunia yang juga cenderung berdinamika, seperti harga batubara yang sedang

anjlok saat ini dan isu pengurangan emisi gas rumah kaca yang sedang

digalakkan. Investasi pertambangan batubara sebagai kegiatan investasi yang

menjanjikan sekaligus berisiko tinggi seharusnya didukung dengan iklim investasi

yang kondusif.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 24: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Saran

Beberapa saran yang dapat Penulis berikan dalam skripsi ini, adalah:

1. Dengan adanya perubahan berkali-kali pada pengaturan tentang pedoman pinjam

pakai kawasan hutan, maka diperlukan adanya konsistensi pengaturan oleh

Pemerintah dengan membentuk satu peraturan yang lengkap, menyeluruh, dan

mampu mengakomodir seluruh aspek terkait IPPKH agar peraturan ini dapat

berlaku dalam jangka waktu yang panjang dan tidak perlu mengalami perubahan-

perubahan esensial di kemudian hari. Dengan demikian, IPPKH dapat diterapkan

secara efektif dan tidak menimbulkan kerancuan bagi masyarakat dan pihak

pengusaha.

2. Hendaknya diupayakan penyelarasan pemetaan kawasan hutan dengan

menyelaraskan peta dasar yang digunakan oleh seluruh instansi agar tidak terjadi

perbedaan interpretasi. Gagasan KPK bersama sektor-sektor lainnya untuk

melakukan upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan merupakan langkah yang

tepat. Sebagai salah satu sektor yang mendukung, Kementerian Kehutanan

hendaknya terus memaksimalkan upaya tata batas kawasan hutan. Dengan

demikian, kepastian hukum batas wilayah dan kawasan hutan seluruh Indonesia

akan tercapai.

3. Pemerintah hendaknya meningkatkan pengawasan di kawasan hutan dan

memperbaiki kinerja aparat yang berwenang dalam penerbitan izin agar seluruh

kegiatan termasuk pertambangan batubara di kawasan hutan menjadi tertib.

Dengan dilakukannya pencegahan pelanggaran, maka sanksi pidana tidak lagi

diperlukan. Pemerintah juga hendaknya memaksimalkan sosialisasi seluruh

prosedur kegiatan investasi pertambangan di kawasan hutan termasuk tentang

IPPKH yang dilakukan dengan berkoordinasi antar sektor pertambangan,

kehutanan, dan sektor terkait lainnya. Sosialisasi ini diperlukan agar masyarakat

terutama pihak pengusaha pertambangan memiliki pemahaman yang baik sehingga

seluruh prosedur dijalani secara tertib.

4. Mengingat pertambangan batubara merupakan kegiatan usaha yang berisiko tinggi

dan membutuhkan modal yang besar, perlu dibentuk suatu standarisasi kompetensi

bagi pengusaha yang hendak melakukan kegiatan investasi pertambangan.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.

Page 25: Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam

Hendaknya dicantumkan persyaratan yang lebih detil serta standar tertentu dalam

syarat finansial permohonan IUP. Dengan membentuk standarisasi ini, kompetensi

perusahaan pertambangan akan terjamin dan mencegah terjadinya pelanggaran

prosedur dan kewajiban dalam rangkaian kegiatan investasi pertambangan,

termasuk IPPKH.

Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.