tifoid
DESCRIPTION
fever of tiphoidTRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Nama : An. J
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Perum kembar lestari
Kebangsaan : Indonesia
MRS : 12 Desember 2014
B. ANAMNESIS (alloanamnesis)
Keluhan utama :
Demam 3 hari yang lalu
Keluhan tambahan :
Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak ± 3 hari SMRS penderita demam, demam awalnya tidak terlalu
tinggi tetapi makin lama makin tinggi. Demam tinggi terutama pada malam
hari, pada siang hari demam agak turun tetapi tidak pernah mencapai normal.
Menggigil tidak ada, keringat dingin tidak ada, kejang tidak ada, penurunan
kesadaran tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, mual muntah ada lebih
dari 10x. Sakit kepala ada, nyeri menelan tidak ada, nyeri ulu hati ada. Nafsu
makan menurun. BAB cair tidak ada. BAK seperti biasa. Penderita dibawa
berobat ke puskesmas, diberi obat penurun panas, demam turun sebentar tapi
kemudian naik lagi.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit dan gejala yang sama yang pernah diderita disangkal.
1
Riwayat penyakit dalam keluarga:
Riwayat penyakit dan gejala yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat sosial ekonomi :
Penderita adalah anak kedua dari ayah Tn. A berusia 28 tahun, pendidikan
SMA, pekerjaan buruh dan ibu Ny. R berusia 30 tahun, pendidikan terakhir
SMP, pekerjaan ibu rumah tangga.
Kesan : status sosial ekonomi kurang
Riwayat kehamilan
Lahir cukup bulan, spontan, langsung menangis, ditolong bidan, BBL dan
PBL ibu penderita tidak ingat.
Riwayat makanan
Umur 0-6 bulan : ASI
Umur 6 bulan-8 bulan : Bubur susu
Umur 8 bulan-sekarang : Nasi biasa
Kesan : Kualitas dan kuantitas pemberian gizi cukup
Riwayat tumbuh kembang
Tengkurap : Umur 4 bulan
Duduk : Umur 7 bulan
Berdiri : Umur 10 bulan
Berjalan : Umur 14 bulan
Kesan: perkembangan motorik dalam batas normal.
Riwayat imunisasi
BCG : (+), skar (-)
DPT I, II, III : (+)
2
Polio I, II, III, IV : (+)
Hepatitis B I, II, III : (+)
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum :
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 110/60 mmHg, isi dan tegangan cukup
Denyut jantung : 102 x/menit, reguler
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu tubuh : 38,3ºC
Berat badan : 22 kg
Tinggi badan : 132 cm
BB/U : 22/29.5 x 100% = 74.5%
TB/U : 132/133 x 100% = 99.2%
BB/TB : 22/ 29 x 100% = 75.8%
Kesan : Status gizi baik
Anemis : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Pemeriksaan khusus :
Kulit : Warna kulit sawo matang, pucat (-), turgor baik.
Kepala
Bentuk : Bulat, simetris.
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
3
Mata : Tidak cekung, konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak
ikterik, pupil bulat, isokor, reflek cahaya positif, edema
palpebra (-).
Telinga : Bentuk dan ukuran dalam batas normal, sekret tidak ada.
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, sekret tidak ada.
Mulut : Rhagaden ada, thyphoid tongue ada.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis.
Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran KGB.
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis-dinamis simetris, retraksi dinding dada tidak ada.
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal kanan-kiri, wheezing (-), ronkhi (-).
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Thrill tidak teraba.
Auskultasi : HR 102x/menit, murmur tidak ada, gallop tidak ada.
Abdomen
Inspeksi : Datar.
Palpasi : Lemas, hepar teraba 1/2 -1/2 permukaan rata, tepi tumpul,
dan lien tidak teraba.
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Lipat paha : Pembesaran KGB tidak ada
4
Ekstremitas
Akral dingin : Tidak Ada
Sianosis : Tidak ada
Piting edema : Tidak ada
Ptechie : Tidak ada
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan Tungkai kanan Tungkai kiri Lengan kanan Lengan kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflek fisiologis (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Reflek patologis - - - -
Fungsi sensorik : Dalam batas normal
Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
Gejala rangsang meningeal : Tidak ada
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 12 Desember 2014
Darah Rutin
WBC : 3,2 L 103/mm3 (3,5-10,0)
RBC : 4,49 106/mm3 (3,8-5,8)
HGB : 11,1 g/dl (11,0-16,5)
HCT : 33,0 L % (35,0-50,0)
PLT : 170 103/mm3 ( 150-390)
5
PCT : .124 % (.100-.500)
DDR : Plasmodium tidak ditemukan
Tanggal 13 Desember 2014
Darah Rutin
WBC : 2,0 L 103/mm3 (3,5-10,0)
RBC : 4,42 106/mm3 (3,8-5,8)
HGB : 11,1 g/dl (11,0-16,5)
HCT : 32,8 L % (35,0-50,0)
PLT : 213 103/mm3 ( 150-390)
PCT : .189 % (.100-.500)
Imunologi :
Tubex TF : Hasil : dalam kisaran rujukan : -
diluar kisaran rujukan : 6
Nilai rujukan : < 2 negatif
3 borderline
4-5 (positif demam tifoid aktif)
6-10 ( indikasi kuat infeksi demam tifoid aktif )
E. RESUME
Sejak ± 3 hari SMRS penderita demam, demam awalnya tidak terlalu
tinggi tetapi makin lama makin tinggi. Demam tinggi terutama pada malam
hari, pada siang hari demam agak turun tetapi tidak pernah mencapai normal.
Menggigil tidak ada, keringat dingin tidak ada, kejang tidak ada, penurunan
kesadaran tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, mual muntah ada lebih
dari 10x. Sakit kepala ada, nyeri menelan tidak ada, nyeri ulu hati ada. Nafsu
makan menurun. BAB cair tidak ada. BAK seperti biasa. Penderita dibawa
berobat ke puskesmas, diberi obat penurun panas, demam turun sebentar tapi
kemudian naik lagi.
6
Dari riwayat penyakit dahulu riwayat penyakit dengan gejala yang
sama disangkal. Riwayat penyakit yang sama didalam keluarga disangkal dan
riwayat sosial ekonomi kurang. Riwayat kelahiran os cukup bulan, spontan,
langsung menangis, ditolong bidan, BBL dan PBL ibu penderita lupa.
Perkembangan motorik dalam batas normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan
darah 110/80 mmHg, denyut jantung: 102 x/menit, reguler, isi dan tegangan
cukup, frekuensi pernapasan 24 x/menit, suhu tubuh 38,3°C, berat badan 22
kg, tinggi badan 132 cm, status gizi kurang, turgor baik. Pada pemeriksan
khusus tiap organ didapatkan pada mulut terdapat rhagaden dan typhoid
tongue, hepar teraba 1/2 -1/2 permukaan rata, tepi tumpul sedangkan organ
lain dan neurologis tidak ditemukan adanya kelainan.
Dari pemeriksaan laboratorium pada tanggal 12 Desember 2014WBC
3,2 L 103/mm3 , HCT 33,0 L % , PLT 170 103/mm3 ( 150-390) dan
DDR Plasmodium tidak ditemukan.
F. DIAGNOSIS KERJA
Observasi febris hari ke III e.c Typhoid
VI. DIAGNOSIS BANDING
Observasi febris hari ke III e.c Typhoid
Observasi febris hari ke III e.c Malaria
G. PENATALAKSANAAN
o Terapi suportif :
Tirah baring.
IVFD D5% NaCl 15% 4:1 gtt 20 x/menit.
Diet bebas serat dan tidak merangsang.
7
o Terapi medikamentosa
Chloramphenicol 4 x 275 mg .
o Observasi vital sign
H. RENCANA PEMERIKSAAN
Tes Mantoux
Gall kultur
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungtionam : bonam
BAB II
ANALISIS KASUS
Seorang anak perempuan berumur 9 tahun datang dengan keluhan utama
demam lama, dari anamnesis didapatkan penderita telah menderita demam selama 2
minggu hari sebelum masuk rumah sakit, sifat demam naik turun, demam tinggi
terutama pada malam hari, tidak menggigil, kejang tidak ada, penurunan kesadaran
tidak ada, sakit kepala ada, nyeri menelan tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada,
mual dan muntah tidak ada, nyeri ulu hati ada, nafsu makan menurun, BAK dan BAB
seperti biasa. Dari keluhan utama yakni demam lama yang naik turun terutama pada
malam hari maka dapat dipikirkan penyebab demam lama adalah suatu proses infeksi,
seperti malaria ataupun demam tifoid.
Diagnosis malaria dapat disingkirkan karena dari anamnesis diketahui bahwa
pasien tidak mengalami menggigil dan keringat dingin sehingga tidak memenuhi trias
malaria. Selain itu, pada pemeriksaan DDR tidak ditemukan parasit plasmodium.
Dari sifat demam yang naik turun, demam tinggi terutama pada sore/malam hari
serta hasil pemeriksaan fisik berupa raghaden pada bibir dan typhoid tongue serta
pembesaran hepar ½ - ½ , permukaan rata, tepi tumpul tanpa pembesaran limpa,
8
diagnosa sementara pasien ini adalah demam thypoid. Untuk lebih memastikan maka
dilakukan pemeriksaan serologi Widal yang ditujukan untuk mendeteksi adanya
antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi
(reagen). Uji ini dilakukan pada awal minggu kedua sakit dan dinyatakan positif bila
titer O antigen >1/160 atau meningkat 4 kali dalam interval 1 minggu. Dari hasil
pemeriksaan serologi widal pada tanggal 28 September 2010 didapatkan titer Pada
pemeriksaan sero-imonologi Widal didapatkan Typhi O 1/160, Typhi H 1/320, Para
typhi A-O 1/80, Para typhi B-O 1/320, dan Para typhi C-O 1/80, Para typhi A-H +,
Para typhi B-H +, Parathypi C-H 1/80. Pada pemeriksaan seroimunologi Widal pada
tanggal 31 Agustus 2010 didapatkan Typhi O 1/320, Typhi H 1/640, Parathypi A-O
1/160, Parathypi B-O 1/640, Parathypi C-O 1/160, Parathypi A-H 1/160, Parathypi B-
H 1/80, dan Parathypi C-H 1/320 sehingga dinyatakan widal positif.
Untuk mendiagnosis pasti tifoid dilakukan pemeriksaan gall kultur dan
didapatkan hasil biakan Salmonella. Maka diagnosis kerja demam tifoid dapat
ditegakkan.
Penatalaksanaan demam tifoid terdiri dari pengobatan suportif dan pengobatan
medikamentosa. Pengobatan suportif berupa istirahat tirah baring, IVFD, diet
makanan bebas serat dan tidak merangsang. Istirahat bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pemberian IVFD D5% NaCl 15%
4:1 gtt 20 xmenit dirasakan perlu karena anak tersebut sulit untuk makan dan minum
sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan cairan pada penderita. Selain itu
sebagai IV line tempat obat masuk secara IV.
Pengobatan medikamentosa yang diberikan adalah kloramfenikol sebagai drug
of choice/pilihan pertama pada pengobatan demam tifoid. Kloramfenikol diberikan
karena tidak terdapat kontraindikasi pemberian yaitu tidak terdapat depresi sumsum
tulang, dan pada penderita ini Hb > 8 g%, leukosit >2000/mm3. kloramfenikol
diberikan dengan dosis 50 – 100 mg/kgBB/hari IV dalam 4 dosis sampai tujuh hari
9
bebas demam. Pada penderita ini kloramfenikol kapsul diberikan dengan dosis 4 x
275 mg IV.
Prognosis pasien ini ialah quo ad vitam bonam dan quo ad fungtionam bonam
karena pada pasien ini tidak terdapat komplikasi dari demam tifoid.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Demam TyphoidA. Definisi
Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik
yang disebabkan oleh kuman batang gram negatif Salmonella typhi maupun
Salmonella paratyphi A,B,C.
B. Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan
kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar
secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Demam tifoid
10
dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak
besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan
perbandingan 2-3 : 1.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai
dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang
dikonsumsi kurang bersih.
C. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram
negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.
D. Manifestasi Klinik
Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang ditandai dengan
demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola
demam yang khas adalah kenaikan tidak turun selama lebih dari 1 minggu
terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi
tetapi bertahap seperti anak tangga (stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot,
kehilangan selera makan (anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar
(konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative lambat (bradikardi), lidah kotor,
pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung
(meteorismus), radang paru (pneumomia) dan kadang-kadang dapat timbul
11
gangguan jiwa. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah pendarahan usus, dinding
usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis) serta gagal ginjal.
E. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (Ig A) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia
pertama yang simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
12
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
F. Penegakkan Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dan diperkuat oleh pemeriksaan
laboratorium penunjang. Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali
tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid.
Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau
yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan
bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik
yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi
usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan
gambaran klinisnya saja. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting
yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara
tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai
septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi.
Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang
hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh
malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada
13
satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat
menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar
darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat
muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
G. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
(1) Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan
jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam
membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
(2) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
14
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Walaupun
spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah
dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis
dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita.
(3) Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini, salah satunya ialah uji Widal. Uji
Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Widal
dinyatakan positif bila titer O antigen >1/160 atau meningkat 4 kali dalam
interval 1 minggu.
H. Penatalaksanaan
Pengobatan penderita Demam Tifoid terdiri dari pengobatan suportif (meliputi
istirahat dan diet), medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. (Mansjoer, 2001)
15
Permberian cairan iv (IVFD) bila dehidrasi, keadaan umum lemah, tidak dapat
makan peroral, atau timbul syok.
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan
vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. (Mansjoer, 2001)
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi
beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid
perlu diberikan pada renjatan septik. (Mansjoer, 2001)
Pengobatan Medakamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol. Apabila terdapat depresi
pada sumsum tulang Hb <8 g% dan atau leukosit <2000/mm3, maka
kloramfenikol diganti dengan ampisilin, kotrimoksasol, atau cefixim. Obat pilihan
kedua adalah sefalosporin generasi III (ceftriakson) untuk demam tifoid berat.
Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 - 100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam
4 kali pemberian, oral atau intravena (dosis maksimal 2 g/hari) sampai tujuh hari
bebas panas minimal sepuluh hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian
kloramfenikol, diberi ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 4
kali, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 10 mg/kbBB/hari atau 50 mg/kgBB/hari (SMX) oral dalam 2
dosis selama 14 hari bila alergi penisilin.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dan
diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga
16
mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan
fluoroquinolon. (Darmowandowo, 2006)
Bila panas tidak turun dalam 5 hari, pertimbangkan komplikasi, fokal infeksi
lain, resistensi, dosis tidak optimal, diagnosis tidak tepat sehingga pengobatan
perlu disesuaikan.
Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan dosis awal 3
mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam),
lalu di stop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan pemeriksaan
elektrolit, dan dilakukan Lumbal Punksi bila tidak terdapat kontraindikasi.
Bila terdapat peritonitis atau perdarahan saluran cerna maka pasien
dipuasakan, pasang pipa nasogastrik, nutrisi parenteral, transfusi darah (atas
indikasi bila Hb <6 g% atau gejala perdarahan jelas), foto abdomen, antibiotic
generasi III parenteral. Bila terjadi perforasi usus maka segera lakukan
laparatomi.
I. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
17
Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum, bila perawatan pasien kurang sempurna. (Mansjoer, 2001)
J. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene
dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan
insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan
sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua
adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral.
Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta
direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang
demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan
pekerja laboratorium. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh
karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian
18
supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan
diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.
(Department of Health and human service, 2004)
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-
anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah
diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya
satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk
bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih
memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya.
Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral)
adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya
maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem
imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya
boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang
yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi
sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-
obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan
dengan pemberian antibiotik. (Department of Health and human service, 2004)
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua
jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada
19
(sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi
(sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang
dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak,
mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi). (Department of Health and
human service, 2004)
20