thesis diajukan kepada sekolah pasca sarjana uin syarif...
TRANSCRIPT
i
EUTHANASIA DI INDONESIA
DALAM PESPEKTIF SYARIAH
Thesis
Diajukan Kepada Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister
dalam Bidang Pengkajian Islam
Oleh:
Niswatul Khasanah
12.2.00.0.01.01.0170
Pembimbing:
Dr. JM. Muslimin, MA.
Konsentrasi Syariah
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2018M/1439H
iii
لبسم اهلل الرمحن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya,
sehingga penulisan tesis tentang Euthanasia di Indonesia dalam Perspektif Syariah
dapat diselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Tesis ini merupakan hasil
penelitian penulis untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil konsentrasi
Agama dan Hukum.
Ide dalam penggarapan penelitian ini berawal dari rasa keingintahuan
penulis tentang praktik euthanasia yang sedang menimbulkan keresahan dan
permasalahan, tidak hanya dari sudut pandang agama, namun juga dari sudut
pandang hukum yang berlaku di Indonesia. Baik medis maupun undang-undang.
Secara tidak langsung melakukan euthanasia pada seorang pasien, berarti
membunuh pasien tersebut, sedangkan sesuai dengan sumpah dokter setiap dokter
wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi makhluk hidup
insani, seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus profokatus)
tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin atau
mengahiri hidup seseorang yang menurut ilmu pengetahuan tidak mungkin akan
sembuh (euthanasia)”. Jadi dalam pandangan kode etik kedokteran euthanasia
dilarang.
Melihat kondisi seperti ini penulis mencoba menawarkan sebuah saran
agar, bagi para dokter sebaiknya tetap berpegang teguh pada sumpah jabatannya
sebagai dokter yang bertujuan untuk memberi pengobatan dan perawatan
pasiennya sampai batas kemampuannya. Bagi pasien yakinlah dengan kuasa
Tuhan, bahkan dari pihak medis sendiri (Indonesia hususnya) tidak ada
kewenangan melakukan tindakan euthanasia. Apapun yang terjadi tidak
seharusnya mencampuri urusan tuhan dengan memperpendek kehidupan manusia.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril dalam
penyelesaian penelitian ini. Pertama, kepada bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah
selaku Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran pimpinan,
Prof. Dr. Didin Syaefuddin, M.A., dan Dr. JM. Muslimin, M.A., juga kepada
seluruh civitas akademika dan Perpustakaan SPs UIN Jakarta.
Kedua, Dr. JM. Muslimin, M.A. Selaku dosen pembimbing, penulis
haturkan banyak terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan
bimbingan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini dan terima
kasih atas ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk penulis. Tidak lupa para dosen
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah memberikan ilmunya, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA; Prof. Dr. Suwito, MA; Prof. Dr. Iik Arifin Mansyurnoor,
MA; Prof. Zainun Kamal, MA; Prof. Dr. M. Bambang Pronowo, MA; Prof. Dr. M.
Atho Mudzhar, MSPD; Prof. Dr. Sukron Kamil, MA; Prof. Dr. Salman Harun;
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA; Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, MA;
iv
Suparto, M.Ed, Ph.D; Prof. Dr, Yunasril Ali, MA; Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo,
MA; Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA; Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, MA;
Prof. Dr. Murodi, MA; Dr. Asep Syaifuddin Jahar; Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA;
dan Dr. Achmad Ubaedillah, MA.
Ketiga, terima kasih kepada lembaga yang telah memberikan data-data
serta informasi dan pihak yang berkenaan dalam memberikan wawancara mengenai
tesis ini, yaitu beberapa Dosen Fakultas Ilmu Kedokteran Uin Syarif Hidayatullah
diantaranya, dr. Femmy Nurul akbar, Dosen tetap fakultas kedokteran Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, dr. Marita Fadilah phD, Dosen tetap PNS Prodi Kedokteran
dan Profesi Dokter, FKIK Uin Jakarta, dr. Agus Rahmadi M.Biomedik. Direktur
Utama PT. Indonesia Sehat Sejahtera, Dokter di Klinik Sehat, Dosen di AKBID
Bunda Auni. dan dr. Mahesa Paranadipa, M.H, Ketua Bidang Keorganisasian dan
Sistem Informasi Kelembagaan PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia), dan beberapa tokoh pemuka Agama diantaranya; Prof. Dr. KH. Hasanuddin AF,
MA. Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. Iik Arifin
Mansurnoor, MA. Dosen Pasca sarjana Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
Said Agil Husin Al-Munawar, MA. Dosen Pasca Sarjana Uin Syarif hidayatullah
Jakarta, Dr. Sahabuddin, MA. Dosen Fakultas Dirasah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Huzaimah T.Yanggo, MA. Dosen Pasca Sarjana Uin Syarif
hidayatullah Jakarta.
Keempat, rasa terima kasih yang sangat mendalam kepada Ayahanda
tercinta H.Ahmad Ali, Ibunda tercinta HJ.Maftuhah dan suami tercinta Muhkamat
wawan suhandi SPd yang telah memberikan motivasi sampai ke jenjang Perguruan
Tinggi. Atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta
kasih sayangnya yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-
henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam
menyelesaikan studi.
Pada akhir pengantar ini, penulis mengharapkan saran dan masukan dari
para pembaca agar karya ini lebih baik lagi. Semoga karya ini memberi kontribusi
positif terhadap perkembangan keilmuan di bidang Syariah.
Jakarta, Maret 2018M/1439H
Penulis,
Niswatul Khasanah
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Niswatul Khasanah
NIM : 12.2.00.0.01.01.0170
Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)
Konsenterasi : Syari’ah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul “EUTANASIA
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SYARI’AH”, adalah karya saya, kecuali
kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat
kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain
itu, apabila di dalamnya terdapat plagiasi, maka saya siap dikenakan sanksi yang
berlaku.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta: Maret 2018
Yang membuat pernyataan,
Niswatul Khasanah
vii
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “EUTHANASIA DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF SYARI’AH” yang ditulis oleh:
Nama : Niswatul Khasanah
NIM : 12.2.00.0.01.01.0170
Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)
Konsentrasi : Syariah
Telah melalui Ujian Proposal, Work in Progress (WIP) Tesis 1, 2,
Pendahuluan dan Promosi, serta telah diperbaiki sesuai saran sebagaimana
mestinya. Dengan ini, saya menyetujui untuk dicetak dalam bentuk buku ISBN.
Jakarta, 27 Maret 2018
Yang membuat pernyataan,
Dr. JM. Muslimin, M.A
ix
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Niswatul Khasanah
Nim : 12.2.00.0.01.01.0170
Judul Tesis :Euthanasia di Indonesia dalam Perspektif
Syari’ah.
Menyatakan bahwa tesis ini telah diverifikasi oleh Prof. Dr. Ahmad
Rodoni, MA. padatanggal 16 Maret 2018.
Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi :
1. Tambah referensi 2018
2. Perbaiki lagi olah bahasa
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh Ujian Tesis.
Jakarta, 16 Maret 2018
Saya yang membuat pernyataan,
Niswatul Khasanah
xi
PERSETUJUAN PENGUJI
Tesis dengan Judul “EUTHANASIA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
SYARIAH” yang disusun oleh Niswatul Khasanah, NIM: 12.2.00.0.01.01.0170 dinyatakan LULUS dalam Ujian Tesis pada tanggal 23 Maret 2018 dan telah
selesai diperbaiki sesuai dengan saran dan rekomendasi dari Tim Penguji Ujian
Tesis, serta disetujui untuk dicetak dalam bentuk buku ber ISBN.
TIM PENGUJI
No Nama Penguji Keterangan/Tandatangan
1
Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA
(Ketua sidang/merangkap Penguji)
.../03/2018
2
Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA
(Penguji 1)
.../03/2018
3
Dr. Khamami Zada, MA
(Penguji 2)
.../03/2018
4
Dr. JM Muslimin, MA
(Pembimbing/merangkap Penguji)
.../03/2018
xiii
ABSTRAK
Penelitian ini membuktikan bahwa : Euthanasia sudah mulai di praktikkan
di Indonesia, tetapi hanya pada euthanasia pasif yaitu dengan dicabutnya terapi
bantuan hidup. Akan tetapi belum banyak dokter yang berani melakukannya.
Masalah dari dilemanya dokter adalah adanya pro dan kontra atas tindakan
yang mereka lakukan terhadap pasien, jika dokter mematikan alat bantu pernafasan
pasien, itu berarti dokter melakukan tindakan euthanasia, yang akan menjerat
dokter dalam pasal 338, 340 dan 359 KUHP, adapun isi dari pasal tersebut adalah;
pasal 338 bunyi pasalnya “barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum karena makar mati dengan penjara selama-lamanya lima belas
tahun”, pasal 340 bunyi pasalnya “barang siapa dengan sengaja dan direncanakan
lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan yang
direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya dua puluh
tahun”, dan pasal 359 bunyi pasalnya “barang siapa karena salahnya menyebabkan
matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun”. Namun ada Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES)
bab 3 pasal 14 ayat 1, mengenai penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup,
bunyi pasalnya “pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat
disembuhkan akibat penyakit yang di deritanya (terminal state) dan tindakan
dokter sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup”.
Penelitian ini ingin menggambarkan fakta empiris bahwa euthanasia pasif
sebagai salah satu praktik yang sudah mulai diterima dalam hukum medis
Indonesia, meskipun belum ada ketetapan hukum yang mengatur euthanasia pasif
baik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Penelitian ini sependapat dengan Chris Gastman, Komariyah Among,
Haryadi, Hasan Basri, Alwi Shihab yang berpendapat bahwa yang diatur dalam
KUHP adalah euthanasia aktif dan sukarela, sehingga sulit diterapkan untuk
menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang
sering terjadi di Indonesia adalah euthanasia pasif sedangkan peraturan yang ada
melarang euthanasia aktif dan sukarela, begitu juga dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) lebih pada aturan untuk euthanasia aktif. euthanasia
bertentangan, baik dari sudut pandang agama, dan undang-undang, persoalan hidup
dan mati sepenuhnya hak penciptanya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif
yaitu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis praktik-praktik euthanasia
di Indonesia dan kesesuaiannya dengan hukum Islam. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah data wawancara dari pihak badan medis dan beberapa pakar
Islam. Data sekunder berupa catatan, karya ilmiah, jurnal dan buku yang
mendukung penelitian ini.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Euthanasia yang berlaku di Indonesia
sudah sesuai dengan syariah, dengan tidak meninggalkan usaha pengobatan yang
xiv
lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa pertimbangan maslahat dan
mudaratnya, kalau mudaratnya lebih besar dari maslahatnya maka tindakan
euthanasia pasif bisa diterima.
Kata Kunci : Euthanasia, KUHP, MUI dan PERMENKES
xv
مستخلص البحثبدأت في إندونيسيا، ولكنيا تقتصر عمى القتل يؤيد ىذا البحث إلى أن ممارسة القتل الرحيم
.الرحيم السمبي أي إزالة العالج لمساعدة الحياة. وىناك العديد من األطباء لم يجرؤوا عمى القيام بذلكلممرضى. عندما أطفأ ومن المأزق الذي يواجيو األطباء ىي االحتالفات في ما يقومون بو
الطبيب جياز التنفس لممريض، وىذا يشير إلى أعمال القتل الرحيم، والتي سوف يوقع الطبيب في تنص عمى "من 333من القانون الجنائي. في حين أن مضمون المادة 353و 343و 333المواد
وت اآلخرين وألقي في قتل عمدا اآلخرين، أفرضت عميو العقوبة لتورطو في المكر الذي يؤدي إلى مالتي تنص عمى "من قتل الناس عمدا ومخططا 343السجن بمدة خمسة عشر عاما"، والمادة
التي 353يعاقب عمى القتل المخطط ليا، مع السجن إلقائو في السجن لمدة عشرين عاما، والمادة س لمدة سنة". تنص عمى" من تسبب في وفاة شخص تمقى عقوبة السجن لمدة خمس سنوات أو بالحب
بشأن 44في الفقرة األولى المادة 44الفصل الثالث في المادة ولكن ىناك الئحة وزارة الصحةإيقاف وتأخير عالج لمساعدة الحياة ، حيث تنص عمى "أن المرضى الذين يكونوا في حالة ال يمكن
فيمكن لألطباء وقف أو عالجيم بسبب الداء الذي يعانون منو وتصرفات األطباء لم تأت بأي نتائج تأخير العالج لمساعدة الحياة.
تصف ىذه الدراسة الواقع العممي أن القتل الرحيم السمبي يعتبر واحدا من الممارسات التي يجد إقباال في القانون الطبي إندونيسيا، عمى الرغم من عدم وجود أحكام قانونية تنظم القتل الرحيم
. (MUI) ات )القانون الجنائي( وفتوى لمجمس العمماء اإلندونيسيالسمبي إما من قانون العقوب
مع كريس غاستمان، قمرية أمونج، ىاريادي، حسن بصري، عموي توافق ىذه الدراسةشياب، الذين قالوا أن المنصوص عمييا في قانون العقوبات ىو القتل الرحيم النشط والطوعي، مما
ائية، ألن غالبا ما يحدث ىو القتل الرحيم السمبي في حين أن يصعب تطبيق القتل الرحيم كجريمة جن (MUI) الموائح السارية تحظر القتل الرحيم النشط والطوعي، وكذلك فتوى مجمس العمماء اإلندونيسي
يصمح في قواعد لمقتل الرحيم النشط. والقتل الرحيم يخالف لمشرع والقانون المتعمقة بالحياة ألن الحياة لق. كميا حق لمخا
استخدم ىذا البحث المنيج النوعي عمى النيج المعياري الذي يحمل الممارسات القتل الرحيم في إندونيسيا وتطابقيا مع القانون اإلسالمي. فقد أخذت الباحثة بعض المراجع األساسية من بينيا
ع الثانوية، فقد بيانات المقابالت الشخصية من الييئات الطبية وبعض الخبراء المسممين. أما المراج أخذىا الباحثة من مذكرات والبحث العممي والمجالت والكتب المتعمقة بيا.
xvi
وتوصمت الباحثة إلى نتيجة تقول إن القتل الرحيم الموجود في إندونيسيا يتوافق مع الشريعة ح اإلسالمية مع عدم ترك الجيد في البحث عن عالج آخر. ويمكننا أن نثبت ىذا باعتبارات المصال
. والمضرات. إن كانت المضرة أكبر من المصمحة فقبمت ممارسات القتل الرحيم السمبي
الكلمات المفتاحية القتل الرحيم، القانون الجنائي، مجلس العلماء اإلندونيسي
xvii
Abstract
This research will prove that: Euthanasia has started to be practiced in
Indonesia, but only on passive euthanasia that is by lifting life support therapy.
And not many doctors brave to do it.
The problem of the doctor's dilemma is pros and cons of the actions they
take on the patient, if the doctor turn off the patient's respiratory aids, it means
the doctor make a euthanasia, which will trap doctors in articles 338, 340 and 359
of the Criminal Code. And the contents of the article is; chapter 338 the chapter
said that "whoever deliberately removes the souls of others, is punished for treason
for fifteen years", chapter 340 of the chapter said that "Whoever deliberately and
deliberately removed the souls of others, was punished, for murder which is
planned, with the death penalty or imprisonment for twenty years ", and chapter
359 the revelation said that " whoever for his fault led to the death of a man
sentenced to five years in prison or a one-year-old imprisonment ". However, there
is a Regulation of the Minister of Health (PERMENKES) chapter 3, article 14,
paragraph 1, regarding the termination or delay of life support therapy, the article
sais that "in patients who are incurable due to terminal illness and physicians' -sia
(futile) can be terminated or delayed life support therapy ".
This research wishes to illustrate the empirical fact that passive euthanasia
is one of the accepted practices in Indonesian medical law, although there is no
legal provision governing passive euthanasia either from the Criminal Code
(KUHP) or the Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) .
This research is agree with Chris Gastman, Komariyah Among, Haryadi,
HasanBasri, Alwi Shihab who argue that what is stipulated in the Criminal Code is
active and voluntary euthanasia, making it difficult to apply euthanasia as a
criminal act, because euthanasia is common in Indonesia is passive euthanasia
while regulations which prohibits active and voluntary euthanasia, as well as the
fatwa of the Indonesian Council of Ulama (MUI) more on rules for active
euthanasia. euthanasia is contradictory, both from the point of view of religion,
and the laws, the problems of life and the fullness of its creator.
The research uses a qualitives method with a normative approach withies
used to analyze euthanasia practices in Indonesia and their conformity with Islamic
law. Primary data sources in this study are interview data from medical institutions
and some Islamic experts. Secondary data are notes, scientific papers, journals and
books that support this research.
This study concludes that the prevailing Euthanasia in Indonesia is in
accordance with the shari'ah, leaving no other treatment effort. This can be proved
by some considerations of interest and damage, if the damage greater than interest
then passive euthanasia action can be accepted.
Keywords: Euthanasia, Criminal Code, MUI and PERMENKES
xviii
xix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedomantransliterasi Arab-Latin yang digunakandalampenelitianiniadalah ALA-
LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
{T ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
Ḑammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama GabunganHuruf Nama
... ي Fatḥah dan ya Ai A dan I
... و Fatḥah dan wau Au A da U
ix
Contoh:
H{aul :حول H{usain :حسني
C. Vokal Panjang
Tanda Nama GabunganHuruf Nama
Fatḥah dan alif a> a dan garis di atas ــا
ي Kasrah dan ya ī I dan garis di atas ــ
Ḑamah dan wau ū u dan garis di atas ــ و
D. Ta’ Marbūţah
Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh:
Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة
(ketentuan ini idak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf
yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
Shawwa>l :شوال <Rabbana :ربنا
F. Kata SandangAlif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh: لقلما : al-Qalam
xxi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI v
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING vii
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIVIKASI ix
PERSETUJUAN HASIL UJIAN xi
ABSTRAK xiii
ABSTRAK ARAB xv
ABSTRAK INGGRIS xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI xix
DAFTAR ISI xxi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 10
C. Tujuan Penelitian 11
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 11
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan 12
F. Metodologi Penelitian 16
G. Sistematika Penulisan 16
BAB II EUTHANASIA 19
A. Konsep Euthanasia 19
B. Sejarah Euthanasia 24
C. Jenis dan Macam Euthanasia 30
D. Alasan Dilakukannya Euthanasia 32
E. Syarat Dilakukannya Euthanasia 37
F. Kriteria Mati 39
1. Mati Menurut Ilmu Kedokteran 41
2. Mati Menurut Hukum Islam 42
G. Perdebatan Etis Euthanasia Oleh Pihak Medis 44
H. Euthanasia di bebeapa Negara 53
BAB III KASUS PEMOHON EUTHANASIA 65
A. Beberapa Pemohon Euthanasia di Indonesia 65
B. Kasus I (Berlin Silalahi) 67
C. Kasus II (Again Isna Nauli) 69
D. Kasus III (Siti Zulaiha) 70
E. Kasus IV ( Ignatus Ryan Tumiwa) 71
BAB IV WACANA DAN PENDAPAT TENTANG EUTHANASIA 75
A. Tanggapan dan Analisis dari Pemaparan Beberapa
xxii
Tenaga Medis 75
B. Tanggapan dan Analisis dari Pemaparan Beberapa
Pakar Islam 90
BAB V PENUTUP 109
A. Kesimpulan 109
B. Saran 109
DAFTAR PUSTAKA 111
GLOSARIUM 137
INDEKS 147
BIODATA PENULIS 151
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi mengatakan bahwa; Allah SWT telah
menjadikan kematian sebagai bukti adanya penciptaan.1 Setiap mahluk hidup,
termasuk di dalamnya yaitu manusia akan mengalami dan melalui suatu proses
siklus kehidupan. Siklus kehidupan tersebut dimulai dari proses pembuahan, proses
kelahiran, kemudian berlanjut kepada proses kehidupannya di dunia dan siklus
kehidupan manusia diahiri dengan kematian.
Manusia akan mengalami semua siklus kehidupan, yaitu adanya kehidupan
dan kematian. Kematian merupakan suatu proses siklus manusia yang mengandung
suatu misteri atau tanda tanya yang besar.2 Menyentuh soal kematian, menurut
kronologoisnya kematian terbagi menjadi tiga yaitu; kematian yang terjadi karna
proses alamiah (Orthothanasia),3 kematian yang terjadi secara tidak wajar
(Dysthanasia), dan kematian yang terjadi dengan berbantuan atau tidak dengan
berbantuan perobatan (Euthanasia).4
Euthanasia tidak terlepas dari perkembangan dunia kedokteran yaitu yang
berkaitan dengan konsep kematian. Secara garis besar euthanasia terbagi menjadi
dua, yaitu; pertama, euthanasia aktif, 5 euthanasia aktif adalah, suatu usaha atau
perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang
dokter dengan tujuan untuk mengahiri hidup manusia; dan kedua, euthanasia
pasif,6 euthanasia pasif adalah, perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia.
1 Ali Muhammad Lagha, Perjalanan Kematian (Jakarta:: Serambi, 2000), 27.
2 Pinkan K. Paulus, “Kajian Euthanasia menurut HAM, (Study Banding Hukum
Nasional Belanda)”, Jurnal Hukum Usrat 21, No.3, (April-Juni 2013). 3 Leo Pessini, Ibero American Bioethics History and perspectives (New York:
Springer Dordrecht Heidelberg, 2010), 83. 4 Robert H. Blank, And of Life Decision Making A cross National Study (London:
MIT Press, 2005), 19. 5 Euthanasia aktif disebut juga, suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik
dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu medika,seperti
saluran asam, melepas pemacu jantung dan sebagainya, Euthanasia aktif terbagi menjadi
dua, Euthanasia aktif langsung yaitu, cara pengahiran kehidupan melalui tindakan medis
yang diperhitungkan akan langsung mengahiri kehidupan pasien, misalnya dengan memberi
tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan. Euthanasia aktif tidak langsung
ialah, suatu tindakan medis yang dilakukan tetapi tidak langsung mengahiri hidup pasien,
misalnya mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan yang lainnya. NY Chan, “Euthanasia
Revisited”, Journal Family Practice 19, No.2 (2002), 128. 6 Euthanasia pasif disebut juga, baik atas permintaan pasien ataupun tidak atas
permintaan pasien ketika dokter atau tenaga kesehatan secara sengaja tidak lagi
memberikan bantuan medis yang dapat membantu pasien untuk bertahan hidup lebih
2
Usaha manusia memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian
dengan menggunakan kemajuan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi)
kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama yang
berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.7 Pada era
reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.8 Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1981
tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat
dan Jaringan Tubuh Manusia, menyatakan bahwa, mati adalah berhentinya fungsi
jantung dan paru-paru.
Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak dapat lagi
dipertahankan, karena teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan
paru-paru yang semua berhenti dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-
paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali. Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan bahwa; manusia dinyatakan mati
jika batang otaknya tidak berfungsi lagi. Konsep ini dijadikan pernyataan resmi
dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kriteria yang dianut oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) tersebut berlandaskan pada alasan bahwa, batang otak terletak
pada pusat penggerak nafas dan jantung. Sehingga, apabila batang otak telah mati,
maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat penompang.9
Dewan kesehatan Belanda pada tahun 1974 telah memberikan kriteria
kapan seseorang dapat dinyatakan mati otak, yaitu, pertama; jika otak mutlak
tidak lagi berfungsi, dan kedua; jika fungsi otak tidak lagi dapat dipulihkan
kembali. Pusat penggerak jantung dan paru-paru dalam tubuh manusia itu terletak
di batang otak. Oleh sebab itu, jika batang otak10
sudah mati, dapat di yakini
lama”, Hal ini penting untuk dicatat bahwa tidak semua kasus penarikan atau pemotongan
pengobatan yang memperpanjang hidup adalah kasus euthanasia pasif. Alasan untuk
euthanasia pasif, seperti yang kita telah melihat, kepentingan pasien, di mana mereka
diharapkan kualitas hidup sangat miskin sehingga kehidupan akan lebih buruk bagi mereka
daripada kematian. Tetapi ada banyak alasan lain untuk menarik atau pemotongan alat
bantu, yang pertatama, pengobatan mungkin hanya sia-sia dan karenanya tidak mampu
menguntungkan pasien. Kedua, pengobatan mungkin tidak efektif biaya. Ketiga,
pengobatan dapat ditahan atau ditarik karena terlalu memberatkan atau berbahaya bagi
pasien. E Garrard, S Wilkinson, “Passive Euthanasia”, Journal medical Ethic 3, No.2, 65. 7 Jusuf Hanafiyah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (Jakarta: PT. Buku
Kedokteran EGC, 2007), 118. 8 Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Cet. Ke-1(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Oktober 2013), 7. 9 Haryadi, “Masalah Euthanasia dalam hubungannya dengan Hak Asasi Manusia”,
Jurnal Ilmu Hukum 4, No.5 (2011) 10
Brain Stem disebut juga sebagai batang Otak, Brain Stem berperan sebagai
pusat kewaspadaan, Kesadaran, Pernapasan, tekanan darah, sistem saraf tengkorak,
Pencernaan, denyut jantung, fungsi-fungsi otonomi serta penggantian atau pertukaran
system saraf pusat dan system saraf tepi. Brainstem terdiri atas pons, spinal cord, dan medulla oblongata, pons sering disebut ebagai pons Varolli, pons adalah struktur yang
berada di brain stem yang superior terhadap modulla oblongata dan inferior dari otak
tengah, Pons varolli berperan dalam pertukaran atau pergantian informasi pengindraan
3
bahwa manusia itu sudah mati. Itulah awal dari kriteria mati batang otak sebagai
pedoman untuk menghentikan mesin-mesin pembantu.
Setelah tanda-tanda mati batang otak sudah dapat dibuktikan, fatwa Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa, dokter boleh menghentikan segala
tindakan penopang. Ketika batang otak sudah mati, maka tindakan menghentikan
pertolongan bukan dinamakan euthanasia. Sekalipun ilmu hukum menyatakan
bahwa batang otak sudah mati, teknologi dan ilmu kedokteran yang berkembang
demikian pesat, mendorong perlunya perumusan soal ini.11
Euthanasia tidak dapat dianggap sebagai masalah murni moral, walaupun
banyak argumen menyatakan hal ini adalah amoral (tidak bermoral). Ada dilema
medis yang harus diketahui, seperti seorang pasien dinyatakan memiliki penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, perlu bagi pasien untuk menjalani penilaian medis
yang tepat. Jika euthanasia itu harus dilegalkan, pasien harus menjalani penilaian
medis yang ketat sebelum pasien dinyatakan menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Peringatan dalam hal ini, tentu saja bahwa euthanasia hanya akan
mendapatkan izin pada pasien dengan penyakit terminal.12
Jan Remmelink (jaksa agung Belanda) ditugaskan oleh Pemerintah Belanda
untuk melakukan studi tentang euthanasia dan praktik medis lain yang terkait
dengan masa akhir kehidupan dalam sebuah acara nasional 1990-1991. Hasil dari
studi yang dilakukannya adalah, bahwa euthanasia telah dipraktikan secara massif
dan terbuka di Negara Belanda, sekalipun secara teknis aktivitas itu dianggap
illegal.13
Penelitian Jan Remmelike, dapat menarik banyak perhatian karena yang
pertama; menggambarkan secara lengkap keputusan medis tentang akhir hidup di
suatu negara dan yang kedua; adanya prosedur baru untuk melaporkan setiap
diantara cerebrum (otak besar) dan cerebellum (otak kecil), Spnal Cord dilindungi oleh
ruas-ruas tulang belakang dan posisinya sambung menyambung dari otak hingga ujung ruas
tulang ekor manuia, dan jMedula oblongata berperan mengontrl fundsi otonomi tubuh serta
pegantian atau pertukaran sinyal rangsang diantara otak dan saraf tulang belakang. Nia
Haryanto, Ada Apa Dengan Otak Tengah (Jakarta: PT. Gradienmediatama, Agustus 2010):
25-25. 11
Medis Belanda pada tahun 1974 mengusulkan kriteria mati otak, yaitu; otak
mutlak tidak lagi berfungsi dan fungsi otak mutlak tidak lagi dapat dipulihkan. Dalam
keadaan seperti itu tidak ada lagi tindakan euthanasia, karena sebenarnya pasien telah
meninggal dunia dengan tidak berfungsinya otak. Chrisriono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman (Jakarta: Penerbit. Buku Kedokeran
EGC, 2007), 185. 12
Maaike A. Hermsen, “euthanasia In Paliative care Journals”, Journal Of Pain and SymptomManagemen 23, No.6 (June, 2012)
13 Paul J. Vandermaas, “Euthanasia Phisician Assisted Suicide, and Other Medical
Practices Involving The End Of Life In The Netherlands, 1990–1995”, Journal of Medicine 335, No.22 (Nopember, 1996)
4
kasus-kasus euthanasia. Sebagai hasilnya, jumlah kasus yang dilaporkan pada kasus
euthanasia meningkat, dari 486 pada tahun 1990 menjadi 1466 pada tahun 199514
.
Pasal-pasal KUHP yang membicarakan masalah kejahatan terhadap nyawa
manusia hususnya dalam BAB XIX BUKU II mulai dari pasal 338 sampai dengan
pasal 350 KUHP> dari rentetan pasal tersebut yang mengatur tentang kejahatan
nyawa manusia maka pasal yang dianggap paling mendekati pengertian euthanasia
adalah pasal 344 KUHP, adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut; “barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun ”.15
Perdebatan euthanasia yang cukup luas, menyebabkan beberapa fenomena
bermunculan, yaitu, akibat dari adanya program euthanasia, justru menambah
penderitaan pada pasien. Pasien dapat sangat dipengaruhi oleh dokter, yang mana
dokter adalah satu-satunya sumber informasi tentang penyakit mereka. diagnosis16 (penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti, memeriksa gejala-gejalanya) dan
intervensi17 (campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak) yang mungkin
terjadi, sehingga putus asa dengan mudah dapat dirasakan oleh pasien dan
keluarga, begitu juga\ dengan ungkapkan dokter yang pesimisme (paham yang
beranggapan atau memandang segala sesuatu dari sudut buruknya saja) tentang
diagnosis pada pasien.
Kondisi pesimisme pada dokter akan berdampak pada keputusan pasien
dan keluarga dalam melakukan euthanasia. Beberapa dokter telah menyatakan
menyesali keputusan mereka untuk melaksanakan euthanasia. Ketidaktahuan,
kesulitan dalam mendiagnosis, kegagalan dalam mengevaluasi tekanan eksternal pada penyakit pasien yang tidak biasa, dan ahirnya memberikan keputusan yang
berefek negatif.
Perubahan pada norma-norma dan tekanan sosial mengakibatkan
setidaknya sepertiga dari penderita dengan acquired immunodeficiency Sindrome
(AIDS)18
(penyakit sistem kekebalan tubuh karena infeksi retro virus hiv) yang
ahirnya hampir seluruh dunia meminta dilakukan euthanasia. Di Sudan acquired immunodeficiency Sindrome (AIDS) dilihat oleh beberapa ulama sebagai hukuman
oleh Allah untuk kegiatan homoseksual19 (dalam keadaan tertarik terhadap orang
14
Paul J. Vandermaas, “Euthanasia Phisician Assisted Suicide, and Other Medical
Practices Involving The End Of Life In The Netherlands, 1990–1995”, Journal of Medicine, 335, No.22 (Nopember, 1996).
15 KUHP dan KUHAP, Kejahatan terhadap nyawas, BAB XIX, Pasal 344 (Jakarta:
Sinar Grafika, Mei 2000), 116. 16
Ringsven MK,”Diagnosis dan Terapi Cairan Pada Demam Berdarah Dengue”,
Scientific Journal 22, No.1 (Maret –Mei, 2009) 17
Anita Novianty, Sofia Retnowati, “Intervensi Psikologi di Layanan Kesehatan
Primer”, Buletin Psikologi 24, No.1 (2016): 49-63. 18
Elly Nurachman, “Faktor Pencegahan HIV/AIDS Akibat Perilaku Berisiko
Tertular Pada Siswa SLTP ”, Makara Kesehatan 13, No.2 (Desember, 2009): 63-68. 19
Yogestri Rakhmahappin dan Adhyatman Prabowo, “Kecemasan Sosial Kaum
Homoseksual Gay dan Lesbian”, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 02, No.02 (Januari, 2014)
5
dari jenis kelamin yang sama), ini telah menghasilkan beberapa kasus pasien
acquired immunodeficiency Sindrome (AIDS) yang dibiarkan mati sendiri tanpa
perawatan.20
Euthanasia telah menjadi fokus dari tindakan legislatif21 dan yudikatif22. Di
Michigan (sebuah negara di amerika serikat) selama beberapa tahun terakhir
didorong oleh tindakan Jack Kevorkian. Selain itu, tindakan euthanasia sukarela
(euthanasia diminta oleh pasien) terus banyak dibahas dalam literatur medis dan
bioetika23(penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis).
Tindakan medis dan biotika menimbulkan beberapa permasalahan yang
cukup mendasar, yaitu diantaranya apakah masyarakat harus mengizinkan segala
bentuk praktik euthanasia?. Pernyataan ini memiliki argumen di kedua sisi.
Pertama; Pihak pendukung praktik euthanasia menekankan bahwa euthanasia
adalah bantuan dari penderitaan, otonomi individu, dan hak pasien untuk bebas
dari gangguan negara paternalistik24. Pendukung euthanasia juga berpendapat
bahwa, memungkinkan sejumlah kecil kasus bunuh diri yang dibantu dikendalikan
dengan secara hati hati. Kedua; pihak yang tidak sepakat menyatakan bahwa,
legalisasi25 (pembuatan undang-undang) bunuh diri yang dibantu akan mewakili
perubahan besar dalam nilai-nilai sosial.
Legalisasi euthanasia secara serius akan memiliki konsekuensi yang tidak
diinginkan. Sebab setiap keuntungan dari praktik yang diterima tidak sebanding
dengan risiko.26
Karena sesungguhnya kematian, ajal, berada di bawah kendali
Allah dan manusia tidak memiliki andil dalam hal ini. Manusia tidak dapat dan
tidak harus berusaha untuk mempercepat atau menunda ajal tersebut. Larangan
kehidupan berlaku sama, baik apakah bunuh diri untuk diri sendiri, orang lain, atau
20
A.M. Ahmed, M.M. Kheir, “Attitudes towards Euthanasia and assisted suicide
among Sudanese Doctors”, Eastern Mediterranean Health Journal 7, No.3 (2001) 21
Legislatif adalah, dewan yang berwenang membuat undang-undang. Moh.
Dermawan, “Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Kelembagaan Legislatif
Menurut Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, No. 4 (2014) 22
Yudikatif adalah, bersangkutan dengan badan yang bertugas mengadili perkara.
Nawa Angkasa, “Analisis Kedudukan dan Fungsi Yudikatif Sebagai Pemegang Kekuasaan
Kehakiman Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia”, Nizham 2, No.1 (Januari-Juni,
2013) 23
Erwin G. Kristanto, “Pendekatan Bioetik Tentang Euthanasia”, Jurnal Biomedik
5, No.1 (2013) 24
Paternalistik adalah, kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara
pemimpin dan yang di pimpin, seperti hubungan antara ayah dan anak. Dionisius Felenditi,
“Paternalisme Dalam Tindakan Medis”, Jurnal Biomedik 2, No.3 (November, 2010): 162-
168. 25
Ratnia Solihah, “Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Pasca
Pemilu 2014: Permasalahan dan Upaya Pengatasannya”, Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, No.2
(Oktober, 2016) 26
Jerald G. Bachman, “Attitudes of Michigan Physicians and the Public toWard
Legalizing Phisician Assisted Suicide and Voluntary Euthanasia”, Journal Of Medicine
334, No.5 (February, 1996) , diakses pada tanggal 7 juli 2015.
6
bahkan pembunuhan genosida27(pembunuhan besar-besaran secara berencana
terhadap suatu bangsa atau ras). Konsep otonomi, kebebasan dan pilihan individu
tidak berlaku di sini untuk dua alasan, yaitu; pertama, hidup bukan milik manusia;
dan kedua, mengambil hidup akan membahayakan keluarga dan masyarakat pada
umumnya.
Belanda adalah negara yang secara resmi memperbolehkan secara luas dan
transparan dilakukannya praktik euthanasia. Meskipun euthanasia dilarang oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda. Pada tahun 1984 terdapat
seorang dokter yang membunuh pasien dan mungkin dalam keadaan tertentu
berhasil mengungkapkan bahwa euthanasia adalah sebagai suatu kebutuhan, dan
terkandung juga dalam kode etik untuk membenarkan pembunuhan. Di Belanda,
tepatnya pada tahun yang sama, Royal Medical Association Belanda (KNMG)28
(organisasi profesi dokter Belanda) menerbitkan pedoman untuk euthanasia. Sejak
saat itu kehidupan ribuan pasien Belanda telah sengaja dipersingkat oleh dokter
mereka.29
Kasus euthanasia hampir saja terjadi di Indonesia, putusan pengadilan yang
disampaikan oleh ketua tim pengkajian aspek-aspek hukum euthanasia yaitu, Cicut
Sutiarso di PN Jakarta Pusat, senin (08-11-2004) telah menunda putusan
permohonan suntik mati (euthanasia) yang diajukan oleh Hasan kusuma kepada
istrinya Again Isna Nauli yang telah mengalami koma selama lima bulan dan
mengalami kerusakan otak permanen yang disebabkan malpraktik30 pada saat
Again melakukan sesar31.32
Permohonan euthanasia dilakukan juga oleh Rudi Hartono dimohonkan
untuk Istrinya Siti Zulaikha 20 february 2005, permohonan ini diajukan atas
dorongan lembaga bantuan hukum (LBH) kesehatan dengan alasan dianggap tidak
lagi memiliki harapan hidup normal, atas kegagalan operasi pada kehamilan di luar
kandungan zulaikha, tepatnya di Rumah Sakit Umum Pasar Rebo, Jakarta Timur.33
27
William A. Schabas, “Akhirnya Pengadilan Tingkat Nasional Mulai
Menyidangkan Kejahatan Terbesar: “Genosida”, Jurnal HAM 2, No.2 (Nopember, 2004) 28
Dewi Septiana, “Implementasi Penghentian Bantuan Hidup Pada Pasien
Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hak Hidup”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS
5, No.2 (Juli-Desember, 2017) 29
John Keown, “Euthanasia in the Netherlands: Sliding Down the slippery Slope”,
Journal of law & Ethics 9, No.2 (Januari, 2012). 30
Malpraktik adalah, kelalaian dokter atau tenaga kesehatan lainnya dalam
menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di lakukan dalam
proses pengobatan pasien. Priharto Adi, “Formulasi Hukum Penanggulangan Malpraktik
Kedokteran”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 60 (Agustus, 2013) 31
Sesar adalah, proses persalinan dengan melalui pembedahan di mana irisan di
lakukan di perut ibu dan rahim untuk mengeluarkan bayi. Nurul Mutmainah, “Evaluasi
Penggunaan dan Efektifitas Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Besar di Rumah
Sakit Surakarta Tahun 2010”, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 3, No. 2: 44-49. 32
Nusantara,“Ditunda, Putusan Permohonan Suntik Mati”, Bali Post, 9
(Nopember, 2004)
7
Permohonan euthanasia telah diajukan juga oleh salah satu mahasiswa UI
yang bernama Ignatius Riyan Tumiwa (48), Mahasiswa S2 UI pada tahun 1998,
dikabarkan sempat menjadi dosen, akibat depresi, Riyan mengajukan permohonan
uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 344 terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu digugat karena di anggap
tidak melegalkan upaya bunuh diri.34
Hak hidup, Negara sudah mengatur sebagaimana dijamin dalam pasal 28A
dinyatakan bahwa; hak yang mendasar bagi setiap manusia, setiap orang berhak
untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.35
Menurut Zuhroni (2003) secara
normatif36 memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia aktif) tidak di
benarkan oleh syara’. Hal ini dikarenakan dokter melakukan tindakan aktif dengan
tujuan membunuh pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat
secara over dosis37. Islam sangat menghargai jiwa terlebih pada jiwa manusia.
38
Ayat al-Qur’an maupun hadis mengharuskan untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia (h}ifdz} al-anfs). Dalam surat al-An’am ayat 151
disebutkan;39
Artinya, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Konsep euthanasia yang telah dirumuskan oleh para ahli dapat ditelaah
baik dari kalangan pakar Islam maupun di luar Islam, dasar-dasar perumusannya
dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan
fleksibilitas40 (kelenturan) sumber ajaran agama Islam.
Kewajiban dokter terhadap pasien pada bab II Pasal 10 Kode Etik
Kedokteran Indonesia menyatakan bahwa; seorang dokter harus senantiasa ingat
34
Abba Gabrilian, “Pria yang Minta Suntik Mati Lulusan S-2 UI dengan IPK
3,37”, Kompas (Agustus, 2014) 35
Todung Mulya Lubis, “Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan pendapat Hakim KOnstitusi” (Jakarta: Pt. Kompas Media Nusanmtara, Januari 2009), 387.
36 Normatif adalah, berpegang teguh pada norma, menurut norma atau kaidah yang
berlaku. Ismah Tita Ruslin, “Eksistensi Negara Dalam Islam(Tinjauan Normatif dan
Historis)”, Jurnal Politik Profrtik 6, No.2 (2015) 37
Over dosis adalah, gejala terjadinya keracunan akibat obat yang melebihi dosis
yang diterima oleh tubuh. Fajriansyah, “Kajian Drug relation Problem (DPRs) Kategori
Interaksi Obat, Over Dosis dan Dosis subterapi Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di
RSUP Universitas Hasanuddin”, Jurnal Ilmiah Farmasi-Usrat 5, No.1 (Februari, 2016) 38
Baca Q.S al-Maidah ayat 32, ayat ini menjelaskan bahwa : Hukum ini berlaku
untuk manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah
seperti membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota
masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya. 39
Baca Q.S al-an’am ayat 151, maksud dari ayat tersebut adalah yang dibenarkan
oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. 40
Dwi Aprilianto, “Fleksibilitas Hukum Islam Berdasarkan Illat dan Maslahah”,
Akademika 9, No.1 (Juni, 2015)
8
kewajiban melindungi hidup makhluk insani (Keputusan Mentri Kesehatan RI
No.434/Men.Kes/SK/X/1983,1988:8) dan dinyatakan juga bahwasannya; pertama,
dokter tidaklah diperbolehkan menggugurkan kandungan (abortus provocatus); dan
kedua, dokter dilarang mengahiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan
pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia) (Keputusan Mentri
Kesehatan RI No.434 /Men.Kes SK/X/1983,1988:18).41
Kedudukan euthanasia dalam hukum Islam, para tokoh Islam Indonesia
sangat menentang di lakukannya euthanasia. Namun, di antara sekian banyak
ulama yang menentang, ada beberapa ulama yang mendukung adanya euthanasia.
Dia adalah ketua komisi Fatwa MUI, Ibrahim Hosen, menurut pendapatnya,
euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular dan tidak
bisa disembuhkan, pendapat ini didasarkan pada kaidah Ushul Fiqh; al-Irtifa>qu Akhaffu D{arurain (melakukan yang teringan dari dua madlarat) menegaskan bahwa
langkah ini boleh dipilih karena hal ini merupakan pilihan dari dua hal yang
buruk.42
Mufti Arab Saudi Abdul Aziz bin Abdulla>h bin Baz telah menetapkan
bahwa euthanasia atau Qatl al-rah}mah43 adalah berlawanan dengan syar’i.
44 Pihak
Mahkamah Agung Arab Saudi yang diketuai oleh Abdul Aziz bin Baz memutuskan
bahwa “menentukan kematian seorang pasien sebelum ia benar-benar mati adalah
bertentangan dengan syariah”, beliau berkata bahwa, “tidak ada satu nyawapun
yang boleh diambil dengan apapun alasannya”.
Muzzami Siddiqi mantan Presiden Persatuan Masyarakat Islam Amerika
Utara (The Islamic Society of North America) telah menulis dan menyatakan
bahwa, “jika pasien terus bergantung hidup pada alat sokongan nyawa, maka
menghentikan alat tersebut dibenarkan utuk membiarkan pasien mati secara tabi’i. Untuk merekontruksi metodologi hukum Islam yang sistematis dan
komprehensif45, hal yang harus dilakukan dalam merumuskan permasalahan ini
adalah, memformulasikan46 (merumuskan atau menyusun dalam bentuk yang tepat)
tentang pandangan al-Qur’an terhadap dunia, hal ini menyangkut hubungan tuhan
dengan manusia dan alam.
41
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia ( IDI ) , Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Pasal 7d, (Jakarta: Samratulangi 2006), 26.
42 Arifin Rada, “Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam”, JurnalRada 18, No.2
(Mei, 2013) 43
Qatl al-rahmah adalah, menghentikan penggunaan alat penyokong nyawa
pasien yang tidak memiliki harapan untuk sembuh atau dalam keadaan koma. Abulfadl Mohsin Ebrahim, “Euthanasia (Qatl al-rahma)”, Journal Of the Islamic Medical Association of North America 39, No.4 (2007)
44 Kiarash Aramesh and Heydar Shadi, “Euthanasia: An Islamic Ethical
Perspective”,Iranian Journal Of Allergy 6, No.5 (February, 2007) 45
Desi Mulyasari, “Layanan Komprehensif Berkesinambungan Terhadap Anak
dengan HIV/AIDS di Kota Surakarta”, Jurnal Sosiologi Dilema 31, No.1 (2016) 46
Anisa Puspa Juwita, “Formulasi Krim Ekstrak Etanol Daun Lamun
(Sryingodium Isoetifolium)”, Jurnal Ilmiah Farmasi-Unsrat 2, No.2 (Mei, 2013)
9
Eksistensi47 manusia atau suatu analisis sestematis terhadap ajaran-ajaran
moral al-Qur’an pada gilirannya akan menghasilkan etika al-Qur’an dengan
menyelaraskan tiap-tiap putusan kontemporer dengan etika tersebut.48
Para Ulama
Ushul termasuk Asy-Syaukani melihat bahwa bahaya yang dapat menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal itu dapat menghancurkan keturunan49
dalam arti masa depan bangsa. Perubahan pada tradisi zaman yang menjadi
landasan hukum juga telah banyak berubah. Negara serta umat memiliki banyak
kemaslahatan dan kebutuhan yang tidak ada di zaman para imam atau zaman
kodifikasi50 fiqih madzhab. Kemaslahatan dan kebutuhan tersebut bisa menjadi
kemudlaratan51 dan kerusakan yang tidak pernah terjadi di zaman mereka.
52
Peranan Hukum Islam dalam pembentukan Hukum Nasional dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu; pertama, hukum Islam sebagai salah satu sumber pembentukan
Hukum Nasional; dan kedua, dari sisi diangkatnya Hukum Islam sebagai Hukum
Negara.53
Ulama di seluruh penjuru negara bisa dinyatakan melarang adanya praktik
euthanasia (Qatl rah}mah). Hal itu di sebabkan karena berlawanan dengan kaidah
Islam yang ada. Adapun bunyi kaidahnya yaitu; “Ad}-d}aru>rati t}ubi<h}ul-mah}d}u>rah” (kondisi yang darurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang) kecuali
tiga hal yang dilarang, yakni kufur, membunuh dan berzina. Ketiga jenis perbuatan
tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun termasuk kondisi d}aru>rat,54
dan euthanasia termasuk dalam kategori pengecualian tersebut.
Euthanasia dalam perspektif sosiologis55 bertentangan dan tidak dianjurkan
untuk dilakukan. Hidup dan mati seseorang telah ditentukan oleh Allah SWT.
47
Eksistensi adalah, segala sesuatu yang di alami dan menekankan bahwa
sesuatu itu ada. Syaiful Hamali, “Eksistensi Psikologi Agama dalam Perkembangan
Masyarakat Islam”, Jurnal TAPIs 8, No.1 (Januari-Juni, 2012) 48
Akh. Minhaji, Ijtihad dan legislasi muslim kontemporer, (Yogyakarta: UII Perss,
2004), 126. 49
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al- Syaukani, Cet Pertama (Jakarta: PT. Logos
wacana Ilmu, 1999), 200. 50
Kodifikasi adalah, penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan
asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku. Zainuddin Mz, “Inkar al-
Sunnah Pada Aspek Kodifikasi Hadits”, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits 3, No.2 (Desember,
2013) 51
Wahyu Wibisana, “Konsekuenso Logis Qiyas Terhadap Kemaslahatan Umat”,
Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim 11, No.2 (2013) 52
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqasyaid Syari’ah, Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan aliran Liberal, Penterjemah: Arif Munandar Riswanto (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007), 247. 53
Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu penting Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia (Jakarta: Ciputat Perss, Juli 2002), 30.
54 Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, Cetakan ke II (Surabaya: PT. Khalista,
Maret 2006) 55
Ayu Kusumastuti, “Modal sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat
Pedesaan dalam Pengelolaan dan Pembangunan Infrastruktur ”, Jurnal Sosiologi 20, No.1
(Januari, 2015): 81-97.
10
Menurut perspektif yuridis56 euthanasia sulit diterapkan di Indonesia karena
bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 344 dan
ketentuan Undang-Undang No 39 tahun 1999. Hak hidup merupakan hak mutlak
setiap manusia. Menurut perspektif filosofis euthanasia tidak sesuai dengan
landasan filosofis57 Indonesia yaitu pancasila yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
Pada kitab Qawaid al-ah}kam58 ditegaskan bahwa memilah dan memilih
mana saja pekerjaan yang bernilai maslahat dan mana yang tidak. Sebab bila
maslah}at dan mafsadat hanya dinilai melalui penalaran akal an-sikh, kemungkinan
akan terjerumus pada kemauan akal semata. Terkadang apa yang sebenarnya
bernilai mashlahat dianggap sebagai mafsadat karena tidak sesuai dengan selera
manusia dan hal yang hakikatnya adalah mafsadat akan dinilai maslah}at karena
sesuai dengan keinginannya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu kiranya permasalahan praktik
euthanasia ini diteliti dan dibahas lebih lanjut dalam konteks hukum pada
Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Bab 3 pasal 14 ayat (1). Kemudian
Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Bab 3 pasal 14 ayat (1) ini akan
dilihat kedudukannya dalam kaidah hukum Syariah. Permasalahan ini akan dibahas
dalam bentuk tesis yang berjudul “Euthanasia di Indonesia dalam Perspektif
Syariah”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di identifikasikan beberapa
masalah sebagai berikut:
a. Paradigm hukum euthanasia
b. Kategori euthanasia di Indonesia
c. Pandangan medis mengenai euthanasia di Indonesia
d. Pandangan Islam mengenai euthanasia di Indonesia
e. Identifikasi hukum medis atas penerimaan dan penolakan terhadap praktek
euthanasia
f. Pertimbangan MUI dalam penolakan euthanasia
2. Perumusan Masalah
Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah.
1. Bagaimana bentuk praktik euthanasia di Indonesia?
56
Tamsil Iskandar, “Tinjauan Yuridis Tentang Pembuktian Seorang Dokter Dalam
Melakukan Malpraktek Pelayanan Medis”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, No. 4
(2014) 57
Syahrul Kirom, “Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila: Relevansinya
Dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan”, Jurnal Filsafat 21, No.2 (Agustus, 2011) 58
Qawaid al-ahkam adalah, pembahasan yang terdapat dalam materi usul
fiqh. Johari, “Konsep Maslahah IzzudinIbn Abdi Salam Telaah Kitab Qowaid al-Ahkam
Limashalih al-Anam”, Episteme Jurnal 8, No.1 (Juni, 2013)
11
2. Apakah praktik euthanasia di Indonesia sesuai dengan Syari’at Islam?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini dibatasi agar lebih
spesifik, terarah dan mendalam. Meliputi:
a. Fokus Penelitian
Penelitian ini membahas tentang model praktik euthanasia yang ada di
Indonesia, yaitu sebuah model euthanasia yang berupa euthanasia pasif.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini hanya membahas tentang bentuk praktik euthanasia yang ada
di Indonesia. Sedangkan bentuk praktik euthanasia selain di Indonesia tidak
dibahas dalam penelitian ini.
c. Waktu Penelitian
Penelitian yang membahas tentang bentuk praktik euthanasia yang ada di
Indonesia ini, dibatasi pada tahun 2017/2018, atau dimulai dari bulan Maret 2017
sampai dengan February 2018.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus dan pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami hubungan teknologi medis dan Syariah Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui beberapa faktor penghambat implementasi tindakan
euthanasia di Indonesia.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi, atau arti penting yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran model euthanasia yang dapat dilakukan khususnya bagi
masyarakat umat muslim dan umumnya kepada mayoritas masyarakat
Indonesia.
2. Memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran tentang hubungan antara
agama dan dilema masyarakat sebagai sarana untuk menyelesaikan sebuah
solusi yang ada di masyarakat.
Selanjutnya, manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini dibedakan
menjadi dua, yaitu: manfaat teoritis dan manfaat praktis:
a. Manfaat Teoritis
Dari gambaran latar belakang diatas, maka penelitian ini akan
menghasilkan sebuah teori bahwa “agama adalah tempat yang tepat dalam
menemukan sebuah solusi”. Teori ini perlu dikaji lebih dalam, agar pengembangan
penanaman keilmuan keagamaan semakin dinamis dan sesuai dengan konteks
masyarakat Indonesia yang plural-multikultural.
b. Manfaat Praktis
Konsekuensi dari hasil penelitian ini adalah: adanya sebuah model
euthanasia yang mampu memberikan sebuah solusi dan dapat diterima oleh agama
12
Islam, tetapi disaat yang sama tidak berniat untuk menghilangkan nyawa. Dan
model euthanasia ini adalah euthanasia pasif.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian oleh Arifin rada, dengan judul “Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam”, disini ditulis bahwa para Ulama telah sepakat jika euthanasia aktif
yang berarti mengahiri hidup seseorang pada saat yang bersangkutan masih
menunjukan tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya. Tinjauan akan
hukum Islam mengenai euthanasi diharamkan karena dikategorikan sebagai
perbuatan bunuh diri yang di haramkan dan di ancam oleh Allah SWT, dengan
hukuman neraka selama-lamanya, karena yang berhak mengahiri hidup seseorang
hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengahiri hidupnya atau orang
yang membantu mempercepat suatu kematian seseorang sama saja dengan
menentang Tuhan. Melihat pada alasan dan perdebatan klasik, menyatakan
bahwasannya, mereka percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu
hanyalah Allah SWT.
Syed Qamar Abbas, Zafar Abbas, dalam penelitiannya yang berjudul
“Attitudes Towards Euthanasia and Physician Assisted Suicide Among Pakistani and Indian Doctors: A Survey”,
59 menjelaskan bahwa survei penulis menunjukkan
bahwa mayoritas dokter tidak setuju dengan gagasan euthanasia atau bunuh diri
dengan bantuan dokter. Dapat dipostulasikan bahwa, di kedua negara Asia Selatan
ini, dukungan keluarga dan sosial lebih menonjol seperti pengaruh kepercayaan
agama dalam praktik kedokteran. Sangat menarik bahwa, para dokter merasa
sangat yakin bahwa kewajiban moral mereka untuk membuat pendapat khusus
mereka. Dokter dari Pakistan juga melihat alasan keagamaan sebagai alasan kuat
untuk tidak mempercepat kematian, yang muncul sesuai dengan tradisi Islam yang
kuat di negara tersebut.
Ladan Naseh, Hossein Rafiei, dalam penelitiannya yang berjudul “Nurses Attitudes Towards Euthanasia: a Cross Sectional Study in Iran”,
60 menyimpulkan
bahwa perawat memiliki peran penting dalam merawat pasien yang sakit parah.
Mereka sering dihadapkan dengan euthanasia, tapi sedikit yang diketahui tentang
sikap mereka terhadap praktik euthanasia. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti
sikap perawat muslim Iran terhadap euthanasia. Menyimpulkan bahwa, mayoritas
perawat muslim ditemukan memiliki sikap negatif terhadap euthanasia. Ladan
Naseh, dkk, merekomendasikan agar studi masa depan harus dilakukan untuk
memeriksa sikap perawat muslim terhadap euthanasia dalam budaya yang berbeda
untuk menentukan peran budaya dan keyakinan agama terhadap sikap terhadap
euthanasia.
59
Syed Qamar Abbas, Zafar Abbas, “Attitudes Towards Euthanasia and Physician
assisted Suicide Among Pakistani and Indian doctors: A Survey”, Indian Journal Of Palliative Care 14, No.2 (2008): 71-74.
60 Ladan Naseh, Hossein Rafiei, “Nurses attitudes Towards Euthanasia: a Cross
Sectional Study in Iran”, International Journal Of Palliative Nursing 21, No.1(January,
2015): 43-48.
13
Nazila Isgandarova, dalam penelitiannya yang berjudul “Physician Assisted Suicide and Other Forms Of Euthanasia in Islamic Spiritual Care”,
61
menyimpulkan bahwa ajaran dalam Al-Qur'an dan Hadits melarang keras bunuh
diri, baik dengan alasan rasa sakit yang tak tertahankan, bahkan jika tindakan ini
dilakukan dengan tujuan menghilangkan penderitaan. Beberapa interpretasi
sumber-sumber Islam bahkan memberi himbauan bagi pembunuh dibandingkan
dengan orang-orang yang melakukan bunuh diri karena setidaknya, pembunuh
memiliki kesempatan untuk bertobat atas dosa mereka. Namun, orang-orang yang
melakukan bunuh diri 'diberi label' karena kehilangan kepercayaan di alam baka
tanpa memiliki kesempatan untuk bertobat atas tindakannya.
Penelitian oleh Kiarash Aramesh yang berjudul “Euthanasia: An Islamic Ethical Perspektif ,
62 Kiarash menyimpulkan bahwa posisi Islam adalah bahwa
kehidupan milik Allah, dialah yang memberi dan menghilangkan kehidupan. Tidak
ada manusia yang bisa memberikan atau mengambil kehidupan. Muslim
menentang euthanasia. Mengelola analgesik63 (sejenis obat yang dibuat untuk
menghilangkan rasa nyeri tanpa harus menghilangkan kesadaran seseorang) yang
mungkin memperpendek hidup pasien, dengan tujuan mengurangi rasa sakit fisik
atau tekanan mental, dan menarik perawatan sia-sia dengan persetujuan (dari
anggota keluarga dekat yang bertindak atas nasihat dari profesional dokter yang
bertanggung jawab atas kasus), Jika pasien diperkirakan meninggal secara medis,
apa yang dikenal sebagai kematian otak, menghentikan dukungan kehidupan
mungkin diperbolehkan, dengan konsultasi terhadap dokter, terutama bila sudah
jelas bahwa dukungan hidup mesin menjadi tidak berguna bagi pasien yang sudah
meninggal atau dalam hal sumbangan organ dan jaringan untuk membantu
kehidupan orang lain yang merupakan praktik rutin di Iran dan beberapa negara
Muslim lainnya.
Peneliti sependapat dengan peneliti diatas, para Ulama telah sepakat
bahwa jika euthanasia aktif yang berarti mengahiri hidup seseorang pada saat yang
bersangkutan masih menunjukan tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya.
Tinjauan akan hukum Islam mengenai euthanasi diharamkan karena dikategorikan
sebagai perbuatan bunuh diri yang di haramkan dan di ancam oleh Allah SWT.
Judith A. C. Rietjens, dalam penelitiannya yang berjudul “Two Decades Of Research on Euthanasia From the Netherlands. What Have We Learnt and What Questions Remain?”,
64 menyimpulkan bahwa dua dekade penelitian tentang
euthanasia di Belanda telah menghasilkan wawasan yang jelas mengenai frekuensi
dan karakteristik euthanasia dan keputusan akhir hidup medis Belanda. Studi
61
Nazila Isgandarova, “Physician assisted Suicide and Other Forms Of Euthanasia
in Islamic Spiritual Care”, Journal Of Pastoral Care &Counseling 69, No.4 (2015): 215-221. 62
Kiarash Aramesh, “Euthanasia: An Islamic Ethical Perspective” , IRANIAN JOURNAL OF ALLERGY 6, No.5 (February, 2007): 37-38.
63 Longifolia Lamk, “Analgesic Actifity Study Of Ethanolic Extract Of
Callicarpa”, Traditional Medicine Journal 21, No.2 (May-Agustus, 2016): 99-103. 64
Judith A. C. Rietjens, “Two Decades Of Research on Euthanasia From the
Netherlands. What Have We Learnt and What Questions Remain?”, Journal Of Bioethical Inquiry 6, No.3 (September, 2009): 271-283.
14
empiris ini telah berkontribusi pada kualitas debat publik, dan kontrol pemerintah
mengenai euthanasia dan bunuh diri yang dibantu dokter. Tidak ada perbedaan
yang terjadi. Dokter tampaknya mematuhi kriteria untuk perawatan dalam
sebagian kasus besar. Selanjutnya, telah ditunjukkan bahwa sebagian besar dokter
berpikir bahwa Undang-undang euthanasia telah meningkatkan kepastian hukum
mereka dan berkontribusi pada kehati-hatian dalam tindakan penghentian hidup.
Pada tahun 2005, 80% kasus euthanasia dilaporkan ke komite peninjau, dengan
demikian, transparansi yang dibayangkan oleh UU tersebut masih belum mencakup
semua kasus. Kasus yang tidak dilaporkan hampir semuanya melibatkan
penggunaan opioid, dan tidak dianggap euthanasia oleh dokter. Penelitian periodik
yang sistematis sangat penting untuk meningkatkan pemahaman tentang
perawatan akhir zaman dalam pengobatan modern, di mana pencarian kualitas mati
yang baik saat ini diakui secara luas sebagai tujuan penting, di samping tujuan
tradisional seperti menyembuhkan penyakit dan memperpanjang umur.
M. Kuuppelomaki, dalam penelitiannya yang berjudul “Attitudes Of Cancer Patients, Their Family Members and Health Professionals Toward Active Euthanasia”,
65 menyimpulkan bahwa studi kualitatif ini menggambarkan sikap
empat kelompok orang dalam perawatan kanker terhadap euthanasia aktif. Pasien
dengan kanker yang tidak dapat disembuhkan, anggota keluarga, perawat dan
dokter berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit pusat dan
di empat pusat kesehatan di Finlandia. Lebih dari setengah peserta mengatakan
bahwa mereka dapat secara etis membenarkan euthanasia aktif. Sebagian besar
adalah anggota keluarga dan perawat. Alasan utama pembenaran etis adalah;
pertama, penyakit terminal pasien; kedua, adanya penderitaan dan rasa sakit; dan
ketiga, permintaan pasien sendiri. Mereka yang tidak bisa membenarkan
euthanasia aktif mengatakan bahwa satu manusia tidak memiliki hak untuk
memutuskan kematian orang lain. Potensi pelecehan, ketidakpastian tentang
situasi finalitas, dll. Hasil penelitian ini mendukung asumsi yang dibenarkan pada
literatur sebelumnya bahwa, sikap terhadap euthanasia aktif paling positif dimana
dapat membantu pasien kanker yang sakit parah.
Bozidar Banovic, dalam penelitian yang berjudul “ Euthanasia: Murder or Not: A Comparative Approach”,
66 menjelaskan bahwa euthanasia dalam sepanjang
sejarah kemanusiaan muncul sebagai pertanyaan yang menarik perhatian para
pengacara, dokter, sosiolog di seluruh dunia. Pada tahap perkembangan peradaban
tertentu, hal itu merupakan bentuk yang diijinkan untuk merampas nyawa orang
lain, sementara di tahap lain dilarang keras. Di negara-negara Islam, seperti Iran,
Turki dan sebagian Bosnia dan Herzegovina, euthanasia adalah pembunuhan biasa,
dapat dihukum dengan sanksi pidana berat. Pihak yang berlawanan, adalah
diantaranya; negara-negara Eropa Barat, lebih khusus lagi negara-negara Benelux
65
M. Kuuppelomaki, “Attitudes Of Cancer Patients, Their Family Members and
Health Professionals Toward Active euthanasia”, European Journal Of Cancer Care 9, No.1
(March, 2000): 16-21. 66
Bozidar Banovic, “Euthanasia: Murder or Not: A Comparative Approach”,
Iranian Journal Of Public Health 43, No.10 (October, 2014): 1316-1323.
15
(Belanda, Belgia dan Luksemburg), di mana perampasan hidup dari belas kasih
tidak merupakan kejahatan, jika dilakukan sesuai dengan hukum yang ditetapkan
dengan jelas peraturan dan prosedur medis. Dengan cara ini, kami menunjukkan
bagaimana situasi kehidupan di berbagai bidang hukum diatur dengan cara yang
sangat berbeda. Kurangnya keharmonisan dalam solusi legislatif di beberapa
negara Eropa dan Amerika, telah menyebabkan beberapa kejadian buruk, seperti
pariwisata kematian. Untuk menghindari hal ini, perlu untuk mencapai tingkat
harmonisasi legislasi tertentu, atau menetapkan batas yang sesuai dalam undang-
undang yang melegalkan euthanasia. Namun, bagaimana hal itu bisa dicapai, butuh
waktu lama.
Charlotte Verpoort, dalam penelitian yang berjudul “Palliative Care Nurses Views on Euthanasia”,
67 menyimpulkan bahwa dalam debat tentang legalisasi
euthanasia di Belgia, suara perawat hampir tidak didengar. Namun, penelitian telah
menunjukkan bahwa perawat terlibat dalam proses peduli seputar euthanasia.
Akibatnya, mereka berada dalam posisi untuk menawarkan gagasan berharga
tentang masalah euthanasia. Untuk alasan euthanasia, pandangan perawat penting
karena keahlian paliatif dan konfrontasi sehari-hari mereka lakukan dengan pasien
yang sekarat, ditemukan sebagian besar perawat tidak priori untuk melawan
euthanasia, ternyata pandangan mereka sangat bergantung pada situasi. Argumen
yang mendasari perlawanan termasuk penghormatan terhadap kehidupan dan
kepercayaan akan kemampuan perawatan paliatif. Perawat berkomentar bahwa
bekerja dalam perawatan paliatif memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
pendapat seseorang tentang euthanasia. kesimpulannya ialah, sehubungan dengan
perdebatan euthanasia di seluruh dunia, penting untuk mengetahui bagaimana
perawat menghadapi pasien yang sakit parah setiap hari dan memikirkannya.
Peneliti tidak sependapat dengan penelitian diatas, bahwa euthanasia
(aktif) bukan hanya perkara yang tidak bisa dibenarkan oleh agama melainkan juga
dari sisi sosial etik maupun kode etik kedokteran, dalam perspektif hipocrates,
euthanasia aktif juga tidak bisa dibenarkan, karena dokter akan dipertaruhkan jika
pasien tidak sepenuhnya mempercayai dokternya. Secara tradisional, tujuan
pengobatan adalah untuk menyembuhkan, untuk perawatan dan untuk
meringankan sakit pasien. Akibat adanya euthanasia moralitas internal obat akan
dipertanyakan jika tujuan dasarnya adalah diubah dengan cara yang tidak sesuai
dengan perlindungan martabat manusia, seperti mengakhiri hidup pasien. Jika
secara global aktual etika medis diabaikan di beberapa negara dan budaya, etika
medis mungkin akan sangat rusak dalam waktu dekat.
Adapun distingsi penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang
sebelumnya adalah, pertama; penelitian ini ingin melihat sudah adakah bentuk-
bentuk praktik euthanasia di Indonesia, kedua; peneliti ingin melihat dalam bentuk
apa euthanasia di Indonesia yang sudah mulai berlaku, ketiga; peneliti ingin
melihat relevansinya dalam hukum Islam.
67
Charlotte Verpoort, “Palliative care Nurses Views on Euthanasia”, Journal Of
Advanced Nursing 47, No.6 (September, 2004): 592-600.
16
F. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research)
dengan melacak literatur-literatur yang berupa buku-buku dan kitab-kitab yang
berhubungan dengan masalah euthanasia dan tanggapan dari beberapa negara baik
muslim maupun non muslim terhadap euthanasia, dan juga mengumpulkan data-
data di lapangan guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan jelas.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
normatif. Menurut Khairudin Nasution, pendekatan normatif adalah studi Islam
yang memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud
legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan
sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam
nash.68
Penulis menggunakan pendekatan ini guna sebagai pendekatan yang
digunakan untuk menganalisis praktik-praktik euthanasia di Indonesia dan
kesesuaiannya dengan hukum Islam
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah para pemuka agama dan para
tenaga medis.
Sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder. Sumber
primer terdiri dari; pertama, wawancara terhadap para pemuka agama; kedua,
wawancara pada petugas kesehatan dan beberapa ilmuan dibidang ini. Sumber data
primer tersebut akan ditambah dengan data sekunder yang terdiri dari, tulisan,
karya ilmiah, dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan dan pengolahan data, teknik pengumpulan data yang
digunakan dengan penelusuran buku-buku yang terdapat diperpustakaan kemudian
dilanjutkan dengan penggolongan-penggolongan kedalam dua golongan yaitu data
primer dan data sekunder.
Disamping itu dipergunakan pula metode wawancara sebagai bentuk
pengambilan data yang dibutuhkan dalam pengumpulan data. wawancara adalah
teknik pengumpulan data pada sebuah penelitian baik dilakukan dengan face to face maupun dengan menggunakan pesawat telepon untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti,69
dalam hal ini peneliti mengadakan wawancara
dengan para tokoh agama, petugas kesehatan dan beberapa ilmuan dibidang ini.
Teknik penulisan tesis ini berpedoman pada “Pedoman Akademik Program
Megister dan Doktor Pengkajian Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah ”.
G. Sistematika Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan
penelitian, maka secara garis besar dapat digunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dipaparkan
latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
68
Khoirudin, nasution, pengantar studi islam, (yogyakarta: Rosda, 2009) 69
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung :
Alfabeta CV, 2011)
17
penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan
penelitian.
Bab kedua menjelaskan tentang hakikat euthanasia yang menjelaskan
konsep euthanasia yang terdiri dari; sejarah euthanasia, jenis dan macam
euthanasia, alasan dilakukannya euthanasia, syarat dilakukannya euthanasia,
kriteria mati meliputi; mati menurut ilmu kedokteran dan mati menurut hukum
islam, perdebatan etis euthanasia oleh pihak medis, dan euthanasia di bebeapa
Negara.
Bab ketiga yaitu mengupas tentang kasus pemohon euthanasia; beberapa
pemohon euthanasia di Indonesia, kasus 1 (Berlin Silalahi), kasus II (Agian Isna
Nauli), kasus III (Siti Zulaikha), dan kasus IV (Ignatius Ryan Tumiwa).
Bab keempat, wacana dan pendapat tentang euthanasia, analisis tanggapan
beberapa tenaga medis, dan analisis tanggapan beberapa pakar Islam.
Bab Kelima adalah penutup yang didalamnya berisi kesimpulan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan dan beberapa rekomendasi penulis.