tgs.publikasi pk supli rahim
TRANSCRIPT
TUGAS ILMU LINGKUNGANTINGKAT BAHAYA EROSI DAN KEKRITISAN LAHAN
DI DAERAH HULU DAS MUSI HULU – LEMAU
Nama : Khairul Amri NPM.20103602015Mahasiswa S3 Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Lingkungan Universitas Sriwijaya
Palembangemail : [email protected]
Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, M.Sc
ABSTRAK
DAS Musi Hulu-Lemau merupakan DAS unik karena tercipta akibat dari pengaruh manusia (akibat pembangunan PLTA Musi). Keunikan DAS tersebut dapat dilihat dari aliran air yang dulunya mengalir ke outlet pantai timur Sumatera, berubah arah ke pantai barat Sumatera. Perubahan tersebut berakibat pada berubahnya kebutuhan air untuk berbagai sektor pembangun. Begitu pula halnya dengan manfaat ekohidrologi lainnya. Manfaat ekohidrologi tersebut saat ini semakin terancam akibat meluasnya daerah kritis di wilayah hulu DAS.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey/observasi lapangan (untuk mengumpulkan data biofisik dan sosial ekonomi) dan analisis data spasial. Data-data yang diperoleh diolah untuk menentukan tingkat bahaya erosi. Selanjutnya dengan aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) data diolah untuk mengklasifikasikan tingkat tingkat bahaya erosi dan kekritisan lahan. Berdasarkan klasifikasi tingkat kekeritisan tersebut dibuat desain RHL untuk tiap lokasi yang sesuai. Hasil lain yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah tersusunnya peta rekomendasi spasial kegiatan RHL.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kondisi wilayah hulu DAS Musi Hulu – Lemau yakni Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah tangkupan air PLTA Musi masih relatif baik dan sebagian besar wilayahnya termasuk kategori tingkat bahaya erosi sangat rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Akan tetapi, akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan perkebunan kopi dan hortikultura serta praktek kultur teknis tradisional di areal budidaya (APL) berakibat terjadinya degradasi lahan secara berlahan sehingga terbentuk lahan-lahan kritis. Wilayah Sub DAS Musi Hulu berada dalam keadaan baik seluas 31448,37 Ha (52,09%). Sedangkan sebagiannya lagi merupakan lahan agak kritis seluas 20332,61 Ha (33,68%), lahan kritis seluas 5125,60 Ha (8,49), dan lahan sangat kritis seluas 570,33 Ha (0,94%). Untuk perbaiakan dan pemulihan lahan kritis tersebut secara vegetatif, di luar kawasan hutan dilakukan dengan penanaman secara total pada lahan yang terlantar, lahan kosong, penerapan pola agroforestri dan hutan rakyat, dan pengkayaan tanaman pada lahan-lahan yang menurut pertimbangan teknis maupun sosial-ekonomis masih perlu diperkaya dengan tanaman tahunan. Sedangkan di dalam kawasan hutan dilakukan reboisasi penanaman intensif atau pengkayaan rendah.
KATA KUNCI : Daerah Aliran Sungai (DAS), Tingkat Bahaya Erosi, Kekritisan lahan, Sistem Informasi Geografi, Ekohidrologi, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
DAS tersebut sebenarnya merupakan penggabungan Sub DAS Musi Hulu dan
DAS Lemau karena adanya perubahan aliran sungai Musi Hulu yang semula mengalir ke
sungai Musi dan selanjutnya bermuara di bagian timur pantai pulau Sumatera, kini kurang
lebih 80%, berubah arah menuju ke sungai Lemau yang selanjutnya bermuara di pantai
barat Sumatera. Perubahan aliran tersebut dikarenakan keberadaan PLTA Musi .
Permasalahan utama DAS Musi Hulu-Lemau adalah kawasan hutan di daerah
hulu (up-stream) banyak yang telah beralih fungsi menjadi peruntukan lain seperti
perkebunan masyarakat, pemukiman dan lain-lain. Padahal penyokong utama baik
tidaknya fungsi DAS adalah kawasan hutan di bagian hulu (catchment area). Setianto et al
(2007) mengemukakan bahwa luas areal yang sudah tidak berhutan pada kawasan hutan di
Hutan Lindung Bukit Daun mencapai 66,64 %. Fakta yang sama juga terjadi pada Taman
Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba, dimana
luas areal yang sudah tidak berhutan di kawasan tersebut berturut-turut adalah 14.08 % dan
49 %.
DAS Musi Hulu-Lemau sejak beroperasinya PLTA Musi mengakibatkan
persoalan baru, terutama di daerah hilir. Air buangan setelah melewati reregulating DAM
PLTA di daerah hilir, ternyata menimbulkan masalah yang dirasakan oleh masyarakat di
sekitar aliran sungai Simpang Aur-Lemau Hilir (Setianto et al, 2007). Dengan kata lain
masalah baru yang dihadapi oleh DAS Musi Hulu- Lemau adalah perubahan inflow pada
DAS Lemau dan perubahan outlet pada DAS Musi. Hal ini terjadi karena beroperasinya
PLTA Musi yang memanfaatkan inflow yang berasal dari DAS Musi dan membuang air
yang telah digunakan untuk menggerakkan turbin pada DAS Lemau. Keadaan ini perlu
dipantau secara terus menerus, sejauh mana fakta tersebut mempengaruhi fungsi DAS
dalam berbagai aspek.
Fakta tersebut di atas mengakibatkan fungsi ekohidrologi DAS Musi Hulu-Lemau
mengalami degradasi yang cukup signifikan. Pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi
di atas normal terjadi aliran permukaan yang besar sehingga terjadi surplus air pada neraca
air sungai yang mengakibatkan terjadinya debit puncak (peak flow) yang dapat
menimbulkan banjir. Menurut Suharto et al (2009b), bila dilihat dari neraca hasil air di
daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau, banjir, tanah longsor, dan banjir bandang berpotensi
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 2
terjadi pada bulan November, Desember, Januari, dan Maret/April. Sedangkan pada bulan-
bulan dengan curah hujan dibawah normal akan terjadi defisit air tanah dan penurunan
debit aliran air Sungai Musi Hulu.
Kondisi daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau seperti yang telah dipaparkan di atas
perlu mendapat perhatian serius, mengingat kondisi kawasan hutan yang demikian dapat
mendegradasi fungis ekohidrologi di daerah tangkapan air (catchment area). Oleh sebab
itu, daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau harus mendapat perlakuan yang dapat merestorasi
wilayah catchment agar fungsinya dapat kembali seperti semula. Kegiatan yang sangat
penting dan harus dilakukan adalah merehabilitasi wilayah hulu/upstream dengan pola-
pola rehabilitasi yang tepat.
B. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mendesain rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)
wilayah hulu DAS Musi Hulu-Lemau yang betul-betul didasarkan pada tujuan pengelolaan
DAS terpadu yaitu kelestraian fungsi ekohidrologi Sub DAS Musi Hulu dengan pola-pola
yang dapat meningkatkan fungsi ekohidrologi DAS dengan tepat. Tujuan khusus yang
ditargetkan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan lokasi dan luasan tingkat bahaya erosi lahan
2. Menentukan lokasi dan luasan lahan yang terdegradasi berdasarkan kriteria tingkat
kekritisan lahan
3. Mendesain program rehabilitasi hutan dan lahan yang mencakup lokasi sasaran dan
luasannya, untuk melestarikan fungsi ekohidrologi DAS.
Luaran yang ingin diharapkan dari penelitian ini adalah arahan/program
rehabilitasi hutan dan lahan yang cocok untuk mengembalikan fungsi DAS berikut lokasi
sasaran dan luasannya. Luaran ini dapat digunakan sebagai referensi bagi pemerintah untuk
lebih memperkaya konsep rehabilitasi hutan dan lahan agar dilakukan berdasarkan
pertimbangan yang komprehensif dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan DAS
yang benar.dalam membuat perencanaan tataruang wilayah Sub DAS Musi Hulu sebagai
daerah tangkupan air PLTA Musi yang berkoridor pada optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya lahan dan kelestarian lingkungan dengan mempertimbangkan keberadaan
masyarakat dan menyenangkan semua pihak serta tidak menimbulkan bencana banjir dan
kekeringan.
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
DAS Musi Hulu–Lemau merupakan nama DAS yang belum baku, dan tidak
tercantum dalam daftar nama DAS di Indonesia (SK MENHUT NO. 284/Kpts-II/1999).
Menurut Hidayat (2009), DAS tersebut sebenarnya merupakan penggabungan Sub DAS
Musi Hulu dan DAS Lemau karena adanya perubahan aliran sungai Musi Hulu yang
semula mengalir ke sungai Musi dan selanjutnya bermuara di bagian timur pantai pulau
Sumatera, kini kurang lebih 80%, berubah arah menuju ke sungai Lemau yang selanjutnya
bermuara di pantai barat Sumatera. Perubahan aliran tersebut dikarenakan keberadaan
PLTA Musi.
Berdasarkan tata nama DAS yang baku, maka DAS Musi Hulu-Lemau menurut
BPDAS Ketahun terbagi atas Sub DAS Musi Hulu pada daerah upstream dan DAS Lemau
pada daerah downstream. DAS Lemau sendiri terdiri atas 4 (empat) Sub DAS yaitu:
Lemau Hulu, Simpang Aur, Penyengat, dan Lemau Hilir.
Secara geografis wilayah Sub DAS Musi Hulu terletak pada 102°22'18.98"-
102°38'38.93" bujur timur dan pada 3°16'28.873" - 3°33'57.441" Lintang Selatan. Luas
wilayah penelitian meliputi 60.369,965 Ha (Suharto et al, 2009b). Sub DAS ini
merupakan daerah aliran sungai lintas kabupaten, secara administrasi terletak di 2
kabupaten, yakni seluas Kabupaten Rejang Lebong 54.023,347 Ha (89,49%) dan
Kabupaten Kepahiang 6.346,619 Ha (10,51%).
2.1. Iklim dan Hidrologi
Iklim di Sub DAS Musi Hulu termasuk iklim tropis basah, menurut klasifikasi
iklim Smith-Ferguson termasuk zona A dengan nilai perbandingan jumlah rata-rata bulan
kering dengan jumlah rata-rata bulan basah (nilai Q) = 0,091, temperatur bulan terdingin
lebih besar dari 18oC, dan jumlah hujan bulan-bulan basah dapat mengimbangi kekurangan
hujan pada bulan kering.
Kondisi hidrologi diketahui bahwa, pola aliran sungai Sub DAS Musi Hulu
bersistem braided sebagai pola aliran sungai muda yang lebar bercabang-cabang, dangkal,
berbahan kasar (kerikil, batu) dengan jalur alirannya yang relatif pendek (Suharto et al,
2009b). Air mengalir melalui daerah tuf masam yang merupakan bahan yang relatif mudah
lepas dan peka erosi, sehingga di sepanjang daerahnya banyak dijumpai teras-teras sungai
yang cukup lebar. Pola drainase daerah ini adalah dendritik dimana sungai beserta cabang-
cabangnya mengalir dari segala arah, terutama di bagian hulu (bukit dan pegunungan)
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 4
dengan bahan induk yang relatif homogen yakni batuan sedimen terdiri dari batuan serpih
terkersikkan yang berlapis-lapis, napal, dan tufit yang bersusun andesit sampai dasit. Di
daerah puncak vulkan (hulu) dijumpai pola drainase radial ke segala arah. Dalam wilayah
DAS ini juga terdapat batuan induk terobosan terdiri dari batuan plutonik masam (granit)
yang dijumpai dalam bentuk dike, sehingga banyak muncul sumber mata air yang keluar
memotong muka tanah setempat akibat susunan batuan yang terpotong (sesar).
2.2. Morfometri Wilayah
Profil topografi Sub DAS Musi Hulu didominasi oleh kawasan perbukitan yang
berombak dengan pungguk bukit yang curam sampai kemiringan agak datar. Berdasarkan
ketinggian lahan dari permukaan laut, menurut Suharto et al. (2010c) wilayah Sub DAS
Musi Hulu didominasi kawasan dataran tinggi seluas 27448,213207 Ha (45,4667%) dan
pegunungan rendah seluas 20840,487674 Ha (34,5213%). Daerah ini terdiri dari 5 macam
kelas kelerengan (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Kemiringan lahan di daerah tangkupan air PLTA Musi
No. Kelas Kemiringan (%)Luas
Kategori(Ha) (%)
1 0-8 41647,11630 68,9865 Datar2 8-15 3000,81616 4,9707 Landai3 15-25 2275,70506 3,7696 Agak curam4 25-45 7702,98276 12,7596 Curam5 > 45 5743,34506 9,5136 Sangat curam
Total 60369,96534Sumber Data :1. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Rupa bumi Propinsi Bengkulu, BAKOSURTANAL3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S
2.3. Tanah dan Geologi
Secara formasi geologi daerah hulu DAS Musi Hulu – Lemau termasuk golongan
pretersier yang merupakan formasi geologi tertua dan mendasari daerah ini, yang terdiri
dari berbagai formasi batuan yakni batuan sedimen, batuan vulkanik batuan metamorf dan
batuan terobosan (Bapedalda, 2006).
Tanah yang berkembang di Sub DAS Musi Hulu terdiri atas tanah mineral masam
dan tanah alluvial. Menurut klasifikasi USDA (soil taxonomy) pada tingkat klasifikasi
ordo, tanah Inseptisol, Entisol, Histosol dan Ultisol yang merupakan tanah mineral masam
mendominasi sebaran jenis tanah di daerah ini. Menurut Suharto et al. (2010c), jenis tanah
pada level great group dan luasnya disajikan pada Tabel 2.
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 5
Tabel 2 Luas masing-masing jenis tanah di Sub DAS Musi Hulu
No. Asosiasi Jenis Tanah (Great Group)Jenis Tanah
DominanLuas (Ha)
Luas (%)
1 Dsytrandepts/Dystropepts/Humitropepts Dsytrandepts 5.882,094 9,742 Dsytrandepts/Hapludults/Haplohumults Dsytrandepts 6.327,745 10,483 Dsytrandepts/Humitropepts Dsytrandepts 9.197,707 15,244 Dsytrandepts/Humitropepts/Dystropepts/Tropaquepts Tropaquepts 7.268,977 12,045 Dsytrandepts/Humitropepts/Haplohumults Dsytrandepts 3.311,302 5,496 Dystropepts/Dsytrandepts/Humitropepts Dystropepts 7.902,656 13,097 Dystropepts/Haplohumults/Dsytrandepts/Humitropepts Dystropepts 1.316,959 2,188 Dystropepts/Hapludults Dystropepts 225,155 0,379 Dystropepts/Hapludults/Humitropepts Dystropepts 3.105,966 5,1410 Dystropepts/Humitropepts Dystropepts 124,910 0,2111 Dystropepts/Humitropepts/Eutropepts Dystropepts 3.394,145 5,6212 Hapludults/Haplohumults/Humitropepts Hapludults 10.887,313 18,0313 Tropaquepts/Hydraquents/Tropohemist Tropaquepts 100,113 0,1714 Troporthens Troporthens 486,376 0,8115 X1(Aneka Bentuk) 838,547 1,39
TOTAL 60.369,965 100Sumber Data :1. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar 0912 Balitanak Bogor3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S
Wilayah Sub DAS Musi Hulu didominasi kawasan yang solum tanahnya sangat
dalam yakni 27.898,183 Ha (46,212%) dan ekstrim dalam yakni 21.449,442 Ha
(35,530%). Menurut Suharto et al. (2010c), secara rinci daerah ini terdiri dari 6 macam
kelas kedalaman tanah (Tabel 3).
Tabel 3. Luas masing-masing kedalaman tanah di Wilayah Sub DAS Musi-Hulu
No. Kedalaman tanah (cm)Luas
Kategori(Ha) (%)
1 <75 586,489 0,971 Agak Dangkal2 50-75 1.946,892 3,225 Agak Dalam3 76-100 7.650,424 12,673 Dalam4 101-149 27.898,183 46,212 Sangat Dalam5 > 1500 21.449,442 35,530 Ekstrim Dalam
838,535 1,389 Aneka Bentuk Total 60.369,965Sumber Data :1. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar 0912 Balitanak Bogor3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S
2.4. Tataguna Lahan
Tataguna lahan Sub DAS Musi Hulu dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar
yakni Areal Peruntukan Lain (APL) seluas 38369,830 Ha (63,56%) dan kawasan hutan
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 6
seluas 22.000,135 Ha (36,44%). Kawasan hutan daerah ini telah mengalami degradasi
yang lajunya terus meningkat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian kawasan
hutan yang di lindungi di daeah hulu telah mengalami perubahan tata guna lahan, dari yang
dulunya berhutan menjadi perkebunan rakyat. Menururt Suharto et al. (2010c), secara rinci
luasan untuk masing-masing penutupan/ penggunaan lahan di Sub DAS Musi Hulu
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Penutupan Lahan di Sub DAS Musi Hulu
NO TUTUPAN LUAS (Ha)(Ha) (%)
1 Belukar Muda 514,347514 0,852 Belukar Tua 2247,984709 3,723 Lahan Terbuka 4632,290764 7,674 Kebun Campur 4448,036999 7,375 Belukar Muda dan Kebun Campur 24564,919400 40,696 Hutan 15931,444220 26,397 Ladang 4052,822277 6,718 Pemukiman 2893,053675 4,799 Sawah 912,792044 1,51
10 Karet Masyarakat 85,323248 0,1411 Belukar Muda dan Karet 86,950484 0,14
60369,965340Sumber data :1. Peta DAS Prop. Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Rupabumi Prop. Bengkulu, BAKOSURTANAL3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program ArcGIS 9.2 pada Proyeksi UTM Zone 48S4. Hasil Interpretasi Data Satelit Landsat ETM7 dan Pengecekan lapangan.
Kondisi penutupan lahan pada kawasan hutan di Sub DAS Musi Hulu disajikan
pada Tabel 5. Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa luasan yang telah beralih fungsi
cukup luas.
Tabel 4. Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan di Sub DAS Musi Hulu
Kawasan Hutan Luas Total (Ha)
2005 2006
Berhutan Tidak Berhutan Berhutan Tidak
Berhutan% % % %
CA. Talang Ulu I 0,666 0,00 100,00 0.00 100.00CA. Talang Ulu II 0,759 0,00 100,00 0.00 100.00HL. Bukit Daun 4.469,341 38.11 61.89 33,36 66,64TNKS 14.725,792 94,13 5,87 85.92 14.08TWA Bukit Kaba 2.803,577 78,18 21,82 51.00 49.00
Total 22.000,135Sumber :Setianto et al (2007); Hindarto et al (2009)
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan, mulai dari bulan Maret s/d
Nove,ber 2010. Adapun lokasi penelitian adalah daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau yang
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 7
mencakup wilayah dua kabupaten yaitu Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten
Kepahiang
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei tinjau,
yaitu dengan cara mengumpulkan data dan informasi serta fakta-fakta dari gejala di
lapangan. Data primer yang dikumpulkan meliputi kondisi hidrologis, curah hujan, sifat
fisik dan kimia tanah, kondisi topografi, biofisik tataguna lahan DAS, sosial ekonomi dan
budaya masyarakat. Sedangkan data skunder yang dikumpulkan meliputi meliputi keadaan
umum lokasi kegiatan seperti letak wilayah, luas wilayah, dan kondisi fisik lingkungan,
dan keadaan masyarakat seperti jumlah penduduk, umur, jenis kelamin, mata pencaharian,
pendidikan, dan budaya masyarakat.
3.1. Perhitungan Tingkat Bahaya Erosi
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat
erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan
tersebut. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata tanah
hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus Universal Soil Loss
Equation (USLE). Menurut Asdak (2004), perhitungan tingkat erosi dengan rumus USLE
sebagi berikut : A = R x K x LS x C x P ; Dimana : A= jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun),
R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (biasanya dinyatakan sebagai energi dampak
curah hujan (MJ/ha) x Intensitas hujan maksimal selama 30 menit (mm/jam), K = indeks
erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm), LS = indeks
panjang dan kemiringan lereng, C = indeks pengelolaan tanaman, P = indeks upaya
konservasi tanah
3.2. Menentukan dan Memetakan Tingkat Bahaya Erosi
Perkiraan erosi tahunan rata-rata (diperoleh dari USLE) dan kedalaman tanah
(dari Peta Tanah) dipertimbangkan untuk menentukan Tingkat Bahaya Erosi untuk setiap
satuan lahan. Kelas Tingkat Bahaya Erosi diberikan pada tiap satuan lahan dengan
menggunakan kriteria pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi
Solum Tanah(cm)
Kelas Erosi I II III IV V
Erosi (ton/ha/tahunan) < 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 > 480
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 8
Dalam > 90
SR 0
R I
S II
B III
SB IV
Sedang 60 – 90
R I
S II
B III
SB IV
SB IV
Dangkal 30 – 60
S II
B III
SB IV
SB IV
SB IV
Sangat Dangkal <30
B III
SB IV
SB IV
SB IV
SB IV
Keterangan : 0 – SR = Sangat Ringan I – R = Ringan II – S = Sedang III - B = Berat IV - SB = Sangat Berat
3.3. Penilaian tingkat kekeritisan lahan
Metode penilaian lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yaitu sebagai
lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya
sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun
diluar kawasan hutan (Anonim, 2008). Sasaran penilaian adalah lahan-lahan dengan
fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi
kawasan lindung bagi hutan lindung dan fungsi lindung di luar kawasan hutan, serta
fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Selanjutnya untuk masing-masing fungsi
lahan, ditentukan kriteria/faktor pendukungnya yang terbagi lagi kedalam beberapa kelas.
Untuk penilaiannya, pada masing-masing kelas diberi bobot, besaran serta skoring. Jumlah
total skor dikalikan bobot masing-masing merupakan klas kekritisan lahan masing-masing
kawasan, yang dimuat pada Tabel 6, sedangkan kriteria lahan kritis di masing-masing
kawasan disajikan pada tabel 7,8, dan 9.
Tabel 6. Klasifikasi kekritisan lahan di Kawasan Hutan Lindung.
No. Tingkat Kekritisan Lahan
Besarnya NilaiHutan Lindung Lahan Budidaya Kawan Lindung di APL
1. Sangat kritis 120 – 180 115 – 200 110 – 2002. Kritis 181 – 270 201 – 275 201 – 2753. Agak kritis 271 – 360 276 – 350 276 – 3504. Potensial kritis 361 – 450 351 – 425 351 – 4255. Tidak kritis 451 – 500 426 – 500 426 – 500
Sumber: Anonim (2009)
Tabel 7. Kriteria Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung
No. Kriteria
(% bobot)Kelas Besaran/diskripsi Skor Keterangan
1. Penutupan lahan(50)
1. Sangat baik2. Baik3. Sedang4. Buruk
> 80 %61 – 80%41- 60%
21 – 40%
5432
Dinilai berdasarkan prosentase penutupan tajuk pohon
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 9
5. Sangat buruk < 20% 1atau tutupan lahan
2.Lereng
(20)
1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam
> 8 %8 – 15%16 - 25%26 – 40%< 40%
54321
3.Erosi(20)
1. Ringan
- Tanah dalam: kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak 20-50 m.
- Tanah dangkal: kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak > 50 m.
5
2. Sedang
- Tanah dalam: 25-75% lapisan tanah atas hilang/ atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m.
- Tanah dangkal: 25-50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jakak 20-50 m.
4
3. Berat
- Tanah dalam: ebih dari 75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m.
- Tanah dangkal: 50-75%lapisan tanah atas hilang.
3
4. Sangat berat
- Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang > 25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m.
- Tanah dangkal: 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi.
2
4.Manajemen
(10)
1. Baik2. sedang3. buruk
Lengkap *)Tidak lengkapTidak ada
531
*) – Tata batas kawasan ada.- Pengawasan ada.- Penyuluhandilaksanakan.
Sumber: Anonim (2009)
Tabel 8 Kriteria Lahan Kritis Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian.
No. Kriteria
(% bobot)Kelas Besaran/diskripsi Skor
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 10
1.Produktivitas*)
(30)
1. Sangat tinggi2. Tinggi3. Sedang4. Rendah5. Sangat rendah
> 80 %61 – 80%41- 60%21 – 40%< 20%
54321
2. Lereng(20)
1. Datar2. Landai3. Agak curam4. Curam5. Sangat curam
< 8 %8 – 15%16 - 25%26 – 40%> 40%
54321
3. Erosi(15)
1. Ringan
- Tanah dalam kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak 20-50 m.
- Tanah dangkal kurang dari25% lapisan tanah atas hilangdan/atau erosi alur pada jarak > 50 m.
5
2. Sedang
- Tanah dalam 25-75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m.
- Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m.
4
3. Berat
- Tanah dalam lebih dari 75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m
- Tanah dangkal 50-75% lapisan tanah atas hilang.
3
4. Sangat berat
- Tanah dalam Semua lapisan tanah atas hilang > 25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m.
- Tanah dangkal > 75% lapisan tanah atas telah hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi.
2
4. Batu-
batuan(5)
1. Sedikit
2. Sedang
3. Banyak
- < 10% Permukaan lahan tertutup batuan
- 10-30% Permukaan lahan tertutup batuan
- > 30% Permukaan lahan tertutup batuan
5
3
1
5. Manajemen
(30)
1. Baik
2. Sedang3. buruk
- Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap sesuai petunjuk teknis
- Tidak lengkap atau tidak dipelihara
- Tidak ada
5
31
*)Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Sumber: Anonim (2009)
Tabel 9. Kriteria Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan.
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 11
No. Kriteria
(% bobot) Kelas Besaran/diskripsi Skor Keterangan
1. Penutupan lahan
(50)
1. Sangat baik 2. Baik 3. Sedang 4. Buruk 5. Sangat buruk
> 80 % 62 – 80% 42 - 60% 22 – 40% < 20%
5 4 3 2 1
Dinilai berdasarkan prosentase penutupan tajuk pohon
2. Lereng (20)
1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam
< 8 % 9 – 15% 17 - 25% 27 – 40% > 40%
5 4 3 2 1
3. Erosi (20)
1. Ringan
- Tanah dalam : kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak 20-50 m.
- Tanah dangkal : kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jakak > 50 m.
5
2. Sedang
- Tanah dalam : 25-75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m.
4
- Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m.
3. Berat
- Tanah dalam : lebih dari 75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m.
- Tanah dangkal : 50-75% lapisan tanah atas hilang.
3
4. Sangat berat
- Tanah dalam : Semua lapisan tanah atas hilang > 25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m.
- Tanah dangkal : > 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi.
2
4. Manajemen
(30)
1. Baik 2. sedang 3. buruk
Lengkap *) Tidak lengkap Tidak ada
5 3 1
Sumber: Anonim (2009)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 12
Pengelolaan ekosistem DAS, dareah hulu yang biasanya berupa kawasan hutan
memiliki peranan yang sangat penting. Hutan merupakan ekosistem yang terbentuk oleh
adanya asosiasi antara komunitas tumbuh-tumbuhan dan komunitas hewan yang hidup di
dalamnya yang luasnya sedemikian rupa sehingga dapat tercipta iklim mikro. Ekosistem
hutan bersifat responsif terhadap aktifitas manusia, perubahan iklim, dan aktifitras
geomorfologi dan tanah. Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 18,
disebutkan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan
hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat
setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % dari luas daerah
aliran sungai atau pulau dengan sebaran proporsional.
Berdasarkan luasnya, keberadaan hutan di wilayah hulu DAS Musi Hulu - Lemau
telah mencukupi kebutuhan standar sesuai yang diatur dalam undang-undang. Luas daerah
catchment area PLTA Musi adalah 60369,965 Ha. Dari luasan tersebut, sekitar 36.442 %
(22.000,135 Ha) ditetapkan sebagai kawasan hutan yang terdiri atas Kelompok Hutan
Lindung (4.469,341 Ha), Taman Nasional Kerinci Sebelat (14.725,792 Ha), Taman Wisata
Alam Bukit Kaba (2.803,577Ha), dan Cagar Alam (1,425 Ha).
Dengan fungsinya sebagai penyeimbang lingkungan, seperti sistem penyangga
kehidupan dan pengatur tata air, kawasan hutan haruslah berupa hutan yang bervegetasi
baik dengan komposisi tegakan yang seimbang (hutan alam). Untuk tujuan pengelolaan
kawasan dan kelangsungan operasional PLTA Musi, keberadaan hutan sebagai sistem
penyangga kehidupan dan penyeimbang tata air harus bisa dipertahankan dan dikelola
sesuai dengan peruntukannya. Hal ini berarti fungsi hutan lindung dan konservasi harus
tetap dijaga keberadaannya dan jangan sampai terjadi perubahan fungsi kawasan di
lapangan.
A. Tinghat Bahaya Erosi dan Kekritisan Lahan di Wilayah Sub DAS Musi Hulu
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian kawasan hutan yang di lindungi
tersebut telah mengalami perubahan tata guna lahan, dari yang dulunya berhutan menjadi
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 13
perkebunan rakyat. Luas areal di dalam kawasan hutan yang sudah tidak berhutan lagi
semakin lama semakin meluas. Hal ini terlihat tata guna lahan yang telah berubah di
daerah TN Kerinci Sebelat, Hutan Lindung Bukit Daun, maupun TWA Bukit Kaba, dari
hutan menjadi pemukiman dan areal perkebunan/pertanian.
Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa areal tidak berhutan dan lahan
kritis yang terdapat pada beberapa kawasan hutan dan APL di lokasi studi sebagian besar
berupa tata guna lahan perkebunan kopi. Menurut Widianto et al (2004), pertanaman kopi
monokultur ternyata tidak dapat sepenuhnya mengembalikan fungsi hidrologi hutan
walaupun kopi telah berumur 10 tahun. Ada beberapa aspek yang hilang dari hutan dan
fungsi lahan yang tidak bisa dikembalikan melalui pertanaman kopi.
Perubahan tataguna lahan hutan menjadi non hutan pada beberapa kawasan hutan
dan APL di wilayah studi, apabila terjadi hujan yang berintensitas tinggi akan
menimbulkan resiko kehilangan tanah lapisan atas (erosi) terutama pada tanah-tanah yang
mengandung partikel liat/debu tinggi (bertekstur halus) pada lahan terbuka dan kelerengan
curam.
Berdasarkan perkiraan erosi tahunan rata-rata (diperoleh dari USLE) dan
kedalaman tanah (dari Peta Tanah) dipertimbangkan untuk menentukan Tingkat Bahaya
Erosi untuk setiap satuan lahan dengan menggunakan kriteria pada Tabel 5. Diketahui
bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Musi Hulu termasuk kategori tingkat bahaya erosi
sangat rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Data luas masing-masing kategori tingkat
bahaya erosi di wilayah ini disajikan pada Tabel 10, sedangkan, penyebaran lokasinya
ditunjukkan pada Gambar 1.
Tingkat bahaya erosi yang rendah ini sangat berkaitan erat dengan karakteristik
fisika tanah yang diukur atau diduga yakni permeabilitas tanah, tekstur tanah, berat jenis
tanah, bobot isi tanah, porositas tanah, dan kadar lengas tanah. Karakteristik fisika tanah
ini akan menentukan kualitas lahan terhadap retensi air, drainase, kepekaan erosi dan
longsor, media perakaran dan kemudahan pengolahan tanah.
Tabel 10. Luas Lahan Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah Sub DAS Musi Hulu
No Kategori Bahaya ErosiBobot Erosi Luas
(ton/Ha/Tahun) (Ha) (%)1 Sangat rendah < 15 52.452,9990 86,89 2 Rendah 15 - 60 5.403,7412 8,95
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 14
3 Sedang 60 - 180 2.016,2133 3,34 4 Berat 180 - 480 360,8732 0,60 5 Sangat berat > 480 136,1386 0,23
TOTAL 60.369,9653Sumber Data :4. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun5. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar 0912 Balitanak Bogor6. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S
Hasil analisis laboratorium pada tabel 11 menunjukkan bahwa, tanah entisol dan
histosol mempunyai permeabilitas K-sat agak lambat sampai sedang, sedangkan pada
tanah ultisol dan inceptisol mempunyai permeabilitas K-sat agak lambat sampai sangat
rendah. Permeabilitas K-sat tanah ini sangat menentukan drainase tanah dan tenggang
waktu (time lag) antara kejadian hujan dengan aliran permukaan (suface runoff) pada suatu
satuan lahan.
Sifat fisika tanah yakni Berat Jenia (BJ), Bobot Isi (BV), Porositas, dan Kadar
Lengas (KL) yang disajikan pada tabel 12 akan menentukan ketersediaa air, kondisi media
perakaran, kemudahan pengolahan dan resiko longsor. Pada tanah-tanah berat dengan
kandungan air yang tinggi pada daerah berlereng curam mengakibatkan beban grafitasi
yang besar sehingga apabila kondisi tanah jenuh air dan pada saat itu terjadi aliran air
perkolasi dan aliran permukaan, maka dapat menakibatkan horizon-horizon tanah terlepas
dan terjadilah longsor atau banjir bandang.
Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada
tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu
(Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah
bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik
(Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan
induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi,
sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan.
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 15
Gambar 1. Peta Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah Sub DAS Musi Hulu
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 16
Tabel 11. Daya Hantar Air (Percolation Rate) Satuan Lahan pada Kadar Lengas Tanah Jenuh Air
No.Kode Conto
h
Satuan Lahan
Permeabilitas K-Sat (cm/sat waktu)kelas resiko
s-run offresiko erosi
Rekomendasi tataguna
lahan5
(menit)10
menit15
menit20
menit25
menit30
menit60
menit
1 Lk1 Mab 2.3.3 0 0 0 0,000734 0,001052 0,001228 0,002456 sangat
rendahsangat cepat
sangat tinggi hutan
2 Lk2 Mab 2.3.3 0,041495 0,03246 0,031558 0,030837 0,029236 0,028150 0,056300 sangat
rendahsangat cepat
sangat tinggi hutan
3 Lk3 Hab 1.2.2 0 0 0 0,000365 0,000454 0,000505 0,001010 sangat
rendahsangat cepat
sangat tinggi hutan
4 Lk5 Mab 2.2.2 0,010574 0,008724 0,007349 0,006173 0,021148 0,004115 0,008230 sangat
rendahsangat cepat
sangat tinggi hutan
5 M1 Vab 1.3.2 13,77173 12,77918 13,31681 13,47707 13,54841 13,60676 27,21352 sangat
cepatsangat lambat
sangat rendah pertanian
6 M2 Vab 1.4.2 1,181048 1,097539 1,153212 1,170609 1,165539 1,168124 2,336248 sedang sedang sedang agroforestry
7 M3 Vab 2.10.3 0,276941 0,263094 0,26771 0,268633 0,315713 0,263094 0,526188 agak
lambatagak cepat
agak tinggi agroforestry
8 M6 Mab 2.1.2 0,379805 0,344198 0,346572 0,343605 0,333754 0,325604 0,651208 agak
lambatagak cepat
agak tinggi agroforestry
9 M7 Mab 2.1.2 0,013958 0,053505 0,074442 0,081421 0,084678 0,086849 0,173698 lambat cepat tinggi Hutan
10 M8 Vab 1.6.2 0,737609 0,686544 0,66574 0,676615 0,660444 0,654392 1,308784 agak
lambatagak cepat
agak tinggi agroforestry
11 L1 Hab 1.2.2 0 0 0,000398 0 0 0,000398 0,000795 sangat
rendahsangat cepat
sangat tinggi Hutan
12 L2 Af 4.1.1 6,738267 6,61794 6,61794 6,768348 6,682114 6,698158 13,39632 cepat lambat tinggi agroforestry
13 L3 Hg 1.2.1 0,793516 0,721844 0,686008 0,675769 0,643004 0,624574 1,249148 agak
lambatagak lambat
agak tinggi agroforestry
14 L4 Mg 2.3.3 0 0,002671 0,004452 0,004674 0,004808 0,004897 0,009794 sangat
rendahsangat cepat
sangat tinggi hutan
15 L5 Au 2.4.2 0,616843 0,584245 0,573379 0,586753 0,576723 0,575887 1,151774 agak
lambatagak lambat
agak tinggi agroforestry
Sumber : Data primer hasil analisis contoh tanah tak terganggu di Laboratorium Kehutanan
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 17
Tabel 12. Sifat Fisika Tanah Satuan Lahan pada Kadar Lengas Tanah Jenuh Air
No.
Kode Contoh
Satuan Lahan
BV (g/cm3)
Lengas Tanah Air DrainaseKelas BV
Resiko LongsorLj (g/g) Lj (%) Lkl (g/g) Lkl (%) (g/g) (%)
1 Lk1 Mab 2.3.3 0,8710156 0,741467 74,14668 0,609636 60,96362 0,131831 13,18306agak kompak
tinggi
2 Lk2 Mab 2.3.3 0,8699920 0,745013 74,50131 0,609658 60,96583 0,135355 13,53548agak kompak
tinggi
3 Lk3 Hab 1.2.2 0,9645331 0,633399 63,33993 0,529931 52,99310 0,103468 10,34682agak kompak
tinggi
4 Lk5 Mab 2.2.2 0,9963105 0,632203 63,22032 0,568460 56,84599 0,063743 6,374335agak kompak
tinggi
5 M1 Vab 1.3.2 0,4594455 1,408228 140,8228 1,154852 115,4852 0,253376 25,33755tidak kampak
sangat tinggi
6 M2 Vab 1.4.2 0,4964338 1,475070 147,5070 1,259044 125,9044 0,216026 21,60262tidak kampak
sangat tinggi
7 M3 Vab 2.10.3 0,5313284 1,437828 143,7828 1,256830 125,6830 0,180998 18,09982tidak kampak
sangat tinggi
8 M6 Mab 2.1.2 0,7931774 0,787072 78,70718 0,665239 66,52393 0,121832 12,18325agak kompak
tinggi
9 M7 Mab 2.1.2 0,7105935 0,894258 89,42578 0,750933 75,09330 0,143325 14,33248agak kompak
tinggi
10 M8 Vab 1.6.2 0,5042967 1,531691 153,1691 1,338961 133,8961 0,192730 19,27300tidak kampak
sangat tinggi
11 L1 Hab 1.2.2 0,9916579 0,637421 63,74214 0,567749 56,77489 0,069673 6,967252agak kompak
tinggi
12 L2 Af 4.1.1 0,9630443 0,537176 53,71757 0,429779 42,97792 0,107396 10,73965agak kompak
tinggi
13 L3 Hg 1.2.1 0,7386766 0,818430 81,84298 0,665403 66,54025 0,153027 15,30273agak kompak
tinggi
14 L4 Mg 2.3.3 0,9266631 0,692283 69,22832 0,583983 58,3983 0,108300 10,83002agak kompak
tinggi
15 L5 Au 2.4.2 0,7759790 0,846285 84,62854 0,679587 67,95871 0,166698 16,66983agak kompak
tinggi
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 18
Sumber : Data primer hasil analisis contoh tanah tak terganggu di Laboratorium Kehutanan
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 19
Dari karakteristik fisika tanah ini dengan mempertimbangkan morfometri wilayah
dapat disusun arahan/rekomendasi tataguna lahan dan tindakan konservasi tanah dan air
secara vegetatif dan sipil teknis. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih
diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani
(agroforestry). Rekomendasi tataguna lahan dan konservasi tanah dan air secara sipil teknis
pada satuan-satuan lahan di wilayah Sub DAS Musi Hulu disajikan pada tabel 13.
Berdasarkan hasil penilaian kekritisan lahan terlihat bahwa, sebagian dari wilayah
Sub DAS Musi Hulu berada dalam keadaan baik seluas 31448,37 Ha (52,09%) yang terdiri
dari lahan tidak kritis seluas 17135,56 Ha (28,38%) dan lahan potensial kritis seluas 14312,81 Ha
(23,71%). Sedangkan, sebagiannya lagi merupakan lahan kritis yakni seluas 26028,54 Ha (47,91%).
Data kelas dan luas lahan kritis menurut jenis kawasan di wilayah Sub DAS Musi Hulu
disajikan pada Tabel 14. Sedangkan sebarannya disajikan pada Gambar 2.
Tabel 14. Kelas dan Luas Lahan Kritis di Wilayah Sub DAS Musi Hulu
Kelas KritisLuas (Ha)
Total (%)Kawasan Hutan
Kawasan Lindung Non
Hutan
Kawasan Budidaya
Tidak kritis 6391,70623 10743,85551 17135,56 28,38Potensial kritis 10765,13354 2833,12663 714,55371 14312,81 23,71 Agak Kritis 2443,57135 5836,95693 12052,07825 20332,61 33,68 Kritis 965,49686 1584,11256 2575,99005 5125,60 8,49 Sangat kritis 216,38560 271,59527 82,34920 570,33 0,94 Pemukiman 2,47365 1226,34832 1664,23170 2893,05 4,79
TOTAL 60369,96534Sumber Data :1. Peta Rupa Bumi Indonesia Prop. Bengkulu, Bakorsurtanal2. Peta Tanah dan Satuan Lahan Prop. Bengkulu, Balitanak, Bogor3. Peta Kawasan Hutan Prop. Bengkulu, Dinas Kehutanan Prop. Bengkulu4. Hasil Interpretasi Citra Land Sat TM-7 Sheen 126062,125062, 12506,3 Bappeda Propinsi Bengkulu tahun 2007 dan
Pengecekan lapangan.Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S5. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S6. Data curah hujan RGS (Rainfall Gauging Station) PLTA Musi Tahun 2006-2009
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 20
Gambar 2. Peta Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah Sub DAS Musi Hulu
Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 21
22
Gambar 3. Kawasan Hutan yang telah dirambah oleh masyarakat
Dalam daur hidrologi, antara hulu dan hilir terdapat keterkaitan biofisik. Artinya jika
terjadi perubahan lanskap (perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi non hutan antara lain
yakni perkebuanan) di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di daerah hulu
saja, tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan muatan sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran
airnya. Misalnya, terbentuknya lahan-lahan kritis karena erosi yang terjadi di daerah hulu
akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air atau
akibat aktifitas lainnya (pembangunan jalan, pembukaan daerah tambang, dll) yang tidak
direncanakan dengan baik, juga memberikan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk
penurunan kapasitas tampung waduk dan atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi
yang pada gilirannya dapat meningkatkan resiko banjir, menurunkan luas lahan irigasi atau
bahkan menggangu jalannya operasi turbin PLTA.
Besarnya luasan okupasi kawasan lindung oleh masyarakat tersebut, maka
dibutuhkan suatu perencanaan dan evaluasi yang logis dalam pengelolaan kawasan hutan
berbasis DAS serta penataan wilayah APL yang efektif dalam pengaturan tata air daerah
tangkupan. Oleh sebab itu, kajian tentang pengelolaan DAS dengan kondisi tapak yang telah
banyak terokupasi dan terbentuk lahan kritis harus terfokus pada hubungan antara efektifitas
vegetasi dalam mengatur tata air. Dan bila kita berbicara tentang hubungan vegetasi dan tata
air, maka masih merupakan wilayah kajian dan perdebatan di antara para ahli, terutama ahli
hidrologi dan kehutanan.
23
Walaupun demikian, ada satu benang merah yang bisa dijadikan pedoman, yaitu
penataan ruang dan ketetapan hukum kawasan hutan yang telah disahkan oleh pemerintah.
Oleh sebab itu, dengan asumsi bahwa penetapan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi
yang terdapat di wilayah hulu DAS Musi Hulu – Lemau oleh pemerintah “sudah ideal” bila
ditinjau dari fungsinya, maka hanya ada satu jawaban untuk pengelolaan DAS pada areal
hutan yang telah terokupasi dan APL yaitu rehabilitasi hutan dan lahan. Artinya, luasan areal
yang telah beralih fungsi dari tata guna lahan berhutan ke tata guna lainnya, harus
dikembalikan menjadi hutan kembali serta penataan APL yang efektif mengkonservasi tanah
dan air.. Pada konteks ini maka program rehabilitasi kawasan hutan dan lahan mutlak
diperlukan.
Dalam konteks sustainabilitas fungsi wilayah Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah
tangkupan air PLTA Musi, lahan pertanian produktif, pemukiman penduduk, dan kegiatan
perekonomian masyarakat. Dengan demikian, ekosistem DAS hulu ini merupakan bagian
terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan ditinjau dari segi fungsi tata air. Oleh
karena itu, daerah tangkupan air ini lebih menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS
mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka diperlukan suatu perlakuan tertentu pada
kawasan hutan agar fungsinya dapat terjaga secara lestari, demikian pula pada kawasan
lindung non hutan dan kawasan budidaya. Perlakuan yang diberikan dapat tertuang melalui
program-program yang tepat sasaran, melibatkan masayarakat secara luas, layak dilaksanakan,
dan menjamin keberlangsungan fungsi kawasan dalam mengatur tata air, lingkungan dan nilai
ekonomi wilayah. Program-program di sektor kehutanan yang mungkin untuk dilaksanakan
adalah rehabilitasi kawasan hutan dan lahan berbasis tingkat kekritisan lahan. Bila kita
berbicara tentang rehabilitasi kawasan hutan, telah banyak program-program pemerintah yang
dilaksanakan. Akan tetapi, hasil yang dicapai jauh dari optimal.
24
V. KESIMPULAN
Kondisi wilayah Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah tangkupan air PLTA Musi
relatif baik dan sebagian besar wilayahnya termasuk kategori tingkat bahaya erosi sangat
rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Akan tetapi, akibat alih guna lahan hutan menjadi
lahan perkebunan kopi dan hortikultura serta praktek kultur teknis tradisional di areal
budidaya (APL) berakibat terjadinya degradasi lahan secara berlahan sehingga terbentuk
lahan-lahan kritis. Wilayah Sub DAS Musi Hulu berada dalam keadaan baik seluas 31448,37
Ha (52,09%). Sedangkan sebagiannya lagi merupakan lahan agak kritis seluas 20332,61 Ha
(33,68%), lahan kritis seluas 5125,60 Ha (8,49), dan lahan sangat kritis seluas 570,33 Ha (0,94%).
Untuk perbaiakan dan pemulihan lahan kritis tersebut secara vegetatif, di luar kawasan hutan
dilakukan dengan penanaman secara total pada lahan yang terlantar, lahan kosong, penerapan
pola agroforestri dan hutan rakyat, dan pengkayaan tanaman pada lahan-lahan yang menurut
pertimbangan teknis maupun sosial-ekonomis masih perlu diperkaya dengan tanaman tahunan.
Sedangkan di dalam kawasan hutan dilakukan reboisasi penanaman intensif atau pengkayaan
rendah.
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Kerangka Kerja (Framework) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Anonim. 2009. Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL- DAS). Peraturan Menteri Kehutanan RI. Nomor: P.32/MENHUT-II/2009.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Bapedalda, 2006. Laporan : Identifikasi Dan Inventarisasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Di Provinsi Bengkulu (Kota Bengkulu, Kab. Kepahiang, Kab. Rejang Lebong, Kab. Lebong). Bengkulu
Hidayat, MF. 2009. Upaya menuju pengelolaan terpadu DAS Musi Hulu–Lemau. Makalah pada Seminar Nasional Pembentukan Forum DAS Lau Renun Kabupaten Dairi. Univ. Sumatera Utara. Medan 1-3 Desember 2009.
Hindarto, KS., MF. Hidayat, E. Suharto. 2009. Grand Design RHL catchment area PLTA Musi. (Tidak dipublikasikan).
Narulita, I., A. Rahmat dan R. Maria. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Menentukan Daerah Prioritas Rehabilitasi di Cekungan Bandung. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 18(1): 23-35
Setianto, J., MF Hidayat, KS Hindarto, BS Priyono, B Sulistyo, Yunilisiah. 2007. Kajian Potensi Wilayah Sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) PLTA Musi. (Tidak dipublikasikan)
Suharto, E. 2003a. Agroforestry Sebagai Solusi Pembangunan Perhutanan Rakyat Berkelanjutan Pada Tanah Ultisol dan Latosol Bengkulu. Dalam Makalah Seminar Pembangunan Hutan Tanaman Terhadap Lingkungan dan Kesejatraan Masyarakat Pada Temu Lapang dan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian UPT Badan Litbang Kehutanan Wilayah Sumatera, Palembang.
Suharto, E., KS. Hindarto, KS., MF. Hidayat. 2009b,. Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi Hulu – Lemau Berbasis Karakteristik Biogeofisik dan Lingkungan Untuk Optimalisasi Pemanfaatan dan Kelestarian Sumber Daya Lahan. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Universitas Bengkulu 2009. (Tidak dipublikasikan).
Suharto, E., KS. Hindarto, KS., MF. Hidayat. 2010c. Desain rehabilitasi hutan dan lahan di daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau berdasarkan tingkat kekritisan daerah resapan dan kekeritisan lahan: upaya pelestarian fungsi ekohidrologi dan pemberdayaan
26
masyarakat. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Universitas Bengkulu 2010. (Tidak dipublikasikan).
Wirosoedarmo, R., B. Rahadi dan DA. Sasmito. 2007. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) pada penentuan lahan kritis di wilayah Sub DAS Lesti Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus 3: 452 – 456.