tetirah di rumah buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku....

11
Tetirah di Rumah Buku (untuk Ratna Indraswari Ibrahim) A Elwiq Pr Prolog Beberapa kali Boen bilang ingin sekali ke rumah buku dan agaknya sampai hari ini belum terlaksana. Lama sekali dari harapan yang sudah Boen sampaikan sejak saya dan Eril, mbakyu saya menempatinya pada 17 Agustus 2005. Pagi ini, usai memetiki melati, keinginan menuliskan ini kian kuat untuk bisa sedikit memenuhi rasa ingin tahumu. Bila tidak setepat kesan yang menjelma kelak saat datang, ya mohon maaf. Saya hanya ingin melukiskannya untukmu. Wajah Rumah Buku Rumah ini ditempati keluarga Hattamoen, orangtua Pak Syamsul Hadi, bapak saya sekitar awal tahun 50-an. Usai Clash II. Sejarah mencatat PD II tahun 1947 sebagai pengingat kepindahan mbah kakung sekeluarga dari rumah loji di Krebet, Bululawang, Malang ke Turen. Mbah kakung Hattamoen seorang kleermaker andal. Khusus menjahit jas dan pantalon. Saya tidak sedang menceritakan itu, Boen. Tapi tentang rumah tinggalnya. Oya, rumah buku ini pun tersebut sebagai rumah buku Kleermaker. Arsitektur asli, muka rumah bukan bagian dari ruangan utama. Sebagaimana rumah- rumah yang didirikan pada tahun belasan abad 20, paling depan adalah teras dengan tembok setinggi satu meteran. Tembok rendah tempat pot-pot tanaman hias bisa diletakkan. Bisa kujumpai kini meski sudah tertimbun tanah. Oya, pohon blimbing di depan rumah bagian dari halaman rumah, dan sekarang sudah jadi trotoar, ditanam sejak rumah ini jauh sebelum berpindah ke tangan mbah Hattamoen. Halaman depan rumah yang asri dengan bunga belimbing kecil-kecil kombinasi warna merah dan putih. Kini fisik rumah mungkin setengah meter dari permukaan jalan raya. Mudah-mudahan masih bisa bertahan untuk beberapa dekade ke depan. Toh, bangunan-bangunan lama di tepi sungai-sungai di Amsterdam masih bisa dipertahankan sebagai mana adanya, lebih rendah bukan hanya dari jalan, bahkan dari kanal-kanalnya. Zaman saya kecil, pintu dan jendela ya semacam itu tapi bukan membingkai kaca. Dulu, jaring-jaring kawat. Tanpa kunci. Tinggal di Turen tak memerlukan kunci pada masa itu, meski tinggal di pinggir jalan besar sekalipun. Sekitar pertengahan 80-an, jaring-jaring kawat berbentuk belah ketupat itu diganti kaca. Sedang untuk jendela kaca berikut jendela kayu berjalusi itu adalah jendela asli yang

Upload: others

Post on 15-Oct-2020

19 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

Tetirah di Rumah Buku(untuk Ratna Indraswari Ibrahim)

A Elwiq Pr

PrologBeberapa kali Boen bilang ingin sekali ke rumah buku dan agaknya sampai hari ini belum terlaksana. Lama sekali dari harapan yang sudah Boen sampaikan sejak saya dan Eril, mbakyu saya menempatinya pada 17 Agustus 2005. Pagi ini, usai memetiki melati, keinginan menuliskan ini kian kuat untuk bisa sedikit memenuhi rasa ingin tahumu. Bila tidak setepat kesan yang menjelma kelak saat datang, ya mohon maaf. Saya hanya ingin melukiskannya untukmu.

Wajah Rumah BukuRumah ini ditempati keluarga Hattamoen,orangtua Pak Syamsul Hadi, bapak sayasekitar awal tahun 50-an. Usai Clash II.Sejarah mencatat PD II tahun 1947 sebagaipengingat kepindahan mbah kakungsekeluarga dari rumah loji di Krebet,Bululawang, Malang ke Turen.

Mbah kakung Hattamoen seorang kleermakerandal. Khusus menjahit jas dan pantalon.Saya tidak sedang menceritakan itu, Boen.Tapi tentang rumah tinggalnya. Oya, rumahbuku ini pun tersebut sebagai rumah bukuKleermaker.

Arsitektur asli, muka rumah bukan bagian dari ruangan utama. Sebagaimana rumah-rumah yang didirikan pada tahun belasan abad 20, paling depan adalah teras dengan tembok setinggi satu meteran. Tembok rendah tempat pot-pot tanaman hias bisa diletakkan. Bisa kujumpai kini meski sudah tertimbun tanah. Oya, pohon blimbing di depan rumah bagian dari halaman rumah, dan sekarang sudah jadi trotoar, ditanam sejak rumah ini jauh sebelum berpindah ke tangan mbah Hattamoen. Halaman depan rumah yang asri dengan bunga belimbing kecil-kecil kombinasi warna merah dan putih.

Kini fisik rumah mungkin setengah meter dari permukaan jalan raya. Mudah-mudahan masih bisa bertahan untuk beberapa dekade ke depan. Toh, bangunan-bangunan lama di tepi sungai-sungai di Amsterdam masih bisa dipertahankan sebagai mana adanya, lebih rendah bukan hanya dari jalan, bahkan dari kanal-kanalnya.

Zaman saya kecil, pintu dan jendela ya semacam itu tapi bukan membingkai kaca. Dulu,jaring-jaring kawat. Tanpa kunci. Tinggal di Turen tak memerlukan kunci pada masa itu, meski tinggal di pinggir jalan besar sekalipun.

Sekitar pertengahan 80-an, jaring-jaring kawat berbentuk belah ketupat itu diganti kaca. Sedang untuk jendela kaca berikut jendela kayu berjalusi itu adalah jendela asli yang

Page 2: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

dipindah Mbah kakung ke bagian depan sedang ruang teras memanjang itu dibagi dua. Satu ruang masuk tetap digunakan sebagai ruang tamu dan ruang satu lagi, sebagai ruang salat keluarga. Ketika sebuah rumah zaman itu belum punya ruang sembayang, Mbah Kakung menciptakan ruang kontemplasi ini. Di ukuran zamannya, Mbah kakung meski tidak tergolong kaya, hidupnya tertib. Sarat agenda pribadi, menghayati merdeka dari dasar hati.

Pondasi kisah nyaris lupa, rumah buku ada di Jalan Raya 87 Turen. Paling selatan sebelum masuk desa Sedayu. Rumah loji pada zaman pabrik tapioka masih jaya, pada masa kolonial. Sekarang, sebagaimana jalan-jalan di seluruh tempat di Indonesia diseragamkan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Jalan Panglima Sudirman 198 Turen, kemudian hari beralamat. Bila jalan Sudirman di Jakarta begitu berwibawa meski tak luput dari banjir, di Turen pun jalan Panglima Sudirman termasuk bonafide. Nggak kalah bonafide dengan Jalan Diponegoro lah, Boen. Willemstraat-mu. Apalagi di sebelah rumah buku tersisa lahan hijau yang kini ditanami melati. Hari gini kayak orang ‘kenthel’ nggak butuh uang. Kok bisa-bisanya nggak dijadikan tempat usaha? Saya sendiri tak tahu, takdir tanah itu kok masih diizinkan bernafas sebagaimana kodrat sebidang tanah tegalan. Melati? Nggak logis sekaligus nggak komersil. Berapa kali aku harus menjawabi wawancara juragan tebu dll yang menyadarkanku untuk menanami tanaman yang lebih berguna. Tepatnya lebih komersil.

Sombongnya saya ya Boen? Bagi saya terpenting menjaga amanah sepupu-sepupu saja agar tanah itu sehat, terawat dan sebagaimana zaman suwargi mbah kami masih ada, masih bisa kami nikmati bila kami diberi umur untuk berkumpul di rumah buku.

Ruang Baca AnakNah, mari masuk Boen. Mungkin kita butuh dua tenaga pria perkasa untuk mengangkat kursi roda Boen turun melewati pintu depan.Kalau adanya perempuan, kita butuh empatorang relawan perempuan. Siap? Ya dari sekian lama saya mengikuti jejakmu, pria-pria baik hati selalu ada ketika kita membutuhkan mereka bukan? Boen memang terlahir menjadi seorang serupa Sudirman itu, ke mana-mana ditandu. Dan penandunya bahkan pria-pria terhormat yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan

kebijaksanaan itu sendiri.

Anggaplah di rumah anak sendiri. Boen pernah bilang, “aku akan sungkan ke rumah anak laki-laki karena aku akan jadi tamu di rumah itu. Istrinya belum tentu suka hati mendapati kerewelanku. Kalau aku ke rumah anak perempuan, kurasa aku akan nyaman, kalau perlu apa-apa tinggal perintah!” Pernah bilang begitu kan? Ketawamu berderai-derai, Boen. Meski tidak semua anak perempuan rajin dan tak semua anak laki-laki tak mau membantumu ya kan?

Rumah ini semacam anugerah. Tak menyangka Eril dan saya bisa kembali menyatu dengan rumah yang saya pikir akan tamat riwayatnya ketika ia beberapa tahun

Page 3: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

disewakan. Saya nyaris putus harapan dan saya juga tidak menyalahkan bila suatu ketika kaum kerabat kami menyarankan untuk menjualnya saja. Sama sekali tidak keliru.Tapi nasib baik itu datang juga. Selaras dengan tumbuh kembang akalbudi, jalan membentang untuk sesegera membujuk sang penyewa segera pindah terlaksana sudah. Kami perbaiki dari hasil ngamen bikin pertunjukkan Rembrandt, Boen. Lihat, nyenthel juga, Boen. Sekarang bisa kita nikmati sama-sama meski belum benar-benar layak. Anggap rumah ini tumbuh bersama manusia-manusia yang hadir di dalamnya. Dalam tahap hidup rumah buku sekarang, menjadinya benar-benar membahagiakan, Boen.

Bila lihat foto di atas? Sebelah kiri gambar nampak dua topeng khas Malang. Itu topeng tokoh nukilan dalam epos topeng Malang Panji. Ketika kelas 4 SD saya mewakili Turen menari di Pekan Olah Raga dan Seni se-Kabupaten Malang, Boen. Tari Bapang. Ya, itulah topeng saya. Saya lupa satu lagi punya siapa ndak diurusi maka atas jasa Ibu, topeng dari kertas itu masih bisa kita nikmati sekarang. Bukan dari bahan kayu Boen. Cukup membantu kami ketika menari memahami kesulitan menari dengan menggunakan topeng, tidak seberat menggunakan topeng sungguhan dari kayu dan biasanya sudah diberi “isi” oleh pawangnya seperti topengnya mbah Karimun.

Dari acara nari-nari ketika SD, aku sempat bercita-cita ingin meneruskan sekolah di ASTI Jogyakarta. Jelas saja Ibu mencak-mencak. Mana ada sejarah keluarga mencatat nenek-kakek buyut menjadi seorang penari, baik dari pihak Ibu maupun Bapak. Saya ciut seketika itu, meski rasa dan insting seni saya sudah tak mungkin saya tutup-tutupi lagi sejak saat itu. Belajar menari boleh tapi untuk menjadikannya sebagai profesi, nanti dulu, nduk.

Bahkan Turen pun harus mendatangkan guru tari dari Malang, yang konon cantriknya Pak Bagong Kusudiardjo, mas Yongki dan istrinya, namanya aku lupa tapi bila ketemu lagi saya yakin masih mengingat profilnya. Cukup lama ia menjadi cermin kami para penari cilik. Beliau menari berhadapan dengan kami, mas Yongki yang memberikan aba-aba dan kami meniru laksana bercermin. Sebuah metode yang menghidupkan kami. Jadi, kami ini ketika beberapa lama menari bersama mas Yongki, tidak lain sebagai “cucu” penari Bagong. Gor tempat menari kami namanya Sasana Karya, sekarang sudah beralih fungsi sebagai sarang burung walet. Itulah nasib Turen hari ini.

Diganti GOR besar sekali di pinggiran Turen. Suasananya nggak sesemarak zaman masih ada Sasana Karya, lebih mirip kuburan kecuali ada pertandingan bola Arema. Seni tari? Masih kok Boen, konon Bu Jumi’arah, adik pak Soleh Tumpang masih mengajar menari klasik tersebut, meski kesibukan sebagai penilik sekolah Turen tak bisa diabaikan dan dalam garis darah, saya rasa bu Jumi’ yang ayu itu masih memiliki kemampuan turunan soal menari Topeng Malang-an. Betul Boen? Topeng Malang lebih tua dari Topeng Cirebon bahkan epos topeng Thailand? Saya akan ikut merasa bersalahbila tak mengenali keberadaan seni tari tradisi ini bila memang sudah sedemikian mengakar kuat dan lama sebagai bagian dari cerita desa saya.

Buku-buku anak yang ada di sini, kebanyakan hasil sumbangan. Begitu saja buku-buku itu disampaikan untuk mengisi rumah buku. Beberapa kami beli tapi nggak memaksakandiri. Sedapatnya saja, mana menurut kami bagus dan perlu. Termasuk mainan dan bahkan lukisan anak yang menghiasi ruangan ini. Semuanya adalah benar-benar dari anak-anak. Tamu anak-anak? Ada. Ada 3 cucu tetangga, 3 kerabat, dan 3 murid Eril,

Page 4: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

juga 3 anak dari orangtua yang secaraajeg membantu kami mengurusi urusandomestik. Memang sebagaimana yangsaya angankan tentang ruangan yangsaya persembahkan untuk anak. Bahwamereka harus berada di paling depan.Kalau perlu yang teristimewa untukmereka, agar benar-benar bisamerasakan betapa menyenangkanberteman buku-buku (bermutu).

Riwayat rak buku itu lucu. Ia dibikin saatkamar saya di rumah orangtua di JalanTendean sudah tidak memungkinkan lagi tambah perabotan untuk menaruh buku. Maka dibikinlah rak gantung di atas dipan yang panjangnya tidak lebih dari satu meter saja. Ya, setelah mulai tinggal di rumah buku, saya merasa sedikit dimanja dengan tempat tidur besi, yang jauh lebih lapang, Boen. Maka nasib sang rak buku gantung naik pamor.Diberi kaki berupa plastik penyangga sofa maka jadilah rak buku yang sangat mudah dijangkau anak-anak. Sepertinya kecil tapi ia muat banyak buku.

Ruang Pertemuan

Boen, sekarang kita melewati pintu utama. Suwargi Mbah berdua masih hidup, pintu inilah nyawa rumah. Kita akan memasuki areal di mana semua kegiatan keduanya berlangsung.

Membaca bagi keduanya bukan barang mahal. Mendengarkan radio internasional dari berbagai negara dengan jadwal siar yang sudah mereka hafal, menonton “Dunia Dalam Berita” TVRI, mengetik, membaca, hingga ritual Mbah kakung melinting rokok. Mbah putri disampingnya niscaya meminta tembakau sedikit untuk beliau usap-usap di sela-sela jari kaki. Mungkin untuk mencegah kena kutu air, tapi kupikir-pikir sekarang semacam kebiasaan nagih yang memang menjadi aroma khas rumah masa itu. Mbah putri tentu saja tidak merokok, tapi bau tembakau yang melekat padanya rasa-rasanya sehidup semati.

Bila menghadap barat, maka kita akan melihat ruang baca anak-anak. Rumah buku menghadap barat.

Page 5: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

Lihat gambar di samping ini Boen. Inilah suasanapetang hari yang paling kusukai ketika berada dirumah buku. Baru kutemukan meski sudah sejakkecil aku mengenal rumah ini. Aku bisa tahanmemandangi suasana ini hingga sore dan senjamenjelang. Boen kusarankan untuk menikmatirumah buku dalam suasana semacam ini.

Berkas-berkas cahaya matahari menjelangberpamitan, menawan.

Saat kita geser kursi rodamu, Boen. Mari sekarang kita menghadap utara, Boen akan lihat pintu menuju ruang sembayang. Sekarang kami kembalikan fungsinya, ditambah dengan rak bukuyang kelak mudah-mudahan bisa dimanfaatkan oleh selain aku. Juga koleksi poster yang menjadisaksi perjalanan kerja kepenulisan saya juga, Boen. Iya, di ruangan itu.

Oya, dua tempat duduk itu menjadi tempat dudukfavoritku untuk membaca.

Boen, gambar di halaman berikutnya, sudah lihat? Itu pintu menuju kamar kerja dan istirahatku. Saya mengimajinasikan kamar Boen saat menatanya. Nggak persis amat tapi sudah mendekati saja sudah bikin saya senyum-senyum sendiri. Bisa meniru kefasihanmu bercerita bisa nanti-nanti, sedikitnya meniru kamarmu. Ia ada di depan ruang sembayang. Itu juga ada mesin jahit. Pakai saja kalau mau pakai. Sudah, nggak usah geleng-geleng begitu kalau alasanmu cuma males.

Di setiap sisi dinding, tersemat kisah sebagai bagian dari rumah buku. Bila saya kisahkan di sini, Boen tak akan lagi ingin datang ke sini. Nanti kita nggak akan punya topik untuk kita bicarakan. Ah, nggak mungkin juga sih kita kehabisan pembicaraan. Hanya rasanya akan jadi cerita yang terlalu panjang.

Musim hujan, saya bisa melihat hujan darijendela itu sambil menulis.

Sedang musim kemarau begini. Setiap pagi sinarmatahari menyinari ruang kerja dengan gegapgempita. Memainkan bayang-bayang daun yangmenjuntai di depan jendela, menembus kaca,menumbuk tembok. Menari-nari dan membuatrumah buku serasa sarat perbincangan dengancahaya.

Setiap pagi! Tak bosan saya mendengarkan bayang-bayang yang bergoyang. Tidak selalu mengabarkan kegembiraan tapi setidaknya di sinilah saya menjadi tahu saripati menulis dan membaca. Sambil mendengarkan suara mas Andrea Bocelli? Boleh juga.

Page 6: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

Boen ingat ketika di Negara-Bali awal tahun 2003, kita mendengarkan lagu-lagu Andrea Bocelli jauh hari sebelum ia terlalu diminati di Indonesia?

Beberapa tahun kemudian Agus Noor menulis cerpen bertema salah satu lagu pelantun dari Tuscany ini. Ia penguping yang baik ya Boen. Dimuat Kompas. Kurasa, sebagai kawan sepenginapan kita, dia ketika itu terganggu dengan kegaduhan kamar kita. Ini saya mengarang, Boen. Bisa jadi Agus Noor memang sudah menyukainya lama.

Belum lelah Boen? Istirahat dulu? Oke. Sambil menikmati secangkir kopi ya, kuteruskan cerita ini.

Sekarang kita menghadap arah selatan. Gambar di samping ini akan menunjukkan kamar yang kini dihuni Eril. Dulu kamar Mbah putri, oya, Mbah kakung istirahat di kamar yang sekarang saya gunakan. Pun beliau meninggal dengan tenang di situ. Sakaratul maut hanya didampingi istrinya ketika menjelang subuh. Pasangan ini memang tipikal manusia penyendiri, tak suka keramaian. Berdua meninggal di atas tempat tidur dalam waktu yang berbeda dengan suasana yang saya rasa serupa.

Tentang kamar terpisah, sempat juga sekarang saya pikir sebagai bagian dari memilih takdir dengan memiliki dua anak, perempuan dan laki-laki. Berikut satu anak angkat yang keluarga ini kasihi.

Di belakang kamar ini ada sepen kecil. Dulu tempat sepeda Mbah kakung yang beliau gunakan ke pasar berjualan kain batik dan sarung, kutbah Jumat dan entah urusan organisasi yang tidak jauh-jauh dari Turen saja. Iya, setelah merasa sudah semakin lamban menjahit, mbah kakung memilih berjualan di pasar, sekaligus bisa bertemu dengan banyak orang di pasar. Dan orasi, saya sekarang membayangkan, semacam itu yang dilakukan Socrates.

Bila ke Malang, ya, naik kendaraan umum. Sekarang sepen itu untuk menyimpan sepeda saya. Saya meneruskan derak-derak roda kehidupan di rumah ini. Meski tidak berangkat untuk kotbah tapi setidaknya pekerjaan saya tak jauh-jauh dari Mbah kakung lakukan dulu, menulis. Sepeda itu mengantar saya ke kantor pos, bank dll, di sekitar Turen. Modal nafas panjang dan niat. Tak perlu bahan bakar menyedot mineral bumi segala.

Ya Boen, gambar di samping itu mesin tik yang Mbah kakung gunakan dan beberapa buku yang masih tersisa.

Page 7: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

Saya tahu, belum banyak yang saya lakukanmelebihi apa yang telah beliau lakukan untukmasyarakat di sekitar kami. Saya masih sibuksendiri, memikirkan diri sendiri. Bukan sayatutup mata juga, memang tidak mudahmenjadi penerus tapi lebih tidak mudah lagibila kita tak mampu memahami ada amanahyang sudah disematkan lama. Jauh masasebelum saya terlahir ke dunia. Kewajibansaya adalah menemukannya. Meski susahsungguh.

Boen, Boen boleh pilih pingin rebahan di kamar utara atau selatan. Kalau saya manusia selatan, Boen. Itu jelas.

Selasar Baik Boen, sekarang kita berdiri di ujung tangga. Lebih baik, kita minta tolong sekali lagi untuk menurunkan Boen. Terlalu riskan untuk menggeret mundur atau malah maju. Serem.

Sebelum turun, Boen bisa lihat di sisi kiri itu adakamar lagi dengan jendela kecil. Dulu, itu kamar Mbah buyut. Ibunya Mbah putri. Beliau memiliki dua anak pula. Kangmasnya Mbah putri dan Mbah putri. Wanita itu seorang ahli jamu. Beliau yang punya keturunan dari seberang. Kulitnya terang dan menurut Bapak,

dia cantik. Tampak terpisah dari rumah utama ya? Sejatinya tidak demikian. Suatu saat nanti kami bisa merenovasi rumah buku, konsep sekat ruangan antara rumah utama dan doorlop atau selasar, ingin saya pertahankan. Ruang di belakang itu sangat nyamanuntuk menjadi ruang yoga dengan mendengarkan gemericik air di belakang rumah. Itupun bila sungainya masih hidup beberapa tahun ke depan. Yah, saya harap sih masih.

Di samping kiri kamar, sesuai foto di atas, tembok tinggi berpintu menuju kebun. Dan bangunan sebelah kanannya berfungsi penting, dapur dan kamar mandi. Di depan kamar mandi ada sumur. Konsep rumah-rumah jaman dulu. Rumah ini masih dan selalu mengingatkan saya pada konsep rumah Bung Hatta dipengasingan Banda Naira, Maluku. Ada ruang terbuka di belakang rumah yang cukup private nilainya. Tempat asik untuk menikmati bintang dan memandangi bulan ketika malam datang.

Dapur dan Kamar Mandi

Boen, dalam gambar selanjutnya kutunjukkan di mana ruangan yang pintunya tampak ketika kita berdiri di depan pintu utama tadi, sebagai dapur. Memang tak cukup pantas disebut demikian. Tapi bagi saya, ia adalah bagian dari hidup saya. Saya bangga sebagai perempuan memiliki dapur sendiri. Tanpa berbagi kekuasaan dengan pembantu

Page 8: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

rumahtangga. Kompor minyak itu Boen, terbeli tengah tahun 90-an. Ketika saya masihmahasiswa, diberi sejumlah uang kakak saya,Elwin yang ketika itu kariernya sebagai seorang yang berkecimpung di bidang maintainance di maskapai penerbangan, mulai mantab. Sejumlah uang cukup besar untuk ukuran mahasiswa ketika itu. Bisa untuk sangu ke Bandung acara perkumpulan anak Hukum se-Asia Tenggara. Masih ada kembaliannya pula, maka aku berinisiatif beli

kompor baru di kost-kostan. Seharga 20.000 rupiah. Takpelak jadi bahan celaan. Mengapa membeli komporsemahal itu? Harga menunjukkan mutu. Sampai hari inilebih dari 10 tahun masih bisa kami gunakan dan terpenting,hemat bahan bakar. Tidakkah lebih efisien kompor gas?Betul. Nanti-nanti kita menggantinya. Coba lihat pantat alat-alat masak itu, Boen, dapat dipastikan mana yang seringkugunakan.

Dari dapur kita tengok kamar mandi. Maaf sebelumnya.Sangat tidak memenuhi syarat untuk bisa Boen gunakan.Tapi cukup bersih Boen, aku menjaganya meski di sana-sinimudah sekali tumbuh lumut. Maklum, kamar mandi lama.Inilah yang menjadi prioritas pemugaran sejatinya sebelummenyelamatkan yang lain-lain. Ketika awal kali aku masuk rumah ini, kusimpan dokumen gambar yang menakutkan dan tak perlu saya tunjukkan di sini. Yang ini, jauh lebih baik. Pintu lamapun sudah diganti.

Dan itu, posternya nakal ya? Saya sengaja memanjangnya di situ. Poster kreatif gambar orang pipis dari Kedai Buku Sinau-nya Widhy Muttaqien.

Nah sekarang kita kembali ke titik selasar depan dapur. Kita bisa menyaksikan tanggatak seberapa tinggi tapi cukup menyusahkanmu Boen.

Di tangga itu sebagai pusat bermain. Dulu tampak tinggi, sekarang tentu saja tidak lagi.

Boen, lihat sepatu boot karet? Itu sepatu kerjaku di kebun. Masa puasa begini, usai turun salat subuh, saya turun ke kebun, paling cepet masuk rumah pk 7, paling siang pulang 9 pagi.

Page 9: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

Suatu hari Widhy berkunjung ke sini, kepikiran, andaikan rumah ini diadakan pertunjukkan musik jazz dengan mengundang penikmat tak banyak, akan sangat indah. Akustiknya sangat memungkinkan. Saya tidak terlalu percaya dia bisa membayangkan

hal itu, tapi saya tahu, dia mengatakan bukan tanpa dasar. Suatu hari bisa sih diwujudkan. Bahkan keponakannya Sawung Jabo, siapa itu Boen, yang jago melukis itu? Dia sempat ingin suatu hari mengadakan pameran tunggalnya di sini. Raut wajahnya pendiam dan perasa. Sempat takjub menyaksikan perempuan yang dulu menemani saya di sini, Putikah, ketika dia keluar dari kamar mandi bebatan kain panjang batik dan menggelung rambutnya yang sepinggul dengan sederhana. Tentu saja Putikah kaget, sebab ini tamu kok nyelonong ke belakang-belakang, dan dasar tamunya seniman, malah memandangi dengan tanpa merasa berdosa. Aku tak mau membaca isi otaknya, berprasangka baik saja lah.

Ya Boen, saya sekarang saya senang di rumah buku. Sebagaimana usulmu dulu bukan? Untuk apa ada orang lain, toh saya apa-apa bisa mengerjakan sendiri. Putikah sudah lama mengundurkan diri. Saya memenuh-hidupi rumah buku dengan segala yang saya sesuaikan dengan kebutuhan terdasar, menyesuaikan diri dengan aktivitas kerja di rumah. Sudah tidak muncul lagi ular sawah tapi kodok dan tokek masih suka datang. Tak setegang dulu sih ketika berhadap-hadapan dengan mereka. Mereka juga agaknya sudah melihat saya. Kadang-kadang malah tak menggubris. Sialan, dianggap kawan saja saya ini.

Sekarang Boen ingin lihat apa lagi? Dalamnya ruang salat?

Ruang Salat dan Buku

Buku-buku itu ada sejak saya berproses bersamamu. Rekomendasimu sudah menghunidi situ. Buku-buku yang tak terasa menjadi bagian dari hidup dan pikiran saya beberapa tahun belakangan. Semuanya hidup. Enersi mereka melesat-lesat mengeliling saya dan menjadi bagian dari apa yang kemudian hari saya tuangkan sebagai karya.

Ada beberapa jilidan majalah lama yang diberi oleh mbakyu ibu saya yang tinggal di Probolinggo. Beliau saudara Ibu yang paling pendiam, selain Pakde Kan yang tinggal di Bandung. Selebihnya adik ibu, Boen faham, termasuk teman kuliahmu itu. Bude Tut menggandeng saya, ia minta saya mengambil apa saja sesukanya dari rak buku beliau. Beliau semasa masih produktif menjadi seorang bidan yang kukira bukan hanya mengerti soal perempuan dan bayi tapi soal kejiwaan, agaknya berbekal ilmu cukup. Saya tentu saja tidak senang-senang amat mendapat kesempatan semacam itu. Maka saya ambil yang cukup mewakili sebuah kumpulan berita pada sebuah zaman yang kini menjadi bagian dari rumah buku. Begitulah Boen, beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.

Lah, awal tahun 2008, hal serupa saya alami. Bude saya yang wong Palembang, istri Pakde Kan almarhum, membuka almarinya. Saya diminta memilih baju-baju kurungnya dan tentu saja berikut kerudung. Yang mana saja untuk kelak saya kenakan. Yang ini, terus terang saya merasa terintimidasi, tapi sungguh, bukan saya tak ingin. Saya tahu

Page 10: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

maksud baik beliau dan menghargai sepenuh hati siapapun wanita berkerudung itu dan harapan-harapan indah yang beliau sematkan pada diri saya. Apalagi beliau adalah bude saya sendiri. Di Palembang? Masih, kerabatnya masih komplit di sana. Ayahnya Bupati atau semacam itu dulu, saya sempat membaca buku harian sang Bupati ketika masa remaja dari anak sulung Bude. Buku yang digunakan persis sebagaimana yang digunakan Mbah kakung. Di manapun mereka pada suatu zaman apakah hanya ada satu pabrik kertas yang memasok buku se-Indonesia? Kebiasaan menulis bagi orang Melayu dari kalangan tertentu agaknya bukan barang baru. Saya sempat memikirkan lama apa yang dilakukan Bude Tut dan kemudian diikuti Bude Noor.

Tak terasa sudah kian menuju sore, Boen. Lihatlah di luar.

Ini sebentar lagi warnanya akan menjadi jingga kemerahan, Boen.

Saya bisa lupa segalanya kalau sudah menulis saat-saat semacam ini. Dan lupa menyalakan lampu sampai suasana benar-benar telah lepas senja. Menuju malam.

Boen, bila dulu saya hanya bisa menulis tentang bulan, kini saya punya cukup referensi untuk menggambarkan matahari. Musim? Belum, aku belum menjumpai musim lain selain musim yang kita miliki. Saya pikir, mengapa seorang Utty Soestasno mampu menghidupkan sulamannya, sebab gagasan musimnya yang kaya mampu beliau usung dalam benang dan kain. Kemampuan sayamelukis dalam sulaman masih belum mampumengungguli beliau tapi ini soal waktu bukan?Ada titimangsa, begitu yang Boen sebut-sebut.Sebagaimana dulu tak bisa saya bayangkanbagaimana orang bisa menulis puluhanhalaman hingga ratusan bahkan ribuan.Menyertai kemungkinan-kemungkinan yangsaya jalani kini. Saya mengerti bagaimanarasanya orang bisa menulis tanpa kehabisannafas dalam kuantitas yang menakjubkan.

EpilogBoen, sudah dulu ya? Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan padamu ini menyenangkan hatimu. Hari ke-13 bulan Ramadhan, melampaui sepuluh hari pertama. Boen saya harap senantiasa sehat dan melaksanakan puasa semampunya saja.

Bila lelah menulis, di suasana gambar di bawah ini, saya berdiri dan memandangi siapa dan apa saja melintasi jalan. Kadang-kadang ya lengang tapi tak lama.

Di sini Boen, Boen kini tahu di dalam suasana itulah saya terkadang mengunjungi rumahdi jalan Diponegoro Malang, dalam batin. Memasuki ruang-ruang yang kau izinkan saya berada di dalamnya. Trimakasih banyak ya. Betapa rasa dekat itu bukan soal seberapa

Page 11: Tetirah di Rumah Buku - ziarahakalbudi.files.wordpress.com · yang menghargai dan menghormati buku. Dan engkau, Boen. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Anggaplah di

panjang masa kekawanan secara kasat itu ada, tapi seberapa kita mampu menghidupi dan memaknai.

Turen, September 2008