tetanus neonatus

15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali. Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada. Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian. Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan (neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.

Upload: aji-imaduddin

Post on 20-Jul-2016

79 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tetanus Neonatus

BAB IPENDAHULUAN

A.    Latar BelakangBayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus

ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali.Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir.

Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.

Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian. Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan (neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.Dengan tingginya kejadian kasus tetanus ini sangat diharapkan bagi seorang tenaga medis, terutama seorang bidan dapat memberikan pertolongan/tindakan pertama atau pelayanan asuhan kebidanan yang sesuai dengan kewenangan dalam menghadapi kasus tetanus neonatorum.

B.     Tujuan Penulisan

      Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini antara lain:Mengetahui dan meningkatkan wawasan mengenai konsep dan perawatan tetanus  neonatorum.Mengetahui anatomi dan fisiologi tali pusat.Mengetahui penyakit tetanus neonatorum

C.    Rumusan MasalahMengetahui lebih detail tentang Tetanus Neonatorum

BAB II

Page 2: Tetanus Neonatus

PEMBAHASAN

A.  KONSEP DASAR PENYAKIT1.    Pengertian

Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan.Tetanus Neonatorum adalah Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik

yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih (Ngastijah, 1997).

2.    Etiologi Penyebab tetanus adalah clostridium tetani yang infeksi biasanya terjadi melalui luka pada

tali pusat. Ini dapat terjadi karena pemotongan tali pusat tidak menggunakan alat-alat yang steril hanya memakai alat sederhana seperti bilah bambu atau pisau/ gunting yang tidak disteril dahulu. Dapat juga karena perawatan tali pusat yang menggunakan obat tradiasional seperti abu dan kapur sirih, daun-daunan dan sebagainya.

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang lahir dengan dukun peraji yang belum mengikuti penataran dari depkes.Dermatol yang dahulu dipakai sebagai obat pusar sekarang tidak dibenarkan lagi untuk di pakai karena ternyata pada dermatol dapat dihinggapi spora clostridium tetani. Massa inkubasi penyakit ini adalah 5-14 hari.

Pada umumnya tetanus neonatorum lebih cepat dan penyakit ini berlangsung lebih berat dari tetanus pada anak.

3.     PatofisiologisSpora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex

dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan

Efek Toxin pada :a.    Ganglion pra sumsum tulang belakang :

Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi eflexe dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada eflexe neuron motorik.

b.    Otak

Page 3: Tetanus Neonatus

Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.

c.    Saraf otonom Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan,

eflexeea, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.

4.    Manifestasi klinisGejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun

mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987).

Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.

Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

Gambaran Umum pada Tetanusa.    Trismus (lock-jaw, clench teeth)

Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak

b.    Dapat menetek.c.    Risus Sardonicus (Sardonic grin)

Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutupsudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.

d.    Opisthotonus Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.

Page 4: Tetanus Neonatus

e.      Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada eflexe) atau bronchopneumonia.

f.   Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.

g.   Pada tetanus yang berat akan terjadi :Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot

larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan eflexealvi atau retention urinae. Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.

5.  Komplikasi Dan Diagnosa bandinga.    Diagnosa

Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.

Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.b.    Diagnosa Banding

MeningitisMeningoenchepalitisEnchepalitisTetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemiaTrismus karena processefle

c.    KomplikasiBronkhopneumoniaAsfiksiaSepsis Neonatorum

6.    Pencegahan Dan Faktor resikoa.    Faktor resiko

Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka eflex tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman eflexee.

1.    Faktor Cara Pemotongan Tali PusatPenggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada

pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan perdarahan ibu.

Page 5: Tetanus Neonatus

2.    Faktor Cara Perawatan Tali PusatTata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara tingkat

pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika eflex tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi saja.

3.    Faktor Kebersihan Pelayanan PersalinanMerupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang

baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.

Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.

4.    Faktor Kekebalan Ibu HamilMerupakan eflex yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu

5.    Hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik 6.    infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat

mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).

b.    Pencegahan    Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak eflex resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan eflexe. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan eflexe tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.     Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan eflex risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.

7.    Penatalaksanaana. Medik

Page 6: Tetanus Neonatus

          Empat pokok dasar tata laksana efle : debridement, pemberian eflexee, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

1.   Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui eflex diberikan tambahan protein dan kalium.

2.   Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan eflex dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.

3.    ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.

4.     Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.

5.   Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.6.    Perhatikan jalan napas, eflexe, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

b.   KeperawatanPerawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan eflex tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk eflexee maupun spora dapat dihambat. Setelah eflex tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan eflex tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.

B. PROSES PENGKAJIANASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM

1.  Pengkajiana.      Identitasb.      Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.c.      Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang

Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.

Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan. Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung. Abdomen : Dinding perut seperti papan. Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.

Page 7: Tetanus Neonatus

Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.

c.     Pemeriksaan Persistem Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel. Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia. Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan. Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi Perkemihan : Produksi urine Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

2.  Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncula.    Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasib.    Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d eflex menghisap pada bayi tidak adekuat.

3. Intervensi    a.  Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi

   Intervensi :  Kaji frekuensi dan pola nafas  Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit.  Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara eflexe.  Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.  Beri rangsang taktil segera setelah apnea.  Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.  Beri O2 sesuai indikasi.  Beri obat-obatan sesuai indikasi. b. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d eflex menghisap pada bayi   tidak adekuat.

  Intervensi :  Kaji maturitas eflex berkenaan dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan batuk.  Auskultasi bising usus.  Kaji tanda-tanda hipoglikemia.  Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.  Beri nutrisi parenteral.  Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.  Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.c.    Hipertermi b/d infeksi tetanus

intervensi  Kaji suhu tubuh  Lakukan kompres hangat basah  Lakukan pemberian cairan yang adekuat  Kolaborasi dalam pemberian obat penurun suhu tubuh sesuai indikasi.

d.    ketidakefektifan pola nafas b/d kelelahan otot-otot respirasi . Intervensi:

Kaji frekuensi dan pola nafas

Page 8: Tetanus Neonatus

Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit. Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara kontinue. Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan. Beri rangsang taktil segera setelah apnea. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi. Beri O2 sesuai indikasi. Beri obat-obatan sesuai indikasi.

e.    Resiko injuri b/d aktivitas kejangIntervensi

pasang pengaman tempat tidur tempatkan anak pada tempst tidur atau pengalas yang lembut. hindari hal-hal yang dapat meningkatkan rangsangan kejang; suara, sinar yang terang, sentuhan-

sentuhan. anak harus diistirahatkan dan tempatkan pada ruangan yang khusus. Antisipasi prosedur-prosedur yang dapat merangsang untuk terjadinya kejang. Hindari benda-benda yang membahayakan. Pasang sudip lidah pada mulut bila kejang.f.     Tempatkan anak dengan posisi miring kesamping saat kejang untuk mencegah lidah jatuh

kebelakang yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.Intervensi:

Jangan menggunakan resttrain pada anak. Catat aktivitas kejang, frekuensi lamanya dan faktor pencetusnya. Pantau pernapasan selama kejang, buka baju yang dapat mengganggu saat kejang. Berikan anti kejang dan antibiotik sesuai program.

g.    Resiko kurangnya volume cairan b/d intake cairan kurang.Intervensi:

Kaji intake dan output Kaji tanda-tanda dehidrasi: ubun-ubun, membran mukosa, dan turgor kulit. Berikan dan pertahankan intake cairan oral dan parenteral sesuai indikasi Monitor berat jenis urin Pertahankan kepatenan NGT

h.    Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.Intervensi:

Kaji maturitas refleks sesuai dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan batuk. Auskultasi bising usus. Kaji tanda-tanda hipoglikemia. Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi. Beri nutrisi parenteral. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi. Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.

i.      Resiko aspirasi b/d meningkatnya sekresi

Page 9: Tetanus Neonatus

Intervensi Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh kebelakang menyumbat jalan napas Atur posisi bayi miring atau terlentang, bukan telungkup Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorokan dengan tisu atau penghisap dengan perlahan Ajarkan penatalaksaan kedaruratan obstruksi jalan napas dengan memukul punggung atau

dorongan dada( bayi ).

4.    Evaluasi KeperawatanEvaluasi semua tindakan yang telah anda berikan pada pasien. Jika dengan tindakan

yangdiberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih baik. Maka tindakan dapat dihentikan. Jikasebaliknya keadaan pasien menjadi lebih buruk, kemungkinan besar tindakan harus mengalamiperubahan atau perbaikan

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan           

Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 2010).            Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.

Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko.

B.SaranAdapun saran yang dapat diberikan adalah:

1.      Diharapkan kepada bagi mahasiswa/i dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya dengan masalah keperawatan tentang  penyakit tetanus neonatorum dan juga  dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.

2.      Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan penyakit tetanus neonatorum harus lebih memperhatikan dan tahu pada bagian-bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada bayi yang perlu di tekankan.

3.      Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan kepada bapak dan ibu atau keluarga dari anak tentang bahaya tetanus dan penyuluhan untuk melakukan persalinan dirumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, atau pelayanan kesehatan terhindar dari infeksi tetanus pada anaknya akibat penggunaan alat-alat yang tidak steril.

DAFTAR  PUSTAKA

Page 10: Tetanus Neonatus

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, JakartaMarilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, JakartaSantosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga, Surabaya.Dr.Sidhartani Zain. (1981), Ilmu Kesehatan  Anak Untuk Perawat, Ikip Semarang,  Semarang.Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.www.shvoong.comhttp://id.shvoong.com/http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/keperawatan-bayi-baru-lahir/www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=073…http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/Tetanus_Neonatorum.pdfhttp://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdfCarpenito, Lynda juall.2007 .Buuku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.Jakarta: EGC.Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan,Jakarta: EGC.Mansjoer, Arif.2000.Kapita Selekta Kedokteran.Jilid 2.Jakarta.Media AescupilasiusNgastiyah.1997.Perawatan Anak Sakit.Edisi2.Jakarta:EGC.Rampengan.T.H.2007.Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.Edisi.Jakarta:EGChttp://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2008/12/asuhan-keperawatan-pada-pasien-tetanus.html