tetanus

18
Tetanus Agung Haryanto 102010207 Pendahuluan Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, hal ini ditandai dengan meningkatnya tonus otot serta spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospasmin merupakan neurotoksin, yaitu suatu toksin protein yang kuat yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Imunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk, luka bakar, dan pada infeksi tali pusat. Terdapat beberapa bentuk klinis 1

Upload: nixonsinurat

Post on 27-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tetanus

TRANSCRIPT

Page 1: Tetanus

Tetanus

Agung Haryanto

102010207

Pendahuluan

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani, hal ini ditandai dengan meningkatnya tonus otot serta

spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik

spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospasmin merupakan neurotoksin, yaitu suatu

toksin protein yang kuat yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Imunisasi dengan

mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena

terpotong, tertusuk, luka bakar, dan pada infeksi tali pusat. Terdapat beberapa bentuk klinis

tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan

neurologis lokal.

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No telp: (021) 56942061, Fax: (021) 5631731

E-mail: [email protected]

Anamnesis

1

Page 2: Tetanus

Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian

pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari

anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.

Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan

pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien

yang profesional dan optimal.

Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:

1. Identitas pasien

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dahulu

4. Riwayat kesehatan keluarga

5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya

Dari hasil anamnesis pada skenario ini, di dapatkan pasien mengalami kejang, sulit

makan/menelan dan demam, serta diketahui bahwa telapak kaki kanan pasien tertusuk paku

12 hari yang lalu, namun tidak diobati.

Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik merupakan suatu tahap pemeriksaan awal yang dilakukan oleh dokter

atau petugas medis. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengetahui keadaan fisik pasien secara

umum, guna menegakan diagnosis awal penyakit yang diderita. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan tampak sakit sedang, dengan tekanan darah 130/80 mmHg, denyut jantung

88x/menit, frekuensi nafas 28x/menit dan suhu tubuh 38,80C, trismus. Selain itu juga

diketahui terdapat kekakuan wajah, leher dan anggota gerak, serta perut kaku seperti papan

dan telapak kaki kanan bengkak dengan kulit tegang kemerahan. Juga ditemukan luka tusuk

yang dalam dan bernanah pada telapak kaki kanan.

Pemeriksaan Penunjang

2

Page 3: Tetanus

Pemeriksaan penunjang merupakan suatu pemeriksaan lanjutan yang dilakukan setelah

didapatkan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang ini dilakukan guna memperkuat

kebenaran diagnosis awal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada tetanus :1

Kultur jaringan yang diambil dari sekret luka ditemukan adanya Clostridium tetani

Pemeriksaan leukosit yang kemungkinan mengalami peningkatan

Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pemeriksaan Elektromyogram, tidak diketemukan interval tenang yang pada keadaan

normal didapatkan setelah potensial aksi

Perubahan non spesifik pada elektrokardiogram, dikarenakan peningkatan jumlah

enzim otot

Diagnosis

1. Working Diagnosis

Tetanus

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan

oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Dari skenario

maka dapat diketahui diagnosis tetanus, yang didasarkan atas gejala klinis yang timbul.

Tetanus tidak mungkin terjadi apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang diberikan secara

lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Jadi dengan diberikannya vaksin

tetanus, resiko menderita tetanus menjadi lebih kecil. Untuk lebih menegakan diagnosis

tetanus maka bukan hanya dari hasil pemeriksaan fisik, melainkan dengan melakukan

beberapa pemeriksaan penunjang yang berhubungan dengan tetanus.

Kondisi-kondisi yang akan timbul sebagai respon tubuh tehadap tetanus meliputi

meningitis/ensefalitis, rabies, serta gangguang proses intraabdominal akut karena timbulnya

kekakuan pada bagian abdomen. Selain itu juga terjadi peningkatan tonus pada otot-otot

bagian sentral yang dapat menimbulkan kekakuan pada bagian wajah, leher, dada, punggung,

dan perut. Kondisi-kondisi yang timbut tersebut secara kuat menyokong diagnosa tetanus.1,2,3

2. Differential Diagnosis

Rabies

3

Page 4: Tetanus

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,

kejang bersifat klonik. 1

Meningitis bacterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan

cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat,kadar protein meningkat dan

glukosa menurun. 1

Epilepsy

Epilepsi dapat menyebabkan kejang, namun tidak ditemukan kekakuan otot diantara

kejang. Biasanya sudah ada riwayat serangan epilepsi sebelumnya.1

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, yaitu Clostridium tetani.2 Bakteri ini terdapat

di berbagai tempat, dan banyak terdapat di alam. Selain itu, bakteri ini juga diisolasi oleh

kotoran binatang peliharaan dan manusia.1,2 Clostridium tetani merupakan bakteri yang

berbentuk batang yang selalu bergerak serta merupakan bakteri anaerob obligat yang

menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan Clostridium tetani tidak berwarna, berbentuk

oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam.2 Spora ini dapat bertahan lama pada lingkungan

tertentu, mampu bertahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai

desinfektan dan pendidihan.

Setiap sel yang terinfeksi oleh bakteri ini, dapat dengan mudah diinaktivasi dan bersifat

sensitif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin, dan lainnya).1,2 Bakteri ini

dapat dikultur, namun hal tersebut jarang dilakukan, sebab efek yang ditimbulkan dari infeksi

bakteri ini dapat dilihat secara klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis

melalui eksotoksin yang kuat.

Spora yang dihasilkan oleh Clostridium tetani dapat hidup bertahun-tahun, dan jika spora

tersebut menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain

masuk ke tubuh penderita, maka spora itu akan mengeluarkan toksin yang bernama

tetanospasmin.1,2,3 Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali

plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Peranan toksin tetanus

dalam tubuh organisme belum diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya

4

Page 5: Tetanus

bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid.

Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimicrobial bakteri ini.

Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk

melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik (kurang steril), tetanus ini dikenal

dengan nama tetanus neonatorum.1

Epidemiologi

Tetanus pada umumnya menimpa individu non imun yaitu individu yang idak

mendapatkan vaksin, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh

namun tidak mempertahankan imunitasnya dengan vaksinasi ulangan.1 Tetanus merupakan

suatu penyakit yang dapat dicegah dengan adanya imunisasi, namun tetanus masih

merupakan suatu penyakit yang membutuhkan prioritas penanganan tinggi di seluruh dunia

terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang. Tetanus sering

terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan beberapa negara lain di benua Asia.

Penyakit ini umumnya terjadi di daerah-daerah pertanian atau pedesaan, yaitu daerah-daerah

dengan iklim hangat selama musim panas dan umumnya menimpa kaum laki-laki. Namum

pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama

pada neonatus dan anak-anak.1,3

Patogenesis

Perjalanan Klinis1

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari

dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme

pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan

tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan

spasme otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari

setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu

tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson

terminal dan karena penghancuran toksil. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4

minggu.

Klasfikasi Tetanus1

5

Page 6: Tetanus

Tetanus umumnya terjadi setelah terjadinya suatu trauma. Hal yang menimbulkan tetanus

yaitu akibat kontaminasi yang terjadi antara luka dengan tanah, kotoran binatang, atau logam

berkarat.tetanus juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka

gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi

intramuskular dan pembedahan. Ada beberapa jenis tetanus yang dapat diketahui, yaitu :

Tetanus Generalisata

Tetanus generalisata merupakan jenis tetanus yang paling umum terjadi. Jenis tetanus

ini ditandai dengan peningkatan tonus otot dan spasme generalisata.masa inkubasi

bakteri bervariasi sesuai dengan lokasi luka. Pada tetanus jenis ini terdapat trias klinis

yang ditimbulkan, berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik.

Selain itu juga pada umumnya terjadi gejala kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan

kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal tetanus.

Tetanus Neonatorum1

Tetanus Neonatorum merupakan jenis tetanus yang akan berakibat fatal apabila tidak

di terapi. Tetanus Neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang

tidak di imunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali

pusat yang tidak steril. Resiko infeksi yang terjadi bervariasi tergantung pada panjang

tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong

umbilicus. Onset biasanya terjadi pada 2 minggu pertama kehidupan bayi. Diantara

neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan apabila hidup maka akan terjadi

retardasimental.

Tetanus Lokal

Tetanus lokal merupakan jenis tetanus yang jarang terjadi. Manifestasi klinis yang

ditimbulkan terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot tersebut

terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya

bersifat ringan dan dapat bertahan berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata

dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik.

Tetanus Sefalik1

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal yang terjadi setelah

trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasi bakteri tetanus ini 1-2 hari. Pada

jenis tetanus ini dapat dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial,

yang tersering adalah saraf kranial ke 7. Selain itu juga dapat terjadi disfagia dan

paralisis otot ekstraokular. Tetanus sefalik memiliki angka mortalitas yang tinggi.

6

Page 7: Tetanus

Derajat Keparahan1

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar,Udwadia) yang

dilaporkan. Namum pembagian derajat keparahan tetanus yang sering digunakan adalah

klasifikasi derajat keparahan penyakit tetanus berdasarkan ablett.

Klasifikasi derajat keparahan tetanus oleh Ablett :

Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan,

tanpa spasme, sedikit atau tanpa disFagia.

Derajat II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,

gangguan poernafasan sedang, denagn frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia

ringan.

Derajat III (berat)

Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi

pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.

Derajat IV (sangat berat)

Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler.

Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,

salah satunya dapat menetap.

Komplikasi

Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan otot-otot

pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia serta kompressi fraktur

vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolysis dan renal

failure. Rhabdomyolysis adalah keadaan dimana otot rangka dengan cepat hancur, sehingga

mengakibatkan mioglobin (protein otot) bocor ke dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan

gagal ginjal akut.1

Penatalaksanaan

Strategi tujuan dari penatalaksanaan ini adalah :

7

Page 8: Tetanus

Penghancuran terhadap organisme/bakteri yang terdapat dalam tubuh, agar tidak

terjadi pelepasan toksin lebih lanjut

Melakukan penetralisasian terhadap bagian liar sistem saraf pusat

Meminimalisasikan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat

Penatalaksanaan umum

Pasien ditempatkan di ruangan yang tenang ICU, dimana observasi dan pemantauan

kardiopulmoner dapat dilakukan terus-menerus, dan stimulasi dieliminasi.

Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital.

Luka dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridement secara

menyeluruh.1,4

Penatalaksanaan lain

Hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak nampak dan kehilangan cairan

yang lain.

Kecukupan gizi dengan meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral.

Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.

Pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.

Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor

Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder

harus diatasi.1,4

Jenis-Jenis Obat yang Digunakan pada Tetanus1,5

A. Diazepam

Diazepam merupakan obatyang biasa digunakan untuk terapi spasme tetanik dan

kejang tetanik. Obat ini berfungsi mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat,

termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas

GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama. Pada pasien yang mendapatkan

depresan sistem saraf pusat yang lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau

gagal hati karena, toksisitas diazepam dapat meningkat.

B. Fenobarbital1,5

8

Page 9: Tetanus

Pemberian obat ini harus dengan dosis serendah mungkin, sehingga tidak

menyebabkan depresi pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang

lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.

C. Baklofen.

Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara

eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus

diazepam. Baklofen intrahekal 600 kali lebih poten daripada Baklofen per oral.

Injeksi intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangi durasi ventilasi buatan dan

mencegah intubasi. Mungkin berperan dengan menginduksi heperpolarisasi dari ujung

aferen dan mengahambat refleks monosinaptik dan polisinatik pada tingkat spinal.

Keseluruhan dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme

paroksismal kembali terjadi. Pemberian Baklofen secara terus-menerus telah

dilaporkan pada sejumlah kecil pasien tetanus.

D. Dantrolen

Dantrolen menyebabkan relaksasi otot rangka dengan cara menghambat penglepasan

ion Ca dari reticulum sarkoplasmik. Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak

75-80%. Dantrolen digunakan untuk mengurangi spasme otot akibat kerusakan

medulla spinalis dan otak.5

E. Penisilin G.

Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama

multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang

rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari.1,5

F. Metronidazol.

Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Metronidazol

memperlihatkan daya amubisid langsung. Sampai saat ini belum ditemukan amuba

yang resisten terhadap metronidazol. Dapat diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa

termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis

protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari.

Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus

karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek

toksin.

G. Doksisiklin

9

Page 10: Tetanus

Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan pada sub

unit 30s dan 50s ribosomal dari bakteri yang rentan. Direkomendasikan terapi selama

10-14 hari.

Pencegahan

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya

dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti

orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita

setelah ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk

merangsang pembentukkan antitoksin ( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya

bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam

konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan). 1

Pencegahan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan merawat luka dan pemberian anti

tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan kekebalan pasif

sehingga mencegah terjadinya tetanus atau memperpanjang masa inkubasi.

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-

satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi

telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT

atau DT ) yang diberikan tiga kali dengan interval 4-6 minggu, dan diulang pada umur 18

bulan dan 5 tahun . 1

Untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan padawaktu

persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat.

Prognosis

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara nyata memperbaiki

prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis

tergantung pada fasilitas yang tersedia. Laporan yang didapatkan penurunan mortalitas dari

44% ke 15% setelah adanya penatalaksanaan ICU guna mengontrol lebih intensif keadaan

penderita.1 Di negara-negara sedang berkembang, tanpa fasilitas untuk perawatan intensif

jangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai lebih dari 50%

dengan obstruksi jalan napas, gagal nafas dan gagal ginjal merupakan penyebab utama.

Mortalitas sebesar 10% merupakan target yang dapat dicapai oleh negara-negara maju.

10

Page 11: Tetanus

Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian akibat gagal nafas akut,

tetapi sebagai akibatnya, pada kasus yang berat, gangguan otonomik menjadi lebih nampak.

Laporan yang diterima bahwa 40% kematian setelah adanya perawatan intensif adalah akibat

henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi respirasi. Sebelum adanya ICU, 80%

kematian terjadi akibat gagal napas akut yang terjadi awal. Komplikasi penting akibat

perawatan di ICU meliputi infeksi nosokomial, terutama pneumonia berkaitan dengan

ventilator, sepsis generalisata. Angka mortalitas bervariasi, hal tersebut disesuaikan

berdasarkan usia pasien.1 Dengan demikian adanya ICU sangat membantu proses

penyembuhan atau dengan kata lain membantu penurunan angka mortalitas.

Pronosis buruk pada umumnya terjadi pada penderita usia tua, pada penderita neonatus dan

pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval yang pendek antara onset gejala

sampai tiba di RS. Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan ICU 3-5 minggu,

pada saat tersebut pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang.1 Tonus

yang meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun pemulihan

dapat diharapkan sempurna, kembali ke fungsi normalnya. Pada beberapa penelitian

pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus, sering dijumpai menetapnya problem fisik

dan psikologis.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, disimpulkan pasien menderita

tetanus. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri anaerob Clostridium

tetani. Tetanus memiliki gejala awal seperti nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas yang sering

disertai kekakuan, sukar mengunyah, dan spasme otot leher. Pada keadaan yang lebih lanjut

terdapat gejala seperti trismus, kejang opistotonus, penderita berpostur lengkung, dan sampai

menimbulkan kematian. Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan

barulah dilakukan tindakan pengobatan seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen

luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat

yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi seperti fenobarbital atau diazepam.

11

Page 12: Tetanus

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009. h. 2911-23.

2. Syahrurachman A, Chatim A, Soebandrio AWK, Karuniawati A, Santoso AUS,

Harun BMH. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Tangerang: bina rupa

aksara publisher, 2010. h. 152-3.

3. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s

Principles of Internal Medicine 17th   Edition . New York: McGraw Hill, 2008. p.

1197-200.

4. Robbins, Cotran. Dasar Patologis Klinis ed 7. Jakarta : EGC; 2006.h.228-31.

5. Farmakologi dan terapi, edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran UI, 2009. h. 664-90.

12