tetanus
DESCRIPTION
tetanusTRANSCRIPT
Tetanus
Agung Haryanto
102010207
Pendahuluan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani, hal ini ditandai dengan meningkatnya tonus otot serta
spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik
spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospasmin merupakan neurotoksin, yaitu suatu
toksin protein yang kuat yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Imunisasi dengan
mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena
terpotong, tertusuk, luka bakar, dan pada infeksi tali pusat. Terdapat beberapa bentuk klinis
tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan
neurologis lokal.
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No telp: (021) 56942061, Fax: (021) 5631731
E-mail: [email protected]
Anamnesis
1
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yang profesional dan optimal.
Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya
Dari hasil anamnesis pada skenario ini, di dapatkan pasien mengalami kejang, sulit
makan/menelan dan demam, serta diketahui bahwa telapak kaki kanan pasien tertusuk paku
12 hari yang lalu, namun tidak diobati.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan suatu tahap pemeriksaan awal yang dilakukan oleh dokter
atau petugas medis. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengetahui keadaan fisik pasien secara
umum, guna menegakan diagnosis awal penyakit yang diderita. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tampak sakit sedang, dengan tekanan darah 130/80 mmHg, denyut jantung
88x/menit, frekuensi nafas 28x/menit dan suhu tubuh 38,80C, trismus. Selain itu juga
diketahui terdapat kekakuan wajah, leher dan anggota gerak, serta perut kaku seperti papan
dan telapak kaki kanan bengkak dengan kulit tegang kemerahan. Juga ditemukan luka tusuk
yang dalam dan bernanah pada telapak kaki kanan.
Pemeriksaan Penunjang
2
Pemeriksaan penunjang merupakan suatu pemeriksaan lanjutan yang dilakukan setelah
didapatkan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang ini dilakukan guna memperkuat
kebenaran diagnosis awal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada tetanus :1
Kultur jaringan yang diambil dari sekret luka ditemukan adanya Clostridium tetani
Pemeriksaan leukosit yang kemungkinan mengalami peningkatan
Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan Elektromyogram, tidak diketemukan interval tenang yang pada keadaan
normal didapatkan setelah potensial aksi
Perubahan non spesifik pada elektrokardiogram, dikarenakan peningkatan jumlah
enzim otot
Diagnosis
1. Working Diagnosis
Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Dari skenario
maka dapat diketahui diagnosis tetanus, yang didasarkan atas gejala klinis yang timbul.
Tetanus tidak mungkin terjadi apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Jadi dengan diberikannya vaksin
tetanus, resiko menderita tetanus menjadi lebih kecil. Untuk lebih menegakan diagnosis
tetanus maka bukan hanya dari hasil pemeriksaan fisik, melainkan dengan melakukan
beberapa pemeriksaan penunjang yang berhubungan dengan tetanus.
Kondisi-kondisi yang akan timbul sebagai respon tubuh tehadap tetanus meliputi
meningitis/ensefalitis, rabies, serta gangguang proses intraabdominal akut karena timbulnya
kekakuan pada bagian abdomen. Selain itu juga terjadi peningkatan tonus pada otot-otot
bagian sentral yang dapat menimbulkan kekakuan pada bagian wajah, leher, dada, punggung,
dan perut. Kondisi-kondisi yang timbut tersebut secara kuat menyokong diagnosa tetanus.1,2,3
2. Differential Diagnosis
Rabies
3
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik. 1
Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan
cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat,kadar protein meningkat dan
glukosa menurun. 1
Epilepsy
Epilepsi dapat menyebabkan kejang, namun tidak ditemukan kekakuan otot diantara
kejang. Biasanya sudah ada riwayat serangan epilepsi sebelumnya.1
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, yaitu Clostridium tetani.2 Bakteri ini terdapat
di berbagai tempat, dan banyak terdapat di alam. Selain itu, bakteri ini juga diisolasi oleh
kotoran binatang peliharaan dan manusia.1,2 Clostridium tetani merupakan bakteri yang
berbentuk batang yang selalu bergerak serta merupakan bakteri anaerob obligat yang
menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan Clostridium tetani tidak berwarna, berbentuk
oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam.2 Spora ini dapat bertahan lama pada lingkungan
tertentu, mampu bertahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai
desinfektan dan pendidihan.
Setiap sel yang terinfeksi oleh bakteri ini, dapat dengan mudah diinaktivasi dan bersifat
sensitif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin, dan lainnya).1,2 Bakteri ini
dapat dikultur, namun hal tersebut jarang dilakukan, sebab efek yang ditimbulkan dari infeksi
bakteri ini dapat dilihat secara klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis
melalui eksotoksin yang kuat.
Spora yang dihasilkan oleh Clostridium tetani dapat hidup bertahun-tahun, dan jika spora
tersebut menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain
masuk ke tubuh penderita, maka spora itu akan mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.1,2,3 Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali
plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Peranan toksin tetanus
dalam tubuh organisme belum diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya
4
bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid.
Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimicrobial bakteri ini.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik (kurang steril), tetanus ini dikenal
dengan nama tetanus neonatorum.1
Epidemiologi
Tetanus pada umumnya menimpa individu non imun yaitu individu yang idak
mendapatkan vaksin, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh
namun tidak mempertahankan imunitasnya dengan vaksinasi ulangan.1 Tetanus merupakan
suatu penyakit yang dapat dicegah dengan adanya imunisasi, namun tetanus masih
merupakan suatu penyakit yang membutuhkan prioritas penanganan tinggi di seluruh dunia
terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang. Tetanus sering
terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan beberapa negara lain di benua Asia.
Penyakit ini umumnya terjadi di daerah-daerah pertanian atau pedesaan, yaitu daerah-daerah
dengan iklim hangat selama musim panas dan umumnya menimpa kaum laki-laki. Namum
pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama
pada neonatus dan anak-anak.1,3
Patogenesis
Perjalanan Klinis1
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan
tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan
spasme otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari
setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu
tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson
terminal dan karena penghancuran toksil. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4
minggu.
Klasfikasi Tetanus1
5
Tetanus umumnya terjadi setelah terjadinya suatu trauma. Hal yang menimbulkan tetanus
yaitu akibat kontaminasi yang terjadi antara luka dengan tanah, kotoran binatang, atau logam
berkarat.tetanus juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka
gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi
intramuskular dan pembedahan. Ada beberapa jenis tetanus yang dapat diketahui, yaitu :
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan jenis tetanus yang paling umum terjadi. Jenis tetanus
ini ditandai dengan peningkatan tonus otot dan spasme generalisata.masa inkubasi
bakteri bervariasi sesuai dengan lokasi luka. Pada tetanus jenis ini terdapat trias klinis
yang ditimbulkan, berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik.
Selain itu juga pada umumnya terjadi gejala kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal tetanus.
Tetanus Neonatorum1
Tetanus Neonatorum merupakan jenis tetanus yang akan berakibat fatal apabila tidak
di terapi. Tetanus Neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang
tidak di imunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali
pusat yang tidak steril. Resiko infeksi yang terjadi bervariasi tergantung pada panjang
tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong
umbilicus. Onset biasanya terjadi pada 2 minggu pertama kehidupan bayi. Diantara
neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan apabila hidup maka akan terjadi
retardasimental.
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan jenis tetanus yang jarang terjadi. Manifestasi klinis yang
ditimbulkan terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot tersebut
terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya
bersifat ringan dan dapat bertahan berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata
dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik.
Tetanus Sefalik1
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal yang terjadi setelah
trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasi bakteri tetanus ini 1-2 hari. Pada
jenis tetanus ini dapat dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial,
yang tersering adalah saraf kranial ke 7. Selain itu juga dapat terjadi disfagia dan
paralisis otot ekstraokular. Tetanus sefalik memiliki angka mortalitas yang tinggi.
6
Derajat Keparahan1
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar,Udwadia) yang
dilaporkan. Namum pembagian derajat keparahan tetanus yang sering digunakan adalah
klasifikasi derajat keparahan penyakit tetanus berdasarkan ablett.
Klasifikasi derajat keparahan tetanus oleh Ablett :
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan,
tanpa spasme, sedikit atau tanpa disFagia.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan poernafasan sedang, denagn frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia
ringan.
Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi
pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
Derajat IV (sangat berat)
Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,
salah satunya dapat menetap.
Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan otot-otot
pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia serta kompressi fraktur
vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolysis dan renal
failure. Rhabdomyolysis adalah keadaan dimana otot rangka dengan cepat hancur, sehingga
mengakibatkan mioglobin (protein otot) bocor ke dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan
gagal ginjal akut.1
Penatalaksanaan
Strategi tujuan dari penatalaksanaan ini adalah :
7
Penghancuran terhadap organisme/bakteri yang terdapat dalam tubuh, agar tidak
terjadi pelepasan toksin lebih lanjut
Melakukan penetralisasian terhadap bagian liar sistem saraf pusat
Meminimalisasikan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat
Penatalaksanaan umum
Pasien ditempatkan di ruangan yang tenang ICU, dimana observasi dan pemantauan
kardiopulmoner dapat dilakukan terus-menerus, dan stimulasi dieliminasi.
Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital.
Luka dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridement secara
menyeluruh.1,4
Penatalaksanaan lain
Hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak nampak dan kehilangan cairan
yang lain.
Kecukupan gizi dengan meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral.
Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.
Pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor
Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder
harus diatasi.1,4
Jenis-Jenis Obat yang Digunakan pada Tetanus1,5
A. Diazepam
Diazepam merupakan obatyang biasa digunakan untuk terapi spasme tetanik dan
kejang tetanik. Obat ini berfungsi mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat,
termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas
GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama. Pada pasien yang mendapatkan
depresan sistem saraf pusat yang lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau
gagal hati karena, toksisitas diazepam dapat meningkat.
B. Fenobarbital1,5
8
Pemberian obat ini harus dengan dosis serendah mungkin, sehingga tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang
lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.
C. Baklofen.
Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus
diazepam. Baklofen intrahekal 600 kali lebih poten daripada Baklofen per oral.
Injeksi intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangi durasi ventilasi buatan dan
mencegah intubasi. Mungkin berperan dengan menginduksi heperpolarisasi dari ujung
aferen dan mengahambat refleks monosinaptik dan polisinatik pada tingkat spinal.
Keseluruhan dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme
paroksismal kembali terjadi. Pemberian Baklofen secara terus-menerus telah
dilaporkan pada sejumlah kecil pasien tetanus.
D. Dantrolen
Dantrolen menyebabkan relaksasi otot rangka dengan cara menghambat penglepasan
ion Ca dari reticulum sarkoplasmik. Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak
75-80%. Dantrolen digunakan untuk mengurangi spasme otot akibat kerusakan
medulla spinalis dan otak.5
E. Penisilin G.
Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang
rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari.1,5
F. Metronidazol.
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Metronidazol
memperlihatkan daya amubisid langsung. Sampai saat ini belum ditemukan amuba
yang resisten terhadap metronidazol. Dapat diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa
termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis
protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari.
Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus
karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek
toksin.
G. Doksisiklin
9
Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan pada sub
unit 30s dan 50s ribosomal dari bakteri yang rentan. Direkomendasikan terapi selama
10-14 hari.
Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya
dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti
orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita
setelah ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk
merangsang pembentukkan antitoksin ( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya
bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam
konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan). 1
Pencegahan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan merawat luka dan pemberian anti
tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan kekebalan pasif
sehingga mencegah terjadinya tetanus atau memperpanjang masa inkubasi.
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-
satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi
telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT
atau DT ) yang diberikan tiga kali dengan interval 4-6 minggu, dan diulang pada umur 18
bulan dan 5 tahun . 1
Untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan padawaktu
persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat.
Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara nyata memperbaiki
prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis
tergantung pada fasilitas yang tersedia. Laporan yang didapatkan penurunan mortalitas dari
44% ke 15% setelah adanya penatalaksanaan ICU guna mengontrol lebih intensif keadaan
penderita.1 Di negara-negara sedang berkembang, tanpa fasilitas untuk perawatan intensif
jangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai lebih dari 50%
dengan obstruksi jalan napas, gagal nafas dan gagal ginjal merupakan penyebab utama.
Mortalitas sebesar 10% merupakan target yang dapat dicapai oleh negara-negara maju.
10
Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian akibat gagal nafas akut,
tetapi sebagai akibatnya, pada kasus yang berat, gangguan otonomik menjadi lebih nampak.
Laporan yang diterima bahwa 40% kematian setelah adanya perawatan intensif adalah akibat
henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi respirasi. Sebelum adanya ICU, 80%
kematian terjadi akibat gagal napas akut yang terjadi awal. Komplikasi penting akibat
perawatan di ICU meliputi infeksi nosokomial, terutama pneumonia berkaitan dengan
ventilator, sepsis generalisata. Angka mortalitas bervariasi, hal tersebut disesuaikan
berdasarkan usia pasien.1 Dengan demikian adanya ICU sangat membantu proses
penyembuhan atau dengan kata lain membantu penurunan angka mortalitas.
Pronosis buruk pada umumnya terjadi pada penderita usia tua, pada penderita neonatus dan
pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval yang pendek antara onset gejala
sampai tiba di RS. Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan ICU 3-5 minggu,
pada saat tersebut pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang.1 Tonus
yang meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun pemulihan
dapat diharapkan sempurna, kembali ke fungsi normalnya. Pada beberapa penelitian
pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus, sering dijumpai menetapnya problem fisik
dan psikologis.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, disimpulkan pasien menderita
tetanus. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri anaerob Clostridium
tetani. Tetanus memiliki gejala awal seperti nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas yang sering
disertai kekakuan, sukar mengunyah, dan spasme otot leher. Pada keadaan yang lebih lanjut
terdapat gejala seperti trismus, kejang opistotonus, penderita berpostur lengkung, dan sampai
menimbulkan kematian. Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan
barulah dilakukan tindakan pengobatan seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen
luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat
yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi seperti fenobarbital atau diazepam.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009. h. 2911-23.
2. Syahrurachman A, Chatim A, Soebandrio AWK, Karuniawati A, Santoso AUS,
Harun BMH. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Tangerang: bina rupa
aksara publisher, 2010. h. 152-3.
3. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th Edition . New York: McGraw Hill, 2008. p.
1197-200.
4. Robbins, Cotran. Dasar Patologis Klinis ed 7. Jakarta : EGC; 2006.h.228-31.
5. Farmakologi dan terapi, edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran UI, 2009. h. 664-90.
12