tetanus
TRANSCRIPT
6
Pasien Tertusuk Paku 12 Hari yang lalu, Tidak Diobati
Timothy Osho*
Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta 11510
Pendahuluan
Tetanus merupakan penyakit yang akut dan seringkali fatal, penyakit ini disebabkan
oleh eksotoksin yuang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Kata tetanus berasal dari bahasa
Yunani tetanos, yang diambil dari kata teinein yang berarti teregang. Penyakit ini merupakan
penyakit yang serius namun dapat dicegah kejadiannya pada manusia. Tetanus merupakan
salah satu penyakit yang jika tidak segera diobati akan menyebabkan kematian. Negara-
negara yang beriklim tropis dan negara-negara berkembang masih belum terbebas dari
tetanus, salah satunya termasuk Indonesia.
* Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
* NIM: 10-2010-133
* Kelompok C1
* Email:[email protected]
6
Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologia yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani. 1
Clostridium tetani sebenarnya memproduksi 2 toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospamin. Tetanolisin adalah suatu hemolisin yang dapat diinaktivasi oleh kolestrol dan
tidak berperan pathogenesis. Tetanospamin adalah neurotoksin yang bersifat spasmogenik
(menimbulkan kekakuan otot) dan menyebabkan timbulnya gejala klasik tetanus.2
Menurut WHO Neonatal tetanus adalah suatu penyakit yang terjadi pada anak yang
memiliki kemampuan menghisap dan menangis di hari pertama setelah lahir tapi kehilangan
kemampuan itu diantara hari ketiga dan kedua puluh delapan dan menjadi kaku dan kejang.2
Menurut WHO Maternal tetanus adalah tetanus yang terjadi pada saat kehamilan atau
6 minggu setelah berakhirnya masa hamil.2
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan nonverbal mengenai riwayat penyakit si
pasien.3
Ada 2 jenis anamnesis yang umum dilakukan, yakni Autoanamnesis dan
Alloanamnesis atau Heteroanamnesis. Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan tehnik
autoanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan langsung terhadap pasiennya. Pasien
sendirilah yang menjawab semua pertanyaan dokter dan menceritakan permasalahannya. Ini
adalah cara anamnesis terbaik karena pasien sendirilah yang paling tepat untuk menceritakan
apa yang sesungguhnya dia rasakan.3
Meskipun demikian dalam prakteknya tidak selalu autoanamnesis dapat dilakukan.
Pada pasien yang tidak sadar, sangat lemah atau sangat sakit untuk menjawab pertanyaan,
atau pada pasien anak-anak, maka perlu orang lain untuk menceritakan permasalahnnya.
Anamnesis yang didapat dari informasi orang lain ini disebut Alloanamnesis atau
Heteroanamnesis. Tidak jarang dalam praktek sehari-hari anamnesis dilakukan bersama-sama
auto dan alloanamnesis.3
Seorang laki-laki berusia 20 tahun, dibawa oleh keluarganya ke UGD karena kejang.
Anamnesis yang didapat berdasarkan skenario adalah alloanamnesis, dikarenakan kondisi
6
yang tidak memungkinkan pasien untuk memberikan informasi. Pada alloanamnesis
didapatkan informasi bahwa pasien pernah tertusuk paku pada kaki kanannya 12 hari yang
lalu namun tidak diobati.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang, terdapat kekakuan pada
wajah, leher, dan anggota gerak. Perut kaku seperti papan dan telapak kaki kanan bengkak,
dan kulit tegang kemerahan. Pada telapak kaki kanan juga ditemukan luka tusuk yang dalam
dan bernanah. TD 130/80 mmHg, nadi 88 kali/menit frekuensi napas 28 kali/menit, suhu
tubuh 38,80C.
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu lebih dari normal 38-40
derajat celcius. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin
tetanus yang sudah menganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan laju
frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum.
Tekanan darah biasanya normal.4
B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang diserti
adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi torak didapatkan taktil fremitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi secret dan kemamapuan batuk yang menurun4
B2 (blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik (shock karena
kekurangan plasma) yang sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah biasanya normal,
peningkatan denyut jantung, adanya anemia karena hancurnya eritrosit.4
B3 (brain)
6
Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis (sepenuhnya sadar).
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien tetanus dapat mengalami letargi, stupor, dan
semikomatosa, dan bisa terjadi koma.4
Pengkajian fungsi serebral. Status mental : observasi penqmpilan, tingkah laku, nili gaya
bicara, ekspresi wajah, dan ativitas motorik lien. Pada klien tetanus tahap lanjut biasanya
status mental lien alami perubahan. 4
Saraf 1 tidak ada kelainan
Saraf 2 tidak ada kelainan
Saraf 3, 4, 6 biasanya klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive
terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus cahaya perlu diperhatikan
perawat guna memberikan intervensi untuk menurunkan stimulasi cahaya tersebut.
Saraf 5 refleks maseter meningkat, mulut condong ke depan seperti mulut ikan (ini
merupakan gejala khas tetanus)
Saraf 7 dan 8 tidak ada kelainan
Saraf 9 dan 10 kemampuan menelan kurang baik kesulitan membuka mulut (trismus)
Saraf 11 diadapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
Saraf 12 tidak ada kelainan
Pengkajian system motorik. Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan. 4
Pengkajian system reflek semua respons reflek profunda, pengetukan pada tendon, ligament
atau periosteum normal. 4
Pengkajian sensoris perabaan, perasaan nyeri, perasaan suhu, perasaan propriosefsi dan
perasaan diskriminatif normal. 4
B4 (Bladder)
Penurunan volume urine output berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang
sebaikknya urine dikeluarkan dengan menggunakan kateter. 4
B5 (bowel)
6
Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi
pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut
papan) merupakan gejala khas tetanus. Adanya spasme otot yang menyebabkan kesulitan
BAB. 4
B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehinggaa mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas
sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan
port de entrée kuman Clostridium tenani, sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal.
Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme
otot pada abdomen. 4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang penyakit tetanus meliputi :
Pemeriksaan laboratorium bakteriogenika, ditemukan Clostridium tetani.5
Pemerikasan darah, mungkin leukosit meningkat.1
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat
dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang
yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora.
Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau paha
ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan
terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan
selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna pada pendidihan, tetapi
dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfer dan 120 0C selama 15 menit. Sel
yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitive
terhadap beberapa antiobiotik (metronidazole, penisilin, dan lainnya). Bakteri ini jarang
dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.1
Epidemiologi
6
Tetanus terjadi secara sporadic dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di Negara beriklim tropis dan Negara-negara berkembang, sering terjadi di
Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara-negara lain dibenua Asia. Penyakit ini
umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan pada daerah dengan iklim hangat,
selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program imunisasi
yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-anak.1
Patogenesis
Clostridium tetani tidak menyebabkan inflamasi dan port d’entrae tetap tampak
tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme lain.
Clostridium tetani tidak bersifat invasive.1 Kumannya tetap diluka, apabila keadaannya
memungkinkan, yaitu keadaan anaerob yang biasanya terjadi karena adanya:6
Jaringan nekrotik
Adanya garam kalsium
Adanya kuman piogenik lainnya maka spora akan jadi bentuk vegetative dan
eksotoksin akan dibentuk akan menjalar menuju SSP melalui jaringan
perineural, pembuluh darah atau pembuluh limfe
Pada kondisi anaerobik jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua
macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak
jaringan yang masih hidup dan mengoptimalkan kondisi untuk multiplikasi bakteri.
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus dan memungkinkan masuknya toksin
ke dalam sel serta berperan untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang
dipengaruhi. 1
Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia akan memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan
menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam badan sel di batak
otak dan saraf spinal. Transport pertama kali terjadi pada saraf motorik, lalu saraf sensorik
dan saraf otonom. Toksin masuk ke dalam sel dan berdifusi keluar dan akan masuk
6
mempengaruhi neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-
gejala tetanus akan muncul.1
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibiori, ia akan memblokade
pelepasan neurotransmitter inhibitori, yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga
neuron motorik kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu neuron simpatik preganglionic pada
ujung lateral, pusat parasimpatik, dan neuton motoric juga diperharuhi. 1
Aliran eferen yang tidak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak
akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Otot
rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonnya lebih pendek.
Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki jarang
terlibat. Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.1
Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah,
kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat pula
berkaitan dengan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan
persalinan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai
Gambar 1.1 Tetanus
6
50% kasus trauma terjadi di dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari
pertolongan medis. Pada 15-20% pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.1
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot
diseluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan di leher yang biasanya pertama kali
terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh.1
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus.1
Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara
progesif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus
sardonicus dan meluas ke otot-otot menelan yang menyebabkan disfagia.1
Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan
opsitotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Reflex
tendo dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan
kesadaran tidak berpengaruh.1
Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya
tetanus dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau rupture tendon. Spasme yang
terjadi dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan
sianosis dan gagal nafas. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laryngeal dan
berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.1
Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus local dijumpai.
Spasme dan rigiditas terbatas pada daerah tubuh tertentu. Mortalitasnya sangatlah berkurang.
Pengecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang berasal dari luka di
kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya,
daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya
tinggi.1
Tetanus neonatarum baisanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatarum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu
yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat
6
yang tidak steril. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, dan spasme merupakan gambaran
khas tetanus neonatarum.1
Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang meninggal
akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan perawatan intensif, menjadi jelas bahwa
tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas otonomik yang nyata. System saraf
simpatiklah yang paling jelas dipengaruhi. Secara klinis, peningkatan tonus simpatik
menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi. Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas,
hiperpireksia, keringat berlebihan.1
Perjalanan Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10
hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan
tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan
spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah
spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi
kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena timbulnya lagi akson terminal
dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. 1
Derajat Keparahan
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:1
Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa
gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.1
Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan
lebih dari 30, disfagia ringan.1
Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat
dan takikardia lebih dari 120.1
6
Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan brakikardia, salah satunya dapat menetap. 1
Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan riwayat cedera, meskipun
hanya 50% pasien tetanus yang menderita cedera mencari pertolongan medis. Meningkatnya
tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan
spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa
tetanus. 1
Tetanus tidaklah mingkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah
diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Secret luka
hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai.1 Kultur yang positif bukan merupakan bukti
bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Karena bakteri ini
mungkin bagian dari flora normal.6 Lekosit mungkin meningkat.1
Diagnosis diferensial mencakup kondisi lokal yang menyebabkan trismus, seperti
abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan
metoklorpramid), tetanus hipokalsemik, perubahan-perubahan metabolik dan neorologis pada
neonatal, meningitis (kaku kuduk), abses gigi (trismus), peritonitis (kekakuan abdomen),
rabies (disfagia), epilepsy, dan nacrotic withdrawal.1,4
Reaksi distonik terhadap obat antiepilepsi dapat dibedakan dengan adanya riwayat
minum obat dan berkurangnya gejala pada pemberian benztropin atau difenhidramin.
Keracunan striknin dapat menyerupai tetanus dengan peningkatan eksitabilitas neuron akibat
gangguan pada inhibisi postsinaps, dan pemeriksaan biokimia untuk striknin dapat
menegakkan diagnosis.4
Rabies dapat dibedakan dengan tetanus melalui masa inkubasinya yang pendek,
adanya trismus, LCS normal. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus
dan tidak dijumpai hidrofobia. 1
Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas
neuromuscular yang dapat kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut.1
6
Penatalaksanaan
Ada tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya
dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksi lebih lanjut; toksin yang terdapat di dalam
tubuh, di luar system saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah
terikat pada system saraf pusat diminimisasi.1
Penatalaksaan Umum
Pasien ditempatkan di ruangan yang tenang ICU, dimana observasi dan pemantauan
kardiopulmoner dapat dilakukan terus-menerus, dan stimulasi dieliminasi.1
Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. 1
Luka dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridemen secara
menyeluruh. 1
Netralisasi dari Toksin yang Bebas
Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang terlah melekat pada
jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan
utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis 3000-6000 unit intramuscular, biasanya
dengan dosis terbagi karena volumenya besar. Dosis maksimal belum diketahui. Pemberian
secara intratekal masi dalam penelitian. Akan tetapi, sudah ada bukti pada pemberian TIG
secara intratekal menghambat perkembangan penyakit dan menuju ke hasil yang lebih baik. 1
Dapat juga diberikan 10.000-20.000 unit Equine antitoxin intramuscular dalam satu
dosis. Antitoksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tapi masih dipergunakan di
tempat lain. Lebih murah dibanding antitoksin manusia, tapi waktu paruhnya lebih pendek
dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitifitas dan serum sickness syndrome. 1
Menyingkirkan Sumber Infeksi
JIka ada, luka yang tampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaat belum terbukti, terapi antibiotic diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel
vegetative, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena
setiap hari selama 10 hari) , tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan
konvulsi. Metronidazole mungkin merupakan antibiotic pilihan (400mg rectally or 500 mg
6
intravena setiap 6 jam selama 7 hari). Metronidazole aman dan pada penelitian yang
membandingkan dengan penisilin menunjukan angka harapan hidup yang lebih tinggi. 1
Pengendalian Rigiditas dan Spasme
Regimen yang ideal adalah regimen yang dapat meneken aktivitas spasmodic tanpa
menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu,
tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepine. Benzodiazepine
memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABAA.
Diazepam dapat diberikan, pilihan lain adalah lorazepam dengan durasi yang lebih lama dan
midazoloam dengan waktu paruh yang lebih singkat. Sebagai sedasi tambahan dapat
diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbital yang memperkuat aktivitas GABAergik dan
fenothiazin, biasanya klorpromazin. 1
Penatalaksanaan Respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan
pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau
disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara efektif dan
secara dini. 1
Pengendalian disfungsi otonomik
Banyak pendekatan yang berbeda dalam terapi disfungsi otonomik yang telah
dilaporkan. Sampai sejauh ini terapi optimal untuk overaktivitas simpatis belum ditetapkan .
metode non farmakologis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada pemberian
cairan 8 L/hari. 1
Sedasi merupakan terapi pertama. Benzodiazepine, Antikonvulsan dan terutama
morfin sering digunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat
terjadi tanpa gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20-180 mg per hari. Mekanisme
aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas reflex
simpatis dan pelepasan histamine. Fenothiazin, terutama klorpromazin merupakan sedative
yang berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergic dapat berperan dalam stabilitas
kardiovaskular. 1
6
Pada awalnya, obat-obatan pemblokade adrenergic β, seperti propanolol
dipergunakan untuk mengontrol hipertensi dan takikardia, namun hipotensi, edema paru berat
dan kematian mendadak terjadi. Labetolol, yang berefek kombinasi blockade andrenergik α
dan β adrenergic digunakan, tapi hasilnya tidak jauh berbeda (mungkin karena aktivitas α-nya
jauh lebih rendah dibandingkan dengan β) dan mortalitasnya tetap tinggi. Sekarang, obat
kerja singkat seperti esmolol berfungsi sangat baik untuk hipertensi berat, meskipun kadar
katekolamin arterial tetap tinggi. 1
Kematian mendadak akibat henti jantung merupakan karakteristik dari tetanus berat.
Penyebabnya masih belum jelas, tapi penjelasan yang dapat dipercaya mencakup mendadak
hilangnya pacuan simpatis, kerusakan jantung yang diinduksi oleh katekolamin, dan
meningkatnya tonus parasimpatik. Blokade bbeta yang menetap dapat memicu penyebab-
penyebab henti jantung ini karena aktivitas inotropik negative atau aktivitas vasokonstriksi
tanpa hambatan yang menyebabkan gagal jantung akut. Obat-obatan pemblokade adrenergic
α seperti nethanidin, guanetidin, dan fentolamin telah sukses dipergunakan bersama
propanolol bersama obat-obatan lain seperti trimetafan, fenoksibenzamin, dan reserpin.
Kerugian penggunaan kelompok obat ini adalah hipotensi yang terinduksi sulit teratasi,
takifilaksis terjadi, dan lepas obat bisa menyebabkan hipertensi. Telah dilaporkan
keberhasilan penatalaksanaan gangguan otonomik dengan menggunakan atropine IV dosis
mencapai 100 mg per jam yang digunakan pada 4 pasien. Tapi dikuatirkan dengan dosis yang
tinggi itu, tida hanya berakibat blockade muskarinik, tapi juga nikotinik, sedasi sentral dan
blockade neuromuscular. Blockade system saraf parasimpatis dilaporkan menurunkan sekresi
dan keringat. 1
Pemberian magnesium sulfat parenteral dan anesthesia spinal atau epidural telah
diterapkan, namun pemberian dan monitornya sulit, bupivakain epidural dan spinal telah
dipergunakan untuk mengurangi instabilitas kardiovaskuler. Namun demikian infuse
katekolamin diperlukan untuk mempertahankan tekanan arterial yang adekuat. Magnesium
sulfat telah dipergunakan untuk baik pada pasien yang terpasang ventilator maupun tidak
untuk mengontrol spasme. Magnesium sulfat merupakan pemblokade neuromuskuler pre-
sinaptik, yang memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal,
mengurangi responsivitas reseptor terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan
antikonvulsan sekaligu vasodilator. Magnesium merupakan antagonis kalsium di miokardium
dan pada hubungan neuromuskuler dan menghambat perlepasan hormone paratiroid sehingga
mengakibatkan penurunan kadar kalsium serum. Pada keadaan overdosis, dapat
6
menyebabkan paralisis dan kelemahan dengn sedasi sentral, walaupun sedasi sentral masih
konroversial. Hipotensi dan bradiaritmia (denyut jantung dibawah normal). Oleh karena itu,
sangat penting untuk dapat menjaga kadar magnesium dalam rentang terapi. 1
Beberapa macam obat potensial untuk dipergunakan pada masa yang akan datang.
Natrium Valproat yang berfungsi menghambat katabolisme GABA. Pada penelitian klinis
dari hewan, Natrium Valproat menghambat efek klinis dari toksin tetanus. ACE inhibitor
mungkin membantu menghambat sintesis angiotensin II, yang meningkatkan sintesis
norepinefrin dan perlepasannya dai ujung syaraf. 1
Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang jadi penyebabnya
mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolism akibat pireksia
(demam) dan aktivitas muscular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu,
nutrisi harus diberikan sedini mungkin. Komplikasi infeksi akibat masa kritis berkepanjangan
mencakup pneumonia berkaitan dengan ventilator umum terjadi pada tetanus. Melindungi
jalan nafas pada tahap awal penyakit dan mencegah aspirasi dan sepsis merupakan langkah
logis untuk mengurangi resiko ini. Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan
mulut secara cermat, fisioterapi dada, dan penghisapan tracheal secara teratur karena salvias
dan ekskresi bronchial sangat meningkat. Sedasi yang adekuat penting sebelum melakukan
intervensi pada pasien dengan resiko spasme tidak terkontrol dan gangguan otonomik an
keseimbangan antara fisioterapi dan sedasi mungkin sulit dicapai. Pemberian cairan juga
harus adekuat. Pemberian heparin atau antikoagulan lainnya juga penting untuk mencegah
emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kenih dan GIT harus selalu dimonitor. Pendarahan GIT
dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. Pentingnya bantuan
psikologis juga tidak dapat diabaikan. 1
Penatalaksanaan Lain
Hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak nampak dan kehilangan cairan
yang lain. 1
Kecukupan gizi dengan meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral. 1
Fisioterapi untuk mencegah kontraktur. 1
Pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. 1
Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. 1
6
Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder
harus diatasi. 1
Vaksin
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena imunitas
tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus. 1
Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai pad tetanus
Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi
semua tingkatan system saraf pust, termasuk bentukan limbic dan reticular, mungkin dengan
meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmitter inhibitori utama. 1
Dosis dewasa
Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam bila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg IV apabila perlu
Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam
Dosis pediatric: spasme ringan 0,1-0,8 mg/kg BB?hari dalam dosis terbagi 3-4 kali
sehari. Sedangkan spasme sedang sampai berat 0,1-0,3 mg/kg/hari IV tiap 4-8 jam
Kontraindikasi: hipersensitivitas, glaucoma sudut sempit
Interaksi: toksisitas benzodiazepine pada system saraf pusat meningkat apabila
dipergunakan bersamaan dengan alcohol, fenothiazine, barbiturat; cisapride dapat
meningkatkan kadar diazepam secara bermakna
Kehamilan: tidak aman pada kehamilan (criteria D)
Perhatian: hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan system saraf pusat yang
lain, pasien dengan kadar albumin rendah atau gagal hati karena toksisitas diazepam
dapat meningkat.
Fenobarbital. Dosis obat harus demikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernapasan. Jika pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk
mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. 1
Dosis dewasa: 1 mg/kg IM tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatric: 5 mg/kg IV/IM dosis terbagi 3-4 kali/hari
6
Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat,
dan pasien nefritis
Interaksi: dapat menurunkan efek kloranfenikol, digitosin, kortikosteroid,
karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang
mendapatkan antikoagulan harus ada penyesuaian dosis). Pemberian bersama alcohol
dapat menyebabkan efek aditif ke SSP dan kematian. Kloramfenikol dan asam
valproat dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital. Rifamycin dapat
menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim mikrosomal dapat menurunkan efek
kontrasepsi oral pada wanita.
Kehamilan: Kriteria D- tidak aman pada kehamilan
Perhatian: monitor fungsi ginjal, hati, dan system hematopoitik dalam penggunaan
jangka panjang. Hati-hati pada DM, miastenia gravis, miksedema, anemia berat
Baklofen. Merupakan relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara experimental
untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infuse diazepam. Balkofn
intratekal 600 kali lebih poten daripada baklofen oral. Injrksi intratekal brulang bermanfaat
untuk mengurangi durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi . mungkin brperan dlam
menginduksi hiperpolrisasi dari ujung aferen dan menghambat reflex monosimpatik dan
polisinaptik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis baklofen dapat diberikan sbagai bolus
injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih jika spam paroksismal kembali terjadi. 1
Dosis dewasa: 100 mcg IT; pada usia >55 tahun: 800 mcg IT
Dosis pediatrik: 500 mcg IT
Kontraindikasi: hipersensitifitas
Interaksi: analgesic opiate, benzodiazepine, alcohol, TCAs, guanabens, MAOI,
klindasimin, dan obat anti hipertensi dapat meningkatkan efek Baklofen
Kehamilan: keamanannya pada wanita hamil belum diketahui (criteria c)
Perhatian: hati-hati pada penderita disrefleksia otonomik
Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi konstraksi otot. Belum
disetujui oleh FDA tapi sudah digunakan dalam sebagian kecil kasus. 1
Dosis dewasa: 1 mg/kg IV selama 3 jam, diulang 4-6 jam apabila perlu
Dosis pediatric: 0,5 mg/kg/hari IV dua kali sehari pada permulaan, dapat ditingkatkan
sampai 4 kali sehari, dengan tidak melebihi 100 mg 4 hari sekali
Kontraindikasi: hipersnsitivitas, penyakit hati seperti hepatitis atau sirosis
6
Interaksi: toksisitas meningkat apabila diberikan bersama klofibrat dan warfarin.
Pemberian bersama dengan estrogen dapat meningkatkan hpatoksisitas pada wanita
diatas 35 tahun
Kehamilan: criteria C
Prhatian: dapat menyebabkan hepatoksisitas; hati-hati pada gangguan fungsui paru
dan insufiensi kardiak berat, dapat menyebabkan fotosnsitivitas pada matahari.
Penisilin G. Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan.
Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penicillin IV dapat menyebabkan anemia
hemolitik, dan neuro toksisitas. Henti jantung telah dilaporkan pada pasien yang mndapatkan
dosis masif penisilin G. 1
Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari IV
Dosis pediatric: 100.000 – 250.000 unit/kg/hari IV terbagi dalam dosis 4 kali sehari
Kontraindikasi: hipersensitivitas
Kehamilan: criteria B- biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi
Perhatian: hari-hati pada gangguan fungsi ginjal
Metronidazol. Berguna untuk melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi kke
dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan
menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi
selama 10-14 hari. Bbrapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika sebagai
antibiotika pada terapi tetanus karena penicillin G juga merupakan agonis GABA yang dapat
memperkuat efek toksin. 1
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g IV tiap 12 jam, tidak lebih dari
4g/hari
Dosis pediatric: 15-30/kg BB/ hari IV terbagi tip 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari
Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan
Kehamilan: criteria B- biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi
Perhatian: penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang dan neuropati
perifer
6
Doksisilin. Menghambat sintesis potein da pertumbuhan baktri pada pengikatan sub unit 30s
atu 50s ribosomal dri bakteri yang rentan. Direkomndasikan terapi 10-14 hari. 1
Dosis dewasa: 100 mg per oral/IV tiap 12 jam
Dosis pediatric: tidak direkomendasikan pada anak umur dibawah 8 tahun. Pada anak
dngan berat dibawah 5 kg 4,4 mg/kg/oral/IV dosis terbagi. Pada anak yang beratnya
diatas 45 kg sama dengan dosis dewasa.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, disfungsi hati berat
Interaksi: bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung alumunium,
kalsium, besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan efek
hipoprotombogenik dari antikoagulan.
Kehamilan: criteria D- tidak aman dipergunakan pada kehamilan
Perhatian: fotosensitivitas dapat terjadi pada paparan jangka lama terhadap sinar
matahari, dosis hendaknya dikurangi pada gangguan ginjal, perlu dipertimbangkan
untuk mmriksa kadar obat dalam serum untuk pemakaian jangka panjang.
Penggunaan pada masa pembentukan gigi dapat mengubah warna gigi secara
permanen.
Vekuronium. Merupakan agen pemblokade neuromuscular prototipik yng menyebabkan
trjadinya paralisis muskuler. Bayi bersifat lebih bersifat sensitive pada aktivitas blockade
neuromuscular, sehingga pada dosis yang sama, pmulihan terjadi lebih lambat pada 50%
kasus. Tidak direkomendasikan pada neonatus. 1
Dosis dewasa: 1 mg/kg IV, dapat dikurngi menjadi 0,05 mg/kg apabila sudah
diterapi dengan suksinilkolin.
Dosis pediatric: 1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg tiap 1
jam pada anak umur diatas 10 tahun sama saja dengan orang dewasa.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindrom yang berkaitan.
Interaksi: feknya menjadi lebih lama jika digunakan bersamaan dengan anestesi
inhalasi. Gagal hati, gagal ginjal dan pengunaan stroid dapat menyebabkan blockade
berkepanjangan meskipun obatnya telah distop
Kehamilan: kriteria C
Perhatian: pada penderita miastenia gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil
dapat memberikan efek yang kuat.
Pencegahan
6
Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan tindakan pencegahan paling efektif
dalam praktek. Walaupun demikian, tetanus dapat terjadi pda individu yang telah diimunisasi,
diperkirakan mencapai 4 dari 100 juta individu imunokompeten. Mekanisme terjadi gagalnya
imunisasi belum jelas. Beberapa teori mencakup beban toksin yang melebihi kemampuan
pertahanan imunitas pasien, variabilitas antigenic antara toksin dan toksoid serta supresi
selektif dari respon imun. Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama
skali hendaknya mendapat vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa teriri atas tiga dosis:
dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 8-12
bulan stelah dosis pertama. Dosis ulangan dapat diberikan setiap 10 tahun sekali, namun
pembrian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan. 1
Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya:
1) Imunisasi pasif dengan TIG. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan
luka derajat sedang adalah 250 unit intramuskuler yang menghasilkan kadar antibodi
serum protektif paling sedikit 4-6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT suatu produk
yang berasal dari kuda adalah 3000-6000 unit. 1
2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk individu usia di atas 7 tahun. 1
Tetanus neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup
vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan proporsi kelahiran
yang dilakukan oleh rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non-medis. 1
Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigentasi suportif telah secara nyata
memperbaiki prognosis tetanus. Trujilo dkk melaporkan penurunan mortalitas 44% ke 15%
setelah adanya penatalaksanaannya di Negara yang sedang berkembang tanpa fasilitas untuk
perawatan intensif jangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian yang disebabkan tetanus
berat mencapai lebih dari 50%. Dengan obstruksi jalan napas, gagal napas, dan gagal ginjal
yang merupakan penyebab utama. Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah
kematian akibat gagal nafas akut, tetapi sebagai akibatnya, pada kasus yang berat, gangguan
6
otonomik menjadi lebih nampak. Trujilo dkk melaporkan bahwa 40% kematian setelah
adanya perawatan intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi
respirasi. Sebelum adanya ICU, 80% kematian terjadi karena gagal napas akut. Mortalitas
bervariasi berdasarkan usia pasien. Prognosis buruk pada usia tua, pada neonatus dan pasien
dengan masa inkubasi pendek. Di USA mortalitas pasien dewasa dibawah 30 tahun hampir
nol, tetapi pada pasien diatas 60 tahun mencapai 52%. di Afrika mortalitas pada tetanus
nonatorum tanpa ventilasi buatan mencapai 79% pada 1991. Dengan ketersediaan ventilasi
buatan mortalitasnya dapat serendah 11%. Mortalitas dan prognosis juga tergantung pada
status vaksinasi sebelumnya. 1
Tetanus yang berat umumnya mmbutuhkan perawatan ICU sampai 3-5 minggu,
pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus yang meningkat dan
spasme minor dapat terjadi hingga berbulan-bulan, namun pemulihan diharapkan sempurna,
kembali ke fungsi normalnya. Sering juga ditemui menetapnya problem fisik dan psikologis. 1
Kesimpulan
Tetanus diakibatkan oleh bakteri basil gram positif, berspora, obligat anaerob,
Clostridium tetani. Yang menghasilkan toxin yang dapat menyebabkan gejala penyakit
tetanus. Tetanus dikarakteristikan dengan kekakuan umum dan kejang kompulsif pada otot-
otot rangka. Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang dan leher, rigiditas, spasme dan
kemudian menjadi umum. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius namun dapat dicegah
kejadiannya pada manusia. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang jika tidak segera
diobati akan menyebabkan kematian. Luka dapat berukuran besar atau kecil. Tetanus juga
dapat terjadi melalui luka- luka yang kecil. Pengobatan dapat diberikan dengan penggunakan
obat diazepam untuk melemaskan otot, pemberian serum Globulin Imun Tetanus (GIT) dan
equine antitoxin. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif maupun
pasif.
Hipotesis yang dibuat dapat diterima.
6
Daftar Pustaka
1. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata S K, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid III. Edisi k-V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2911-30
2. Anthony S. Fauci, Eugene Braunwald, Dennis L. Kasper, Stephen L. Hauser, Dan L.
Longo, J. Larry Jameson, and et al. Harrison’s principles of internal medicine
18th Edition. New York: McGraw Hill; 2011.p.1197-200
3. Santoso M. Pemeriksaan fisik dan diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan
Diabetes Indonesia; 2004.h.2-14
4. Mutaqin A. Pengantar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem persarafan.
Jakarta: Salemba Medika. 2008; h.118-121
5. Muliawan S Y. Bakteri anaerob yang erat kaitannya dengan problem klinik: diagnosis
dan penatalaksanaan. Jakarta: EGC: 2009.h.44-5
6. Syahrurachman A, Chatim A, Soebandrio A W K, Karuniawati A, Santoso A U S,
Harun B M H. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Tanggerang: Bina
Rupa Aksara publisher; 2010.h.152-3