tetanus

22
TETANUS Hasbiallah Yusuf NIM: 0907101010112 A. Definisi Tetanus adalah suatu kelainan neurotransmisi akibateksotoksin dari Clostridium tetani, suatu bakteri penghasilneurotoxin keras.Organisme ini masuk melalui luka terbuka yang terkontaminasi spora clostridial(Mandal et al., 2004; Hay et al., 2009; Simon et al., 2009). Eksotoksin akan mencapai sistem saraf pusat (SSP) melalui transport axon retrograde yang terikat dengan ganglion cerebral, menyebabkan terhambatnya fungsi sinaps inhibitor sehingga terjadi peningkatan eksitabilitas refleks. Hal ini menimbulkan karakterisktik penyakit berupa kekakuan dan spasme menyeluruh dari otot rangka disertai nyeri yang hebat (Hay et al., 2009; CDC, 2013). B. Etiologi Clostridium tetani merupakan basil anaerob Gram-positif yang dapat membentuk spora (Gambar 1). Bakteri ini terdapat dalam usus hewan herbivora dan terdistribusi luas dalam tanah yang terkontaminasi tinja. Tetanus dapat menyerang seseorang pada usia berapapun jika imunisasi tidak lengkap atau tidak memiliki imunisasi aktif (Mandal et al., 2004). 1

Upload: ely-rahmayani-sirait

Post on 05-Nov-2015

39 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

tetanus

TRANSCRIPT

TETANUSHasbiallah YusufNIM: 0907101010112

A. Definisi

Tetanus adalah suatu kelainan neurotransmisi akibateksotoksin dari Clostridium tetani, suatu bakteri penghasilneurotoxin keras.Organisme ini masuk melalui luka terbuka yang terkontaminasi spora clostridial(Mandal et al., 2004; Hay et al., 2009; Simon et al., 2009).Eksotoksin akan mencapai sistem saraf pusat (SSP) melalui transport axon retrograde yang terikat dengan ganglion cerebral, menyebabkan terhambatnya fungsi sinaps inhibitor sehingga terjadi peningkatan eksitabilitas refleks. Hal ini menimbulkan karakterisktik penyakit berupa kekakuan dan spasme menyeluruh dari otot rangka disertai nyeri yang hebat (Hay et al., 2009; CDC, 2013).

B. Etiologi

Clostridium tetani merupakan basil anaerob Gram-positif yang dapat membentuk spora (Gambar 1). Bakteri ini terdapat dalam usus hewan herbivora dan terdistribusi luas dalam tanah yang terkontaminasi tinja. Tetanus dapat menyerang seseorang pada usia berapapun jika imunisasi tidak lengkap atau tidak memiliki imunisasi aktif (Mandal et al., 2004).Spora dari C. tetanibisa bertahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun dan masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk,luka bakar atau tali pusat yang terkontaminasipadaneonatus. Spora C. tetani tidak dapat hidup di tempat yang kaya oksigen, namun sangat tahan panas dan resisten terhadap antiseptik biasa. Spora dapat bertahan pada proses autoclave pada suhu 121oC selama 10-15 menit dan relatif kebal terhadap phenol dan bahan kimia lainnya (Ritarwan, 2004).Bakteri ini akan menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin belum diketahui pasti, namun tetanoplasmin adalah neurotoxin utama penyebab manifestasi klinis tetanus. Dosis mematikantetanoplasminpada manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan, atau sekitar 175 nanogram untuk manusia dengan berat badan 70 kilogram (CDC, 2013).

Gambar 1.Clostridium tetani, dengan pembentukan spora (bentuk oval di ujung basil); Sumber: CDC, 2013

C. Epidemiologi

Pada negara maju yang telah melakukan imunisasi (vaksin) rutin pada anak, tetanus hanya terjadi kurang dari 20 kasus/tahun. Di negara berkembang, angka kematian akibat tetanus masih tinggi. Meskipun tetanus mempengaruhi segala usia, prevalensi tertinggi adalah pada neonatus dan usia muda. Tetanus dapat menjadi fatal jika menyerang usia bayi dan orang dewasa di atas 60 tahun. Pada tahun 1992, diperkirakan 578.000 kematian bayi disebabkan tetanus neonatal. Pada tahun 1998, terjadi 215.000 kematian di dunia akibat tetanus, dan lebih dari 50% di antaranya berasal dari Afrika. Tetanus adalah penyakit sasaran dari program perluasan imunisasiWorld Health Organization (WHO). Secara keseluruhan, kejadian tahunan tetanus adalah 5-1.000.000 kasus. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2002, ada 213.000 kematian tetanus, di mana 198.000 dari mereka adalah anak-anak muda dari 5 tahun (Mandal et al., 2004; Hinfrey& Cunha, 2013).Dua pertiga kasus tetanus di Amerika Serikat diawali luka pungsi minor pada tangan atau kaki, sementara pada beberapa kasus lainnya tidak terdapat riwayat luka. Penyuntikan dan pembedaan yang tidak steril, serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang adalah faktor risiko penyakit tetanus pada individu tanpa vaksin tetanus. Telah dilaporkan pula bahwa tetanus dapat disebabkan sekalipun oleh luka dangkal yang bersih, gigitan serangga dan infeksi gigi (Hay et al., 2009; CDC, 2013).D. Patogenesis

Spora basil clostridialbiasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Benda asing dan jaringan mati akan menutup luka dan menciptakan kondisi anaerobik yang mendorong pertumbuhan vegetatif aktif. Produksi neurotoxin (tetanoplasmin) akan disebarkan melalui sirkulasi darah dan limfatik, yang berjalan ke arah proksimal di sepanjang saraf untuk mencapai sistem saraf pusat dan menyebabkan tetanus melalui dua mekanisme, dengan memblokade pelepasan asetilkolin pada sinaps mioneural dan dengan melawan pengaruh inhibisi pada lengkung refleks otot. Racun tidak dapat langsung mencapai sistem saraf pusat karena dihalangi sawar darah otak, namun setelah neurotoxinterfiksasi di neuron, racun tidak dapat lagi dinetralisir oleh profilaksis antitoksin. Pemulihan fungsi saraf memerlukan penumbuhan baru dari terminal saraf dan sinaps(Mandal et al., 2004; CDC, 2013).Produksi racuntetanoplasmin yang dibawa secara retrograde (jalur mundur) sepanjang nervus motorik akan menuju ke korda spinalis. Jika masuk melalui luka pada wajah atau kepala, tetanoplasmin dapat menuju batang otak. Pada sirkulasi darah dan limfatik, racun masuk melalui otot rangka untuk mendapatkan akses lainnya menuju nervus motorik. Setelah mencapai korda spinalis dan batang otak, toxin tetanus akan mengganggu pelepasan neurotransmitter inhibitorik, termasukglicine dan asam -aminobutyric (GABA), menyebabkan hiperaktivitas nervus motorik. Nervus otonom juga akan mengalami kelainan inhibisi, menyebabkan takikardi, berkeringat dan hipertensi (Simon et al., 2009).

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi dari C. tetani biasanya selama 3-21 hari (rata-rata 10 hari), walaupun memiliki rentang 1 hari hingga beberapa bulan tergantung jenis kontaminasi. Secara umum, waktu inkubasi yang lebih singkat diakibatkan oleh luka yang terkontaminasi berat, dengan manifestasi klinis yang lebih parah dan prognosis yang lebih buruk (CDC, 2013).Gejala awal yang paling sering adalah nyeri ringan di sekitar daerah luka yang disertai hipertonisitas dan spasme pada otot setempat. Setelah masa inkubasi, tetanus akan menyebabkantahap kaku otot yang dimulai dari trismus (kekakuan otot rahang/lockjaw) dandisfagia (kesulitan menelan)yang nyeri. Penderita sadar penuh dan tidak mengalami gangguan pikiran. Spasme berlangsung selama beberapa detik atau menit yang dapat dipicu oleh rangsangan minimal seperti bunyi bising, batuk, gerakan dan cahaya. Spasme dapat terjadi sebanyak beberapa kali dalam satu jam dan hampir selalu berkelanjutan. Suhu tubuh normal pada sebagian besar kasus dan peningkatan suhu akan memperburuk prognosis.Dalam 24 jam kekakuan akan melebar ke leher, punggung, dada dan otot dinding perut. Setelah 1-2 hari, akan muncul gejala tahap spasmodik yang bersifat intermiten. Tahap ini ditandai spasme pada otot-otot wajah yang serupa dengan risus sardonicus (wajah menyeringai) dan melibatkan axial dan ekstemitas, hingga menyebabkan postur hiperekstensi (opisthotonus). Tahap spasmodik sering disertai pucat dan berkeringat. Komplikasi berbahaya yang mungkin menyertai adalah laryngospasme dan instabilitas saraf otonom yang dapat menyebabkan gagal napas(Mandal et al., 2004; Hay et al., 2009; Simon et al., 2009).Pada kasus yang berat, dapat terjadi gangguan sirkulasi akibat overaktivitas simpatis pada hari kedua hingga hari keempat yang akan meningkatkan tingkat mortalitas. Hal ini ditandai keringat berlebihan, demam, hipertensi/hipotensi, peningkatan curah jantung, takikardia dan aritmia jantung. Jika penderita dapat bertahan, spasme akan menghilang secara bertahap setelah 2-3 minggu dan kekakuan otot akan hilang 1-2 minggu kemudian. Pada kasus ringan, seringkali hanya terdapat kekakuan otot yang terlokalisir pada lokasi trauma (Mandal et al., 2004; Hay et al., 2009).Secara klinis, terdapat 3 bentuk tetanus, yaitu tetanus lokal (localized tetanus), tetanus kepala (cephalic tetanus) dan tetanus umum (generalized tetanus). Bentuk yang paling sering dilaporkan adalah tetanus umum (80% kasus) dan tetanus kepala adalah yang paling langka (CDC, 2013; Hinfey & Cunha, 2013).Pada tetanus lokal (localized tetanus) dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten pada daerah luka.Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa memburuk dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus ini bisa berlanjut menjadi tetanus umum (generalized tetanus), tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Tetanus lokal jugadapat dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah, terutama sesudah pemberian profilaksis antitoksin (Ritarwan, 2004; CDC, 2013; Hinfrey& Cunha, 2013).Tetanus kepala (cephalic tetanus) adalah bentuk yang paling jarang. Masa inkubasi hanya berkisar 1-2 hari.Kasus dapat berasal dari otitis media kronik, luka pada daerah muka dan kepala dan benda asing dalam rongga hidung. Manifestasi klinis melibatkan palsynervus kranialis, terutama pada daerah wajah. Tetanus kepala dapat bersifat lokal atau melebar menjadi tetanus umum (Ritarwan, 2004; CDC, 2013; Hinfrey& Cunha, 2013).Tetanus umum (generalized tetanus) adalah bentuk yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan gejala dan komplikasi lainsecara diam-diam. Trismus (lockjaw) merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseterbersamaan dengan kekakuan otot leher yang juga menyebabkan kaku kuduk dan kesulitan menelan (disphagia). Gejala lainnya berupa risus sardonicus (wajah menyeringai) akibat spasme otot-otot muka, opisthotonus (kekakuan otot punggung) danspasme dinding perut.Spasme dari laring dan otot-otot pernapasan bisa menimbulkan sumbatan saluran napas dan asfiksia sianosis.Spasme dapat menyebar dan menyebabkan dysuria, retensi urine,fraktur kompressi dan pendarahan intra muskular. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa mencapai 40oC.Bila dijumpai pula gangguan saraf otonom seperti hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, takhikardia dan sumbatan emboli paru, penderita biasanya tidak tertolong.Sekitar 10-20% kasus dilaporkan fatal dan menyebabkan kematian. Gejala spasme dapat berlangsung selama 3-4 minggu dan kesembuhan total dapat memerlukan waktu berbulan-bulan (Ritarwan, 2004; CDC, 2013; Hinfrey& Cunha, 2013).

F. Diagnosis

Diagnosistetanusbiasanya dibuatdengan memperhatikanpresentasiklinis dankombinasidari berikut ini (Davis &Stppler, 2011; CDC, 2013): Riwayatlukayang baru dan mengakibatkankerusakankulit(30% kasus tidak memiliki riwayat luka atau tidak mengingat adanya riwayat luka). Padatetanuslokal, nyeri, kramataukejang ototterjadi di daerah dekatluka. Imunisasitetanus tidak lengkap (imunisasi parsial). Kejangotot progresif(dimulai didaerah wajah, kemudian semuaotot tubuh). Demam (terkadang tidak dijumpai, namun dapat mencapai 40oC). Perubahantekanan darah(biasanya tekanan darah tinggi). Denyut jantung tidak teratur. Pemeriksaan laboratoriumjarang digunakanuntuk mendiagnosatetanus. Namun, beberapalaboratoriumrujukandapat menentukan apakahpenderita memilikikadarantitoksinserumyang protektif.Hasil positif menunjukkan diagnosistetanustidak mungkin terjadi. Kultur C. tetaniumumnya tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan hanya dapat diisolasi dari 30% kasus, namun juga dapat ditemukan pada individu yang tidak menderita tetanus.

G. Diagnosis Banding

Berikut ini adalahTabel 1 yang memuat diagnosis banding (differential diagnosis) dari tetanus berdasarkan gejala klinis dan hasil laboratorium (Ritarwan, 2004):Tabel 1. Diagnosis banding tetanusINFEKSI

Meningoencephalitisdemam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Poliotrismus tidak ada, paralise tipe flaccid, abnormal CSF

Rabiesgigitan binatang, trismus tidak ada, hanya spasme orofaringeal

Lesi Orofaringealhanya lokal, tidak ada kekakuan atau spasme seluruh tubuh

Peritonitistrismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK

Tetanikhanya spasme carpopedal dan laryngeal, hypocalcemia

Keracunan Strychninerelaksasi komplit di antara spasme

Reaksi Phenothiazinedystonia, berespons dengan diphenhydramine

PENYAKIT SSP

Status Epilepticusdepresi sensorium

Hemorrhagic Tumortrismus tidak ada, depresi sensorium

KELAINAN PSIKIATRIK

Hysteriatrismus inkonstan, relaksasi komplit di antara spasme

KELAINAN MUSKULOSKELETAL

Traumaspasme hanya lokal

H. Penatalaksanaan

A. UmumTujuan terapi adalah mengeliminasi bakteriC. tetani, menetralisirperedaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut (Ritarwan, 2004): 1.Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2.Penatalaksanaan, terhadap luka dilakukan 1-2 jam setelah anti-tetanus serum (ATS) dan pemberian antibiotika. 2.Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuanmembuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.3.Isolasi untuk menghindari rangsangan seperti suara dan tindakan terhadap penderita.4.Oksigen, pernapasan buatan dan trachcostomi bila perlu. 5.Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

B. MedikamentosaAntibiotika: Diberikan parenteral penisilin 1,2juta unit/hari selama 10 hari secara IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikanpenisilindosis 50.000 unit/kgBB/12 jam secara IM selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap penisilin,obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia penisilin intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/kgBB/24 jam, dibagi dalam 6 dosis selama 10 hari.Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk menetraisir toksin yang dihasilkannya.Bila dijumpai adanya komplikasi, pemberian antibiotika spektrum luas dapat dilakukan(Ritarwan, 2004).Antitoksin:Dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulinatau Termed Tetanus Immuno Globulin(TIG) dengan dosis 3000-6000 unit, satu kali pemberian saja, secara IM.Tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti-complementary aggregates of globulin", yang dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius.Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berasal dari hewan, dengan dosis 40.000 unit.Cara pemberiannya adalah: 20.000 unit antitoksin dimasukkan kedalam 200cc cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena (IV), pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 unit) diberikan secara intramuskular (IM) pada daerah luar(Ritarwan, 2004; Hinfrey & Cunha, 2013).

Tetanus Toksoid:Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertamadilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin, tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM.Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai(Ritarwan, 2004).Antikonvulsan:Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, spasme otot dan laryngeal beserta komplikaisnya.Dengan penggunaan obat-obatan sedasi (muscle relaxants), diharapkan kejang dapat diatasi(Ritarwan, 2004).

Tabel 2. Jenis AntikonvulsanJenis ObatDosisEfek Samping

Diazepam0,5-1,0 mg/kgBB/4 jam (IM)Stupor, Koma

Meprobamat300-400 mg/4 jam (IM)Tidak ada

Klorpromazin25-75 mg/4 jam (IM)Hipotensi

Fenobarbital50-100 mg/4 jam (IM)Depressi pernapasan

Pengobatan tetanus menurut Adam RD (Ritarwan, 2004): 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja. 1,2 juta unit procaine penicilin sehari selama 10 hari, IM. Jika alergi beri tetrasiklin 2 gram/hari. Perawatan luka, dibersihkan, beri ATS (infiltrasi) di sekitar luka. Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan tracheostomi, ini harus dilakukan untuk mencegah cyanosis dan apnoe. Paraldehyde baik diberikan melalui mulut. Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Tubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernapasan dipertahankan dengan respirator.

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy (Ritarwan, 2004): Semua penderita dirawat di ICU. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari harus diganti dengan yang baru. Curare diberi secukupnya untuk mencegah spasme sampai 2 jam. Pernapasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman Ubah posisi/miringkan penderita setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah infeksi konjungtiva. Pasang NGT, diet tinggi, jika perlu berikan cairan 6 Liter/hari. Pasang kateter urine, beri antibiotika. Kontrol serum elektrolit, ureum dan analisa gas darah (AGDA). Rontgen foto thorax. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan. Jika keadaan umum membaik, NGT dihentikan. Tracheostomi dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat.

I. Komplikasi

Komplikasi dari tetanus di antaranya adalah sebagai berikut (CDC, 2013): Laryngospasme(spasme pita suara) dan/atauspasmeotot-ototrespirasi yang dapat menyebabkangagal napas. Fraktur kompresi tulang belakangatautulang panjangakibat kontraksiberkelanjutandan kejang. Hiperaktifsistemsaraf otonomdapat menyebabkan hipertensidan/atauirama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomialumum karenarawat inap berkepanjangan. Infeksi sekundermungkin termasuksepsisdarikateter, pneumonia nosokomial danulkus dekubitus. Emboli paru, terutamapada pengguna narkobadanpasien usia lanjut. Aspirasipneumoniaadalahakhirkomplikasi umum tetanus, ditemukanpada 50-70% kasusyang diotopsi.

Kasusyang paling seringmenjadi fataladalah yangterjadipada usia 60tahunatau lebih(18%) dan penderita tanpa vaksinasi(22%). Pada sekitar 20% dari kematian akibat tetanus, tidak ditemukan patologiyang jelasdan kematiandikaitkan denganefek langsung daritoksin tetanus (CDC, 2013).

Terapikhusus untukkomplikasisistemotonomdan pengendaliankejangharus segera dimulai. Magnesiumsulfatdapat digunakan sendiriatau dalam kombinasi denganbenzodiazepinuntuk tujuan ini, yangharus diberikansecara IVdalam loading dose5g(atau 75 mg/kgBB), diikutidengan infus 2-3g/jamsampaikontrolkejangdicapai.Refleks patellaharus dipantau; areflexia(tidak adanya reflekspatella) terjadi padaujung ataskisaranterapeutik(4 mmol/L). Jikaareflexiaberkembang, dosisharus dikurangi. Infusmagnesium sulfattidakmengurangi kebutuhan untukventilasi mekanispada orang dewasa dengantetanusberat, tetapi mengurangi kebutuhanuntuk obat lainuntuk mengontrolkejang ototdan ketidakstabilankardiovaskular (Hinfrey & Cunha, 2013).Morfinadalah sebuah pilihan pengganti beta-blockeryang dapat menyebabkanhipotensi dankematian mendadak (sudden death), hanya esmololyang saat ini dianjurkan. Hipotensimembutuhkanpenggantian cairandan administrasi dopaminataunorepinefrin. Overaktivitasparasimpatisjarang terjadi, tetapi jikaterjadi bradikardia, alat pacu jantungmungkin diperlukan. Menderita tetanussecara klinistidak menyebabkankekebalan terhadap infeksi C. tetani, karena itusemua pasienharusdiimunisasi lengkapdengantoksoidtetanusselama masapenyembuhan (Hinfrey & Cunha, 2013).

J. Pencegahan

Hampir semuakasus tetanus pada usia dewasa dapat dicegah dengan imunisasi aktif. Kasus neonatal dicegah dengan sanitasi yang baik dan teknik memutuskan tali pusar yang steril da hati-hati, kemudian pada usia 2 bulan imunisasi aktif dapat dilakukan. Ada dua vaksin utama yang direkomendasikan oleh US Centers for Disease Control dan Prevention (CDC). Untuk populasi pediatrik, digunakan DTaP (kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis aselular). Untuk orang dewasa tanpa imunisasi dan pada penyuntikanbooster, dianjurkan injeksi Tdap (kombinasi vaksin tetanus dengan sedikit difteri dan pertusis aselular). Vaksin kombinasi Tdap direkomendasikan oleh CDC pada tahun 2005menggantiknvaksin kombinsi Td, akibat kasus pertusis (batuk rejan) yang meningkat dalam dekade terakhir. Istilah DPT agak jarang digunakan untuk kombinasi vaksin ini, sebab mengandung antigen pertusis seluler, bukan antigen pertusis aseluler. Selain itu, DTP adalah singkatan yang digunakan di Belanda untuk jenis lain dari vaksin kombinasi, yaitu difteri, pertusis dan polio (Davis &Stppler, 2011).Semua orang dewasa, baik yang belum diimunisasi maupun yang telah diimunisasi parsial harus menerima vaksinasi tetanus. Suntikan awal untuk orang dewasa tanpa imunisasi melibatkan tiga dosis Tdap (Davis &Stppler, 2011): Dosis pertama dan kedua diberikan empat sampai delapan minggu terpisah. Dosis ketiga diberikan enam bulan setelah kedua. Dosis boosterdiperlukan setiap 10 tahun setelahnya.

Pada anak-anak, dilakukan untuk 5 dosis suntikan DtaP (Davis &Stppler, 2011): Satu dosis diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan. Seri DTaP ini selesai dengan dosis akhir ketika anak berusia 4-6 tahun. Tambahan boosterdengan Tdap diberikan setiap 10 tahun setelah dosis DTaP terakhir. Anak-anak yang melewatkan dosis DTaP dapat diberikan dosis Tdap, tetapi jadwal pemberian harus ditentukan oleh dokter. Kehamilan tidak dianggap sebagai kontraindikasi vaksin Tdap atau Td menurut CDC.

Orang yang tidak memiliki riwayat imunisasi lengkap dan memiliki luka yang dicurigai terkena tetanus harus menerima booster tetanus di samping antibodi tetanus (TIG). Antibodi tetanus (TIG) akan memberikan perlindungan jangka pendek terhadap penyakit tetanus. Untuk penderita yang sensitif terhadap vaksin gabungan (DTaP atau Tdap), vaksin tetanus lainnya dapat digunakan (misalnya Td).Suntikan vaksin akan terasa menyakitkan (nyeri dapat diakibatkan beberapa faktor, seperti masuknya benda asing ke dalam otot, serat-seratotot yang menyebar akibat volume cairan vaksin, respon kekebalan tubuh dan lainnya), namun rasa sakit ini tidak bertahan lama (Davis &Stppler, 2011).Permasalahanakibat DTaP dan Tdap memiliki rentang dari ringan sampai parah, namun masalah-masalah berat (kejang, koma, kerusakan otak dan saraf, atau reaksi alergi yang parah) terjadi dalam perbandingan kurang dari satu dalam 1 juta vaksinasi dan masih belum jelas apakah vaksin merupakan penyebab utama masalah tersebut. Efek samping ringan yang paling sering dari pemberian DTaP adalah nyeri, demam, rewel pada anak-anak dan kemerahan atau bengkak di tempat suntikan. Sekitar satu dari empat anak mungkin menunjukkan beberapa atau semua efek ini dan umumnya terjadi setelah dosis keempat atau kelima. Masalah ringan lainnya (merasa lelah, nafsu makan menurun, muntah) dapat terjadi satu sampai tiga hari setelah penyuntikan. Efek yang jarang dari DTaP adalah kejang atau demam tinggi (40oC atau lebih tinggi), ini terjadi pada sekitar satu dari 14.000 anak yang menerima vaksinasi(Davis &Stppler, 2011).Efek samping ringan yang paling sering terjadi dari pemberian Tdap adalah nyeri, kemerahan, sakit kepala, menggigil, mual dengan muntah atau diare, pembesaran kelenjar getah bening, nyeri sendi, dan demam sekitar 38oC. Efek samping sedang dari pemberian Tdap adalah nyeri, kemerahan, pembengkakan, mual, muntah, diare dan demam dengan suhu38oC atau lebih tinggi. Sebagian besar Efek samping ringan dari pemberian DTaP dan Tdap biasanya tidak memerlukan pengobatan dan hilang dalam waktu 24 jam, efek samping sedang dapat diobati gejalanya, tetapi anak dengan demam tinggi atau kejang harus segera dievaluasi dan dirawat oleh dokter. Jangan gunakan aspirin untuk menguranginyeri atau demam anak. Hanya terdapat sedikit kontraindikasi untuk vaksinasi.Alergi toksoid (anafilaksis, koma atau kejang) adalah kontraindikasi utama untuk vaksin(Davis &Stppler, 2011).K. Prognosis

Baik atau buruknya prognosis tergantung pada masa inkubasiC. tetani, waktu dari inokulasi spora ke gejala pertama dan waktu dari gejala pertama ke spasme tetanikpertama.Pernyataan berikut biasanya berlaku(Hinfrey & Cunha, 2013): Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang lebih parah dan prognosis yang lebih buruk. Pasien biasanya dapat bertahan dari tetanus dan kembali pulih. Pemulihan tetanus memakan waktu lama, biasanya selama 2-4 bulan. Beberapa pasien tetap hipotonik setelah pulih. Tetanus secara klinis tidak menghasilkan imunitas dari infksi C. tetani, sehingga pasien yang bertahan hidup memerlukan imunisasi aktif dengan tetanus toksoid untuk mencegah kekambuhan.

Sebuah skala telah dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan dan menentukan prognosis tetanus. Pada skala ini, 1 poin diberikan untuk setiap kejadian berikut dan hasilnya akan dijumlahkan (Hinfrey & Cunha, 2013): Masa inkubasi lebih pendek dari 7 hari. Periode onset lebih pendek dari 48 jam. Tetanus diperoleh dari luka bakar, luka bedah, fraktur terbuka, aborsi tidak steril, puntung umbilikal atau injeksi intramuskular. Penyalahgunaan NAPZA. Tetanus umum (generalized tetanus). Suhu lebih tinggi dari 40 C. Takikardia melebihi 120 denyut/menit (150 denyut/menit pada neonatus).

Skor total dari skala di atas menunjukkan keparahan penyakit dan prognosis sebagai berikut(Hinfrey & Cunha, 2013): 0 atau 1 = Tetanus ringan; mortalitas di bawah 10%. 2 atau 3 =Tetanus sedang, mortalitas 10-20%. 4 = Tetanus berat, mortalitas 20-40%. 5 atau 6 = Tetanus sangat berat, mortalitas di atas 50%.

Tetanus kepala (cephalic tetanus) selalu parah atau sangat parah. Tetanus neonatorum selalu sangat parah. Rasio kematianakibat tetanus di Amerika Serikat adalah 91% pada tahun 1947, 21-31% pada tahun 1982-1990, 11% pada tahun 1995-1997 dan 18% pada tahun 1998-2000. Statistik saat ini menunjukkan bahwa mortalitas pada tetanus ringan dan sedang adalah sekitar 6%, pada tetanus berat sekitar 60%. Kematian di Amerika Serikat akibat tetanus umum adalah 30% secara keseluruhan, dengan 52% adalah pasien dengan usia lebih dari 60 tahun dan 13% pada pasienberusia kurang dari 60 tahun. Mortalitas yang tinggi pada tetanus berhubungan dengan berikut(Hinfrey & Cunha, 2013): Periode inkubasi yang singkat. Onset kejang yang cepat. Keterlambatan dalam pengobatan. Terdapat lesi terkontaminasi pada kepala dan wajah. Ddisfungsi otonom (tekanan darah ekstrem, disritmia atau cardiac arrest) Tetanus pada neonatal.

DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2013. Tetanus. http://www.cdc.gov/ tetanus/index.html. [diakses April 2013].

Davis CP &Stppler MC. 2011. Tetanus. http://www.emedicinehealth.com/tetanus/ article_em.htm. [diakses April 2013].

Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM & Deterding RR. 2009. Current Diagnosis & Treatment: Pediatrics. 19th Edition. United States of America: McGraw-Hill.

Hinfrey PB & Cunha BA. 2013. Tetanus. http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview#showall. [diakses April 2013].

Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM & Mayon-White RT. 2004. Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Edisi Ke-6. Jakarta: Erlangga.

Ritarwan K. 2004. Tetanus. Medan: USU Digital Library.

Simon RP, Greenberg DA & Aminoff MJ. 2009. Clinical Neurology. 7th Edition. United States of America: McGraw-Hill.11