tesis yani penentuan parameter model ja

79
PENENTUAN PARAMETER MODEL JILES-ATHERTON DENGAN ALGORITMA GENETIKA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Material Oleh AHMAD YANI NIM: 630300202Y PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL UNIVERSITAS INDONESIA 2006

Upload: yani-ahmad

Post on 27-Jul-2015

2.927 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PENENTUAN PARAMETER MODEL JILES-ATHERTONDENGAN ALGORITMA GENETIKA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperolehgelar Magister dalam bidang Ilmu Material

Oleh

AHMAD YANINIM: 630300202Y

PROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI ILMU MATERIALUNIVERSITAS INDONESIA

2006

LEMBAR PERSETUJUAN

TESIS IIIII TELAH I}ISETUJT]I OLEIT:

DR. $whanlio F, oertadiiPenguji

DR Anto $ulsksoqoPenguii

DRAawtrrMmafKetua Program Magister Ihnu Material

Fakdtss Mrtemrtika dan llmu pe*get*u*n Al*mUniveruitas Indsnesia

Tonggal 26 Bulan JuliTahua 2006

r).

Penguji

ii

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, berkat karunia-Nya saya berhasil menyelesaikan penelitian dengan

judul “Penentuan Parameter Model Jiles Atherton dengan Algoritma Genetika”

dengan segala keterbatasan yang ada. Penelitian ini dapat saya selesaikan atas bantuan

dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu saya ingin ucapkan terima kasih yang tulus

kepada :

1. Dr. Azwar Manaf, ketua program Studi ilmu material yang telah banyak

memberikan pengetahuan dan wawasan melalui kuliah-kuliahnya yang saya ikuti.

Di samping itu, saya juga terkesan dengan ketelitian, ketekunan dan kesabarannya

dalam membimbing para mahasiswa.

2. Dr. Ridwan, sebagai pembimbing yang senantiasa mengarahkan dan memotivasi

saya untuk menyelesaikan penelitian ini tepat waktu. Saya mempelajari banyak

hal tentang bahan magnetik melalui diskusi dengannya selama proses penelitian

ini berlangsung.

3. Dr. Soehardjo Poertadji, Dr. Djoko Triyono dan Dr. Anto Sulaksono sebagai

penguji. Terima kasih atas masukan-masukan yang berharga agar tesis ini menjadi

lebih sempurna.

4. Seluruh dosen dan staf di Program Studi Ilmu Material yang telah banyak

membantu saya sehingga saya dapat menyelesaikan kuliah dengan baik.

5. Dr. Setyo Purwanto, Mujamilah, MSc dan karyawan di PTBIN, BATAN atas

bantuan dan kerjasamanya.

iii

6. Teman-teman di SMAN 8 Jakarta, bapak kepala sekolah, para guru Fisika dan

teman-teman di laboratorium komputer.

7. Teman-teman belajar, Pintar, ibu Sri Endah, Fahamsyah dan Abdullah. Terima

kasih atas kerjasama dan persahabatan yang tulus selama ini.

8. Keluarga besar, ayah dan ibu serta adik-adik yang selalu mendoakan saya agar

berhasil dalam menempuh pendidikan ini. Istri dan anak saya tercinta, terima

kasih telah banyak membantu dan memberikan motivasi.

Saya sangat berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, walaupun saya

juga menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu kritik

dan saran sangat saya harapkan agar karya ini dapat lebih disempurnakan lagi.

Jakarta, 26 Juli 2006

Ahmad Yani

iv

ABSTRACT

There has been designed a program to identify parameter from ferromagnetic

material hysteresis loop based on Jiles-Atherton model. That program used genetic

algorithm toolbox which is integrated in MATLAB software. Its validation is conducted

through two steps, namely validation of simulation program and validation of

identification parameter program.

The program gave satisfactory result when it is applied in trial with error

relative less than 6,5%. Satisfactory result is shown when it is used to identify model

parameter from nickel 99,9% hysteresis measured data. In the contrary, dissatisfied

result obtained when it is applied to identify model parameter from barium ferrite

hysteresis measured data.

v

ABSTRAK

Telah dibuat suatu program penentuan parameter loop histerisis bahan

ferromagnet berdasarkan model Jiles-Atherton. Program itu dibuat dengan

memanfaatkan algoritma genetika yang telah terintegrasi dalam perangkat lunak

MATLAB. Validasi program dilakukan melalui dua tahap yaitu validasi program

simulasi dan validasi program penentuan parameter.

Program ini memberikan hasil yang memuaskan dengan kesalahan relatif

dibawah 6,5% pada saat ujicoba. Hasil yang memuaskan diperlihatkan pada saat

program ini dipergunakan untuk menentukan paramater dari data pengukuran histerisis

nickel 99,9%. Sebaliknya hasil yang kurang memuaskan diperoleh ketika dipergunakan

untuk menentukan parameter dari data pengukuran histerisis barium ferrit.

vi

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ………………………………………….. i

Kata Pengantar ........................................................................... ii

Abstract ....................................................................................... iv

Abstrak ....................................................................................... v

Daftar Isi ....................................................................................... vi

Daftar Tabel ................................................................................. ix

Daftar Gambar .............................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian................................................ 1

1.2. Tujuan Penelitian ...................................................... 3

1.3. Manfaat Penelitian ..................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar ...................................................................... 4

2.2. Bahan Ferromagnetik ................................................... 6

2.2.1. Histerisis Ferromagnetik ............................. 6

2.2.1.1. Magnetisasi Jenuh ............................... 7

2.2.1.2. Remanen ............................................. 9

2.2.1.3. Koersifitas .......................................... 9

2.2.1.4. Permeabilitas diferensial ..................... 10

2.2.2. Vibrating Sample Magenetometer (VSM) ...... 12

2.3. Model Jiles-Atherton (JA) ......................................... 15

2.3.1. Penurunan Model Jiles-Atherton ........ .......... 15

2.3.2. Penentuan Parameter Model ...... ........... 20

2.4. Algoritma Genetika .................................................. 22

2.4.1. Komponen Algoritma Genetika ..................... 22

2.4.1.1. Skema Pengkodean ............................ 23

vii

2.4.1.2. Nilai Kecocokan ................................. 23

2.4.1.3. Seleksi Orangtua ................................. 25

2.4.1.4. Operator Genetika ............................... 26

2.4.1.5. Penggantian Populasi ................... 26

2.4.2. Cara Kerja Algoritma Genetika ....................... 28

2.5. Sifat Magnetis Barium Ferrit dan Nickel ....................... 28

2.5.1. Barium Ferrit .................................................... 28

2.5.2. Nickel .............................................................. 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Diagram Alir Penelitian ........................................... 33

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................ 34

3.3. Alat dan Bahan Penelitian ............................................ 34

3.3.1. Alat yang digunakan .......................................... 34

3.3.2. Bahan yang digunakan .... …………………….. 34

3.4. Prosedur Penelitian ………………………………….. 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Program Simulasi Model JA ………………………... 37

4.2. Validasi Program …………………………………. 38

4.2.1. Validasi Model JA ……………………………... 38

4.2.2. Pengaruh Tiap Parameter pada kurva histerisis ... 42

4.2.2.1. Pengaruh Parameter Ms .......................... 42

4.2.2.2. Pengaruh Parameter k ............................ 43

4.2.2.3. Pengaruh Parameter α ……………….. 44

4.2.2.4. Pengaruh Parameter a ........................... 44

4.2.2.5. Pengaruh Parameter c ........................... 45

4.2.3. Validasi Program Penentuan Parameter ............ 45

4.3. Penentuan Parameter Model JA pada bahan Nickel

dan Barium ferit ............................................................. 53

4.3.1. Nickel (diameter=0,125 mm dan tebal=3 mm) ...... 53

viii

4.3.2. Nickel Batang Kalibrator .................................... 56

4.3.3. Barium Ferrit ........................................ 57

BAB V KESIMPULAN, KESULITAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan .................................................................... 60

5.2. Kesulitan .................................................................... 61

5.3. Saran .................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 63

LAMPIRAN ................................................................................ 65

ix

DAFTAR TABEL

halaman 2. Tabel 2.1

Magnetisasi jenuh beberapa bahan

ferromagnetik

8

3. Tabel 2.2

Sifat magnetik bahan ferromagnet dengan

permeabilitas tinggi. Permeabilitas relatif pada

induksi magnet 2T (µ2T), permeabilitas realtif

maksimum (µmax), induksi magnet jenuh (Bs),

rugi histerisis d.c. (WH), dan koersivitas (HC).

11

4. Tabel 2.3 Spesifikasi VSM tipe OXFORD VSM1.2H 14

5. Tabel 2.4 Data unsur ferromagnetik 32

Tabel 4.1 Opsi algoritma genetika 48

6. Tabel 4.2

Perbandingan nilai sebenarnya dengan nilai

yang diperkirakan

48

9. Tabel 4.3 Kesalahan relatif hasil optimasi 50

Tabel 4.4 Perbandingan nilai sebenarnya dengan hasil

optimasi material A

51

Tabel 4.5 Perbandingan nilai sebenarnya dengan hasil

optimasi material B

52

10. Tabel 4.6 Batasan nilai populasi awal 54

11. Tabel 4.7 Parameter nickel (diameter=0,125, tebal=3 mm)

hasil optimasi

55

Tabel 4.8 Batasan nilai populasi awal pada bahan nickel 56

x

Batang kalibrator

12. Tabel 4.9 Parameter hasil optimasi

bahan nickel batang kalibrator

56

13. Tabel 4.10 Parameter hasil optimasi barium ferit 58

xi

DAFTAR GAMBAR

halaman 1. Gambar 2.1 Loop histerisis untuk bahan ferromagnetik 7

2. Gambar 2.2 Penyearahan momen magnet bahan ferromagnet 8

3. Gambar 2.3 Perbedaan koersifitas dan koersifitas intrinsik 10

4. Gambar 2.4 Kurva anhisterisis 12

5. Gambar 2.5 Diagram sebuah VSM 13

6. Gambar 2.6

Perbandingan metode peringkat dengan metode

skala teratas

24

7. Gambar 2.7 Diagram alir algoritma genetika 28

8 Gambar 2.8 Representasi skematik struktur barium ferrit 30

9. Gambar 4.1 Diagram alir model JA 38

10. Gambar 4.2 Perbandingan kurva M-H 39

11. Gambar 4.3

Kurva magnetisasi anhisterisis dan magnetisasi

irreversibel

40

12 Gambar 4.4 Perbandingan magnetisasi reversibel 41

13. Gambar 4.5 Perbandingan kurva histerisis 41

14. Gambar 4.6. Pengaruh parameter Ms pada kurva histerisis 43

15. Gambar 4.7 Pengaruh parameter k pada kurva histerisis 43

16. Gambar 4.8 Pengaruh parameter α pada kurva histerisis 44

17. Gambar 4.9 Pengaruh parameter a pada kurva histerisis 44

18. Gambar 4.10 Pengaruh parameter c pada kurva histerisis 45

19. Gambar 4.11 Perbandingan kurva histerisis antara tesis ini 47

xii

dengan Hystersoft

20. Gambar 4.12

Kurva perbandingan M-H antara model dengan

data reproduksi

49

21. Gambar 4.13 Perbandingan loop histerisis data parameter A

dengan model

52

22. Gambar 4.14 Perbandingan loop histerisis data parameter B

dengan model

53

23. Gambar 4.15

Perbandingan kurva M-H hasil pengukuran

dengan model untuk bahan Nickel 99,9%

(diameter=0,125mm, tebal=3 mm)

55

21. Gambar 4.16.

Perbandingan kurva data hasil pengukuran

dengan model untuk bahan nickel batang

kalibrator

57

22. Gambar 4.17.

Perbandingan kurva data hasil pengukuran

dengan model untuk bahan barium ferit

58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Simulasi histerisis pada bahan ferromagnetik memainkan peran penting dalam

berbagai penerapan teknologi. Kualitas model histerisis diukur dari kesesuaian hasil

eksperimen dengan simulasi. Kesulitan umum dalam pemodelan kurva histerisis

berhubungan dengan banyak kemungkinan mengingat data pengukuran bersifat ’bulk’.

Selain itu sifat bahan magnet sangat bergantung pada suhu sehingga untuk mendapatkan

pemodelan kurva histerisis yang akurat, maka perubahan suhu selama pengukuran harus

dapat diukur dengan tepat. Namun pada kenyataannya dalam perhitungan suhu sering

dianggap tidak berubah selama pengukuran.

Berdasarkan tingkat ketelitiannya pemodelan histerisis magnetik dapat dibagi

menjadi tiga kelompok besar. Kelompok pertama mendekati masalah histerisis dari sudut

pandang mekanika kuantum, kelompok ini memiliki ketelitian yang paling tinggi yaitu

sampai ke tingkat atom. Kelompok kedua menggunakan analisis mikromagnetik dengan

ketelitian hingga tingkat domain (satu domain terdiri dari lebih kurang 1012 -1015 atom )

untuk meneliti masalah histerisis. Kelompok ketiga memiliki tingkat akurasi yang paling

rendah menggunakan analisis makromagnetik yang didasarkan pada prinsip-prinsip fisika

dan model-model yang mengikuti hubungan input-output nonlinear [1].

Model Jiles-Atherton (JA) mulai dikenal sejak tahun 1984, ketika D.C. Jiles dan

D.L. Atherton mempublikasikan jurnal mereka dengan judul “Theory of ferromagnetic

histerisis” pada Journal on magnetism and magnetic materials [2]. Pada jurnal tersebut

1

2

mereka membagi magnetisasi menjadi dua komponen yaitu magnetisasi reversibel akibat

rotasi domain dan magnetisasi irreversibel karena adanya pergerakan domain wall.

Penjelesan lebih mendalam tentang model JA akan ditemukan pada Bab II di tesis ini.

Pada tesis ini digunakan model JA untuk melakukan karakterisasi dari suatu

sampel bahan magnetik. Penggunaan model JA dipilih diantara model histerisis yang lain

dikarenakan model JA memiliki beberapa kelebihan yaitu : dinyatakan dengan persamaan

differensial, hanya menggunakan 5 parameter model dan penentuan parameter dapat

dilakukan dengan pengukuran loop histerisis tunggal [3].

Telah banyak usaha dilakukan oleh para ilmuwan untuk mendapatkan parameter

model JA dari data pengukuran VSM (Vibrating Sample Magnetometer). D.C. Jiles dan

J.B. Thoelke [4] menggunakan suseptibilitas pada titik asal, koersifitas, magnetisasi

remanen dan koordinat histerisis pada ujung loop untuk memperoleh parameter model

JA. Teknik lain penentuan parameter model JA dengan algoritma simulated annealing

dan penskalaan seperti dilakukan oleh D. Lederer et. al. [3]. Algoritma genetika

digunakan sebagai cara lain untuk mendapatkan parameter model JA seperti dilakukan

oleh Miouat Azzouz [5], P.R. Wilson et. al. [6] dan J.V. Leite et. al. [7].

Pada tesis ini penentuan parameter JA dari data yang diperoleh melalui

pengukuran dengan VSM dilakukan dengan menggunakan algoritma genetika. Algoritma

genetika (AG) dipopulerkan oleh Holland (1975) dan Goldberg (1986) adalah suatu

algoritma pencarian yang menirukan evolusi makhluk hidup secara alami. AG

menggunakan populasi sebagai calon solusi terhadap suatu masalah, lalu membuat

populasi tersebut berevolusi secara berulang-ulang dengan menerapkan operator-operator

stokastik [3]. Pada setiap generasi dihasilkan ketururunan melalui proses pemilihan

3

individu untuk menjadi orangtua dengan berdasarkan tingkat kecocokannya, lalu

orangtua yang terpilih itu menghasilkan keturunan dengan menggunakan operator-

operator genetika seperti pindah silang, mutasi dan elitisme.

Program MATLAB digunakan untuk membuat model JA dan untuk mendapatkan

parameter model JA dari satu set data percobaan. MATLAB ( MATrix LABoratory )

merupakan bahasa pemrograman tingkat tinggi yang berbasis pada matriks sering

digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah analisis numerik, pengembangan

algoritma, pemodelan, analisa data dan optimasi.

1.2. Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menerapkan model JA untuk bahan ferromagnetik dengan menggunakan bahasa

pemrograman MATLAB.

2. Meneliti pengaruh parameter model JA pada koersivitas, magnetisasi remanen

dan suseptibilitas magnetik bahan.

3. Melakukan pencocokan kurva pengukuran dengan model JA untuk bahan nickel

dan barium ferrit dengan menggunakan algoritma genetika.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai alat bantu untuk

menganalisa hasil pengukuran VSM dan dapat diaplikasikan untuk melakukan simulasi

disain bahan ferromagnet. Dengan demikian dapat lebih menghemat waktu dan biaya

produksi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar

Ketika sebuah bahan ditempatkan pada daerah yang dipengaruhi medan magnet

eksternal (H dinyatakan dalam A/m), bahan itu akan memberikan reaksi yang berbeda-

beda. Reaksi bahan ini dapat dinyatakan dengan magnetisasi bahan (M dinyatakan dalam

A/m). Kombinasi dari medan magnet Eksternal (H), magnetisasi bahan (M) akan

menghasilkan induksi magnet (B dinyatakan dalam Tesla atau wb/m2 ), secara matematis

dapat dituliskan

)(0 MHB += µ (2.1)

Untuk dapat mengelompokkan berbagai macam bahan berdasarkan reaksinya

apabila ditempatkan pada medan eksternal, maka diperlukan penjelasan tentang beberapa

sifat bahan berkaitan dengan keberadaan medan magnet luar tersebut, yaitu permeabilitas

dan suseptibilitas. Permeabilitas, µ didefinisikan sebagai perbandingan induksi magnetik

dengan medan magnet eksternal.

HB

=µ (2.2)

Dan suseptibilitas,χ didefinisikan sebagai perbandingan magnetisasi bahan terhadap

medan magnet eksternal

HM

=χ (2.3)

Karena B dan M dapat berupa fungsi linear atau nonlinear dari H, tergantung

kepada jenis material atau medium maka perlu ditekankan disini bahwa µ dan χ mungkin

4

5

bernilai tetap atau mungkin juga tidak bernilai tetap. Oleh karena itu digunakan

differensial permeabilitas dan suseptibilitas seperti berikut

dHdB

='µ (2.4)

dHdM

='χ (2.5)

Berbagai jenis bahan magnetik dikelompokkan berdasarkan suseptibilitas bulk.

Kelompok pertama disebut bahan diamagnetik yaitu bahan dengan χ kecil dan bernilai

negatif, χ ≈ -10-5 . Bahan ini memberikan respon magnetik yang berlawanan terhadap

medan magnetik yang diberikan kepadanya. Contoh bahan diamagnetik adalah tembaga,

perak, emas, bismuth dan berilium. Superkonduktor adalah diamagnetik dengan

suseptibilitas mendekati -1 .

Kelompok kedua disebut paramagnetik yaitu bahan dengan χ kecil dan positif,

besar χ antara χ ≈ 10-3 sampai 10-5. Magnetisasi bahan ini lemah tetapi spin magnetiknya

searah dengan medan magnet luar. Contoh bahan paramagnetik adalah alumunium,

platinum dan mangan.

Kelompok ketiga disebut ferromagnetik, bahan ini paling sering digunakan

dibandingkan dengan kedua kelompok di atas. Suseptibilitas ferromagnetik bernilai

positif dan jauh lebih besar dari 1, biasanya mempunyai nilai χ ≈ 50 sampai 10.000.

Contoh bahan ferromagnetik adalah besi, cobalt, nickel, dan beberapa unsur tanah jarang

serta alloynya [8]. Pada bahan ferromagnetik χ dan µ tidak bernilai tetap, keduanya

dipengaruhi secara kuat oleh medan magnet eksternal, H dan riwayat bahan tersebut.

6

2.2. Bahan Ferromagnetik

2.2.1. Histerisis Ferromagnetik

Histerisis adalah suatu sifat yang dimiliki oleh sistem dimana sistem tidak secara

cepat mengikuti gaya yang diberikan kepadanya. Tetapi memberikan reaksi secara

perlahan, atau bahkan sistem tidak kembali lagi ke keadaan awalnya [1].

Bahan ferromagnetik memiliki momen magnetik spontan walaupun berada pada

medan magnet eksternal nol. Keberadaan magnetisasi spontan ini menandakan bahwa

spin elektron dan momen magnetik bahan ferromagnetik tersusun secara teratur.

Cara yang paling umum untuk menyatakan magnetisasi bulk dari bahan

ferromagnetik adalah dengan memetakan induksi magnetik, B untuk kuat medan magnet

eksternal, H yang berbeda-beda. Cara lain adalah dengan memetakan magnetisasi bahan,

M untuk kuat medan magnet eksternal, H yang berbeda-beda. Kedua cara tersebut

memberikan informasi yang sama, karena antara B, M dan H memenuhi persamaan (2.1).

Loop histerisis biasanya digambarkan seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.1. Loop histerisis untuk bahan ferromagnetik

(diambil dari makalah [9 ] hal. 12)

7

Kesesuaian penerapan bahan ferromagnetik ditentukan oleh karekteristik loop

histerisis. Sebagai contoh untuk penerapan transformer memerlukan bahan dengan

permeabilitas yang tinggi dan kerugian histerisis yang rendah karena untuk transformer

diperlukan pengubahan energi listrik yang efisien.

Informasi yang diperoleh dari kurva histerisis magnetik berupa magnetisasi jenuh,

remanen, koersifitas dan differensial permeabilitas. Penjelasan lebih rinci adalah sebagai

berikut

2.2.1.1. Magnetisasi Jenuh

Dari kurva histerisis dapat dilihat bahwa bahan ferromagnetik mulanya tidak

termagnetisasi. Pemberian medan magnet H menyebabkan induksi magnet meningkat

mengikuti medan magnet luar. Apabila H meningkat tajam maka magnetisasi akhirnya

mengalami kejenuhan pada nilai M0. Ini mewakili keadaan dimana semua dipol

magnetik di dalam bahan telah menjadi searah dengan medan magnet luar, H.

Magnetisasi jenuh hanya tergantung pada besar momen magnet m dan banyaknya atom

per satuan volume n serta tidak bergantung kepada struktur bahan. Sehingga magnetisasi

jenuh pada volume V besarnya

nmM =0 (2.6)

Magnetisasi jenuh terjadi ketika semua dipol magnet telah searah dengan medan

magnet luar dapat tercapai pada suhu 0 K. Pada suhu di atas 0 K, momen magnet

memiliki energi termal yang menyebabkannya berputar di sekitar arah medan magnetik

seperti ditunjukkan pada gambar 2.2. Perputaran arah momen magnet ini menjadikan

8

momen magnet di dalam volume V tidak sepenuhnya searah dengan medan magnet H.

Oleh karena itu didapat nilai magnetisasi jenuh lebih rendah dari M0, nilai magnetisasi

jenuh pada suhu di atas 0 K disebut magnetisasi jenuh teknis. Magnetisasi jenuh dari

beberapa bahan ferromagnetik ditunjukkan pada tabel 2.1.

Gambar 2.2 Penyearahan momen magnet bahan ferromagnet

(a) pada suhu 0 K (b) pada suhu di atas 0 K

Tabel 2.1 Magnetisasi jenuh beberapa bahan ferromagnetik

Bahan (106 A/m)

Besi 1,71

Cobalt 1,42

Nickel 0,48

Permalloy (78% Ni; 22% Fe) 0,86

Supermalloy (80% Ni; 15% Fe; 5% Mo) 0,63

Metglas 2605 (Fe80B20) 1,27

(Diambil dari buku Introduction to Magnetism and Magnetic Material [8] hal. 71 )

2.2.1.2. Remanen

Magnetisasi remanen adalah magnetisasi yang masih tersisa ketika medan magnet

luar dikurangi hingga nol. Dalam penggunaannya, istilah remanen (remanence)

9

dibedakan dengan remanent . Istilah remanen digunakan untuk menggambarkan keadaan

magnetisasi atau induksi yang tersisa setelah bahan mencapai kejenuhan kemudian

medan magnet luar dihilangkan hingga nol, sedang magnetisasi remanent digunakan

untuk menyatakan keadaan magnetisasi yang tersisa setelah bahan mengalamani

magnetisasi pada tingkat sembarang lalu medan magnet dikurangi hingga nol. Oleh

karena itu remanen menjadi batas atas untuk remanent [8].

2.2.1.3. Koersifitas

Induksi suatu bahan dapat dikurangi hingga mencapai nol dengan memberikan

medan magnet luar yang berlawanan sebesar Hc pada bahan itu. Medan magnet Hc itu

disebut koersifitas. Koersifitas sangat tergantung pada keadaan sampel, yaitu dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti perlakuan panas maupun deformasi.

Seperti halnya dengan remanen, perbedaan pengertian dibuat antara medan

koersif dan koersifitas. Medan koersif adalah kuat medan magnet yang diperlukan untuk

mengurangi magnetisasi atau induksi magnetik sampai mencapai nol dari nilai

sembarang. Sedangkan koersifitas adalah kuat medan magnetik yang diperlukan untuk

menurunkan magnetisasi atau induksi magnetik sampai nol dari keadaan magnetisasi

jenuh.

Koersifitas intrinsik dilambangkan dengan Hci adalah kuat medan magnet pada

saat magnetisasi dikurangi sampai nol. Pada bahan soft magnetic Hc dan Hci bernilai

hampir sama, dan biasanya tidak perlu ada pembedaan diantara keduanya. Sedang pada

bahan hard magnetic terdapat perbedaan nyata antara Hc dan Hci [1]. Koersifitas (Hc)

adalah kuat medan magnet eksternal yang diperlukan untuk membuat induksi magnetik

10

sampel menjadi nol sedangkan koersifitas intrinsik (Hci) adalah kuat medan magnetik

eksternal yang diperlukan untuk membuat magnetisasi bahan menjadi nol. Perbedaan

pengertian koersifitas dan koersifitas intrinsik ditunjukkan oleh gambar 2.3.

Gambar 2.3 Perbedaan koersifitas dan koersifitas intrinsik

(diambil dari makalah [10 ] )

2.2.1.4. Permeabilitas differensial

Perlu digaris bawahi bahwa permeabilitas µ bukan salah satu parameter yang

berguna untuk mengkarakterisasi bahan ferromagnetik, karena dari loop histerisis dapat

diperoleh sembarang nilai dari µ termasuk µ=∞ pada B = Br, H = 0, dan µ=0 pada medan

koersifitas yaitu B=0, H=Hc.

Permeabilitas differensial µ’=dB/dH lebih berguna walaupun harus diingat bahwa

µ’ juga nilainya dapat bervariasi tergantung pada H. Permeabilitas differensial maksimum

terjadi pada titik koersifitas H=Hc, B=0, dan permeabilitas differensial awal yaitu

kemiringan mula-mula pada kurva magnetisasi di titik asal. Informasi yang diperoleh dari

permeabilitas differensial lebih berguna karena dapat dihubungkan dengan jumlah dan

kuat pinning site serta stress yang diberikan [8].

11

Magnetisasi jenuh M0 akan memberikan batas magnetisasi maksimum yang dapat

dicapai pada suhu 0 K. Sedangkan pada suhu lebih besar dari 0 K dan di bawah

temperatur Curie magnetisasi jenuh akan mencapai nilai Ms, di mana Ms lebih kecil

daripada Mo. Lebar loop pada sumbu H adalah dua kali medan koersifitas Hc, sedang

tinggi loop histerisis pada sumbu M adalah magnetisasi remanen MR. Orientasi loop

histerisis secara menyeluruh dapat dinyatakan dengan µ’max yaitu kemiringan kurva pada

titik koersifitas. Rugi histerisis WH adalah parameter yang juga independen seperti halnya

permeabilitas awal µ’in [8].

Dari uraian di atas diharapkan dapat dikarakterisasi magnetik bulk suatu bahan ke

dalam lima atau enam parameter bebas. Parameter-parameter tersebut adalah (1)

koersifitas, (2) remanen, (3) rugi histerisis, (4) permeabilitas awal, (5) permeabilitas

maksimum dan (6) magnetisasi jenuh atau induksi magnetik jenuh. Tabel berikut

menunjukkan nilai 5 parameter dari beberapa bahan ferromagnetik dengan permeabilitas

tinggi.

Tabel 2.2. Sifat magnetik bahan ferromagnet dengan permeabilitas tinggi. Permeabilitas relatif pada induksi magnet 2T (µ2T), permeabilitas realtif maksimum (µmax), induksi magnet jenuh

(Bs), rugi histerisis d.c. (WH), dan koersifitas (HC).

Bahan µ2T µmax Bs (tesla)

WH (J/m3)

HC (A/m2)

Besi murni 5000 180000 2,15 30 4

Besi 200 5000 2,15 500 80

Besi-4%Si 500 7000 1,97 350 40

Cold Rolled Steel 180 2000 2,1 - 144

45 Permalloy 2500 25000 1,6 120 24

78 Permalloy 1000000 800000 0,8 - 0,16

(Diambil dari buku Introduction to Magnetism and Magnetic Material [8] hal. 91 )

12

Penyebab terjadinya histerisis karena adanya ketidaksempurnaan, baik yang

disebabkan oleh dislokasi atau elemen ketidakmurnian dalam logam serta magneto

crystalline anisotrophy. Hal ini akan menyebabkan peningkatan rugi energi selama

proses magnetisasi.

Apabila keberadaan cacat dan anisotropi pada bahan diabaikan, akan didapatkan

bahan yang bebas histerisis. Magnetisasi akan menjadi fungsi tunggal dari H dan

reversibel. Fungsi anhisterisis ini diperlihatkan pada persamaan 2.7 dan gambarnya

ditunjukkan oleh gambar 2.4.

−= )()(coth

Ha

aHMM ss (2.7)

Gambar 2.4. Kurva anhisterisis

2.2.2. Vibrating Sample Magnetometer [11]

Vibrating sample magnetometer (VSM) pertama sekali ditemukan oleh Simon

Foner. Momen magnetik sampel dideteksi dengan menempatkan koil di dekat sampel

yang bervibrasi di dalam medan magnet yang dapat diatur. Medan magnet dapat

13

dihasilkan dengan menggunakan bahan elektromagnet, magnet superkoduktor, atau bitter

magnet.

VSM menggunakan teknik induksi, yaitu dengan menempatkan sampel di ujung

batang kaku yang terhubung dengan resonator mekanik. Resonator berosilasi sehingga

mengakibatkan sampel juga berosilasi pada arah vertikal dengan frekuensi tetap ω. Di

sekitar sampel ditempatkan koil. Ketika sampel bergerak, medan magnet sampel yang

sebanding dengan momen magnet, mengubah fluks magnetik melalui koil. Perubahan

fluks magnet ini pada gilirannya menginduksikan arus yang dapat diamplifikasi dan

dideteksi menggunakan lock in amplifier. Medan magnet eksternal diberikan oleh

elektromagnet horizontal.

Gambar 2.5 Diagram sebuah VSM

(diambil dari [12])

Vibrating sample Magnetometer (VSM) adalah adalah alat yang digunakan untuk

mengukur beda induksi magnetik antara daerah yang di dalamnya terdapat spesimen dan

daerah yang di dalamnnya tidak ada spesimen.

VSM yang digunakan pada penelitian ini adalah VSM tipe OXFORD VSM1.2H.

Alat ini merupakan salah satu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat

14

magnetik bahan. Dengan alat ini akan diperoleh informasi berupa besaran-besaran sifat

magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva

histerisis ( gambar 2.1 ), sifat magnetik bahan sebagai akibat perubahan suhu, dan sifat

magnetik bahan sebagai fungsi sudut pengukuran atau kondisi anisotropik bahan.

Spesifikasi dari VSM tipe OXFORD VSM1.2H ditunjukkan oleh tabel 2.3 berikut

ini.

Tabel 2.3 Spesifikasi VSM tipe OXFORD VSM1.2H

Sistem medan magnet luar Tipe Daerah kerja Laju perubahan medan maksimum Resolusi medan Stabilitas medan

Elektromagnet horizontal -1 T s/d 1 T 50 Gauss/detik 1 Gauss 1 Gauss

Sistem perubah suhu lingkungan Tipe Suhu operasi Stabilitas suhu Perubahan suhu

Cryostat dengan aliran cryogen kontinu (4,2 – 300 ) K (dengan pendingin He cair) (90 – 300 ) K (dengan pendingin N2 cair) 0,05 K (4,2 – 77 ) K, 0,1 K (77 – 300) K 10 K dalam 10 menit dengan 0,2 K lonjakan

Sistem pengukuran Daerah pengukuran tegangan Konstan waktu pengukuran Sinyal latar belakang Resolusi pengukuran Daerah penempatan sampel Akurasi penempatan sampel Rotasi sampel Amplitudo getaran Frekuensi getaran

(0,1 – 1000) mV 1 ms – 10 s 5x10-4 emu/ T 1x10-4 emu 20 mm 0,005 mm 7200 (0-1,5) MM (40 – 80)Hz (untuk sistem ini frekuensi diatur tetap pada 55 Hz)

Sistem Pengendali dan Pengolah Data Perangkat keras Perangkat lunak

PC Pentium 166 OXFORD ObjectBench Software

(diambil dari makalah yang ditulis oleh Mujamilah et. al [11] )

15

2.3. Model Jiles Atherton (JA)

2.3.1. Penurunan Model Jiles-Atherton [4 dan 5]

Pada bagian ini akan dibahas penurunan persamaan yang akan digunakan untuk

model bulk ferromagnet. Pertama akan dibicarakan model Langevin untuk paramagnet,

lalu modifikasi yang dilakukan Weiss dan akhirnya model JA.

Langevin menggunakan asumsi bahwa tidak ada interaksi antara momen

magnetik dalam bahan paramagnetik serta menggunakan statistik Maxwell-Boltzmann

untuk mengevaluasi probabilitas p sembarang elektron yang menempati keadaan energi E

pada temperatur T.

TkE

BeEp−

=)( (2.8)

Banyaknya momen magnetik yang berada pada sudut θ dan dθ terhadap arah

medan eksternal adalah

θ

θµθ

θθµ

θ

π

dTk

mH

dTk

mHN

dn

B

B

)cos

(expsin

)cos

exp(sin

0

0

0

∫= (2.9)

Magnetisasi M adalah jumlah proyeksi semua momen magnetik pada arah medan magnet

H.

∫∫

∫==

π

π

π

θθµ

θ

θθµ

θθθ

0 0

0

0

0

)cos

(expsin

)cos

exp(sincoscos

dTk

mH

dTk

mHNm

dnmM

B

B (2.10)

Evaluasi persamaan di atas akan menghasilkan persamaan magnetisasi bahan

paramagnetik sebagai fungsi medan magnet (H) dan temperatur (T).

16

−= )()coth(

0

0

mHTk

TkmH

NmM B

B µµ

(2.11)

Dimana Ms=Nm adalah magnetisasi jenuh.

Pada temperatur tinggi, kTmH0µ <<1, ini akan mengantarkan pada hukum Curie.

kTHmN

M3

20µ= , karena

TC

kTmN

HM

===3

20µχ (2.12)

Apabila pendekatan di atas diterapkan pada bahan ferromagnetik maka terlebih

dahulu perlu dilakukan koreksi pada asumsi bahwa tidak ada interaksi diantara momen

magnetik. Karena pada bahan ferromagnetik terdapat kopling diantara momen magnet

yang berperilaku seperti medan magnet kuat yang berusaha menyearahkan momen

magnet di dalam domain. Medan rerata Weiss yang sebanding dengan magnetisasi bulk

M, Hweiss= αM dapat digunakan untuk menyatakan kopling magnetik. Akibatnya medan

magnet efektif (He) yang dialami oleh momen magnet individual adalah

MHH e α+= (2.13)

Dengan mengganti H dengan He pada model Langevin untuk paramagnet, model

Langevin-Weiss menggambarkan magnetisasi anhisteris pada bahan ferromagnetik.

( )coth( )

oan s

o

m H M kTM MkT m H M

µ αµ α

+ = − + (2.14)

dimana

o

B

mak Tµ

= (2.15)

sehingga persamaan (2.13) dapat dituliskan

17

( )coth( )an s

H M aM Ma H Mα

α + = − +

(2.16)

Disamping mempertimbangkan kopling antar individu momen magnetik, Jiles dan

Atherton juga menggunakan medan rerata Weiss untuk menyatakan kopling antar domain

dan mengembangkan model histerisis berdasarkan disipasi energi akibat pergerakan

domain wall di dalam pengaruh medan magnet. Pergerakan domain wall di bawah

pengaruh medan magnet, sehingga seluruh volume domain yang disejajarkan dengan arah

medan. Jika luasan domain wall yang memiliki sudut 1800 terhadap medan magnet

eksternal bergerak sejauh dx, perubahan magnetisasinya menjadi

AdxMdM s2= (2.17)

Sedang untuk domain wall yang memilki sudut selain 1800, perubahan magnetisasinya

adalah

AdxMdM s )cos1( θ−= (2.18)

Gerakan domain wall tersebut dihambat oleh pinning sites yang dihasilkan oleh

cacat di dalam bahan yang menginduksi energi minimum lokal ketika domain wall

memotong atau melaluinya. Diperlukan energi lebih oleh domain wall untuk melewati

daerah energi minimum lokal ini, yang menghasilkan rugi histerisis. Model ini

menganggap distribusi pinning site homogen dan isotropik dengan kerapatan pinning site

n dan setiap pinning site memiliki rerata energi pinning sama. Jika sebuah domain

bergerak sejauh dx, energi yang hilang karena domain wall pinning adalah

AdxndELoss πεµ0= (2.19)

Untuk domain dengan sudut bukan 1800, rugi energinya adalah

AdxndEloss )cos1(21

0 θεµ π −= (2.20)

18

Persamaan 2.19 dapat ditulis ulang dengan memasukkan suku dM pada persamaan 2.17

kdMM

dMndE

sloss 0

0

εµ π == (2.21)

dengan sM

nk

2πε= . Persamaan di atas mengandung arti bahwa rugi energi karena gerak

domain wall sebanding dengan perubahan magnetisasi. Apabila tidak ada pinning site

seluruh energi yang diberikan kepada bahan akan sama dengan energi magnetostatik

bahan, ini adalah magnetisasi anhisterisis. Pada kasus histerisis, energi yang diberikan

kepada bahan sama dengan energi magnetostatis ditambah rugi histerisis. Energi

magnetostatis di dalam bahan adalah energi anhisterisis tanpa pinning, dikurangi rugi

energi karena domain wal pinning [7].

∫ ∫ ∫−= ee

eeanee dHdHdMkdHHMdHHM )()()( 000 µµµ (2.22)

Dengan mendiferensialkan persamaan integral di atas, akan menghasilkan

−=

eeane dH

dMkHMHM )()( (2.23)

( )k

MMdHdM an

e

−= (2.24)

Dengan menyatakan medan efektif He ke dalam suku-suku H dan αM akan menghasilkan

( ))( MMk

MMdHdM

an

an

−−−

=αδ

(2.25)

Dimana δ mengambil nilai +1 ketika H bertambah pada arah positif (dH/dt > 0), dan -1

ketika H bertambah pada arah negative (dH/dt < 0), untuk menjamin bahwa pinning

selalu melawan perubahan magnetisasi. Harus dicatat bahwa persamaan diferensial (2.25)

adalah untuk komponen magnetisasi irreversibel.

19

( ))( irran

irranirr

MMkMM

dHdM

−−−

=αδ

(2.26)

Selama proses magnetisasi, komponen magnetisasi reversibel yang dapat berupa

lengkungan domain wall, translasi reversibel atau rotasi domain wall secara reversibel.

Komponen magnetisasi reversibel Mrev dianggap sebanding dengan selisih antara

Magnetisasi anhisterisis (Man) dengan magnetisasi irreversibel (Mirr), dengan konstanta

reversibilitas c. Sehingga total magnetisasi M adalah penjumlahan magnetisasi

reversibel dengan magnetiasi irreversibel.

M=Mrev + Mirr = anirr cMMc +− )1( (2.27)

Sedangkan magnetisasi reversibel adalah selisih antara magnetisasi anhisteris dan

magnetisasi irreversibel dikalikan dengan suatu konstanta c [9].

)( irranrev MMcM −= (2.28)

Dimana koefisien konstanta c bernilai diantara 0 (magnetisasi irreversibel

sempurna) sampai 1 (magnetisasi reversibel sempurna). Model Jiles-Atherton

memasukkan komponen reversibel dan irreversibel, dan dapat dinyatakan sebagai [7 dan

16]

( )dH

dMc

MMkMM

cdHdM an

an

anM +

−−−

−=)(

)(1

αδδ (2.29)

Untuk menyelesaikan persamaan diferensial orde satu di atas secara numerik

maka persamaan (2.29) dipilah menjadi Mrev dan Mirr. Bagian pertama dari persamaan

2.29 adalah magnetisasi irreversibel dan dapat dipecahkan secara cepat dengan metode

Euler. Bagian kedua dH

dMc an adalah magnetisasi reversibel, sehingga dapat digantikan

20

dengan persamaan 2.28. Suku δM pada persamaan 2.29 digunakan untuk menjamin nilai

dHdM selalu positif atau nol tetapi tidak bernilai negatif.

δM= (2.30)

Apabila persamaan (2.29) diimplementasikan ke dalam program komputer maka

akan diperoleh model loop histerisis berbentuk sigmoid seperti pada gambar (2.1). Jika

parameter pada model JA diubah maka model tersebut dapat digunakan untuk

meramalkan magnetisasi pada bahan soft magnetic, hard magnetic dan magnetisasi

anhisterisis.

Seperti terlihat dari persamaan (2.16) dan (2.29) bahwa pada model Jiles-Atherton

terdapat 5 parameter yaitu α, a,c,k dan M s[9].

α : Kuat interaksi domain

a : Aspek termal dan diperkenalkan oleh Langevin ketika mendefinisikan perilaku

anhisterisis.

c : Komponen magnetisasi reversibel

k : Kerapatan pinning site

Ms : Magnetisasi jenuh teknis

2.3.2. Penentuan parameter model [4 dan 8]

Parameter model JA dapat diperoleh dari data eksperimen loop histerisis dengan

proses inversi atau kebalikan dari pembuatan plot model ke bentuk grafik. Cara ini

0, jika dH/dt <0 dan Man-M ≥0

0, jika dH/dt >0 dan Man-M ≤0

1, selain dari itu

21

diusulkan oleh D.C. Jiles dan J.B. Thoelke [4]. Menurut mereka untuk memperoleh solusi

dari persamaan anhisteritis, maka terlebih dahulu kita perlu dapatkan suseptibilitas pada

titik asal kurva M-H. Dengan mendiferensialkan persamaan 2.16 akan diperoleh

s

san

HM

an

MM

dHdM

ααχ

−==

== 3'

0;0

(2.31)

Persamaan di atas memberikan batasan untuk mendapatkan α dan a. Selanjutnya

suseptibilitas awal untuk kurva yang sedang naik (δ= +1) dapat diperoleh dari persamaan

2.29.

αχ

3'

0;0

sin

MH

cMdHdM

==

==

(2.32)

Penentuan koersifitas ditentukan dengan parameter rugi (k), untuk bahan yang

sangat soft magnetik, dan jika k dan Hc diukur dalam satuan yang sama, maka

cHk = (2.33)

Tetapi jika k dan Hc menjadi lebih besar, persamaan sederhana di atas dapat digantikan

dengan

−−

+−

=

dHHdM

ccc

HMk

can

can

)(1

11

)(

max'χ

α (2.34)

Persamaan di atas dapat digunakan untuk menghitung k jika diketahui medan koersifitas

Hc dan suseptibilitas diferensial maksimum χmax, dan dengan diketahui parameter α, a

dan c.

Untuk mendapatkan parameter-parameter lainnya kita membutuhkan informasi

tambahan. Magnetisasi remanen dapat digunakan untuk memperoleh parameter lain yang

belum diketahui.

22

−+

+=

dHMdM

cc

kMMM

Ranrem

RanR

)(1)

1(

)(

α

(2.35)

Setelah metode di atas, berikutnya dikembangkan metode-metode lain untuk

mendapatkan kelima parameter model JA. Di antaranya adalah yang dilakukan oleh D.

Lederer dan kawan-kawan (1999) dengan menggunakan metode simulasi annealing dan

P.R. Wilson, Neil J dan A. Brown (2001) menggunakan metode algoritma genetika

dengan kodifikasi binari, serta J.V. Leite dan kawan-kawan menggunakan algoritma

genetika dengan kode real.

2.4. Algoritma genetika

2.4.1. Komponen Algoritma genetika

Algoritma genetika adalah algoritma pencarian yang didasarkan pada mekanisme

seleksi alamiah dan genetika alamiah [John Holland]. Kemunculan AG diilhami oleh

teori-teori dalam ilmu biologi . Sesuai dengan namanya proses-proses dalam AG sama

dengan proses-proses yang terjadi dalam evolusi biologi [13].

Istilah-istilah yang digunakan dalam AG memiliki kemiripan dengan istilah yang

ada pada ilmu genetika. Istilah kromosom digunakan untuk menyatakan kumpulan

karakter yang mewakili solusi dari masalah yang ingin dipecahkan. Sebuah kromosom

adalah individu yang tersusun atas sejumlah gen. Sementara satu gen mewakili satu

variabel solusi, sehingga jika ada lima gen di dalam satu kromosom maka itu berarti

masalah yang ingin dipecahkan mengandung lima variabel bebas. Sejumlah individu atau

kromosom pada suatu waktu tertentu membentuk suatu populasi. Populasi tersebut

23

berevolusi sehingga hanya individu yang memiliki tingkat kecocokan tinggi yang tetap

dapat bertahan.

Pada dasarnya algoritma genetika memiliki lima komponen, dan terdapat banyak

metode yang diusulkan untuk tiap-tiap komponen tersebut. Lima komponen utama

tersebut adalah.

2.4.1.1. Skema pengkodean

Untuk merepresentasikan variabel atau parameter ke dalam kromosom maka

dilakukan suatu pengkodean. Terdapat tiga skema pengkodean yang umum

digunakan yaitu

• Real number encoding. Pada skema ini nilai gen berada pada interval [0,R],

dimana R adalah bilangan real positif dan biasanya R=1.

• Discrete decimal encoding. Setiap gen bisa bernilai salah satu dari bilangan bulat

dalam interval [0,9].

• Binary encoding. Setiap gen hanya bisa bernilai 0 atau satu.

2.4.1.2. Nilai kecocokan

Suatu individu dievaluasi berdasarkan suatu fungsi tertentu sebagai ukuran

performasinya. Di dalam evolusi alam, individu yang dapat bertahan adalah individu

dengan nilai kecocokan yang tinggi, sedang individu dengan nilai kecocokan rendah akan

mati.

Skala kecocokan mengubah nilai mentah kecocokan yang diperoleh dari fungsi

kecocokan menjadi suatu nilai dalam ranah yang dapat dipilih oleh fungsi seleksi.

24

Terdapat dua metode pada skala kecocokan yaitu peringkat (rank) dan top scaling (skala

teratas) . Secara default skala teratas menetapkan 40% individu yang paling cocok

dengan nilai skala tertentu yang sama, dan sisanya memiliki nilai skala nol. Sedangkan

metode peringkat mengubah nilai mentah kecocokan menjadi suatu nilai dalam rentang 1

sampai dengan jumlah individu. Jika tujuan penggunaan AG adalah untuk minimalisasi

suatu fungsi maka individu dengan nilai kecocokan terendah akan diberikan peringkat 1,

kemudian 2 dan seterusnya. Sedang apabila tujuan penggunaan AG adalah untuk

maksimalisasi suatu fungsi maka individu dengan nilai kecocokan tertinggi akan diberi

peringkat 1, yang lebih rendah diberi peringkat 2 dan seterusnya. Perbandingan dari

kedua metode itu disajikan dalam gambar 2.6 [14].

Gambar 2.6 Perbandingan metode peringkat dengan metode skala teratas

2.4.1.3. Seleksi orangtua [14]

Fungsi seleksi bertugas memilih orangtua untuk menghasilkan keturunan yang

akan menghasilkan generasi berikutnya. Pemilihan orangtua ini didasarkan kepada nilai

25

skala dari fungsi kecocokan. Di dalam MATLAB disediakan 6 pilihan metode untuk

memilih orangtua, yaitu

• Stochastic uniform. Setiap individu yang menjadi calon orangtua menempati satu

bagian yang panjangnya sesuai dengan nilai skala individu itu pada suatu garis.

Algoritma ini bekerja dengan cara bergerak sepanjang garis dengan ukuran

langkah yang sama, pada setiap langkah, algoritma memilih satu orangtua pada

bagian yang terkena langkahnya.

• Remainder. Pemilihan orang tua dengan cara ini adalah dengan menggunakan

nilai skala kecocokannya.

• Uniform. Metode uniform memilih orangtua menggunakan harga ekspektasi dan

jumlah orangtua.

• Roulette wheel. Metode ini memilih orangtua dengan cara mensimulasikan roda

roulette, dimana individu calon orangtua ditempatkan pada roda dengan luas

bagian sebanding dengan harga ekspektasinya.

• Tournament. Pemilihan orangtua pada metode ini adalah dengan menetapkan

sejumlah individu secara acak untuk mengikuti turnamen, lalu algoritma akan

memilih individu terbaik sebagai orangtua.

• Custom. Memungkinkan pengguna menentukan sendiri fungsi seleksinya.

2.4.1.4. Operator genetika [14]

Untuk memperoleh generasi baru, operator genetika seperti pindah silang, mutasi

dan elitisme diterapkan pada induk yang terpilih melalui proses seleksi. Pindah silang

adalah cara memperoleh individu baru dengan mengabungkan bagian-bagian gen yang

26

dimiliki kedua induk. Pindah silang dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu satu titik

potong, n titik potong, uniform dan heuristik.

Mutasi terjadi dengan probabilitas rendah. Pada proses mutasi sebuah individu

baru diperoleh dengan cara mengubah kode genetik induk. Cara pengubahannya dapat

menggunakan distribusi acak Gauss. Biasanya mutasi sangat jarang terjadi, dalam satu

generasi mungkin hanya satu atau dua individu yang mengalami mutasi.

Untuk menjamin bahwa individu dengan skala nilai kecocokan tinggi dapat

terpilih sebagai orangtua, maka dibuatkan duplikat individu tersebut sebagai calon

orangtua bagi generasi berikutnya. Proses ini disebut elitisme.

Sebagai misal apabila suatu populasi terdiri dari 20 individu, probabilitas pindah

silang 0,8 dan jumlah ellitisme adalah 2, maka pada populasi generasi berikutnya terdiri

dari

0,8 x 20 individu = 16 individu hasil pindah silang

= 2 individu elit

20 – 16 – 2 = 2 individu hasil mutasi

2.4.1.5. Penggantian Populasi

Setelah diperoleh populasi baru melalui proses pindah silang, mutasi dan elitisme

maka populasi tersebut akan menggantikan seluruh anggota populasi sebelumnya. Pada

dunia nyata penggantian populasi seperti ini tidak realistis, karena faktanya individu-

individu dari generasi yang berbeda dapat berada dalam satu waktu. Secara umum skema

penggantian generasi dapat dirumuskan berdasarkan ukuran yang disebut generational

27

gap G. Ukuran ini menunjukkan persentase populasi yang digantikan dalam setiap

generasi.

Pada skema penggantian generasi dengan G =1, artinya seluruh individu anggota

populasi pada satu generasi digantikan oleh individu dari generasi berikutnya. Pada

skema penggantian yang paling ekstrem adalah hanya mengganti satu individu dalam

setiap generasi, yaitu G= 1/N, di mana N adalah jumlah individu dalam populasi. Pada

setiap penggantian populasi selalu dijaga agar jumlah populasi selalu tetap dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Untuk keperluan itu maka beberapa individu di dalam

populasi harus dihapus agar dapat diganti dengan beberapa populasi dari generasi

berikutnya [13]

2.4.2. Cara kerja Algoritma Genetika

Proses pencarian solusi yang terjadi di dalam AG adalah dimulai dengan

membangkitkan N-individu sebagai populasi awal. Lalu tiap-tiap individu di dalam

populasi diuji tingkat kecocokannya dengan menggunakan fungsi obyektif sehingga

masing-masing individu tersebut memiliki nilai kecocokan. Berdasarkan nilai kecocokan

tersebut kemudian dipilih sejumlah individu sebagai calon orangtua. Dengan menerapkan

operator genetika pada orangtua tersebut maka dihasilkan generasi baru yang berjumlah

sama dengan generasi sebelumnya. Generasi baru tersebut memiliki tingkat kecocokan

yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Proses itu berlangsung terus sehingga pada

akhirnya diperoleh individu yang paling mendekati solusi sebenarnya dari fungsi yang

dievaluasi.

28

Diagram alir berikut menggambarkan proses yang terjadi pada algoritma genetika

untuk optimasi suatu fungsi.

Gambar 2.7 Diagram alir algoritma genetika

2.5. Sifat Magnetis Barium Ferrit dan Nickel

2.5.1 Barium Ferrit

Bahan Ferrimagnetik menunjukkan magnetisasi spontan pada temperatur ruang,

seperti halnya bahan ferromagnetik, sehingga hal tersebut menjadikan bahan

ferrimagnetik menjadi penting dalam perindustrian. Seperti halnya bahan ferromagnetik,

bahan ferrimagnetik juga memiliki domain yang tersaturasi dengan sendirinya. Bahan

ferrimagnetik baru dikenal setelah Neel mempublikasikan makalahnya pada tahun 1948,

Mulai

Populasi awal

Evaluasi fitness

Operator genetika

Populasi baru

Selesai

29

sebelumnya bahan ferrimagnetik selalu diasosiakan dengan bahan ferromagnetik karena

adanya persamaan diantara keduanya. Persamaan bahan ferrimagnetik dengan bahan

ferromagnetik adalah pada terjadinya magnetisasi spontan di bawah temperatur tertentu.

Sedang perbedaannya terletak pada ukuran momen magnetik, bahan ferromagnetik

memiliki momen magnetik berukuran sama sedang pada bahan ferrimagnetik memiliki

ukuran momen magnetik yang berbeda.

Bahan ferrimagnetik dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yang memiliki

struktur kristal berbeda [ 15];

1. Kubik. Rumus umum untuk bahan yang berada pada kelompok ini adalah

MO.Fe2O3, di mana M adalah ion logam divalen seperti Mn, Ni, Fe, Co, Mg

dan lain-lain. Ferrit kobalt CaO.Fe2O3 adalah magnet keras (hard magnetic) ,

tetapi ferrit kubus yang lainnya termasuk magnet lunak (soft magnetic).

2. Hexagonal. Oksida ferrimagnetik heksagonal jumlahnya banyak, tetapi bahan

paling penting secara komersial adalah barium ferrit dengan rumus kimia

BaO.6Fe2O3 (=BaFe12O19) dan Strontium ferrit.

Sel satuan heksagonal yang dimiliki barium ferrit terdiri dari dua molekul

sehingga jumlah atom-atom yang terdapat didalamnya menjadi 2 x 32 = 64 atom.

Parameter kisi barium ferrit adalah sebagai berikut c=23,2 Å dan a=5,88 Å. Ion Ba2+ dan

O2- berukuran besar dan hampir sama serta bersifat non magnetik, mereka tersusun

sedemikian hingga dalam suatu tatanan close packed. Ion yang lebih kecil Fe3+ terletak

pada lokasi interstisial [14].

Satu-satunya ion yang bersifat magnetik pada barium ferrit adalah ion Fe3+,

masing-masingnya memiliki momen magnetik 5 µB. Ion-ion Fe3+ ini terletak pada tiga

30

lokasi kristal yang berbeda yaitu tetrahedral, oktahedral dan heksahedral. Secara

keseluruhan magnetisasi jenuh spesifik barium ferrit pada 0 K (σo) adalah 100 emu/gram,

sementara magnetisasi jenuh spesifik pada 20 0C (σs) besarnya 72 emu/gram. Magnetisasi

jenuh barium ferrit pada 20 0C (Ms) besarnya adalah 380 emu/cm3, sehingga 4πMs =

6660.176 Gauss.

Barium ferrit memiliki struktur gabungan antara hcp dan ccp atau fcc, secara

skematik ditunjukkan pada gambar 2.7, terdapat 10 lapisan ion-ion besar (Ba2+ atau O2-),

dengan 4 ion pada tiap lapisnya. Delapan dari 10 lapisan ini terisi oleh oksigen, sedang 2

lainnya terisi oleh barium. Secara keseluruhan 10 lapis ini dapat dipandang sebagai 4

blok, dengan 2 blok kubus dan 2 blok heksagonal. Pada blok kubus susunan ion oksigen

menempati lokasi tetrahedral dan oktahedral. Pada masing-masing blok heksagonal

sebuah ion barium menggantikan ion oksigen di tengah dari tiga lapisan.

Gambar 2.8 Representasi skematik struktur barium ferrit

(diambil dari buku [15])

31

2.5.2. Nickel [15 dan 16]

Nickel adalah unsur yang menempati golongan 10 dan bilangan periode 4 pada

tabel periodik. Unsur ini memiliki nomor atom 28 dengan massa atom 58,6934 gr/mol

serta konfigurasi elektron [Ar] 3d8 4s2. Kerapatan padatan nickel adalah 8909 kg/m3.

Karena Nickel memiliki titik lebur 1728 K ( 1455 0C ) dan titik didih 3186 K (2913 0C),

sehingga pada temperatur ruang nickel dijumpai dalam bentuk padat.

Nickel dijumpai pada banyak mineral, terutama pada pentlandite ( (Fe,Ni)9S8 ),

pyrrhotite (besi- nickel sulfat) dan garnierite (magnesium-nickel silikat). Nickel juga

terdapat pada kebanyakan meteorit, sehingga seringkali nickel digunakan untuk

membedakan meteorit dengan mineral lain [16].

Struktur kristal Nickel adalah cubic close packed (ccp) dengan parameter sel a=

b=c=352,4 pm; dan α=β=χ= 900. Space group yang dimiliki oleh Nickel adalah Fm3m

(space group nomer 225 ). Struktur cubic close packed memiliki tiga lapisan yang

berbeda sebelum polanya berulang lagi dan struktur ini membentuk unit sel kubus

berpusat muka (fcc). Atom-atom pada struktur ini menempati 52% ruang yang tersedia.

Temperatur Curie nickel adalah 626 K, sehingga pada temperatur di atas 626 K

atau 353 0C Nickel bersifat paramagnetik, sedang di bawah temperatur tersebut Nickel

bersifat ferromagnetik.Pada temperatur ruang Nickel memiliki permeabilitas awal 130

dan permeabilitas maksimum 124. Induksi magnet jenuh Nickel adalah 6050 Gauss dan

memiliki medan magnetik remanen 3250 Gauss serta koersifitasnya 3.0 Oersted. Sedang

magnetisasi spesifik jenuh nickel pada 0 K adalah 221,9 emu/gram. Lebih lengkapnya

data tentang sifat kemagnetan bahan ferromagnetik disajikan pada tabel 2.4.

32

Tabel 2.4 Data unsur ferromagnetik

20 0C 0 K

Unsur σs

(emu/g)

Ms

(emu/cm3)

4πMs

(G)

σo

(emu/g)

µH

( µB )

Tc

( 0C )

Fe 218,0 1714 21580 221,9 2,219 770

Co 161 1422 17900 162,5 1,715 1131

Ni 54,39 484,1 6084 57,50 0,604 358

(diambil dari buku Introduction to Magnetic Material [15] hal 617)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. DIAGRAM ALIR PENELITIAN

KAJIAN TEORI JILES ATHERTON

MEMBUAT PROGRAM SIMULASI MODEL HISTERISIS JA DENGAN MATLAB

MENGUJI PROGRAM TERSEBUT DENGAN PARAMETER SEPERTI YANG ADA PADA MAKALAH [4]

MEMBUAT PROGRAM IDENTIFIKASI PARAMETER MODEL JA DARI DATA YANG DIPEROLEH DENGAN VSM

MENGUJI PROGRAM TERSEBUT DENGAN DATA YANG DIBANGKITKAN DARI PARAMETER YANG ADA PADA

MAKALAH [4] DAN [7]

MENGGUNAKAN PROGRAM TERSEBUT UNTUK MENDAPATKAN PARAMETER JA DARI DATA VSM

UNTUK BAHAN Ni DAN BARIUM FERIT

MENGANALISA PARAMETER YANG DIPEROLEH DIKAITKAN DENGAN SEJARAH SAMPEL

KESIMPULAN

33

34

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil tempat di laboratorium BATAN dan di laboratorium

komputer SMAN 8 Jakarta. Dan, memakan waktu selama kurang lebih satu tahun

tepatnya sejak bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Juni 2006.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian

3.3.1. Alat yang digunakan

Alat yang dipakai pada penelitian ini adalah

• Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

• Laptop IBM thinkpad T22

• X ray Difraction (XRD)

3.3.2. Bahan yang digunakan

Penelitian ini menggunakan bahan sebagai berikut

• Nickel 99,9% berbentuk padatan (bulk)

• Barium ferrit berbentuk padatan

3.4. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian pada tesis ini terdiri dari 6 langkah yang diuraikan sebagai

berikut.

35

1. Melakukan studi literatur tentang bagaimana cara mensimulasikan model JA,

studi dilakukan pada beberapa makalah yang membicarakan masalah tersebut

yaitu [5],[6], [17], [18] dan [19].

2. Membuat program komputer dengan MATLAB untuk mensimulasikan model

JA. Setelah melakukan penelaahan terhadap ketiga makalah di atas, maka

dibuat suatu program simulasi model JA dengan MATLAB. Program ini

mengkombinasikan teknik integrasi tidak gayut waktu [17] dan formulasi

model JA oleh Miouat Azzouz [5].

3. Menguji program tersebut dengan parameter seperti yang terdapat pada

makalah Jiles dan Atherton [4]. Untuk mengetahui seberapa tepat program itu

dengan model JA, dilakukan pengujian kinerja program dengan beberapa set

parameter seperti yang ada pada makalah [4], kemudian membandingkannya

dengan menggunakan program Hystersoft [20].

4. Membuat program komputer dengan MATLAB untuk mendapatkan

parameter dari suatu set data percobaan. Pada saat tesis ini ditulis telah banyak

terdapat beberapa toolbox AG yang dapat digunakan oleh program

MATLAB, tapi pada tesis ini yang digunakan adalah Genetic Algorithm and

Direct Search Toolbox ( GADS ) ver 2.0, dikarenakan toolbox ini telah

tersedia pada MATLAB ver 7.1. yang dirilis pada bulan Agustus 2005.

Penggunaan program ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menuliskan

kode program dengan MATLAB, atau menggunakan panel kendali yang

disediakan. Pada tesis ini program MATLAB untuk menentukan parameter

model JA dibuat dengan menggunakan algoritma genetika. Penggunaan

36

algoritma genetika dilakukan dengan cara pengaturan pilihan metode

algoritma genetika melalui panel kendali, kemudian sebuah kode program

MATLAB dibangkitkan berdasarkan metode algoritma genetika yang telah

dipilih.

5. Menguji program tersebut dengan data yang dibangkitkan dari simulasi

model JA dengan menggunakan parameter yang ada pada makalah [4] dan [7].

6. Menggunakan program-program di atas untuk mendapatkan parameter model

JA dari suatu data yang diperoleh melalui pengukuran dengan VSM untuk

bahan nickel 99,9% dan barium ferrit.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Program Simulasi Model JA

Penyelesaian model JA seperti yang dinyatakan dengan persamaan 4.1

memberikan tantangan tersendiri, ini terbukti dengan banyaknya laporan penelitian

tentang hal tersebut [1], [3], [5], [6], [7] dan [9].

( )dH

dMc

MMkMM

cdHdM an

an

anM +

−−−

−=)(

)(1

αδδ (4.1)

Untuk menyelesaikan persamaan Jiles-Atherton secara numeris, Brian Phelps [17]

menggunakan integrasi gayut waktu dan membagi persamaan tersebut ke dalam tiga

komponen yaitu persamaan diferensial yang menggambarkan magnetisasi total,

magnetisasi anhisterisis dan medan magnet efektif. Hessa Al Junaid dan Tom Kazmierski

[16] menggunakan teknik integrasi tidak gayut waktu. Pada tesis ini digunakan teknik

integrasi tidak gayut waktu .

Sebuah program komputer dibuat dengan MATLAB untuk mensimulasikan gejala

histerisis pada bahan ferromagnetik. Program itu memilah komponen magnetisasi

irreversibel dan magnetisasi reversibel, lalu menjumlahkannya menjadi magnetisasi total.

Program tersebut akan berulang terus mencari magnetisasi total untuk setiap nilai medan

magnet luar dan akan berakhir apabila nilai tmax (user input) terlampaui. Variasi nilai

medan magnet luar diperoleh dengan menggunakan persamaan 4.2.

sin( )mH H tω= (4.2)

37

38

Secara skematis algoritma penyelesaian numeris dari persamaan 4.1 adalah

sebagai berikut.

Gambar 4.1 Diagram alir model JA

4.2. Validasi Program

4.2.1. Validasi model JA

Validasi program model JA pada tesis ini dilakukan dengan cara membuat kurva

histerisis berdasarkan parameter model JA yang terdapat pada makalah [4]. Selanjutnya

START

Pemberian nilai pada kelima parameter model JA

Penetapan nilai awal M, Mirr dan Mrev

t <tHmax

Hitung He

Hitung Man

Hitung Mirr

Hitung Mrev

Hitung Mtotal

ya tidak

STOP

Hitung H

39

kurva histerisis tersebut dibandingkan dengan gambar yang terdapat pada makalah [4].

Hasil perbandingan tersebut ditunjukkan pada gambar 4.2. Gambar 4.2 (a) adalah kurva

histerisis yang diambil dari makalah [4] dan gambar 4.2(b) merupakan kurva histerisis

yang dihasilkan dengan menggunakan program MATLAB.

Gambar 4.2. Perbandingan kurva M-H

(a) sesuai referensi [4] (b) hasil reproduksi

Dengan membandingkan kedua kurva histeresis tersebut terlihat bahwa keduanya

memiliki kecocokan yang sangat tinggi. Hasil ini memberi keyakinan bahwa sistem

program MATLAB yang disusun telah siap digunakan mensimulasikan model JA.

Data-data lain yang digunakan sebagai pembanding adalah hasil analisa yang

dilakukan oleh Miouat Azzouz [5]. Azzouz dalam perhitungannya memilah komponen

magnetisasi anhisterisis, irreversibel dan reversibel, lalu membuatkan grafik hasil plot M

dengan H. Parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan sesuai dengan

makalah [5], yaitu Ms =1,7x106 A/m, k= 2000 A/m, α=0,001, a= 1000 A/m dan c=0,1.

Pada Gambar 4a-4b, dapat dilihat kurva histeresis hasil perhitungan yang dilakukan

dibandingkan dengan hasil perhitungan Azzouz [5].

40

(a)

(b)

Gambar 4.3 Kurva magnetisasi anhisterisis dan magnetisasi irreversibel

(a) Azzouz ; (b) hasil tesis ini Berdasarkan hasil perhitungan di atas, tampak bahwa kurva anhisteresis hasil

analisa Azzouz sangat bersesuaian dengan hasil yang diperoleh dari tesis ini, Adapun

untuk kurva magnetisasi reversibel dapat dilihat pada Gambar 5. Tidak jauh berbeda

dengan hasil sebelumnya, perhitungan kurva magnetisasi reversibel yang diperoleh dalam

tesis ini sama dengan yang didapatkan oleh Azzouz.

.

41

(a) (b)

Gambar 4.4 Perbandingan magnetisasi reversibel

(a) Azzouz ; (b) Hasil tesis ini

Proses validasi juga dilakukan dengan membandingkan hasil yang diperoleh pada

tesis ini dengan program hystersoft yang dibuat oleh Petru Andrei [20].

(a) (b) Gambar 4.5

Perbandingan kurva histerisis (a) Hystersoft; (b) Hasil tesis ini

Pada tahap selanjutnya diperlukan suatu program untuk mengenali parameter

yang terdapat pada satu set data eksperimen. Dengan program tersebut diharapkan dapat

42

diperoleh 5 parameter model JA dari suatu data hasil pengukuran berupa magnetisasi (M)

dan medan magnet luar (H), kelima parameter tersebut adalah

α : Kuat interaksi domain

a : Aspek termal dan diperkenalkan oleh Langevin ketika mendefinisikan perilaku

anhisterisis.

c : Komponen magnetisasi reversibel

k : Kerapatan pinning site

Ms : Magnetisasi jenuh teknis

4.2.2. Pengaruh Tiap Parameter Pada Kurva Histerisis [5 dan 9]

Masing-masing parameter pada model JA memberikan pengaruh pada kurva

histeresis secara keseluruhan. Pada bahasan berikut akan dianalisis pengaruh tiap-tiap

parameter pada bentuk kurva histerisis yang dapat diidentifikasi sebagai kuat medan

koersif (Hc), magnetisasi remanen (MR) dan magnetisasi maksimal (Mm).

4.2.2.1. Pengaruh parameter Ms

Pada gambar 4.6. diperlihatkan dua kurva histeresis dengan keempat parameter k,

α, a dan c sama, sedangkan Ms berbeda. Dari gambar tersebut terlihat bahwa magnetisasi

maksimal dan magnetisasi remanen untuk parameter Ms =2,0x106 A/m akan bernilai lebih

besar daripada parameter dengan Ms=1,6x106 A/m. Sedangkan kuat medan koersif untuk

kedua kurva histerisis tersebut adalah sama [5].

43

Gambar 4.6. Pengaruh parameter Ms pada kurva histerisis

4.2.2.2. Pengaruh parameter k

Pengaruh parameter k pada bentuk kurva histerisis adalah pada kuat medan

koersif, magnetisasi maksimal dan magnetisasi remanen. Kuat medan koersif dan

magnetisasi remanen mengalami kenaikan apabila parameter k bertambah besar, sedang

magnetisasi maksimal mengalami penurunan kecil jika paramater k dinaikkan seperti

terlihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Pengaruh parameter k pada kurva histerisis

44

4.2.2.3. Pengaruh parameter α

Pengaruh parameter α pada bentuk kurva histerisis ditunjukkan pada gambar 4.8.

Peningkatan nilai α akan mengakibatkan kenaikan magnetisasi maksimum, magnetisasi

remanen dan suseptibilitas, sedangkan kuat medan koersif bertambah sedikit.

Gambar 4.8

Pengaruh parameter α pada kurva histerisis

4.2.2.4. Pengaruh parameter a

Parameter a berkaitan dengan aspek termal dan pertama sekali diperkenalkan oleh

Langevin untuk menggambarkan kurva anhisterisis. Apabila nilai a bertambah akan

mengakibatkan suseptibilitas, magnetisasi remanen dan magnetisasi maksimum

berkurang, sedangkan kuat medan koersif mengalami peningkatan sedikit.

Gambar 4.9 Pengaruh parameter a pada kurva histerisis

45

4.2.2.5. Pengaruh parameter c

Parameter c merupakan parameter yang menunjukkan kontribusi magnetisasi

reversibel terhadap magnetisasi total. Pada gambar 4.10 terlihat bahwa semakin besar

nilai c maka magnetisasi maksimum dan magnetisasi remanen akan menurun, kuat medan

koersif akan mengalami sedikit penurunan.

Gambar 4.10 Pengaruh parameter c pada kurva histerisis

4.2.3. Validasi Program Penentuan Parameter

D.C. Jiles dan J.B. Thoelke menggunakan teknik inversi untuk mendapatkan

kelima parameter di atas. Mula-mula harus dihitung suseptibilitas pada titik asal kurva

M-H, koersifitas Hc dan suseptibilitas diferensial maksimum χmax. Kemudian peneliti-

peneliti berikutnya menggunakan teknik simulated annealing dan algoritma genetika.

Peter Wilson et. al melakukan perbandingan penggunaan simualted annealing dan

algoritma genetika pada kecocokan parameter yang diperoleh dengan data percobaan.

Diperoleh kesimpulan bahwa ternyata parameter yang diperoleh dengan menggunakan

AG lebih cocok daripada dengan menggunakan simulated annealing.

46

Selanjutnya pada tesis ini digunakan AG untuk mendapatkan parameter model JA

dari satu set data pengukuran dengan VSM. Terlebih lagi pada MATLAB versi 7.04 telah

tersedia toolbox GADS (Genetic Algorithm and direct Search), yaitu suatu toolbox yang

berisi fungsi-fungsi AG.

Sebelum program ini digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap

ketepatan program dalam menaksir parameter dari suatu set data percobaan. Lima

parameter yang terdapat pada makalah [4] digunakan untuk membangkitkan nilai M pada

berbagai nilai H. Pasangan data ini M dan H selanjutnya disimulasikan sebagai data

percobaan dan disimpan kedalam file coba.txt. Kelima parameter tersebut adalah

Kurva histeresis yang dihasilkan dari kelima parameter tersebut adalah seperti

yang ditunjukkan oleh gambar 4.11. (a). Kurva ini diperoleh dengan menggunakan

program hystersoft, sedangkan gambar 4.8.(b) adalah kurva yang diperoleh dengan

menggunakan program komputer dengan MATLAB.

Ms = 1,6 x 106 A/m

k = 2000 A/m

α = 0,003

a = 2000 A/m

c = 0,1

47

Gambar 4.11 Perbandingan kurva histerisis antara tesis ini dengan Hystersoft

(a) dengan hystersoft (b) dengan program MATLAB

Kemudian dengan program komputer ingin diperoleh kelima parameter tersebut.

Proses pencarian nilai parameter ini dilakukan beberapa kali sehingga mendapatkan

tingkat kecocokan yang terbaik. Untuk melihat tingkat kecocokan digunakan nilai rata-

rata jumlah kuadrat selisih nilai model dan nilai pada data percobaan atau mean sum

squared error (MSSE) [7].

( )

N

MMMSSE

N

iiel∑

=

−= 1

2modexp

(4.3.)

Opsi algoritma genetika yang ditetapkan untuk tiga kali pengulangan disajikan

pada tabel 4.1.

48

Tabel 4.1 Opsi algoritma genetika

options Pengulangan ke-1 Pengulangan ke-2 Pengulangan ke-3

Batas populasi

awal

[1e6 1500 0 1500 0 ;

2e6 3000 1 3000 1 ]

[1.4e6 1500 0 1500 0

;1.8e6 2500 0.01 2500

0.5 ]

[1.4e6 1500 0 1500 0 ;

1.8e6 2500 0.01 2500 0.5

]

Jumlah populasi 50 50 50

Jumlah elit 5 5 5

Jumlah generasi 200 200 400

Fungsi kecocokan @fitscalingrank @fitnescalingrank @fitnescalingrank

Fungsi pindah

silang

@crossoverheuristic 1.2 @crossoverheuristic 1.2 @crossoverheuristic 1.2

Fungsi mutasi @mutationgaussian 1 1 @mutationgaussian 1 1 @mutationgaussian 1 1

Fungsi seleksi @selectionroulette @selectionroulette @selectionroulette

Berikut adalah parameter yang diperoleh dengan menggunakan algoritma genetika dari

file data coba.txt.

Tabel 4.2 Perbandingan nilai sebenarnya dengan nilai yang diperkirakan

Diperkirakan

Sebenarnya1 2 3

fval 7,0832 x 107 1,6543 x 106 2,7844 x 105

Ms (A/m) 1,6 x 106 1,6048 x 106 1.5984x 106 1,6035x 106

k (A/m) 2000 1984,0 1981,0 2000,2

α 0,003 0,0028 0.0029 0,0030

a (A/m) 2000 1899,5 1954,2 2031,7

c 0,1 0,1189 0,1249 0,0993

49

Perbandingan antara kurva model dengan kurva data percobaan dapat dilihat pada

gambar 4.12. (a), (b) dan (c) berikut.

Gambar 4.12 Kurva perbandingan M-H antara model dengan data reproduksi

(a) fval = 7.0832 x 107 Ms = 1.6048e x 106 k = 1984,0 α= 0,0028 a = 1899,5 c = 0,1189

(b) fval = 1,6543e x 106 Ms = 1,5984 x 106 k = 1981,0 alpha = 0,0029 a = 1954,2 c = 0,1249

(c) fval = 2,7844e x 105 Ms = 1,6035e x 106 k = 2000,2 α = 0,0030 a = 2031,7 c = 0,0993

50

Perbedaan nilai parameter hasil optimasi dengan nilai sebenarnya dapat

ditentukan dengan rumus

%100xx

xx

sebenarnya

sebenarnyaoptimasi − (4.4)

Kesalahan relatif untuk tiap-tiap pengulangan ditunjukkan oleh tabel 4.3.

Pengulangan ke-1 dan pengulangan ke-2 menggunakan opsi yang sama dan dibedakan

pada batas populasi awal. Pada pengulangan ke-2 batasan populasi awal sudah lebih

menyempit dan oleh karena itu diperoleh nilai kecocokan yang lebih kecil. Pada

pengulangan ke-3 digunakan jumlah generasi 400 dan batas populasi awal serupa dengan

pengulangan ke-2. Pada pengulangan ke-3 ini diperoleh nilai kecocokan terendah dan

prosentase kesalahan relatif untuk tiap parameter kurang dari 1,6%. Secara lengkap

kesalahan relatif untuk tiap parameter ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 4.3

Kesalahan relatif hasil optimasi

Parameter Pengulangan ke-

Ms k α a c

1. 0,3% 0,8% 6,67% 5,03% 18,90%

2. 0,1% 0,95% 3,33% 2,29% 24,90%

3. 0,22% 0,01% 0% 1,59% 0,70%

Berdasarkan analisa di atas maka terlihat bahwa nilai hasil optimasi yang

diperoleh untuk tiap parameter model JA dari file coba.txt tidak memiliki perbedaan

signifikan dengan nilai sebenarnya.

51

Sebelum digunakan untuk menentukan parameter dari suatu data pengukuran

dengan VSM, maka terlebih dahulu program tersebut divalidasi lagi dengan data yang

dibangkitkan dari parameter yang terdapat pada makalah [7]. Pada makalah tersebut

disajikan contoh penggunaan algoritma genetika pada dua buah material A dan B.

Pencarian dilakukan pada batas-batas yang telah ditetapkan, kemudian diperoleh

parameter hasil optimasi untuk material A dan B. Penentuan batas-batas parameter yang

dilakukan pada makalah [7] adalah dengan cara trial and error pada sejumlah kecil

individu dan sedikit generasi [7].

Validasi pada tesis ini dilakukan dengan menggunakan batas-batas populasi awal

seperti diberikan pada makalah [7] dan menggunakan metode algoritma genetika seperti

ditunjukkan pada tabel 4.1 pengulangan ke-3.

Perbandingan antara parameter hasil optimasi material A yang diperoleh pada

tesis ini dengan nilai sebenarnya dan kesalahan relatifnya ditunjukkan pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Perbandingan nilai sebenarnya dengan hasil optimasi material A

Batas populasi

awal Nilai sebenarnya Nilai dugaan Kesalahan relatif

Ms (A/m) 1x106 - 2x106 1,453x106 1,4525 x106 0,03%

k (A/m) 25 -100 72,352 72,6804 0,45%

Alpha 5x10-5 – 5x10-4 1,7703 x10-4 1,7383 x10-4 1,81%

a (A/m) 25 - 100 88,424 86,2932 2,41%

c 0,1 – 0,5 0,35025 0,3602 2,84%

52

Perbandingan antara loop histerisis data dan loop histerisis model dengan

parameter hasil optimasi ditunjukkan pada gambar 4.13.

Gambar 4.13 Perbandingan loop histerisis data parameter A dengan model

Dengan menggunakan cara yang sama dilakukan penentuan parameter hasil

optimasi untuk material B. Hasil penentuan parameter tersebut ditunjukkan pada tabel 4.5

di bawah ini.

Tabel 4.5 Perbandingan nilai sebenarnya dengan hasil optimasi material B

Batas populasi awal Nilai sebenarnya Nilai dugaan Kesalahan relatif

Ms (A/m) 1x106 - 2x106 1,589x106 1,58106 0,82%

k (A/m) 150 -750 289,76 288,4244 0,46%

Alpha 5x10-5 – 5x10-4 1001 9380 6,25%

a (A/m) 150 - 750 584,07 546,745 6,45%

c 0,1 – 0,5 0,41775 0,4273 2,29%

53

Perbandingan loop histerisis data dengan loop histerisis model diperlihatkan oleh

gambar 4.13.

Gambar 4.14 Perbandingan loop histerisis data parameter B dengan model

Model JA yang diimplementasikan pada program MATLAB pada tesis ini sudah

berhasil mendekati model JA seperti yang terdapat pada makalah Jiles dan Thoelke [4],

Azzouz dan program hystersoft yang dikembangkan oleh Petru Andrei. Dan dengan

algoritma genetika dapat diperoleh parameter model JA jika diberikan data berupa

pasangan medan magnet luar (H) dan magnetisasi bahan (M).

4.3. Penentuan Parameter Model JA pada bahan Nickel dan Barium Ferrit

4.3.1. Nickel (diameter=0,125 mm dan tebal= 3 mm)

Pada tahap ini program komputer yang telah divalidasi seperti diuraikan di atas

digunakan untuk menentukan parameter model JA pada bahan Nickel 99,9%.

54

Algoritma genetika yang digunakan pada program ini ingin menemukan 5

variabel. Dimulai dengan membangkitkan 50 individu sebagai anggota populasi yang

nilainya diberi batasan seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini

Tabel 4.6 Batasan nilai populasi awal

Ms 3,0x105 -5,0 x105

k 1000 – 5000

Alpha 0 – 1

a 1000 - 5000

c 0 - 1

Pencarian parameter ini dilakukan sebanyak empat kali dengan melakukan

beberapa pengubahan pada fungsi seleksi dan jumlah generasi.Sedangkan batas-batas

nilai populasi awal sama untuk setiap pencarian dan ditunjukkan pada tabel 4.2.

Pemberian batasan pada populasi awal tidak menghalangi algoritma genetika untuk

menemukan solusi di luar batas tersebut.

Pada pencarian pertama dan kedua menggunakan fungsi seleksi stokastik dan

dengan perbedaan pada jumlah generasi, yaitu pada pencarian pertama sebanyak 50

generasi dan pecarian kedua 100 generasi. Sedangkan pada pencarian ketiga dan keempat

menggunakan metode roda roulette dengan jumlah generasi 100 pada pencarian ketiga

dan 200 pada pengulangan keempat. Dari keempatnya terlihat bahwa dengan metode roda

roulette diperoleh nilai kecocokan yang lebih kecil atau tingkat kecocokan lebih tinggi

dan peningkatan jumlah generasi akan memberikan dampak peningkatan tingkat

kecocokan.

55

Parameter yang diperoleh dan nilai kecocokan dari keempat kegiatan pencarian

tersebut ditunjukkan dalam tabel 4.4. sebagai berikut.

Tabel 4.7 Parameter Nickel (diameter=0,125 mm dan tebal= 3 mm) hasil optimasi

No Nilai kecocokan

(x 106)

Ms

(x105 A/m)

k

(A/m)

α

a

(A/m)

c

1 35,273 3,6657 5065,7 -0,3781 2787,2 0,1103

2 36,385 3,6663 4681,8 -0,3725 3015,2 0,1156

3 34,830 3,6569 3402,6 -0,3738 2299,9 0,0985

4 30,252 3,660 4394,2 -0,3928 2006,5 0,0789

Pada pencarian yang keempat diperoleh nilai kecocokan terkecil dibandingkan

dengan ketiga pencarian yang lainnya. Maka kelompok parameter pada pencarian

keempat inilah yang paling mendekati nilai sebenarnya. Perbandingan antara kurva M-H

hasil pengukuran dengan kurva M-H model adalah sebagai berikut.

Gambar 4.15 Perbandingan kurva M-H hasil pengukuran dengan model untuk

bahan Nickel 99,9% (diameter=0,125 mm dan tebal= 3 mm)

56

Pada model di atas, titik-titik acuan yang dapat diidentifikasi adalah Mm =

3.57x105 A/m , MR = 2,113x104 A/m dan Hc = 5746 A/m.

4.3.2. Nickel Batang Kalibrator

Dengan cara seperti pada langkah penentuan parameter model JA bahan Nickel

(diameter = 0,125 mm dan tebal = 3 mm) di atas, maka untuk bahan Nickel batang

kalibrator dimulai dengan menetapkan jangkauan populasi awal. Selanjutnya batas ini

dapat diperbaiki pada pengulangan penentuan parameter berikutnya. Pada pengulangan

pertama digunakan batas-batas seperti diperlihatkan pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Batasan nilai populasi awal pada bahan nickel batang kalibrator

Ms 3,0 x105 -5,0 x105

k 1000 – 5000 α 0 – 1 A 1000 – 5000 c 0 – 1

Penentuan parameter model JA untuk bahan ini dilakukan sebanyak empat kali

dengan melakukan beberapa variasi terhadap batas-batas populasi awal, hasilnya dapat

dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.8 Parameter hasil optimasi bahan nickel batang kalibrator

Batas populasi awal Nilai

kecocokan

(x107)

Ms (A/m) (x105)

k (A/m)

α a (A/m)

c

[3e5 1000 0 1000 0 ; 5e5 5000 1 5000 1 ] 2,6381 3,6819 6651,9 -0,3550 4120,7 0,1255 [3e5 1000 0 1000 0 ; 5e5 5000 1 5000 1 ] 2,8595 3,7016 7755 -0,3215 4265,2 0,1719 [3e5 1000 0 1000 0 ; 5e5 5000 1 5000 1 ] 4,6152 3,7020 2932,8 -0.3320 5402 0.2042 [3e5 1000 0 1000 0 ; 5e5 5000 1 5000 1 ] 4,5323 3,6839 2564,7 -0,3426 4493,3 0,1816

57

(a) (b) Gambar 4.16.

Perbandingan kurva data hasil pengukuran dengan model Untuk bahan nickel batang kalibrator (a) fval=4,6152x107; (b)fval=2,6381x106

Perbandingan kurva antara data pengukuran dan model ditunjukkan pada gambar

4.13 . Dengan mempertimbangkan hasil-hasil pencarian di atas, maka parameter model

JA yang paling cocok dengan hasil pengukuran adalah pada pencarian ke pertama atau

seperti ditunjukkan pada gambar 4.5.(b). Parameter hasil optimasi tersebut adalah

Ms=3,6819x105 A/m, k=6651,9 A/m, alpha=-0,3550 , a=4120,7 A/m, c=-0,1255. Titik titik acuan

pada gambar 4.5.(a) yang dapat diidentifikasi adalah Mm = 3.52x105 A/m , MR = 1114 A/m

dan Hc = 2355 A/m.

4.3.3. Barium Ferrit

Pencarian parameter dilakukan dengan mengatur pilihan pada algoritma genetika,

kemudian mengubah batas bawah dan batas atas populasi awal. Mula-mula didapati kurva model

yang menyerupai kotak, dan gagal mengikuti kelengkungan pada ujung loop di sekitar titik

magnetisasi remanen. Namun kemudian setelah dilakukan pengubahan batas atas dan batas

58

bawah terutama untuk parameter α dan a, diperoleh kurva model yang memilki tingkat

kecocokan lebih baik dari sebelumnya. Walaupun tetap saja kurva model gagal mendekati secara

baik kurva data hasil pengukuran. Berikut disajikan hasil pencarian parameter model JA barium

ferit dalam tabel 4.7.

Tabel 4.9

Parameter hasil optimasi barium ferrit

Batas populasi awal Nilai kecocok

an (x107)

Ms (A/m) (x105)

k (A/m)

alpha a (A/m)

c

[3e5 1000 0 0 0 ; 5e5 5000 1 5000 1 ]

464,99 3,322 3601,7 1,0703 7325,7 1,0417

[4e5 1000 0 1000 0 ; 5e5 5000 1 5000 1 ]

464,09 3,3606 2802,7 1,0885 8060 1,0292

[3e5 2000 0 5000 0 ; 5e5 8000 1 5000 1 ]

455,11 3,3296 3419,4 1,1078 9920 1,0491

Model dengan parameter hasil optimasi tersebut apabila diperbandingkan dengan

kurva hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4.17. Perbandingan kurva data hasil pengukuran dengan model

untuk bahan barium ferit (a) fval=464,09x107; (b)fval=455,11x107

59

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa titik koersifitas kurva model dengan

koersivatas kurva pengukuran relatif sama, sedangkan magnetisasi remanen dan

suseptibitas kurva model memiliki perbedaan dengan kurva pengukuran. Pada kurva

model suseptibiltas atau kemiringan kurva lebih besar daripada suseptibilitas kurva

pengukuran. Sedang magnetisasi remanen kurva model dan kurva pengukuran berbeda

sedikit.

BAB V

KESIMPULAN, KESULITAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Model JA berhasil diimplementasikan ke dalam program MATLAB dan telah

divalidasi dengan pembanding gambar yang ada pada makalah D.C. Jiles dan D.L.

Thoelke [4], software hystersoft yang dibuat oleh Petru Andrei dan tesis yang diajukan

oleh Miouat Azzouz.

Parameter model JA yaitu Ms, k, α, a dan c memiliki pengaruh pada bentuk kurva

hysteris. Kenaikan nilai Ms akan mengakibatkan peningkatan magnetisasi maksimum dan

magnetisasi remanen, sedang kuat medan koersif tetap. Apabila k bertambah besar,

magnetisasi remanen dan kuat medan koersif juga bertambah, sedang magnetisasi

maksimum mengalami penurunan sedikit. Jika parameter α bertambah maka magnetisasi

remanen, magnetisasi maksimum, suseptibiltas dan kuat medan koersif juga turut

bertambah. Pertambahan nilai a akan berakibat pada penurunan nilai magnetisasi

remanen, magnetisasi maksimum dan suseptibilitas sedang kuat medan koersif

mengalami peningkatan sedikit. Jika parameter c bertambah besar akan memberikan

pengaruh pada penurunan nilai magnetisasi remanen, magnetisasi maksimum dan kuat

medan koersif, sedang suseptibiltas cenderung tetap.

Program penentuan parameter model JA telah divalidasi dengan menggunakan

data yang ada pada makalah [4] dan [7]. Hasil validasi menunjukkan bahwa dengan

melakukan iterasi sampai 400 generasi diperoleh kesalahan relatif pada kisaran 0,08% -

6,45%.

60

61

Kurva model yang diperoleh dengan menggunakan parameter hasil optimasi

dengan algoritma genetika memiliki tingkat kecocokan yang bagus dengan data hasil

pengukuran untuk bahan nickel (diameter=0,125mm dan tebal=3mm ) dan nickel batang

kalibrator. Sedangkan program yang digunakan pada tesis ini memberikan tingkat

kecocokan model yang kurang memuaskan pada saat digunakan untuk data pengukuran

histerisis barium ferit.

5.2. Kesulitan

Kesulitan yang dijumpai pada pembuatan program MATLAB model JA ini adalah

pada penyelesaian persamaan diferensial model JA secara numerik. Penentuan parameter

model JA dengan algoritma genetika memiliki ruang pencarian yang sangat luas dan

terdapat banyak pilihan metode yang dapat digunakan.

5.3. Saran

Program penentuan parameter model JA dengan algoritma genetika ini dapat

diperbaiki lagi sehingga dapat menentukan parameter model secara lebih akurat.

Perbaikan dapat dilakukan dengan menyelesaikan persamaan diferensial tak linear model

JA dengan metode yang lebih akurat lagi seperti Range-Kutte, walaupun ini akan

memakan waktu lebih lama.

Sebelum menentukan parameter model JA dengan algoritma genetika, sebaiknya

terlebih dahulu dilakukan penentuan secara kasar dengan bantuan titik-titik acuan seperti

magnetisasi remanen, magnetisasi jenuh, kuat medan koersif dan suseptibilitas pada titik

nol.

62

Peneliti lain dapat menyelidiki kelima parameter model JA tersebut dikaitkan

dengan struktur kristal, perlakuan mekanik maupun perlakuan panas yang diberikan pada

bahan ferromagnetik.

Metode pembuatan model dan penentuan parameter model JA pada tesis ini dapat

dicoba untuk diterapkan pada pembuatan model histerisis bahan ferromagnetik yang lain

seperti model Stoner-Wohlfarth dan Preisach.

65

LAMPIRAN Source Code file fithys : % program untuk mendapatkan parameter dari data pengukuran % VSM dan membandingkannya dengan simulasi teoritris clear all,clf; load vsm1/coba2.txt; Mexp=coba2(:,2); Hexp=coba2(:,1); [x fval]=fitga; fval Ms =x(1) k=x(2) alpha = x(3) a=x(4) c=x(5) step=0.01; M=0; M1=0; Man=0; Mirr =0; Mrev=0; oldH=0; for i=1:1:length(Hexp); H = Hexp(i); He = H + alpha*M; dH=H-oldH; oldH =H; if dH > 0 dk= k; else dk = -k; end Man=Ms*(coth(He/a)-a/He); deltaM=(Man-M); if dH<0 & deltaM >= 0 delM=0; elseif dH>0 &deltaM <= 0 delM=0; else

66

delM=1; end dMdH=(1-c)*delM*(deltaM)/(dk-alpha*deltaM); Mirr=Mirr +dMdH*dH; Mrev=c*(Man-Mirr); M=Mrev+Mirr; Mt(i)=M; Ht(i)=H; %plot(H,M,'r-'),hold on end plot(Ht,Mt,'r:'),hold on plot(Hexp,Mexp,'b.') xlabel('H (A/m) ') ylabel('M (A/m) '),grid on hold off; Source code file fitja.M function y = fitja(x) %Program ini bertujuan untuk mencocokkan data pengukuran % dengan model menggunakan MSSE load vsm1/coba2.txt; Mexp=ni1253(:,2); H=ni1253(:,1); %status=batas(x); %if status==0 % y=1e20; % return %else x(1)=x(1); %Ms 1.6e6; x(2)=x(2); %k 1000; x(3)=x(3); %alpha 0.003; x(4)=x(4); % a 2000; x(5)=x(5); %c 0.1; Ms =x(1); k=x(2); alpha = x(3); a=x(4); c=x(5); M=0; Man=0; Mirr =0; Mrev=0;

67

oldH=0; maxN=length(H); sumsqr=0; for jj=1:1:maxN; Hexp=H(jj); He = Hexp + alpha*M; dH=Hexp-oldH; deltaH=dH; oldH =Hexp; if dH > 0 dk= k; else dk = -k; end Man=Ms*(coth(He/a)-a/He); deltaM=(Man-M); if dH<0 & deltaM >= 0 delM=0; elseif dH>0 &deltaM <= 0 delM=0; else delM=1; end if dH<0 & deltaM >= 0 delM=0; elseif dH>0 &deltaM <= 0 delM=0; else delM=1; end dMdH=(1-c)*delM*(deltaM)/(dk-alpha*deltaM); Mirr=Mirr +dMdH*dH; Mrev=c*(Man-Mirr); M=Mrev+Mirr; %Mex=Mexp(jj); sumsqr = sumsqr + (Mexp(jj)-M)^2; end y=sumsqr/maxN; %end Source code file fitga.M function [X,FVAL,REASON,OUTPUT,POPULATION,SCORES] = fitga %% This is an auto generated M file to do optimization with the Genetic Algorithm and

68

% Direct Search Toolbox. Use GAOPTIMSET for default GA options structure. %%Fitness function fitnessFunction = @fitja; %%Number of Variables nvars = 5 ; %Linear inequality constraints Aineq = []; Bineq = []; %Linear equality constraints Aeq = []; Beq = []; %Bounds %LB = [3e5 1000 0 1000 0]; %UB = [5e5 5000 0.001 5000 1 ]; LB=[]; UB=[]; %Nonlinear constraints nonlconFunction = []; %Start with default options options = gaoptimset; %%Modify some parameters options = gaoptimset(options,'PopInitRange' ,[1e6 1000 0 500 0 ; 1.5e6 2000 0.01 1500 1 ]); options = gaoptimset(options,'PopulationSize' ,50); options = gaoptimset(options,'EliteCount' ,5 ); %options = gaoptimset(options,'MutationFcn' ,@mutationadaptfeasible); options = gaoptimset(options,'Generations' ,400); options = gaoptimset(options,'StallGenLimit' ,Inf); options = gaoptimset(options,'StallTimeLimit' ,Inf); %options = gaoptimset(options,'FitnessScalingFcn' ,{ @fitscalingshiftlinear 2 }); %options = gaoptimset(options,'CrossoverFcn' ,{ @crossoverintermediate 1 }); options = gaoptimset(options,'CrossoverFcn' ,{ @crossoverheuristic 1.2 }); options = gaoptimset(options,'SelectionFcn' ,@selectionroulette); %options = gaoptimset(options,'SelectionFcn' ,@selectionremainder); options = gaoptimset(options,'MutationFcn' ,{ @mutationgaussian 1 1 }); options = gaoptimset(options,'Display' ,'off'); %%Run GA [X,FVAL,REASON,OUTPUT,POPULATION,SCORES] = ga(fitnessFunction,nvars,Aineq,Bineq,Aeq,Beq,LB,UB,nonlconFunction,options);