tesis ttg keharaman merokok
DESCRIPTION
Penelitian tentang haramnya rokok, tidak cuma dipandang dari sisi agama, tapi juga dari sisi medisTRANSCRIPT
STUDI ANALITIS TERHADAP KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA
KOMISI FATWA SE INDONESIA III MUI TAHUN 2009
TENTANG HUKUM HARAM MEROKOK DALAM
PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM
“Analytical Study on Ijtima Decision of Indonesian Instruction Commission of MUI III in 2009 about Forbidden of Smoking Based on the Law of Islam”
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Program Studi Hukum Islam
Oleh :
AFRIYANA
04421001
PROGRAM STUDI SYARIAH
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2009
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawan ini; Nama : AFRIYANA Nim : 04421001 Program studi : Ahwal al-Syakhsiyyah Jurusan : Syari’ah Fakultas : Ilmu Agama Islam Judul skripsi : Studi Analitis terhadap Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa Se Indonesia III MUI Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok dalam Persepektif Hukum Islam.
Dengan ini menyatakan bahwa hasil penulisan skripsi ini merupakan hasil
karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penulisan skripsi ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan tata tertib yang berlaku di Universitas Islam Indonesia.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tidak dipaksakan.
Yogyakarta, 11 Juli 2009 Penulis,
(Afriyana)
MOTTO
ORANG BERHASIL MEMBERIKAN BUKTI, ORANG GAGAL MEMBERIKAN
SERIBU ALASAN
HARTA DAN KEKAYAANKU AKAN DIBAWA ANAK DAN KELUARGAKU,
NAMUN SUMBANGANKU PADA ILMU PENGETAHUAN AKAN BERSINAR
BAGAI MUTIARA DI AMBANG PINTU PENGETAHUAN
KEBANYAKAN DARI MANUSIA MENGINGINKAN KESEMPURNAAN, TAPI DIA
TIDAK MENGETAHUI BAHWASANYA KESEMPURNAAN HANYA MILIK
ALLAH SWT
KETERBUKAAN SUDAH PASTI JUJUR, AKAN TETAPI KEJUJURAN BELUM
TENTU AKAN TERBUKA
Karya kecil ini saya persembahkan teruntuk:
1. Keluarga besar H. Simad As’ary
2. Keluarga besar Alm. H. Sanusi
3. Bapak dan Mamahku yang tercinta, yang telah mendo’akan dan
memberikan kasih sayang yang tak terbatas kepada Ananda
4. Kakak dan adik-adikku (Alm. Adnan, Hilda Yulianingsih, Agus Saefullah,
Najmu Naufal Hakim, Ismi Nabila)
5. Seorang wanita yang telah hadir dalam hidupku, yang telah banyak
berkorban selama dalam penyelesaian skripsi ini, engkaulah semangat
hidupku
6. Para sahabat dan teman seperjuangan yang penulis sayangi
7. Teman-teman HMI UII
8. Teruntuk almamaterku Universitas Islam Indonesia Fakultas Ilmu Agama
Islam.
9. Semua pihak yang membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, thanks for all
ABSTRAK
Penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir atau library research (study pustaka). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan bahan hukum primer berupa al-Qur’an, Hadits dan Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok. Teknik analisis data yang digunakan adalah deduksi dan deskriptif. Sementara pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini ada tiga: pendekatan normatif, filosofis, dan historis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MUI dalam fatwanya tentang hukum haram merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan di tempat umum. Pro-kontra menyelimuti fatwa kontroversial tersebut, terlebih daerah yang menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat dimana perusahaan rokok berdiri. Dibalik pro-kontra tersebut, ada fakta yang unik, ternyata sebagian para ulama/kyai dalam MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok. Bahkan kopi dan rokok masih menjadi “menu utama”. Terkesan, bahwa fatwa yang dikeluarkan merupakan keputusan final, absolut dan tidak menerima tafsir yang lain. Fatwa MUI terjebak dalam “penalaran ekslusif” (exlusionary reasons) sehingga menafikan tafsir lain yang sangat mungkin menyebar di berbagai pemikiran publik. Fatwa haram merokok, akan berimbas pada kian bertambahnya jumlah pengangguran di Negeri Indonesia ini. Sebab, tidak sedikit jumlah masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada produksi rokok, seperti buruh pabrik rokok, petani tembakau, dan penjual asongan rokok. Mereka tentu akan menjadi korban paling parah jika ternyata perusahaan-perusahaan rokok terpaksa bangkrut karena fatwa dan larangan merokok.
Berdasarkan penelitian dalam skripsi ini, MUI dalam penetapan fatwa Haram Merokok belum mengutamakan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya dan memenuhi kebutuhan sekunder serta kebutuhan pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi Hajiyah. Dan Hajiyah, juga Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah. Bahwa tujuan umum Syari’ dalam mensyariatkan hukum, ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah (kebutuhan pokok) hajiyah (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah mereka telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka.
KATA PENGANTAR
حيم الر حمن الر اهللا بسم
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat beraktivitas dengan
baik, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada
waktunya meskipun masih terdapat kekurangan-kekurangan. Tak lupa shalawat serta
salam kita haturkan kepada sang Revolusioner Nabi Muhammad Saw yang telah
merubah pola pemikiran manusia dari pemikiran jahiliyyah menuju pemikiran yang
qur’aniyyah dan wahyuniyyah.
Di dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menyadari tentang banyaknya
kendala dan rintangan yang dihadapi baik yang bersifat teknis maupun non-teknis.
Namun berkat do’a, motivasi dan kontribusi dari berbagai pihak, maka kendala dan
rintangan yang menghadang tersebut mampu terlewati dan teratasi dengan baik.
Maka pada kesempatan kali ini, penyusun menghaturkan ucapan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec.
2. Dekan dan para pembantu dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta (Drs. HM. Fajar Hidayanto, MM., Drs. H.A.F.
Djunaidi, M.Ag) beserta staf.
3. Ketua Jurusan Syari’ah Drs. H. Syarif Zubaidah, M.Ag beserta sekretaris
Jurusan Syari’ah Drs. HM. Sularno, MA.
4. Dosen pembimbing, Dr. Drs. H. Dadan Muttaqien, SH, M.Hum. penyelesaian
skripsi ini tentu juga berkat kerja keras beliau, yang telah banyak meluangkan
watunya untuk mendiskusikan beberapa permasalahan yang penulis rasa
penting mendengar pendapat beliau. Oleh karenanya, beliau telah penulis
anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari lahirnya skripsi ini.
5. Keluarga besar H. Simad As’ary, tempat yang menjadi rumah dan keluarga
serta telah banyak memberikan dukungan baik berupa moral maupun materil.
Berkat dukungan keluarga besar H.Simad As’ary penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Keluarga besar Alm H. Sanusi, tempat yang menjadi rumah dan keluarga
serta telah banyak memberikan dukungan baik berupa moral maupun materil.
Berkat dukungan keluarga besar Alm. H. Sanusi penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Bapak dan Mamah, yang tanpa diminta senantiasa selalu mendoakan untuk
kesuksesan penulis. Tidak ada bahasa yang tepat untuk menggambarkan
peran yang telah mereka berdua berikan selama ini pada diri penulis. Semoga
Allah selalu memberikan kekuatan, kesehatan, dan kesuksesan pada penulis
untuk membuat mereka tersenyum dan bangga kepada penulis.
8. Kakak dan adik-adikku, Alm. Adnan, Hilda Yulianingsih, Agus Saefullah,
Najmu Naufal Hakim, dan Ismi Nabila. Yang selalu memaksa penulis untuk
pulang ke rumah saat liburan tiba demi bertemu untuk bercengkrama dengan
mereka dan jalan-jalan ke gunung, dan ke pantai. Kalian semua harus lebih
hebat dari kakak kalian.
9. Seorang wanita dengan inisial 3493 RF, yang telah memberikan pelajaran
hidup kepada penulis. Dan selalu membangkitkan semangat pada diri penulis
dalam melakukan segala aktivitas. Berkat hadirnya dirimu serta dukungan
moral dan materilmu penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Engkaulah
inspirasiku, semangat hidupku.
10. Teman-teman HMI UII, yang siap sedia untuk meluangkan waktunya hanya
untuk berdiskusi dengan penulis.
11. Tinto Wardani, Hendro Iswahyudi. Teman penulis yang telah memberikan
fasilitas berupa laptop, komputer, printer serta kopi dan rokok 234 yang
selalu disediakan setiap penulis menggarap skripsi.
12. Teman-teman rental mobil: Sukendar, Mitro, Enggar, Aying, Soni, Ridho,
dan Iman. Berkat dukungan doa dan materil penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Semoga rental kita tambah sukses, go nasional dan internasional.
13. Teman-teman angkatan 2004 khususnya jurusan Syari’ah, yang telah lulus
duluan semoga sukses selalu dan tidak melupakan persahabatan kita.
14. Staf perpustakaan Fakultas Ilmu Agama Islam dan perpustakaan pusat
Universitas Islam Indonesia atas bantuan kemudahan dalam peminjaman
referensi.
Urutan ucapan terimakasih ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk
memberikan urutan prioritas. Urutan tersebut hanya merupakan persoalan “budaya
ilmiah” yang berlaku sampai saat ini. Bagaimanapun juga semua kalangan di atas
telah memberikan kontribusi kepada penulis,tidak terkecuali dalam proses
penyusunan skripsi ini, sesuai dengan wilayah yang menjadi bagian mereka. Hanya
ucapan terimakasih setidaknya hal terkecil yang bisa penulis berikan kepada mereka
di dunia. Sementara apa yang menjadi hak mereka kelak di sisi Allah, penulis hanya
bisa mendoakan semoga Allah membalas segala perbuatanmu dengan sebaik-baiknya
balasan.
Layaknya sebuah karya tulis pada umumnya yang merupakan karya cipta
manusia, di dalam karya ini pasti terdapat berbagai kekurangan. Oleh karenanya,
kritik dan saran tetap penulis butuhkan demi tercapainya sebuah karya yang lebih
baik. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa kepada Allah semoga lahirnya karya kecil
ini dapat memperkarya khazanah keilmuan Islam dan tentunya dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Yogyakarta, 11 Juli 2009
Penyusun,
(Afriyana)
TRANSLITERASI
1. Konsonan
Di bawah ini daftar huruf arab dan transliterasinya dangan huruf latin
Huruf arab Nama Huruf latin Nama
Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
Ba b be ب
Ta t te ت
Sa s es (dengan titik di atas) ث
Jim j je ج
Ha h ha (dengan titik di bawah) ح
Kha kh ka dan ha خ
Dal d de د
Zal z zet (dengan titik di atas) ذ
Ra r er ر
Zai z zet ز
Sin s es س
Syin sy es dan ye ش
Sad s es (dengan titik di bawah) ص
Dad d de (dengan titik di bawah) ض
Ta t te (dengan titik di bawah) ط
Za z zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ koma terbalik (di atas)‘ ع
Gain g ge غ
Fa f ef ف
Qaf q ki ق
Kaf k ka ك
Lam l el ل
Mim m em م
Nun n en ن
Wau w we و
Ha h ha هـ
Hamzah ‘ apostrof ء
Ya y ye ى
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia yang terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
1). Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
fathah a a
kasrah i i
hammah u u
2). Vokal Rangkap
Vokal rangkap dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
...ي fathah dan ya ai a dan i
...و fathah dan wau au a dan u
Contoh:
kataba - آتب
fa’ala - فعل
zukira - ذآر
yazhabu - يذهب
سئل - su”ila
kaifa - آيف
haula - هول
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan huruf Nama Huruf dan tanda Nama
...ى ...ا fathah dan alif atau ya a a dan garis di atas
...ى kasrah dan ya I i dan garis di atas
...و Hammah dan wau u u dan garis di atas
Contoh:
qala - قال
rama - رمى
qila - قيل
yaqulu - يقول
4. Ta’marbutah
Transliterasi untuk ta’marbutah adan dua:
1. Ta’marbutah hidup
Ta’marbutah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,
transliterasinya adalah “t”.
2. Ta’marbutah mati
Ta’marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya dalah
“h”.
3. Kalau pada kat aterakhir denagn ta’marbutah diikuti oleh kata yang
menggunkan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
ta’marbutah itu ditransliterasikan dengan ha(h).
Contoh:
raudah al-atfal - روضة األ طفال
- raudatul atfal
al-Madinah al-Munawwarah - المدينة المنو رة
- al-Madinatul-Munawwarah
talhah - طلحة
5. Syaddah
Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda, tanda syaddah atau tasydid, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut
dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama denganhuruf yang diberi tanda
syaddah itu.
Contoh:
rabbana - ربنا
nazzala - نزل
al-birr - البر
al-hajj - الحج
nu’’ima - نعم
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, namun
dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyah.
1). Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditranslite-rasikan dengan
bunyinya, yaitu huruf /1/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu.
2). Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditranslite-rasikan sesuai aturan
yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya.
Baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah, kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang.
Contoh:
ar-rajulu - الرجل
as-sayyidu - السيد
as-syamsu - الشمس
al-qalamu - القلم
al-badi’u - البديع
al-jalalu - الجالل
7. Hamzah
Dinyatakan di depan bahwa ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya
berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan diakhir kata. Bila hamzah itu
terletak diawal kata, isi dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh:
ta’khuzuna - تأخذون
’an-nau - النوء
syai’un - شيئ
inna - إن
umirtu - أمرت
akala - أآل
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun harf ditulis terpisah. Hanya
kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan
dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka transliterasi
ini, penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
Wa innallaha lahuwa khair ar-raziqin وإن اهللا لهو خير الرازقينWa innallaha lahuwa khairraziqin
Fa auf al-kaila wa-almizan وأوفوا الكيل والميزانFa auf al-kaila wal mizan
Ibrahim al-Khalil إبراهيم الخليلIbrahimul-Khalil
Bismillahi majreha wa mursaha بسم اهللا مجراها ومرساها
وهللا على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيال
Walillahi ‘alan-nasi hijju al-baiti manistata’a ilaihi sabila Walillahi ‘alan-nasi hijjul-baiti manistata’a ilaihi sabila
9. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaanhuruf kapital seperti apa
yang berlaku dalam EYD, di antaranya: Huruf kapital digunakan untuk menuliskan
huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamana nama diri itu didahului oleh
kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
terebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Wa ma Muhammadun illa rasl وما محمد إال رسول
إن أول بيت وضع للناس للذى ببكة مبارآا
Inna awwala baitin wudi’a linnasi lallazi bibakkata mubarakan
رمضان الذى أنزل فيه شهر ن~القرا
Syahru Ramadan al-lazi unzila fih al-Qur’anu Syahru Ramadanal-lazi unzila fihl-Qur’anu
Wa laqad ra’ahu bil-ufuq al-mubin ه باألفق المبين~ولقد راWa laqad ra’ahu bil-ufuqil-mubin
Alhamdu lillahi rabbil al-‘alamin هللا رب العالمينالحمد Alhamdu lillahi rabbilil-‘alamin
Penggunaan huruf awal kapital hanya untuk Allah bila dalam tulisan Arabnya
memang lengkap demikian dan kalau tulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga
ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak digunakan.
Contoh:
Nasrun minallahi wa fathun qarib نصر من اهللا وفتح قريب
Lillahi al-amru jami’an هللا األمر جميعاLillahil-amru jami’an
Wallaha bikulli syai’in ‘alim واهللا بكل شيئ عليم
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN ................................................................................ ii
NOTA DINAS ................................................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
ABSTRAKSI .................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
TRANSLITERASI .......................................................................................... xii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xx
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 8
F. Landasan Teori ............................................................................. 9
1. Teori tentang fatwa .................................................................. 9
2. Teori istinbath hukum .............................................................. 10
G. Metode Penelitian ......................................................................... 11
1. Jenis penelitian ......................................................................... 11
2. Sifat penelitian ......................................................................... 12
3. Pendekatan masalah ................................................................. 12
4. Sumber data ............................................................................. 12
5. Analisis data ............................................................................. 12
H. Sistematika Pembahasan ............................................................... 13
BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG FATWA MUI
A. Metode istinbath hukum MUI dalam menetapkan fatwa ............... 15
B. Faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang rokok 16
C. Prosedur penetapan fatwa .............................................................. 19
D. Kedudukan fatwa dalam hukum Islam .......................................... 23
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG ROKOK
A. Deskripsi umum tentang tembakau................................................ 26
1. Sejarah tembakau ..................................................................... 26
2. Kandungan yang membahayakan dalam tembakau ................. 32
3. Aspek manfaat dari tembakau.................................................. 32
B. Rokok dan permasalahannya ......................................................... 34
1. Sejarah rokok di Indonesia ...................................................... 34
2. Industri rokok dan pengaruhnya terhadap perekonomian........ 38
3. Pengaruh rokok terhadap kesehatan ........................................ 42
C. Rokok dalam pandangan ilmuwan muslim .................................... 45
1. Pandangan yang membolehkan ............................................... 45
2. Pandangan yang mengharamkan ............................................. 47
BAB IV FATWA MUI TENTANG ROKOK MENURUT HUKUM ISLAM
A. Aspek metode istinbath hukum .................................................... 49
B. Aspek manfaat dan mudharat merokok ......................................... 61
C. Aspek kaidah hukum Islam dalam menganalisa kontroversi seputar
rokok .............................................................................................. 66
D. Aspek pendapat ilmuwan muslim .................................................. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 76
B. Saran .............................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut sejarah, masyarakat di dunia yang merokok untuk pertama
kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti
memuja dewa atau roh. Pada abad 16, ketika bangsa Eropa menemukan benua
Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut-ikutan mencoba
menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa.1 Kemudian
kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda
dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang
merokok hanya untuk kesenangan semata-mata.
Abad 17 Masehi, para pedagang Spanyol masuk ke Turki, dan pada
saat itu, kebiasaan merokok mulai masuk Negara-negara Islam. Jadi usia rokok
belumlah terlalu lama, sekitar 3 abad lebih.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa ketika Rasul Saw dan para
sahabat yang hidup pada abad ke 6-7 Masehi, tidak dikenal dengan adanya
rokok. Itulah sebabnya dalam berbagai sunnah dan sirah Nabi atau sejarah para
sahabat kita tidak menemukan dalil adanya masalah rokok ini. Pro-Kontra
mengenai hukum merokok menyeruak ke publik setelah muncul tuntutan
beberapa kelompok masyarakat yang meminta kejelasan hukum merokok.
Sehingga mengenai boleh tidaknya merokok menimbulkan perdebatan dan beda
pendapat (khilafiah) para ulama Khalaf (kontemporer), ada yang
membolehkannya, memakruhkannya dan ada pula yang mengharamkannya.
Namun kebanyakan para ulama memakruhkannya (yakni bila dikerjakan tidak
berdosa, tetapi jika ditinggalkan mendapat pahala).2
Telah banyak riset membuktikan bahwa rokok dapat menyebabkan
kecanduan. Di samping itu rokok juga dapat menyebabkan banyak tipe kanker,
1 Muhammad Jaya, Pembunuh Berbahaya itu Bernama Rokok, (Yogyakarta: Riz’ma, 2009), hal.
14. 2 Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 336.
penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi
kelahiran, dan emfisema.
Masyarakat mengakui bahwa industri rokok telah memberikan
manfaat ekonomi dan sosial yang cukup besar. Industri rokok juga telah
memberikan pendapatan yang cukup besar bagi Negara. Bahkan, tembakau
sebagai bahan baku rokok telah menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian petani.
Namun disisi yang lain, merokok dapat membahayakan kesehatan (dharar) serta
terjadinya pemborosan (israf) dan merupakan tindakan tabdzir.3 Secara ekonomi,
penanggulangan bahaya merokok juga cukup besar.
Rokok merupakan penyebab utama penyakit di seluruh dunia yang
sebenarnya dapat dicegah dan mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap
kesehatan masyarakat.4
Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia, 40 diantaranya
merupakan penyebab kanker dan menimbulkan kerusakan fungsi organ, bahkan
menyebabkan kecacatan organ tubuh pada bayi jika sang ibu seorang perokok.
Bahaya rokok tidak hanya menyerang perokok itu sendiri, melainkan juga bagi
perokok pasif, yaitu orang-orang di sekitarnya.5
Dampak negatif rokok bagi kesehatan tubuh tak hanya pada berbagai
jenis kanker, tapi perokok aktif juga berisiko dua kali lipat untuk terkena
sklerosis kompleks (MS), suatu penyakit yang menghancurkan protein (myelin)
yang menyelimuti serabut saraf.6
Penyakit yang paling umum menyerang para perokok, selain masalah
kardiovaskular, adalah serangan jantung, nyeri dada, dan meningkatkan risiko
terkena asma. Menurut para peneliti, rokok menyerang sistem kekebalan dan
membuat manusia rentan terhadap infeksi, terutama yang menyerang
tenggorokan. Inilah yang memicu permasalahan pada sistem saraf.
Bagaimana reaksi anda, manakala rekan sebangku anda di kendaraan
umum, asyik merokok? Apakah anda diam walau hal itu terasa mengganggu?
3 IJMA’ ULAMA, Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III, (MUI, 2009), hal. 56.
4 http://www.64.203.71.11/ver1/kesehatan.diakses 01 Juni 2009. 5 A. Setiono Mangoenprasodjo, Sri Nur Hidayati, Hidup Sehat tanpa Rokok (Yogyakarta:
Pradipta Publishing, 2005), hal. 5. 6 http://www.pom.go.id diakses 01 Juni 2009
Ataukah anda menegurnya? Jika anda menegur dan si perokok menghentikan
aktivitasnya, anda patut bersyukur. Sebab, anda terhindar dari berbagai macam
penyakit akibat rokok. Toh, sehat adalah hak anda, karena itu anda patut
menegurnya.7
Pada zaman modern saat ini, rokok bukanlah benda asing lagi. Bagi
mereka yang hidup di kota maupun di desa umumnya mereka sudah mengenal
benda yang bernama rokok ini. Bahkan oleh sebagian orang, rokok sudah
menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa alasan yang jelas seseorang akan merokok, baik
setelah makan, setelah minum kopi atau teh, bahkan sambil bekerja pun
seringkali diselingi dengan merokok.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa rokok adalah
silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi
tergantung Negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun
tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan
dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain.8
Meski sudah ribuan artikel ilmiah yang membuktikan bahayanya
merokok. Namun kenyataannya sebagian besar bangsa Indonesia telah menjadi
konsumen aktif rokok. Bagi mereka rokok sudah disetarakan dengan makanan
yang mereka konsumsi sehari-hari, bahkan ada yang menempatkan pada urutan
pertama dalam kebutuhan hidupnya. Gaya hidup yang tidak sehat ini pernah
disinggung oleh seorang penyair, Taufiq Ismail, lewat goresan penanya telah
membuahkan puisi yang diberi judul “Indonesia Keranjang Sampah Nikotin”.9
Ini berarti, bahwa racun “nikotin” yang terkandung dalam rokok telah
menyelimuti kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari anak-anak, remaja,
dewasa, dan bahkan bayi yang belum lahir pun sudah terkontaminasi racun yang
berasal dari kepulan asap rokok yang dihisap ibu yang mengandungnya baik
sang ibu sebagai perokok aktif maupun pasif.
7 A. Setiono Mangoenprasodjo, Sri Nur Hidayati, Hidup Sehat tanpa Rokok (Yogyakarta:
Pradipta Publishing, 2005), hal. V. 8 http://www.kelompok-clover.blogspot.com/2007/09/sejarah rokok.html.diakses 01 Juni 2009 9 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok Haram (Surabaya: PT Java Pustaka, 2008), hal.1.
Nikotin adalah salah satu racun kimia berbahaya yang terkandung
dalam rokok. Padahal masih ada beribu-ribu racun lagi yang tak kalah
berbahayanya misalnya; dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia
yang sangat membahayakan kesehatan baik bagi perokok aktif maupun pasif.
Ironisnya 43 diantaranya bersifat karsinogen atau racun kimia yang merangsang
tumbuhnya kanker. Mengingat dampak rokok sangat mengancam masa depan
bangsa, maka Organisasi Kesehatan Dunia WHO membuat program tentang
larangan merokok di tempat umum yang sudah diterapkan oleh beberapa Negara
seperti: Singapura, Vietnam, India dan lain-lain. Bahkan di India, DPR-nya
mengeluarkan UU Anti merokok. Negeri ini bukan hanya memberlakukan
larangan merokok di tempat umum, tetapi juga melarang iklan rokok dan
menjual rokok di dekat lembaga pendidikan. Bagaimana dengan negeri kita
tercinta ini ? Alhamdulillah, meski dirasakan sudah agak terlambat, namun
pemimpin negeri ini sudah mulai berpikir ke arah sana sehingga pada tahun
2006 muncul Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan merokok di tempat
umum. Walaupun di Indonesia ini baru ada satu daerah yang mengikuti program
WHO, yaitu Pemerintah daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, yang sudah
mulai memberlakukan Perda tentang larangan merokok di tempat umum sejak 1
Januari 2006.10
Setiap tanggal 31 Mei ditetapkan sebagai World No Tobacco Day.
Berbagai kegiatan dan kampanye tentang bahaya rokok dilaksanakan diseluruh
dunia dalam rangka memperingati hari tersebut.11
Peringatan Hari tanpa rokok sedunia, diharapkan menjadi kesempatan
bagi kita semua untuk berpikir sejenak dan menyadari kembali akan bahaya dan
dampak rokok, baik untuk diri kita sendiri, maupun untuk anggota keluarga dan
masyarakat banyak. Jika kita lihat kondisi Negara kita, jumlah orang yang
merokok semakin bertambah. Salah satunya disebabkan karena semakin
rendahnya usia anak muda yang mulai merokok.
Salah satu hasil konsensus Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia
(KF-MUI) di Padang Panjang akhir Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang
10 Ibid, hal. 2 11 http://www.organisasi.org.diakses 02 Juni 2009
hukum haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan di tempat umum.
Pro-kontra menyelimuti fatwa kontroversial tersebut, terlebih daerah yang
menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat dimana perusahaan
rokok berdiri.12
Dibalik pro-kontra tesebut, ada fakta yang unik, ternyata sebagian para
ulama/ kyai dalam MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok.
Bahkan kopi dan rokok masih menjadi “menu utama” di berbagai pesantren di
Jawa. Setiap sowan di rumah kyai, pastilah kopi dan rokok menjadi “menu
utama” sang kyai. Tanpa kopi dan rokok, mengaji dan belajar terasa hambar dan
kurang sreg, serta inspirasi berkarya terasa tumpul. Inilah realitas dibalik bilik
pesantren di Jawa. Walaupun tidak semua, tetapi mayoritas mengakui demikian
adanya.13
Terkesan, bahwa fatwa yang dikeluarkan merupakan keputusan final,
absolut, dan tidak menerima tafsir yang lain. Fatwa MUI terjebak
dalam”Penalaran Ekslusif” sehingga menafikkan tafsir lain yang sangat mungkin
menyebar di berbagai pemikiran publik.14 Meminjam bahasa Friedman, tidak ada
“Praduga Epistimologis” dimana MUI sebagai pemegang otoritas fatwa
membagi epistimologi pangetahuan tertentu kepada mereka yang mentaati.
Sehinggga terbuka dialog dan sharing yang saling memberikan kemaslahatan
satu dengan yang lain.
Sikap fatwa MUI inilah, kalau meminjam analisis Kholed M Aboe El-
Fadl dalam “Speaking In God’s Name”, telah terjebak dalam sikap otoriter.
Sikap otoriter yang lama berlangsung menjadi sindrom kuatnya otoriterianisme.
Otoriterianisme selalu bersikap untuk “mengunci” tafsir lain, dan selalu
berkehendak mutlak, final dan absolut. Sikap “mengunci” yang dibarengi
“pengekangan” dan “hegemoni” yang tidak menghendaki tafsir lain bersuara.
12 IJMA’ ULAMA, Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III, (MUI, 2009), hal.
57. 13 Muhammad Yunus BS, Kitab Rokok Nikmat & Mudharat Yang menghalalkan atau
Mengharamkan, (Yogyakarta: CV Kutub Wacana, 2009), hal. Vi 14 Ibid, hal. vii
Ingin menjadi suara tunggal yang ditaati dan dijalankan tanpa
reserve/cadangan.15
Merokok seolah menjadi budaya. Hal ini ditambah dengan gencarnya
iklan-iklan rokok yang mengidentikkan perokok dengan kejantanan, kesegaran,
dan keperkasaan. Bagi pria, semakin muda usia mereka menghisap rokok, maka
semakin tumbuh rasa bangga. Setali tiga uang, bagi kaum wanita, merokok
adalah bagian dari life style modern.16
Namun sebenarnya masyarakat awam pun tahu, dibalik kenikmatan
dan pamor merokok, ada maut yang mengintip. Bukan cuma untuk si perokok,
melainkan juga untuk mereka yang ada di sekitar si perokok.
Demikianlah, rokok memang tak ubahnya pisau bermata dua. Di satu
sisi, jika ia tetap dibiarkan beredar maka dapat menimbulkan ancaman cukup
besar bagi kesehatan manusia, namun di sisi lain jika peredarannya dilarang
maka akibatnya pun akan lebih besar lagi. Maka dengan adanya fatwa haram
merokok yang di keluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, menimbulkan reaksi
yang beragam dari masyarakat. Di satu sisi ada yang setuju, namun di sisi lain
banyak yang menolak.
Kita semua sudah sama-sama sadar bahwa yang menjadi musuh
bersama adalah kemelaratan dan kesengsaraan. Merokok dapat menimbulkan
kemelaratan dan kesengsaraan. Namun melarang merokok pun juga dapat
menimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan. Menurut penulis, jalan mana yang
dianggap dan diyakini paling benar, maka itulah yang mesti kita ambil.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang
menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana metode MUI dalam menetapkan fatwa ?
2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi lahirnya Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa tentang Haram Merokok ?
15 Muhammad Yunus BS, Kitab Rokok Nikmat & Mudharat Yang menghalalkan atau
Mengharamkan, (Yogyakarta: CV Kutub Wacana, 2009), hal.vii 16 http://www.images.google.co.id.diakses 02 Juni 2009
3. Bagaimana Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III MUI
tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok dalam Persepektif Hukum
Islam?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tujuan penulisan skripsi dari hasil Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa se Indonesia III MUI Tahun 2009 Tentang Hukum Haram
Merokok. Maka, dengan memperhatikan rumusan masalah di atas adalah untuk:
1. Metode penetapannya
2. Faktor-faktor yang melatarbelakanginya
3. Dalam Persepektif Hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis (keilmuan)
Manfaat yang utama dalam penyusunan skripsi ini bagi mahasiswa
adalah sebagai syarat untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan untuk
mendapat gelar kesarjanaan yakni Sarjana Hukum Islam (SHI). Dalam pada
itu hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi aktif bagi para
mahasiswa, khususnya penyusun untuk mengetahui lebih jauh tentang Fatwa
Haram Merokok yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI. Hasil penelitian
ini dapat dijadikan sumber referensi untuk menganalisis fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dari pada itu, hasil
penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi peneliti berikutnya sekaligus dapat
menjadi nilai tambah bagi khazanah perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya pada dataran Hukum Perdata Islam.
2. Manfaat Praktis (bagi masyarakat)
Penelitian yang membahas tentang Hukum Haram Merokok yang
dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI. Diharapkan dapat berguna bagi
masyarakat luas, dan dapat terbaca luas oleh masyarakat serta menjadi bahan
renungan masyarakat. Agar masyarakat mempunyai jiwa yang kritis dan peka
terhadap permasalahan-permasalahan agama yang aktual, karena fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia masih bisa dikritisi bahkan
bisa dibuat konsep tandingannya. Karena Islam dilahirkan untuk
memudahkan umatnya bukan untuk menyulitkan umatnya.
E. Tinjauan Pustaka
Salah satu penelitian yang membahas masalah rokok adalah penelitian
K.H. Ghufron Maba yang berjudul Ternyata Rokok Haram Tekanan pokok dari
penelitian ada tiga hal yaitu: racun-racun yang terdapat pada rokok, berbagai
penyakit yang terkait dengan rokok, dan pandangan Islam tentang rokok.
Mengingat masalah ini berkaitan dengan hukum pada rokok, maka dalam buku
ini kami jelaskan pula berbagai permasalahan tentang hukum Islam dan kaidah-
kaidah hukumnya sehingga dapat diambil istimbath untuk menetapkan sebuah
hukum pada rokok. Di samping itu, kami juga berusaha semaksimal mungkin
untuk menampilkan dalil dan hujjah yang argumentatif yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam mengkritisi orang-orang yang masih
mempertahankan rokoknya.
Penelitian yang membahas tentang rokok juga pernah dilakukan oleh
M. Yunus BS yang berjudul Kitab Rokok Nikmat & Mudharat Yang
Menghalalkan atau Mengharamkan tekanan pokok dari penelitian ini tentang
status hukum yang dijelaskan dalam buku ini tergantung atas illatu al-ahkam
(alasan penjatuhan status hukum) dari berbagai kasus yang ada. Baik yang
mengharamkan dan menghalalkan selalu menyertai illat (alasan) hukumnya.
Karakter yang melekat dalam hukum Islam adalah perubahan. Hukum akan
selalu berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat, dan keadaan.
Penelitian yang penulis lakukan dalam skripsi ini tentu memiliki
perbedaan dengan karya-karya di atas. Secara materi, tulisan ini hanya fokus
terhadap fatwa MUI tentang hukum haram merokok. Sementara dari segi teori,
studi ini dimaksudkan untuk menganalisis pemikiran MUI dalam kaitannya
dengan isi maupun cara kerjanya. Yang pertama, untuk membantu menambah
pengetahuan tentang fikih (hukum Islam), dan yang kedua tentang ushul fiqh
(teori hukum Islam), dua pokok penting dalam menerapkan kedudukan
pemikiran hukum Islam. Selanjutnya studi ini fokus terhadap bagaimana metode
dalam penetapan fatwa, faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa, dan
perspektif dalam hukum Islam.
F. Landasan Teori
1. Teori tentang fatwa
Pengertian fatwa keagamaan menurut arti bahasa adalah suatu
jawaban dalam suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat). Menurut Imam Zamahsyari dalam
bukunya “Al Kasyaf” pengertian fatwa adalah suatu jalan yang lempang/lurus.
Sedangkan fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah
dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya,
baik penjelasan itu jelas/terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu
mengarah pada dua kepentingan yakni kepentingan pribadi atau kepentingan
masyarakat banyak.17
Sebagaimana uraian terdahulu bahwa Fatwa dan Ijtihad mempunyai
korelasi yang sangat erat, sebab keduanya dihasilkan dan diusahakan oleh para
ahli hukum/mujtahid/mufti. Kalau kita teliti secara jujur bahwa fatwa merupakan
kumpulan nasihat atau jawaban dari para ahli hukum Islam yang dituangkan
dalam rangka menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat yang dihasilkan
berdasarkan Ijtihad yang sungguh-sungguh.18
Sebaliknya pemikiran hukum yang khusus dan ekslusif akan kaku dan
salah, dimana pemikiran tersebut tidak dapat diidentikkan dengan hukum Islam.
Sehingga idealnya yang dapat kita namakan sebagai “Islami” adalah bersumber
dari kitab agama Islam dan dijelaskan oleh Nabinya. Seluruh pemikiran hukum
Islam (yang dihasilkan berdasarkan ijtihad yang dituangkan dalam fatwa
keagamaan) dari orang-orang muslim dapat kita katakan sebagai “Islami”, akan
tetapi pencapaian karakter ke Islaman ditetapkan oleh Islam sendiri, yakni
melalui syari’ah.
17 Drs. H. Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 7 18 Ibid, hal. 49
Dengan membedakan antara syari’ah dengan karya-karya ahli hukum
Islam (mujtahid dan para mufti) kita dapat melihat semangat perkembangan
yang dihasilkan oleh ajaran-ajaran Islam. Salah satu sisi yang dapat
membedakan dan membatasi finalitas yang otoriter hanyalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Sebab ijtihad hukum Islam yang dituangkan dalam bentuk fatwa
keagamaan tidak akan berhenti, baik sebagai pemikiran tentang implikasi teks
(nash) itu, maupun pemikiran yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang
terjadi ketika absennya teks-teks/tidak ditemuinya secara kongkrit teks-teks
tersebut secara langsung. Dalam konteks ini Prof. Gibb mengatakan19 bahwa: Al-
Qur’an dan Al Hadits, sebagaimana sering kita ucapkan bukanlah dasar
renungan undang-undang Islam akan tetapi hanya sebagai sumbernya saja.
Fondasi yang nyata dapat dilihat dari sikap pemikiran yang menentukan metode
penggunaan sumber tersebut. Fatwa pada zaman modern ini atau fatwa
kontemporer haruslah mempunyai identitas, yaitu :
a. Fatwa hendaklah sebagai hasil suatu pengerahan pengetahuan secara optimal.
b. Tidak boleh memfatwakan hukum yang zhanni sebagai hukum yang qath’i.
c. Fatwa tidak boleh dipengaruhi realita modern.
2. Teori istinbath hukum
Nash yang menjadi dalil hukum Islam baik Al-Qur’an sebagai sumber
hukum pertama maupun Sunnah Nabi Saw sebagai sumber kedua adalah
berbahasa arab. Untuk memahaminya dengan baik membutuhkan kemampuan
memahami bahasa dan ilmu bahasa arab dengan baik pula.20
Seseorang yang ingin mengistinbatkan/mengambil hukum dari
sumber-sumber tersebut harus betul-betul mengetahui bahasa arab dengan seluk
beluknya. Ia harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh
bahasa itu (dalalahnya). Begitu pula harus dipahami tentang cara-cara
mengutarakan sesuatu, apakah dengan bentuk hakekat ataukah dengan bentuk
majaz (qiyasan). Kesemuannya ini harus ada kemampuannya dalam memahami
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
19 Ibid, hal. 51 20 Drs. H. Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 1
Karena itulah ulama ushul menaruh perhatian yang besar sekali agar
nash atau dalil yang berbahasa arab itu dapat dipahami dengan baik dan
sempurna. Untuk itu mereka telah menciptakan beberapa kaidah lughawiyah
untuk dapat memahami nash dan dalil agar hukum-hukum dapat dipetik dari
dalil yang menjadi pegangan hukum tersebut. Seseorang yang ingin
mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil harusnya lebih terdahulu mempelajari
apa yang dinamakan methode mengeluarkan hukum dari dalilnya.
Pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk
mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-
dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan tingkatannya adalah: al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Hal ini masih harus disusuli dengan
penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha yang telah
melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.21
G. Metode Penelitian
Dalam melacak, menjelaskan dan menyampaikan obyek penelitian
secara integral dan terarah, maka penyusun menggunakan metode sebagai
berikut :
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah pustaka (library research).22 Yaitu kajian
merujuk pada data-data yang ada pada referensi berupa buku-buku dan kitab-
kitab yang terkait dengan topik penelitian. Dalam kajian pustaka ini,
penyusun berupaya mengumpulkan data mengenai hukum haram merokok
dalam persepektif hukum Islam. Di samping itu, penyusun menggunakan pula
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan sumber-sumber primer dan
ditempatkan sebagai sumber sekunder.
2. Sifat penelitian
21 M. Atho Mudzhar, Fatwa, hal. 87 22 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2001), hal 113
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu data-data yang ada
disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.23 Penelitian ini menguraikan dan
menggambarkan Hukum Haram Tentang Merokok dalam Pandangan Hukum
Islam, kemudian menganalisa dan menyimpulkan secukupnya.
3. Pendekatan masalah
Pendekatan ini menggunakan pendekatan normatif, yaitu menganalisa
data dengan menggunakan pendekatan dalil atau kaidah yang menjadi
pedoman perilaku manusia. Selanjutnya menggunakan pendekatan filosofis,
yaitu kajian tentang hukum haram merokok. Selain itu juga menggunakan
pendekatan historis, yaitu mempelajari satu bidang tertentu yang muncul
sepanjang sejarah pada aliran-aliran atau tokoh-tokoh.24
4. Sumber data
Data-data yang penyusun kumpulkan untuk menyusun skripsi ini yaitu
keputusan ijtima komisi fatwa se Indonesia III tahun 2009, kitab-kitab fiqh,
pedoman dasar MUI, buku-buku tentang rokok serta data tambahan yang ada
relevansinya dengan masalah di atas.
5. Analisis data
Deduksi, yaitu metode yang bertitik tolak pada data-data yang
universal (umum), kemudian diaplikasikan ke dalam satuan-satuan yang
singular (khusus/bentuk tunggal) dan mendetail.25 Dalam penelitian ini
menguraikan tentang hukum haram merokok, kemudian mengungkap
pendapat para ulama muslim tentang hukum haram merokok dan penjelasan-
penjelasan yang terkait dengan hal tersebut.
Deskriptif , yaitu penelitian dengan jalan mengumpulkan data,
mengklasifikasikannya, menganalisa dan menginterpretasikannya.26 Dalam
penelitian ini, penyusun mengumpulkan data tentang hukum haram merokok
23 Winarno surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, ( Banndung:
Tarsito, 1980), hal. 140 24 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 138 25 Ibid, hal. 17 26 Winarno surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, ( Banndung:
Tarsito, 1980), hal. 147
dan menjabarkan pendapat-pendapat ulama sebagai bahan analisis.
Diharapkan dapat diketahui unsur-unsur kesamaan dan perbedaan serta
dengan mengqiyaskan hukum yang ada, guna mengambil kesimpulan yang
relevan dan akurat.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan
skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah yang akan
dijawab, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang merupakan arah
penelitian yang dilakukan, tinjauan pustaka sebagai pembanding dan pembeda
dengan penelitian sebelumnya, landasan teori sebagai gambaran alur yang
melandasi penulisan, dan paparan tentang metode penelitian yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini.
Bab II Merupakan deskripsi umum tentang fatwa MUI. Pertama,
metode istinbat hukum MUI dalam menetapkan fatwa. Kedua, faktor-faktor
yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang haram merokok. Ketiga, prosedur
penetapan fatwa. Keempat, kedudukan fatwa dalam hukum Islam.
Bab III Merupakan deskripsi umum tentang rokok. Pertama, deskripsi
umum tentang tembakau terdiri dari sejarah tembakau, kandungan yang
membahayakan dalam tembakau, dan aspek manfaat dari tembakau. Kedua,
rokok dan permasalahannya terdiri dari sejarah rokok di Indonesia, industri
rokok dan pengaruhnya terhadap perekonomian, dan pengaruh rokok terhadap
kesehatan. Ketiga, rokok dalam pandangan ilmuwan muslim terdiri dari
pandangan yang membolehkan dan pandangan yang mengharamkan.
Bab IV Merupakan bab yang berisi paparan untuk menjawab rumusan
masalah. Di dalamnya terdapat paparan tentang aspek metode istinbat hukum,
aspek manfaat dan mudharat merokok, dan aspek pendapat ilmuwan muslim.
Bab V Penutup berisi kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan
masalah yang diajukan dengan dilengkapi saran sebagai bahan rekomendasi dari
hasil penelitian penulis.
BAB II
DESKRIPSI UMUM TENTANG FATWA MUI
A. Metode Istinbath Hukum MUI dalam Menetapkan Fatwa
Pada awal perkembangan Islam, fatwa dikeluarkan oleh ahli fikih
tanpa status resmi, sehingga tidak ada ketetapan prosedur yang baku. Tetapi
dengan perkembangan aparat birokratis berbagai Negara di dunia Islam,
akhirnya sejumlah mufti diangkat sebagai pejabat Negara. Hal ini sudah pernah
terjadi pada masa kerajaan Utsmani.27 Di Indonesia, organisasi mufti tersebut
dideklarasikan dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Metode pembuatan fatwa
Majelis Ulama Indonesia pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian
dalam himpunan fatwa MUI 1995 dan 1997. Secara umum, petunjuk prosedur
penetapan fatwa MUI dapat dikemukakan sebagai berikut:28
1. Dasar-dasar fatwa adalah:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi)
c. Ijma’ (kesepakatan pendapat para ulama)
d. Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)
2. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
a. Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
b. Pendapat para imam madzhab mengenai hukum Islam dan pendapat para
ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran al-
Qur’an.
3. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan
penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi
masyarakat Islam.
4. Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan
seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan
pertimbangan (Ijtihad).
27 Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002), artikel “Pergolakan Pemikiran Keagamaan”, hal. 125 28 MB. Hooker, Islam, hal. 93
5. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai
berikut:
a. MUI berkaitan dengan:
a) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan
dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum.
b) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu
yang dianggap dapat diterapkan di wilayah lain.
b. MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang sifatnya
lokal dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan MUI pusat
dan komisi fatwa.
6. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri para Anggota Komisi Fatwa yang telah
diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan
kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
7. Sidang Komisi Fatwa diselenggarakan ketika:
a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
b. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-
lembaga sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
8. Sesuai dengan aturan Sidang Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan
dengan masalah tertentu harus diserahkan ketua Komisi Fatwa kepada ketua
MUI Nasional dan Propinsi.
9. Pimpinan pusat MUI Nasional/Propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu
kedalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.
B. Faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang rokok
1. Faktor Politik
Sebuah produk keputusan maupun fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga manapun pasti akan sangat terikat dengan setting sosio-kultural dan
sosio-politik yang berada di sekitarnya. Faktor ini pulalah yang menyebabkan
sifat dari sebuah fatwa maupun keputusan sebuah lembaga sangat bersifat
sosiologis. Asumsi ini sebenarnya berawal dari latar belakang Majelis Ulama
Indonesia sendiri yang lahir dari dan untuk dari kepentingan politik. Saat
awal pembentukannya, sebagaimana ditulis Atho Mudhzhar, MUI merupakan
lembaga bentukan pemerintah yang diproyeksikan untuk mengendalikan
kaum muslimin melalui keputusan-keputusan politis yang diligitimasi oleh
MUI.29
Fikih adalah pemahaman yang dirancang oleh cerdik, pandai melalui
aktivitas pemikiran atau olah intelektual bersama sejumlah latar belakang
historis dan desakan-desakn sosial, bahkan tidak jarang berada dalam under
attack politik. Artinya fikih tidak hadir dalam ruang sosial yang kosong. Fikih
bukanlah pemikiran murni yang datang dari kehampaan sejarah, melainkan ia
juga merefleksikan selisih-selisih sosial, budaya dan politik.30
Bisa kita pahami bahwa fatwa MUI itu tidak lebih merupakan bagian
dari upaya meminimalisir bahaya yang mengancam masyarakat Indonesia,
terutama bagi mereka yang mengidap penyakit parah yang disebabkan oleh
konsumsi rokok. Hanya yang menjadi persoalan, mengapa harus MUI yang
harus mengeluarkan fatwa haram rokok ? sedangkan pemerintah mempunyai
peraturan tentang rokok (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19
Tahun 2003, Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Presiden Republik
Indonesia).
Inilah barangkali yang menjadi tanda tanya besar pada sebagian
masyarakat kita saat ini. Sejumlah kalangan menduga, bahwa yang dilakukan
MUI sesungguhnya sarat dengan nuansa politis. Hanya saja tidak ada
keterangan lebih lanjut tentang nuansa politis seperti apa yang dimaksud.
Padahal jika merujuk kepada syariat Islam tidak ada penjelasan yang spesifik
menyinggung masalah rokok, apalagi sampai pada ketentuan hukum
mengharamkannya. Hukum haram tentang merokok justru terdapat di dalam
fiqh, itu pun masih mengandung banyak perdebatan. Ada yang menyatakan
hukumnya haram, makruh, ada yang mubah, bahkan ada pula yang
menyatakan wajib. Ketidakjelasan hukum inilah yang menyebabkan
masyarakat bawah berbeda-beda menanggapi masalah hukum rokok.
29 Atho Mudzhar, Fatwa, hal. 59. Lihat juga Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Taufik Abdullah
(ed, et al), (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), artikel “Pergolakan Pemikiran Keagamaan, al” VI: 126.
30 Team FKI, Esensi Pemikiran Mujtahid: Dekonstruksi dan Rekonstruksi Khasanah Islam, (Kediri: Purna siswa III Aliyah 2003 Ponpes Lirboyo, 2003), hal. xxvi
2. Faktor Sosial
Sifat tugas MUI adalah memberi nasihat, karena MUI tidak
dibolehkan melakukan program praktis. Orang pertama yang menyarankan
diadakannya pembatasan demikian adalah presiden Soeharto sendiri. Dalam
pidato pembukaan pada Konferensi Nasional Pertama para ulama pada
tanggal 21 Juli 1975. Presiden secara khusus menyarankan bahwa MUI tidak
boleh terlibat dalam program-program praktis seperti menyelenggarakan
madrasah-madrasah, masjid-masjid atau rumah sakit. Karena kegiatan
semacam itu diperuntukkan bagi organisasi-organisasi Islam lain yang telah
ada. Banyak pertanyaan dari masyarakat terkait dengan masalah strategis
kebangsaan, masalah keagamaan-kontemporer, dan masalah yang terkait
dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa pertanyaan-pertanyaan
tersebut mendesak untuk segera dijawab sebagai panduan dan pedoman bagi
si penanya dan masyarakat pada umumnya.31
Dalam Anggaran Dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan
melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik
kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah
yang dihadapi bangsa umumnya. MUI juga diharapkan menggalakkan
persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku penengah antara
pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam
permusyawaratan antar golongan agama. Menurut kata-kata ketua umum
MUI ketiga, Hasan Basri, MUI bertugas “Selaku penjaga agar jangan ada
undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”.32
C. Prosedur Penetapan Fatwa
Fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti)
kepada orang yang pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya
31 Ijma’ Ulama, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009, hal. 1 32 K.H. Basri, Wawancara, (Jakarta: 01 Agustus 1988), Tugas “Penjagaan” ini mengingatkan kita
pada majelis penasihat Tentang Ideologi Islam yang diberikan oleh presiden Ayub Khan dari Pakistan, yang dimuat dalam konstitusi Pakistan tahun 1962.
proses istifta (pengajuan permohonan atas fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara
personal maupun badan hukum kepada mufti.
Dalam pandangan Guru Besar FIAI UII, Amir Mu’allim (Himmah,
Juni, 2008), fatwa itu sama saja dengan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu suatu
perbuatan untuk mengajak kepada kebaikan dan memerangi keburukan.
Perbedaannya terletak pada sifatnya yang khusus. Fatwa secara umum
memberikan pandangan hukum yang nantinya akan diakomodasi oleh publik.
Bila qadhi merupakan kepanjangan tangan negara untuk mengurus
yudikatif, maka mufti menurut Amir lazimnya adalah seorang intelektual
(ulama) independen, tidak berafiliasi dengan kekuatan manapun, termasuk
negara. Fatwa bisa berkembang seiring perkembangan masa, perubahan letak
geografis, peralihan kondisi, dan pergeseran niat. Fatwa mengandaikan adanya
perkembangan baru, persoalan baru atau kebutuhan baru yang secara hukum
belum ada ketetapan hukumnya, atau belum jelas duduk masalahnya.
Menurut Amir, sebuah produk fatwa juga harus melihat dan
memperhitungkan faktor masyarakat umum. Kondisi sebuah obyek fatwa harus
benar-benar bisa dipahami dan diteliti terlebih dahulu. “Jadi fatwa itu betul-betul
yang menjadikan kepercayaan publik dan sesuai dengan kebutuhan publik.
Fatwa juga harus berorientasi pada kearifan dalam memberikan informasi yang
bersifat hukum”.33
MUI mengeluarkan fatwa-fatwa untuk mengumumkan pendirian
akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu.34 Jika sifat dan cara
pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang dilakukan fatwa-
fatwa itu bersifat sekuler, fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk mempersatukan
pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang
peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan
tertentu.
Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh Komisi
Fatwa MUI. Komisi itu diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan
33 Drs. Rohidin, Studi Tentang Paradigma MUI Dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat Terhadap Aliran Keagamaan dan Kaitannya dengan Prinsip-Prinsip HAM, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2009), hal. 70
34 Atho mudzhar, Op. cit. hal. 79
fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat.
Pada waktu pembentukannya pada tahun 1975, komisi itu mempunyai tujuh
orang anggota, tetapi jumlah itu dapat berubah karena kematian atau
penggantian anggota, setiap lima tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui
pengangkatan baru. Ketua Komisi Fatwa secara otomatis bertindak selaku salah
seorang wakil ketua MUI.
Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan
atau bila MUI telah diminta pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah
mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan
semacam itu biasanya di samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri
oleh para undangan dari luar, terdiri dari para ulama bebas dan para ilmuwan
sekuler, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan.35 Untuk
mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya sekali sidang, tetapi
adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang, sebaliknya dalam
sekali persidangan adapula yang dapat menghasilkan beberapa fatwa seperti
dalam masalah vasektomi, tubektomi, dan sumbangan kornea mata. Fatwa-fatwa
itu sendiri adalah berupa pernyataan-pernyataan, diumumkan baik oleh Komisi
Fatwa sendiri atau oleh MUI.
Pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk
mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-
dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan tingkatannya adalah:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan
fuqaha yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah
serupa.36
35 Basalamah, Perkembangan, hal. 205 36 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa MUI, hal. 87
Meski demikian, fatwa sebagaimana ijtihad juga memiliki aturan main
yang harus ditaati. Ada beberapa pedoman dalam berfatwa yang disesuaikan
dengan tuntunan nash. Beberapa larangan bagi pemberi fatwa (mufti) dalam
pedoman tersebut antara lain dijelaskan oleh Musfir bin Ali al-Qahtany dalam
sebuah bukunya “Dlawabit al-Fataya fi al-Nawazil al-Mu’ashiroh” sebagai
berikut:
a. Fanatik terhadap salah satu madzhab, atau pendapat ulama-ulama tertentu.
Pedoman ini sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Ahmad, melarang
seorang pemberi fatwa untuk memaksakan madzhab yang dianutnya pada
orang lain, padahal hal itu justru memberatkan bagi orang tersebut.
b. Berpegang hanya pada arti eksplisit nash saja. Larangan ini mengindikasikan
pentingnya pemahaman seorang mufti terhadap makna di balik nash yang
menjadi tujuan syara (maqashid syari’ah). Begitu juga orang yang hanya
mengandalkan Hadis saja untuk menjawab persoalan yang ada tanpa
mempelajari fikih dan ushul fiqh serta perbedaan-perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Orang yang demikian, menurut al-Ghazali termasuk
golongan neo-Dhahiriyyah.
c. Tidak menggunakan konsep syaddu al-zari’ah dan terlalu berhati-hati dalam
menyikapai perbedaan ulama. Menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip
Qardawi, melakukan suatu keharaman yang dilarang Allah pasti melalui
perantara (wasilah). Bila tidak menutup perantara tersebut dengan konsep
syaddu al-dzari’ah, berarti mengurangi ketetapan haram dari Allah.
Sementara perbedaan yang terjadi antara para ulama tidak harus disikapi
berlebihan dengan meninggalkan semuanya, namun bisa difatwakan yang
paling unggul (rojih) di antara mereka.
d. Berlebihan dalam menggunakan maslahat dan memaksakan penggunaanya
meskipun bertentangan dengan nash. Hanya Najmuddin al-Thufi yang
meletakkan maslahat sebagai dalil independen yang boleh bertentangan dan
harus didahulukan dari pada nash.
e. Terlalu sering menggunakan rukshsoh dan talfiq antar madzhab.
f. Melakukan hilah dalam perkara-perkara syar’i.
Demikian juga yang dilakukan Yusuf Qardawi dalam salah satu karya
monumentalnya, “Fatwa-Fatwa Kontemporer”. Ia menyebutkan bahwa dalam
fatwa yang ia tulis dan merupakan jawaban atas berbagai persoalan hukum,
terdapat beberapa pedoman yang menjadi pegangan. Secara global dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Tidak fanatik dan tidak taqlid.
b. Mempermudah dan tidak mempersulit.
c. Menjelaskan kepada manusia sesuai dengan bahasa zamannya.
d. Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
e. Bersikap seimbang antara memperlonggar dan memperketat.
f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.37
Selain itu, faktor kepentingan pihak manapun, termasuk pribadi
pemberi fatwa harus dihilangkan dari lahirnya sebuah fatwa. Untuk
meminimalisasi adanya kepentingan di balik penetapan fatwa, para ulama
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi mufti. Imam Ahmad misalnya,
sebagaimana dikutip oleh Ali Hasballah menyatakan bahwa seorang muslim
tidak boleh mengeluarkan fatwa sebelum ia memenuhi lima syarat:
a. Ia harus memiliki niat benar-benar karena Allah Swt.
b. Ia harus memiliki kapabilitas, dan bersikap baik.
c. Ia harus benar-benar ahli dalam bidang yang ia tekuni, sehingga ia tidak
mudah berpaling dari kebenaran.
d. Ia harus orang yang mampu mencukupi diri dan keluarganya, agar terlepas
dari pengaruh orang luar.
e. Mengetahui kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat yang diberi
fatwa.38
D. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam
Berbicara tentang urgensi fatwa keagamaan dalam kehidupan umat
Islam berarti kita tidak terlepas dari samapai seberapa jauh kemanfaatan fatwa
37 Yusuf Qardawi, fatwa-fatwa kontemporer, cet. VII, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 21 38 Ali Hasballah, Ushul, hal. 89
dalam kehidupan ummat manusia. Ajaran Islam yang berupa Al-Qur’an dan Al-
Hadits pada dasarnya masih banyak yang bersifat global, sehingga adanya
perincian secara analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya. Al-Qur’an dan Al-Hadits Rasulullah Saw masih perlu ada
penjabaran secara mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat
sebelumnya, sepanjang masalah itu masih bersifat dzanny.39
Fatwa adalah kata yang sering disalah pahami. Ada yang menyangka,
fatwa adalah sejenis dogma yang memiliki daya ikat kuat seperti halnya al-
Qur’an. Atau seperti konstitusi Negara sehingga bagi yang melanggarnya dapat
dikenakan sanksi hukum. Tentu sangkaan ini keliru sepenuhnya. Sebab, fatwa
pada hakekatnya tidak lebih dari sebuah petuah, nasihat, atau jawaban
pertanyaan hukum dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh
diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Fatwa seorang mufti tidak mengikat
siapapun, karena betapapun kesungguhannya untuk bersikap obyektif, ia tidak
dapat lepas dari unsur subyektivitas berupa kecenderungan pribadi dan
kemampuan daya nalarnya. Pendeknya, fatwa bersifat ghair mulzim (tidak
mengikat).
Kebenaran fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk
diubah seiring perubahan ruang, waktu, dan tradisi. Ibnul Qayyim al-Jauziyah
dalam magnum opusnya “I’lam al-Muwaqqi’in” menyatakan tentang adanya
peluang untuk selalu mereformasi dan memperbaiki fatwa dalam satu bahasan;
fashl:fiy taghayyur al-fatwa wa ikhtilafiha bihasabi taghayyur al-azminah wa al-
amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat wa al-awaid. Jadi, mengubah teks fatwa
bukanlah perkara tabu.
Menurut Ahmad bin Hanbal, jika sebuah fatwa diduga keras akan
menimbulkan keburukan, maka semestinya mufti dapat menahan diri dan tidak
mengedarkan fatwa tersebut. Fatwa perlu ditinjau kembali, waktu demi waktu,
untuk dilihat apakah ia memberi efek maslahat terhadap umat atau justru
menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat. Suatu fatwa tidak bisa dijadikan
sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang
39 Drs. H. Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 34
bisa diikuti dan bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak
ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran
mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Fungsi MUI adalah:
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami,
Demokratis, akomodatif, dan Aspiratif.
2. Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zuama dan cendikiwan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah
Islamiyah.
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi
antar umat beragama.
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan Pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta.40
Karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam
anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan
tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah
maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persolan yang berkaitan
dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa
umumnya. Dalam bahasa Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, MUI bertugas
“Selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan
dengan ajaran Islam”.41 Syaikh Mahmoud Syaltout, mantan rektor Universitas
40 MUI, Wawasan dan PD/PRT MUI. 2000
41 K. H. Hasan Basri, wawancara dengan Muhammad Atho Mudzhar, (Jakarta: 1 Agustus 1988). Tugas “penjagaan” ini mengingatkan kita pada Majelis Penasihat Tentang Ideologi Islam yang didirikan oleh Presiden Ayub Khan dari Pakistan, yang dimuat dalam Konstitusi Pakistan tahun 1962. Bagian ke-10 konstitusi tersebut menyebutkan bahwa tugas-tugas Majelis Penasihat Ideologi Islam adalah: 1. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai peraturan-peraturan yang memungkinkan kaum muslimin memperbaiki cara hidupnya menurut ajaran Islam. 2. Memberikan nasihat kepada pemerintah apakah rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam. Salah satu di antara perbedaan besar antara MUI dan Majelis Penasihat Pakistan adalah, meskipun yang disebut pertama dibantu pemerintah, tetapi tetap bersifat swasta, sedangkan yang kedua merupakan bagian dari aparat pemerintah. Sampai seberapa jauh perbedaan kedudukan itu mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam kebebasan gerakan kedua badan tersebut, merupakan bahan studi sendiri.
al-Azhar juga memandang penting adanya lembaga fatwa yang dapat menjadi
tempat bertanya masyarakat dalam masalah agama, demi menjaga kepentingan
umat.42
42 ibid
BAB III
DESKRIPSI UMUM TENTANG ROKOK
A. Deskripsi Umum Tentang Tembakau
1. Sejarah Tembakau
Awal mula perkenalan dunia pada tembakau dan kebiasaan merokok
tak bisa dilepaskan dari peristiwa penemuan benua Amerika oleh para pelaut
Spanyol di bawah pimpinan Christophorus (Christoper) Columbus (1451-
1506) pada tahun 1942. Setelah melakukan serangkain pendaratan di berbagai
pulau di benua itu, pada 2 November tahun 1942 rombongan Columbus
mendarat di pulau Waitling, dan mereka melihat sebuah perahu lesung orang
Indian yang berisi muatan, diantaranya daun-daun kering yang kelak dikenal
sebagai tembakau.
Nama “tembakau” diberikan kepada tanaman beracun ini oleh karena
tembakau sering diisap dengan pipa bercabang yang berbentuk “Y” waktu
mengisapya dua dari cabang pipa ini dimasukkan ke dalam tiap lobang
hidung. Ini membuat pengisap tembakau itu merasa kurang enak, tetapi tetap
mengisapnya juga karena dilakukan dalam suatu upacara tertentu.43
Di lain tempat dua orang utusan yang dikirimkan Columbus ke pantai
Cuba, mereka bertemu banyak orang lelaki yang membawa kayu bakar dan
bungkusan-bungkusan berisi daun pengobatan yang telah dikeringkan. Orang-
orang itu mengisap gulungan daun kering itu sambil menjelaskan jika asap
dari daun kering yang mereka hisap itu bisa mendatangkan kenikmatan pada
tubuh mereka, menciptakan rasa nyaman dan mengurangi kelelahan. Rasa
penat hilang dan muncul rasa santai. Gulungan daun kering itu mereka sebut
tobacco dan orang Indian karibia menyebutnya Tobago.
Perlu waktu sebulan bagi para pelaut Spanyol itu untuk memahami
manfaat daun tembakau. Mereka baru tahu bahwa warga Indian setempat
menggulung dedaunan kering menjadi seperti senapan kuno (musket), yang
43 DR. RA. Nainggolan, Anda Mau Berhenti Merokok Pasti Berhasil, (Bandung: Indonesian
Publishing House, 1990), hal. 11
dibakar di salah satu ujungnya dan diisap di ujung yang lain. Itulah daun
tembakau yang mereka jadikan rokok atau cerutu yang kita kenal sekarang
ini. Tiap suku Indian pada waktu itu memakai cara-cara tersendiri dalam
menikmati tembakau. Ada yang dikunyah, ada yang dicium-tembakau cium
ini dikenal dengan nama niopo atau iopo, ada pula dengan dijilat. Tembakau
juga dipakai dalam upacara ritual, bahkan pengobatan.
Kedatangan orang Eropa, ke “Dunia baru” 50 an tahun lalu itu
menjadi awal perkenalan dunia luar Amerika kepada tembakau hingga
banyak pendatang Eropa yang pergi ke sana. Dari Jamestown, seorang
pendatang dari Inggris Jhon Rolfe mengirim daun tembakau Virginia partama
kali pada tahun 1613 ke Eropa. Satu tahun kemudian, tembakau jenis
nicotiana tabacum dan nicotiana rustica dua spesies yang dibudidayakan
orang Indian Amerika dikenal di seluruh dunia.
Rolfe menikahi putri Indian terkenal, Pocahontas, yang merupakan
anak perempuan Powhatan, kaisar merah dari Virginia. Rolfe mengetahui
pembudidayaan tembakau dari putri kaisar Indian itu dan mereka berdua
berhasil menanam tembakau dalam jumlah besar di Varina, dekat Richmond
belakangan menjadi tempat kelahiran rokok modern. Akibatnya, pertanian
tembakau berkembang dan menjadi buruan utama orang Inggris di Amerika,
dan Pocahontas menjadi pasangan terpandang di koloni itu. Sayangnya,
dalam kunjungan ke Inggris pada tahun 1617, sang putri meninggal. Rolfe
memutuskan kembali ke Varina, tapi pada tahun 1662 ia dibunuh oleh
anggota keluarganya sendiri. Usahanya dilanjutkan oleh putranya, Thomas.44
Diperkirakan, dunia mengenal 20 spesies tembakau. Dari 20 spesies
tersebut, tiga di antaranya varieta utama: Nicotiana tabacum (Virginia),
Nicotiana Macrophylla (Maryland), dan Nicotiana rustica (Boeren), yang
semuanya berasal dari Amerika.
Tembakau telah menciptakan keberuntungan kepada benua Amerika
selama beberapa generasi. Dalam hal ini, terutama koloni kecil (Inggris)
44 http://www.detiknews.com/r.diakses pada 18 Juni 2009
Virginia, yang diambil dari nama depan Ratu Elizabeth. Nama tembakau
Virginia inilah yang paling terkenal di seluruh dunia.
Tembakau Virginia ditanam di seluruh dunia, namun dalam
kenyataannya, ada lima wilayah penanaman: Pertama, Asia yang
menghasilkan sekitar 53% panen dunia. Lalu Amerika Selatan 21%, Amerika
Utara 11%, Eropa 8% dan Afrika 7%.45
Banyak orang menyebut Amerika sebagai “tanah air tembakau”,
sementara William Barclay, seorang penulis Inggris, dalam bukunya
Nephentes, or The Vertues of Tobacco (1604) menyebut Amerika sebagai
negeri dimana Tuhan telah memberikan karunia dan memberkatinya dengan
daun pengobat yang membahagiakan dan suci ini.
Penyebaran Tembakau ke Seluruh Dunia
a. Eropa
Dengan mencontoh penduduk pribumi, pada dekade pertama pada
abad ke-16, sejumlah pelaut Spanyol dan Portugis bersama menanam
tembakau di Hindia Barat dan Brasil. Di akhir abad itu, tumbuhan yang
menimbulkan kontroversi ini diperkenalkan di Inggris oleh Sir Jhon
Hawkins, pahlawan bahari imperium Inggris, sepulangnya dalam lawatan
kedua ke Amerika Serikat, pada 20 September tahun 1565. Sedang
penyebaran terjadi sejak tahun 1573, saat Sir Francis Drake membawa
pulang tembakau dari Virginia, koloni Inggris di Amerika. Sejak itulah
kaum bangsawan Inggris mulai mengenal budaya konsumsi tembakau.
Pada tahun 1854, Ratu Elizabeth memberi hak atas Virginia kepada
Sir Walter Raleigh. Melalui orang inilah, tembakau dan kebiasaan
merokok dengan pipa diperkenalkan secara luas. Ratu sendiri malah punya
tongkat berupa pipa rokok. (Bahkan Winston Churcill, Perdana menteri
Inggris tahun 1940-1945 dan tahun 1951-1955, terkenal karena
cangklongnya).46
45 http://www.tempointeraktif.com.diakses pada 18 Juni 2009 46 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007), hal.34
Perancis mengenal tembakau lewat Andre Thevet dan Jean Nicot.
Semenjak tahun 1560, penanaman tembakau sudah mulai berkembang di
Perancis. Pada tahun 1573, Nicot dengan beberapa orang sarjana
menerbitkan kitab logat bahasa Perancis-Latin, yang pada halaman 478
dijumpai istilah Nicotiane untuk menyebut jenis tanaman obat (tembakau)
yang dimaksud. Dari sinilah istilah “Nicotiane” kemudian dipakai untuk
menyebut tanaman tembakau obat itu.
Tembakau di Portugis mulai tumbuh pada tahun 1558. Di Spanyol
tanaman tembakau pertama kali masuk sebagai tanaman hias dan
kemudian sebagai tanaman obat. Jenis tembakau yang berkembang di sana
saat itu adalah jenis Nicotiana tabacum. Tembakau masuk Italia pada
tahun 1561, dibawa oleh seorang pendeta bernama Prospero Santa Croce
dari Lisabaon, Portugis, sewaktu jadi duta Sri Paus. Pendeta kedua yang
membawanya adalah Nicolo Tornabuoni, yang juga duta Sri Paus.
Praktek merokok di Belanda berkembang di kalangan mahasiswa
Universitas Leiden. Tembakau di Jerman ditanam pada abad XVI di
daerah sekitar Nurnberg, Saxonia, Thuringen, dan Hessen. Di Rusia,
sekitar tahun 1690-an tembakau telah digunakan secara berlebihan tak
ubahnya brendi dan sering menjadi pemicu pertengkaran. Abad XVIII
orang Rusia mengenal cara baru menikmati tembakau dengan
menggunakan pipa air, yang sebelumnya telah popular di kalangan orang
Turki.47
b. Asia
Tembakau di Jepang diperdagangkan oleh orang-orang Portugis
menjelang akhir abad XVI. Perkebunan tembakau yang pertama adalah di
Nagasaki pada tahun 1605 dan meluas pada akhir abad XVII. Tembakau di
Tiongkok dikenal lewat orang-orang Filipina, mula-mula murni dipakai
untuk obat.
47 Ibid, hal. 35
Tembakau masuk India lewat orang-orang Portugis sekitar tahun
1605. Pada tahun 1610 tembakau telah tumbuh di Sailan dan tahun
berikutnya kebiasaan merokok telah dikenal luas di India.
Dalam Budiman (1978 : 71) jika istilah Cerutu diyakini berasal dari
sebuah kata dalam bahasa Tamil shuruttu atau churuttu dalam bahasa
Malayalam, yang kedua-duanya berarti gulungan tembakau. Dari
perkataan inilah timbul perkataan Portugis charuto dan perkataan cerutu
dalam bahasa kita (baca: Indonesia-red).
c. Awal Tembakau di Indonesia
Jauh sebelum orang Indonesia mengenal tembakau, mereka lebih dulu
mengenal budaya mengunyah buah pinang dan sirih serta mencampurnya
dengan kapur yang terbuat dari kulit tiram, sebagai sebuah kebiasaan
untuk mendapatkan kenikmatan. Namun hingga zaman Majapahit,
kebiasaan makan sirih belum mengenal gambir. Budiman (1987)
menyebut jika gambir baru masuk Indonesia pada awal abad XVI dan
merupakan barang impor. Pemakaian tembakau baru muncul belakangan,
setelah dimasukkan oleh orang Portugis ke tanah air kita pada awal abad
XVII. Tembakau khusus untuk makan sirih ini dikenal dengan nama
tembakau sugi. Masyarakat Jawa menyebutnya bako susur.48
Tembakau barulah dikenal belakangan, menurut Thomas Stamford
Raffles dalam bukunya The History of Java, jilid I (1817), orang
Belandalah yang memperkenalkan tembakau sekaligus kebiasaan merokok
pada orang Indonesia dan itu terjadi pada tahun 1601. Namun menurut De
Candolle, yang dikutip dalam Van Der Reijen dalam bukunya Rapport
betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids Toestanden In De
Industrie Van Strootjes En Inheemsche Sigaretten Op Java, jilid I (1934),
tanaman tembakau telah dibawa ke pulau Jawa sekitar tahun 1600, hanya
saja, menurutnya dibawa oleh orang Portugis.
48 Ibid, hal. 37
Dalam naskah Jawa Babad Ing Sangkala, tembakau dikatakan
masuk Jawa bersamaan dengan mangkatnya pendiri kerajaan Mataram,
Panembahan Senapati Ing Ngalaya-ayah Sultan Agung-pada tahun Saka
1523 (sekitar 1601-1602 Masehi). Sayangnya, tak tercantum di sana
keterangan siapa pembawa tembakau ke pulau Jawa. Barangkali lebih
cenderung untuk menerima pendapat De Candolle yang meyakini jika
orang Portugis sebagai pembawanya kemari. Alasannya, nama tembako
atau bako, yang lazim dipakai orang Jawa, lebih dekat ke istilah tabaco
atau tumbaco dalam bahasa Portugis, ketimbang kata tabak dalam bahasa
Belanda.
Menurut sinolog G. Schlegel dalam Budiman (1987:80), tanaman
tembakau bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Sebagai bukti, ia
menunjuk pemakaian nama tembakau atau yang semacam itu, untuk
menyebut tanaman termaksud di berbagai daerah, yang semuanya berasal
dari perkataan Portugis tabaco atau tumbaco. Berdasarkan kenyataan ini ia
berpendapat jika orang Portugis pastilah orang pertama yang memasukkan
tembakau ke Indonesia. Namun, kebiasaan pemakaian tembakau di daerah-
daerah lain tak banyak diketahui, karena sumber Belanda sangat sedikit
mengungkapnya, setidaknya sampai abad ke-17. Sedang di Deli, Sumatera
Timur, tembakau mulai ditanam pada tahun 1864 oleh orang Belanda
bernama Nienhuys.
Tembakau yang digunakan orang Jawa untuk merokok pada waktu
itu berasal dari Karesidenan Besuki dan dari daerah Kedu-tembakau Kedu
merupakan tembakau terbaik di pualau Jawa pada waktu itu. Orang
Belanda juga memakai tembakau Kedu untuk pipa rokok mereka, selain
kebiasaan mengisap rokok cerutu. Orang Belanda menyebut mengisap
pipa dan cerutu dengan istilah ro’ken. Gericke-Roorda dalam buku kamus
bahasa Jawa-Belanda Javaansch-Nederlandsch Woordenboek jilid I (1901)
halaman 332, menyebutkan jika dari perkataan Belanda ro’ken inilah
muncul perkataan rokok yang dipakai hingga sekarang.49
49 Ibid, hal. 39
Tembakau diperbanyak dengan menyemai bijinya. Setelah biji
disemai di pesemaian, calon pohon tembakau dipindahkan ke bedengan
ketika berusia 38-45 hari. Musim tanamnya tergantung sepesiesnya.
Tembakau Virginia ditanam pada akhir musim hujan, dan dipanen pada
musim hujan pula. Tembakau untuk cerutu ditanam pada musim kemarau,
dan dipanen setelah musim hujan. Tembakau biasanya tumbuh pada tanah
campuran, antara tanah liar dan pasir, dengan kadar humus yang tinggi dan
cukup air. Bila usianya telah mencapai 90-100 hari, sesudah daun
terbawahnya mulai menguning, itulah saatnya panen.50
Di Indonesia, tembakau menjadi tanaman perkebunan. Secara
ekonomi, peranannya cukup besar karena dapat menjadi sumber
pendapatan masyarakat. Jawa timur menjadi penghasil tembakau utama
bagi Indonesia, dan tembakau Deli di Sumatera Timur sebagai jenis yang
paling terkenal di dunia. Daun tembakau yang diekspor adalah yang
khusus untuk bahan cerutu.
2. Kandungan yang Membahayakan dalam Tembakau
Daun tembakau yang batangnya dapat mencapai dua meter,
mengandung alkaloid beracun: nikotin, nikotinin, nikotein, dan nikotelin.
Gejala keracunannya berupa diare, muntah-muntah, kejang-kejang, dan sesak
nafas. Akibat sampingan mengisap asapnya, yakni merokok, berupa batuk
kering, asma dan sukar tidur.51
3. Aspek Manfaat dari Tembakau
Untuk bertahun-tahun lamanya penggunaan tembakau adalah
merupakan masalah kontroversial. Orang-orang Indian di Amerika Serikat
percaya bahwa tembakau itu dapat digunakan sebagai obat. Oleh karena
itulah, pendatang-pendatang ke Amerika Serikat itu membawa tembakau itu
kembali ke Eropa. Bahkan pada abad pertengahan ke 17, seorang dokter di
London menulis sebuah buku yang berjudul Panacea; or the Universal
50 Ibid, hal. 27 51 Ibid, hal. 28
Medicine, Being a Discovery of the Wonderful Virtues of Tobacco; Taken a
Pipe with is operation and use both in Physical and Chyrurgery.
Dokter ini berpendapat bahwa tembakau itu mempunyai khasiat untuk
menyembuhkan tubuh dan untuk pembedahan. Khasiat-khasiat yang terdapat
dalam tembakau menurut dokter ini antara lain, ialah: setetes getah tembakau
dimasukkan ketiap-tiap telinga dapat menyembuhkan ketulian. Untuk
menyembuhkan sakit kepala, daunnya ditempelkan diatas dahi atau kepala.
Untuk membuat wajah berseri-seri kemerahan, digunakanlah getah daun
tembakau itu. Untuk yang sakit gigi, diletakkan daun tembakau itu pada
bagian yang sakit. Serta untuk mengobati batuk, daun tembakau itu direbus
dan airnya diminum. Bahkan, sebelumnyapun dokter-dokter di Eropa
menyatakan bahwa tembakau itu bukan untuk diisap, tetapi hanya digunakan
untuk tujuan pengobatan.52
Daun tembakau dipercayai dapat berkhasiat sebagai obat tradisional.
Air tembakau, misalnya dapat dipakai membersihkan luka yang kotor dan
borok yang membusuk dan berulat. Getah daunnya bisa dipakai untuk
membersihkan kotoran pada luka bernanah-atau sebagai racun yang dioleskan
pada senjata tajam. Daun tembakau dapat pula digunakan sebagai tapal pada
bisul, atau mengobati orang yang perutnya mulas. Rebusan daun keringnya
berkhasiat sebagai obat cacing.
Sebuah hasil penelitian paling baru dari Arief Budi Witarto Meng-
seorang peneliti dari pusat penelitian bioteknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan bahwa ternyata tembakau dapat
pula menghasilkan protein anti-kanker yang berguna bagi penderita kanker.
Proposal penelitian soal inilah yang membawa Doktor Bioteknologi
dari Fakultas Teknik, Tokyo University Of Agriculture And Technology,
Jepang itu meraih penghargaan dari badan Jerman DAAD dan Fraunhofer di
Jakarta, tanaman tembakau ini tidak diambil daun tembakaunya untuk
memproduksi rokok tetapi dimanfaatkan sebagai reaktor penghasil protein
GCSF. Suatu hormone yang menstimulasi produksi darah.
52 R.A. Nainggolan, Anda Mau Berhenti Merokok ? Pasti Berhasil, (Bandung: Indonesia
Publishing House, 1990), hal. 14
Selain untuk protein antikanker, GSCF, ujarnya bisa juga untuk
menstimulasi perbanyakan sel tunas (stemcell) yang bisa dikembangkan
untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak.53
Tembakau di Tiongkok dikenal lewat orang-orang Filipina. Mula-
mula murni dipakai sebagai obat. Biasanya tembakau digunakan untuk
menyembuhkan penyakit malaria, dan rebusan daun tembakaunya bisa
dipakai untuk membinasakan serangga-serangga dan penyakit kulit yang
bersifat parasit. Olahan daun tembakaunya bisa untuk menghentikan luka
pendarahan.
Pada tahun 1573, dengan bekerjasama dengan beberapa orang sarjana,
Nicot berhasil menerbitkan sebuah kitab logat bahasa Perancis-Latin, yang
sebuah copynya masih tersimpan di perpustakaan Newberry di Chicago. Pada
halaman 478 dari buku bausastra ini kita jumpai perkataan Nicotiane dengan
batasan sebagai berikut: “ini adalah suatu tanaman pengobat dengan sifat
baiknya yang menakjubkan melawan segala macam luka-luka, borok,
penyakit kulit yang sering menyebabkan luka dibagian muka atau penyakit
borok di bagian muka lainnya, penyakit-penyakit yang disebabkan kuman
virus dan penyakit-penyakit lain semacam ini”.
B. Rokok dan Permasalahannya
1. Sejarah Rokok di Indonesia
Industri tembakau di Indonesia dimulai bersamaan dengan
berkuasanya kolonial Belanda di negeri ini. Dimulai dengan penanaman
pertama pada tahun 1609, pada tahun 1650 tembakau dijumpai di banyak
daerah di Nusantara. VOC melakukan penanaman tembakau secara besar-
besaran di daerah Kedu, Bagelen, Malang, dan Priangan. Dari abad ke-17
hingga-19, penanaman tembakau mencapai daerah Deli, Padang, Palembang,
Cirebon, Tegal, Kedu, Bagelen, Banyumas, Semarang, Rembang, Kediri,
53 http://www.antara.co.id.diakses 20 Juni 2009
Besuki, Lumajang, Malang, Surabaya, Pasuruan, bahkan juga di Kalimantan,
Sulawesi, Ambon dan Irian.54
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Menurut Amen Budiman &
Onghokham dalam buku Keretek: Lintasan sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara (1987), pembuatan rokok keretek di
Indonesia dimulai oleh seorang bernama Haji Jamahri. Awal mulanya,
penduduk asli kota Kudus, pantai utara Jawa, itu telah lama mengidap rasa
nyeri di dadanya. Untuk mengurangi rasa sakit di dadanya itu, ia
mengusapkan dada dan pinggangnya dengan minyak cengkeh, bahkan me-
mamah-mamah cengkeh. Hasilnya, rasa sakitnya kemudian banyak
berkurang.
Lantas timbul gagasan dari Haji Jamahri untuk memakai rempah-
rempah itu sebagai obat dengan cara berbeda. Ia lalu merajang cengkeh
sampai halus, kemudian mencampurnya dengan tembakau, dan dibungkus
dengan daun jagung, dan kemudian dibakar ujungnya. Dengan cara
menghirup asapnya sampai masuk ke paru-paru, ia merasa sakit di dadanya
berangsur-angsur sembuh. Ia memberitahukan perihal penemuan ini kepada
orang-orang dekatnya. Akhirnya berita ini cepat sekali tersiar dan menyebar
luas hingga permintaan rokok obat temuannya ini pun berdatangan. Tak lama
kemudian akhirnya Haji Jamhri membuat industri rokok temuannya itu dalam
skala kecil.55
Awal mulanya, penduduk Kudus menyebut rokok temuan Haji
Jamahri ini rokok cengkeh. Akan tetapi, oleh karena jika dihisap rokok ini
menimbulkan bunyi keretek-keretek seperti bunyi daun dibakar sebagai
akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau isinya, jenis
rokok ini akhirnya disebut orang rokok keretek. Awalnya, keretek ini
dibungkus kelobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat
terdiri dar 10 batang, tanpa selubung kemasan sama sekali. Haji Jamahri
meninggal dunia di Kudus pada tahun 1890 dan dengan demikian lahirnya
54 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007), hal. 43 55 Ibid, hal. 44
industri keretek di Kudus (juga pertama kalinya di indonesia) telah terjadi
antara tahun 1870 sampai tahun 1880.
Pada tahun-tahun pertama, perdagangan rokok keretek hanya terbatas
di Kudus dan daerah sekitarnya. Namun dalam waktu singkat pemasarannya
meluas hingga merambah berbagai daerah di pulau jawa. Pada awal mulanya,
seluruh perusahaan rokok keretek yang ada di Kudus dikelola oleh para
pribumi, namun kemudian dilakukan pula oleh para pengusaha etnis
Tionghoa. Karena terjadi persaingan tidak sehat antara pengusaha pribumi
dan tionghoa, akhirnya meletuslah kerusuhan hebat di Kudus pada 31
Oktober 1918 yang mengakibatkan banyak jatuh korban dan terbakarnya
beberapa rumah dan beberapa pabrik rokok. Pada tahun-tahun pertama
kelahirannya, industri rokok keretek di Kudus memakai tenaga pelinting
rokok dari daerah di sekitar kota Kudus saja. Karena kebutuhan tenaga yang
lebih banyak dan efisiensi waktu dan biaya, maka digunakan sistem usaha
rumah tangga yang memungkinkan orang yang dari desa yang jauh dari kota
Kudus bisa ikut proses produksi.
Pada tahun 1928, di Kudus mucul papiersigaretten (sigaret keretek),
yakni rokok keretek yang dibuat dengan menggunakan alat pelinting dan
bahan pembungkus dari kertas. Kemudian tercatat perusahaan rokok jenis
sigaret keretek terkenal di luar Kudus yaitu perusahaan rokok Mari Kangen di
Sala dan disusul perusahaan rokok Sampoerna di Surabaya.
Perkembangan Industri Rokok di Daerah Lain
a. Jawa Barat
Pasaran rokok di Jawa Barat awal mulanya lebih didominasi oleh
rokok kawung, yaitu rokok yang pembungkusnya dari daun pohon kawung
yang dikalangan orang Jawa dikenal dengan nama pohon aren. Industri rokok
kawung muncul pertama kalinya di Bandung pada tahun 1905 oleh seorang
pengusaha Tionghoa. Selanjutnya muncul juga di Bogor, Garut, Tasikmalaya,
Purwakarta, Sukabumi, dan Batavia (Jakarta). Karena banyaknya kegagalan
industri rokok di Jawa Barat yang menjual produk rokok keretek, seorang
pengusaha rokok di daerah Cilimus, kabupaten Kuningan, mencoba trik baru
dengan membuat rokok keretek (tembakau campur cengkeh) namun dengan
pembungkus daun kawung.56
Rokok jenis kawung meredup ketika rokok keretek Kudus menyusup
melalui Majalengka pada tahun 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok
kawung di Ciledug Wetan.
b. Jawa Tengah
Perkembangan industri rokok selanjutnya mulai merambah di daerah
lainnya, seperti Pati dan karesidenan Rembang. Pada tahun 1933, untuk
pertama kalinya terjadi pemungutan cukai tembakau yang memicu
tumbuhnya beberapa perusahaan rokok kecil di karesidenan Jepara dan
Rembang. Pada tahun 1927 mucul industri rokok di kota Semarang, juga di
Demak. Pada tahun 1930 muncul di karasidenan Pekalongan.
Di karesidenan Banyumas, rokok klembak merupakan jenis rokok
favorit dan industrinya mucul pada tahun 1925 di Gombong. Di daerah
Temanggung muncul pula jenis rokok yang lebih tua usianya dari rokok
kelembak dan dinamai rokok Kedu yang isinya terdiri dari tembakau Kedu,
tanpa menggunakan campuran apapun. Pada tahun 1890, seorang mantra
Keraton Solo bernama Mas Ngabehi Irodiko membuat rokok dengan
menambahkan bahan campuran ke dalam tembakau, yang oleh masyarakat
Jawa diberi nama wur atau uwur. Campuran ini terdiri dari kelembak,
kemenyan, kemuskus, kayu manis, adas, pulasari, pucuk, cendana, ganti,
tegari, meyosi, waron, kelabat, dupa, dan lain-lain. Rokok jenis ini kemudian
terkenal dengan nama rokok diko, sesuai nama penemunya. Industri rokok
jenis ini kemudian muncul di Keraton Solo dan menyusul pula di Keraton
Yogyakarta.57
c. Jawa Timur
Di Jawa Timur, pusat industri rokok waktu itu adalah di segi tiga
Blitar, Kediri dan Tulungagung. Industri rokok di Kediri baru lahir pada
56 Ibid, hal. 53 57 Ibid, hal.51
tahun 1911, di Blitar pada tahun 1909, dan di Tulungagung baru pada tahun
1922. Industri rokok di Jawa Timur mulai menunjukkan giginya pada tahun
1928 dan tahun 1929. Ini akibat dari menurunnya mutu rokok keretek buatan
Kudus akibat dari kenaikan harga cengkeh sehingga pengusaha rokok keretek
di Kudus dengan sengaja mengurangi mutu dan bahan bakunya.
Di karesidenan Surabaya, pembuatan rokok dalam kerajinan rumah
tangga telah ada sejak tahun 1900, dan pada tahun 1910 muncul industri
rokok yang dimulai dari kelas rumah tangga dengan nama PT. HM
Sampoerna. Namun untuk kelas pabrik dengan tenaga buruh barulah lama
setelah itu, yaitu pada tahun 1928. Pada tahun 1914 sudah ada pabrik besar
milik orang tionghoa, namun untuk pembuatan sigaret keretek. Di daerah
Sidoarjo muncul pada tahun 1924 dan Mojokerto pada tahun 1927. Tonggak
perkembangan rokok keretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar
menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri
pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu
menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan
PT. HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT. Djarum,
Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.58
Industri rokok di karasidenan Malang mengalami puncak-puncaknya
pada tahun 1933, namun setelahnya mengalami penurunan tajam dalam
jumlah perusahaan, tapi secara hasil produksi malah mengalami kenaikan.
2. Industri Rokok dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian
Pemasukan Negara dari industri rokok dapat berupa pajak dan cukai.
Pada tahun 1989 pemasukan negara dari cukai rokok sebesar Rp 1,3 triliun.
Pada tahun 1990 cukai rokok Indonesia Rp 2,6 triliun. Sedangkan tahun 1998
pendapatan meningkat menjadi Rp 6,9 triliun (Mangku Sitepoe, 2000).
58 Ibid, hal. 52
Di tahun 2001 cukai rokok naik 30% melalui keputusan Menkeu
Nomor 597/KMK.04/2001 tanggal 23 November 2001 yang berlaku mulai 1
Desember 2001 (Jawa Pos, 23 Oktober 2002).59
Bagi pemerintah, industri rokok keretek merupakan sumber
pendapatan yang sangat penting artinya. Tak terhitung berapa banyak
sumbangan finansial yang masuk ke kas Negara dari bisnis yang satu ini.
a. Bidang Ekonomi
1) Lapangan pekerjaan yang besar
Sejarah mencatat pada tahun 1938 saja perusahaan rokok cap Bal Tiga
milik Nitisemito mampu menyerap 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta
batang rokok per hari. Dalam Subangun (1993: XXVI) tercatat pada tahun
1991 saja perusahaan rokok di Indonesia telah mempekerjakan sekitar 148
ribu orang karyawan. Pada tahun 2006 tenaga kerja dari hulu sampai ke hilir
mencapai sekitar 10 juta tenaga kerja. (Sumber: Suara Surabaya. Net,/7 Juni
2007).
Belum lagi instansi dan perusahaan (di luar perusahaan rokok) yang
berhubungan dengan kinerja mereka, seperti jasa angkutan dan distrbusi. Ini
masih pula ditambah dengan orang yang menggantungkan hidup dari
distribusi rokok langsung ke konsumen, seperti toko, warung-warung, hingga
para pengecer rokok asongan.60
2) Cukai tembakau sebagai pemasukan kas Negara
Cukai tembakau dikenal di Indonesia sejak tahun 1933 dan merupakan
tiang penyangga kas pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu. Pada era
pasca perang kemerdekaan di mana keadaan ekonomi sangat buruk hingga
pada tahun 1950 pemerintah Indonesia mengadakan devaluasi, cukai
tembakau punya andil besar dalam mempertahankan kelangsungan
perekonomian pemerintah Indonesia. Dari tahun itu hingga tahun-tahun
59 Umi Istiqomah, S.Sos, Upaya Menuju Generasi Tanpa Rokok, (Surakarta: Setia Aji, 2003),
hal. 71 60 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007), hal. 60
selanjutnya, pemasukan cukai tembakau terus beranjak naik, bahkan melesat
terus diikuti bertambahnya jumlah produksi.
Perlu diketahui, dalam ketentuan cukai dari Menkeu No
449/KMK.04/2002 disebutkan, tarif cukai jenis rokok keretek mesin dan
rokok putih adalah 26 sampai 40% dari harga jual eceran dan tarif cukai
rokok keretek tangan adalah 4-22%. Itu masih ditambah dengan Pajak
Pertambahan Nilai (Ppn) sebesar 8,4% berarti pemerintah bisa menerima
48,4% dari hasil penjualan rokok.
Dalam Budiman (1987, hal: 179) tercatat pada tahun 1951 pemasukan
cukai tembakau sebesar Rp 46.920.000,00. Pada tahun 1962 menjadi Rp
920.050.000,00 yang merupakan 21,70% dari jumlah pemasukan berbagai
macam pajak dan bea di tanah air. Dalam Subangun (1993: XXVII) cukai
tembakau mencapai 2,1 triliun rupiah yang ternyata memiliki proporsi lebih
dari 90% dari total masuk cukai yang masuk ke kas Negara.61
Informasi terakhir dari Departemen Keuangan RI, pada tahun 2003,
volume produksi rokok sebesar 192,33 miliar batang dengan penerimaan
cukai Rp 26,30 triliun. Pada tahun 2004, volume produksi rokok naik menjadi
203,87 miliar batang dengan penerimaan cukai Rp 29,17 triliun. Sedang pada
tahun 2005 menjadi 220 miliar batang dengan realisasi cukai rokok Rp 32,6
triliun.
Dilansir dari Kompas Cyber Media, 20 November tahun 2006,
penerimaan cukai pada tahun 2007 ditargetkan Rp 42 triliun atau meningkat
dibandingkan pada tahun 2006 yang sebesar Rp 38,4 triliun. Bisa
dibayangkan berapa banyak bidang yang bisa didanai pemerintah dari
pemasukan cukai tembakau itu.
3) Devisa ekspor
Dalam Subangun (1993:XVII), disebutkan jika devisa ekspor yang
disetorkan industri rokok nasional tahun 1991 mencapai 88,1 juta US$ atau
sekitar 176,1 miliar rupiah (dalam kurs mata uang dolar pada waktu itu).
61 Ibid, hal. 61
Sedangkan pajak tak langsung yang disetorkan industri rokok nasional pada
tahun 1989 saja mencapai 1,9 miliar rupiah. Dari data Depperind, devisa
ekspor yang disetorkan industri rokok nasional pada tahun 2006 sejumlah 1,9
triliun. Kesemuanya itu adalah angka yang cukup signifikan bagi biaya
pembangunan Indonesia.
4) Tingkat kesejahteraan petani
Pengusaha perkebunan tembakau juga memberikan kemungkinan
cukup tinggi bagi peningkatan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan para
petani, sekalipun kesemuanya itu masih tergantung pada perkembangan harga
yang diterima petani dari konsumennya, baik industri rokok maupun para
eksportir tembakau. Data dari Depperind, harga tembakau kualitas terbaik
pada tahun 2004 hingga tahun 2005 masih sekitar Rp 60.000-Rp 70.000 per
kilogram. Sementara itu, untuk kualitas menengah Rp 25.000-Rp 30.000 per
kilogram. Pada tahun 2006 naik menjadi Rp 300.000 per kilogram untuk
kualitas terbaik (kelas I). adapun tembakau tingkat menengah atau kelas A
sampai D antara Rp 30.000 dan Rp 40.000 per kilogram.
b. Bidang Pendidikan
Perusahaan-perusahaan rokok terbesar di Indonesia menyediakan
sejumlah anggaran tertentu untuk penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan, seni dan budaya.
Banyaknya penelitian dan pengembangan dalam iptek yang disponsori
dan didanai oleh beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia.
Tak sedikit beasiswa ataupun bantuan belajar yang diberikan oleh
perusahaan rokok kepada pelajar berprestasi ataupun yang tak mampu hingga
mereka bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.62
62 Ibid, hal. 63
c. Bidang Sarana dan Prasarana Fisik
Perusahaan-perusahaan rokok besar di Indonesia juga menyediakan
anggaran dana yang termanifestasikan dalam pembangunan sarana olahraga,
gedung kesenian, pengaspalan jalan, sampai pembangunan tempat ibadah.
d. Bidang Kesejahteraan Sosial
Perusahaan rokok besar di Indonesia menyediakan anggaran dana
yang termanifestasikan (sebagai contoh) dalam rehabilitasi Rumah Sakit
Umum dan penghijauan kota.
3. Pengaruh Rokok terhadap Kesehatan
Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara
luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti nyata adanya
bahaya merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan pada orang
disekitarnya.
Para ahli dari WHO menyatakan bahwa di Negara dengan kebiasaan
merokok yang telah meluas, maka kebiasaan itu mengakibatkan terjadinya
80%-90% kematian akibat kanker paru di seluruh Negara itu, 75% dari akibat
kematian bronkitis, 40% kematian akibat kanker kandung kencing dan 25%
kematian akibat penyakit jantung iskemik serta 18% kematian pada stroke.
Menurut data WHO satu juta orang per tahun di dunia meninggal karena
merokok dan 95% diantaranya oleh karena kanker paru-paru. Kematian
karena kanker paru-paru bisa terjadi pada perokok pasif, yaitu janin dalam
kandungan ibu perokok, anak-anak dari orang tua perokok dan orang dewasa
bukan perokok yang berada dalam lingkungan perokok.63
Dunia kesehatan menyatakan bahwa kebiasaan merokok telah terbukti
berhubungan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh
manusia, seperti kanker paru, bronkitis kronik, emfisema, dan berbagai
penyakit paru lainnya. Selain itu adalah kanker mulut, tenggorokan, pancreas
dan kandung kencing, penyakit pembuluh darah ulkus peptikum dan lain-lain.
63 Tjandra Yoga Aditama, Rokok dan Kesehatan, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 18
Satu-satunya penyakit yang menunjukkan asosiasi negatif dengan kebiasaan
merokok adalah kematian akibat penyakit Parkinson.
Doll dan Hill, dua orang peneliti terkenal dari Inggris membagi
hubungan antara penyakit dan kebiasaan merokok sebagai berikut: (a) yang
disebabkan oleh merokok yaitu kanker paru, kanker kerongkongan, kanker
saluran nafas lainnya, bronkitis kronik, emfisema. (b) mungkin seluruhnya
atau sebagian disebabkan oleh merokok yaitu penyakit jantung iskemik,
aneurisma/pelebaran aorta, kerusakan miokard jantung, thrombosis pembuluh
darah otak, arteriosklerosis, pneumonia, ulkus peptikum, hernia dan kanker
kandung kemih.
Hammond dan Horn, dua peneliti Eropa lainnya juga membagi
hubungan antara penyakit dan kebiasaan merokok sebagai berikut: (a)
hubungan erat luar biasa mengakibatkan kanker paru, kanker tenggorok,
kanker kerongkongan, dan ulkus peptikum. (b) hubungan sangat erat
mengakibatkan pneumonia, ulkus duodenum, aneurisma aorta. (c) hubungan
erat dapat menyebabkan penyakit jantung koroner (d) hubungan sedang
mengakibatkan penyakit pembuluh darah otak.
Dari tinjauan medis dan beberapa fakta yang terkait di dalamnya,
setidaknya ini akan memberikan sejumlah gambaran bagi kaum perokok
perihal persekutuannya bersama sesuatu benda yang menjadi kawan setia
kemanapun serta. Persoalan apakah di kemudian hari seorang perokok
menaruh pikiran lain terhadap persekutuannya bersama dengan sebatang
lintingan tembakau kawan setianya itu dikembalikan pada sikap masing-
masing individu (personal).
Adapun bukti-bukti yang menunjukkan bahwa rokok merusak
kesehatan adalah:
a. Kandungan rokok
Menurut ilmu kedoteran, rokok mengandung lebih kurang 4000 bahan
kimia, diantaranya nikotin, tar, karbon monoksida dan hydrogen sianida.
Nikotin dijumpai secara alami di dalam batang dan daun tembakau yang
mengandung nikotin paling tinggi, atau sebanyak 5% dari berat tembakau.
Nikotin merupakan racun saraf manjur (potent nerve poison) dan digunakan
sebagai racun serangga. Pada suhu rendah, bahan ini bertindak sebagai
perangsang dan adalah salah satu sebab utama mengapa merokok digemari
dan dijadikan sebagai tabiat.
Selain tembakau, nikotin juga ditemui di dalam tumbuhan family
Solanaceae termasuk tomat, terung ungu, kentang dan lada hijau. Nikotin
dapat merangsang dan meningkatkan aktivitas, kewaspadaan atau refleksi,
kecerdasan serta daya ingat. Namun di sisi lain, nikotin adalah racun yang
dapat menangkal dan menghilangkan pengaruh berbagai macam obat,
misalnya: antibiotik yang digunakan sebagai obat penangkal terhadap kuman,
kadang antibiotik tersebut gagal memberi kesan yang diharapkan, disebabkan
oleh nikotin.
Kuinin, digunakan sebagai obat malaria, namun dengan banyaknya
nikotin di dalam tubuh akan mempercepat penyingkiran obat kuinin tersebut
dari tubuh. Teofilin sebagai obat pereda sesak nafas, yang menurut hasil
penelitian, pada sebagian besar perokok akan lebih cepat menyingkirkan
teofilin dibanding pasien yang tidak merokok. Benzodiazepine adalah sejenis
obat tidur yang berdosis sangat tinggi, namun pengaruh obat ini akan
berkurang jika si peminum obat tersebut adalah perokok.
b. Proses kimiawi
Proses pembakaran rokok tidaklah berbeda dengan proses pembakaran
bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang terbuat dari daun tembakau kering,
kertas, zat perasa yang dapat dibentuk oleh elemen Karbon (C), elemen
Hidrogen (H), elemen Oksigen (O), elemen Nitrogen (N), elemen Sulfur (S)
dan elemen-elemen lain yang berjumlah kecil. Rokok secara keseluruhan
dapat diformulasikan secara kimia yaitu sebagai (CvHwOtNySzSi). Dua
reaksi yang mungkin terjadi dalam proses merokok. Pertama adalah reaksi
rokok dengan oksigen yang membentuk senyawa-senyawa seperti CO2, H2O,
NOx, dan CO. Reaksi ini disebut reaksi pembakaran yang terjadi pada
temperatur tinggi yaitu diatas 800 derajat Celcius. Selain reaksi kimia, juga
terjadi proses penguapan uap air dan nikotin yang berlangsung pada
temperatur 100-400 derajat celcius.
c. Kandungan racun pada rokok
Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-
bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Kandungan racun pada
rokok itu antara lain:
1. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan mengiritasi
paru-paru.
2. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi sistem syaraf dan peredaran
darah karena darah lebih mudah membeku serta merusak jaringan otak dan
mengeraskan dinding arteri.
3. Karbon monoksida adalah gas yang terdapat pada asap rokok yang
mengikat hemoglobin dalam darah, sehingga membuat darah tidak mampu
mengikat gas oksigen yang sangat diperlukan sel-sel tubuh dalam proses
respirasi.
4. Acatona yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai penghapus cat.
5. Hydrogen Cyanide yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai racun untuk
hukuman mati.
6. Ammonia yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai pembersih lantai.
7. Methanol yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai bahan bakar roket.
8. Toluene yaitu bahan kimia yang digunakan sebagagai bahan pelarut
industri.
9. Arsenic yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai racun tikus putih.
10. Butane yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai bahan bakar korek api.64
C. Rokok dalam pandangan ilmuwan muslim
1. Pandangan yang membolehkan
Golongan yang memperbolehkan merokok ini berpegang pada kaidah
bahwa asal segala sesuatu itu boleh, sedangkan anggapan bahwa rokok itu
memabukkan atau menjadikan lemah itu tidak benar. Iskar (memabukkan),
menurut mereka, berarti hilangnya akal tetapi badan masih dapat bergerak,
dan takhdir ialah hilangnya akal disertai keadaan badan yang lemah atau
64 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok Haram, (Surabaya: PT Java Pustaka) 2008, hal. 38
loyo. Sedangkan kedua hal ini tidak terjadi pada orang yang merokok.
Memang benar orang yang tidak biasa merokok akan merasakan mual bila ia
pertama kali melakukannya, tetapi hal ini tidak menjadikan haram. Jika orang
menganggap merokok sebagai perbuatan israf, maka hal ini tidak hanya
terdapat pada rokok. Inilah pendapat Al-Allamah Syekh Abdul Ghani An-
Nabilisi.65
Syekh Musthafa As Suyuthi Ar Rabbani, pensyarah kitab Ghayatul
Muntaha fi Fiqhil Hanabilah berkata:
“Setiap orang yang mengerti dan ahli tahqiq, yang mengerti tentang
pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, yang mau bersikap obyektif,
apabila sekarang ia ditanya tentang hukum merokok setelah rokok dikenal
banyak orang serta banyaknya anggapan yang mengatakan bahwa rokok
dapat membahayakan akal dan badan nicaya ia akan memperbolehkannya.
Sebab asal segala sesuatu yang tidak membahayakan dan tidak ada nash yang
mengharamkannya adalah halal dan mubah, sehingga ada dalil syara yang
mengharamkannya. Para muhaqqiq yang telah sepakat berhukum kepada akal
dan pendapat tanpa sandaran syara adalah batal.”
Inilah pendapat yang dikemukakan Syekh Mushthafa yang didasarkan
pada kenyataan yang terjadi pada zaman beliau. Seandainya beliau
mengetahui bahaya yang ditimbulkannya seperti yang tampak pada hari ini,
niscaya dengan penuh keyakinan beliau akan mengubah pendapatnya.
Meski banyak ulama yang tegas menyatakan bahwa rokok hukumnya
haram, namun ada juga sebagian ulama yang membolehkan. Diantaranya
adalah Imam Abdul Ghani An-Nabilisi, ulama dari madzhab Hanafi.
Ulasannya mengenai hukum rokok dapat dilihat dalam karya monumentalnya
Ash-Shulh Baina al-Ikhwan Fi Hukmi Ibahah Syarb ad-Dukhon. Dalam kitab
tersebut beliau menyatakan bahwa keterangan mengenai halalnya rokok
adalah benar, tidak perlu dipersalahkan. Beliau menyatakan:
“Wahai umat Muhammad yang berilmu dan mengamalkannya, lalu
menyangka bahwa rokok itu haram. Anda keliru menyangka salah
65 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),
hal.827
pernyataanku. Sebab, pernyataan tidak pernah bohong. Anda mengharamkan
rokok tidak pernah dilandasi ilmu dan tidak pernah pula dengan esksperimen
yang benar. Eksperimen adakalanya penuh dengan kebodohan dan kesalahan.
Bukankah dikatakan, bahwa rokok bisa memberi kehangatan pada badan
meski juga bisa membahayakan akal. Maka berfatwalah berdasar dua sifat
yang dikandungnya itu. Katakan bahwa merokok bisa jadi suatu kejahatan
disamping juga ibadah. Mereka yang hanya menganggap jelek pada rokok
dan mengharamkannya adalah suatu penipuan besar. Pada mulanya rokok
memang berbahaya, namun setelah dijemur ia menjadi boleh dikonsumsi.”66
Ulama lainnya adalah Imam Ali Asy-Syabramalisi dan Sultan Al-
Halabi. Berdasarkan keterangan Abdul Ghani An-Nabilisi, dua ulama tersebut
juga memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan ulama-ulama
lainnya yang menghalalkan rokok. Bahkan lanjutnya, penjelasan keduanya
lebih jelas dan lebih logis dibanding ulama-ulama lainnya. Syaikh Al-Babili
adalah salah satu tokoh yang juga tak kalah provoaktifnya menfatwakan
halalnya mengkonsumsi rokok. “merokok itu hukumnya halal, dan zatnya pun
sama sekali tidak haram”, demikian pernyataan beliau yang pernah dikutip
Syaikh Al-Barmawi. Namun, lebih jauh beliau menjelaskan, bahwa yang
dimaksud tidak haram (halal) di sini adalah bagi pengkonsumsi yang tidak
mengalami dampak buruk (mudharat) dari rokok tersebut.67
2. Pandangan yang mengharamkan
Hukum rokok masih diwarnai perdebatan panjang semenjak dahulu.
Ada yang mengharamkan namun adapula yang membolehkan. Dan diantara
ulama yang ikut mengharamkan rokok yaitu:
a. As-Syihab al-Qulyubi
Dalam khasyiahnya atas kitab al-jalal al-mahalli karya Imam
Jamal (syarah kitab al-Minhaj karya imam An-Nawawi), pada bab tentang
66 Muhammad Yunus BS, Kitab Rokok Nikmat&Mudharat yang Menghalalkan atau
Mengharamkan (Yogyakarta: CV Kutub Wacana, 2009), hal. 61 67 Ibid, hal. 63
najis ia menyatakan bahwa setiap sesuatu memabukkan mesti bersifat cair,
seperti khamar dan yang sebangsanya. Sesuatu yang cair itu, termasuk
bahan-bahan ekstasi atau pembius dan hal-hal lainnya yang dapat merusak
akal. Bahan-bahan tersebut pada dasarnya suci meski haram untuk
dikonsumsi karena pengaruhnya yang dapat merusak akal.68
Menurut sebagian ulama, diantara sesuatu yang dapat membius dan
merusak akal itu adalah rokok. Rokok bisa merusak pertahanan tubuh dan
mendatangkan penyakit yang sangat berbahaya. Melemahkan urat syaraf,
merusak pori-pori, bahkan dapat memusingkan kepala.
b. Ibrahim Al-Laqani
Mengutip dari pendapat Imam Al-Jamal dalam hasyiah kitab Al-
Minhaj, Al-Laqani menyatakan bahwa diantara bahan-bahan yang dapat
membius itu adalah ganja, buah pala, minyak ambar dan zakfaron, serta
bahan-bahan lainnya yang dapat mempengaruhi dan merusak akal. Lebih
jauh Al-Laqani menyatakan:
Imam At-Tarabisy adalah termasuk orang yang sependapat dengan
Al-Ajhuri. Dalam kitabnya yang berjudul tabshirah al-ikhwan, pada bab
pembahasan mengenai dampak negaif yang ditimbulkan tembakau atau
rokok, ia menyatakan bahwa berdasarkan kesepakatan ulama telah dibuat
suatu ketetapan hukum bahwa rokok termasuk bahan konsumsi yang
diharamkan karena dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap
kesehatan badan. Akan halnya segala sesuatu yang memiliki kadar
pengaruh yang sama dengan rokok juga haram untuk dikonsumsi.69
68 Ibid, hal. 50 69 Ibid, hal. 51
BAB IV
FATWA MUI TENTANG ROKOK MENURUT HUKUM ISLAM
A. Aspek Metode Istinbath Hukum
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan
mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik
berupa ibadah, muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau
pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam.
Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di
dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash
dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi syari’at telah menegakkan dalil
dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, dimana dengan perantaraan dalil
dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan
menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan
ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash
dalam berbagai kasus yang ada nashnya, maupun yang diistimbatkan dari
berbagai dalil syar’i lainnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya,
terbentuklah fiqh.70 Berdasarkan penelitian diperoleh ketetapan di kalangan
ulama, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syar’iyyah mengenai
perbuatan manusia kembali kepada empat sumber, yaitu: Al-Qur’an, As Sunnah,
Ijma, dan Qiyas. Sedangkan asas dalil-dalil ini dan sumber syari’at Islam yang
pertama adalah Al-Qur’an kemudian As Sunnah yang menafsirkan terhadap
kemujmalan Al-Qur’an, mengkhususkan keumumannya, dan membatasi
kemutlakannya. As Sunnah merupakan penjelas dan penyempurnaan terhadap
Al-Qur’an.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama Ushul
diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara, illat-illatnya, dan
hikmah (filsafat) pembentukannya. Diantara nash-nash itu pula ada yang
menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok
70 Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hal. 1
pembentukannya secara keseluruhan. Seperti juga halnya wajib memelihara
dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nash-
nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam
hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisir apa
yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada
merealisir kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan di antara mereka.71
Tujuan Syar’i dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisir
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya dan memenuhi
kebutuhan sekunder serta kebutuhan pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara
tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga unsur tersebut, dimana dari tiga
unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. Tahsiniyah tidak berarti
dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi Hajiyah. Dan
Hajiyah, juga Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah
satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah.
Kaedah pertama ini menjelaskan tujuan umum Syari’ dalam
pembentukan hukum syara. Baik hukum itu bersifat taklifi (pembebanan yang
wajib) atau wadhi’i (positif buat manusia). Dan menjelaskan juga tingkatan-
tingkatan hukum menurut tujuannya. Mengetahui tujuan umum syari’ dalam
pembentukan hukumnya adalah termasuk sesuatu yang amat penting untuk
dijadikan alat penolong mengetahui dengan jelas nash-nash pembentukan hukum
itu. Dan untuk menerapkan nash-nash itu terhadap berbagai peristiwa. Di
samping itu juga untuk mengistimbath hukum dalam peristiwa yang tidak ada
nashnya.
Karena isyarat lafal dan ungkapan pada makna itu terkandung
mengandung beberapa segi, maka yang dapat menguatkan salah satu di antara
beberapa segi ini ialah memperhatikan tujuan Syari’. Dan kerena sebagian nash
itu terkadang lahirnya saling kontradiksi, maka yang dapat menghilangkan
kontradiksi ini, dan dapat mengkompromikan nash-nash itu, atau menguatkan
salah satunya, adalah memperhatikan tujuan Syari’. Dan karena kebanyakan
peristiwa yang timbul itu terkadang tidak dijangkau oleh ungkapan nash.
71 Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: CV Rajawali, 1989), hal.
329
Sedangkan mengetahui hukum peristiwa itu dengan dalil syara apa saja, sangat
diperlukan. Maka yang dapat memberi petunjuk dalam menentukan dalil ini
(umpamanya) adalah mengetahui tujuan Syari’.72
Karena itu, para penguasa hukum di pemerintahan sekarang,
meletakkan catatan-catatan yang berupa penafsiran yang dapat menjelaskan
tujuan pembuatan undang-undang secara umum. Dan dapat menjelaskan tujuan
khusus dari setiap pasalnya. Catatan-catatan yang bersifat penafsiran dan semua
pembahasan serta penelitian yang terjadi di tengah-tengah menghadirkan
undang-undang dan melaksanakannya adalah bantuan penguasa hukum untuk
memahami undang-undang dan menerapkannya bersama teksnya, jiwanya, dan
pengertiannya.
Begitu juga, nash-nash hukum Syara itu tidak dapat dimengerti
menurut jalannya yang benar kecuali apabila telah diketahui tujuan Syari’ dalam
mensyariatkan hukum-hukum itu. Juga telah diketahui bagian-bagian peristiwa
yang lantaran itu diturunkanlah hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an,
atau yang dengan itu datanglah as-Sunnah. Baik berupa ucapan atau perbuatan.
Kaidah ushuliyyah itu: Bahwa tujuan umum Syari’ dalam
mensyariatkan hukum, ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan
ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka.
Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal
yang bersifat dharuriyah (kebutuhan pokok) hajiyah (kebutuhan sekunder) dan
tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah, hajiyah dan
tahsiniyah mereka telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka.
Seorang ahli hukum (syari’) yang muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam
berbagai sektor kegiatan manusia untuk merealisir pokok-pokok dharuriyah,
hajiyah dan tahsiniyah bagi perorangan dan masyarakat. Dia tidak akan
membiarkan dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah dengan tanpa mensyariatkan
hukum untuk merealisir dan memelihara dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah itu.
Dia juga tidak mensyariatkan hukum kecuali untuk mewujudkan atau
memelihara salah satu di antara tiga hal itu. Jadi, dia tidak mensyariatkan hukum
72 Ibid, hal. 330
kecuali untuk merealisir kemaslahatan manusia. Dan dia tidak membiarkan
maslahatan yang dikehendaki oleh kondisi manusia dengan tidak mensyariatkan
hukum demi maslahat itu.73
Adapun bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak melampaui tiga
hal tersebut, ialah perasaan dan kenyataan. Karena setiap individu atau
masyarakat itu, kepentingannya terdiri dari hal-hal yang bersifat primer,
sekunder, dan pelengkap. Contoh: keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia,
adalah tempat yang dapat melindungi dari terik matahari, dan cekaman
kedinginan, sekalipun terjadi di gunung. Kebutuhan sekunder, yaitu apabila
tempat tinggal itu memberi kenyamanan untuk ditempati, seperti jika tempat
tinggal itu mempunyai jendela yang bisa dibuka dan ditutup menurut kebutuhan.
Sedangkan kebutuhan pelengkap yaitu apabila tempat tinggal itu diperindah dan
dilengkapi dengan perkakas serta sarana-sarana peristirahatan. Apabila tempat
tinggal itu telah terpenuhi dengan semua itu, berarti telah terlaksana keperluan
(maslahat) manusia dalam soal papannya. Demikian pula dalam hal pangan dan
sandangnya. Juga hal yang menyangkut keperluan hidupnya. Kebutuhannya itu
telah terbukti nyata. Lantaran telah terpenuhinya tiga faktor itu padanya begitu
pula dengan masyarakat. Apabila telah terpenuhi bagi individu-individunya, hal-
hal yang memberi jaminan akan wujud dan terpeliharanya kebutuhan pokok,
sekunder, dan pelengkapnya, berarti telah terpenuhi bagi mereka, hal-hal yang
memberi jaminan kemaslahatannya.
Adapun dalil bahwa setiap hukum Islam itu hanya disyariatkan untuk
mewujudkan salah satu di antara tiga faktor tersebut diatas (yakni kebutuhan
primer, sekunder, dan pelengkap) dan memeliharanya, ialah hasil research
terhadap hukum-hukum syara yang bersifat keseluruhan (global) dan bagian-
bagian dalam berbagai peristiwa. Juga hasil research terhadap beberapa illat
(alasan) dan filsafat pembentukan hukum yang boleh Syari’ dibarengi dengan
berbagai hukum.
Adapun hal yang besifat dharuri, yaitu sesuatu yang menjadi pokok
kebutuhan kehidupan manusia, dan wajib adanya untuk menegakkan
73 Ibid, hal. 331
kemaslahatan bagi manusia itu (primer). Apabila tanpa adanya sesuatu itu, maka
akan terganggu keharmonisan kehidupan manusia, dan tidak akan tegak
kemaslahatan-kemaslahatan mereka. Serta terjadilah kehancuran dan kerusakan
bagi mereka. Hal-hal yang bersifat primer bagi manusia dalam pengertian ini
berpangkal kepada memelihara lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta. Jadi memelihara salah satu di antara lima perkara itu, adalah merupakan
kepentingan yang bersifat primer bagi manusia.74
Sedangkan yang bersifar haji (sekunder), ialah sesuatu yang
diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan dan lapang.
Juga untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul, dan
kepayahan-kepayahan dalam mengarungi kehidupan. Apabila hal itu tidak
terpenuhi, tidak berarti dapat merusak keharmonisan kehidupan manusia dan
tidak akan ditimpa oleh kehancuran. Seperti jika kebutuhan dharuriyah tidak
dapat terpenuhi. Hanya saja manusia akan menerima kepayahan dan kesulitan.
Faktor-faktor luar bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal kepada tujuan
menghilangkan kepayahan mereka, meringankan dalam menanggulangi
kesulitan-kesulitan beban hidup. Dan mudahlah bagi mereka menempuh cara-
cara pergaulan, pergantian, dan jalan-jalan menempuh kehidupan.
Dan Tahsini, yaitu sesuatu yang di tuntut oleh norma dan tatanan
hidup, serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Apabila hal itu tidak ada,
tidak berarti merusak keharmonisan kehidupan manusia seperti ketika tidak
adanya hal yang bersifat dharuriyah. Juga tidak ditimpa kepayahan seperti ketika
tidak adanya hal yang bersifat hajiyah. Hanya saja kehidupan mereka
bertentangan dengan akal sehat dan naluri yang suci. Hal-hal yang bersifat
membuat elok manusia (tahsini) dalam pengertian ini adalah berpangkal kepada
akhlak mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan perikehidupan manusia
menurut jalan yang paling baik.
Memberi fatwa lebih khusus dibanding ijtihad. Sebab ijtihad adalah
kegiatan istinbath hukum, baik karena ada pertanyaan/persoalan atau tidak,
seperti yang dilakukan Abu Hanifah dalam kegiatan pengkajiannya ketika
74 Ibid, hal. 333
mencoba meneliti persoalan-persoalan furu yang beraneka ragam, dan berhasil
menelorkan kewajiban-kewajiban yang banyak . kegiatan itu dilakukan untuk
menguji qiyas-qiyas yang illatnya akan dipakai beristinbath, dan untuk diketahui
kelayakan illat-illat tersebut guna menyusun kerangka qiyas. Sedangkan ifta
hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh berusaha
mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid, di samping
harus memenuhi semua persyaratan ijtihad, harus memenuhi pula beberapa
persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang diminta
fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat lingkungannya,
agar dapat diketahui dampak dari pada fatwa tersebut, dari segi positif dan
negatifnya, sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan
permainan.
Oleh karena itu, para ulama sangat memperketat persyaratan mufti.
Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia mengemukakan beberapa
syarat bagi mufti, yaitu:
“Seseorang seyogianya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi
lima hal: Pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta
ucapannya tidak mendapat nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu,
penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk
menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya.
Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu
yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.
Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat. ”
Dari keterangan tersebut, nampaknya Imam Ahmad bin Hanbal
memperhatikan psikologi (kesiapan jiwa) mufti, kerabatnya, serta kehormatan
masyarakat, sebagaimana halnya ia harus mempunyai kemampuan melihat
pengaruh/dampak fatwanya serta tersebarnya fatwa tersebut di tengah
masyarakat. Jika ia melihat akan berpengaruh buruk, maka ia harus menahan diri
dari mengeluarkan fatwa. Jika ia melihat tidak akan membawa dampak buruk,
maka silahkan ia berbicara (berfatwa).
Seorang mufti harus menyadari bahwa dirinya adalah pemberi
petunjuk dan pembimbing umat. Fatwanya harus berorientasi untuk kepentingan
kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini Imam as-Syatiby berkata:
“Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan
fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas
masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan madzhab dengan pendapat yang berat
dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.”
As-Syatiby memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua
sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke
arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan mendatangkan kepada
kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada
kelemahan.
Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seoarang mufti.
Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),
apabila ia melihat bahwa menerapkan azimah (hukum asal) akan mendatangkan
kesulitan dan kesusahan. Sesunguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshah-
rukhshah nya. Sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan azimah-azimah nya.
Dalam keadaan dimana azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah lebih
disukai Allah daripada azimah. Sebab Allah menginginkan hambanya
memperoleh kemudahan, tidak menginginkan tertimpa kesusahan.
Apabila seorang mufti tidak mencapai derajat ijtihad semisal belum
memenuhi semua persyaratan ijtihad, maka apakah diperbolehkan memilih
pendapat dari madzhab yang paling mudah (ringan) untuk dijalankan
masyarakat? perbedaan pendapat sahabat terbukti telah berhasil menghilangkan
kesempitan yang dihadapi masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin
Abdul Aziz:
“Sungguh berkat perbedaan pendapat sahabat Rasulullah saw,
persoalan keledai menjadi mudah bagiku. Seandainya hanya ada satu pendapat,
niscaya masyarakat akan mengalami kesulitan.”
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang mufti apabila telah mempunyai
kemampuan berijtihad dimana ia mampu menilai kekuatan diantara dalil-dalil
yang digunakan dan mampu menyeleksi pendapat dari berbagai madzhab yang
berbeda-beda atas dasar istidlal, maka dalam berfatwa ia boleh memilih salah
satu pendapat dari berbagai madzhab. Dalam menetapkan pilihannya ia harus
berpegang pada tiga hal:
Pertama, tidak memilih pendapat yang masih simpang siur dalilnya.
Sekiranya orang yang mengeluarkan pendapat itu menyaksikan dalil-dalil yang
dipakai ulama lain, pastilah ia mencabut kembali pendapatnya.
Kedua, fatwanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Ia
harus membimbing masyarakat dengan mengambil jalan tengah, tidak
mengambil pendapat yang paling berat, tidak pula mengambil pendapat yang
paling ringan.
Ketiga, dalam memilih pendapat, ia harus punya niat dan tujuan yang
baik. Karena itu, ia tidak boleh memilih pendapat demi untuk menyenangkan
pemerintah atau memenuhi keinginan (selera) masyarakat, sementara ia tidak
memperdulikan amarah dan ridha Allah swt. Hendaknya ia jangan sampai
seperti para mufti yang berusaha mengetahui/menangkap keinginan pemerintah
sebelum mengeluarkan fatwanya. Mereka memberi fatwa demi kepentingan
pemerintah, bukan demi kebenaran. Mereka itulah kaum yang bejat. Sungguh
masyarakat menyaksikan sebagian mufti memberi peluang kemudahan kepada
pemerintah dan dirinya, dan melemparkan hal-hal yang berat kepada masyarakat
luas. Ia memilih untuk dirinya pendapat yang paling ringan, dan memilih dari
sekian pendapat madzhabnya yang hendak difatwakan untuk orang lain pendapat
yang paling berat.
Imam as-Syatiby bercerita tentang seorang ahli fiqh yang memberi
fatwa di Andalusia, lalu diskors lantaran beberapa hal yang dianggap melanggar
kode etik. Ia terus diskors sampai datang suatu kejadian dimana ia mengeluarkan
sebuah fatwa yang menguntungkan pemerintah. Ringkas cerita, tepat
bersebelahan di istana an-Nasr, Gubernur (Amir) Andalus, terdapat tanah wakaf
yang merusak pemandangan. Sebab tanah wakaf itu terletak berhadapan dengan
taman, tempat Gubernur bersantai. Lebih-lebih, tanah wakaf itu sangat
mengganggu pemandangan jika dilihat dari atas istananya.
Gubernur menawarkan untuk memberi ganti rugi tanah itu dan
bermaksud menggabungkannya ke dalam tamannya. Ide atau keinginan ini
disampaikan kepada Baqiy bin Mukhallid, seorang ulama dan mufti terkemuka
di negeri itu. Ia lalu mengumpulkan semua ulama guna memperoleh kesepakatan
pendapat. Ternyata mereka sepakat melarang penjualan tanah wakaf, sejalan
dengan pendapat madzhab malik. Nampaknya mereka menyembunyikan sesuatu
dibalik fatwanya. Yaitu, mereka bermaksud mengekang keinginan hawa nafsu
sang Amir, sehingga mereka sampai mengeluarkan pendapat yang tidak sejalan
dengan keinginan pemerintah. Akibatnya, tatkala fatwa hasil penemuan ulama
itu diumumkan, sang Amir merasa kurang berkenan, meski ia tetap
mematuhinya.
Muhammad bin Yahya bin Lubabah, ahli fiqh yang terkena skorsing
diatas, mengetahui peristiwa tersebut, lantas berkirim surat kepada sang Amir
yang isinya memperbolehkan apa yang menjadi keinginannya (membayar ganti
rugi tanah wakaf). Dalam memberi fatwa, ia mengambil madzhab Abu Hanifah
yang menegaskan bahwa benda wakaf tidak permanen. Ia bisa diwariskan dan
tidak lagi menjadi benda wakaf sepeninggal pewakaf.
Setelah menerima surat itu, sang Amir segera mempertemukan ahli
fiqh itu dengan ulama-ulama di negerinya untuk berdialog. Para ulama tetap
bersikukuh dengan pendapatnya. Lantas ahli fiqh yang terkena skorsing (al-
mahjur alaih) dari menjalankan tugas di pengadilan tersebut berkata kepada para
ulama yang hadir: “aku bersumpah kepada Allah! Apakah kalian akan merasa
keberatan seandainya dalam kasus tanah wakaf aku mengambil pendapat selain
Malik untuk ku fatwakan khusus untuk diri kalian. Adakah kalian dengan senang
hati akan mengambil rukhshah tersebut ?” para ulama itu dengan serentak
menjawab: ya benar…..” kalau begitu, kata ahli fiqh tadi, lebih-lebih Amirul
Mu’minin. Maka, ambillah pendapat untuk Amirul Mu’minin pendapat yang
kalian juga bekenan mengambilnya dan berpeganglah kepada pendapat ulama
yang sesuai dengan harapannya. Sebab semua ulama mujtahid adalah panutan.
Para ulama yang hadir hanya bisa diam.
Usai pertemuan, si qadhi segera membuat laporan jalannya
persidangan untuk disampaikan kepada si Amir. Selanjutnya, Amirul Mu’minin
mengambil fatwa ahli fiqh tersebut dan memberikan ganti rugi tanah wakaf
dengan harga yang berlipat ganda.
Wajib bagi ulama yang hendak memilih satu pendapat dari madzhab-
madzhab yang ada untuk memperhatikan tiga hal sebagai berikut:
Pertama, mengikuti pendapat madzhab karena pertimbangan dalilnya.
Sehingga ia tidak memilih satu pendapat dari pendapat-pendapat dalam
madzhab, yang paling lemah dalilnya. Namun sebaiknya, ia memilih pendapat
yang paling kuat dalilnya, dan tidak mengikuti fatwa yang syadz (aneh). Selain
itu, ia harus menguasai metodologi dari madzhab yang dipilihnya. Ini berarti
menghendaki ulama yang bersangkutan adalah seorang mujtahid yang dengan
kemampuannya menyeleksi dalil tingkatan ijtihadnya tidak turun ke tingkatan
taqlid. Termasuk ke dalam kategori ini, adalah Ibnu Taimiyah. Ia banyak
melakukan seleksi-seleksi terhadap pendapat-pendapat madzhab. Jika yang
bersangkutan tidak memiliki kemampuan tersebut, maka alangkah baiknya
membatasi diri saja dengan mengambil madzhab yang diketahuinya, jika
memang ia telah mencapai derajat mufti.
Kedua, berijtihad sesuai dengan kemampuannya dengan tidak
meninggalkan pendapat yang telah disepakati (mujma’ alaih) untuk mengambil
pendapat yang masih diperselisihkan (mukhalaf fih). Misalnya, apabila seorang
mufti yang telah menguasai dengan baik madzhab-madzhab Islamiyah, ditanya
tentang kebolehan seorang wanita menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam akad
pernikahan, maka hendaknya ia tidak berfatwa dengan menggunakan pendapat
Abu Hanifah yang sendirian. Meski demikian, tidak ada salahnya seandainya ia
menjelaskan kepada penanya mengenai pendapat Abu Hanifah yang tidak
dipakai, sekaligus menjelaskan alasan mengapa ia memilih pendapat jumhur.
Disebutkan misalnya, masalah ini adalah masalah pelik yang menyangkut
hukum haram dan halal. Pendapat Jumhur diambil semata-mata karena kehati-
hatian (ikhtiyath).
Jika masalahnya menyangkut masalah khilafiyah, hendaklah seorang
mufti berhati-hati demi kepentingan syara’ dan orang yang meminta fatwa,
dengan tidak mengambil pendapat yang syadz dan yang keluar dari rel syara’.
Misalnya, jika ia ditanya oleh seorang lelaki yang bermaksud mengawini
seorang wanita yang pernah menyusu dari ibu lelaki itu hanya satu kali isapan,
maka hendaknya ia berfatwa dengan madzhab Abu Hanifah dan Malik yang
menganggap bahwa menyusu meskipun hanya sedikit (satu atau dua kali isapan)
mengakibatkan terjadinya hubungan mahram. Akan tetapi, jika si penanya telah
terlanjur mengawini perempuan yang punya hubungan persusuan yang tidak
mencapai lima kali isapan dan kejadian itu baru diketahui setelah beranak pinak,
maka demi kepentingan anak-anak diperkenankan berfatwa dengan mengambil
pendapat yang menghalalkan. Dengan syarat, hal itu semua telah ditinjau ulang
seluruh dalil yang berhubungan dengan kasus yang dihadapi dan tidak
ditemukan satu dalil pun yang qath’iy.
Ketiga, tidak mengikuti selera masyarakat. Tapi, ia harus
mengutamakan kemaslahatan dalil. Maslahat yang mu’tabar adalah
kemaslahatan umum. Jangan sampai fatwa yang dikeluarkan menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. Maka, seorang ahli fiqh yang memilih
pendapat madzhab Hanafi yang memperbolehkan menjual benda wakaf demi
memenuhi keinginan Amir (penguasa) yang merasa terganggu pemandangannya
karena adanya tanah wakaf di depan tamannya, sebaiknya menyarankan kepada
sang Amir agar memperbaiki tanah wakaf itu sehingga pemandangannya
menjadi indah, daripada harus memenuhi selera tingginya.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mufti harus mengamalkan
apa yang telah difatwakan kepada masyarakat. Seandainya ia mengambil
pendapat yang ringan untuk dirinya, sementara melarang untuk diamalkan
masyarakat luas, berarti ia berlaku tidak adil, kecuali karena ada alasan
kebutuhan yang beresifat pribadi. Kalau saja hal serupa dihadapi oleh orang lain,
niscaya ia juga berfatwa dengan hukum yang ringan seperti yang ia terapkan
untuk dirinya.
Dalam memecahkan suatu masalah, seorang mufti harus bekerja
pelan-pelan, tidak boleh tergesa-gesa. Ia harus memikirkan dan mendalami betul
kasusnya, dampak dari fatwanya, serta kondisi orang yang meminta fatwa. Cara
kerjanya yang pelan-pelan itu tidak akan mengurangi kredibilitasnya sebagai
mufti sepanjang dalam rangka menemukan kebenaran. Pemecahan suatu kasus
tidak ada hubungannya dengan kecepatan dan keterlambatan.
Imam “bumi hijrah” Malik bin Anas tergolong lamban (berhati-hati)
dalam memberikan fatwa. Sehingga untuk memecahkan satu masalah, ia
memerlukan waktu sampai beberapa hari. Ia berkata: “Terkadang satu masalah
yang kuhadapi memaksaku lupa makan, minum dan tidur.” Ada yang berkata
kepadanya: “Wahai Abu Abdillah (nama julukan Imam Malik)! Demi Allah,
ucapanmu di tengah-tengah masyarakat bagaikan ukiran di atas batu. Tidak
sekali-kali engkau mengeluarkan pendapat kecuali seluruh masyarakat
menerimanya.” Imam Malik menjawab singkat: “Hal itu adalah wajar.”
Maksudnya, masyarakat dapat menerima dengan baik pendapat-pendapatnya,
karena mereka melihat cara kerjanya yang penuh kehati-hatian dan tidak
ngawur.
Yang pasti, seorang mufti yang benar berperan seperti peran yang
dimainkan para nabi. Sebagaimana diketahui, para nabi bertugas menjelaskan
perkara yang halal dan haram kepada manusia. Dengan demikian, ia bertugas
menyampaikan syari’at yang dibawa nabi kepada masyarakat. Ia adalah
pengganti kedudukan dan pewaris nabi dalam menjelaskan syari’at agama
kepada masyarakat umum. Karena itu, tiada tempat baginya untuk memenuhi
hawa nafsunya, berhenti tatkala melangkah terlalu maju dan berbicara demi
kebenaran jika telah didukung oleh bukti-bukti yang kuat serta tidak takut akan
cercaan orang dalam membela agama Allah.
Buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh
MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut
urutan tingkatannya adalah: al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Hal ini harus
disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha
yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.75
Jadi, dalam penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh
komisi fatwa MUI. Komisi itu bertugas untuk merundingkan dan mengeluarkan
fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat.
Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan atau bila
MUI telah diminta pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai
persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan semacam ini, di
samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar,
75 Robitul Firdaus, skripsi, UII: FIAI, 2008, hal. 67
terdiri dari para ulama bebas dan para ilmuwan sekular, yang ada hubungannya
dengan masalah yang dibicarakan.76
B. Aspek Manfaat dan Mudharat Merokok
Keberadaan rokok bagi setiap perokok terutama bagi kaum perokok
aktif tentunya adalah sebuah benda yang wajib ada dan dibawa kemana serta.
Sama halnya dengan rasi bintang di langit bagi seorang petualang rimba raya ia
adalah kawan setia, teman berbagi, sekaligus kompas penunjuk jalan.
Namun jika sebuah pertanyaan, apa sih yang terkandung dalam setiap
batang rokok ? itu diajukan kepada mereka, barang kali hanya segelintir orang
saja yang bisa mengemukakan argument dengan referensi yang kuat beserta
dengan data-data yang akurat. Ini adalah fakta yang menggelikan sekaligus
ironis, bahwasanya mereka (kaum perokok) seolah telah menjalin sebuah
persekutuan dengan sesuatu yang tak mereka ketahui asal-usulnya, seperti
berpetualang dalam sebuah perjalanan tanpa peta.77
Merokok dalam wacana keseharian adalah suatu perbuatan yang
terlanjur mendapatkan stigma buruk di masyarakat. Pun tak bisa dipungkiri,
bagaimanapun juga, merokok dalam kajian medis adalah tindakan yang
merugikan kesehatan, baik bagi perokok pasif maupun perokok aktif. Tulisan ini
sama sekali bukan suatu propaganda ataupun pernyataan sepihak bahwasanya
merokok itu sama sekali tak beresiko, tak ada efek samping penggunaannya
ataupun sama sekali tak merugikan kesehatan. Ini bukan pula suatu common
sense pembelaan perihal pembelaan kaum perokok akan kebiasaannya
menghisap tembakau yang menjurus ke sesat pikir. Pada dasarnya, memang
secara medis konsumsi rokok dalam jumlah dan jangka waktu tertentu dapat
membahayakan kesehatan.
Akan tetapi, ada banyak fakta dan studi kasus yang memberikan
penilaian ataupun rujukan bahwa merokok pun mempunyai sisi baik, baik dari
tinjauan psikologis, sosiologis bahkan sekalipun dalam kacamata kesehatan.
76 Basalamah, perkembangan, hal. 205 77 Suryo Sukendro, “Filosofi Rokok” Sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus,
2007), hal. 79
Tulisan ini bermaksud menguak sisi dan fakta-fakta tersembunyi dari kebiasaan
merokok yang selama ini mendapatkan stigma buruk di masyarakat. Sisi dan
fakta yang tersembunyi yang akan dibahas, bukanlah hal yang tabu seperti
halnya membicarakan perihal seks, bahkan dalam berbagai kajian yang tabu.
Namun lebih merujuk pada fakta konkret, dengan data yang tersajikan dalam
uraian, perihal sisi baik pada rokok.78
Tulisan ini memberikan sebilah catatan bahwasanya pada kasus-kasus
tertentu, dengan dosis dan takaran tertentu, merokok adalah mempunyai sisi
manfaat (baik). Bahwa awal mula penemuan penggunaan daun tembakau di
dunia ini adalah untuk pengobatan. Ini tak bisa disangkal dan sejarah telah
mencatat bahwasanya awal penemuan penggunaan tembakau oleh para
penduduk asli Amerika (baca: Indian) adalah bagian terpenting dalam ritual
pengobatan dan upacara.
Rombongan para pelaut Spanyol dibawah pimpinan Cristophorus
(Cristopher) Columbus. (1451-1506) menemukan benua Amerika pada 1492.
Setelah melakukan serangkaian pendaratan di berbagai pulau di benua itu, pada
2 November 1492 rombongan Columbus mendarat di pulau Waitling, dan
mereka melihat sebuah perahu lesung orang Indian yang berisi muatan, di
antaranya daun-daun kering yang kelak dikenal sebagai tembakau. Orang Indian
memakainya sebagai tembakau cium, dan sebagian dirokok yang kesemuanya
itu berkhasiat sebagai obat.
Menurut Harrison (Budiman, 1987 : 20), pada 1573 telah terjadi
pengambilalihan adat kebiasaan merokok daun pengobat orang Indian yang
disebut “tabaco” dengan menggunakan alat seperti mangkuk kecil. Dengan cara
seperti ini asap rokok bisa masuk dari mulut kedalam perut dan kepala.
Perbuatan ini banyak dilakukan di Inggris untuk melawan penyakit encok dan
beberapa macam penyakit lainnya yang telah berurat, berakar di dalam paru-paru
dan bagian-bagian di dalam perut dan bukannya tanpa efek.
Perihal awal mula penemuan rokok keretek di Indonesia pun
ditengarai berawal dari kisah “ketidaksengajaan” untuk mencari obat penyembuh
78 Ibid, hal. 20
sakit napas. (Budiman, 1987), pembuatan rokok di Indonesia dimulai oleh
seorang bernama Haji Jamahri. Awal mulanya, penduduk asli kota Kudus, pantai
utara Jawa, itu telah lama mengidap rasa nyeri di dadanya. Untuk mengurangi
rasa sakitnya itu, ia mengusapkan dada dan pinggangnya dengan minyak
cengkeh, bahkan memamah-mamah cengkeh. Hasilnya, rasa sakitnya kemudian
banyak berkurang.
Lantas timbul gagasan dari Haji Jamahri untuk memakai rempah-
rempah itu sebagai obat dengan cara berbeda. Ia lalu merajang cengkeh sampai
halus, kemudian mencampurnya dengan tembakau, dan dibungkus dengan daun
jagung dan kemudian dibakar ujungnya. Dengan cara menghirup asapnya
sampai masuk ke paru-paru, ia merasa sakit di dadanya berangsur-angsur
sembuh.79
Namun seperti dalam karangan Berthold Laufer, Tobacco And It’s Use
In Asia (1924), ia mengutip keterangan seorang penulis Tionghoa kontemporer
yang tidak disebutkan namanya, yang menyatakan, perintah kaisar ini dengan
segera telah dibatalkan, oleh karena tidak ada obat yang lebih mujarab untuk
menyembuhkan penyakit pilek di kalangan ketentaraan selain tembakau (yang
dirokok).80
Ternyata rokok juga mempunyai manfaat baik dari sisi medis
kesehatan, psikis, maupun sosiologis.
Secara Kesehatan
Ternyata rokok juga bisa membantu mengurangi risiko Parkinson.
Parkinson adalah hilangnya sel-sel otak yang memunculkan zat kimia dopamine,
sehingga berdampak gemetar, dingin, gerak lambat dan bermasalah dengan
keseimbangan tubuh.
Laborat di Amerika mempelajari 210 pria dan wanita pengidap
Parkinson dan 310 orang sehat. Hasilnya, perokok memiliki risiko lebih rendah
79 Amen Budiman, Onghokham, Rokok Keretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara, (Kudus: PT Djarum, 1987), hal. 4 80 Suryo Sukendro, “Filosofi Rokok” Sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus,
2007), hal. 22
sampai 50% terkena penyakit Parkinson. Bahkan, perokok berat 70% lebih
rendah terkena penyakit itu.
Para peneliti juga menyatakan, peminum teh dan cola memiliki faktor
pengurang risiko Parkinson ketimbang mereka yang hanya mengkonsumsi air
putih. Racun yang ada pada teh atau cola, memungkinkan menghambat
perjalanan enzim penyebab Parkinson. Begitu juga dengan nikotin, sehingga
lepas dari perbincangan kanker atau batuk, rokok memiliki kekuatan
menghambat atau membunuh zat kimia penyebab Parkinson yang masuk ke sel
otak.81 Kesimpulannya, nikotin bisa membantu melindungi sel-sel otak.
Manfaat Psikologis
Rokok memang sangat berpengaruh terhadap psikis seseorang.
Banyak temuan fakta perihal banyaknya perokok yang merasakan peningkatan
kondisi, mood, kemampuan belajar, mengurangi stress dan lelah, serta
kemampuan memecahkan masalah saat mengisap sebatang rokok.
“Merokok dapat menghilangkan kecemasan atau stress” anggapan ini
diperkuat oleh dukungan para dokter pada masa itu sehingga fungsi rokok
dikenal secara luas sebagai penenang. Orang-orang yang dilanda kebingungan
karena suatu masalah pelariannya adalah rokok. Di Amerika Serikat sendiri,
karena penduduknya banyak yang mengalami kecemasan atau stress, jumlah
orang yang mengisap rokok di negeri Paman Sam itu berkembang sangat pesat.
Bayangkan saja, pada tahun 1910 ditemukan seorang yang berumur delapan
belas tahun ke atas menghabiskan 144 batang rokok dalam setahun. Pada tahun
1963 angka ini meningkat menjadi 4346 batang yang dihisap setiap orang dalam
setahun.82
Manfaat Secara Sosiologis
Bahwasanya rokok telah menjadi semacam perantara dan kemudian
dianggap telah menjadi bagian dari kebiasaan dalam masyarakat dalam sebuah
komunikasi formal maupun informal antara dua orang atau lebih. Rokok telah
81 http://www.minggupagi.com.diakses 20 Juni 2009 82 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok Haram, (Surabya: PT Java Pustaka, 2008), hal. 12
biasa dicatut sebagai pencair suasana dalam kelas obrolan ringan hingga
negosiasi penting. Dalam kalimat lain “sebatang rokok adalah negosiator terbaik
kedua di dunia”.83
“Merokok sebagai sarana persahabatan”. Untuk menjalin tali
persahabatan rokok merupakan sarana yang tepat. Karena rokok mudah dibawa
kemana saja, di rumah-rumah disediakan rokok untuk menghormati tamu,
demikian pula di warung-warung kopi disediakan rokok dari berbagai merek
untuk memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Kadangkala di kantor-kantor
juga disediakan rokok tidak peduli apakah di ruangan itu telah dipasang AC atau
kipas angin. Orang lebih enjoy bila ditemani rokok. Di pesta-pesta atau acara-
acara lain orang-orang senantiasa saling menawarkan rokok. Bahkan orang yang
biasanya tidak merokok ikut-ikutan merokok demi menghormati sahabatnya.84
“Merokok Dapat Meningkatkan Etos Kerja” orang yang sudah
terbiasa bekerja sambil merokok akan kelihatan kurang bersemangat jika
ditangannya tidak ada sebatangpun rokok untuk dihisap. Perhatikan saja
bagaimana etos kerja para pegawai atau buruh di negeri ini. Kebanyakan mereka
selalu merokok di waktu kerja, kuli bangunan bekerja sambil merokok. Nelayan
merokok di atas perahunya yang kadangkala asap rokok itu telah bercampur
dengan udara yang sudah dikotori oleh asap mesin. Pegawai merokok di ruang
kerja yang ber AC. Begitu pula dosen, guru, bahkan kyai mengajar sambil
merokok. Alasan mereka sama, “tidak semangat kalau tidak merokok”. Alas an
ini terus saja dipertahankan sehingga rokok menjadi kebutuhan primer,
konsumen rokok menjadi semakin meningkat. Sementara kebutuhan primer
seperti makanan pokok, susu, sayur, dan buah kurang terpenuhi bahkan
terabaikan sama sekali. Padahal tubuh manusia setiap hari memerlukan asupan
makanan yang bergizi untuk mempertahankan dirinya dari serangan suatu
penyakit.
83 Suryo Sukendro, “Filosofi Rokok” Sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus,
2007), hal. 88 84 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok Haram, (Surabya: PT Java Pustaka, 2008), hal.13
C. Aspek Kaidah Hukum Islam dalam Menganalisa Kontroversi Seputar
Rokok
Sampai kapanpun hukum rokok dalam Al-Qur’an atau al-Hadits tidak
secara jelas ada karena benda tersebut memang belum ada di jaman Rasulullah
saw. Untuk itu, dalam menganalisa hukum rokok kita dipersilahkan
menggunakan jalan ijtihad yang merupakan salah satu cara yang utuh dalam
menetapkan hukum rokok. Ada beberapa kaidah untuk menjembatani masalah
ini:
1. Menggunakan Kaidah Qiyas dalam Menetapkan Hukum Rokok
Hukum rokok bisa kita qiyaskan (analogikan) dengan ayat:
....التهلكة وال تلقوا بأيدآم إلى“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan”.85
Orang yang merokok disamakan dengan orang yang menjatuhkan
dirinya ke dalam kebinasaan. Karena di dalam rokok mengandung banyak
racun yang berbahaya yang memicu timbulnya berbagai macam penyakit
seperti serangan hipertensi, jantung, stroke, bahkan yang lebih
membahayakan lagi seperti kanker paru-paru. Berapa banyak jiwa yang tidak
bisa diselamatkan setelah dirinya menderita penyakit tersebut. Oleh sebab itu,
jauh-jauh hari Rasulullah saw memberi peringatan bahaya racun sebagaimana
sabdanya:
.ومن شرب سما فقتل فهو يتحساه فى نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا“dan barangsiapa minum racun lalu mati, maka dia akan
merasakan (sakitnya) racun tersebut di neraka jahannam dalam keadaan
kekal selamanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum rokok bisa kita qiyaskan dengan ayat: 85 Q.S. Al-Baqarah (2): 195
مكتوبا عندهم فى التورة , الذين يتبعون الرسول النبى األمى الذى يجدونه
هم الطيبت ويحرم واإلنجيل يأمرهم بالمعروف وينههم عن المنكر ويحل ل
.عليهم الخبئث
“(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”86
Kata al-khaba’its seperti dalam ayat tersebut adalah bentuk plural
dari kata al-khabaits yang menurut Kamus Arab Indonesia yang disusun oleh
Prof. DR. H. Irfan Zidny, M.A., dkk. Memberikan arti: yang keji, yang
menyakitkan, yang merugikan, yang tidak enak, yang berbau busuk, yang
najis, dan segala sesuatu yang haram.
Dengan demikian, rokok dapat disamakan dengan sesuatu yang
khabaits. Karena, rokok selain merugikan diri si perokok juga merugikan
orang lain. Jenis-jenis sesuatu yang masuk dalam kategori khabaits ini wajib
dihindari sejauh mungkin dari kehidupan ini sehingga yang tampak hanyalah
segala yang baik. Dalam hal ini Allah berfirman:
...والتقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن
“dan janganlah kamu mendekati pebuatan-perbuatan yang keji,
baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”87
86 Q.S. Al-A’raf (7) : 157 87 Q.S. Al-An’am (6) : 151
Menurut nash Al-quran, dalam khamar terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat. Beberapa manfaat yang terdapat dalam khamar adalah
manfaat secara ekonomi, dari segi perdagangan dan keuntungannya di
beberapa daerah. Mereka menanam keuntungan berjuta-juta. Manfaat inilah
yang banyak menggiurkan kebanyakan manusia pada zaman sekarang untuk
merusaha menjualbelikan khamar. Mereka menduga, sesungguhnya khamar
itu, mereka mendapat uang. Inilah suatu manfaat yang penting.
Tetapi, syara yang lurus menghilangkan manfaat ini dan Islam
tidak memberi pertimbangan karena di belakang khamar terdapat dosa yang
besar dan mudarat. Mudaratnya bagi seseorang, bagi keluarga, dan bagi
masyarakat umum.
Oleh karena itu, para pemabuk tidak ada nilainya, tidak bisa
bertahan di medan tempur, tidak bisa memukul musuh, tidak mempunyai
semangat untuk mengibarkan panji-panji Islam. Dengan demikian, bahaya
khamar kepada pribadi seseorang, kepada keluarga, dan kepada jemaah
adalah bahaya yang tidak diragukan lagi.
Kaidah Islam yang diperoleh dari ayat yang mulia ini adalah,
sesungguhnya, setiap perkara yang keadaan bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya, maka perkara itu haram. Islam hanya menyuruh melakukan
perkara yang manfaatnya lebih besar daripada bahayanya. Islam
mengharamkan perkara yang bahayanya murni atau lebih besar daripada
manfaatnya.
Adapun mengenai kapan khamar itu diharamkan, diketahui bahwa
diharamkannya khamar itu secara berangsur, sebagai berikut:
Ayat yang pertama diturunkan mengenai khamar adalah firman
Allah swt.,
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم آبير ومنافع للناس وإثمهما أآبر
.من نفعهما
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”88
Kemudian, firman Allah swt. Dalam surat An Nisa
ة وأنتم سكارىال تقربوا الصال“janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.”89
Kemudian khamar diharamkan dengan qhat’i (pasti) dalam surat Al
Maaidah.
يأيها الذين امنوا انما الخمر والميسر واالنصاب واالزالم رجس من عمل
لشيطان ان يوقع بينكم العداوة الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون انما يريد ا
والبغضاء فى الخمر والميسر ويصدآم عن ذآر اهللا وعن الصالة فهل أنتم
. منتهون“hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya, setan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang. Maka, berhentilah kamu dari mengerjakan perkara itu.”90
2. Menggunakan Kaidah Istishab dalam Menetapkan Hukum Rokok
Istishab menurut ulama usul fikih ialah melanjutkan berlakunya
hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi atau
mengubah hukum-hukum itu.
Kaidah usul itu berbunyi:
88 Q.S. Al-Baqarah (2) : 219 89 Q.S. An-Nisa (4) : 43 90 Q.S. Al-Maaidah (5) : 90-91
اال صل فى األشياء اإلباحة
Maksud dari kaidah ini adalah, bahwa hukum asal dari sesuatu
yang bermanfaat adalah mubah (boleh dipergunakan) dan hukum asal dari
sesuatu yang memudharatkan adalah haram. Melalui kaidah ini seluruh
hukum dianggap berlaku sampai ada dalil lain yang mengubahnya. Maka
berkaitan dengan rokok yang sudah dianggap sebagai sesuatu yang memu-
dharatkan maka hukumnya tidak boleh dipergunakan sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa rokok bermanfaat bagi kesehatan.
3. Menggunakan Kaidah Maslahah Mursalah dalam Menetapkan Hukum
Rokok
Maslahah mursalah menurut ulama usul fikih ialah prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan dalam menetapkan hukum suatu
masalah. Atau perbuatan yang bermanfaat dalam upaya memelihara tujuan-
tujuan syariat, yaitu menolak mudharat dan meraih manfaat.
Kaidah usul berbunyi:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Maksud kaidah ini ialah menghindari kerusakan harus didahulukan
daripada mengambil manfaat. Dengan demikian, seandainya ada yang berkata
bahwa rokok ada manfaatnya, maka harus ditimbang masak-masak mana
yang lebih besar manfaat atau mudharatnya. Tentu saja, dalam kasus seperti
ini harus ada pembuktian yang kuat. Pembuktian yang dimaksud adalah
mengacu pada penelitian ilmiah tentang rokok dari sudut pandang medis.
Oleh sebab itu, berdasarkan kaidah maslahah mursalah kita
berupaya semaksimal mungkin menolak rokok dalam arti yang lebih luas,
yaitu tidak mengkonsumsi rokok, tidak menjual atau membuatnya atau
bahkan memberikan sanksi hukum yang seberat-beratnya terkait dengan
rokok seperti yang telah diterapkan pada kasus khamr dan narkoba.
Andaikan saja rokok dan mudharatnya sudah dikenal di jaman
Rasulullah SAW, maka beliau sudah pasti mengambil tindakan yang lebih
tegas lagi sebagaimana masalah khamr yang semula belum ada ketetapan
hukum sehingga setiap orang boleh menikmatinya.
D. Aspek Pendapat Ilmuwan Muslim
Nahdhatul Ulama
Nahdhatul Ulama (NU) sejak dulu menganggap merokok masih
tergolong makruh. Kalau dari dulu di NU hukumnya makruh tidak sampai
haram. Karena itu berdasarkan tingkat bahayanya yang relatif. Jadi tidak sampai
haram, ujar ketua umum Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi.
Menurut Hasyim, merokok beda dengan minuman keras yang
hukumnya memang signifikan haram. Orang merokok punya relativitas, ada
yang kuat dan ada yang tidak kuat. Ada relativitas dari perokok dan pada
bahayanya. (Sumber: Setelah diringkas, Tribun Kaltim, 27 Januari 2009).
Fatwa MUI haram merokok yang dikeluarkan Majelis Ulama
Indonesia harus disikapi dengan sangat hati-hati oleh pemerintah. Fatwa itu
dianggap mengancam industri rokok yang saat ini masih menghidupi jutaan
tenaga kerja.
Badan Penagawas Obat dan Makanan (BPOM) juga diminta untuk
tidak memberi label haram pada rokok. Bila ada label haram, maka yang dituai
justru jutaan tenaga kerja akan menganggur.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)
Djimanto menjelaskan, industri rokok di Indonesia hingga hulu ke hilir telah
menyerap tenaga kerja sebanyak 12 juta orang. Dan yang paling terancam adalah
pada tingkat petani tembakau dan produsen rokok yang juga melibatkan jutaan
tenaga kerja.
MUI dalam sidang tahunan di Padang, Sumatera Barat (25 Januari
2009) mengeluarkan fatwa untuk kegiatan merokok pada anak-anak, pengurus
MUI, perempuan hamil, dan merokok di tempat umum. MUI juga
mengharamkan yoga yang mengndung ritual agama tertentu, dan Golongan
Putih (golput: yakni orang yang tidak ikut memilih ketikaPemilu).
Selain itu, Djimanto juga meminta agar MUI dan Depnakertrans turut
bertanggung jawab terhadap efek dari fatwa tersebut. Bila MUI memberi fatwa
haram, maka mereka juga harus ikut bertanggung jawab bila ada banyak
pengangguran karena PHK dari perusahaan rokok. Setidaknya sejak sekarang
sudah ada antisipasi untuk mencarikan lahan pekerjaan yang lain.91
Muhammadiyah
Secara resmi, Muhammadiyah belum membahas fatwa MUI itu, tapi
sesuai metodologi hukum dalam Muhammadiyah, ya akan kesana (haram) juga,
“kata Koordinator Majelis Tarjih, Tajdid dan Tabligh PWM Jawa Timur Saad
Ibrahim di Surabaya,(Rabu 28 Januari 2009)”.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi rencana MUI mengeluarkan
fatwa haram merokok bagi anak-anak, remaja, dan wanita hamil. Menurut Saad
Ibrahim, Al-Qur’an dan Hadits Nabi memang tidak secara langsung menyebut
rokok dan menghukuminya dengan haram, namun para ulama mempunyai
metodologi “nisbat” (turunan/rujukan) dalam menentukan hukum sesuai ajaran
agama.
Al-Qur’an memang hanya melarang judi dan khamar (alkohol), tapi
Al-Qur’an menyebutkan alasan hukum haram untuk judi dan khamar yakni
segala hal yang mudharatnya lebih besar dari manfaatnya adalah haram, jelas
Saad.
Dengan nisbat (merujuk) pada alasan itu, hukum yang sama juga dapat
diterapkan untuk kasus lain seperti rokok. Jadi, kalau mudharat dari merokok itu
lebih besar, maka merokok adalah haram.
Namun, katanya, Muhammadiyah berbeda dengan MUI, karena
Muhammadiyah menilai hukum haram merokok itu bersifat umum, bukan
seperti MUI yang mengkhususkan kepada anak kecil, remaja, wanita hamil, dan
merokok di tempat umum.
Bagi Muhammadiyah, hukum merokok itu haram, sedangkan hukum
merokok untuk anak kecil, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat umum
91 http://www.organisasi.org.diakses 25 Juni 2009
itu lebih haram lagi. Karena mudharatnya lebih meningkat lagi. Jadi merokok di
rumah juga tetap haram.
Selain itu, Muhammadiyah juga berbeda dengan MUI untuk orang-
orang tertentu. Hukum haram itu akan berubah menjadi sebaliknya (halal) bagi
orang-orang tertentu yang dapat membuktikan secara ilmiah bahwa dirinya tidak
mudharat bila merokok.
Itu sama dengan PSK (pekerja seks komersial), apakah PSK itu boleh
berzina dengan alasan untuk menghidupi anak-anaknya. Jadi, apa yang sudah
dihukumi haram itu tetap haram, tapi pemerintah perlu menyiapkan solusi secara
bertahap. Ia menambahkan pemerintah perlu menyiapkan pabrik lain yang dapat
menyerap tenaga kerja cukup banyak. Kalau tanaman opium saja dapat diubah,
masa mengalihkan pabrik rokok ke pabrik lain tidak bisa.92
Ahmad Rofik
Guru besar hukum Islam IAIN Wali Songo Semarang-Ahmad Rofik-
memandang, dalam mengeluarkan fawa haram rokok, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) harus mempertimbangkan berbagai hal dan melakukan kajian mendalam
serta matang.
Guru besar hukum Islam itu mengatakan, status hukum rokok
memang tidak memiliki dasar yang pasti, baik di al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Namun selama ini, kebanyakan ulama menyepakati hukum rokok adalah
makruh.
Memang sudah pernah dilakukan kampanye anti rokok, itu pun hanya
di ruangan ber AC. Bahkan kampanye dalam bungkus rokok juga dilakukan, tapi
hasilnya tidak efektif, ungkap Ahmad Rofik usai mengikuti acara Ijtimaul
Ummah di Wisma Pangeran, Jalan KH Ahmad Dahlan, Kota Padang Panjang,
Sumatera Barat, Sabtu (24 01 2009).
Dalam permasalahan rokok, permasalahannya seperti lingkaran setan
yang saling interpendensi. Diantaranya ada perusahaan rokok, karyawan,
pemerintah, iklan, beasiswa, dan lingkungan sosial, ungkap guru besar ini.
92 http://www.muhammadiyah.id.com.diakses 25 Juni 2009
Dia menyebutkan sebagai bahan perbandingan, PT Djarum Kudus
mampu menampung tenaga kerja sebanyak 77.000 orang dan menyumbangkan
dana lewat cukai setiap hari sebesar Rp 27 miliar. Nah jika dihitung dalam angka
waktu setahun terkumpul Rp 9,4 triliun, ini baru dari cukainya.
Untuk tahun 2006/2007, sambung Ahmad Rofik, PT Djarum
menyumbang 2,7 persen dari total domestik bruto APBN. Bahkan upah buruh
rokok per tahun itu mencapai Rp 450 miliar. Jumlah itu lebih besar dari belanja
pemerintah Kudus yang hanya Rp 350 miliar, bebernya.
Jika dilihat secara nasional, dana APBN yang diterima dari cukai
rokok mencapai Rp 52 triliun per tahun. Jumlah ini juga tidak bisa tertandingi
dengan penerimaan royalti PT Freeport yang hanya Rp 15 triliun per tahun.
Oleh sebab itu, MUI dalam memfatwakan haram rokok setidaknya
mempertimbangkan nasib para buruh dan karyawan pabrik rokok. Jadi harus
diperhatikan, karena akan berdampak timbulnya masalah sosial ke depan.
KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA93
Hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh Al-
Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, fuqaha mencari solusinya melalui ijtihad.
Sebagaimana layaknya masalah yang hukumnya digali lewat ijtihad, hukum
merokok diperselisihkan oleh fuqaha.
Pendapat ini disampaikan oleh Sayyid Alawi bin Sayyid Ahmad as-
Saqqaf tanpa menyebutkan siapa ulamanya.
Bisa haram merokok apabila membahayakan kondisi ekonomi atau
kesehatan seseorang. Ia tak punya duit, makan saja susah. Dalam kondisi
semacam ini bisa haram. Demikian seseorang yang kesehatannya akan
terganggu karena merokok. Baginya bisa dihukumi haram. Bisa makruh apabila
efek negatifnya tidak fatal. Bisa mubah bagi seseorang yang sehat, banyak uang,
sehingga dengan merokok, ekonomi dan kesehatannya tidak akan terganggu.
Bisa sunat atau wajib sesuai dengan illat yang melingkupinya.
93 Anggota Komisi Fatwa MUI, Pembantu Rektor I IIQ Jakarta, Pimpinan Pesantren Nurul Zahro
Depok Jawa Barat.
Ada seseorang yang kalau merokok ia mendapatkan inspirasi dan kuat
dalam menulis karya ilmiah. Tetapi tanpa merokok penanya menjadi tumpul dan
semangatnya menjadi mundur. Dalam kasus semacam ini tentu bisa wajib atau
sunat tergantung tingkat kebutuhannya.
Seorang ulama guru penulis pernah bercerita bahwa (alm) Syekh
Yasin al-Fadani, seorang ulama besar Indonesia asal Padang yang mukim di
Makkah kalau mengarang kitab selalu dengan merokok. Kenapa demikian?
Karena dengan merokok akan mendapatkan inspirasi dan semangat. Nah orang
semacam ini tentu bisa wajib dan minimal sunat. Dengan merokok beliau tidak
terganggu kesehatan dan kantongnya. Tetapi bagi orang yang sampai kecanduan
atau israf dalam merokok, misalnya sehari habis sekian bungkus, tentu bisa
menjadi haram.
Argumentasi kelompok ini adalah paduan dari dua kaidah:
واألصل فى األشياء اإلباحة -
.الحكم يدور مع علته وجوبا و عدما -Sebagaimana layaknya hasil ijtihad semua pendapat di atas statusnya
dhanni sebab adillah yang dipergunakan oleh masing-masing pihak dilalahnya
tidak ada yang qath’i. dalam hal ini berlaku prinsip :
رأينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصوابDan Kaidah:
اإلجتهاد ال ينقض باإلجتهاد
Masing-masing argumentasi yang mereka pergunakan mengandung
kelemahan. Lebih dari itu, tidak tepat kalau dalam hal ini digeneralisasi. Sebab
kondisi seseorang tidaklah sama. Dengan demikian pendapat keempat layak
dipertimbangkan. Untuk itu fatwa yang menyatakan haram mutlak atau mubah
mutlak tidaklah tepat.
Sisi lain yang perlu kita pertimbangkan adalah terjadinya polarisasi di
masyarakat antara yang menghendaki diharamkan dan sebaliknya. Hal ini perlu
menjadi pertimbangan tersendiri. Demikian juga seandainya kita mengambil
pendapat yang menyatakan haram mutlak ada yang perlu kita pertimbangkan.
Pertama, akan efektifkah fatwa itu atau hanya akan menjadi fatwa yang mubazir.
Kedua, seandainya benar-benar dipatuhi bagaimana nasib sekian banyak
karyawan pabrik rokok yang harus ditutup karena mematuhi fatwa MUI?
Bagaimana nasib sekian banyak petani tembakau yang kebanyakan muslim?
Sisi lain yang menjadi bahan pertimbangan ialah kendati merokok itu
jelas mengganggu dan membahayakan kesehatan tetapi kita tidak pernah
mengetahui secara pasti apakah seseorang itu meninggal gara-gara rokok atau
karena faktor yang lain. Kyai-kyai kita banyak yang menjadi perokok berat,
tetapi kok sehat-sehat saja dan umurnya juga panjang. Demikian juga kendati
merokok itu mengandung aspek negatif terkait dengan ekonomi dan keuangan,
tetapi kita belum pernah mendengar ada orang jatuh miskin gara-gara rokok.
Yang jelas, rokok mengandung nikotin yang membahayakan
kesehatan. Dan perokok tanpa disadari telah membakar sekian fulusnya secara
sia-sia. Pabrik rokok membuka lapangan pekerjaan dan cukai yang cukup besar.
Rokok dan merokok memang ada manfaat dan mafsadatnya. Mana yang lebih
besar di antara keduanya perlu diadakan penelitian, agar ijtihad untuk
menentukan hukumnya mendekati kebenaran.
Bahwa rokok banyak mengandung mudharat baik terkait dengan
kesehatan atau keuangan banyak diakui oleh banyak pihak. Tetapi memastikan
bahwa hukumnya haram untuk semua orang memang aplikasinya bisa menjadi
sulit. Apalagi dalil yang dijadkan landasan bagi mereka yang menyatakan haram
tetap mengandung sisi-sisi kelemahan dalam istidlal.
Demikian juga menyatakan secara pasti hukumnya mubah atau
makruh bagi setiap orang juga sulit dalam aplikasinya, mengingat kondisi
seseorang tidak selalu sama, sehingga hukum yang akan dikenakan kepadanya
pun tidak dapat disamakan. Apalagi hal ini merupakan hasil ijtihad yang
statusnya tetap dhanni. Sisi lain dari segi argumentasi juga mengandung
kelemahan. Untuk itu menurut hemat penulis pendapat keempat lebih bisa kita
terima. Dari sinilah maka masalah rokok menurut hemat penulis tidak perlu
difatwakan. Akan lebih bagi kalau Ulil Amri/Pemerintah yang mengaturnya agar
dampak negatifnya bagi kepentingan umum dapat dihindarkan, paling tidak
diminimalisir. Untuk itu Pemda yang telah memiliki Perda tentang rokok, seperti
DKI perlu diefektifkan dan bagi Pemda yang belum mempunyai dihimbau agar
segera memiliki Perda tentang aturan merokok dan dilaksanakannya secara
konsisten serta konsekuen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis lakukan di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:
1. MUI dalam mengeluarkan fatwa hukum haram merokok menggunakan dasar-
dasar hukum yaitu; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dan disusuli dengan
penelitian pendapat para imam madzhab dan fuqaha yang telah melakukan
penelaahan mendalam tentang masalah serupa.
2. Faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang hukum haram merokok
yaitu: faktor sosial dan faktor politik. Faktor sosial yaitu Dalam Anggaran
Dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan tugasnya
dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun
kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya.
MUI juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam,
bertindak selaku penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili
kaum muslimin dalam permusyawaratan antar golongan agama. Faktor politik
yaitu Sebuah produk keputusan maupun fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
manapun pasti akan sangat terikat dengan setting sosio-kultural dan sosio-
politik yang berada di sekitarnya. Faktor ini pulalah yang menyebabkan sifat
dari sebuah fatwa maupun keputusan sebuah lembaga sangat bersifat
sosiologis. Asumsi ini sebenarnya berawal dari latar belakang Majelis Ulama
Indonesia sendiri yang lahir dari dan untuk kepentingan politik.
3. MUI mengeluarkan fatwa tentang haram merokok bagi: anak-anak, wanita
hamil, dan di tempat umum. Berdasarkan ijtihadnya dengan menggunakan
metode Qiyas.
B. Saran
1. MUI dalam mengeluarkan produk fatwa hendaknya harus melihat dan
memperhitungkan faktor masyarakat umum. Kondisi sebuah obyek fatwa
harus benar-benar bisa dipahami dan diteliti terlebih dahulu. Jadi fatwa itu
yang betul-betul menjadikan kepercayaan publik dan sesuai keperluan publik.
Fatwa juga harus berorientasi pada kearifan dalam memberikan informasi
yang bersifat hukum. Oleh sebab itu, bila sebuah fatwa diduga akan
menimbulkan keburukan, maka semestinya si mufti atau pemberi fatwa
menahan diri untuk tidak mengedarkan fatwanya tersebut. Fatwa perlu
ditinjau kembali untuk dilihat masalah dan mudharatnya di tengah
masyarakat.
2. MUI jangan terjebak dengan politik praktis untuk mengeluarkan sebuah
fatwa, karena MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik
diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis
Ulama Indonesia harus mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam
Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran.
3. Bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan dari mereka
dan melenyapkan bahaya dari mereka. Jadi, seorang ahli hukum muslim tidak
mensyariatkan hukum kecuali untuk merealisir kemaslahatan manusia. Dan
dia tidak membiarkan maslahatan yang dikehendaki oleh kondisi manusia
dengan tidak mensyariatkan hukum demi maslahat itu.
DAFTAR PUSTAKA Abu Zahrah, Muhammad. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. Atho Mudzhar, Muhammad. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: INIS. Aditama, Tjandra Yoga. 1992. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press. Abd. Fatah, Rohadi. 1991. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Djauharudin. 1994. Madzhab-madzhab dalam Islam. Bandung: Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati. Daud Ali, Mohammad. 2004. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS. Firdaus, Robitul. 2008. Menggagas Konsep Maslahat Ala Indonesia. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Falultas Ilmu Agama Islam UII. Dahlan, Zaini. 1999. Qur’an Karim dan terjemahan. Yogyakarta: UII Press. Istoqomah, Umi. 2003. Upaya Menuju Generasi tanpa Merokok. Surakarta: CV Setia Aji. Jaya, Muhammad. 2009. Pembunuh Berbahaya itu Bernama Rokok. Yogyakarta: Riz’ma. Khan, Elayne dan A. Ruanitsky, David. 1996. 1001 Cara Mengungkap Kepribadian. Jakarta: Dahara Prize.
Maba, K.H. Ghufron. 2008. Ternyata Rokok Haram. Surabaya: PT Java Pustaka. Mangoenprasodjo, A. Setiono dan Hidayati, Sri Nur. 2005. Hidup Sehat Tanpa Rokok. Yogyakarta: Pradipta Publishing. Muhammad, Abu. 1998. Rokok Haramkah Hukumnya. Jakarta: Gema Insani. Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh II. Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf. Nainggolan. 1990. Anda Mau Berhenti Merokok? Pasti Berhasil. Bandung: Indonesia Publishing House.
Rohidin. 2009. Studi tentang Paradigma MUI dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat terhadap Aliran Keagamaan dan Kaitannya dengan Prinsip-prinsip HAM. Yogyakarta: DPPM UII. Schacht, Joseph. 2003. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Islamika. Sukendro, Suryo. 2007. Filosofi Rokok. Yogyakarta: Pinus. Wahab Khallaf, Abdul. 1994. Ilmu Ushhul Fiqh. Semarang: Dina Utama. Wahab Khallaf, Abdul. 1985. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press. Yunus BS, Muhammad. 2009. Kitab Rokok “Nikmat dan Mudharat yang Menghalalkan atau Mengharamkan. Yogyakarta: CV. Kutub Wacana. Qardawi, Yusuf. 1996. Problematika Islam Masa Kini. Bandung: Trigenda Karya. . 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press. . 1995. Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Risalah Gusi. Data Software, Internet, Dan Majalah MUI. 2000. Wawasan dan PD/PRT Majelis Ulama Indonesia. MUI. 2009. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III http://www.akibatmerokok.com.diakses 1 Juni 2009 http://www.antara.co.id.diakses 1 Juni 2009 http://www.cerminduniakedokteran.com.diakses 3 Juni 2009 http://www.bpkp.go.id.diakses 1 Juni 2009 http://www.detiknews.com.diakses 3 Juni 2009 http://www.depkes.com.diakses 3 Juni 2009 http://www.halalguide.info.diakses 3 Juni 2009 http://www.images.google.co.id.diakses 5 Juni 2009 http://www.keluarga.com.diakses 5 Juni 2009 http://www.kesehatan.com.diakses 9 Juni 2009
http://www.MUI.com.diakses 9 Juni 2009 http://www.news.okezone.com.diakses 9 Juni 2009 http://www.organisasi.org.diakses 9 Juni 2009 http://www.pikiranrakyat.com.diakses 9 Juni 2009 http://www.sejarahrokok.html.diakses.10 Juni 2009 http://www.suarapembaruan.com.diakses 12 Juni 2009 http://www.tempointeraktif.com.diakses 15 Juni 2009 http://www.van.9f.com/hukum-rokok.htm.diakses 15 Juni 2009