tesis junaedi

Upload: nur-sulistyaning-hidayah

Post on 11-Jul-2015

609 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pada berbagai bidang khususnya kehidupan berorganisasi, faktor manusia merupakan masalah utama disetiap kegiatan yang ada didalamnya. Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang reaktif dapat diidentifikasikan, bekerja secara terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006). Semua tindakan yang diambil dalam setiap kegiatan diprakarsai dan ditentukan oleh manusia yang menjadi anggota perusahaan. Perusahaan membutuhkan adanya faktor sumber daya manusia yang potensial baik pemimpin maupun karyawan pada pola tugas dan pengawasan yang merupakan penentu tercapainya tujuan perusahaan. Sumber daya manusia merupakan tokoh sentral dalam organisasi maupun perusahaan. Agar aktivitas manajemen berjalan dengan baik, perusahaan harus memiliki karyawan yang berpengetahuan dan berketrampilan tinggi serta usaha untuk mengelola perusahaan seoptimal mungkin sehingga kinerja karyawan meningkat. Menurut Budi Setiyawan dan Waridin (2006) kinerja karyawan merupakan hasil atau prestasi kerja karyawan yang dinilai dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang ditentukan oleh pihak organisasi. Kinerja yang baik adalah kinerja yang optimal, yaitu kinerja yang sesuai standar organisasi dan mendukung tercapainya tujuan organisasi. Organisasi yang baik adalah organisasi yang berusaha meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya, karena hal tersebut merupakan faktor kunci untuk meningkatkan kinerja karyawan.

2

Peningkatan kinerja karyawan akan membawa kemajuan bagi perusahaan untuk dapat bertahan dalam suatu persaingan lingkungan bisnis yang tidak stabil. Oleh karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan merupakan tantangan manajemen yang paling serius karena keberhasilan untuk mencapai tujuan dan kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada kualitas kinerja sumber daya manusia yang ada didalamnya. Kinerja karyawan yang tinggi sangatlah diharapkan oleh perusahaan terserbut. Semakin banyak karyawan yang mempunyai kinerja tinggi, maka produktivitas perusahaan secara keseluruhan akan meningkat sehingga perusahaan akan dapat bertahan dalam persaingan global. Karyawan dituntut untuk mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Keberhasilan karyawan dapat diukur melalui kepuasan konsumen, berkurangnya jumlah keluhan dan tercapainya target yang optimal. Kinerja karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram juga dapat diukur melalui penyelesaian tugasnya secara efektif dan efsien serta melakukan peran dan fungsinya dan itu semua berhubungan linear dan berhubungan positif bagi keberhasilan suatu perusahaan. Terdapat faktor negatif yang dapat menurunkan kinerja karyawan, diantaranya adalah menurunnya keinginan karyawan untuk mencapai prestasi kerja, kurangnya ketepatan waktu dalam penyelesaian pekerjaan sehingga kurang menaati peraturan, pengaruh yang berasal dari lingkungannya, teman sekerja yang juga menurun semangatnya dan tidak adanya contoh yang harus dijadikan acuan dalam pencapaian prestasi kerja yang baik. Semua itu merupakan sebab menurunya kinerja

3

karyawan dalam bekerja. Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja diantaranya adalah gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain (Suranta, 2002). Gaya kepemimpinan cocok apabila tujuan perusahaan telah dikomunikasikan dan bawahan telah menerimanya. Seorang pemimpin harus menerapkan gaya kepemimpinan untuk mengelola bawahannya, karena seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya (Waridin dan Bambang Guritno, 2005). Perusahaan menggunakan penghargaan atau hadiah dan ketertiban sebagai alat untuk memotivasi karyawan. Pemimpin mendengar ide-ide dari para bawahan sebelum mengambil keputusan. Gaya kepemimpinan yang tepat akan menimbulkan motivasi seseorang untuk berprestasi. Sukses tidaknya karyawan dalam prestasi kerja dapat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya (Hardini, 2001 dalam Suranta, 2002). Suranta (2002) dan Tampubolon (2007) telah meneliti pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja, menyatakan bahwa gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan. Motivasi adalah dorongan, upaya dan keinginan yang ada di dalam diri manusia yang mengaktifkan, memberi daya serta mengarahkan perilaku untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik dalam lingkup pekerjaannya (Hakim, 2006). Robbins (2006) mendefinisikan motifasi sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Motivasi sebagai proses yang bermula dari kekuatan dalam hal fisiologis dan psikologis atau kebutuhan yang mengakibatkan perilaku atau dorongan yang ditujukan pada

4

sebuah tujuan atau insentif (Moekijat, 2001 dalam Hakim, 2006). Beberapa peneliti telah menguji hubungan antara motivasi dengan kinerja karyawan, antara lain Suharto dan Cahyono (2005), Hakim (2006). Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja menunjukan hasil yang sama bahwa hubungan antara motivasi dengan kinerja karyawan menunjukan hubungan positif dan signifikan. Menurut Setiyawan dan Waridin (2006) disiplin sebagai keadaan ideal dalam mendukung pelaksanaan tugas sesuai aturan dalam rangka mendukung optimalisasi kerja. Salah satu syarat agar disiplin dapat ditumbuhkan dalam lingkungan kerja ialah, adanya pembagian kerja yang tuntas sampai kepada pegawai atau petugas yang paling bawah, sehingga setiap orang tahu dengan sadar apa tugasnya, bagaimana melakukannya, kapan pekerjaan dimulai dan selesai, seperti apa hasil kerja yang disyaratkan, dan kepada siapa mempertanggung jawabkan hasil pekerjaan itu (Setiyawan dan Waridin, 2006). Untuk itu disiplin harus ditumbuh kembangkan agar tumbuh pula ketertiban dan evisiensi. Tanpa adanya disiplin yang baik, jangan harap akan dapat diwujudkan adanya sosok pemimpin atau karyawan ideal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dan perusahaan. Menurut Setiyawan dan Waridin (2006), dan Aritonang (2005) disiplin kerja karyawan bagian dari faktor kinerja. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa disiplin kerja memiliki pengaruh positif terhadap kinerja kerja karyawan. Berdasarkan survei pendahuluan, peneliti menemukan adanya

kekurangmenaati tata tertib, ketentuan-ketentuan perusahaan yang memberatkan karyawan, disamping gaya kepemimpinan dan motivasi yang cukup tinggi. Kemudian timbul pemikiran bagaimana keseluruhan faktor tersebut saling berkesinambungan sehingga mempengaruhi kinerja karyawan.

5

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Disiplin Kerja terhadap Kinerja Karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram.

1.2.

Rumusan Masalah Permasalahan dari perusahaan ini adalah tinggi rendahnya kinerja karyawan,

untuk suatu upaya yang dapat meningkatkan kinerja karyawan, dengan permasalahan tersebut diduga faktor gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dirumuskan suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik gaya kepemimpinan, motivasi, disiplin kerja, dan kinerja karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram? 2. Apakah gaya kepemimpinan, motivasi, dan kinerja secara parsial berpengaruh terhadap karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram? 3. Apakah gaya kepemimpinan, motivasi, dan disipkin kerja secara simultan berpengaruh terhadap karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram? 4. Diantara ketiga variabel gaya kepemimpinan, motivasi, dan disiplin kerja mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram?

1.3.

Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang

mendalam dan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh gaya kepemimpinan,

6

motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mendeskripsikan karakteristik gaya kepemimpinan, motivasi, disiplin kerja, dan kinerja karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram. 2. Menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan, motivasi, dan kinerja secara parsial terhadap karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram. 3. Menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan, motivasi, dan disipkin kerja secara simultan terhadap karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram. 4. Mengetahui pengaruh dominan dari variabel gaya kepemimpinan, motivasi, dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan Universitas Muhammadiyah Mataram.

1.4.

Manfaat penelitian Manfaat-manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pemahaman mengenai gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja mempengaruhi kinerja karyawan, serta dapat dijadikan salah satu referensi di kalangan akademisi serta referensi bagi peneliti selanjutnya yang mengadakan penelitian lebih lanjut dengan topik yang serupa.2.

Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan

7

manajemen di Universitas Muhammadiyah Mataram, sehingga diharapkan kinerja pegawai di Universitas Muhammadiyah Mataram dapat meningkat yang mana akan memberi dampak positif terhadap kualitas pelayanannya.

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Ali Murzaeni (2003) tentang Pengaruh persepsi guru mengenai kriteria kepemimpinan kepala sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja guru SMU swasta di Kota Tegal, disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan antara pengaruh persepsi guru mengenai criteria kepemimpinan kepala sekolah dan iklim kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru SMU swasta di Kota Tegal. Variabel kinerja guru yang dijelaskan oleh perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan iklim kerja adalah 4 6,6%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh predictor lain. Penelitan Edy Purwanto (2001) dengan judul Analisis Pengaruh motivasi,dedikasi dan kemampuan profesi terhadap kinerja guru SMU 1 Bantarkawung Kabupaten Brebes, hasilnya adalah sebagai berikut: a. Secara bersama-sama motivasi, dedikasi dan kemampuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru SMU 1 Bantarkawung Kabupaten Brebes. b. Secara parsial motivasi, dedikasi dan kemampuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru SMU 1 Bantarkawung Kabupaten Brebes dan motivasi mempunyai pengaruh dominan. Penelitian yang dilakukan oleh Suharto dan Cahyono (2005) dengan judul penelitian Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Motivasi kerja terhadap Kinerja sumber daya manusia di secretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah dengan teknik sampling proporsional sampling, dengan hasil penelitian

9

terdapat pengaruh positif dan signifikan budaya organisasi, kepemimpinan dan motivasi kerja secara individu mampu bersama-sama terhadap kinerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Setiyawan dan Waridin (2006) dengan judul penelitian Pengaruh Disiplin Kerja Karyawan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja di Divisi Radiologi RSUP Dokter Kariadi Semarang dengan teknik sampling sensus dengan hasil penelitian terdapat pengaruh secara signifikan disiplin kerja karyawan dan budaya organisasi secara bersama-sama berpengaruh secara positif terhadap kinerja karyawan.

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Kinerja 2.2.1.1. Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan perilaku organisasi yang secara langsung berhubungan dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Informasi tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kinerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru kurang atau bahkan tidak jarang ada yang mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya. Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu (Tika, 2006). Sedangkan menurut Rivai dan Basri (2005) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawab dengan hasil seperti yang diharapkan. Menurut Guritno dan Waridin (2005) kinerja merupakan perbandingan hasil

10

kerja yang dicapai oleh karyawan dengan standar yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Hakim (2006) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu yang disesuaikan dengan peran atau tugas individu tersebut dalam suatu perusahaan pada suatu periode waktu tertentu, yang dihubungkan dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu dari perusahaan dimana individu tersebut bekerja. Kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang telah ditentukan (Masrukhin dan Waridin, 2004). Menurut Simamora (2006:500) kinerja karyawan adalah tingkat hasil kerja karyawan dalam mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan yang diberikan. Kinerja adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Pengertian kinerja menurut Mangkunegara (2008:67) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yanng diberikan kepadanya. Kualitas yang dimaksud disini adalah dilihat dari kehalusan, kebersihan dan ketelitian dalam pekerjaan sedangkan kuantitas dilihat dari jumlah atau banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan karyawan. Sedangkan Handoko (2000:50), mendefinisikan kinerja sebagai proses dimana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Hasibuan (2003:34) mengemukakan kinerja prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Sedangkan Rivai dan Sagala (2010) menyatakan bahwa kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai

11

prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan mencapai tujuannya. Tika (2006:121) mendenisikan kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan seseorang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Selain itu kinerja juga dapat diartikan sebagai suatu hasil dari usaha seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Sehingga kinerja tersebut merupakan hasil keterkaitan antar usaha, kemampuan dan persepsi tugas. Dari definisi-definisi diatas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja terdiri dari : 1) 2) Hasil-hasil fungsi pekerjaan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi

kerja karyawan seperti: motivasi, kecakapan, persepsi, peranan dan tugas dan lain sebagainya 3)4)

Pencapaian tujuan organisasi Periode waktu tertentu Kinerja merupakan hal yang paling penting dijadikan landasan untuk

mengetahui tentang perfomance dari karyawan tersebut. Dengan melakukan penilaian demikian, seorang pimpinan akan menggunakan uraian pekerjaan sebagai tolak ukur, bila pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan atau melebihi uraian pekerjaan, berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi, kalau pelaksanaan pekerjaan berada dibawah uraian pekerjaan, maka pelaksanaan tersebut kurang berhasil

12

Berdasarkan pengertian kinerja dari beberapa pendapat diatas, kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan dengan standar yang telah ditentukan. Kinerja juga berarti hasil yang dicapai oleh seseorang, baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang dberikan kepadanya. Menurut Suprihanto (2003) kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Suprihanto, 2003). Mathis dan Jackson (2002) berpendapat bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Kinerja pegawai adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk : (1) kuantitas output, (2) kualitas output, (3) jangka waktu output, (4) kehadiran di tempat kerja dan (5) sikap kooperatif. Sherman and Ghomes dalam Soelaiman (2007:279) Job performance is the amount of succesfull role achievement (Prestasi kerja/kinerja adalah jumlah/ukuran keberhasilan atas sesuatu yang dicapai). Menurut Soelaiman dalam bukunya Manajemen Kinerja (2007: 279) memberikan pengertian atas kinerja adalah sebagai sesuatu yang dikerjakan dan dihasilkan dalam bentuk produk maupun jasa, dalam suatu periode tertentu dan ukuran tertentu oleh seseorang atau sekelompok orang melalui kecakapan, kemampuan, pengetahuan dan pengalamannya. Kemudian ia juga menjelaskan

13

kinerja karyawan (employee performance) adalah tingkat terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan persyaratan pekerjaan. Kinerja pegawai dapat diartikan sebagai prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai pegawai tiap periode dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Tika (2006) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja yaitu: 1. Hasil-hasil fungsi pekerjaan 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan 3. Pencapaian tujuan organisasi 4. Periode waktu tertentu Menurut Rivai dan Basri (2005) kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: 1. 2. 3. Kemampuan Keinginan Lingkungan Rivai dan Basri (2005) juga menyebutkan empat aspek kinerja: 1. 2. 3. 4. Kemampuan Penerimaan tujuan perusahaan Tingkat tujuan yang dicapai Interaksi antara tujuan dan kemampuan para karyawan dalam perusahaan Kemudian Tujuan kinerja menurut Rivai dan Basri (2005): 1. Kemahiran dari kemampuan tugas baru diperuntukan untuk perbaikan hasil

14

kinerja dan kegiatannya. 2. Kemahiran dari pengetahuan baru dimana akan membantu karyawan dengan pemecahan masalah yang kompleks atas aktivitas membuat keputusan pada tugas. 3. Kemahiran atau perbaikan pada sikap terhadap teman kerjanya dengan satu aktivitas kinerja. 4. 5. 6. Target aktivitas perbaikan kinerja. Perbaikan dalam kualitas atau produksi. Perbaikan dalam waktu atau pengiriman.

2.2.1.2.

Manajemen Kinerja Sedarmayanti (2007:87) manajemen kinerja merupakan

Menurut

pendekatan strategik dan terintegrasi untuk menghasilkan keberhasilan yang bekelanjutan bagi bekerja dei dalam organisasi dan dengan mengembangkan kapabilitas tim dan individu pemberi kontribusi. Manajemen kinerja dapat memberikontribusi kepada pengembangan organisasi dengan keterlibatan tinggi dengan mengajak tim dan individu berpartisipasi dalam menetapkan sasaran mereka dan untuk memberikan cara dimana hasil yang baik dapat diperoleh dari organisasi.

Kesediaan untuk berkinerja

Kinerja pekerjaan Kapasitas untuk berkinerja Kesempatan untuk berkinerja

15

Sumber : Ivancevich (2007:144) Gambar 2.1. Determinan dari kinerja pekerjaan

Gambar 2.1 di atas, menunjukkan bahwa kinerja pekerjaan mungkin dipandang sebagai fungsi kapasitas untuk berkinerja, kesempatan untuk berkinerja dan kesediaan untuk berkinerja. Kapasitas untuk berkinerja berhubungan dengan seberapa baik keterampilan, kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman individu yang berhubungan dengan pekerjaan. Tingkat kinerja pekerjaan yang tinggi hanya mungkin dicapai jika seorang karyawan tahu apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Memiliki kesempatan untuk berkinerja merupakan faktor yang penting dalam membentuk kinerja. Kadang-kadang karyawan mungkin kurang memiliki kesempatan untuk berkinerja bukan karena pekerjaan yang buruk atau tekonologi yang usang, akan tetapi karena keputusan yang buruk atau sikap yang kuno. Selanjunya kesediaan untuk berkinerja berhubungan dengan sejauh mana seorang individu ingin ataupun bersedia berusaha untuk mencapai kinerja yang baik di pekerjaan. Dengan demikian, tidak ada kombinasi dari kapasitas dan kesempatan yang akan menghasilkan kinerja tinggi jika tidak ada tingkat motivasi atau keinginan untuk berkinerja.

16

2.2.1.3.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Menurut Suprihanto (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

pegawai yaitu : bakat, pendidikan dan latihan, lingkungan dan fasilitas, iklim kerja, motivasi dan kemampuan hubungan industrial, teknologi manajemen, kesempatan berprestasi dan lain sebagainya. Menurut, Mathis (2002) menyatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja individu, yaitu kemampuan, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan dan hubungan mereka dengan organisasi. Pada banyak organisasi, kinerja lebih tergantung pada kinerja dari individu tenaga kerja. Menurut Mangkunegara (2008:67), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan keterampilan dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Menurut Sutermeister (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah motivasi, kemampuan, pengetahuan, keahlian, pendidikan, pengalaman, pelatihan, minat, sikap, kepribadian, kondisi-kondisi fisik dan kebutuhan-kebutuhan individual yang terdiri dari kebutuhan biologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan egoistik. Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja

17

antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktivitas mereka tidaklah sama, dan pendidikan dan pelatihan, motivasi serta budaya kerja adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan tersebut.

2.2.1.4.

Penilaian Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2002), penilaian kinerja (Performance

Appraisal) adalah suatu cara yang dilakukan untuk menilai prestasi kerja seorang karyawan apakah mencapai target pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Pelaksanaan penilaian hasil kerja atau kinerja organisasi maupun kinerja individual dilakukan oleh sistem manajemen yang bertugas untuk melakukan penilaian hasil kerja karyawan yang disebut manajemen kinerja. Soelaiman (2007:280) penilaian kinerja sering digunakan dengan pemahaman evaluasi kinerja (performance appraisal/evaluation) memiliki beberapa istilah seperti: merit rating, behavioral assesment, employee evaluation, personal review, dan sebagainya. Dengan demikian penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi karyawan yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa yang akan datang, sehingga karyawan, organisasi dan masyarakat semuanya memperoleh manfaat. Evaluasi/penilaian kinerja secara prosedur pada dasarnya meliputi: (1)

18

penetapan standar kerja, (2) penilaian kinerja aktual karyawan dalam hubungan dengan standar standar ini dan (3) memberi umpan balik kepada karyawan dengan tujuan memotivasi karyawan sebagai pengakuan atas kinerja dan diharapkan untuk terus berkinerja lebih tinggi lagi. (Soelaiman, 2007:280). Pendapat lainnya Towers (2007:281) penilaian kinerja didefinisikan sebagai The systematic review of the performance of staff, on a written basis, at reguler time intervals and the holding of appraisal interviews at which staff have the opportunity to discuss performance issues past, present and future, on a one to one basis, usually with their immediate line manager. Sedangkan menurut Mondy and Noe (2007:281) Performance appraisal (PA) is a formal system of periodic review and evaluation of an individuals job performance. Tujuan dari evaluasi/penilaian kinerja seperti yang dikemukakan oleh Anderson dalam Towers (2007:281) adalah Performance appraisal, by providing feedback to employee on job performance, creates a basis for improvement and development. Masih dalam buku yang sama Cameron berpendapat bahwa penilaian kinerja mempunyai tujuan sebagai berikut: .is to create a learning experience. Di sisi lain Putti (2007:282) memberikan alasan dari pelaksanaan evaluasi/penilaian kinerja adalah: a. Such a program increases a supervisors ability to judge subordinate accurately. b. An accurate performance evaluation program can mean better performance by employees, higher morale, lower turnover, lower rate absenteeism and more realistic and positive development of employees potential. c. The performance review program suggested here, helps to eliminate any misunderstanding as to the job responsibilities and objectives.

19

Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan salah satu faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program penilaian prestasi kerja, berarti organisasi telah memanfaatkan secara baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Permasalahan yang biasa muncul dalam proses penilaian adalah terletak pada bagaimana objektivitas penilaian dapat dipertahankan. Dengan kemampuan mempertahankan objektivitas penilaian, maka hasil penilaian menjadi terjaga akurasi dan validitasnya. Untuk menjaga sistem penilaian yang objektif hendaknya para penilai, harus menghindarkan diri dari adanya like dan dis like. Dengan demikian tujuan dan kontribusi dari hasil penilaian yang diharapkan dapat tercapai, adapun tujuan penilaian adalah sebagai berikut : a. Mengetahui tujuan dan sasaran manajemen dan pegawai. b. Memotivasi pegawai untuk memperbaiki kinerjanya. c. Mendistribusikan reward dari organisasi/instansi yang dapat berupa pertambahan gaji/gaji dan promosinya yang adil. d. Mengadakan penelitian manajemen personalia. Adapun secara terperinci manfaat adalah : a. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi b. Perbaikan kinerja c. Kebutuhan latihan dan pengembangan d. Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja. e. Untuk kepentingan penelitian kepegawaian penilaian kinerja bagi organisasi

20

f. Membantu diagnosis terhadap kesalahan desain pegawai. Informasi penilaian kinerja tersebut dapat dipakai oleh pimpinan untuk mengelola kinerja pegawainya dan mengungkap kelemahan kinerja pegawai sehingga pimpinan dapat menentukan tujuan maupun peringkat target yang harus diperbaiki. Tersedianya informasi kinerja pegawai, sangat membantu pimpinan dalam mengambil langkah perbaikan program-program kepegawaian yang telah dibuat, maupun program-program organisasi secara menyeluruh. Menurut Mangkunegara (2004) unsur-unsur yang dinilai dari kinerja adalah kualitas kerja, kuantitas kerja, keandalan dan sikap. Kualitas kerja terdiri dari ketepatan, ketelitian, keterampilan dan kebersihan. Kuantitas kerja terdiri dari output dan penyelesaian kerja dengan ekstra. Keandalan terdiri dari mengikuti instruksi, inisiatif, kehati-hatian dan kerajinan. Sedangkan sikap terdiri dari sikap terhadap perusahaan, pegawai lain dan pekerjaan serta kerjasama. Keseluruhan unsur/komponen penilaian kinerja di atas harus ada dalam pelaksanaan penilaian agar hasil penilaian dapat mencerminkan kinerja dari para pegawai. Penilaian kinerja adalah penting ketika organisasi memberhentikan, mempromosikan, atau membayar orang-orang secara berbeda, karena hal ini membutuhkan pembelaan yang kritis jika karyawan menuntut keputusan yang ada.

PENGGUNAAN ADMINISTRATIF: Kompensasi Promosi Pemberhentian Pengurangan PHK

PENGGUNAAN PENGEMBANGAN: Mengidentifikasikan kekuatan Mengidentifikasikan bagian untuk ditingkatkan Perencanaan pengembangan Pembinaan dan perencanaan karir

PENILAIAN KINERJA

21

*) Sumber : Mathis R.L & Jackson J.H (2002: 83) Gambar 2.2 Peran Bertentangan dalam Penilaian Kinerja Penilaian kinerja dapat menjadi sumber informasi utama dan umpan balik untuk karyawan yang merupakan kunci bagi pengembangan mereka di masa mendatang. Di saat atasan mengidentiflkasikan kelemahan, potensi, dan kebutuhan pelatihan melalui umpan balik penilaian kinerja, mereka dapat memberi tahu karyawan mengenai kemajuan mereka, mendiskusikan ketrampilan apa yang perlu mereka kembangkan, dan melaksanakan pengembangan. Pada prinsipnya penilaian adalah merupakan cara pengukuran kontribusikontribusi dari individu dalam instansi yang dilakukan terhadap organisasi. Nilai penting dari penilaian kinerja adalah menyangkut penentuan tingkat kontribusi individu atau kinerja yang diekspresikan dalam penyelesaian tugastugas yang menjadi tanggungjawabnya. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja berdasarkan periode waktunya adalah sebagai berikut: (Soelaiman, 2007:285) a. Untuk memberikan dasar bagi rencana dan pelaksanaan pemberian penghargaan bagi karyawan atas kinerja pada periode waktu sebelumnya (to reward past performance) perencanaan

22

b. Untuk memotivasi agar pada periode waktu yang akan datang kinerja seorang karyawan dapat ditingkatkan (to motivate future performance improvement) Menurut Sedarmayanti (2007:264) tujuan penilaian kinerja adalah sebagai berikut: a. b. Mengetahui keterampilan dan kemampuan karyawan Sebagai dasar perencanaan bidang kepegawaian

khususnya penyempurnaan kondisi kerja, peningkatan mutu dan hasil kerja c. Sebagai dasar pengembangan dan pendayagunaan

karyawan seoptimal mungkin d. Mendorong terciptanya hubungan timbal balik yang

sehat antara atasan dan bawahan e. Mengetahui kondisi organisasi secara keseluruhan

dari bidang kepegawaian, khususnya kinerja karyawan dalam bekerja f. Secara pribadi karyawan mengetahui kekuatan dan

kelemahannya sehingga dapat memacu perkembangannya g. Hasil penilaian pelaksanan pekerjaan dapat

bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan di bidang kepegawaian Tujuan pokok sistem penilaian kinerja adalah menghasilkan informasi yang akurat dan sahih tentang perilaku dan kinerja anggota-anggota organisasi. Semakin akurat dan sahih informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian kinerja, semakin besar potensi nilainya bagi organisasi. Tujuan-tujuan khusus tersebut dapat digolongkan menjadi dua bagian besar (Simamora, 2006:423): a. Tujuan Evaluasi 1) Penilaian kinerja dan telaah gaji

23

2)

Penilaian kinerja dan kesempatan promosi

b. Tujuan Pengembangan 1) Mengukuhkan dan menopang kinerja 2) Meningkatkan kinerja 3) Menetukan tujuan-tujuan progresi karier 4) Menentukan kebutuhan-kebutuhan pelatihan Manfaat penilaian kinerja antara lain adalah: a. Sebagai dasar informasi dan data untuk pengambilan keputusan menaikkan atau menurunkan gaji. b. Sebagai dasar informasi dan dasar untuk pengambilan keputusan mengenai status karyawan, pemutusan hubungan kerja (PHK), demosi, dan lain sebagainya. c. Sebagai dasar informasi dan data untuk kebijakan promosi d. Sebagai dasar informasi dan data untuk penempatan-penempatan (positioning) karyawan pada tugas-tugas tertentu. e. Sebagai dasar informasi dan data untuk menilai efektivitas setiap kegiatan yang ada dalam perusahaan. f. Sebagai dasar informasi dan data untuk memperkirakan kebutuhan akan pelatihan bagi karyawan dalam organisasi. g. Sebagai dasar informasi dan data untuk mengevaluasi program latihan, efektivitas jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, mekanisme pengawasan dan monitoring, kondisi kerja, peralatan-peralatan kerja, dan kemampuan kerja karyawan h. Sebagai dasar informasi dan data untuk mengetahui aspek-aspek kompetensi

24

yang masih perlu ditingkatkan oleh karyawan i. Sebagai dasar informasi dan data untuk memperbaikan dan mengembangkan deskripsi pekerjaan (job description) maupun desain pekerjaan (job design). j. Hasil penilaian kinerja (performance appraisal) karyawan dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Agar pelaksanaan penilaian kinerja dapat dilaksanakan dengan baik, perlu dipersiapkan sistem dan cara penilaian kinerja yang sistematis dan konstruktif. Hubungan dengan pekerjaan, sifat kepraktisan, standar-standar, dan ukuran yang dapat diandalkan harus ada dalam sistem-sistem penilaian kinerja yang akan diterapkan. Disamping hal tersebut dengan perencanaan kinerja semua pihak dapat memperjelas apa tugastugas pekerjaan dan tanggung jawab dari masingmasing, karena dalam perencanaan kinerja mencakup peluang adanya suatu forum interaksi bukan hanya hal hal yang khusus saja tetapi sangat mungkin pada hal lainnya dalam organisasi. Soelaiman menjelaskan langkahlangkah dalam perencanaan kinerja pada umumnya mencakup aspek persiapan, dialog dan pertemuan/pembahasan dan keputusan sebagai kesepakatan dari proses tersebut. Tahap persiapan dalam proses perencanaan kinerja merupakan langkah pemahaman terhadap proses dan hubungan berbagai aspek fungsi dengan manajemen kinerja. Manajer maupun karyawan harus memiliki komitmen dan mengerti tentang visi dan tujuan yang hendak dicapai organisasi. Dalam tahap ini keterlibatan semua pihak, manajer dan karyawan diharapkan dapat mengkaji ulang tentang deskripsi kerja secara

25

fungsional dan fleksibel. Tahap pertemuan merupakan langkah kebersamaan dalam suatu forum dimana baik para manajer maupun karyawan secara personal dalam posisi yang sama memiliki kesempatan dan tanggung jawab mendiskusikan mengenai tugas pekerjaan dan kinerjanya. Untuk mencapai sasaran dalam tahap ini perlu dipahami landasan filosofis tentang proses pekerjaan. Penilai perlu disiapkan dan dipastikan memiliki komitmen terhadap obyektivitas dan akurasi hasil penilaian. Penilai sering tidak berhasil untuk tidak melibatkan emosinya dalam menilai karyawan, dan ini dapat terjadi karena berbagai macam faktor, yaitu: hallo effect (enggan menilai hal-hal yang ekstrim walau seharusnya secara obyektif bernilai ekstrim), menilai terlalu lunak atau terlalu keras, prasangka pribadi, serta menilai berdasarkan data atau fakta dari waktu yang paling akhir saja (Umar, 2004: 87). Penilaian kinerja akan efektif apabila dalam penilaian kinerja benar-benar memperhatikan dan memprioritaskan dua hal berikut (Soelaiman, 2007:297) a. Kriteria pengukuran kinerja memenuhi objektivitas. Untuk memenuhi persyaratan ini, maka ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria pengukuran kinerja yang obyektif, yaitu meliputi: 1) Relevansi berarti harus ada kesesuaian antara kriteria dengan

tujuan-tujuan penilaian kinerja. Misalnya apabila tujuan perusahaan adalah meningkatkan kualitas produk dan penilaian kinerja dilakukan di bagian produksi, maka kualitas pekerjaan seseorang dijadikan kriteria lebih utama dibandingkan dengan keramahan. 2) Reliabilitas berarti harus terpenuhinya konsistensi atas kriteria

yang dijadikan ukuran kinerja. Dalam hal ini cara melakukan pengukuran

26

dan pihak yang melakukan penilaian kinerja turut mempengaruhi reliabilitas pengukuran 3) Diskriminasi berarti pengukuran dan penilaian kinerja harus

mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan kinerja hasil pengukuran. Hasil pengukuran yang seragam, misalnya baik semua atau jelek semua menunjukkan tidak ditemukannya diskriminasi dalam penilaian kinerja. b. Proses penilaian kinerja mempertahankan nilai objektivitas. Proses penilaian kinerja sangat penting diperhatikan. Objektivitas dalam proses penilaian berarti tidak adanya pilih kasih, pengistimewaan, atau bahkan kecurangan dalam proses penilaian kinerja terhadap karyawan tertentu.

Sedangkan Brennan (2007:302) menyatakan aspek yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja karyawan meliputi : job knowledge, initiative, planning and organizing of work and subordinates, follow up, delegating, quality of work, comunicating, work as a teammember, management ability, progress toward goals. Beberapa dimensi kinerja yang evaluasinya dilakukan oleh anggota anggota tim pada prinsipnya dapat mencakup (Soelaiman, 2007:322): a. b. c. d. Kehadiran dan ketepatan waktu Kemampuan antar personal Sikap mendukung kelompok Perencanaan dan koordinasi Penilaian kinerja hendaknya dialakukan jika penilai memahami benar penerapan karakteristik sistem penilaian agar efektif. Karakteristik tersebut berkaitan erat dengan kriteria yang terkait dengan pekerjaan (Soelaiman,

27

2007:334) yaitu (a) performance expenctation, (b) standarized (c) managerial skill (d) capability appraiser (e) communication (f) accesbility employee. Beberapa indikator untuk mengukur sejauh mana pegawai mencapai suatu kinerja secara individual menurut (Bernadin, 1993 dalam Crimson Sitanggang, 2005) adalah sebagai berikut: a. Kualitas: Tingkat dimana hasil aktifitas yang dilakukan mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktifitas ataupun memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu aktifitas. b. Kuantitas: Jumlah yang dihasilkan dalam istilah jumlah unit, jumlah siklus aktifitas yang diselesaikan. c. Ketepatan Waktu: Tingkat suatu aktifitas diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktifitas lain. d. Efektifitas: Tingkat penggunaan sumber daya manusia, organisasi

dimaksimalkan dengan maksud menaikan keuntungan atau mengurangi kerugian dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya. e. Kemandirian: Tingkat dimana seorang pegawai dapat melakukan fungsi kerjanya tanpa minta bantuan bimbingan dari pengawas atau meminta turut campurnya pengawas untuk menghindari hasil yang merugikan. f. Komitmen Organisasi: Tingkat dimana pegawai mempunyai komitmen kerja dengan organisasi dan tanggung jawab pegawai terhadap organisasi.

2.2.2.

Gaya Kepemimpinan

2.2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan

28

Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia itu dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu. Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan organisasi. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin melaksanakan fungsi kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh mereka yang berusaha dipimpinnya atau mereka yang mungkin sedang mengamati dari luar (Robert, 1992). James et. al. (1996) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, ketrampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya (Tampubolon, 2007). Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Yuki (2005), kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi

29

orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Robbins (2006), kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu, kepemimpinan juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi (Rivai, 2004). Demikian halnya Locander et al. (2002) menjelaskan bahwa

kepemimpinan mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak. Lok (2001) memandang kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan. Menurut Rivai (2004), kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini yaitu : 1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut.

30

2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan nggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya. 3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara. Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh pemimpin untuk mengarahkan organisasi dan pemberian contoh perilaku terhadap para pengikut (anak buah) (Fuad Masud, 2004). Sedangkan gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya (Miftah Thoha, 2001). Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan bahwa dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka. Karena itu,

31

kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Apabila orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.

2.2.2.2. Jenis Gaya Kepemimpinan Dalam dua dasawarsa terakhir, konsep transaksional (transactional leadership) dan transformasional (transformational leadership) berkembang dan mendapat perhatian banyak kalangan akademisi maupun praktisi (Locander et.al., 2002; Yammarino et.al., 1993). Hal ini menurut Humphreys (2002) maupun Liu et.al. (2003) disebabkan konsep yang dipopulerkan oleh Bass pada tahun 1985 ini mampu mengakomodir konsep kepemimpinan yang mempunyai spektrum luas, termasuk mencakup pendekatan perilaku, pendekatan situasional, sekaligus pendekatan kontingensi. Terdapat lima gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi menurut Siagian (2002), yaitu: 1. Tipe pemimpin yang otokratik Seorang pemimpin yang otokratik ialah seorang pemimpin yang: Menganggap organisasi sebagai milik pribadi Mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi Menganggap bahwa sebagai alat semata-mata Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat Terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya

32

Dalam tindaknya penggeraknya sering mempergunakan approach yang mengandung unsur paksaan dan puntif (bersifat menghukum) 2. Tipe pemimpin yang militeristik Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud seorang pemimpin tipe militeristik berbeda dengan seorang pemimpin modern. Seorang pemimpin yang bertipe militeristik ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat: Dalam menggerakan bawahannya sistem perintah yang sering dipergunakan Dalam menggerakan bawahannya senang bergantung pada pangkat dan jabatan Senang kepada formalitas yang berlebih-lebihan Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahannya 3. Tipe pemimpin yang paternalistik Menganggap bahwa sebagai manusia yang tidak dewasa Bersikap terlalu melindungi Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil inisiatif Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasi Sering bersikap mau tahu

4.

Tipe pemimpin yang kharismatik

33

Harus diakui bahwa untuk keadaan tentang seorang pemimpin yang demikian sangat diperlukan, akn tetapi sifatnya yang negatif mengalahkan sifatnya yang positif. 5. Tipe pemimpin yang demokratik Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern karena: Ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritikan dari bawahan Selalu berusaha mengutamakan kerjasama teamwork dalam usaha mencapai tujuan Selalu berusaha menjadikan lebih sukses dari padanya Selalu berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin Kepemimpinan memegang peran yang signifikan terhadap kesuksesan dan kegagalan sebuah organisasi. Sedangkan Robinss (2006) mengidentifikasi empat jenis gaya kepemimpinan antara lain: 1. Gaya kepemimpinan kharismatik Para pengikut terpacu kemampuan kepemimpinan yang heroik atau yang luar biasa ketika mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu pemimpin mereka. Terdapat lima karakteristik pokok pemimpin kharismatik: a. Visi dan artikulasi. Dia memiliki visi ditujukan dengan sasaran ideal yang berharap masa depan lebih baik daripada status quo, dan mampu mengklarifikasi pentingnya visi yang dapat dipahami orang lain. b. Rasio personal. Pemimpin kharismatik bersedia menempuh risiko

34

personal tinggi, menanggung biaya besar, dan terlibat ke dalam pengorbanan diri untuk meraih visi. c. Peka terhadap lingkungan. Mereka mampu menilai secara realistis kendala lingkungan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat perubahan. d. Kepekaan terhadap kebutuhan pengikut. Pemimpin kharismatik perseptif (sangat pengertian) terhadap kemampuan orang lain dan responsif terhadap kebutuhan dan perasaan mereka. e. Perilaku tidak konvensional. Pemimpin kharismatik terlibat dalam perilaku yang dianggap baru dan berlawanan dengan norma. 2. Gaya kepemimpinan transaksional Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu memenuhi harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi lain, bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri dari sanksi atau hukuman. Dalam transactional leadership tercipta hubungan mutualisme dan kontribusi kedua belah pihak akan memperoleh imbalan (Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002; Liu et.al., 2003; Yammarino et.al., 1993). Sarros dan Santora (2001) menyebutkan bahwa imbalan yang dikejar dua belah pihak lebih bersifat ekonomi. Kebutuhan fisik dan materi bawahan berusaha dipenuhi oleh pemimpin dan sebagai balasannya, pemimpin memperoleh imbalan berupa performa bawahan yang tinggi. Waldman et.al. (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan

35

transaksional beroperasi pada sistem atau budaya yang sudah ada (existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya yang sudah ada, bukan bermaksud untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha memuaskan kebutuhan bawahan untuk membeli performa, juga memusatkan perhatian pada penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya melakukan tindakan korektif. Humphreys (2002) serta Yammarino et.al. (1993) menyebutkan bahwa kepemimpinan transaksional paling banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berkembang menjadi paradigm praktek kepemimpinan dalam organisasi. Kepemimpinan transaksional menurut beberapa pakar memiliki dua karakter yang dinamakan contingent reward dan management by exception. Pemimpin transaksional yang mempunyai karakter contingent reward akan menjelaskan tujuan dan sasaran yang hendak dicapainya dan mengarahkan bawahan untuk mencapainya. Besar kecilnya imbalan (reward) akan tergantung pada (contingent) sejauhmana bawahan mencapai tujuan dan sasaran tersebut (Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002; Yammarino et.al., 1993). Sedangkan pemimpin transaksional berkarakter management by exception dapat dibagi lagi ke dalam dua sifat, yaitu aktif dan pasif. Pada active management by exception, pemimpin menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai berikut standar kerja yang harus dipatuhi. Jika terjadi penyimpangan, pemimpin tidak segan menjatuhkan sanksi kepada bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini akan cenderung mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan tindakan korektif apabila muncul

36

penyimpangan, kekeliruan, atau kesalahan. Sementara passive management by exception pemimpin menghindari tindakan korektif atau keributan dengan bawahan selama tujuan dan sasaran yang disepakati bersama tercapai (Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002; Yammarino et.al., 1993). Bass et.al. (2003) maupun Sarros dan Santora (2001) menjelaskan bahwa karakter contingent reward menggambarkan hubungan timbal balik yang positif antara pemimpin dengan bawahan, karena pemimpin memberikan penjelasan dan pengarahan dalam proses mencapai tujuan sebagai upaya memacu performa bawahan. Di sisi lain, bawahan terdorong untuk mengerahkan kemampuan terbaik karena besar kecilnya imbalan akan tergantung pada sejauhmana mereka mencapai tujuan. Sebaliknya, management by exception (aktif maupun pasif) menurut Yammarino et.al (1993) dapat berdampak negatif terhadap kinerja bawahan karena bawahan takut membuat kesalahan untuk menghindari sanksi sehingga merasa bekerja di bawah tekanan. Kondisi ini menyebabkan proses organisasi tidak akan berjalan efektif. Sedangkan passive management by exception tidak mendorong bawahan untuk bekerja dengan giat. Selama target tercapai dan sistem organisasi berjalan sebagaimana mestinya maka semua orang merasa bahagia. Tidak ada petualangan atau tantangan baru dalam bekerja. Kondisi tersebut akan membawa kejenuhan pada bawahan sehingga kinerja organisasi tidak akan maksimal (Sarros & Santora, 2001). Penelitian Shea, Christine M. (1999) yang berjudul : The Effect of Leadership Style on Performance Improvement on a Manufacturing Task,

37

mengatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja. Memberikan kontribusi yang memperkuat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian Yammarino et.al. (1993) membuktikan kepemimpinan transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja karyawan yang lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional. Demikian pula dengan Humphreys (2002) yang menegaskan bahwa hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan transformasional lebih dari sekedar perukaran komoditas (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan. Penelitian yang dilakukan oleh Soon Hee Kim (2002), hasil dari analisis multiple regression memperlihatkan bahwa penggunaan gaya manajemen partisipatif oleh manajer secara positif dihubungkan dengan tingkat yang tinggi dari kepuasan kerja. Banyak manajer, pemimpin perserikatan dan akademis membagi kepercayaan bahwa praktek manajemen partisipatif mempunyai pengaruh positif yang substansial terhadap kinerja dan kepuasan dalam pekerjaan. Berdasarkan menyimpulkan hasil-hasil penelitian, Yammarino antara et.al. (1993)

terdapat

hubungan

positif

kepemimpinan

transformasional dengan kinerja karyawan dan hubungan tersebut lebih kuat jika dibandingkan hubungan kepemimpinan transaksional dengan kinerja

38

karyawan.

Hasil

penelitian

Yammarino

et.al.

(1993)

membuktikan

kepemimpinan transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja karyawan yang lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional (management by exception). Studi Bass et.al. (2003) juga menunjukkan pengaruh yang lebih kuat kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan dibandingkan kepemimpinan transaksional. Bass et.al. (2003) menjelaskan kepemimpinan transformasional fokus pada pengembangan diri bawahan, mendorong bawahan berpikir dan bertindak inovatif untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dan sasaran organisasi, memacu optimism dan antusiasme terhadap pekerjaan sehingga seringkali kinerja karyawan yang ditunjukkan bawahan melebihi harapan. Kondisi tersebut berlawanan dengan gaya kepemimpinan transaksional yang lebih mementingkan target berdasarkan prinsip pertukaran yang justru dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Penelitian Humphreys (2002) dalam lingkup industri jasa lebih jauh membuktikan peranan kritikal kepemimpinan transformasional dalam

meningkatkan kinerja karyawan. Bono dan Judge (2003) secara empiris juga menemukan kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja

karyawan. Kinerja dalam penelitian Bono dan Judge (2003) diukur dari banyak aspek, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, sehingga mereka menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional akan mempengaruhi kinerja karyawan dalam situasi apapun. Gaya kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin-bawahan tanpa adanya usaha untuk menciptakan perubahan bagi

39

bawahannya. Terdapat empat karakteristik pemimpin transaksional: a. Imbalan kontingen: kontrak pertukaran imbalan atas upaya yang dilakukan, menjanjikan imbalan atas kinerja baik, mengakui pencapaian. b. Manajemen berdasar pengecualian (aktif): melihat dean mencari penyimpangan dari aturan dan standar, menempuh tindakan perbaikan. c. Manajemen berdasar pengecualian (pasif): mengintervensi hanya jika standar tidak dipenuhi. d.Laissez-Faire:

melepas

tanggung

jawab,

menghindari

pembuatan

keputusan.3.

Gaya kepemimpinan transformasional Jika kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada prinsip pertukaran leadership) maka kepemimpinan prinsip transformasional pengembangan (transformational bawahan (follower

berdasarkan

development). Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab dan kewenangan bawahan di masa mendatang. Sebaliknya, pemimpin

transaksional memusatkan pada pencapaian tujuan atau sasaran, namun tidak berupaya mengembangkan tanggung jawab dan wewenang bawahan demi kemajuan bawahan. Perbedaan tersebut menyebabkan konsep kepemimpinan transaksional dan transformasional diposisikan pada satu kontinum dimana keduanya berada pada ujung yang berbeda (Dvir et.al., 2002). Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan transformasional lebih dari sekedar pertukaran komoditas (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah

40

menyentuh sistem nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan (Humphreys, 2002; Liu et.al., 2003; Rafferty & Griffin, 2004; Yammarino et.al., 1993). Bass et.al (2003) serta Humphreys (2002) menjelaskan kemampuan pemimpin transformasional mengubah sistem nilai bawahan demi mencapai tujuan diperoleh dengan mengembangkan salah satu atau seluruh faktor yang merupakan dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu : karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau idealized influence), inspirasi (inspirational motivation), pengembangan intelektual (intellectual

stimulation), dan perhatian pribadi (individualized consideration). Idealized influence menurut Sarros dan Santora (2001) merupakan perilaku (behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk menjadikan pemimpin mereka sebagai panutan (role model). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan karisma, namun karena mendapat banyak kritik maka istilah karisma diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan percaya sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang dan selama ini tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan transformasional, sehingga dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih terpusat pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu menanamkan visi tersebut dalam diri

41

bawahan (Rafferty & Griffin, 2004). Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang penting untuk dicapai pada saat ini maupun masa mendatang (visi), juga mau dan mampu berbagi resiko dengan bawahan, teguh dengan nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya (Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002; Sarros & Santora, 2001; Yammarino et.al., 1993). Idealized influence merupakan dimensi terpenting kepemimpinan transformasional karena memberikan inspirasi dan membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan bersama (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004). Inspirational motivation menurut Humphreys (2002) serta Rafferty dan Griffin (2004) memiliki korelasi yang erat dengan idealized influence. Seperti dijelaskan sebelumnya, pemimpin transformasional memberi inspirasi kepada bawahan untuk memusatkan perhatian pada tujuan bersama dan melupakan kepentingan pribadi. Inspirasi dapat diartikan sebagai tindakan atau kekuatan untuk menggerakkan emosi dan daya piker orang lain (Rafferty & Griffin, 2004). Keeratan dua dimensi yaitu inspirational motivation dan idealized influence ini mendorong munculnya pandangan untuk menyatukan kedua dimensi ini dalam satu konstruk. Namun dalam penelitian ini, idealized influence dan inspirational motivation diposisikan sebagai dua konstruk yang berbeda dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain, inspirational motivation

42

merupakan sisi luar atau perwujudan idealized influence (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004). Inspirational motivation menurut Humphreys (2002) berbentuk komunikasi verbal atau penggunaan simbol-simbol yang ditujukan untuk memacu semangat bawahan. Pemimpin memotivasi bawahan akan arti penting visi dan misi organisasi sehingga seluruh bawahannya terdorong untuk memiliki visi yang sama. Kesamaan visi memacu bawahan untuk bekerja sama mencapai tujuan jangka panjang dengan optimis. Sehingga pemimpin tidak saja membangkitkan semangat individu tapi juga semangat tim (Bass et.al., 2003). Intellectual stimulation, merupakan faktor penting kepemimpinan transformasional yang jarang memperoleh perhatian (Rafferty & Griffin, 2004). Intellectual stimulation merupakan perilaku yang berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan pendekatan atau perspektif baru. Dampak intellectual stimulation dapat dilihat dari peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan menganalisis permasalahan serta kualitas pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan (Rafferty & Griffin, 2004; Yammarino et.al., 1993). Bass et.al (2003) serta Sarros dan Santora (2001) berpandangan bahwa intellectual stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memahami dan memecahkan masalah. Bawahan didorong untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode lama dan dipacu untuk

43

memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan mendapat kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha meningkatkan moral bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan berfungsi membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan. Individualized consideration atau perhatian pribadi. Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh sebab itu, pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap bawahan memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan kemampuan terbaik setiap bawahan (Bass et.al., 2003; Sarros & Santora, 2001; Yammarino et.al., 1993). Pemimpin transformasional mencurahkan perhatian pada hal-hal dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikut, Pemimpin

transformasional mengubah kesadaran para pengikut akan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok. Terdapat empat karakteristik pemimpin transformasional:a.

Kharisma: memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan

kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan.b.

Inspirasi: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan

44

symbol untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting secara sederhana. c. Stimulasi intelektual: mendorong intelegensia, rasionalitas,

dan pemecahan masalah secara hati-hati. d. Pertimbangan individual: memberikan perhatian pribadi,

melayani karyawan secara pribadi, melatih dan menasehati.4.

Gaya kepemimpinan visioner Kemamuan menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, dan menarik mengenai masa depan organisasi atau unit organisasi yang tengah tumbuh dan membaik dibanding saat ini. Visi ini jika diseleksi dan diimplementasikan secara tepat, mempunyai kekuatan besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya lompatan awal ke masa depan dengan

membangkitkan keterampilan, bakat, dan sumber daya untuk mewujudkannya.

2.2.3. Motivasi 2.2.3.1. Pengertian Motivasi

Menurut Malthis (2001) motivasi merupakan hasrat didalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan. Sedangkan Rivai (2004) berpendapat bahwa motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Motivasi adalah kesediaan melakukan usaha tingkat tinggi guna mencapai sasaran organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan usaha tersebut memuaskan kebutuhan sejumlah individu (Robins dan Mary, 2005). Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.

45

Berawal dari kata motif, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak (Hasibuan, 2007:95). Menurut Rivai dan Sagala (2010:837), motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula (Suprihanto, et al. 2003:41). Untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, dibawah ini

dikemukakan pengertian motif, motivasi dan motivasi kerja. Abraham Sperling dalam Mangkunegara (2004:93), mengemukakan bahwa motif didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dikatakan untuk memuaskan motif. Stanton dalam Mangkunegara, (2008:93) mendefinisikan bahwa motif adalah kebutuhan yang di stimulasi yang berorientasi kepada tujuan individu dalam mencapai rasa puas. Motivasi didefinisikan oleh Stanford mengemukakan motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu

Motivasi merupakan faktor psikologis yang menunjukan minat individu

46

terhadap pekerjaan, rasa puas dan ikut bertanggung jawab terhadap aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan (Masrukhin dan Waridin, 2004). Sedangkan Hasibuan (2004) berpendapat bahwa motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi merupakan sesuatu yang membuat bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu (Armstrong, 1994). Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, memelihara dan mendorong perilaku manusia. Pemimpin perlu memahami orang-orang berperilaku tertentu agar dapat mempengaruhinya dalam bekerja sesuai dengan keinginan organisasi. Teori-teori motivasi banyak lahir dari pendekatan-pendekatan yang berbeda-beda, hal itu terjadi karena yang dipelajari adalah perilaku manusia yang komplek. Jadi teori-teori ini perlu bagi organisasi dalam memahami karyawan dan mengarahkan karyawannya untuk melakukan sesuatu. 1. Teori motivasi dua faktor atau teori iklim sehat oleh Herzberg. Herzberg berpendapat bahwa ada dua faktor ekstrinsik dan instrinsik yang mempengaruhi seseorang bekerja. Termasuk dalam faktor ekstrinsik (hygienes) adalah hubungan interpersonal antara atasan dengan bawahan, teknik supervisi, kebijakan administratif, kondisi kerja dan kehidupan pribadi. Sedangkan faktor instrinsik (motivator) adalah faktor yang kehadirannya dapat menimbulkan kepuasaan kerja dan meningkatkan prestasi atau hasil kerja individu. Motivasi seseorang akan ditentukan motivatornya, yang meliputi: prestasi (Achievement), penghargaan (Recognition), tantangan (Challenge), tanggungjawab (Responsibility), pengembangan (Development), keterlibatan

47

(Involvement), dan kesempatan (Opportunity). Dalam teori motivasi Herzberg, faktor-faktor motivator meliputi: prestasi, pengakuan, tanggungjawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang. a) Prestasi (achievment) adalah kebutuhan untuk memperoleh prestasi di bidang pekerjaan yang ditangani. Seseorang yang memiliki keinginan berprestasi sebagai kebutuhan need dapat mendorongnya mencapai sasaran. b) Pengakuan (recoqnition) adalah kebutuhan untuk memperoleh pengakuan dari pimpinan atas hasil karya/hasil kerja yang telah dicapai. c) Tanggungjawab (responbility) adalah kebutuhan untuk memperoleh tanggungjawab dibidang pekerjaan yang ditangani. d) Kemajuan (advencement) adalah kebutuhan untuk memperoleh

peningkatan karir (jabatan). e) Pekerjaan itu sendiri (the work it self) adalah kebutuhan untuk dapat menangani pekerjaan secara aktif sesuai minat dan bakat. f) Kemungkinan berkembang (the possibility of growth) adalah kebutuhan untuk memperoleh peningkatan karier. Herzberg memilih hierarki kebutuhan Maslow menjadi kebutuhan tigkat rendah (fisiologis, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (penghargaan dan aktualisasi diri). Herzberg mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi seseorang adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.2.

Teori motivasi prestasi kerja David Mc Clelland.

48

Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan yaitu: (a). Kekuatan motif dan kekuatan dasar yang terlibat; (b). Harapan dan keberhasilannya; dan (c). Nilai insentif yang terletak pada tujuan. Menurut Mc Clelland dalam Winardi (2002:156) kebutuhan manusia yang dapat memotivasi gairah kerja dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a) Kebutuhan akan prestasi, karyawan akan antusias untuk berprestasi tinggi, asalkan kemungkinan untuk hal itu diberi kesempatan, seseorang menyadari bahwa dengan hanya mencapai prestasi kerja yang tinggi akan dapat memperoleh pendapatan yang besar, dengan pendapatan yang besar ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. b) Kebutuhan akan afiliasi seseorang karena kebutuhan afiliasi akan memotivasi dan mengembangkan diri serta memanfaatkan semua energinya. c) Kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan ini merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seorang karyawan. Ego manusia yang ingin berkuasa lebih dari manusia lainnya akan menimbulkan persaingan, persaingan ini oleh manajer ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahannya supaya termotivasi untuk bekerja giat. Pada teori yang dicapai dari Mc. Clelland gaji/upah, penting sebagai suatu sumber umpan balik kinerja untuk kelompok karyawan yang berprestasi tinggi (High Achivers) ia dapat bersifat atraktif bagi orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan afiliasi, apabila hal tersebut diberikan sebagai

49

bonus kelompok, dan ia sangat dinilai tinggi oleh orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan kekuasaan, sebagai alat untuk membeli prestis atau mengendalikan pihak lain.3.

Teori Kebutuhan (Maslow 's Model) Model Maslow Ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukkan butuhan seseorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi untuk kerja. Menurut Maslow, pada umumnya terdapat hierarki kebutuhan manusia, yang pat dilihat pada Gambar 2.3 :

Kebutuhan aktualisasi Kebutuhan harga diri Kebutuhan sosial Kebutuhan keamanan Kebutuhan fisik

Sumber : Ishak & Hendri (2003:26) Gambar 2.3 Maslow's Need Hierarchy Hierarki kebutuhannya Maslow dalam tatanan model motivasi kerja, mengemukakan bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia dalam bekerja dapat dibedakan sebagai berikut. a) Kebutuhan fisik, misalnya: gaji, tunjangan, honorarium, bantuan pakaian, perumahan, uang transportasi dan lain-lain. b) Kebutuhan keamanan, misalnya : jaminan masa pensiun, santunan kecelakaan, jaminan asuransi kesehatan dan sebagainya. c) Kebutuhan sosial atau afiliasi, misalnya : kelompok formal atau informal,

50

menjadi ketua yayasan, ketua organisasi, dan lain-lain. d) Kebutuhan akan penghargaan, misalnya status, simbol-simbol, perjamuan dan sebagainya. e) Kebutuhan dan aktualisasi diri yakni senantiasa percaya kepada diri sendiri. Pada puncak hierarki, terdapat kebutuhan untuk realisasi diri, atau aktualisasi diri. Kebuluhan-kebutuhan tersebut berupa kebutuhan-kebutuhan individu unluk merealisasi potensi yang ada pada dirinya, untuk mencapai pengembangan diri secara berkelanjutan, untuk menjadi kreatif4.

Teori Penguatan (Reinforcement Theory) Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut:M=f(R&C)

M R C

= Motivasi = Reward (penghargaan) - primer/sekunder = Consequens (Akibat) - positif/negative

Motivasi seseorang bekerja tergantung pada reward yang diterimanya dan punishment yang akan dialaminya nanti (Ishak & Hendri, 2003:35). Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seorang pimpinan untuk meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang diterimanya dan akibat dari yang akan dialaminya nanti. Teori ini menyebutkan bahwa perilaku seorang di masa mendatang dibentuk oleh akibat dari perilakunya yang sekarang. Jenis reinforcement ada empat, yaitu: (a) positive reinforcement

51

(penguatan positif), yaitu penguatan yang dilakukan ke arah kinerja yang positif; (b) negative reinforcement (penguatan negatif), yaitu penguatan yang dilakukan karena mengurangi atau mcnghentikan keadaan yang tidak disukai. Misalnya, berupaya cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan karena tidak tahan mendengar atasan mengomel terus-menerus; (c) extinction (peredaan), yaitu tidak mengukuhkan suatu perilaku, sehingga perilaku tersebut mereda atau punah sama sekali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan; (d) punishment, yaitu konsekuensi yang tidak menyenangkan dari tanggapan perilaku tertentu. Reward adalah pertukaran (penghargaan) yang diberikan perusahaan atau jasa yang diberikan penghargaan, yang secara garis besar terbagi dua kategori, yaitu: (a) gaji, keuntungan, liburan; (b) kenaikan pangkat dan jabatan, bonus, promosi, simbol (bintang) dan penugasan yang menarik. Sistem yang efektif untuk pemberian reward (penghargaan) kepada para karyawan harus: (a) memenuhi kebutuhan pegawai; (b) dibandingkan dengan reward yang diberikan oleh perusahaan lain; (c) di distribusikan secara wajar dan adil; (d) dapat diberikan dalam berbagai bentuk; (e) dikaitkan dengan prestasi.5.

Teori Harapan (Expectancy Theory) Teori ekspektansi menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh keyakinan-keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upayakinerja, dan di dambakannya berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat kinerja yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori tersebut berlandaskan logika: "Orang-orang akan melakukan

52

apa yang dapat mereka lakukan, apabila mereka berkeinginan untuk rnelakukannya". Vroom motivasi dalam Winardi kerja (2002:109-110), hasil berpendapat dari bahwa kali

terhadap

merupakan

ekspektansi

instrumentalitas, kali valensi. Hubungan multiaplikatif tersebut berarti bahwa daya tarik motivasional jalur pekerjaan tertentu, sangat berkurang, apablia salah satu di antara hal berikut: ekspektansi, instrumentalilas, atau valensi mendekati nol. Sebaliknya agar imbalan tertentu memiliki sebuah dampak motivasional tinggi serta positif, sebagai hasil kerja, maka ekspektansi, instrumentalitas, dan valensi yang berkaitan dengan imbalan tersebut hampir sama tinggi serta positif. Motivasi=Ekspektansi x Instrumen x Valensi (M = E x I x V) Hubungan antara motivasi seseorang melakukan suatu kegiatan dengan kinerja yang akan diperolehnya yakni apabila motivasinya rendah jangan berharap hasil kerjanya (kinerjanya) baik. Motivasi dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan pribadi seperti rasa tertarik atau memperoleh harapan. Selain teori ekspektansi diatas, terdapat teori motivasi dengan model lain yang dirumuskan sebagai berikut: M={(E - P)} {(P - O) V} Penjelasarmya adalah: M = Motivasi E = Pengharapan (Expectation) P = Prestasi (Performance) O = Hasil (Outcome)

53

V = Penilaian (Value) Secara sederhana, dalam teori ini, motivasi merupakan interaksi antara harapan setelah dikurangi prestasi, dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan dengan prestasi dikurangi hasil. Karena kebutuhan di atas merupakan generalisasi karena kenyataannya kebutuhan orang tidak sama, maka dikenai The Expectancy Model yang menyatakan. "Motivasi adalah fungsi dari berapa banyak yang diinginkan dan berapa besar kemungkinan pencapaiannya". Dari teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk

meningkatkan motivasi, maka seorang seorang manajer harus:a)

Mengakui bahwa setiap karyawan memiliki kebutuhan yang berbeda dan preferensi yang berbeda pula. Tidak ada dua orang yang benar-benar memiliki kebutuhan yang sama.

b)

Mencoba memahami kebutuhan utama seorang karyawan. Memahami apa yang dibutuhkan apalagi kebutuhan utama karyawan, merupakan perilaku atasan yang dicintai bawahan. Membantu seorang pegawai menentukan upaya mencapai kebutuhannya melalui prestasi. Hal ini tidak sulit jika dilakukan dengan ketulusan, bukan pamrih.

6.

Teori Penetapan Tujuan Locke Suprihanto, et al. (2003:52-53), menyatakan bahwa teori

penetapan tujuan (goal-setting theory) ini merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa tujuan-tujuan yang sifatnya spesifik atau sulit cenderung menghasilkan kinerja (performance) yang lebih tinggi. Pencapaian tujuan dilakukan melalui usaha partisipasi. Meskipun dcmikian

54

pencapaian tujuan belum tentu dilakukan oleh banyak orang. Dalam pencapaian tujuan yang partisipatif mempunyai dampak positif berupa timbulnya penerimaan (acceptance), artinya sesulit apapun apabila orang telah menerima suatu pekerjaan maka akan dijalankan dengan baik. Sementara itu dalam pencapaian tujuan yang partisipatif dapat pula berdampak negatif yaitu timbulnya superioritas pada orang-orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi. 2.2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Menurut Herzberg dalam Masithoh, (1998:20) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain:

1) 2) 3) 4) 5) 6)

Prestasi yang diraih (achievement) Pengakuan orang lain (recognition) Tanggungjawab (responsibility) Peluang untuk maju (advancement) Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self) Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth) Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga

hygiene factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

55

untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik, meliputi:

1) Kompensasi 2) Keamanan dan keselamatan kerja 3) Kondisi kerja 4) Status 5) Prosedur perusahaan 6) Mutu dari supevisi teknis dari hubungan interpersonal di antara temansejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.

2.2.4. Disiplin Kerja 2.2.4.1. Pengertian Disiplin

Menurut Simamora (1997) disiplin adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai, 2004). Hasibuan (2004) berpendapat bahwa kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa disiplin kerja merupakan

56

suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, dan bila melanggar akan ada sanksi atas pelanggarannya.

2.2.4.2.

Jenis-jenis disiplin kerja (1993 : 218) jenis-jenis disiplin kerja adalah sebagai

Menurut Terry berikut: a. Self dicipline

Disiplin ini timbul karena seseorang merasa terpenuhi kebutuhannya dan telah menjadi bagian dari organisasi, sehingga orang akan tergugah hatinya untuk sadar dan secara sukarela mematuhi segala peraturan yang berlaku. b. Command dicipline Disiplin ini tumbuh bukan dari perasaan ikhlas, akan tetapi timbul karena adanya paksaan/ancaman orang lain. Dalam setiap organisasi, yang diinginkan pastilah jenis disiplin yang pertama, yaitu datang karena kesadaran dan keinsyafan. Akan tetapi kenyataan selalu menunjukkan bahwa disiplin itu lebih banyak di sebabakan oleh adanyan semacam paksaan dari luar. Disiplin mengacu pada pola tingkah laku dengan ciriciri sebagai berikut: 1) Adanya hasrat yang kuat untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah menjadi norma, etika, kaidah yang berlaku. 2) Adanya perilaku yang terkendali. 3) Adanya ketaatan. Untuk mengetahui ada atau tidaknya disiplin kerja seorang

pegawai/karyawan dapat dilihat dari:

57

a.

Kepatuhan karyawan/pegawai terhadap peraturan yang berlaku, termasuk tepat waktu dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya.

b. c.

Bekerja sesuai prosedur yang ada. Pemeliharaan sarana dan perlengkapan kantor dengan baik.

2.2.4.3.Tipe tipe disiplin kerja Tipe tipe kegiatan pendisiplinan ada tiga tipe yaitu : a. Disiplin preventif yaitu kegiatan yang mendorong pada karyawan untuk

mengikuti berbagai standart dan aturan, sehingga penyelewengan dapat dicegah. Sasaran pokok dari kegiatan ini adalah untuk mendorong disiplin diri dari diantara para karyawan/pegawai. Dengan cara ini para karyawan/pegawai bekerja dengan ikhlas, bukan karena paksaan manajemen. b. Disiplin korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang dilakukan karyawan / pegawai terhadap peraturan yang berlaku dan mencegah terjadinya pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif sering berupa bentuk hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan. Contohnya dengan tindakan skorsing terhadap karyawan. c. Disiplin progresif yaitu tindakan memberi hukuman berat terhadap

pelanggaran yang berulang. Contoh dari tindakan disiplin progresif antara lain: 1) Teguran secara lisan oleh atasan. 2) Teguran tertulis 3) Skorsing dari pekerjaan selama beberapa hari. 4) Diturunkan pangkatnya. 5) Dipecat. (Handoko, 2001 : 129).

58

2.2.4.4.

Pengukuran Disiplin

Setiyawan dan Waridin (2006) dalam Mohammad (2005), ada 5 faktor dalam penilaian disiplin kerja terhadap pemberian layanan pada masyarakat, yaitu: 1. Kualitas kedisiplinan kerja, meliputi datang dan pulang yang tepat waktu, pemanfaatan waktu untuk pelaksanaan tugas dan kemampuan

mengembangkan potensi diri berdasarkan motivasi yang positif. 2. Kuantitas pekerjaan meliputi volume keluaran dan kontribusi. 3. Kompensasi yang diperlukan meliputi : saran, arahan atau perbaikan. 4. Lokasi tempat kerja atau tempat tinggal. 5. Konservasi meliputi penghormatan terhadap aturan dengan keberanian untuk selalu melakukan pencegahan terjadinya tindakan yang bertentangan dengan aturan. Terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja menurut Rivai (2004): 1. Disiplin retributive (retributive discipline) yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah. 2. Disiplin korektif (corrective discipline) yaitu berusaha membantu karyawan mengkoreksi perilakunya yang tidak tepat. 3. Perspektif hak-hak individu (individual right perspective) yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner. 4. Perspektif utilitarian (utilitarian perspective) yaitu berfokus kepada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.

59

Rivai (2004) juga menyebutkan ada tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner, yaitu: 1. Aturan tungku panas yaitu pendekatan untuk melaksanakan tindakan disipliner. 2. Tindakan disiplin progresif yaitu untuk memastikan bahwa terdapat hukum minimal yang tepat terhadap setiap pelanggaran. 3. Tindakan disiplin positif yaitu dalam banyak situasi, hukuman tindakan memotivasi karyawan mengubah suatu perilaku.

60

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual Secara konseptual, variabel terdiri dari 2 kelompok variabel yaitu: variabel tergantung (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Variabel tergantung kinerja kinerja yang diukur dengan 6 indikator pengukuran kinerja secara individual yaitu : kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektifitas, kemandirian, dan komitmen organisasi (Bernadin, 1993 dalam Crimson Sitanggang, 2005) Variabel bebas pertama adalah variabel gaya kepemimpinan diukur berdasarkan gaya kepemimpinan transformasional yaitu: karisma, inspirasi, stimulasi intelektual, pertimbangan individu (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004). Selanjutnya variabel bebas kedua adalah motivasi yang diukur dengan indikator hierarki kebutuhan Maslow (Robins, 2006) yaitu fisiologis, keamanan, sosial, pengahargaan, dan aktualisasi diri. Kemudian variabel bebas ketiga yaitu disiplin kerja diukur dengan 5 indikator yaitu : kualitas kedisiplinan kerja, kuantitas pekerjaan, kompensasi yang diperlukan, lokasi tempat kerja, konservasi (Waridin, 2006 dalam Mohammad, 2005) Selanjutnya kerangka konseptual dalam penelitian ini ditunjukkan pada gambar 3.1. berikut:

61

Gaya Kepemimpinan

Motivasi

Kinerja

Disiplin Kerja

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Dari gambar 3.1 di atas tampak hubungan kausalitas antara variabel bebas dengan variabel tergantung: 1. Hubungan antara Gaya kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan Gaya kepemimpinan pada dasarnya menekankan untuk menghargai tujuan individu sehingga nantinya para individu akan memiliki keyakinan bahwa kinerja aktual akan melampaui harapan kinerja mereka. Seorang pemimpin harus menerapkan gaya kepemimpinan untuk mengelola

bawahannya, karena seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya (Waridin dan Bambang Guritno, 2005). Suranta (2002) dan Tampubolon (2007) menyatakan bahwa faktor kepemimpinan juga berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat dan pengaruh antara faktor kepemimpinan dan faktor kinerja karyawan. 2. Hubungan antara Motivasi terhadap Kinerja Karyawan Motivasi merupakan sebuah keahlian dalam mengarahkan karyawan

62

pada tujuan organisasi agar mau bekerja dan berusaha sehingga keinginan para karyawan dan tujuan organisasi dapat tercapai. Motivasi seseorang melakukan suatu pekerjaan karena adanya suatu kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan ekonomis yaitu untuk memperoleh uang, sedangkan kebutuhan nonekonomis dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk memperoleh penghargaan dan keinginan lebih maju. Dengan segala kebutuhan tersebut, seseorang dituntut untuk lebih giat dan aktif dalam bekerja, untuk mencapai hal ini diperlukan adanya motivasi dalam melakukan pekerjaan, karena dapat mendorong seseorang bekerja dan selalu berkeinginan untuk melanjutkan usahanya. Oleh karena itu jika pegawai yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi biasanya mempunyai kinerja yang tinggi pula. Suharto dan Cahyono (2005) dan Hakim (2006) menyebutkan ada salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu faktor motivasi, dimana motivasi merupakan kondisi yang menggerakan seseorang berusaha untuk mencapai tujuan atau mencapai hasil yang diinginkan. Rivai (2004) menunjukan bahwa semakin kuat motivasi kerja, kinerja pegawai akan semakin tinggi. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan motivasi kerja pegawai akan memberikan peningkatan yang sangat berarti bagi peningkatan kinerja pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya. 3. Hubungan antara Disiplin kerja terhadap Kinerja Karyawan Menurut Budi Setiyawan dan Waridin (2006) dan Aritonang (2005) menyatakan bahwa disiplin kerja karyawan bagian dari faktor kinerja. Disiplin kerja harus dimiliki setiap karyawan dan harus dibudayakan di kalangan karyawan agar bisa mendukung tercapainya tujuan organisasi karena

63

merupakan wujud dari kepatuhan terhadap aturan kerja dan juga sebagai tanggung jawab diri terhadap perusahaan. pelaksanaan disiplin dengan dilandasi kesadaran dan keinsafan akan terciptanya suatu kondisi yang harmonis antara keinginan dan kenyataan. Untuk menciptakan kondisi yang harmonis tersebut terlebih dahulu harus diwujudkan keselarasan antara kewajiban dan hak karyawan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa disiplin merupakan sikap kesetiaan dan ketaatan seseorang atau sekelompok orang terhadap peraturanperaturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang tercermin dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan. Hal demikian membuktikan bila kedisiplinan karyawan memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan.

3.2. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.a.

Diduga gaya kepemimpinan, motivasi dan disip