tesis 3
TRANSCRIPT
0
PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI (COMPETENCE BASE EDUCATION AND
TRAINING) DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
AGUS SUTIYONO No. Reg. 7627070790
Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Doktor
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010
1
ABSTRAK Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competence Base Education and Training) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta)
Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hasil hipotesis penelitian menunjukkan bahwa: (1) motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP (2) bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (3) interaksi antara model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (4) terdapat perbedaan antara Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai dengan April 2009 di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) DKI Jakarta dengan penelitian metode quasi eksperimen. Sampel diambil dengan teknik stratified cluster random sampling. Untuk kelompok pelatihan konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40 orang, sehingga total sampel adalah 80 orang responden.
Hasil temuan tentang pengaruh Pelatihan Competence Base Education and Training (CBET) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja menunjukkan Pertama, bahwa kinerja petugas satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi daripada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional, dengan nilai Fhitung sebesar 305,6247 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,01 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 305,6247 > Ftabel
(0,01)(1;76) = 7,01), Kedua, Terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas satpol PP, dengan nilai Fhitung
sebesar 4,3907 lebih besar dari Ftabel sebesar 3,97 dengan taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 4,3907 > Ftabel (0,05)(1;76) = 3,97. Ketiga, Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi dengan nilai Fhitung sebesar 119,8039 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,35 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 119,8039 > Ftabel
(0,01)(1;38) = 7,35). Keempat, kinerja petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja rendah adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja renda, dengan nilai Fhitung sebesar 105,769 lebih besar dari Ftabel
sebesar 7,35 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 105,769 > Ftabel (0,01)(1;38) = 7,35)
2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas satpol PP guna mempersiapkan personil SDM dengan kompetensi yang memadai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dari petugas Satpol PP.
3
ABSTRACT
THE EFFECT OF COMPETENCE BASED EDUCATION AND TRAINING (CBET) AND WORK MOTIVATION ON CIVIL SERVANTS’ WORKS (An Experimental Study Towards Civil Servants in Jakarta)
Operationally, this research aimed to find out the differences in working of civil servants who join the training and education by considering their work motivation in Jakarta.
The result of this research hypothesis shows that (1) the motivation in working influences the civil servants’ work; (2) the form of CBET training influences the civil servants’ work. It means that there is a different form of training in CBET that can determine variations on civil servants’ work; (3) the interaction between the training model and the work motivation determine variations in civil servants’ work; (4) there are differences between the civil servants who join the CBET training and the civil servants who do not. The civil servants who join the CBET training have higher motivation in working and vise versa.
This reasearch conducted on November 2008 until April 2009 at Dinas Ketentraman dan Ketertiban DKI Jakarta by using quation experiment method. Research samples taken by using stratified cluster random technique. For the members of conventional training and CBET method, 40 people are taken as samples, therefore the total samples are 80 people.
The results finding about Competence Based Education and Training (CBET) and work motivation toward civil servants’ work show first, the work of civil servants that join CBET training are higher than civil servants’s work that join a conventional training, with Fcounting 305,6247, higher than 7,01 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 305,6247 > Ftable (0,01)(1;76) = 7,01). Second, there is an influence between the training model and work motivation towards civil servants’ work with Fcounting 4,3907 which is higher than 3,97 Ftabel with 0,05 signification level (Fcounting= 4,3907 > Ftable (0,05)(1;76) = 3,97. Third, the work of civil servants that join CBET training and have higher motivation in working, are higher than civil servants’s work that join a conventional training with high motivation in working, with Fcounting 119,8039 > Ftablel (0,01)(1;38) = 7,35). Fourth, the work of civil servants who join CBET training and have low motivation in working is still higher than the work of civil servants who join the conventional training with low motivation too, with 105,769 which is higher than 7,35 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 105,769 > Ftable (0,01)(1;38) = 7,35). The result of this research is hoped can be used as a guidence to produce a new concept and strategy in education development and training toward civil servants. This research is also hoped can design human resources with high competency in running their primary duties and functions as civil servants.
4
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada ALLAH yang telah
melimpahkan hamat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ditulis sedagai syarat untuk menempuh ujian dan memperoleh gelar
doktor di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas selesainya
disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga
kepada Prof. Dr. Made Putrawan, M.Pd selaku promotor utama dalam penulisan
disertasi, beliau telah menginspirasi saya untuk dapat berbuat yang terbaik
dalam displin ilmu yang saya tekuni. Jadilah terus inspirator untuk kesuksesan
dan kebahagiaan orang lain. Kepada Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor
Universitas Negeri Jakarta yang bukan hanya menjadi Co promotor dalam
menyelesaikan studi ini tetapi juga motivator dan postur yang membakar
semangat dan antusias saya untuk saya dapat menyelesaikan program S3 ini.
Beliau selalu menjadi penyemangat dalam begitu banyak hal dalam kehidupan
saya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Djaali, Direktur
PPs UNJ, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang amat
berharga bagi penulis. Kepada Prof. Dr. Mukhlis R. Luddin, MA, penulis
sampaikan terima kasih atas bantuan dan arahannya yang amat berharga dalam
penyelesaian disertasi ini.
Terima kasih kepada Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta
atas kerja samanya sehingga pengambilan data penelitian dapat berjalan
dengan lancar. Kepada segenap pimpinan Satuan Polisi Pamong Praja
5
khususnya kepada bapak H. Harianto Badjoeri, selaku kepala Satpol PP Provinsi
DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian dijajarannya.
Ayahku (Bapak Karnomo Alm,), Nenek ku (Biyung), Ibu ku, Istriku dan
Anakku yang selalu memberi warna dan jejak yang jelas dalam pengabdian
terbaik untuk masyarakat. Gelar ini penulis dedikasikan untuk perjuangan yang
Nenek/Bapak/Ibu/Istri dan anak yang telah mendukung dengan sabar, tekun
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Begitu banyak
teman, sahabat yang terus menginspirasi penulis untuk terus dapat melakukan
yang terbaik dalam perjalanan hidup ini.
Dr.Karnadi, M,Si, Dr.Maruf Akbar, Prof.Dr.Mulyono,M.Pd terima kasih
atas semua support yang Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini. Tuhan telah mengirimkan semua orang-orang yang selalu
memberikan penulis semangat untuk memberikan yang terbaik. Kepada semua
pihak yang sangat intens memberikan support penulis sampaikan terima kasih,
ALLAH Maha Penyayang yang akan memberikan dan membalas semua
kebaikan yang telah dilakukan.
Jakarta, Januari 2010
Penulis,
6
DAFTAR ISI
Abstrak 1
Kata Pengantar 4
Daftar Isi 6
Daftar Tabel 8
Daftar Gambar 11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Kegunaan Hasil Penelitian
12
12
18
19
19
20
BAB II ACUAN TEORITIK, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teori
1. Kinerja
22
22
22
2. Pendidikan dan Pelatihan
3. Motivasi Kerja
39
51
B. Hasil Penelitian yang relevan
C. Kerangka Berfikir
60
61
D. Hipotesis Penelitian 65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian
C. Metode dan Desain Penelitian
D. Populasi dan Sample
E. Instrumen Penelitian
F. Ujicoba Instrumen
67
67
68
68
70
71
77
7
G. Teknik Analisis Data
H. Hipotesis Statistik
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data
C. Pengujian Hipotesa
D. Interpretasi Hasil Penelitian
E. Pembahasan
F. Keterbatasan Penelitian
BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Implikasi
C. Saran
Daftar Pustaka
Biografi Penulis
81
81
83
83
96
104
110
110
114
116
116
117
118
119
121
8
DAFTAR TABEL
TABEL KETERANGAN HAL
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja 29
Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Motivasi Kinerja 55
Tabel 3.1 Rancangan Faktorial A x B 66
Tabel 3.2. Sampel Penelitian 68
Tabel 3.3. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian 71
Tabel 3.4 Skala Likert 73
Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja 74
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja 76
Tabel 3.7 Hasil Analisis Reliabilitas 77
Tabel 3.8 Hasil Analisis Reabilitas 78
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi skor Model Competence based
Education and Training petugas satpol PP (A1)
81
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan
Konvensional petugas satpol PP (A2)
83
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol
PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1)
84
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas
Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Rendah
(B2)
86
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja
87
9
TABEL KETERANGAN HAL
Tinggi (A1B1).
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja
Rendah (A1B2).
89
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi (A2B1)
90
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki
Motivasi Kerja Rendah (A2B2)
91
Tabel 4.9
Rekapitulasi Deskripsi Data Rata-Rata Model
Pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja
petugas satuan polisi pamong praja
93
Tabel 4.10
Tests of Normality 96
Tabel 4.11
Rekapitulasi Deskripsi Uji Normalitas Kinerja Petugas Satpol Pp Berdasarkan Model Pelatihan Dan Motivasi Kerja.
97
Tabel 4.12 Test of Homogeneity of Variances
98
Tabel 4.13 ANOVA
98
Tabel 4.14 Test of Homogeneity of Variances 100
Tabel 4.15 ANOVA 100
Tabel 4.16 Test of Homogeneity of Variances 101
Tabel 4.17 ANOVA 101
10
TABEL KETERANGAN HAL
Tabel 4.18 Tests of Between-Subjects Effects 103
Tabel 4.19 Perbandingan Skor Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP
107
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar Keterangan Hal
Gambar 2.1 Indikator Kinerja 24
Gambar 4.1 Skor Model Competence based Education and Training
petugas satpol PP (A1)
82
Gambar 4.2 Skor Model Konvensional Petugas Satpol PP (A1) 83
Gambar 4.3 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Tinggi (B1)
85
Gambar 4.4 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Rendah (B2)
86
Gambar 4.5 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi (A1B1)
88
Gambar 4.6
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training
yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
89
Gambar 4.7
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).
91
Gambar 4.8 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
92
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki era otonomi daerah tahun 2003, terjadi perbagai perubahan
mendasar dalam kehidupan masyarakat. Arus perubahan yang tidak menentu
menjadikan masyarakat kehilangan pijakan, sehingga memunculkan berbagai
kecenderungan pelanggaran tatanan hidup kemasyarakatan. Mengantisipasi hal
tersebut peran tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan khususnya
penatalaksana penegakan hukum dan ketertiban, diharapkan mampu
mengantisipasi perubahan dimaksud sesuai dengan amanat Undang-Undang
Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 120 yang mengatur tentang
keberadaan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).1
Pengarusutamaan Satpol PP ditekankan pada upaya dalam membina
ketenteraman ketertiban masyarakat (tramtibmas), memberi peringatan dini dan
penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. penegakan peraturan daerah (perda)
yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Upaya ini
diwujudkan dalam bentuk sistem perlindungan masyarakat, dimana kepentingan
masyarakat sebagai hal yang utama. Kepentingan utama dimana pendekatan
pengayoman, pencegahan, pembinaan hingga penindakan atas pelanggaran
peraturan yang berlaku dalam masyarakat.
1 1Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, (Jakarta: Departemen Dalam
Negeri, 1999), p. 408.
13
Menatalaksanakan tugas-tugas atas kewenangan tersebut, Satpol PP
selalu berpijak pada protab dalam sistem yang telah baku dimana mengikat
keberadaan dari Satpol PP untuk bertindak dalam kerangka kewenangan
prosedural yang harus jelas dan terukur. Kerangka yang menjadi pijakan bagi
petugas untuk mejalankan tugas pelayanan sehari-hari.
Keberadaan Satpol PP di DKI Jakarta, saat ini diperkirakan lebih 8.000
personel terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar di lima wilayah yaitu:
Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat2.
Hanya saja yang sudah ditetapkan secara resmi dalam Surat Keputusan
Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 belum ada separuhnya,
sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu jumlah yang
sangat tidak memadai untuk melakukan layanan perlindungan dan upaya
penegakan peraturan daerah. Dimana perbandingan idealnya adalah 1:900,
untuk menjangkau luas wilayah DKI 661,260Km2 dengan kuantitas penduduk
diperkirakan 12.000.000 jiwa.3
Memenuhi harapan masyarakat atas upaya perlindungan dan
ketertiban, merupakan tantangan tersendiri bagi kelembagaan Satpol PP,
khususnya aparat/petugas satpol PP itu sendiri dalam memenuhi tugas pokok
dan fungsinya. Dimana perlu didukung oleh kualitas sumber daya optimal,
anggaran operasional dan sarana prasarana aparat Satpol PP yang memadai.
Sumber daya manusia, anggaran operasional dan sarana prasarana
aparat memiliki sisi lemah terutama berkenaan dengan kemampuan skill dan
2 Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009.
3 Ibid.
14
manajerial khususnya pemahaman, pendalaman pengetahuan indikator aspek
hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Faktor-faktor penyebab
utamanya adalah minimnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
petugas Satpol PP. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum
dapat dipenuhi dalam sistem perekrutan aparat. Belum adanya standar layanan
minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satpol PP.
Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis dari hulu hingga
hilir, dimana menempatkan petugas Satpol PP sebagai ujung tombak dalam
menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi hilirnya, tanpa pelibatan proses
sejak awal.
Kurangnya alokasi rutin yang dianggarkan oleh Anggaran
Pembangunan Belanja daerah (APBD), operasionalisasi kegiatan lebih bersifat
projektif, akibatnya sarana dan prasarana yang bersifat fasilitas keperluan dinas
belum memadai. Petugas Satpol PP pada umumnya memiliki status
kepegawaian yang masih bersifat honorer dengan gaji di bawah Upah Minimum
Regional (UMR) nasional.
Tugas operasional lapangan dan penetapan sanksi masih menjadi
kendala bagi petugas Satpol PP. Hambatan pelaksanaan tugas aparat Satpol PP
di luar anggaran rutin umumnya pada pelaksanaan tugas penertiban, terutama
masih banyaknya oknum tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar
Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Sementara
itu penerapan sanksi yang bersifat pemaksaan terkendala oleh aturan hukum
akibat otoritas yang terbatas khususnya menyangkut sanksi penangkapan,
penahanan dan kurungan.
15
Berkaitan dengan kesulitan tugas di lapangan, tugas aparat satpol PP
dilapangan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Selain
pengetahuan tentang hukum Dinas Tramtib, petugas juga harus dibekali dengan
pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya
kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti
masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, dan pelacuran.
sehingga ungkapan ketidaktahunan tentang berbagai fenomena sosial di dalam
masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan
diantisipasi dengan tepat.
Petugas Satpol PP bukan hanya semata merupakan kekuasaan belaka.
Namun lebih sebagai pengayom, pencegah maupun penegak perlindungan dan
ketertiban. Petugas satpol PP dituntut untuk dapat melindungi masyarakat dari
kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Tingkat kemajuan masyarakat
yang tinggi diiringi dengan kecenderungan munculnya segala bentuk
ketidakadilan, kesenjangan dan distorsi. Sehingga bila harapan masyarakat tidak
dapat dipenuhi, tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, akan dapat
menyebabkan gejolak emosional, kerusuan sosial dan gangguan ketentraman
dan ketertiban masyarakat. Berbagai kecenderungan tersebut memunculkan
krisis kepercayaan dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan pemerintah.
Sehingga respon dalam menangkal berbagai friksi sosial yang terjadi di
masyarakat menjadi sangat rendah.
Masyarakat tidak dapat begitu saja menyerahkan sepenuhnya upaya
pemenuhan keamanan, perlindungan dan ketertiban pada petugas Satpol PP.
Masyarakat juga berkewajiban untuk turut serta secara aktif dalam
16
menyelenggarakan upaya perlindungan dan ketertiban dengan cara mematuhi
segala ketentuan yang ada, memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan
dan mengontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena keamanan dan
ketertiban pada dasarnya adalah merupakan tanggung-jawab bersama antara
masyarakat dan pemerintah.
Kebersamaan yang sinergis antara masyarakat dan pemerintah
menjadikan petugas Satpol PP lebih bersemangat dan bertanggung jawab dalam
penegakan perda. Satpol PP sebagai satuan organisasi perlu memilliki
kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya
dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh
melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang terfokus pada
peningkatan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh setiap petugas untuk
dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom
masyarakat. Melalui assesment dari hulu sampai hilir, didukung pendidikan dan
pelatihan yang berbasis kompetensi akan mengarahkan seseorang pada
kemampuan standart, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada persesuaian
kompetensi terhadap kebutuhan pengembangan organisasi.
Kebutuhan akan pengembangan diri dan organisasi dapat dimotivasi
dari diri sendiri, dengan upaya memperoleh kebebasan dan otonomi untuk
menumbuhkan semangat kerja. Pimpinan yang tanggap akan dapat mengetahui
motivasi dari bawahannya, sehingga dapat membuka jalan menuju produktivitas
kerja yang diharapkan organisasi. sehingga akan mendorong motivasi, semangat
kerja dan meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja, serta meningkatkan
antusias kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perorangan dan
17
kelompok dalam organisasi menurut ukuran atau batasan-batasan yang
ditetapkan.
Motivasi dapat ditempatkan sebagai bagian yang fundamental dari
kegiatan manajemen. Seseorang yang termotivasi dalam melakukan
pekerjaannya, maka dengan sendirinya kinerja seseorang tersebut dengan
sendirinya akan meningkat juga. Memenuhi harapan tersebut, kinerja petugas
satpol PP perlu didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai.
Kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan
pelatihan yang baik. Salah satunya adalah melalui Competency Based Education
and Training (CBET).
Melalui Competency Based Education and Training (CBET) diharapkan
dapat meningkatkan motivasi petugas Satpol PP dan meingkatkan kinerja dalam
menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak perlindungan dan ketertiban.
Motivasi yang ada pada petugas satpol PP harus senantiasa dipacu, karena
tanpa motivasi kerja yang tinggi yang dilakukan oleh organisasi belumlah
optimal. Masih perlu ditingkatkan agar memberikan kinerja yang baik dilapangan.
Kinerja yang baik tentunya harus ditunjang oleh kualitas SDM yang baik.
Sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan kompetentisi petugas satpol PP.
Sehingga dapat diketahui sejauhmana Competency Based Education and
Training (CBET) dan motivasi berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Sehingga melalui penelitian ini akan menemukan relevansinya.
18
B. Identifikasi Masalah
Mengacu pada konsep otonomi daerah yang diamanatkan Undang
Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 120
menekankan pada keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang
bertugas membina ketenteraman ketertiban masyarakat, memberi peringatan
dini, pemeliharaan, penanggulangan, dan penegakan peraturan daerah (perda)
yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural dimana
mengacu pada kepentingan terbaik untuk masyarakat.
Mengacu pada pemahaman diatas, maka penelitian dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP?
2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas
sumber daya petugas Satpol PP?
3. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas
sumber daya petugas Satpol PP?
4. Bagaimana meningkatkan kinerja petugas Satpol PP?
5. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
kinerja petugas Satpol PP?
6. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
kinerja petugas Satpol PP?
7. Bagaimana mengembangkan motivasi petugas Satpol PP dalam
melaksanakan tupoksinya?
8. Bagaiman strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan motivasi
petugas Satpol PP dalam melaksanakan tupoksinya?
19
9. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan motivasi
kerja petugas Satpol PP?
10. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP ?
11. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP ?
12. Bagaimana pengaruh pendekatan Competency-based Education and Training
(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP perempuan ?
13. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ?
14. Apakah terdapat korelasi antara pendekatan Competency-based education
and training (CBET), terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP
perempuan ?
C. Pembatasan masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang pengaruh
motivasi dan pelatihan terhadap kinerja petugas Satpol PP didalam lingkup
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
D. Perumusan Masalah
Dari identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian
ini perumusan masalah dirumuskan sebagai berikut:
20
1. Apakah terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti
model pelatihan Competency Based Education and Training (CBET) dengan
model pelatihan konvensional ?
2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi
kerja terhadap kinerja petugas satpol PP ?
3. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan
mengikuti pelatihan model Competency Based Education and Training
(CBET) lebih tinggi dibandingkan kinerja satpol PP yang memiliki motivasi
tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional ?
4. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan
mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja petugas
satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based
Education and Training (CBET)?
E. Kegunaan hasil penelitian
Penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis mempunyai berbagai
manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritik
Hasil penelitian dapat dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan
strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas
satpol PP guna mempersiapkan personil SDM yang memadai dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsi dari petugas Satpol PP.
21
2. Kegunaan Praktis
Penelitian yang dilakukan di Dinas Satpol PP provinsi DKI ini
diharapkan dapat memberikan masukkan atau rekomendasi khususnya
kepada pihak manajemen dalam peningkatan kompetensi petugas Satpol
PP yang lebih baik di masa yang akan datang dengan mengutamakan
kepentingan terbaik untuk masyarakat.
22
BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
Acuan teori yang merupakan landasan konseptual dalam penelitian
menekankan pada kajian tentang kinerja, model pendidikan dan pelatihan, serta
motivasi petugas Satpol PP.
A. Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Satpol PP merupakan perangkat aparat pelaksana layanan
perlindungan dan penegak hukum dalam konteks institusi ketenteraman
dan ketertiban (tramtib) di lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja Satpol PP
mengacu pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pembina ketenteraman
ketertiban masyarakat (tramtibmas), pemberi layanan perlindungan,
pemberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas,
dan penegak peraturan daerah (perda). Secara keseluruhan ruang
geraknya dijiwai untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat, dan sesuai
dengan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat secara umum.
Tuntutan tugas aparat Satpol PP yang bagitu luas ini tentu merupakan
suatu beban kerja tersendiri. Kuantitas beban kerja yang demikian berat
tentunya merupakan permasalahan kinerja yan spesifik bagi aparat satpol
PP.
Karena tentunya suatu organisasi, dalam hal ini Satpol PP sangat
menginginkan adanya peningkatan kinerja sesuai dengan standar yang
23
telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Mewujudkan pencapaian tujuan
tersebut harus ditopang oleh semangat dan kegairahan kerja pegawai. Oleh
karena itu organisasi atau instansi perlu mengetahui berbagai kelemahan
dan menguatkan kelebihan. Suatu hal yang lumrah mengetahui
kekurangan, hal ini diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan
pengembangan pegawai. Menjawab kebutuhan tersebut, perlu dilakukan
kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada masa lalu
atau masa yang akan datang bagi para petugas Satpol PP.
Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun
dengan mengedepankan kapasitas sumber daya. Implementasi kinerja
dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,
kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Bagaimana organisasi menghargai
dan memperlakukan sumberdaya manusianya akan mempengaruhi sikap
dan perilaku sumber daya tersebut dalam menjalankan kinerja.
Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan
kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan, konsumen, dan
memberikan kontribusi pada ekonomi sehingga seseorang berupaya untuk
melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.
Kinerja harus dapat diejawantahkan sebagai apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya.
Fremont dalam internet Journal (2000) memberikan konsep umum
tentang prestasi adalah kinerja = f (kesanggupan, usaha dan kesempatan).
Persamaan ini menampilkan faktor atau variabel pokok yang menghasilkan
prestasi, mereka adalah masukan (inputs) yang jika digabung, akan
24
menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability)
adalah fungsi dari pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan
teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi.
Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan. Sasaran, harapan dan
imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu
bergantung pada tingkat motivasi individu dan/atau kelompok untuk
mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi
sebelum manajer memberikan kesempatan (opportunity) kepada
kesanggupan dan usaha individu untuk dipakai dengan cara-cara yang
bermakna. Prestasi organisasi adalah hasil dari sukses individu dan
kelompok dalam mencapai sasaran yang relevan.
Pada organisasi atau unit kerja di mana input dapat teridentifikasi
secara individu dalam bentuk kuantitas misalnya pabrik jamu, indikator
kinerja pekerjaannya dapat diukur dengan mudah, yaitu banyaknya output
yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Namun untuk unit kerja kelompok
atau tim, kinerja tersebut agak sulit, dalam hubungan ini Simamora4 (1995 :
132) mengemukakan bahwa kinerja dapat dilihat dari indiktor-indikator
sebagai berikut : 1) keputusan terhadap segala aturan yang telah
ditetapkan organisasi, 2) Dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya
tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah), 3)
Ketepatan dalam menjalankan tugas.
4 Anoraga, Panji dan Sri Suyati. 1995. Perilaku Keorganisasian.Cetakan Pertama. Penerbit Dunia Pustaka
Jaya. Jakarta. Hal. 132
25
Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke
dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2)
kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau
pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6)
perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.
Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen
karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi.
Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengadakan penilain kinerja
merupakan hal yang sangat penting.
Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah
produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana
usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu
organisasi. Jadi untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja seseorang,
maka perlu pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi. Faktor-
faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan
kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau
sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak
orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-
apa.
Senada dengan pemahaman diatas, Mangkunegara berpendapat
bahwa kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance
atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
26
dicapai seseorang)5. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja karyawan
(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat serupa juga
disampaikan oleh Irawan yang mengemukakan bahwa kinerja merupakan
satu-satunya petunjuk yang dapat kita percayai untuk menyimpulkan
apakah suatu organisasi, unit atau pegawai sukses atau gagal, berprestasi
atau tidak.6
Menurut Hariandja kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan
oleh pegawai atau perilaku nyata yang dinyatakan sesuai dengan perannya
dalam organisasi atau instansi.7 Sedangkan Husein mendefinisikan kinerja
sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang tenaga kerja dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya.8
Handoko mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan waktu.9
Sedangkan definisi kinerja menurut Gomes adalah ungkapan seperti out
5 Mangkunegara, Anwar P., Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, (PT. Refika Aditama, Bandung: 2005), hlm. 9.
6 Irawan, Prasetya et.al, Manajemen Sumber Daya Manusia, (STIA-LAN: Jakarta, 2002), hlm. 11.
7Hariandja, Marihot Tua Efendi,Drs.,M.Si., Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai, Edisi I, Cetakan ketiga, (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 195.
8 Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Edisi Revisi, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), hlm. 14.
9 Handoko T. Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (BPFE, Yogyakarta: 2002), hlm. 25.
27
put, efisiensi serta efektivitas dan sering dihubungkan dengan
produktivitas.10
Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai kegiatan
harus dilakukan orgisasi atau instansi untuk meningkatkannya. Salah satu
diantaranya adalah melalui penilaian kinerja. Menurut Efendi Hariandja
Penilaian kinerja merupakan salah satu proses organisasi atau instansi
dalam menilai kinerja pegawainnya11. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja
secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada pegawai dalam
upaya memperbaiki tampilan kerja dan upaya meningkatkan produktivitas
organisasi. Secara khusus dilakukan dengan berbagai kebijaksanaan
terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan
dan latihan.
Dikemukakan oleh Tika bahwa kinerja adalah hasil-hasil fungsi
pekerjaan (motivasi, kecakapan, persepsi peranan) seseorang dalam suatu
organisasi atau instansi yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk
mencapai tujuan organisasi atau instansi.12 Berkaitan dengan motivasi
kerja, Victor Vroom yang dikutip dalam Efendi Hariandja tentang teori
motivasi expentansi, mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam
motivasi adalah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mencapai
kinerja yang diharapkan, yang disebut dengan expectancy, disamping
adanya hubungan yang jelas antara kinerja dengan reward/imbalan yang
10
Mangkunegara, Op Cit, hlm. 9. 11
Hariandja, Op Cit, hlm. 195. 12
Moh. Pabundu Tika, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 121.
28
didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan
bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens).13
Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber
daya manusia dalam organisasi atau instansi, baik unsur pimpinan maupun
pekerja. Banyak sekali aspek maupun faktor yang dapat mempengaruhi
sumberdaya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Adapun aspek-aspek
standar pekerjaan menurut Mangkunegara14 terdiri dari aspek kuantitatif
dan aspek kualitatif. Aspek kualitatif meliputi: (1) Proses kerja dan kondisi
pekerjaan; (2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan
pekerjaan; (3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan (4)
Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek
kualitatif meliputi: (1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; (2) Tingkat
kemampuan dalam bekerja; (3) Kemampuan menganalisis data/informasi,
kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan; dan (4)
Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).
Ukuran-ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan
dengan tepat dan lengkap, dan diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat
diamati dan diukur secara cermat dan tepat. Sehingga dalam pelaksanaan
pengelolaan kinerja karyawan, hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang (karyawan).
Menurut Robbins yang dikutip oleh Rivai dan Basri mengemukakan
bahwa kinerja adalah sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau
13
Hariandja, Op Cit, hlm. 198. 14
Mangkunegara, Op Cit, hlm. 17-19.
29
Ability (A), motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan atau Opportunity
(O), yaitu kinerja = f(A x M x O)”.15 Dengan demikian, kinerja ditentukan
oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan
kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan
fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu.
Sedangkan menurut Davis dan Newstrom yang di kutip Husein yang
menyebutkan variabel-variabel yang mampu mempengaruhi tingkat prestasi
dan kinerja (performance) organisasi, yakni : kewenangan organisasi,
kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungan organisasi.16
Sementara menurut Wibowo mengemukakan bahwa faktor yang
dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya,
terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri
maupun dari luar dirinya antara lain: (1) Kemampuan berdasar pada
pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan
pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja, kepribadian, sikap dan
perilaku; (2) Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam organisasi atau
instansi, yaitu: bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pegawai,
bagaimana mereka memberi penghargaan kepada pegawai yang
berprestasi, dan bagaimana mereka mengembangkan serta
memberdayakan pegawainya; (3) Sumber dana, bahan, peralatan,
teknologi, dan mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi; dan
(4) Lingkungan kerja atau situasi kerja yang merupakan faktor lingkungan
15
Veithzel Rivai dan, Ahmad F.M. Basri, Performance Appraisal (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hlm. 15.
16 Husein, Op Cit., Hlm. 134.
30
kerja internal organisasi atau instansi, seperti kondisi hubungan
antarmanusia di dalam organisasi, baik antara atasan dengan bawahan
maupun diantara rekan sekerja.17
Berpijak dari berbagai pandangan para pakar di atas terdapat
banyak variabel yang mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi yaitu
faktor kepemimpinan, faktor motivasi, faktor disiplin dan faktor kinerja dari
sumber daya manusia dalam hal ini adalah pegawai.
Menurut Simamora dalam Mangkunegara bahwa upaya
peningkatan kinerja (performance) pegawai dipengaruhi oleh tiga faktor,
diantaranya :
1) Faktor individual, yang berupa kapasitas untuk mengerjakan sesuatu,
terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi.
2) Faktor psikologis, berupa persepsi, attitude, personality, pembelajaran
dan motivasi, yang dapat membentuk keinginan mencapai sesuatu.
3) Faktor organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan
(imbalan), struktur dan job design.18
Memahami hal tersebut, kinerja pegawai akan tercipta bila di
dukung oleh adanya kesiapan yang dimiliki karyawan itu sendiri baik secara
kemampuan, mental (psikologis) dan adanya dukungan dari organisasi
berupa kesempatan. Karena acapkali terjadi, meski seorang individu
17
Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hal.65-66. 18
Mangkunegara, Op Cit., hlm. 14.
31
bersedia dan mampu, tetapi bisa saja ada rintangan yang ada dapat
menjadi penghambat yang cukup berarti.
Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,
antara lain dikemukakan Amstrong dan Baron (1998,16) yang dikutip oleh
Wibowo yaitu, sebagai berikut :
a) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan kompetensi
yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
b) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan
dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader.
c) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh
rekan sekerja.
d) System factors, ditunjukkan oleh system kerja dan fasilitas yang
diberikan organisasi.
e) Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat
tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.19
Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
baik yang bersumber dari pegawai sendiri maupun yang bersumber dari
organisasi. Dari pegawai sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau
kompetensinya. Sementara itu, dari segi organisasi atau instansi
dipengaruhi oleh seberapa baik pemimpin memberdayakan pegawainya,
bagaimana mereka memberikan penghargaan pada pegawai, dan
19
Wibowo, Op Cit., hlm. 74-75.
32
bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pegawai
melalui coaching, mentoring dan counselling.20
Indikator kinerja atau performance indikators kadang-kadang
dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance
measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja
berkaitan dengan hasil yang dikuantitatifkan dan mengusahakan data
setelah kejadian. Sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas
yang hanya dapat ditetapkan secara kualitatif atas dasar perilaku yang
dapat diamati. Menurut Hersey, Blanchard, dan Jhonson yang di kutip oleh
Nengah21, terdapat tujuh indikator kinerja, yang digambarkan sebagai
berikut:
20
Ibid, hlm. 76. 21
Wibowo, Op Ciit, hlm.386.
33
Gambar 1: Indikator Kinerja
Gambar ketujuh indikator kinerja diatas dapat dijelaskan, sebagai
berikut:
1) Goals (tujuan) merupakan suatu keadaan yang lebih baik yang ingin
dicapai dimasa yang akan datang. Dengan demikian, tujuan merupakan
arah ke mana kinerja harus dilakuakan. Kinerja individu maupun
organisasi berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
2) Standard (standar) merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang
dinginkan dapat dicapai. Tanpa standar, tidak dapat diketahui kapan
suatu tujuan dapat tercapai. Kinerja seseorang dikatakan berhasil
apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau disepakati
bersama antara atasan dan bawahan.
3) Feedback (umpan balik) merupakan masukan yang dipergunakan untuk
mengukur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan.
Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai
hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. Masukan berupa feedback
motive goals
means
opportunity
standard
competenc
e feedback
34
ini dapat berasal dari dalam dan luar organisasi. Umpan balik dari
dalam organisasi merupakan evaluasi yang dilakukan secara bersama
atau melalui tim khusus yang dibentuk untuk memberikan masukan
terhadap sebuah pencapaian tujuan organisasi. Umpan balik dari luar
organisasi dapat dilihat dari respon masyarakat (pengguna) dari produk
maupun jasa yang di hasilkan oleh organisasi.
4) Means (alat atau sarana) merupakan sumber daya yang dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.
Alat atau sarana merupakan faktor penunjang untuk pencapaian tujuan.
5) Competence (kompetensi) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya
dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan
tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
6) Motive (motif) merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk
melakukan sesuatu. Pimpinan memfasilitasi motivasi kepada karyawan
dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan
tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan
balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu
melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan
menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintesif.
7) Opportunity (peluang) merupakan peluang untuk menunjukkan prestasi
kerjanya. Terdapat dua faktor yang menyumbangkan adanya
35
kekurangan kesempatan untuk berprestasi, yaitu ketersediaan waktu
dan kemampuan untuk memenuhi syarat.22
Kinerja amat bergantung sejauh mana upaya seseorang untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Tujuan yang telah
ditetapkan ini merupakan tujuan yang terukur dan dapat diobservasi oleh
seluruh anggota organisasi sehingga tujuan merupakan sesuatu yang
konkrit dan nyata bukan merupakan hal yang abstrak dan mengawang jauh
dari kenyaataan. Kemampuan organisasi untuk meramu bentuk dari tujuan
yang ingin dicapai menjadi amat penting, karena hal itu dapat memberikan
kejelasan kepada anggota organisasi untuk mencapai target tujuan yang
hendak dicapai.
Sarana dan kompetensi merupakan faktor pendukung yang penting
yang diperlukan oleh setiap anggota untuk mencapai tujuan organisasi.
Sarana dan kompetensi memungkinkan seorang anggota organisasi dapat
mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
Motif yang dimiliki seorang anggota organisasi merupakan hal yang
cukup penting dalam usaha mendorong seorang anggota organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Kemampuan seorang pemimpin untuk
memfasilitasi motif dari setiap anggotanya menjadi faktor kunci bagi
kelancaran pergerakan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Peluang yang diperoleh oleh seorang anggota organisasi juga
memegang peranan penting bagi anggota untuk turut andil mencapai tujuan
22
Wibowo, Op Cit., hlm. 77-80.
36
organisasi. Ketersedian waktu yang dimiliki oleh seorang anggota
organisasi memegang peranan penting guna menunjukkan prestasi
kerjanya secara optimal sesuai dengan kebutuhan upaya untuk mencapai
tujuan organisasi. Prestasi kerja seorang anggota organisasi perlu ditunjang
oleh kemampuan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi
untuk melakukan suatu pekerjaan.
Beberapa penjabaran di dapat dirangkumkan kedalam beberapa
kata kunci untuk menunjukkan kinerja seorang anggota satpol PP yaitu:
Hasil pekerjaan, insentif dan produktifitas. Hasil pekerjaan hasil pekerjaan
yang dicapai oleh individu dan terkait pada tujuan organisasi yang telah
ditetapkan oleh organisasi dan tunjang oleh sistem, kepemimpinan, sarana,
dan dukungan organisasi yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan
insentif merupakan hal-hal yang berkaitan dengan motif dan kebutuhan
yang ada dalam diri individu. Dan produktifitas berkaitan dengan
kemampuan seorang anggota organisasi untuk menghasikan jumlah
pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan peluang yang dimiliki oleh
seorang anggota organisasi menyelesaikan pekerjaannya.
Berdasarkan penjabaran konsep di atas maka kinerja yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut
mencakup hasil, insentif dan produktifitas yang hasilkan melalui proses
yang terfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya
standar pelaksanaan dan kualitas yang diharapkan.
37
2. Dimensi dan Indikator Kerja
Sebagaimana definisi kinerja yang dirumuskan di atas, maka dalam
mengukur kinerja terdapat beberapa faktor atau dimensi yang harus
terpenuhi yaitu kualitas kerja, kunatitas kerja, pengetahuan, keandalan,
kehadiran dan kerjasama. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam
beberapa indikator sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut :
38
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja
No Dimensi Indikator
1 Kualitas Kerja - Ketelitian bekerja
- Ketepatan dalam berkerja
- Kerapian bekerja
- Keterampilan dan kecakapan kerja
- Empati dalam bereja bersama dengan masyarakat
2 Kuantitas kerja - Jumlah hasil kerja yang telah dicapai
- Kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan
- Menurunnya kecenderungan penyimpangan dan
pelanggaran dalam masyarakat
3 Pengetahuan - Pemahaman terhadap tugas yang dikerjakan
- Etika bekerja bersama masyarakat sipil
4 Keandalan - Mengikuti instruksi pimpinan
- Memiliki inisiatif
- Disiplin dalam kerja
- Memiliki empati dalam bekerja
5 Kehadiran - Hadir dalam rapat rutin
- Aktif dalam setiap rapat
- Aktif melaksanakan tugas piket harian dan lapangan
- Aktif melakukan patroli keliling
- Aktif melakukan penjangkauan masyarakat yang
bermasalah
6 Kerjasama - Kemampuan bekerjasama dengan teman seprofesi
- Kemampuan bekerjsama dengan atasan
- Kemampuan dalam melaksanakan fungsi referal
- Kemampuan dalam menjalin jejaring kemasyarakatan
khususnya bidang layanan perlindungan dan
penegakan ketertiban
- Kemampuan penguatan masyarakat untuk secara
39
No Dimensi Indikator
madani menyelenggarakan sistem kontrol sosial
untuk mnegakkan perlindungan dan ketertiban
bermasyarakat
- Kemampuan menjadikan dirinya petugas Satpol PP
yang ramah terhadap lingkungan dimana bekerja.
B. Pendidikan dan Pelatihan
1. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training) atau biasa
disingkat Diklat adalah bagian yang tak terpisahkan dan terpenting dalam
peningkatan kinerja. Mengacu dalam bahasa inggris, education
(pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi
peningkatan.23 Dalam pengertian sempit, McLeod mendefinisikan
pendidikan sebagai perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh
pengetahuan.24 Tardif yang dikutip Syah mendefisikan pendidikan sebagai
seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku manusia dan
proses penggunaan pengalaman kehidupan.25 Nedle dalam Tilaar
mengartikan pendidikan adalah proses belajar mempersiapkan individu
untuk pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang.26
M. Chabib Thoha menyatakan bahwa untuk memahami pengertia
npendidikan dengan benar, pendidikan perlu dibedakan menjadi dua 23
John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia (Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 205 24
William T McLoad, (edt.), The New Collins Dictionary and Thesaurus ( Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989). 25
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Rosdakaya, 2008), h.10 26
Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasioanl (Bandung: Rosadakarya, 2001) h.202
40
pengertian yaitu pengertian yang bersifat teoritis dan pengertian pendidikan
dalam arti praktis.27 Menururtnya, pendidikan dalam arti pertama adalah
pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk
memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan pada
pemikiran normative spekulatif rasional empirik, rasional filosofik maupun
historic filoisofik.28
Pendidikan dalam arti praktis para ahli pendidikan merumuskan
secara bervariasi.
a. Menurut Goerge F. Kneller.
“Education is the Process of self realization. In which the self
realizesand develops all its parentialitles.”29 Artinya : “Pendidikan dalam
realisasi diri dimana (pribadi Individu) merealisasikan dan
mengembangkan semua potensi-potensinya”.
b. Menururt Frederick J. McDonald
“Education is a process aran activity which is directed at
producing desirable changes in the behavior of human being.” Artinya:
pendidikan adalah suatu prosews atau aktivitas yang secara langsung
diharapkan dapat menghasilkan bisa menghasilkan perubahan tingkah
laku.30
27
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 98. 28 Ibid, hlm. 23 29
Goerge F. Kneller, Logic and Language Of Education John And Willey Ine, (New York, 1996), hlm. 14-15. 30
Frederick J. Mc Donald, Educational Pshycology Wods Worrth Publishing Company Inc, (San Francisc, 1999), hlm. 4.
41
c. Menurut John Dewey
“Etimologycall the world education means just a proccess of
leading or bringing of. When we have the out come of the process in
mind we speakz of education as shaping, forming, molding activity that
is, a shaping into the standart from of social activity.”31 Artinya, secara
etimologi, kata pendidikan hanya berarti suatu proses memimpin atau
mengasuh, jika kita telah menghsilkan proses kejiwaan, kita katakan
bahwa pendidikan adalah proses pembentukan pembinaan, dan
percetakan aktivitas, yakni pembentukan ke dalam bentuk standar dari
aktivitas sosial.
Menurut Chabib Thoha, Pendidikan dalam arti praktek atau
“suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan
potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai
perkembangan secara optimal serta membudayakan manusia melalui
proses tranformasi nilai-nilai yang utama.”32
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengembangan pribadi
dalam semua aspek-aspeknya. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu
proses pengembangan pribadi dalam semua aspek-aspeknya untuk
merealisasikan manusia yang berbudi luhur.
31 John Dewey, Democratic And Education, (New York: The Macmillian
Company, 1964), hlm. 10 32
Chabib Thoha, Op.cit., hlm. 99.
42
Pelatihan adalah suatau kegiatan untuk memperbaiki kemampuan
kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas tertentu.33 Dessler
mengartikan pelatihan sebagai proses pembelajaran.34 Donaldson dan
Scannel memaknai pelatihan sebagai upaya perubahan perilaku. 35
menurutnya pendikan dan pelatihan harus diorganisir agar dapat
mengantarkan perubahan perilaku peserta pelatihan.
Jucius dalam Bernardin menyatakan bahwa pendidikan dan
pelatihan digunakan untuk menunjukkan setiap proses, dimana bakat,
kecakapan dan kemampuan para pegawai dikembangkan agar mereka
dapat menyelsaikan pekerjaan tertentu. Kemudian Bernardin menyebutkan
secara ideal bahwa pelatihan harus disesuaikan dengan keinginan
mewujudkan dan mencapai tujuan organisasi.36
Pelatihan bagi Bosker adalah suatu kegiatan pembelajaran yang
terprogram dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan peserta.37 Makna kemampuan dan keterampilan di sini tidak
hanya sekadar ranah psikomotorik, namum juga meliputi aspek
kemampuan dan keterampilan yang utuh. Termasuk dalam makna
kemampuan di sini adalah kecerdasan majemuk (multiple intelegencies)
dan aspek-aspek psikologis lain, seperti motivasi kerja, kecerdasan sosial,
kecerdasan emosional, dan sebagainya yang dapat dikembangkan melalui
pelatihan.
33
Ranupanjoyo dan Husnan, Manajemen Personalia (Yogyakarta: BPFE, 1995), h.77 34
Gary Deseler, Personal Management, Ter. Agung Dharma (Jakarta: Erlangga, 1997), h.266 35
Donaldson dan Scannel, Human Resources Development, terj.Ya’kub (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1993), h.7 36
Bernardin, Human Resources Management (Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993), h.297 37
J. Bosker, Training effectiveness, New York, Pergamon, 1997, P: 3
43
Menurut Brown, pelatihan merupakan salah satu kegiatan pokok
dalam pengembangan sumberdaya manusia.38 Hal ini karena kondisi dan
tuntutan lingkungan yang selalu berubah, serta perkembangan ilmu dan
teknologi, menyebabkan organisasi atau lembaga harus selalu
menyesuaikan diri. Untuk itu sumberdaya manusia yang ada dalam
organisasi harus selalu ditingkatkan kemampuannya. Sebagian besar
kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dilakukan melalui program
pelatihan.
Pelatihan menurut Wexley dan Yukl adalah suatu proses di mana
pegawai mempelajari keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
diperlukan guna melaksanakan pekerjaannya secara efektif.39 Sementara
menurut Amstrong, pelatihan adalah kegiatan untuk mengisi kesenjangan
antara apa yang dapat dikerjakan seseorang dan siapa yang seharusnya
mampu mengerjakannya, agar secepat mungkin pegawai dapat mencapai
suatu tingkat kemampuan kerja dalam jabatan mereka, dan menambah
keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki prestasi
dalam jabatan yang sekarang atau mengembangkan potensinya untuk
masa yang akan datang.40
Berpijak pada beberapa pengertian di atas, maka pengertian
pendidikan dan pelatihan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang
dilakukakan untuk membina kepribadian, meningkatkan dan
38
M. J. Brown, The Effectiveness Of Organization, (California, Fearon, Belmont California, 1999), p: 26 39
Kenneth Wexley dan Gary A Yukl, Organizational Behavior and personal Psychology, (Ontorio, Richard D. Irwan. Inc, 1997), p: 301 40
Michael Amstrong, Manajemen Sumber daya Manusia, Terjemahan Sofyan Cikman dan Hariyanto, (Jakarta, Elex Media Kompotindo, 1990), p. 120
44
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan karyawan dalam
bekerja.
Pelaksanaan diklat sangat beragam jenis program dan model yang
digunakan. Berikut adalah dua model diklat yang biasa dilakukakan dalam
berbagai kegiatan.
2. Competence Based Education and Training (CBET)
Competence Based Education Training (Pendidikan dan Pelatihan
Berbasis Kompetensi) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan
yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan
secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja
(performance target) yang telah ditetapkan. Target kinerja yang dimaksud
adalah kompetensi. Artinya, pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan
bagi sumberdaya bukan sekedar membentuk kompetensi, tetapi
kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan
kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam
melaksanakan tugas sehari-hari dari sumber daya tersebut.
Makna kompetensi secara umum menurut Anderson adalah
sebagai sebagai karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skill),
pengetahuan (knowledge) serta atribut lainnya yang mampu membedakan
seseorang yang perform dan tidak perform. Berdasarkan pengertian
tersebut diatas, kompetensi dipandang sebagai alat penentu untuk
memprediksi keberhasilan kerja seseorang.
45
Senada dengan pengertian tersebut, Mulyasa41 menjelaskan bahwa
kompetensi merupakan indikator yang menunjuk pada perbuatan yang bisa
diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek–aspek pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap serta tahap–tahap pelaksanaannya secara
utuh.
Bagi Spencer dan Spencer kompetensi adalah karakteristik yang
mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu
dalam pekerjaannnya.42 Kompentensi seorang individu merupakan sesuatu
yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep
diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi
individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan
melalui pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer kompetensi dapat
dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu threshold competencies dan differentiating
compentencies. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang
harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya.
Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan rata-
rata. Sedangkan differentiating competiencie adalah factor-faktor yang
membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.43 Misalnya
seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti
41
E. Mulyasa, Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2007), h. 88 42
M.Lyle Spencer and M.Signe Spencer , Competence at Work:Models for Superrior Performance (New York: John Wily & Son,Inc,New York,1993), h.120 43
Ibid., h.122
46
pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila dosen dapat
mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya
tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah
masuk kategori differentiating competencies.
Mengacu pada berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa kompetensi yang dimaksud adalah kompetesi yang mencakup
tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai tugas pokok dan fungsi
sumber daya tersebut.
Kompetensi seseorang dapat berkembang atau meningkat melalui
beberapa cara, seperti melalui pengalaman, belajar sendiri, pendidikan
formal maupun melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) tertentu. Masing-
masing pola perkembangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan,
namun sebaiknya diperoleh melalui perpaduan dari semua cara tersebut.
Merujuk pada aspek teoritis dan praktis perkembangan kompetensi
yang diperoleh melalui Diklat dapat dikatakan lebih lengkap dan mendalam
dari pada melewati pengalaman. Hal ini karena pada pelaksanaan diklat
dirancang berdasarkan sistem belajar yang terstruktrur yang dibimbing oleh
banyak fasilitator dan penyelenggara. Lain halnya dengan perkembangan
kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman, dimana lebih banyak
didasarkan pada kegiatan praktek langsung sebagai respon dari kebutuhan
hidup dimana selama ini sumber daya tersebut tinggal dan bermukim.
Competency Based Education and Training (CBET) merupakan
salah satu pendekatan dalam pengembangan kompetensi sumber daya
47
manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Competency Based
Education and Training (CBET) sangat fleksibel dalam proses kesempatan
untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil Competency
Based Education and Training (CBET) menuntut persyaratan dan
karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara
nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada
umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input),
proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak
sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.
Tujuan Competency Based Education and Training (CBET) adalah
agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama
Competency Based Education and Training (CBET) adalah menghasilkan
kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk
pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam
berbagai pekerjaan dan jabatan.
Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan
sertifiikasi. Hasil Competency Based Education and Training (CBET)
hendaknya dihubungkan dengan standar kompetensi yang akan diberikan.
Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja Kebutuhan
multi – skilling Alur karir (career path). Menurut Rylatt 44, terdapat 9 prinsip
yang harus diperhatikan dalam Competency Based Education and Training
(CBET):
44
Rylatt , Op. Cit ,1993, p.88-89
48
a) Bermakna.
Praktek terbaik Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama
bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik.
b) Hasil pembelajaran
Competency Based Education and Training (CBET) lebih difokuskan
pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan
pelatihan.
c) Fleksibel
Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun
informal.
d) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya.
Competency Based Education and Training (CBET) mengakui
pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta, sehingga mereka tidak
dituntut harus mengikuti pendidikan dan pelatihan sampai akhir. Bila
kemudian peserta mengikuti ujian dan lulus ujian kompetensi maka
mereka berhak memperoleh kelulusan dan kualifikasi.
e) Tidak didasarkan atas waktu.
Competency Based Education and Training (CBET) tidak dibatasi oleh
waktu. Perbedaan kemampuan setiap peserta akan menentukan
lamanya proses pendidikan dan pelatihan
49
f) Penilaian yang diperlukan.
Competency Based Education and Training (CBET) sangat
memperhatikan kemampuan memperagakan kompetensi sehingga
setiap orang perlu untuk dnilai tingkat kompetensinya.
g) Monitoring dan evaluasi.
Proses ini mutlak diperlukan mulai dari masukan, proses sampai pada
keluaran.
h) Konsistensi secara nasional.
Competency Based Education and Training (CBET) berlandaskan pada
penampilan kompetensi yang secara nasional konsisten dengan
kebutuhan industri sehingga hasilnya seseorang karyawan dapat
dterima di tempat lain dan dapat dipekerjakan secara nasional.
i) Akredetasi pembelajaran
Kurikulum yang digunakan dalam Competency Based Education and
Training (CBET)harus memperoleh pengakuan dari badan / instansi
yang berkompeten.
Sistem Competency Based Education and Training (CBET) dapat
dilakukan dengan berbagai model, salah satu diantaranya adalah Model
Sistem Strategik Competency Based Education and Training (CBET) pada
perusahaan yang dilakukan melalui 5 tahap. Menurut Dubois45, tahap-tahap
tersebut adalah Analisis kebutuhan penilaian dan perencanaan,
Pengembangan Model Kompetensi, Perencanaan Kurikulum, Perancangan
dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran, dan Evaluasi.
45
Dubois, Op.Cit, 88
50
3. Pelatihan Konvensional
Pelatihan konvensional adalah kegiatan pelatihan yang lebih
banyak menekankan pada input (masukan berupa misalnya materi, kriteria
peserta dan lain lain) dan proses serta produk yang banyak variasi dalam
upaya meningkatkan kinerja peserta. Model pelatihan ini karena terlalu
banyak variasi kadang-kadang output yang ingin dicapai menjadi tidak
terukur.
Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan
selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi
objek pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin
dicapainya sendiri sebagaimana dalam Competency Based Education and
Training (CBET).
Pemahaman yang dimaksud model pelatihan konvensional dalam
peneltian ini adalah segala kegiatan pendidikan dan pelatihan yang lebih
menekakan kepada variasi input, proses dan produk (lulusan) dalam
mencapai peningkatan kinerja. Atau dengan kata lain, model pelatihan
konvensional adalah model pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis
kompetensi.
51
B. Motivasi Kerja Kerja
1. Pengertian Motivasi Kerja
Tindakan seseorang dalam kontek apapun termasuk dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diawali oleh adanya tenaga
dorongan dari dalam dirinya serta rangsangan yang berasal dari
lingkungannya. Dorongan dari dalam dirinya berkaitan erat dengan
kebutuhannya, sedangkan rangsangan dari luar berkaitan erat dengan cita-
cita dan harapannya seperti status sosial, uang, jabatan dan lain-lain.
Menurut Danim, motivasi (motivation) diartikan sebagai kekuatan,
dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologi yang
mendorong seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi
tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya.46 Terkait arti kognitif,
motivasi diasumsikan sebagai aktivitas individu untuk menentukan
kerangka dasar tujuan dan penentuan perilaku untuk mencapai tujuan.
Menekankan pada arti afeksi, motivasi bermakna sikap dan nilai dasar yang
dianut oleh seseorang atau sekelompok orang untuk bertindak atau tidak
bertindak.
Menurut Hasibuan, motivasi adalah daya penggerak yang
menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama,
bekerja efektif dan terintegerasi dengan segala upaya-upayanya untuk
46
Sudarwan Danim, Prof.,Dr., Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, (PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2004), hlm. 2.
52
mencapai kepuasan.47 Selanjutnya menurut Hasibuan ada hal-hal yang
dapat memotivasi bawahan, yaitu:
1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang
yang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggungjawab,
kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya
penagkuan atas semuanya itu.
2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang
bersifat embel-embel pada pekerjaan, tunjangan, sebutan jabatan, hak,
gaji, dan lain-lain.
3) Karyawan kecewa jika peluang untuk berprestasi terbatas, mereka
akan sensitif pada lingkungannya serta mencari-cari kesalahan.
Sedangkan Akitson dan Hilgard yang dikutip Hariandja motivasi
diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku
atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan
dalam usaha yang keras atau lemah.48
Bila apa yang merupakan kebutuhan pegawai itu sudah dapat
diketahui dan dirumuskan dengan pasti, maka selanjutnya perlu
direncanakan cara-cara memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan perkataan
lain harus ditemukan pula metode-metode, alat dan sarana-sarana yang
cocok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Maslow seperti dikutip oleh Husein berhasil mengembangkan suatu
teori tentang adanya tingkat kebutuhan manusia :
47
Hasibuan, Malayu H.SP, Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta, 2003), hlm. 97.
48 Hariandja,Op Cit, hlm. 321.
53
1) Kebutuhan fisik (the physiological needs)
2) Kebutuhan akan rasa aman (the safety needs)
3) Kebutuhan untuk dicintai (the love needs)
4) Kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs)
5) Kebutuhan untuk aktualitas diri (the needs for self-actualization)49
Teori Maslow mengenai motivasi didasarkan kepada adanya
tingkat-tingkat kebutuhan dan perubahan daya dorongnya. Perubahan daya
dorong dalam istilah Maslow disebut prepotency berarti bahwa apabila
semua tingkat kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi, maka kebutuhan-
kebutuhan dasar yang bersifat fisik seperti sandang, pangan, papan akan
merupakan kebutuhan yang dominan. Apabila kebutuhan tingkat awal
sudah dapat terpenuhi akan mendorong manusia untuk mencapai tingkat
berikutnya dan seterusnya.
Implikasi manajerial teori Maslow disini adalah bagaimana
memotivasi pegawai atau mengaktifkan, menggerakan perilaku kerja
pegawai kearah peningkatan efektivitas organisasi. Sesuai dengan teori ini,
seorang pegawai tidak akan termotivasi untuk bekerja dengan baik
bilamana pelaksanaan pekerjaan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Gaji, upah atau uang merupakan sarana yang sangat pentinguntuk
memenuhi kebutuhan fisik. Oleh karena itu, memberikan gaji yang layak
kepada karyawan menjadi factor motivasional yang penting untuk
memenuhi kebutuhan tingkat pertama, meskipun gaji dapat juga menjadi
sarana untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Sesuai dengan teori diatas
49
Husein, Op Cit, hlm. 36.
54
juga, bilamana kebutuhan fisik terpenuhi, kebutuhan rasa aman akan
meningkat intensitasnya. Program seperti tunjangan kesehatan, pension,
asuransi dan keselamatan kerja merupakan faktor motivasional yang
sangat penting. Penyediaan sarana ibadat, olahraga, dan berbagai kegiatan
yang bersifat social yang memungkinkan terjadinya interaksi intensif
diantara karyawan juga merupakan faktor motivasional untuk memenuhi
kebutuhan tingkat ketiga. Kesempatan mengembangkan diri melalui
program pendidikan merupakan faktor motivasional untuk memenuhi
kebutuhan tingkat yang lebih tinggi, meskipun tidak semua pegawai
memiliki intensitas kebutuhan untuk ini.
Kemudian Randall S. Schuler dalam Husein menerangkan kaitan
antara motivasi dengan perilaku pegawai atau individu dalam suatu
organisasi memotivasi pegawai berarti upaya mendapatkan pegawai
dengan cara terus menerus berusaha menghilangkan prilaku yang tidak
dikehendaki oleh organisasi.50 Perilaku yang tidak dikehendaki oleh
organisasi adalah rendahnya kinerja pegawai, tingginya tingkat
ketidakhadiran pegawai, tingkat keluar masuknya pegawai dan perilaku
pegawai yang menghindari tugas dan tanggung jawab. Sedangkan perilaku
yang diinginkan oleh organisasi adalah, kinerja, kehadiran, keterikatan
pegawai pada organisasi dan budaya kerja.
Teori tentang motivasi selanjutnya dijelaskan oleh Sudarwan
Danim melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) tentang motivasi
dibangun atas pendekatan kognitif. Ada tiga konsep esensial yang
50
Ibid, hlm. 32.
55
mendasari motivasi manusia, yaitu pengharapan, nilai dan penghargaan.51
Melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) menerangkan bahwa
manusia dalam pekerjaannya biasanya mempunyai beberapa alternatif-
alternatif untuk dipilih. Dan dia harus memilih satu diantara alternatif-
alternatif tersebut berdasarkan pengharapannya. Dengan perkataan lain,
alternatif yang dipilih haruslah alternatif yang memberi imbalan yang sesuai
dengan prestasi kerja yang dicapai pegawai bersangkutan. Nilai sendiri
adalah tingkatan kesenangan atau kesukaan yang ada di dalam diri individu
untuk mendapatkan sejumlah keuntungan. Nilai yang dimaksud di sini
seperti insentif atau uang, prestasi yang dicapai, kondisi kerja yang baik,
kesempatan untuk meningkatkan karier, dan lain-lain. Karena itu nilai juga
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mereka harapkan dari
pekerjaan yang dilakukannya. Sedangkan penghargaan adalah
kepercayaan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh individu adalah esensial
dalam kerangka pemerolehan keuntungan atau kepuasan atas nilai itu.
Menurut Porter dan Miles yang dikutip Sudarwan Danim yang
merupakan pengembangan teori pengharapan, mengemukakan bahwa ada
tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu:
1) Sifat-sifat individual pekerja, antara lain meliputi kepentingan setiap
individu, sikap, kebutuhan, atau harapan yang berbeda dari setiap
individu.
51
Sudarwan damin, Op Cit., hlm. 34.
56
2) Sifat-sifat pekerjaan, antara lain mencakup tugas-tugas yang harus
dilaksanakan, tanggung jawab yang diemban dan kepuasan yang
muncul.
3) Lingkungan kerja dan situasi kerja karyawan. Pola interaksi antar
karyawan sangat mempengaruhi aktivitasnya dalam bekerja. Dia dapat
dimotivator oleh rekan kerja. Penghargaan atasan dan manfaat
organisasi menentukan motivasi bekerja seseorang.52
Jelas terlihat bahwa maka motivasi memiliki peran penting bagi
organisasi untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala
daya dan potensi tenaga kerja yang ada kearah pemanfaatan yang optimal
sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia dengan didukung sarana
dan prasarana. Jelas terlihat bahwa motivasi berperan sebagai pendorong
kemauan dan keinginan untuk melaksanakan tugas menurut ukuran dan
batasan yang telah ditentukan. Adanya motivasi yang tinggi dari para
sumber daya akan terdorong untuk bekerja keras dengan memanfaatkan
kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam melaksanakan tugas
pekerjaan yang dibebankannya.
Pengertian motivasi kerja menurut Liang Gie yang dikutip
Samsudin, motivasi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh manjer dalam
memberikan inspirasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam
hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu.53
Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan orang-orang atau
52
Ibid, hlm. 34-35. 53
Sadili, Samsudin, Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan kesatu, (CV. Pustaka, Bandung: 2006), hlm. 281-282.
57
karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil yang
dikehendaki orang-orang tersebut. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang
menimbulkan dorongan atau semangat kerja karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan,
peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan.
Selain itu juga dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan kebutuhannya
masing-masing.
Menurut teori Modern tentang motivasi kerja antara lain
dikembangkan Douglas McGregor yang dikutip Sudarwan Danim yang
disebut Teori Y. Menekankan pada asumsi bahwa motivasi manusia akan
terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada
tantangan-tantangan.54 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama
antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang
signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja
semata-mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas
imbalan saja. Ada beberapa hal alasan manusia bekerja, yaitu:
1) Adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak
2) Tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja dan menjadikan
ukuran keberhasilannya.
3) Dorongan untuk berprestasi
4) Rasa ingin mencapai tujuan secara cepat atau kesadaran akan
tujuannya, didasari oleh: pertama, memiliki kesediaan dan kesadaran
yang tinggi untuk menerima ide dan memecahkan masalah-masalah
54
Sudarwan Danim, Op Cit., hlm. 36.
58
bersama secara inovatif. Kedua, berani mengemukakan pendapat dan
mempertanggungjawabkan demi kemajuan organisasi. Ketiga,
menghargai dunia organisasi dan kepemimpinan orang lain. Keempat,
rasa hrga diri yang tinggi, dan tidak terjebak dalam fanatisme sempit.
Kelima, menghargai data statistik sebagai hasil dari pengamatan
langsung, menghargai prestasi diri sendiri dan orang lain secara wajar.
Keenam, memeiliki antisipasi atau berpikir ke depan dengan
memperhatikan masa sekarang dan kearifan masa lalu. Dan ketujuh,
memperhatikan kepentingan umum di samping kebutuhan individu.
5) Suasana atau iklim lingkungan kerja yang sehat
6) Terpenuhinya kebutuhan pribadi, seperti rasa ingin tumbuh dan
berkembang dalam hal rasa ingin berprestasi, keinginan menerima
tanggungjawab, harga diri, kebutuhan biologis, dan penghargaan hasil
yang dicapai.
Mengacu pada berbagai pandangan diatas, dapat disimpulkan
bahwa motivasi kerja merupakan dorongan dari dalam atau luar diri
seseorang untuk bekerja dengan tekun dan fokus agar dapat mencapai
tujuan perusahaan maupun tujuan pribadinya sehingga akan meningkatkan
kinerja pegawai dalam suatu organisasi. Dengan termotivasinya pegawai
didalam melakukan pekerjaannya maka dengan sendirinya kinerja pegawai
akan meningkat juga.
59
2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja
Berpijak dari berbagai konsep teori motivasi yang dideskripsikan
diatas, indikator motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah
didasari oleh teori pengharapan menurut Porter dan Miles yang dikutip
Danim yang merupakan pengembangan teori tersebut, mengemukakan
bahwa ada tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam
bekerja, antara lain sifat-sifat individual pekerja, sifat-sifat pekerjaan, dan
lingkungan kerja serta situasi kerja karyawan.55
Selain itu, juga terkait teori modern tentang motivasi kerja yang
dikembangkan Douglas McGregor sebagaimana dikutip Danim yang
disebut dengan Teori Y dengan asumsi bahwa motivasi manusia akan
terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada
tantangan-tantangan”.56 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama
antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang
signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja
semata-mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas
imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, antara lain: adanya
kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak, tugas pokok dan fungsinya
menuntut dia bekerja, dorongan untuk berprestasi, rasa ingin mencapai
tujuan secara cepat dengan kesadaran akan tujuan, suasana atau iklim
lingkungan kerja yang sehat, dan terpenuhinya kebutuhan pribadi.
55
Ibid, hlm. 34-35. 56
Ibid, hlm. 36.
60
Berdasarkan penjabaran di atas maka dimensi dalam motivasi kerja
terdiri atas motif, harapan dan komitmen. Masing-masing dimensi
dijabarkan dalam beberapa indikator sebagaimana disebutkan dalam tabel
berikut:
Tabel 2.2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja
Dimensi Indikator
Motif
Segenap kemampuan dan tenaga
Kepuasan dari pekerjaan
Hasrat yang kuat dalam bekerja
Mencari tantangan baru
Kemampuan bekerja
Pekerjaan menantang.
Harapan
Membuat jadwal
Menerapkan program
Memiliki jalur karir yang baik
Menunjukkan loyalitas
Adanya penerapan sanksi yang adil
Komitmen
Termotivasi dalam segala hal
Adanya kesempatan untuk maju
Kebebasan menjalankan ibadah
Tanggung jawab
D. Hasil penelitian yang relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Seger57 menganalisa tentang
hubungan antara motivasi, diklat dalam kaitannya dengan disiplin kerja
pegawai di lingkungan Badan Diklat Keuangan Departemen Keuangan.
Penelitian ini membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara
variabel diklat dan motivasi terhadap disiplin pegawai. Artinya dengan
57
Seger, Analisis Hubungan Motivasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Kepuasan Kerja Terhadap Disipli Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan. Tesis Program Pascasarjana. (Magister Manajemen. Universitas Bhayangkara. Jakarta: 2005), hlm. 15.
61
disiplin yang dimiliki oleh pegawai maka akan memudahkan para pimpinan
membina bawahannya. Disiplin terkait dengan pemberian motivasi,
pemberian pendidikan dan pelatihan, dan kepuasan kerja pegawai dan
dengan disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab
seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Sahlan58 menganalisa tentang
pengaruh disiplin dan insentif terhadap prestasi kerja karyawan pada PT.
Rapico Busana Permata Indah membuktikan bahwa keduanya (disiplin dan
insentif) mempunyai hubungan yang signifikan secara bersama-sama.
Artinya pula apabila antara keduanya maka disiplin mempunyai pengaruh
terhadap prestasi karyawan sedangkan insentif juga mempunyai pengaruh
terhadap prestasi karyawan.
Penelitian tersebut mendorong penulis untuk melakukan analisis
yang sama pada satuan Petugas Satpol PP dengan mengembangkan
hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian sebelumnya melalui desain yang
berbeda dengan variabel bebas yaitu model pelatihan, motivasi, dan
variabel terikat yaitu kinerja pegawai.
E. Kerangka Berfikir
Setiap petugas Satpol PP dituntut untuk memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan
peraturan yaitu membina ketenteraman ketertiban masyarakat
58
Sahlan, Pengaruh Disiplin dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada PT. Rapico Busana Permata Indah. Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen, (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia, Jakarta: 2007), hlm. 102.
62
(tramtibmas), memberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan
tramtibmas dan penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati
oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Tugas dan fungsi yang
luas ini menuntut kinerja yang baik dari setiap personil satpol PP, untuk itu
pendidikan dan pelatihan melalui pendekatan Competency Based
Education and Training (CBET) perlu dilakukan.
Pendidikan dan Pelatihan pada dasarnya mampu meningkatkan
berbagai pengetahuan dan ketrampilan serta usaha untuk memberikan
kemungkinan perubahan sikap yang dilandasi oleh motivasi untuk
berpartisipasi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara tidak
langsung pendidikan dan pelatihan menggunakan pendekatan Competency
Based Education and Training (CBET) dan motivasi adalah faktor
penunjang peningkatan kinerja petugas Satpol PP.
Motivasi kerja merupakan suatu hal yang terkait erat dengan kinerja
petugas satpol PP, kualitas sumber daya manusia yang baik sangatlah
dipengaruhi oleh motivasi yang positif sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan kinerja petugas Satpol PP tersebut. Termotivasinya petugas
Satpol PP didalam melakukan pekerjaannya maka dengan sendirinya
kinerja petugas Satpol PP akan meningkat juga.
Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan
atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan. Kinerja yang baik dapat
diketahui dari produktivitas dan kepuasan dalam bekerja. Dan kinerja
petugas Satpol PP sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
63
kemampuan, ketrampilan fisik tingkat pengetahuan lingkungan dimana
petugas Satpol PP bertugas serta sarana penunjang lainnya termasuk
latihan, bimbingan atau pengaruh dari pimpinan. Tanpa pendekatan
pendidikan dan pelatihan yang baik, sulit bagi organisasi dinas tramtib dan
linmas DKI Jakarta mencapai hasil yang optimal. Pendekatan Strategis
Competency-Based Education and Training (CBET) ini berfokus pada
peningkatan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan
untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam
berbagai pekerjaan dan jabatan petugas Satpol PP. Hal ini mendorong
gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan organisasi, pimpinan
dan petugas Satpol PP itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut maka kerangka berpikir dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) dengan kinerja
petugas yang mengikuti model pelatihan konvensional.
Kerangka ini berdasarkan uraian di atas bahwa pelatihan berbasis
kompetensi lebih baik dibandingkan model pelatihan lain. Hal ini
dikarenakan dalam Competency Based Education and Training (CBET),
seorang sumber daya dituntut untuk dapat menentukan kompetesi yang
diinginkan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan dalam suatu organisasi.
Competency Based Education and Training (CBET) lebih fleksibel dalam
penentuan kompetensi tersebut. Dalam Competency Based Education and
64
Training (CBET), diberlakukan penilaian autentik dimana peserta sendiri
yang menilai dirinya apakah ia sudah mampu mengusai kompetensi yang
dimaksudkan atau tidak.
Berbeda dengan model pelatihan biasa yang cenderung menuntut
kompetensi tertentu baik dalam hal input peserta, proses yang harus
dilakukan dan lain sebagainya sehingga kadang-kadang pelatihan yang
diadakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta. Akhirnya tujuan pelatihan
untuk meningkatkan kinerja karyawan justru tidak tercapai secara
maksimal. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa kinerja petugas satpol PP
yang mengikuti model Competency Based Education and Training (CBET)
pada lebih tinggi dibandingkan kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti
model pelatihan konvensinal.
2. Terdapat Pengaruh Interkasi antara model Pelatihan dengan motivasi
kerja terhadap kinerja petugas Satpol PP
Salah satu faktor utama dalam kinerja adalah motivasi seseorang.
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan di atas, motivasi kerja
seseorang sangat mempengaruhi kinerjanya. Orang yang memiliki motivasi
kerja tinggi cenderung melakukan berbagai aktifitas tertentu yang dapat
mendukung dalam meningkatkan kinerjanya. Salah satu aktifitas yang
dapat ia lakukan adalah mengikuti berbagai pelatihan yang
diselenggarakan.
Pelatihan yang baik adalah pelatihan yang mampu mengarahkan
peserta latihan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan dan
65
Pelatihan harus mampu melihat karakteristik peserta latih sebagai acuan
dalam proses dan pendekatan yang digunakan dalam pendidikan dan
pelatihan. Salah satu karakterstik peserta yang harus diperhatikan dan
menjadi landasan adalah motivasi kerja para peserta. Oleh karena itu,
dapat diduga bahwa terdapat pengaruh interaksi model pelatihan dengan
motivasi kerja terhadap kinerja sseorang.
Pendidikan dan pelatihan yang mendasarkan diri pada penilaian
autentik sangat sesuai dengan tipe peserta yang memiliki motibasi kerja
yang tinggi. Sebaliknya model pelatihan yang konvensional bersesuaian
dengan peserta yang memiliki motivasi rendah. Oleh karena itu, dalam
pengaruh interaksi ini, terdapat dua dugaan yaitu, pertama, bahwa kinerja
petugas satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi
dibandingkan kinerja peserta yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti
pelatihan konvensioal. Dugaan kedua adalah kinerja petugas Satpol PP
yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti pelatihan konvensional lebih
tinggi dibandingkan dengan petugas satpol PP yang memiliki motivasi
rendah dan mengikuti Competency Based Education and Training (CBET).
F. Hipotesis penelitian
Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berfikir di atas, maka
diajukan hipotesis sebagai berikut:
1) Terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti
Competency Based Education and Training (CBET) dan pelatihan
konvesional. Kinerja petugas satpol PP yang mengikuti model
66
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi
dibandingkan dengan petugas yang mengikuti model pelatihan
konvensional.
2) Terdapat pengaruh interaksi kinerja antara model pelatihan dengan
motivasi kerja petugas Satpol PP.
3) Kinerja satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan mengikuti
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi daripada
kinerja satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti pelatihan
konvensional.
4) Kinerja satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti
pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja satpol PP yang
memiliki motivasi rendah dan mengikuti pelatihan Competency Based
Education and Training (CBET).
67
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan penelitian
Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan
dengan mempertimbangkan motivasi kerja. Secara rinci, tujuan penelitian
operasional penelitian ini adalah untuk mengetahui:
3. Perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikut model
Competency Based Education and Training (CBET) dan pelatihan
konvensional.
4. Pengaruh interaksi model pendidikan dan pelatihan dengan motivasi kerja
terhadap kinerja petugas Satpol PP.
5. Kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari
dibandingkan kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti
model pelatihan konvensional.
6. Kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti model
pelatihan konvensional lebih tinggi dibandingkan kinerja petugas Satpol PP
yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti pelatihan konvensional.
68
B. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib)
DKI Jakarta. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa Dinas
Tramtib Provinsi DKI Jakarta merupakan institusi yang membawahi petugas
Satpol PP di tingkat provinsi. Dinas tramtib Provinsi DKI Jakarta adalah pusat
komado bagi petugas Satpol PP di provinsi DKI jakarta.
Adapun waktu penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, terhitung bulan
November 2008 sampai dengan April 2009.
C. Metode dan desain penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian quasi eksperimen karena penelitian ini
menguraikan hubungan antara suatu perlakuan varaibel dengan variabel lain
dimana perlakukan tersebut adalah peristiwa yang telah terjadi sebelumnya.
Artinya perlakuan tersebut terjadi bukan disebabkan oleh peneliti.
Variabel penelitian terdiri dari: (1) variabel perlakuan (bebas), (2)
variabel atribut dan (3) variabel terikat. Variabel perlakuan adalah model
pelatihan, variabel atribut adalah motivasi kerja, dan variabel terikat atau varibel
kriteria adalah kinerja petugas Satpol PP. Varibel model pelatihan terdiri dari
model Competence Based Education and Training, dan model pelatihan
konvensional, variabel motivasi kerja terdiri dari tinggi dan rendah.
Disain yang digunakan adalah factorial group design dengan rancangan
A x B . Konstalasi variabel tersebut di atas, dapat dilihat dalam disain penelitian
seperti pada tabel 1 di bawah ini.
69
Tabel 3.1. Rancangan Faktorial A x B
Motivasi
Kerja
(B)
Model Pelatihan
(A)
Competency Based Education and
Training (CBET) (A1)
Konvensional ( A2 )
Tinggi (B1) A1B1 A2B1
Rendah
( B2 ) A1B2 A2B2
Keterangan:
A1 = Model Competence based Education and Training
A2 = Model Pelatihan Konvensional
B1 = Motivasi kerja tinggi
B2 = Motivasi kerja rendah
A1B1 = Kinerja Petugas Satpol PP yang mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) dan
memiliki motivasi kerja tinggi
A1B2 = Kinerja Petugas Satpol PP yang mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) dan
memiliki motivasi kerja rendah
A2B1 = Kinerja Petugas Satpol PP yang mengikuti model pelatihan
konvensional dan memiliki motivasi tinggi
A2B2 = Kinerja Petugas Satpol PP yang mengikuti model pelatihan
konvensional dan memiliki motivasi rendah
70
D. Populasi, sample dan teknik sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas Satpol PP di
Dinas Tramtib Provinsi DKI Jakarta sebagai populasi target. Dipilihnya
petugas satpol PP dari Dinas Tramtib DKI Jakarta karena petugas dari
Dinas Trambib Provinsi DKI Jakarta merupakan petugas Satpol PP
dengan jangkaun tugas paling luas, khusus di Provinsi DKI Jakarta
mencakup seluruh Kotamadya di seluruh wilayah DKI Jakarta. Petugas
satpol PP berjumlah 8000 personel.
2. Sampel Penelitian
Dari jumlah populasi terjangkau di atas, maka dilakukan penarikan
sampel dengan teknik random klaster berstrata (stratified cluster random
sampling). Pengambilan sampel dilakukan melalui prosedur sebagai
berikut:
a. Menentukan instansi dinas tramtib yang akan menjadi kerangka
sampel. Dalam penelitian ini, ditentukan Dinas Tramtib Provinsi DKI
Jakarta menjadi kerangka sampel.
b. Menghitung jumlah seluruh petugas tramtib dari Dinas Tramtib
Provinsi DKI Jakarta. Dari seluruh petugas Satuan Polisi Pamong
Praja yang telah mengikuti pelatihan konvensional dan CBET maka,
kemudian ditentukan jumlah sampel petugas satpol PP yang akan
telah mengikuti pelatihan konvensional maupun pelatihan CBET pada
tahun anggaran 2008 sebanyak 80 petugas Satpol PP sebagai
responden dan 20 petugas satpol PP sebagai sampel uji coba untuk
71
menguji validitas dan reliabilitas angket yang dipergunakan sebagai
alat ukur motivasi dan kinerja petugas satpol PP.
c. Untuk masing-masing kelompok baik untuk kelompok pelatihan
konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40
orang, sehingga total sampel adalah 80 orang.
d. Dari masing-masing kelompok pelatihan dibagi lagi menjadi dua yaitu
20 orang untuk motivasi tinggi dan 20 orang untuk motivasi rendah.
Dengan demikian, komposisi masing-masing subjek sebagai sampel
penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Sampel Penelitian
Motivasi
Model Pelatihan
Jumlah Competency Base Education And Training (CBET)
Konvensional
Tinggi 20 20 20
Rendah
20 20 20
Jumlah 40 40 80
E. Instrumen penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data jenis
kelamin, data motivasi dan data kinerja petugas Satpol PP Dinas Provinsi DKI
Jakarta. Data jenis kelamin diperoleh melalui teknik dokumentasi, sehingga
dalam penelitian ini tidak dilakukan pengembangan instrumen dan uji coba
72
terhadap data tersebut. Data motivasi dan kinerja petugas satpol PP
diperoleh dengan mengembangkan instrumen kedua variabel tersebut.
73
1. Instrumen Motivasi Kerja
a. Definisi Konseptual
Motivasi pada dasarnya merupakan motif atau dorongan dari dalam
atau luar diri seseorang untuk bekerja dengan tekun dan fokus agar
dapat mencapai tujuan perusahaan maupun tujuan pribadinya
sehingga akan meningkatkan kinerja pegawai dalam suatu organisasi.
Motivasi manusia akan terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan
dihadapkan kepada tantangan-tantangan. manusia bekerja semata-
mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas
imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, antara lain:
adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak, adanya komitmen
dalam bentuk tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja,
dorongan untuk berprestasi, dan adanya harapan serta rasa ingin
mencapai tujuan secara cepat dengan kesadaran akan tujuan.
b. Definisi Operasional
Bedasarkan definisi konseptual tersebut, secara operasional motivasi
dapat didefinisikan sebagai penilaian terhadap motif, harapan, dan
komitmen. Dalam upaya untuk mengukur tingkat motivasi petugas
Satpol PP maka peneliti menggunakan angket yang terdiri atas 15 item
pernyataan dengan nilai skor jawaban terdiri dari skala 1 (sangat tidak
setuju) hingga nilai tertinggi yaitu 5 (sangat setuju).
74
2. Instrumen Kinerja
a. Definisi Konseptual
Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang petugas Satpol PP
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan
kepadanya. Adapun peningkatan kinerja dapat diidentifikasi melalui
hasil kerja yang sebesar-besarnya dari pekerjaan tersebut.
Peningkatan kinerja suatu petugas Satpol PP dapat ditingkatkan salah
satunya dengan pemberian insentif dan penghargaan terhadap
produktivitas kerjanya.
b. Definisi Operasional
Bedasarkan definisi konseptual tersebut, secara operasional kinerja
dapat didefinisikan sebagai penilaian terhadap hasil, insentif, dan
produktifitas. untuk mengukur tingkat kinerja petugas satpol PP maka
peneliti menggunakan angket yang terdiri atas 15 item pernyataan
dengan nilai skor jawaban terdiri dari skala 1 (sangat tidak setuju)
hingga nilai tertinggi yaitu 5 (sangat setuju).
75
3. Kisi-kisi Instrumen
a. Kisi-kisi instrumen
Dalam rangka pengukuran keseluruhan variabel penelitian terdiri atas
15 item digunakan skala ordinal dengan rentang skala 1 (satu) hingga
5 (lima). Adapun kisi-kisi keempat variabel pertanyaan dalam
penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Variabel Dimensi Indikator Nomor Butir
Jumlah Jawaban
Motivasi
Motif
Segenap kemampuan dan
tenaga
1,2,3,4,5,6
6
Sangat Setuju
Setuju
Cukup
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju.
Kepuasan dari pekerjaan
Hasrat yang kuat dalam
bekerja
Mencari tantangan baru
Mampu bekerja
Pekerjaan menantang.
Harapan
Membuat jadwal
7,8,9,10,11
5
Menerapkan program
Memiliki jalur karir yang
baik
Menunjukkan loyalitas
Adanya penerapan sanksi
yang adil
Komitmen
Termotivasi dalam segala
hal
12,13,14,15
4
Adanya kesempatan untuk
maju
76
Variabel Dimensi Indikator Nomor Butir
Jumlah Jawaban
Kebebasan menjalankan
ibadah
Tanggung jawab
Kinerja
Hasil
Puas dengan pekerjaan
1,2,3,4,5
5
Sangat Setuju
Setuju
Cukup
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju.
(Y) Pekerjaan tepat waktu
Menyelesaikan pekerjaan
Keyakinan bekerja
Inovasi baru dalam
pekerjaan
Insentif
Pemberian bomus 6,7
2
Menyelesaikan pekerjaan
tenang
Produktif
Mebutuhkan kemampuan 8,9,10,11,12,13,14,15
8
Bangga terhadap
pekerjaan
Tenang dan nyaman
Hasl pekerjaan
Mendalami pengetahuan
tugas
Menjaga kesehatan
Mengabdikan diri dan
pikiran
b. Pembobotan
Perhitungan pembobotan menggunakan skala Likert untuk
pertanyaan yang diberikan pilihan yang ditentukan berdasarkan skala
Likert, seperti terlihat pada Tabel 2.
77
Tabel 3.4. Skala Likert dalam Lembar Kuesioner/Angket
Jawaban Skor Nilai
Sangat Setuju 5
Setuju 4
Cukup 3
Tidak Setuju 2
SangatTidakSetuju 1
Sumber: Sugiyono, (2002 ; 74)
Jawaban yang telah diberi diisi oleh responden, kemudian dijumlahkan
untuk dijadikan skor penelitian terhadap variabel-variabel yang diteliti.
Data dari kuesioner disebut dengan data primer.
F. Uji coba instrumen
1) Pengujian Validitas Instrumen
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
antara butir satu dengan yang lain dari variable A atau B, apakah ada
keselarasan antara butir. Selanjutnya, butir tersebut valid atau tidak
dapat diketahui dengan cara mengkorelasikan antara skor butir dengan
skor total. Bila harga korelasi di bawah 0,361 maka dapat disimpulkan
bahwa butir instrument tersebut tidak valid sehingga perlu diperbaiki atau
dibuang karena tidak selaras dengan butir yang lain. Dan sebaliknya jika
harga korelasi di atas 0,361 maka butir instrument tersebut valid.59
Dari hasil uji coba perhitungan validitas dilakukan terhadap
jawaban 30 reponden dan kemudian mereduksi item-item yang tidak
59
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. (Alfabete:IKAPI. Bandung, 2002), hlm. 287.
78
valid. Nilai α (tingkat kepercayaan) yang digunakan untuk uji validitas
dan uji reabilitas adalah 0,05 dengan derajat bebas N-2 sehingga sampel
30 responden didapatkan nilai r-tabel 0,361. Dan hasil perhitungan
dengan menggunakan program SPSS.v.17, dihasilkan validitas data
sebagai berikut :
Tabel 3.5. Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja
Item-Total Statistics
Perny
ataan Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
X_1 35.10 91.059 .532 .904
X_2 36.17 81.385 .814 .893
X_3 34.90 90.369 .415 .910
X_4 36.23 85.220 .727 .897
Perny
ataan Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
X_6 35.87 93.568 .470 .906
X_8 35.83 85.868 .646 .900
X_9 35.43 90.944 .567 .903
X_10 36.40 83.145 .861 .892
X_11 35.23 90.323 .594 .902
X_12 36.30 85.666 .728 .897
X_15 35.67 93.057 .474 .906
X_16 35.40 91.145 .468 .906
X_18 35.70 91.666 .565 .903
X_19 36.20 85.338 .648 .900
X_20 35.30 91.872 .474 .906
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1 sampai dengan
pertanyaan 15 dinyatakan valid karena nilai korelasinya lebih 0,361. Jadi
kesimpulannya bahwa secara keseluruhan pertanyaan yang ada dalam
79
kuesioner motivasi tersebut dapat digunakan untuk menganalisis
penelitian tersebut.
Tabel 3.6. Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja
Item-Total Statistics
Pernyataan
Scale Mean if Item
Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
Y_1 32.67 87.678 .448 .884
Y_2 32.50 81.845 .606 .878
Y_3 32.73 85.444 .481 .883
Pernyataan
Scale Mean if Item
Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
Y_4 33.67 83.954 .603 .878
Y_5 32.77 85.702 .529 .881
Y_6 32.47 84.257 .430 .887
Y_7 33.53 83.430 .552 .880
Y_8 33.60 87.007 .512 .882
Y_10 33.60 84.041 .646 .877
Y_11 33.43 79.702 .770 .871
Y_12 33.53 79.913 .722 .873
Y_13 33.47 81.913 .775 .872
Y_16 33.27 84.616 .397 .889
Y_17 33.23 82.392 .508 .883
Y_18 32.07 85.995 .438 .885
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1 sampai dengan
pertanyaan 15 dinyatakan valid karena nilai korelasinya lebih 0,361. Jadi
kesimpulannya bahwa secara keseluruhan pertanyaan yang ada dalam kuesioner
kinerja tersebut dapat digunakan untuk menganalisis penelitian tersebut.
80
2) Pengujian Reliabilitas Instrumen
Pengujian reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur derajat
ketepatan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Pada tahap ini
pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik alpha Cronbach. Untuk
keperluan tersebut maka butir-butir instrument penelitian yang telah valid
dibelah menjadi dua kelompok yaitu bagian genap dan bagian ganjil.
Pengujian variabel dengan menggunakan program SPSS versi 12. for
windows. Hasil perhitungan reliabilitas kemudian dikonsultasikan dengan
tabel interpretasi nilai reliabilitas di bawah ini.
Tabel Interpretasi Nilai Reliabilitas60
NILAI ALPA KRITERIA
Alpha < 0.7 kurang meyakinkan (inadequate)
Alpha > 0.7 baik (good)
Alpha > 0.8 istimewa (excellent)
Tabel 3.7. Hasil Analisis Reliabilitas
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.908 15
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS v.17
Berdasarkan pengujian tersebut, 15 pernyataan tentang motivasi
dinyatakan realibel karena memililiki r hitung (α) sebesar = 0,908 (nilai
alpha). Dengan nilai r hitung (α) sebesar = 0,908 maka relaibilitas
60
Nunnally, Jum C., psychometrics 2nd edition,, (New york: Mc Graw Hill, 2002) h, 245
81
instrumen motivasi kerja satpol PP memiliki kriteria reliabilitas yang
sangat tinggi.
Tabel 3.8. Hasil Analisis Reabilitas
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.887 15
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS v.17
Berdasarkan pengujian tersebut, 15 pernyataan tentang kinerja
dinyatakan realibel karena memililiki r hitung (α) sebesar = 0,887 (nilai
alpha). Dengan nilai r hitung (α) sebesar = 0,887 maka relaibilitas
instrumen Kinerja Petugas Satpol PP memiliki kriteria reliabilitas yang
sangat tinggi.
G. Analisis data
Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif dan
inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menyajikan data dalam
bentuk histogram, grafik, perhitungan mean, median, modus, simpangan
baku, dan rentang teoritik masing-masing variabel.
Selanjutnya dilakukan analisis inferensial untuk menguji hipotesis
melalui analisis varian (anava) dengan dua faktor. Anava yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah menguji hipotesis (1) main effect yaitu efek A
dan B, (2) interaction effect yakni efek interaksi A-B dan (3) simple effect.
82
Sebelum dilakukan uji hipotesis, maka perlu diuji persyaratan
analisis data, yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas
dilaksanakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari
populasi yang berdistribusi normal, sedangkan uji homogenitas
dilaksanakan untuk mengetahui apakah data penelitian yang telah
dikumpulkan berasal dari populasi yang homogen. Untuk menguji
normalitas data digunakan rumus uji Lilliefors, dan untuk menguji
homogenitas data digunakan rumus uji Barlett.
H. hipotesis statistik
1. Main effect :
H0 : μA1 = μA2
H1 : μA1 > μA2
2. Interaction effect
H0 : μA-B = μA-B
H1 : μA-B > μA-B
3. Simple Effect :
1) H0 : μA1B1 = μA2B1
H1 : μA1B1 μA2B1
2) H0 : μA1B2 = μA2B2
H1 : μA1B2 μA2B2
83
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Sebaran Skor Model Competence based Education and Training
petugas satpol PP (A1)
Hasil analisis data 40 orang petugas satpol PP yang
menggunakan Model Competence based Education and Training
menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150,
sedangkan rentangan empiriknya dari 78 sampai 134. Harga rerata
(mean) sebesar 105,08; simpangan baku (standar deviation) sebesar
17,433 median sebesar 102,5 dan modus sebesar 122.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Model
Competence based Education and Training petugas satpol PP.
Tabel 4.1: Distribusi frekuensi skor Model Competence based Education
and Training petugas satpol PP (A1)
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 78,5 - 87,5 7 17,5 17,5
2 87,5 - 96,5 10 25 42,5
3 96,5 - 105,5 4 10 52,5
4 105,5 - 114,5 3 7,5 60
5 114,5 - 123,5 10 25 85
6 123,5 – 134 6 15 100
Jumlah 40 100
Gambar 4.1:
Skor Model Competence based Education and Training petugas satpol PP (A1)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
84
2. Sebaran Skor Model Pelatihan Konvensional Petugas Satpol PP
(A2)
Hasil analisis data 40 orang petugas satpol PP yang
menggunakan model pelatihan konvensional menunjukkan bahwa
rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan
empiriknya dari 61 sampai 112. Harga rerata (mean) sebesar 75,5;
simpangan baku (standar deviation) sebesar 14,245 median sebesar
71 dan modus sebesar 67.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor model
pelatihan konvensional petugas satpol PP.
0
2
4
6
8
10
12
78,5 - 87,5 87,5 - 96,5 96,5 - 105,5 105,5 -114,5
114,5 -123,5
123,5 - 134
85
Tabel 4.2:
Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan Konvensional petugas satpol PP (A2)
No Nilai f.
Absolut f. Relatif
f. Kumulatif (%)
1 61,5 - 70 20 50 50
2 70 - 78,5 10 25 75
3 78,5 - 87 4 10 85
4 87 - 95,5 1 2,5 87,5
5 95,5 - 104 1 2,5 90
6 104 - 112,5 4 10 100
Jumlah 40 100
Gambar 4.2: Skor Model Konvensional Petugas Satpol PP (A2)
3. Sebaran Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi (B1).
Hasil analisis data motivasi kerja 40 orang petugas satpol PP
yang memiliki motivasi kerja tinggi menunjukkan bahwa rentangan
0
5
10
15
20
25
61,5 - 70 70 - 78,5 78,5 - 87 87 - 95,5 95,5 - 104 104 - 112,5
86
teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya
dari 74 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 103,3; simpangan
baku (standar deviation) sebesar 20,817 median sebesar 109,5 dan
modus sebesar 76.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor motivasi
kerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi.
Tabel 4.3: Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1)
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 74,5 - 84,5 13 32,5 32,5
2 84,5 - 94,5 1 2,5 35
3 94,5 - 104,5 3 7,5 42,5
4 104,5 - 114,5 7 17,5 60
5 114,5 - 124,5 10 25 85
6 124,5 - 134,5 6 15 100
Jumlah 40 100
87
Gambar 4.3: Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Tinggi (B1)
4. Sebaran Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki
Motivasi Kerja rendah (B2).
Hasil analisis data motivasi kerja 40 orang petugas satpol PP
yang memiliki motivasi kerja rendah menunjukkan bahwa rentangan
teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya
dari 61 sampai 103. Harga rerata (mean) sebesar 77,25; simpangan
baku (standar deviation) sebesar 13,167 median sebesar 73 dan
modus sebesar 67.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor motivasi
kerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah.
0
2
4
6
8
10
12
14
74,5 - 84,5 84,5 - 94,5 94,5 -104,5
104,5 -114,5
114,5 -124,5
124,5 -134,5
Series1
88
Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (B2)
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 61,5 - 68,5 20 50 50
2 68,5 - 75,5 0 0 50
3 75,5 - 82,5 3 7,5 57,5
4 82,5 - 88,5 6 15 72,5
5 88,5 - 95,5 8 20 92,5
6 95,5 - 103 3 7,5 100
Jumlah 40 100
Gambar 4.4: Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Rendah (B2)
5. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
Hasil analisis data 20 orang petugas satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang
0
5
10
15
20
25
61,5 - 68,5 68,5 - 75,5 75,5 - 82,5 82,5 - 88,5 88,5 - 95,5 95,5 - 103
89
memiliki motivasi kerja tinggi menunjukkan bahwa rentangan teoritik
skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari
102 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 120,85; simpangan
baku (standar deviation) sebesar 7,435 median sebesar 122 dan
modus sebesar 122.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. petugas
satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki motivasi kerja tinggi.
Tabel 4.5: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 102,5 - 107,5 1 5 5
2 107,5 - 112,5 2 10 15
3 112,5 - 117,5 2 10 25
4 117,5 - 122,5 7 35 60
5 122,5 - 127,5 4 20 80
6 127,5 - 134,5 4 20 100
Jumlah 20 100
90
Gambar 4.5: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
6. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki
Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP
yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and
Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah menunjukkan bahwa
rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan
empiriknya dari 78 sampai 103. Harga rerata (mean) sebesar 89,3;
simpangan baku (standar deviation) sebesar 6,681 median sebesar 90
dan modus sebesar 90.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
102,5 -107,5
107,5 -112,5
112,5 -117,5
117,5 -122,5
122,5 -127,5
127,5 -134,5
91
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah.
Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
Gambar 4.6: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
7. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
78,5 - 82,5 82,5 - 86,5 86,5 - 90,5 90,5 - 94,5 94,5 - 98,5 98,5 - 103,5
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 78,5 - 82,5 3 15 15
2 82,5 - 86,5 3 15 30
3 86,5 - 90,5 7 35 65
4 90,5 - 94,5 3 15 80
5 94,5 - 98,5 2 10 90
6 98,5 - 103,5 2 10 100
Jumlah 20 100
92
Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP
yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja
Tinggi menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai
150, sedangkan rentangan empiriknya dari 74 sampai 112. Harga
rerata (mean) sebesar 85,8; simpangan baku (standar deviation)
sebesar 1,369 median sebesar 77,5 dan modus sebesar 76.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi.
Tabel 4.7: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi
(A2B1).
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 74,5 - 80,5 11 55 55
2 80,5 - 86,5 3 15 70
3 86,5 - 92,5 0 0 70
4 92,5 - 98,5 2 10 80
5 98,5 - 104,5 0 0 80
6 104,5 - 112,5 4 20 100
Jumlah 20 100
93
Gambar 4.7: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional
yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).
8. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP
yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja
Rendah menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0
sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 61 sampai 68.
Harga rerata (mean) sebesar 65,2; simpangan baku (standar
deviation) sebesar 2,353 median sebesar 66 dan modus sebesar 67.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki
Motivasi Kerja Rendah.
0
2
4
6
8
10
12
74,5 - 80,5 80,5 - 86,5 86,5 - 92,5 92,5 - 98,5 98,5 - 104,5 104,5 - 112,5
94
Tabel 4.8: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
No Nilai f. Absolut f. Relatif f. Kumulatif
(%)
1 61,5 - 62,5 3 15 15
2 62,5 - 63,5 1 5 20
3 63,5 - 64,5 4 20 40
4 64,5 - 65,5 1 5 45
5 65,5 - 66,5 3 15 60
6 66,5 - 68,5 8 40 100
Jumlah 20 100
Gambar 4.8: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional
yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
Apabila hasil-hasil keseluruhan deskripsi data tersebut di atas dinyatakan
dalam bentuk tabel, maka diperoleh data-data sebagai berikut:
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
61,5 - 62,5 62,5 - 63,5 63,5 - 64,5 64,5 - 65,5 65,5 - 66,5 66,5 - 68,5
95
Tabel 4.9: Rekapitulasi deskripsi data rata-rata model pelatihan dan
Motivasi kerja terhadap kinerja petugas satuan polisi pamong praja
NO Kelompok N
Skor Hasil Belajar Mean SD Me Mo
Max Min
1
Sebaran Skor Model
Competence based
Education and Training
petugas satpol PP (A1)
40 134 78 105,0
8 17,43
3 102,
5 122
2
Sebaran Skor Model Pelatihan Konvensional Petugas Satpol PP (A2)
40 112 61 75,5 14,24
5 71 67
3
Sebaran Skor Motivasi
Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi
Kerja Tinggi (B1).
40 134 74 103,3 20,81
7 109,
5 76
4
Sebaran Skor Motivasi
Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi
Kerja rendah (B2).
40 103 61 77,25 13,16
7 73 67
5
Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Com- petence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
20 134 102 120,8
5 7,435 122 122
96
NO Kelompok N
Skor Hasil Belajar Mean SD Me Mo
Max Min
6
Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Com- petence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
20 103 78 89,3 6,681 90 90
7
Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional ya- ng memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1)
20
112 74 85,8 1,369 77,5 76
8
Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional ya- ng memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
20 68 61 65,2 2,353 66 67
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data
Pengujian atau uji hipotesis dengan analisis varian dua jalan (Two-way
ANOVA) memerlukan persyaratan analisis data: (1) sampel diambil secara
acak; (2) ukuran sampel minimum dipenuhi; (3) data sampel masing-masing
variabel berdistribusi normal dan homogen.
Persyaratan pertama dan kedua telah dipenuhi sebab sampel penelitian
diambil secara acak dengan ukuran sampel 80 orang (>30 kasus).61 Pengujian
persyaratan ketiga yaitu bahwa sebaran data penelitian berdistribusi normal.
Masing-masing untuk variabel Y, X1 dan X2 melalui piranti lunak SPSS diuji
normalitas dan homogenitasnya.62
61
Masri Singarimbun, dkk. 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, p. 171. 62
Singgih Santoso, 2002, Buku Latihan SPSS Statistik Multivarian, Jakarta: Elexmedia Komputindo.
97
1. Uji Normalitas
Uji normalitas terhadap sebaran data di atas, yaitu data kinerja petugas
Satpol PP berdasarkan pemberian model pelatihan dan Motivasi kerja petugas
satpol PP (data kelompok A1B1, A2B1, A1B2 dan A2B2 sebagai mana dibahas
pada deskripsi data di awal Bab 4 ini). Secara manual uji normalitas dapat
dilakukan dengan uji Lilliefors atau dapat juga dengan Chi-square,63 dari hasil
perhitungan menggunakan uji Lilliefors skor petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training dan metode
konvensional yang dikelompokkan berdasarkan motivasi kerja yang dimiliki.
Adapun kriteria pengujiannya adalah jika Lhitung > Ltabel maka data berdistribusi
normal dan jika Lhitung < Ltabel maka data tidak berdistribusi normal.
Hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki
motivasi tinggi (A1B1) diperoleh Lhitung sebesar 0,1438. Untuk Ltabel dengan α
sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan Lhitung
(0,1438) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and
Training yang memiliki motivasi tinggi (A1B1) adalah berdistribusi normal.
Sedangkan untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang
memiliki motivasi rendah (A1B2) diperoleh Lhitung sebesar 0,1102. Untuk Ltabel
dengan α sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan
63
H.R. Santosa Nurwani, 1999, Statistika Terapan (Teknik Analisa Data), Jakarta: Program Pasca Sarjana UHAMKA, p. 18-20.
98
Lhitung (0,1102) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor
petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki motivasi rendah (A1B2) adalah
berdistribusi normal.
Untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi tinggi (A2B1)
diperoleh Lhitung sebesar 0,1706. Untuk Ltabel dengan α sebesar 0,05 pada tabel
Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan Lhitung (0,1706) > Ltabel (0,1900),
maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi rendah (A2B1) adalah
berdistribusi normal. Sedangkan untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor
petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki
motivasi rendah (A2B2) diperoleh Lhitung sebesar 0,1517. Untuk Ltabel dengan α
sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan Lhitung
(0,1517) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi
rendah (A2B2) adala berdistribusi normal.
Dari perhitungan uji normalitas dengan menggunakan Uji Liliefors
keempat kelompok data di atas, maka dapat dirangkumkan dalam tabel di
bawah ini:
99
Tabel Tabel 4.10:
Tabel Pengujian Normalitas
Sumber Data
Lhitung Ltabel Kesimpulan
A1B1 0,1438 0,1900 Data Berdistribusi Normal
A1B2 0,1102 0,1900 Data Berdistribusi Normal
A2B1 0,1706 0,1900 Data Berdistribusi Normal
A2B2 0,1517 0,1900 Data Berdistribusi Normal
2. Uji Homogenitas Variansi
Uji homogenitas variansi dimaksudkan untuk menguji homogenitas varian
antar kelompok-kelompok skor Y yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan
nilai X. Pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan Uji F. Yakni
menghitung rasio antara varians terbesar dengan varians terkecil dari kelompok
yang diuji. Hasilnya adalah sebagai berikut:
a. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A2B1
Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi motivasi bekerja
kelompok data A1B1 atas kelompok data A2B1 diperoleh output SPSS
sebagai berikut:
Tabel 4.12:
Test of Homogeneity of Variances
A1B1
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.328a 11 63 .230
100
Test of Homogeneity of Variances
A1B1
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.328a 11 63 .230
Tabel 4.13:
ANOVA
A1B1
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 548.750 13 42.212 .505 .858
Within Groups 501.800 6 83.633
Total 1050.550 19
Adapun kriteria pengujian homogenitas variansi ini adalah sebagai
berikut:
a) Distribusi data dinyatakan homogen bila nilai Sig. (dibaca:
probabilitas signifikasi) baik pada tabel Test of Homogenity of
Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih besar dari 0, 05.
b) Distribusi data dinyatakan tidak homogen bila nilai Sig. baik pada
tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di
atas lebih kecil dari 0, 05.64
Dengan memperhatikan nilai Sig. pada tabel Test of Homogenity of
Variances sebesar 0, 230 dan pada tabel ANOVA sebesar 0,858, maka
dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1 atas A2B1 terpenuhi.
64
Santoso.2002., Loc.Cit.
101
b. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A1B2
Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi hasil belajar
Bahasa Indonesia kelompok data A1B1 atas kelompok data A1B2
diperoleh output SPSS sebagai berikut:
102
Tabel 4.14:
Test of Homogeneity of Variances
A1B1
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.299a 10 63 .251
Tabel 4.15:
ANOVA
A1B1
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 761.800 14 54.414 .942 .578
Within Groups 288.750 5 57.750
Total 1050.550 19
Adapun kriteria pengujian homogenitas variansi ini adalah sebagai berikut:
a) Distribusi data dinyatakan homogen bila nilai Sig. (dibaca: probabilitas
signifikansi) baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun
tabel ANOVA di atas lebih besar dari 0, 05.
b) Distribusi data dinyatakan tidak homogen bila nilai Sig. baik tabel Test of
Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih kecil dari 0,
05.65
Dengan memperhatikan nilai Sig. pada tabel Test of Homogenity of
Variances sebesar 0, 251 dan pada tabel ANOVA sebesar 0,578; maka
dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1 atas A1B2 terpenuhi.
65
Ibid.
103
c. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A2B2
Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi hasil belajar
Bahasa Indonesia kelompok A1B1 atas kelompok data A2B2 diperoleh
output SPSS sebagai berikut:
Tabel 4.16: Test of Homogeneity of Variances
A1B1
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.761 4 13 .569
Tabel 4.17:
ANOVA
A1B1
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 457.417 6 76.236 1.671 .206
Within Groups 593.133 13 45.626
Total 1050.550 19
Adapun kriteria pengujian homogenitas variansi ini adalah sebagai berikut:
a) Distribusi data dinyatakan homogen bila nilai Sig. (dibaca: probabilitas
signifikansi) baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun
tabel ANOVA di atas lebih besar dari 0, 05.
b) Distribusi data dinyatakan tidak homogen bila nilai Sig. baik pada tabel
Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih kecil
dari 0, 05.66
66
Ibid.
104
Dengan memperhatikan nilai Sig. (dibaca: probabilitas signifikansi)
pada tabel Test of Homogenity of Variances sebesar 0,569 dan pada tabel
ANOVA sebesar 0,206; maka dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1
atas A2B2 terpenuhi.
Dengan terpenuhinya normalitas dan homogenitas data, maka
penelitian korelasional ini dapat dilakukan dengan menggunakan data
mentah (raw score) dari keempat kelompok data kinerja Petugas Satpol PP
tersebut.
C. Pengujian Hipotesa
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan teknik Analisis Variansi
(ANAVA) dua jalan. Tujuan ANAVA dua jalan adalah menyelidiki dua pengaruh
utama dan satu pengaruh interaksi. Pengaruh utama dibedakan atas model
Pelatihan dan motivasi kerja petugas satpol PP. Hasil perhitungan ANAVA dua
jalan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.18 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kinerja_Petugas
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F
Corrected Model 31691.238a 3 10563.746 144.159
Model_pelatihan 17493.613 1 17493.613 238.728
motivasi_kerja 13598.113 1 13598.113 185.568
Model_pelatihan *
motivasi_kerja 599.512 1 599.512 8.181
Total 689407.000 80
Corrected Total 37260.388 79
105
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kinerja_Petugas
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F
Corrected Model 31691.238a 3 10563.746 144.159
Model_pelatihan 17493.613 1 17493.613 238.728
motivasi_kerja 13598.113 1 13598.113 185.568
Model_pelatihan *
motivasi_kerja 599.512 1 599.512 8.181
Total 689407.000 80
a. R Squared = ,851 (Adjusted R Squared =
,845)
1. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan CBET lebih besar
dari pada Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan
Konvensional.
Berdasarkan Tabel 4.18 di atas pada bagian atau kolom source baris
kedua tertulis model pelatihan dan kolom terkanan atau kolom F (dibaca:
Fhitung) pada baris yang sama tertulis 238.728 lebih besar dari Ftabel = 4,88
untuk taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 238,728 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti
bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian hal ini menunjukkan
bahwa bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini
berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau
keberagaman kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang
menyatakan, ”Rata-rata kinerja petugas satpol PP yang diberi pelatihan CBET
lebih tinggi daripada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan
konvensional”, diterima dan teruji kebenarannya.
106
2. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan
memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja
petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan
memiliki motivasi kerja tinggi.
Berdasarkan Tabel 4.18 di atas bagian atau kolom source baris
ketiga tertulis motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang
sama tertulis 158,568 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01
(Fhitung = 158,568 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Dengan demikian bahwa motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol
PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, ”Rata-rata Kinerja Petugas
Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi
lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan
konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi”, diterima. Kesimpulannya
kedua jenis model pelatihan memberikan kinerja yang berbeda pada petugas
Satpol PP.
3. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan CBET dan
memiliki Motivasi Kerja Rendah adalah lebih tinggi dari pada Kinerja
Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan Konvensional dan
memiliki Motivasi Kerja Rendah.
Berdasarkan Tabel 4.18 di atas bagian atau kolom source baris
ketiga tertulis motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang
sama tertulis 158,568 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01
(Fhitung = 158,568 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Hal
107
ini menunjukkan bahwa motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol
PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, ”Rata-rata kinerja petugas
Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja
rendah adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi
model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja rendah.”, diterima.
Kesimpulannya kedua jenis model pelatihan memberikan memberikan kinerja
yang berbeda pada petugas Satpol PP.
4. Terdapat pengaruh interaksi antara Model Pelatihan dengan Motivasi
Kerja terhadap Kinerja Petugas Satpol PP.
Berdasarkan Tabel 4.18 di atas pada bagian atau kolom source baris
keempat tertulis Model Pelatihan*Motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung)
pada baris yang sama tertulis 8,181 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf
signifikansi 0,01 (Fhitung = 8,181 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1
diterima. menunjukkan bahwa Ho : μA-B = μA-B ditolak. Ini berarti interaksi antara
model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman
kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan,
”Terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja
terhadap kinerja petugas satpol PP”, diterima dan teruji kebenarannya.
Secara umum analisa ini lazimnya dilanjutkan lagi untuk mengetahui
atau mengindikasikan rata-rata kinerja petugas Satpol PP tersebut di atas
yang berbeda satu dari lainnya, atau mencari mana diantara A1B1, A2B1 dan
A1B2 dan A2B2 yang paling tinggi.
108
Analisis biasanya dilanjutkan dengan uji Turkey67 karena dalam hal ini
jumlah data setiap kelompok sama banyaknya yaitu n = 40. Perhitungan uji
Turkey melalui piranti lunak SPSS hanya dapat dilakukan bila setiap variabel
bebas yang diteliti dibedakan atas 3 level atau lebih. Variabel Model pelatihan
dan motivasi kerja petugas satpol PP dalam penelitian ini hanya dibedakan
atas 2 level bentuk model pelatihan (CBET dan konvensional), dan 2 level tipe
motivasi kerja (Tinggi dan Rendah).
Dengan kata lain, untuk mengetahui interaksi mana yang paling
berpengaruh mengakibatkan kinerja petugas Satpol PP mencapai skor yang
maksimal dapat dilakukan cukup dengan hanya melihat skor rata-rata dari 4
kelompok data (A1B1, A2B1, A1B2 dan A2B2) tersebut. Hasilnya adalah
sebagai berikut:
67
Ibid.
109
Tabel 4.19 Perbandingan Skor Rata-rata
Kinerja Petugas Satpol PP
No.
Kelompok Data
Petugas Satpol
PP
Rata-rata Kinerja
Petugas Satpol PP
Peringkat Rata-rata Ki-
nerja Petugas Satpol
PP
1 A1B1 120,85 1
2 A1B2 89,3 2
3 A2B1 85,8 3
4 A2B2 65,2 4
Berdasarkan Tabel 4.20 di atas dapat dinyatakan dua hal sebagai berikut:
a. Interaksi antara Model Pelatihan dan motivasi kerja mengakibatkan kinerja
petugas Satpol PP dapat mencapai skor yang maksimal. Sebaliknya, skor
terburuk atau paling rendah dari kinerja petugas satpol PP diakibatkan
oleh interaksi model Pelatihan konvensional dengan petugas yang
memiliki motivasi kerja rendah
b. Interaksi A1B1 dan A1B2 yang kontradiktif, artinya dengan bentuk model
pelatihan yang sama (model CBET) namun petugasnya berada dalam dua
kelompok motivasi yang berbeda mengakibatkan kinerja mereka juga
berbeda justru menunjukkan adanya interaksi yang signifikan antara
model pelatihan dan motivasi yang dimiliki petugas Satpol PP.
110
D. Interpretasi Hasil Penelitian
Hipotesis penelitian pertama yang menyatakan, “tidak terdapat
perbedaan rata-rata kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti model
pelatihan CBET dan yang mengikuti model pelatihan konvensional” tidak
dapat diterima. Sehingga hipotesis yang diterima adalah hipotesis alternatif
yang menyatakan bahwa ”Rata-rata kinerja petugas Satpol PP yang
mengikuti model pelatihan CBET lebih tinggi daripada petugas yang diberi
model pelatihan konvensional”, diterima dan teruji kebenarannya. Hal itu
selanjutnya membuktikan bahwa kinerja petugas Satpol PP yang memiliki
motivasi kerja tinggi dan diberi model pelatihan CBET lebih tinggi daripada
petugas yang memiliki motivasi kerja rendah dan diberi model pelatihan
konvensional.
Hipotesis penelitian keempat yang menyatakan, ”Terdapat pengaruh
interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja
petugas Satpol PP”, diterima dan teruji kebenarannya. Hal itu selanjutnya
membuktikan bahwa petugas yang mengikuti model pelatihan yang tidak
sama dan motivasi kerjanya juga berbeda, kinerja satu dengan lainnya
berbeda pula.
E. Pembahasan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa Model Pelatihan dan motivasi
kerja secara signifikan mempengaruhi variasi kinerja petugas Satpol PP.
Kinerja petugas Satpol PP yang diberi Pelatihan CBET lebih tinggi dari pada
kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional. Seperti terlihat
111
pada tabel 4.1 dan tabel 4.2, dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa kinerja
petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan CBET memiliki variasi sebaran
skor pada 87,5 – 96,5 dan 114,5 – 123,5 (lihat tabel 4.1). Sebaran skor pada
rentang ini merupakan sebaran skor yang tinggi jika dibandingkan dengan
sebaran skor kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
konvensional yang sebagian besar berada pada rentangan skor 61,5 – 70 dan
70 78,5 (lihat tabel 4.2). dari perbedaan rentang skor ini dapat dikatakan
bahwa model pelatihan yang diberikan kepada petugas Satpol PP
memberikan dampak pada peningkatan skor kinerja petugas Satpol PP.
Kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi karena
dengan menggunakan pelatihan CBET seorang petugas satpol PP latih untuk
mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Pelatihan ini dilaksanakan melalui proses pelatihan yang
bermakna dimana kompetensi di refleksikan kepada kebutuhan utama dalam
menjalankan tugas Satpol PP, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Hasil pelatihan CBET berupa kinerja merupakan fokus dari hasil pelatihan
CBET. Model pelatihan CBET mengakui pengalaman belajar petugas satpol
PP sebelumnya, sehingga petugas satpol PP dalam pelatihan tidak dituntut
untuk mengikuti proses pelatihan sampai akhir akan tetapi jika petugas satpol
PP lulus mengikuti ujian kompetensi maka mereka memperoleh kelulusan.
CBET merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan
kompetensi sumber daya manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome).
CBET sangat fleksibel dalam proses kesempatan untuk memperoleh
kompetensi dengan berbagai cara. Hasil CBET menuntut persyaratan dan
112
karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara
nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada
umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input), proses,
dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak sesuai
dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.
Tujuan CBET adalah agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan
tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara
khusus, tujuan utama CBET adalah menghasilkan kompetensi dalam
menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada
suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan.
Aplikasi metode pelatihan CBET memerlukan perancangan yang matang dan
sesuai dengan kondisi dari peserta didik. Petugas satpol PP menjalankan
tugas yang begitu variatif dan memiliki resiko perkerjaan yang tinggi, dimana
petugas Satpol PP harus berhadapan dengan masyarakat, khususnya ketika
berhadapan dengan masyarakat yang melanggar ketetapan Pemerintah
Daerah Prov. DKI Jakarta. Di sisi lain petugas Satpol PP merupakan pelayan
masyarakat untuk menjaga ketertiban, maka seorang petugas Satpol PP
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Beban pekerjaan seorang petugas Satpol PP yang cukup tinggi ini tentunya
harus diimbangi dengan kemampuan kompetensi yang tinggi yang harus
dimiliki oleh seorang petugas Satpol PP. Kesadaran akan kebutuhan
kompetensi yang tinggi ini telah nampak pada petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan CBET, hal ini dapat dilihat dari skor petugas Satpol PP
113
yang mengikuti model pelatihan model CBET yang memiliki motivasi kerja
tinggi (lihat gambar 4.5).
Pelatihan konvensional berbeda dengan pelatihan CBET, dimana
kegiatan pelatihan yang lebih banyak menekankan pada input (masukan
berupa misalnya materi, kriteria peserta dan lain lain) dan proses serta produk
yang banyak variasi dalam upaya meningkatkan kinerja peserta. Model
pelatihan ini karena terlalu banyak variasi kadang-kadang output yang ingin
dicapai menjadi tidak terukur. Banyaknya variasi dari hasil (produk) yang
dicapai dalam pelatihan konvensional ini menyebabkan peserta pelatihan
kurang termotivasi untuk mengikuti pelatihan. Karena perbadaan pencapaian
hasil pelatihan pada setiap peserta pelatihan merupakan hal yang wajar,
sehingga peserta kurang termotivasi untuk meraih suatu kondisi tertentu
sebagai capaian hasil pelatihan. Hal inilah yang kemudian dapat berakibat
pada motivasi peserta pelatihan. Seperti terlihat pada tabel 4.7, bahwa
sebagian besar (55%) petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan
konvensional yang memiliki motivasi kerja tinggi berada pada rentangan skor
terendah dalam rentangan skor motivasi tinggi.
Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan
selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi objek
pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin dicapainya
sendiri sebagaimana dalam CBET.
Secara kualitatif dengan memperhatikan hasil analisis variasi dua arah
(Two-way ANOVA) pada Tabel 4.18 di atas khususnya nilai F hitung kekuatan
pengaruh model pelatihan lebih besar daripada motivasi kerja petugas satpol
114
PP serta interaksi antar keduanya terhadap kinerja petugas satpol PP. Hal ini
dapat dipahami, mengingat motivasi dapat timbul dari dalam (intrinsik) dan
luar diri individu (ekstrinsik). Model pelatihan yang diberikan kepada anggota
Satpol PP merupakan suatu kondisi lingkungan yang dapat merangsang
motivasi ekstrinsik seorang petugas satpol PP. Pelatihan CBET merupakan
pelatihan yang lebih menekankan seseorang untuk menguasai bidang
kompentesi dalam tugas pekerjaannya. Sehingga, ketika seorang petugas
Satpol PP mengikuti pelatihan ini, ia akan termotivasi untuk dapat mengusai
kompetensi yang menjadi tuntutan dalam pekerjaannya. Hal ini yang
memungkinkan metode pelatihan CBET ini dapat merangsang petugas Satpol
PP untuk meningkatkan kinerjanya.
F. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini membuktikan bahwa model pelatihan dan motivasi kerja
memberi pengaruh yang signifikan terhadap variasi kinerja petugas Satpol PP.
Ditemukan pula bahwa adanya interaksi antara model pelatihan dengan
motivasi kerja petugas satpol PP yang diberikan model pelatihan CBET dan
memiliki motivasi kerja tinggi memiliki potensi kinerja yang lebih berkualitas
daripada lainnya. Namun demikian, bagaimanapun terdapat beberapa
keterbatasan penelitian sebagai berikut:
1. Dipahami bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor lain
disamping model pelatihan dan motivasi kerja, yang mempengaruhi
variasi kinerja petugas satpol PP. Misalnya, pada kondisi (iklim kerja) yang
berbeda, juga terdapat faktor lain yang lebih dominan berpengaruh
115
terhadap variasi kualitas kinerja petugas Satpol PP dibandingkan dengan
model pelatihan dan motivasi kerja. Hal ini luput dari penelitian ini dan
menjadikannya sebagai suatu keterbatasan.
2. Ditinjau dari sisi jumlah cakupan sampel, sangat mungkin dengan
cakupan sampel lebih luas, namun penelitian ini tentu akan berbeda pula.
Artinya, dengan jumlah responden yang lebih besar ada kemungkinan
hasil penelitiannya berbeda. Hal inilah yang menjadikan hasil penelitian ini
menjadi terbatas referensinya.
116
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperoleh beberapa temuan
penelitian sebagai berikut:
Pertama, Secara keseluruhan kinerja petugas Satpol PP yang
diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training
(CBET) lebih tinggi daripada kelompok petugas Satpol PP yang diberikan
model pelatihan Konvensional. Dengan demikian untuk meningkatkan kinerja
petugas satpol PP, diperlukan pemberian model pelatihan Competence
Based Education and Training (CBET).
Kedua, Bagi petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi,
kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence
Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari pada petugas Satpol
PP yang diberi model pelatihan konvensional. Dengan demikian, untuk
meningkatkan kinerja petugas Sapol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi
perlu diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training
(CBET).
Ketiga, Bagi petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah,
kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence
Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari pada petugas Satpol
PP yang diberi model pelatihan konvensional. Dengan demikian, untuk
meningkatkan kinerja petugas Sapol PP yang memiliki motivasi kerja rendah
117
juga perlu diberikan model pelatihan Competence Based Education and
Training (CBET).
Dari hasil temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kinerja petugas Satpol PP dapat dilakukan melalui kegiatan
penerapan model pelatihan Competence Based Education and Training
(CBET) dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas satpol PP.
B. Implikasi
Dari hasil analisis data yang dihasilkan dalam penenlitian ini telah
terbukti bahwa model pelatihan Competence Based Education Training
(CBET) dapat meningkatkan kinerja dan motivasi Petugas Satpol PP di
Provinsi DKI Jakarta sehingga secara statistik dapat dikatakan hubungan yang
signifikan dan bersifat positif. Implikasi dari pelatihan Competence Based
Education Training (CBET) adalah dengan memberikan sertifikasi kepada
petugas satpol PP yang telah memiliki kemampuan dan sikap yang sesuai
dengan standar dalam menerapkan tugas pokok dan fungsinya kedalam
kegiatan area tugas di lapangan. Sertifikasi ini merupakan alat yang
digunakan untuk menunjukkan bahwa seorang petugas satpol PP yang telah
mengikuti proses sertifikasi dapat menunjukkan bahwa ia memiliki
kemampuan yang baik dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Proses sertifikasi ini hendaknya dilaksanakan melalui program pelatihan yang
selanjutnya diadakan penilaian (assessment). Hasil penilaian dari proses
sertifikasi ini adalah diketahuinya level kompetensi dari setiap petugas satpol
PP.
118
C. Saran
1. Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan
satpol PP Provinsi DKI Jakarta sebaiknya menggunakan metode
Pelatihan Comptence Based Education Learning (CBET) karena sudah
terbukti dapat meningkatkan kinerja dan motivasi karyawan secara
signifikan.
2. Model Pelatihan Competence Based Education Learning (CBET)
dilakakukan dalam berbagai level untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dalam mengembangkan sumber daya manusia di satpol PP
Provinsi DKI Jakarta.
3. Melakukan pelatihan untuk Instruktur Model Pelatihan Competence
Based Education Learning (CBET) kepada pegawai terseleksi
sehingga dapat melakukan pelatihan secara internal. Hal ini penting
mengingat bahwa jumlah pegawai di satpol PP Provinsi DKI Jakarta
berjumlah ribuan orang, sehingga diperlukan percepatan dalam
mengembangkan potensi sumber daya manusia di satpol PP.
4. Melakukan program sertifikasi bagi petugas satpol PP. Sehingga
melalui program ini dapat merangsang petugas satpol PP untuk
meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Sertifikasi ini mengacu kepada
pelaksanaan tugas dan fungsi pokok dari petugas satpol PP.
119
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Michael. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terj. Sofyan Cikman dan Hariyanto. Jakarta: Elex Media Kompotindo, 199P0.
Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009.
Bernardin. Human Resources Management. Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993.
Bosker, J. Training effectiveness. New York: Pergamon, 1997.
Brown, M. J. The Effectiveness of Organization. California: Fearon, Belmont California, 1999.
Danim, Sudarwan. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Deseler, Gary. Personal Management, ter. Agung Dharma. Jakarta: Erlangga, 1997.
Donaldson dan Scannel. Human Resources Development. terj.Ya’kub. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1993.
Handoko T. Hani. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE, 2002.
Hariandja, Marihot Tua Efendi. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Hasibuan, Malayu H. Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Irawan, Prasetya et.al. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: STIA-LAN, 2002
John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia. Jakarta: Gramedia, 2005
Mangkunegara, Anwar P. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Moh. Pabundu Tika. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
120
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakaya, 2008.
Mulyasa, E, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), hal. 26
Ranupanjoyo dan Husnan. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE, 1995.
Sadili, Samsudin. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV. Pustaka, 2006.
Sahlan, Pengaruh Disiplin dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada PT. Rapico Busana Permata Indah. Jakarta: Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia, 2007.
Sidney Siegel, Statistik Nonparamatrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Gramedia, 1992.
Seger, Analisis Hubungan Motivasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Kepuasan Kerja Terhadap Disipli Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan. Yakarta: Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen. Universitas Bhayangkara, 2005.
Sugiyono, Statistik Nonparametrik, Bandung: CV. ALFABETA, 2004.
Spencer, M. Lyle and M. Signe Spencer. Competence at Work: Models for Superrior Performance. New York: John Wily & Son, 1993.
Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional Bandung: Rosadakarya, 2001.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Veithzel Rivai dan Ahmad F.M. Basri. Performance Appraisal. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Wexley, Kenneth dan Gary A Yukl. Organizational Behavior and Personal Psychology. Ontorio: Richard D. Irwan. Inc, 1997.
Wibowo. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
William T McLoad, (edt.). The New Collins Dictionary and Thesaurus. Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989.
121
BIOGRAFI PENULIS
AGUS SUTIYONO, lahir di Solo, tanggal 10 februari 1968, bergama islam. Alamat rumah pesona anggrek harapan C3.no. 15 Bekasi 17124 Jl. Kaliabang Raya Bekasi Utara.
Pendidikan formal SD Negeri 06 Cilandak lulus 1983, SMP Negeri 41 Ragunan, lulus tahun 1986, SMA Negeri 60 mampang, lulus 1989 IKIP Jakarta, Lulus 1994, Program Magister Manajemen IPMI Jakarta spesialisasi program Manajemen Sumber Daya
Manusia 1996, Indonesia-Australia Specialist Project II, Human Rights Program - University Of Sydney (UTS) – Australia 2003.
Pendidikan Non Formal : Sumber Daya Manusia, Prasetya Mulya 1993, Successful Selling Skill, LPM Jakarta 1994, Management People, Prasetya Mulya 1994, Custumer Service , LPM 1993, Mercuri International (Internal Development) NLP At Work (Metamind) 2005, Hypnotherapi-THII-2008,Workload Analisis Program-HRD Forum 2010, Turbo Hypnosis-Tranzwork-2010, Pernah bekerja sebagai Program Manager & Penyiar Radio Ros Jakarta, Consultan Trainer La Rose Foundations, Jl. Tebet Barat Raya 19 Jakarta Selatan (1990-1994), Penyiar Berita TVRI Jl. Gerbang Pemuda Senayan No.1 Jakarta Selatan (1993-2001); Coorporate Public Relations PT. Rainbow Cipta Utama Advertising, jl. Tomang raya 49 fgh Jakarta Barat (1994 – 1996); Consultant & Trainer Mercuri International (1996 – 1999); PT.Elnusa Petrofin Jl. TB Simatupang Kav.1b Jakarta 12560 (1999 – 2002), dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Jakarta, Kepala Pusat Afiliasi Pengembangan Wilayah Dan Alumni (Desember 2001 – 2006), Sekretrais Jurusan Pendidikan Luar Sekolah-Fakultas Ilmu Pendidikan-Universitas Negeri Jakarta – sampai sekarang.
Aktifitas Pekerjaan Consultant/Trainer PT Interbat (2000-sekarang); Consultant/Trainer PT Indofarma (2003-2004); Consultant/Trainer PT.Mandira Era Wisata (2002-sekarang); Consultant/Trainer PT.Patrakom (2003); Consultant/Trainer PT. Indosat (2000-2003); Consultant/Tariner PT.Pertamina (2000-2003); Consultant/Trainer Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi DKI Jakarta (2002-sekarang); Consultant/Tenaga Ahli Dinas Trantib DKI Jakarta (2002-sekarang); Tenaga Ahli Dirjen Ham Departemen Kehakiman Dan Ham (2003-sekarang); Trainer & Motivator Pengembangan Sat-Pol PP DKI Jakarta 2004-sekarang, Ketua Tim pengkajian dan pengumpulan data Bidang Mutu Pendidikan Mendiknas 2008, Consultant/Trainer- Pengembangan Sumber Daya Manusia Dirjen Cipta Karya-Departemen pekerjaan Umum 2006-sekarang, Hypnotherapist Register International 2010
Aktif dalam organisasi yaitu, Purna Prakarya Muda Indonesia, Alumni Pertukaran Pemuda Antar Propinsi (Tahun 1987 – sekarang); Ikatan Abang None Jakarta, Alumni atau Purna Program Abang None Jakarta (Tahun 1990 – sekarang); MPPI (Majelis Pembimbing Purna Paskibraka Indonesia) Purna Program Paskibraka (Tahun 1994 – 1996); Ketua Kerjasama Antar Lembaga Senat Mahasiswa IKIP Jakarta (Tahun 1993 – 1994); Ikatan Ulumni Orientasi Kewaspaas Nasional, Bakortanasda; Pembantu Andalan Nasional Gerakan Pramuka Kwartir Nasional Bidang Kehumasan (Tahun 1998 – 2003); Ketua
122
Pokja Ham Alumni Program IASTP, Indonesia dan Australia (Tahun 2003 – 2005) Sekeretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta 2007- sekarang, Humas BK3S DKI Jakarta-2010-2015, Dewan Penasehat GEPAK (Gerakan Pemuda Anti Korupsi) DKI Jakarta periode 2010-2015.