terob 2011

23

Upload: sandy-rosandy

Post on 23-Sep-2015

28 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ISSN : 2087 - 314XTEROB 2011 volume II Nomor 3 Oktober 2011Menilik Penerapan Berbagai Konsep Musikal dalam Karawitan SundaOleh: Nandi Saefurrohman

TRANSCRIPT

  • Menilik Penerapan Berbagai Konsep Musikal dalam Karawitan Sunda Oleh: Nandi Saefurrohman

    ABSTRAK

    Memahami wujud suatu bentuk musik tradisional sebaiknya tidak lepas dari pengamatan

    terhadap penggunaan konsep-konsep musik yang berlaku pada masyarakat pemiliknya. Dalam

    praktek karawitan Sunda pada dasarnya mengacu pada konsep-konsep musik yang biasanya

    diterapkan secara teknis sebagai acuan dalam membuat dan memainkan musik. Membuat dan

    memainkan suatu musik akan dihadapkan pada pemahaman tentang struktur atau bagian-bagian

    yang merupakan wilayah garap musikal sehingga suatu musik dapat memiliki bentuk yang jelas.

    Bentuk musik terdiri dari suatu tatanan (struktur) musikal yang nampak kongkrit, dapat

    dipersepsi dengan telinga, diamati (dikritisi), dan dapat dirasakan bagaimana hubungan-

    hubungan dari komponen-komponen atau unsur-unsur dasar yang ada dalam tatanan musik

    tersebut.

    A. Pendahuluan

    Konsep merupakan ide abstrak yang menunjuk pada suatu fenomena ataupun sifat-sifat

    yang mempunyai persamaan yang dimiliki sejumlah fenomena. Konsep dinyatakan melalui

    istilah-istilah dalam bentuk simbol atau kata-kata, dalam hal ini bahasa merupakan suatu

    persetujuan yang dicapai orang untuk mempresentasikan ide-ide dengan suara atau dengan

    hurup-hurup yang dipelajari dalam hidupnya. (Alfian, 2003). Konsep bersifat teoritis dan

    mendasar, serta memiliki kegunaan praktis yang dapat dikembangkan seandainya diterapkan

    pada masalah-masalah yang bersifat praktis pula (Suriasumantri, 2001: 151).

    Sesuatu yang dapat dianggap sepenuh-penuhnya memenuhi syarat sebagai musik apabila

    dapat memenuhi kriteria kompositoris yang pada bangunannya menyiratkan adanya kerangka

    dasar dan struktur yang menampung berbagai elemen musik seperti susunan nada-nada dalam

    melodi dan ritme, harmoni dalam berbagai warna dan watak suara, gejala dinamik, dan

    sebagainya (Hardjana, 2003: 4).

    Tulisan ini akan membahas seputar konsep musikal dalam karawitan Sunda sebagai dasar

    atau pijakan dalam merumuskan, membuat (menciptakan), dan mempraktekan beragam repertoar

    1

  • musik tradisional di Jawa Barat, baik pada karawitan vokal (sekar), instrumental (gending), dan

    vokal-instrumental (sekar gending).

    B. Karawitan Sunda

    Masyarakat Sunda menunjuk berbagai repertoar karawitan ke dalam tiga kategori yaitu

    karawitan vokal (sekar), karawitan instrumental (gendingan), karawitan vokal-instrumental

    (sekar-gending). Ketiga kategori tersebut dapat dilihat menurut ciri-ciri musikal, gaya, dan

    sistem atau cara penyajian repertoar.

    1. Sekar Kata sekar1 dalam seni karawitan Sunda banyak ditemukan untuk menyebut berbagai

    peristilahan. Secara harafiah sekar berarti vokal atau nyanyian. Seseorang yang ahli dalam

    berolah seni vokal baik sebagai pesinden maupun penembang keduanya disebut Juru Sekar..

    Lagu-lagu vokal Sunda yang dinyanyikan secara mandiri (solo) disebut anggana sekar, dan

    vokal yang disajikan secara bersama disebut rampak sekar atau layeutan swara (paduan suara,

    duet, trio, quarter, dan sebagainya). Nyanyian yang dibawakan dengan bentuk dialog disebut

    sekar catur.

    Nyanyian-nyanyian yang berfungsi untuk mengusir kesedihan atau sebagai pelipur lara

    disebut sekar panglipur atau sekar penggalih, nyanyian untuk mendukung suasana gembira

    disebut sekar panghgar; dan nyanyian untuk mencurahkan rasa rindu disebut sekar pangemat.

    Selain itu kata sekar juga sering digunakan oleh para pencipta lagu untuk memberi nama pada

    judul lagu yang dibuat, sebut saja lagu sekar manis, sekar mawar, sekar ligar, sekar tanjung,

    sekar mayang, sekar malati, sekar ndah, dan lain-lain.

    Seluruh perbendaharaan seni vokal Sunda dibagi ke dalam dua jenis yaitu kawih dan

    tembang. Lagu-lagu vokal Sunda yang temasuk jenis kawih dapat ditemukan pada penyajian seni

    vokal yang dibawakan tanpa permainan alat musik (waditra) yang disebut nyanyian yang

    ditambul,2 juga terdapat dalam berbagai penyajian sekar-gending gamelan maupun non

    gamelan.3 Nyanyian yang ditambul terdapat pada seni Kaulinan Barudak Lembur (permainan

    anak kampung), sedangkan dalam penyajian karawitan sekar-gending terdapat pada seni

    Kiliningan, Wayang Golk Sunda, Degung, Celempungan, Ketuk Tilu, Jaipongan, Gamelan

    2

  • Wanda Anyaran, seni Kendang Pencak; Kuda Rnggong, Calung, Rog, seni Tembang

    Cianjuran, dan lain-lain.

    Di kalangan pengrawit gamelan pelog-slendro terdapat persepsi bahwa lagu-lagu jenis

    kawih identik dengan lagu-lagu vokal lagam kapesindnan (gaya pesinden). Sedangkan lagu-

    lagu jenis tembang identik dengan lagu-lagu vokal lagam tembang (gaya penembang) yang dapat

    ditemukan dalam seni tembang Cianjuran, Cigawiran, Ciawian, Beluk, Sumedangan, Garutan,

    seni Rancag Buhun, dan sebagainya.

    2. Gending Terminologi gending atau gendingan dapat diartikan musik instrumental, yang

    dibawakan tanpa disertai dengan vokal atau nyanyian. Dalam karawitan Sunda, yang secara

    khusus membawakan repertoar gendingan terdapat dalam seni Kiliningan, Degung Kawih,

    Degung Buhun (degung klasik), Goong Rntng, seni Jentrng, seni Tembang Cianjuran,

    Kendang Pencak, dan lain-lain.

    3. Sekar-gending Secara harafiah istilah sekar-gending digunakan untuk menunjuk seni karawitan yang

    berupa perpaduan antara sekar (vokal) dan gending (instrumental). Dalam karawitan Sunda

    repertoar sekar-gending dibawakan dengan menggunakan seperangkat gamelan maupun non

    gamelan.

    Ada dua jenis gamelan yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda yakni: (1) Gamelan

    pelog-slendro yang dipercaya berasal dari kebudayaan masyarakat Jawa. Gamelan ini digunakan

    dalam seni Kiliningan, Wayang Golek Purwa, Ketuk tilu, Jaipongan, Celempungan. (2) Gamelan

    degung yang dianggap sebagai produk budaya masyarakat Sunda sendiri. Gamelan ini dipakai

    dalam penyajian seni degung buhun (degung klasik) yang membawakan lagu-lagu instrumental,

    dan penyajian degung kawih yang membawakan lagu-lagu sekar-gending. Gamelan pelog-

    slendro dan gamelan degung juga kerap digunakan dalam penyajian kawih wandaanyaran yang

    dianggap sebagai gendre baru dalam karawitan Sunda.

    Adapun repertoar sekar-gending yang dibawakan tidak menggunakan gamelan biasanya

    terdapat dalam seni pantun Sunda (menggunakan kecapi pantun), seni tembang Cianjuran

    (menggunakan kecapi tembang), seni calung jingjing (seperangkat calung), seni gemyung, seni

    kuda rnggong, seni rudat, seni terbang buhun, seni kendang pencak, dan lain-lain.

    3

  • C. Penerapan Konsep Musikal

    1. Wirahma (irama)

    Irama merupakan kata benda dan kata sifat. Sebagai kata sifat irama memiliki kandungan

    makna estetis yang kira-kira mirip dengan (kata sifat) laras, yaitu harmonis, selaras, tertata,

    teratur. Irama dalam praktek karawitan terkait dengan dua hal yaitu ruang dan waktu. Ruang

    menunjuk pada masalah volume (isi) suatu lagu, sedangkan waktu menunjuk pada persoalan

    kecepatan (tempo) suatu lagu. Irama dalam konteks ruang dapat bersifat imajiner, memiliki

    makna aplikatif yang lebih pasti (fiked) bahkan absolut. Sedangkan irama dalam konteks waktu

    aplikasinya lebih relatif, lokal, bahkan kadang-kadang bisa subyektif (Supanggah, 2003: 123).

    Irama adalah napas gendhing, dengan irama sebuah gending atau lagu menjadi hidup

    (Supanggah, 2003: 129).

    Kedudukan irama menjadi amat penting agar suatu lagu terasa keindahannya (memilki

    nilai estetis). Di berbagai praktek karawitan Sunda persoalan irama sering dipahami oleh seorang

    pengrawit sebagai sesuatu yang bersifat subyektif-interpretatif ketika membawakan sebuah lagu

    sekar, gending, dan sekar gending. Hal ini terkait dengan faktor kepekaan, penghayatan, dan

    interpretasi musikal seorang pengrawit ketika membangun kesan estetik (rasa) sebuah lagu.

    Dalam konteks membangun kesan estetis tersebut, penekanan irama cenderung lebih bersifat non

    teknis (Sukanda, 2005), sehingga suatu lagu dapat memiliki kekuatan musikal yang dapat

    disampaikan kepada orang lain.

    Irama dapat memunculkan dan menguatkan rasa lagu. Ibarat seseorang yang sedang

    berjalan akan beda rasa dan kekuatan melangkahnya apabila dilakukan dengan cepat, sedang,

    atupun pelan. Seorang pengrawit ataupun vokalis (juru kawih, juru tembang) dalam

    memunculkan rasa lagu tersebut harus mampu mensinergikan antaa irama dan melodi agar suatu

    lagu yang dinyanyikan memenuhi kriteria estetis: ngalagu. Menurut para praktisi seni vokal

    Sunda ngalagu mengandung maksud yaitu dalam membawakan atau mengeluarkan nada-nada

    harus ditata turun-naik dan panjang-pendeknya, berirama, dan tepat dalam menyuarakannya

    sehingga terasa memiliki keindahan bagi yang menyimaknya (Sobirin, 2005). Menyebut turun-

    naik dan panjang-pendek nada-nada dalam ngalagu, bahwa dalam pergerakan lagu, antara aspek

    melodis dan irama merupakan satu kesatuan.

    Persoalan irama (wirahma) di kalangan praktisi karawitan Sunda kerap dijadikan rujukan

    untuk menentukan kategori atau jenis sebuah lagu. Hal ini berawal ketika seorang tokoh

    4

  • karawitan Sunda yaitu Raden Machyar Angga Koesoemadinata (RMAK) menggolongkan lagu-

    lagu Sunda ke dalam dua jenis irama, yaitu lagu-lagu irama tetap yang disebut wirahma tandak,

    dan lagu-lagu irama bebas disebut wirahma merdika (1950: 6). Pemikiran RMAK tersebut

    kemudian menjadi pemahaman yang sampai sekarang menjadi acuan dalam menentukan jenis

    suatu lagu. Sebagian besar praktisi karawitan Sunda memandang bahwa lagu-lagu vokal irama

    tetap (sekar wirahma tandak) identik atau dikategorikan sebagai jenis kawih, dan lagu-lagu vokal

    irama bebas (sekar wirahma merdika) sebagai jenis tembang.

    Sekar wirama tandak adalah nyanyian yang dibawakan dengan irama konstan, dimana

    jarak antara setiap ketukan sama nilainya. Sementara sekar wirama merdika adalah nyanyian

    yang dibawakan dengan irama tidak tetap, jarak antara setiap ketukan tidak sama (Hasan Sueb,

    1977b: 42). Pada lagu-lagu sekar wirama tandak, baik ketukan, irama, gerakan cepat-lambat, dan

    panjang-pendek nada, semua bisa ditentukan ukurannya sehingga dapat ditulis dengan pasti.

    Sementara pada lagu-lagu sekar wirama merdika masalah panjang-pendek nada tergantung pada

    kehendak vokalis. Biasanya mereka yang sedang belajar lagu-lagu tembang kepada seorang

    guru, dalam menguasai panjang-pendek nada dari suatu lagu dilakukan dengan cara meniru guru

    yang mengajarkan langsung dengan lisan (Natapradja, 2003:72).

    Wilet / Ugeran Wiletan Lagu: Konsep praktis pembentukan lagu-lagu sekar dan gending

    Kata wilet diduga berasal dari istilah wiletan atau ngawilet yang merupakan sifat dari

    suatu lagu (sekar, gending, maupun sekar-gending) ketika sedang dimainkan. Kata wilet sering

    diucapkan di lingkungan praktisi karawitan Sunda, terutama oleh para pengrawit gamelan pelog-

    slendro dan gamelan degung. Para pengrawit ketika sedang membawakan suatu lagu (gending

    dan sekar-gending), sering melontarkan kalimat-kalimat interaktif antar sesama pengrawit.

    Dalam suasana interaktif tersebut kadangkala terjadi lontaran kalimat seru dari seorang

    pengrawit biasanya dilakukan oleh juru rebab yang ditujukan kepada juru kendang, di dalam

    kalimat tersebut terucap istilah wiletan dan ngawilet, misalkan kalimat: sing pas wiletannana

    nya ! (yang pas wiletannya ya!) atau lagu th kurang ngawilet euy! (lagunya kurang

    ngawilet). Lontaran kalimat tersebut mengandung maksud untuk mengingatkan kepada juru

    kendang karena dalam mengolah dan membawakan irama lagu yang dimainkan terasa kurang

    pas. Apabila dalam membawakan suatu lagu dikatakan terasa ngawilet, artinya pada alur lagu

    terjadi kesetabilan ketukan (ajeg) menunjukan tingkat konsistensi irama.

    5

  • Perbincangan tentang konsep wilet dalam wacana praktek berkarawitan Sunda dipersepsi

    sebagai aturan praktis dalam membuat dan memainkan lagu-lagu kawih. Sopandi mengatakan,

    wilet adalah ukuran tingkatan embat atau irama lagu: sawilet, dua wilet, opat wilet (Sopandi,

    1988: 211). Wilet menyangkut tentang periode struktural antara dua gong dalam suatu lagu, yang

    pada dasarnya sama dengan konsep kolotomik dalam gamelan Jawa (Hermawan, 1990: 101).

    Dalam lagu-lagu sekar-gending gamelan, aturan wilet merupakan alas (landasan) melangkahnya

    lagu-lagu dalam satu kenongan dan satu gongan, apakah langkahnya harus pelan atau cepat,

    apakah dipendekan atau dipanjangkan. Kalau dipendekan isinya lagu hanya terdiri beberapa

    kalimat, sedangkan kalau dipanjangkan, kalimatnya lebih banyak (Tarya, 2005).

    Panjang-pendeknya lagu dalam sa(satu)kenongan dan sa(satu)goongan terkait dengan

    pergerakan lagu menuju nada kenong dan nada gong. Memang dalam praktek memainkan lagu-

    lagu sekar-gending gamelan pelog-slendro, terdapat wilayah tabuh kenong dan wilayah tabuh

    gong. Oleh sebagian pengrawit gamelan kedua wilayah tersebut dianggap sebagai bingkai

    (pigura) yang membatasi pergerakan lagu yang secara teknis merupakan pembatas ketika terjadi

    peralihan rasa lagu, dari rasa kenongan ke rasa goongan.

    Sebuah pergerakan lagu dalam satu kenongan dan satu gongan berkenaan dengan

    pengolahan irama lagu dilihat dari aspek waktu dan ruang. Irama dari aspek waktu menyangkut

    pada kecepatan (tempo), sedangkan irama dari aspek ruang menyangkut pada besaran atau

    ukuran lagu. Maka persoalan waktu dan ruang sering menjadi patokan untuk menentukan

    kerangka (arkuh) lagu yang didalamnya mencerminkan adanya pola irama dan ukuran panjang-

    pendek suatu lagu.

    Dalam berbagai catatan tentang lagu-lagu kawih, pada umumnya gending-gending

    gamelan sering ditulis kerangka lagunya saja. Dalam kerangka lagu tersebut mencerminkan

    pemakaian pola irama dan ukuran/besaran panjang-pendek lagu dalam sakenongan sampai

    sagoongan. Dengan demikian dalam aturan wilet, suatu bentuk kerangka lagu secara otomatis

    menggambarkan adanya kesatuan hubungan antara pola irama dan ukuran panjang-pendek lagu.

    Untuk memperjelas keterangan tentang hubungan tersebut, digambarkan dengan diagram

    berikut:

    6

  • Hubungan kerangka lagu, pola irama dan ukuran lagu dalam konsep wilet

    Pola Wirahma

    Dalam repertoar lagu-lagu sekar-gending gamelan (kawih kapesindenan), pola irama

    merupakan patokan pergerakan lagu di wilayah tabuh kenong dan di wilayah tabuh gong.

    Pergerakan lagu di wilayah tabuh kenong menuju nada pusat (inti) kenong, dan di wilayah tabuh

    gong menuju nada pusat gong sebagai akhir periode lagu. Kedua wilayah tersebut digambarkan

    dengan bentuk pendek (satuan kecil) sebuah kerangka lagu, yakni:

    | . . . N | . . . G | . . . N = wilayah tabuh kenong, . . . G = wilayah tabuh gong

    Dalam memainkan lagu-lagu kawih, terdapat pola irama satengah wilet (setengah wilet),

    sawilet (satu wilet), dua wilet, opat wilet (empat wilet), dalapan wilet (delapan wilet). Secara

    teknis pola-pola irama tersebut apabila ditulis dalam bentuk kerangka lagu akan menggambarkan

    ukuran ruang lagu dalam sagoongan. Kerangka lagu setiap pola irama terdiri dari sejumlah

    wiletan (metrum, birama), setiap wiletan dibatasi garis yang disebut gurat wiletan (garis

    metrum), dan masing- masing wiletan terdiri dari empat perangan wiletan (ketukan). Banyaknya

    wiletan dalam suatu kerangka lagu akan memberi kemudahan bagi para pengrawit dalam

    menafsirkan dan atau penggunaan pola irama yang akan dimainkan, apakah pola irama satengah

    wilet, sawilet, dua wilet, opat wilet, atau dengan pola irama dalapan wilet. Untuk memperjelas

    keterangan tentang pola-pola irama, digambarkan sebagai berikut:

    Pola irama

    Kerangka lagu

    WILET

    Ukuran lagu:

    7

  • Pola irama satengah wilet:

    | | (g) |

    | : gurat wiletan, : perangan wiletan, : wiletan, (g): nada gong,

    Pola irama sawilet:

    | | | | | (g) |

    Pola irama dua wilet:

    | | | | | | | | | | | (g) |

    Pola irama opat wilet:

    | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | (g) |

    Pola irama dalapan wilet:

    | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | (g) |

    8

  • Ukuran Lagu

    Pada umumnya masyarakat karawitan Sunda menggunakan kata lagu ditujukan

    terhadap musik vokal (sekaran), musik instrumental (gendingan), maupun campuran ke duanya

    (sekar-gending). Para pengrawit (niyaga) gamelan Sunda dalam menyebut sebuah gending atau

    sekar-gending sering mengganti dengan istilah lagu. Gending Banjaran disebut lagu banjaran;

    gending Kulu-Kulu disebut lagu kulu-kulu; gending Catrik disebut lagu catrik, gending Macan

    Ucul disebut lagu macan ucul, gending Bndrong disebut lagu bndrong, dan sebagainya. Selain

    itu dalam menyebut bentuk suatu lagu dikaitkan dengan masalah besaran atau ukuran lagu,

    apakah lagu-lagu tersebut berukuran pendek, sedang, atau panjang. Menurut Sopandi ukuran

    lagu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu dari tingkatan embat, panjang-pendek dan

    banyaknya kalimat lagu, serta banyaknya gongan dalam tiap lagu (Sopandi, 1977: 7).

    RMA. Koesoemadinata menyebutkan bahwa lagu-lagu Sunda terdiri dari tiga bentuk

    ukuran lagu yaitu lagu alit, lagu tengah, dan lagu gede atau lagu ageung. (Kuns, 1973: 408).

    Namun ada juga yang menyebut bahwa pada karawitan Sunda terdapat empat bentuk lagu yaitu

    bentuk gurudugan, bentuk rnggong, bentuk tengahan, dan bentuk ageung (Sopandi dan kawan-

    kawan,1976: 25). Dari penelitian yang dilakukan Maman Suaman tentang pola-pola lagu sekar-

    gending gamelan pelog-slendro, pada dasarnya lagu-lagu Sunda terbagai menjadi tiga bentuk,

    yaitu: sekar alit atau sering disebut renggong alit, sekar tengahan atau sering disebut lenyepan,

    dan sekar ageung atau sering disebut lalamba (Suaman, 1991: 11). Kemudian Natapradja dalam

    bukunya yang membahas tentang sekar-gending dalam karawitan Sunda, membagi lagu-lagu

    sekar dan gending menjadi tiga bentuk, yaitu: rnggong alit, rnggong macapat, dan rnggong

    ageung (Natapradja,2003:76). Para pengrawit gamelan yang diminta keterangannya mengatakan,

    untuk menentukan panjang pendek sebuah lagu sekar-gending tergantung dari tingkatan irama

    yang dimainkan. Lagu panjang atau disebut juga lagu lalamba (dari kata lamba: lambat atau

    panjang) menggunakan irama opat wilet dan dalapan wilet, sedangkan lagu pendek

    menggunakan irama satengah wilet, sawilet, dan dua wilet (Tarya, 2005).

    Berangkat dari ugeran wiletan lagu yang di dalamnya terkait dengan pembentukan pola-

    pola irama lagu, lagu alit merupakan bentuk sekar, gending, dan sekar-gending yang dalam

    sa(satu) goongan relatif pendek. Kerangka lagu dalam sagoongan memiliki empat sampai

    delapan wiletan, dan pada lagu ageung dalam sagoongan memiliki wiletan sebanyak enambelas

    9

  • ke atas. Para pengrawit gamelan mengatakan bahwa lagu-lagu ageung merupakan lagu panjang

    yang dimainkan dengan tempo relatif pelan.

    Berikut contoh kerangka lagu alit dan ageung yang mengacu aturan wilet tersebut:

    1). Lagu alit irama satu wilet (contoh : Macan Ucul, laras slendro)

    Kerangka lagu: | . . . 5 | . . . 1 | . . . 5 | . . . (4) | Pola irama: | | | | (g) | Lagu-lagu dengan pola irama satu wilet dimainkan pada penyajian gamelan pelog-slendro dan

    gamelan degung, baik berupa lagu gending (gendingan) maupun lagu sekar-gending. Khusus

    berupa gendingan biasanya sering digunakan untuk gending tari.

    2). Lagu alit irama dua wilet (contoh: Catrik Dua wilet, laras slendro)

    Kerangka lagu: | . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . 2 | | . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . (4) |

    Pola irama: | | | | | | | | | (g) |

    3). Lagu ageung empat wilet (contoh lagu: Rnggong Ged, laras slendro,)

    Kerangka lagu: | . . . 3 | . . . 2 | . . . 3 | . . . 5 | | . . . 3 | . . . 2 | . . . 3 | . . . 4 | | . . . 3 | . . . 4 | . . . 3 | . . . 5 | | . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . (2) | | . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . 2 | | . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . 2 | | . . . 3 | . . . 4 | . . . 3 | . . . 5 | | . . . 3 | . . . 2 | . . . 3 | . . . (4) | | . . . 3 | . . . 2 | . . . 3 | . . . 4 | | . . . 3 | . . . 2 | . . . 3 | . . . 2 | | . . . 3 | . . . 4 | . . . 3 | . . . 5 | | . . . 3 | . . . 4 | . . . 3 | . . . (5) |

    Pola irama: | | | | | | | | | | | | | | | | | | | (g) |

    10

  • 2. Runtuyan Sora (melodi)

    Sebutan melodi dalam karawitan Sunda diberi istilah runtuyan sora atau ranggeuyan

    sora4 yang searti dengan rangkaian nada. Runtuyan sora (melodi) dalam implementasi praktek

    karawitan Sunda berbentuk sebuah susunan nada-nada yang diatur sedemikian rupa berdasarkan

    kaidah-kaidah penggarapan sebuah lagu. Aspek keteraturan dari rangkaian nada-nada tersebut

    berdasarkan dari nilai panjang-pendeknya nada-nada yang disusun.

    Panjang-pendek nada dalam karawitan Sunda disebut ambekan sora, dan nilai panjang-

    pendek nada disebut dami. Dalam notasi lagu-lagu Sunda pada umumnya ditulis dengan notasi

    angka, tanda yang dipakai untuk ambekan sora adalah titik (.) dan nol (0). Tanda titik untuk

    pangulur sora (memperpanjang nada), dan tanda nol untuk pamandeg sora (berhenti). Nilai

    panjang-pendek nada (dami) dibatasi ketukan-ketukan yang disebut perangan wiletan. Pada

    penulisan lagu-lagu sekar-gending wirama tandak (irama tetap), setiap wiletan terdiri dari empat

    perangan wiletan. Wiletan dalam karawitan Sunda berarti metrum, birama. RMA.

    Koesoemadinata memberi istilah lain yaitu wiramantara (1950: 30).

    Untuk memperjelas keterangan tentang nilai nada-nada dalam satu wiletan, digambarkan

    dengan contoh berikut:

    = 4 perangan wiletan 1 2 3 4 = panjang tiap nada 1dami 12 23 34 45 = dami 123 234 345 451 = 1/3 dami 1234 2345 3451 4512 = dami

    Pada proses pembuatan sekaran (lagu vokal) Sunda baik lagu-lagu jenis kawih maupun

    tembang, terdapat cara-cara yang dipakai para pencipta lagu ketika membuat sebuah runtuyan

    sora (melodi). Pada umumnya para pencipta lagu-lagu vokal jenis kawih membuat runtuyan sora

    dengan menuliskan galeuhna lagu (nada-nada pokok) yang tidak dibubuhi sora-sora reureueus

    (nada-nada hiasan/ornamentasi lagu). Sebagai contoh runtuyan sora berikut:

    ____ ____ ____ ____ ____ ____ | 0 5 4 5 4 4 4 | 4 4 5 1 1 1 1 | o- ray o- ray- an lu- ar l- or ma pay sa- wah ____ ____ ____ ____ ____ ____ | 0 1 3 4 4 4 4 | 4 4 3 2 2 2 2 | en- tong ka sa- wah pa- re- na keur ceu-deum beu-kah

    11

  • Runtuyan sora pada lagu-lagu vokal jenis tembang ditulis nada-nada atau tanda-tanda

    yang menggambarkan sebagai sebuah reureueus/hiasan, runtuyan sora demikian sering disebut

    galayarna lagu. Para pencipta lagu-lagu vokal tembang membubuhkan nada-nada hiasan sebagai

    petunjuk penggunaan jenis-jenis reureueus agar tidak keliru dalam menyanyikannya meskipun

    ditulis sebatas anceran (petanda) atau kulit luarnya saja. Sebagai contoh runtuyan sora berikut:

    5 5 5 5 5 54 5 4545 2 Pa-ja-ja-ran ka -ri nga----------ran

    2 1 5 5 555 435 5 51 2 2 15 5 2 2 2 2 1 Pang-ra-ngo---------------geus na-rik ko--------lot

    Dalam catatan-catatan yang memuat kumpulan lagu-lagu kawih, memang jarang

    menemukan sebuah notasi lagu vokal yang lengkap dengan gambaran pemakaian berbagai

    reureueus. Apabila notasi tersebut dibaca atau dinyanyikan apa adanya, akan tergambar suatu

    bentuk nyanyian yang disebut polosan. Notasi semacam ini dipakai untuk menuliskan lagu-lagu

    vokal pada kawih kaulinan barudak lembur (lagu-lagu permainan anak kampung), kawih

    kapesindenan, kawih degung. kawih wandaanyaran, dan lain-lain.

    Pergerakan melodi pada lagu-lagu vokal baik vokal jenis kawih maupun tembang terkait

    langsung dengan pengucapan kata-kata dari lirik lagu (rumpaka) yang dinyanyikan. Secara

    metrikaswara (jumlah nada dalam setiap suku kata) pada lagu-lagu vokal kawih dimana

    bersifat metris melodis, terikat ketukan, nilai nada, dan aturan pola irama setiap nada-nada

    yang dirangkai mencerminkan kata-kata dari lirik lagu (rumpaka). Runtuyan sora pada lagu-lagu

    kawih termasuk golongan monometraschematika, artinya setiap suku kata mengandung satu nada

    pokok (silabis) meskipun banyak ornamentasi dan liku-likunya tetapi nadanya itu-itu juga

    (Wiraatmadja, 1964: 29), penerapan reureueus (hiasan lagu) pada lagu-lagu jenis kawih

    tergantung dari kemampun tafsir setiap juru kawih. Sedangkan runtuyan sora pada lagu-lagu

    tembang bersifat ritmis melodies, tidak terikat ketukan, nilai nada, dan aturan pola irama. Dalam

    penulisan lagu jarang menggunakan wiletan-wiletan (metrum), sehingga tersedia ruang yang

    lebih luas untuk mencantumkan nada-nada yang menggambarkan berbagai reureueus/hiasan lagu

    (melismatis). Dalam penulisan notasi lagu-lagu tembang, penerapan reureueus pada sebuah lagu

    sudah dibakukan.

    Sebuah lagu yang bersifat metris melodis (jenis kawih) dari aspek runtuyan sora harus

    mencerminkan adanya beungkeutan sora, padalisan-padalisan lagu, dan leunjeuran padalisan,

    12

  • sebagai kriteria yang biasa dipakai sebagai dasar atau langkah-langkah praktis untuk menyusun

    sebuah lagu. Dalam beungkeutan sora antara aspek nada dan aspek rumpaka (lirik lagu)

    membentuk padalisan-padalisan lagu, baik padalisan yang berupa cangkang maupun berupa

    jeroan.5 Kemudian padalisan-padalisan tersebut tersusun sedemikian rupa membentuk

    leunjeuran padalisan.

    Beungkeutan sora menunjuk terciptanya kesatuan antar nada yang saling mengikat

    (ngabeungkeut). Bengkeutan sora ditandai dengan adanya lilitan sora, yaitu dalam perangan

    wiletan (ketukan-ketukan) nada-nada yang ditempatkan memiliki hubungan dan fungsi yang

    sama sebagai pembentuk lekak-liku lagu atu sering disebut liukan lagu. Pada praktek gamelan

    Sunda, lilitan sora merupakan kesatuan nada dari pola tabuhan instrumen yang satu dengan

    pola tabuhan instrumen lainnya. Misalnya pola tabuhan saron satu dengan pola tabuhan saron

    dua, jika digabungkan secara simetris akan menghasilkan suatu pola melodi, biasanya pola

    melodi tersebut menjadi pola tabuhan instrumen peking. Begitu juga antara pola tabuhan bonang

    barung dengan pola tabuhan bonang panerus (bonang rincik).

    Padalisan lagu atau sering disebut runtuyan sora sapadalisan secara harafiah padalisan

    artinya kalimat menunjuk terciptanya suatu kalimat musikal berupa cangkang (kulit) maupun

    jeroan (isi). Kemuda antara kalimat musikal dan kalimat lirik membentuk harmonisasi sebagai

    kalimat pertanyaan dan kalimat jawaban.6 Dalam lagu-lagu vokal jenis kawih, cangkang dan

    jeroan merupakan padalisan lagu yang masing-masing dapat dipenggal atau dipisahkan seperti

    sebuah kalimat pertanyaan dan kalimat jawaban. Cangkang akan berdiri kokoh sebagai kalimat

    pertanyaan apabila ada jeroan sebagai kalimat lanjutan atau sebagai jawabannya. Begitu juga

    sebaliknya, jeroan akan berdiri kokoh sebagai kalimat jawaban jika ada cangkang sebagai

    pertanyaannya.

    Leunjeuran padalisan atau sering disebut runtuyan sora saleunjeuran menunjuk

    terciptanya wujud suatu lagu secara utuh. Leunjeuran padalisan merupakan gabungan padalisan

    lagu yang tersusun secara bertahap dan harmonis (ngaleunjeur), mulai dari awal keberangkatan

    (ngawalan), bagian tengah (tengahan), dan bagian akhir lagu (selehan). Ukuran satu leunjeuran

    padalisan dalam lagu-lagu kawih identik dengan sa(satu)goongan. Padalisan-padalisan lagu

    dalam satu leunjeran padalisan digambarkan seperti berikut:

    13

  • bs: (a) (b) (c) (d) pl: 1 2 1 2 lp: abcd/G

    bs: bengkeutan sora pl: padalisan lagu 1: cangkang/kulit 2: jeroan/isi lp: leunjeuran padalisan G: gongan

    Dalam lagu-lagu jenis kawih ukuran satu padalisan lagu sekar (satu kalimat vokal)

    sebanding dengan satu padalisan lagu gending (satu kalmat gending). Pada lagu-lagu pendek,

    satu kalimat vokal sebanding dengan jalannya gending dalam satu kenongan dan jalannya

    gending dari kenongan menuju satu goongan. Antara sekar dan gending pergerakannya sejalan

    saat terjadi peralihan-peralihan irama tabuh (alih nabeuh) yang diatur oleh juru pandga (juru

    kendang). Dalam orientasi pergerakan melodi lagu, juru sekar harus cermat mengikuti alur

    gending jangan sampai keliru dalam membunyikan nada akhir di setiap padalisan lagu, baik

    pada saat labuh kenong maupun saat labuh gong. 7 Labuh dalam perbendaharaan bahasa Sunda

    berarti tiba atau jatuh. Istilah labuh kenong dan labuh gong menunjuk pada ketepatan jatuhnya

    nada kenong dan gong ketika sedang memainkan suatu lagu gending. Istilah ini sering diucapkan

    oleh para pengrawit gamelan pelog-slendro terutama oleh para pengrawit sepuh (setarap empu

    gending) yang bertindak sebagai lurah gending.

    Seringkali para pengrawit gamelan menganggap salah jika sindn kurang tepat atau

    keliru menyuarakan nada akhir kenong atau gong pada lagu yang dinyanyikannya. Namun

    menurut beberapa ahli karawitan Sunda persepsi tersebut kurang begitu tepat karena dalam

    penyajian sekar-gending gamelan antara vokal dan gending sama-sama berada dalam satu atap

    yang disebut pola lagu sebagai patokan pergerakan arah lagu. Dalam hal ini pergerakan vokal

    dan gending di setiap padalisan lagu sama-sama menuju nada pusat kenong dan gong. Dalam

    membawakan sekar-gending Sunda, pola lagu atau sering juga disebut posisi lagu, dianggap

    sebagai rumus dalam penentuan nada pusat kenong dan gong. Pola lagu-pola lagu yang biasa

    digunakan khususnya pada lagu-lagu sekar-gending gamelan (kawih kapesindenan), antara

    lain: pola lagu Gendu, Panglima, Renggong, Belenderan, Banjaran, Kulu-kulu, Karangnunggal,

    dan sebagainya.

    14

  • CATATAN 1. Sekar merupakan kata halus (lemes) untuk menunjuk bunga atau kembang. Para orang tua di

    Pasundan sering menyebut sekar dari pada kembang. Kembang melati disebut sekar malati, bunga mawar disebut sekar mawar, bunga yang sedang mekar disebut sekar ligar, rangkaian bunga disebut sekar rinonc, bunga yang dipakai sebagai sarana dalam upacara ngaruwat disebut sekar pangruwat, dan lain-lain. Pada tradisi nazdran (berziarah ke makam) di masyarakat Pasundan, salah satu kebiasaan yang sampai sekarang masih berlaku yaitu tradisi nyekar artinya menabur bunga di makam yang dikunjungi.

    2. Ditambul dari kata dasar nambul merupakan kata kerja yang sering digunakan sebagai bahasa sehari-hari masyarakat Sunda. Biasanya kata ini diterapkan atau dipakai terhadap orang yang sedang makan nasi tanpa ada lauk-pauknya, atau terhadap orang yang sedang mengerjakan sesuatu secara sendirian tanpa dibantu orang lain

    3. Menurut Rahayu Supanggah, gamelan merupakan seperangkat ricikan yang sebagian besar terdiri dari alat musik pukul atau perkusi, yang dibuat dari bahan utama logam (perunggu, kuningan, besi atau bahan yang lain), dilengkapi dengan ricikan-ricikan dengan bahan kayu dan / atau kulit maupun campuran dari dua atau ketiga bahan tersebut. (lihat Bothekan Karawitan I, 2002. p.12-13).

    4. Dalam bahasa Sunda, kata runtuyan atau ngaruntuy , ranggeuyan atau ngaranggeuy menunjuk pada keteraturan dalam menyusun atau merangkai benda-benda, kata-kata, kalimat-kalimat, atau suatu cerita.

    5. Kata cangkang dipakai untuk menunjuk kulit buah-buangan dan ubi-ubian, sedangkan kata jeroan untuk menunjuk isi suatu benda atau isi perut mahluk hidup, juga sering dipakai sebagai kata untuk menunjuk maksud atau kedalaman hati seseorang.

    6. Aspek lirik merupakan bagian penting dalam proses penciptaan lagu-lagu jenis kawih. Sudah

    menjadi sesuatu yang lumrah bagi para pencipta lagu-lagu jenis kawih biasanya mereka terlebih dahulu membuat lirik kemudian baru membuat melodinya. Lirik-lirik lagu yang dibuat bentuknya bisa berupa puisi terikat maupun puisi bebas. Bentuk puisi terikat dalam lirik-lirik lagu kawih banyak menggunakan kaidah-kaidah (aturan) pupuh dan pantun. Sedangan pada lirik-lirik lagu yang berbentuk puisi bebas (prosa) pada intinya terdiri dari lirik-lirik lagu yang tidak terikat oleh aturan-aturan pupuh maupun pantun. Pada lirik-lirik lagu yang menggunakan kaidah pupuh (terikat guru lagu dan guru wilangan), setiap bait lirik terdiri dari baris-baris yang dapat berdiri sebagai kalimat. Begitu juga dalam puisi pantun, misalkan bentuk sisandiran, dimana dalam satu bait lirik terdiri dari kalimat pertanyaan atau disebut sebagai cangkang (kulit) dan kalimat jawaban atau disebut sebagai jeroan (isi).

    7. Dalam praktek karawitan Sunda terdapat anggapan yang sering dilontarkan oleh para praktisi

    karawitan Sunda tentang posisi dan kedudukan sekar dan gending dalam penyajian karawitan sekar-gending. Pada penyajian sekar-gending gamelan pelog-slendro (kawih kapesidenan), posisi sekar dianggap ada di belakang gending, sekar harus mengikuti gending. Pernyataan ini tersirat dalam ungkapkan: sekar nuturkeun gending atau sekar milu gending (vokal mengikuti gending). Ungkapan sekar nuturkeun gending dianalogikan bahwa dalam penyajian sekar-gending gamelan, kedudukan gending lebih kuat dibandingkan vokal, vokal. harus taat pada gending.Sementara dalam penyajian seni tembang Cianjuran posisi vokal dianggap ada di depan gending, atau sering dinyatakan dengan ungkapan: gending nuturkeun sekar atau gending milu sekar (gending mengikuti vokal).

    15

  • DAFTAR PUSTAKA Danasasmita, Makmur. 1983. Sastra Lagu dalam Tembang Sunda. Bandung: ASTI. Depdikbud, (ed). 1987a. Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian. Jakarta: Dirkes.

    1987b. Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini. Bandung: P & K

    Djelantik, A. A. M. 1999. Estetik: Sebuah Pengantar. Bandung: MSPI, Endang, S. 1979. Pangajaran Tembang Sunda. Bandung: Pelita Masa. Hardjana, Suka. 2003. Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: MSPI. Hermawan, Deni. 2002. Etnomusikologi. Beberapa Permasalahan dalam Musik Sunda. Bandung: STSI Press. Jayakusumah, Ali. 1983. Tutungkusan Rumpaka Buhun. Cianjur: Mimitran Tembang Sunda. Koesoemadinata, R.M.A. 1969. Ilmu Seni Raras. Djakarta: Pradnja Paramita.

    1950. Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara. Djakarta: Noordhoff-Kolff.

    Koswara, Tatang. 1990. Kawih Kaulinan. Bandung: Mitra Buana. Martadinata, Juju Sain. 1976. Sekar Gending Degung. Bandung: Mitra Buana. Natapradja, Iwan. 2003. Sekar Gending. Bandung: Karya Cipta Lestari. . Sopandi, Atik. 1977. Penuntun Pengajaran Karawitan Sunda. Bandung: ASTI. Supanggah, R., (ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

    2001. Bothekan Karawitan I. Jakarta: MSPI. Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.

    Jakarta: Sinar Pustaka Tamaswara, Amas. 1991. Kawih Sunda Pralagan. Bandung; Pustaka Buana. Van Zanten, Wim. 1988. Sundanese Music in The Cianjuran Style: Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht: Foris Publications. Wiratmaja, Apung S. 1994. Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda. Bandung: Purnamasari.

    Satjadibrata, R. 1954. Kamus Basa Sunda. Djakarta: Perpustakaan Perguruan

    Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

    16

  • Soepandi, Atik. 1987. Kamus Istilah Karawitan Sunda. Bandung: Pustaka Buana

    Rahayu Supanggah. 1994 Gatra, Inti Dari Konsep Gending Tradisi Jawa, dalam Jurnal Wiled, tahun I (Juli 1994), STSI Surakarta.

    1983. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Garap. Makalah Disajikan dalam diskusi dosen dan mahasiswa ASKI Surakarta. Suaman, Maman. 1992. Pola-Pola Lagu-Lagu Tradisional Sunda di dalam Gamelan Pelog dan Slendro, Jenis-jenis Lagu Sekar Alit pada Embat Sawilet dan Dua Wilet.Laporan Penelitian, ASTI Bandung. Wiardi, Didi. 1994. Tinjauan Musikologis Lagu Gede dalam Sejak Kiliningan.

    Skripsi, STSI Surakarta.

    Biodata penulis:

    Nandi Saefurrohman, M.Sn

    Lahir di Bandung, 4 Mei 1965. Pernah kuliah mendalami ilmu karawitan di ASTI Bandung, STSI

    Surakarta. Menyelesaikan studi Pascasarjana Prodi Pengkajian Musik Nusantara di ISI Surakarta tahun

    2006. Sejak tahun 1992 sampai sekarang menjadi tenaga pengajar di STKW Surabaya.

    17

  • depanterobterob1terob2terob3

    kawih konsep..belakangterob4terob5