terjadinya degradasi moral pada pendidikan di indonesia

Upload: kevin-wijaya

Post on 10-Jul-2015

210 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Terjadinya Degradasi Moral pada Sistem Pendidikan Indonesia

Selamat siang bapak guru dan teman-teman yang saya hormati. Pertama-tama saya panjatkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena siang ini kita diberikan kesempatan untuk berkumpul bersama. Pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan salah satu masalah utama yang sedang dialami oleh negara kita tercinta Republik Indonesia, yang sekaligus menjadi sumber dari banyak masalah utama lainnya. Masalah tersebut terletak pada kekacauan sistem pendidikan Indonesia saat ini. Dari hari ke hari, secara ilmu, pendidikan di Indonesia mengalami banyak kemajuan. Banyaknya kerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan luar negeri yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri dan pesatnya laju globalisasi memberikan para peserta didik di Indonesia ilmu yang sangat luas dan nyaris tak terbatas. Sayangnya, meski menurut ilmu yang didapat pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan, saya bisa mengatakan bahwa secara moral dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), pendidikan di Indonesia sama sekali tidak mengalami kemajuan! Bahkan bisa dikatakan bahwa terjadi degradasi yang sangat memprihatinkan pada kedua hal tersebut! Salah satu indikator dari degradasi moral yang saya sebutkan tadi adalah tingginya tingkat praktik menyontek, tingginya angka pembelian ijazah palsu, dan tingginya angka kasus plagiarisme yang terjadi di Indonesia. Kasus-kasus tersebut menunjukkan rendahnya tingkat kejujuran dan self-respect, yang bukan hanya dari sang peserta didik, tetapi juga dari berbagai bagian di dalam sistem pendidikan itu sendiri! Bagaimana saya bisa mengatakan demikian? Pertama, praktik-praktik ketidakjujuran dalam pendidikanatau sebut saja kecurangansekarang sudah sama sekali bukan hal yang menjadi milik peserta didik seorang saja. Banyak praktik-praktik kecurangan, yang dilakukan oleh tenaga pengajar dan juga yang berasal dari pengajar. Catatan kasus selama 2011 saja sudah

mendapatkan banyaknya sekolah-sekolah negeri yang gurunya memberikan jawaban kepada murid di saat ulangan maupun ujian. Lebih parahnya lagi, tidak semuanya dilakukan secara diam-diam seperti lewat SMS. Guru yang memberikan jawaban secara terang-terangan dengan membacakannya di depan kelas juga tak kalah banyak jumlahnya. Guru-guru seperti itu berdalil bahwa mereka ingin membantu nilai anak muridnya. Tetapi itu membawa kita kepada pertanyaan yang bisa kita ajukan pada diri kita masing-masing, Memangnya apa tugas seorang guru? Mencerdaskan kehidupan bangsa, atau hanya sekedar meluluskan dan memberi nilai? Jika seorang siswa belum sanggup melewati sebuah ujian, sudah sewajarnya bila ia perlu mengulang lagi, supaya ilmu yang ingin disampaikan benar-benar bisa diterima siswa sebagai bekal masa depannya. Kedua, banyak tenaga pengajar yang tidak bisa menjadi panutan anak muridnya. Sebagai contoh, kita sebagai murid SMA tentu sudah mengetahui apa itu plagiarisme dan bagaimana etika penulisan buku atau karya ilmiah yang baik. Kita tidak boleh mengambil isi dari buku atau karya orang lain tanpa memberikan footnote atau referensi. Tetapi, salah satu guru di sebuah sekolah Katholik di Jakarta membuat modul yang lebih dari separuh isinya adalah murni hasil Copy-Paste dari internet; tanpa referensi dan tanpa di-edit, sehingga kita bahkan masih dapat melihat jejak-jejak Copy-Paste tersebut. Daftar pustaka pun tidak dapat kita temui pada modul tersebut. Lain ladang, lain belalang. Di sebuah sekolah Katholik lainnya di Jakarta, banyak guru yang terbiasa menghukum para murid dengan kontak badan seperti memukul atau menendang. Padahal, seorang guru harusnya bisa mendidik muridmuridnya dan menjadi panutan. Sekarang, bila seseorang yang seharusnya membimbing murid-murid saja seperti itu, bagaimana kita bisa mengharapkan sesuatu yang baik dari murid yang dibimbing? Beralih ke SDM, bagi saya kualitas SDM hasil pendidikan di Indonesia masih patut dipertanyakan. Pasalnya, jumlah kasus ijazah palsu yang beredar terus meningkat. Pada 2010 saja, jumlah kasus yang ditemukan oleh Universitas Negeri Makassar dari beberapa daerah di Indonesia Timur sudah mencapai 39 kasus. Itu baru

yang ditemukan oleh UNM saja, dan baru yang terdapat di Indonesia Timur saja. Lebih parahnya lagi, banyak dari orang-orang berijazah palsu ini kemudian menjadi bagian dari sistem pemerintahan yang mengatur bangsa kita, misalnya mantan Bupati Sragen Untung Wiyono yang sudah terbukti, atau Wakil Ketua DPRD Mojokerto RM Boedi dan Bupati Pelalawan HM Harris yang masih dalam penyelidikan. Jika sebelumnya saya mengatakan bahwa kecurangan-kecurangan saat ini bukan hanya milik peserta didik melainkan juga dapat berasal dari tenaga pengajar, hal yang sama pun berlaku pada kasus ini. Meski penggunaan ijazah palsu adalah hal yang sangat menyedihkan, namun setidaknya itu masih merupakan sesuatu yang bisa dilacak. Tetapi, bagaimana dengan yang tidak bisa dilacak? Ambil contoh saja sebuah universitas di Jakarta di mana ada seorang dosen yang secara terang-terangan menawarkan diri untuk membuatkan mahasiswanya skripsi untuk sidang dengan bayaran tertentu. Karena skripsi sebagai sarana kelulusan terbukti keberadaannya, secara de jure ijazahnya tidak dapat dikatakan palsu, tetapi secara de facto, mahasiswa tersebut sama sekali belum lulus! Jika kasus-kasus seperti itu begitu marak, bagaimana kita bisa yakin dengan kualitas SDM hasil pendidikan di Indonesia? Tentu saja sampai di sini kita semua sudah bisa mendapatkan gambaran apa akibat dari semua ini. Pertama, SDM hasil sistem pendidikan di Indonesia akan sulit dipercayai oleh mitra-mitra kerja dalam dan luar negeri. Kedua, sistem pendidikan yang seperti ini akan sangat merugikan peserta-peserta didik yang jujur. Mereka tidak mendapatkan apa yang sepatutnya mereka dapatkan. Ketiga, buruknya pendidikan moral semasa sekolah dapat menjadi akar dari perilaku-perilaku tercela di masa depan, seperti korupsi, nepotisme, sogok-menyogok, dan banyak lagi. Mungkin terdengarnya hiperbola, tapi semua itu berakar dari kebiasaan tidak jujur! Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja adalah dengan tidak membiarkan kecurangan-kecurangan seperti itu terjadi! Pertama-tama kita harus memulai dari diri kita masing-masing. Jika kita saja masih menyontek saat ulangan, masih membeli tugas, bagaimana kita bisa menyuarakan kejujuran akademis? Setelah kita memulai dari diri sendiri, langkah berikutnya adalah tidak memberi kesempatan

bagi orang lain melakukan tindakan-tindakan kecurangan. Tegur teman kita yang akan menyontek. Jangan mau jika ditawari guru atau pihak lainnya untuk jalan-jalan pintas melalui kecurangan. Jika semua bagian dalam sistem bekerja dengan seharusnya, barulah saya yakin sistem tersebut bisa dirubah. Mungkin upaya ini bukan suatu usaha yang instan, tapi saya yakin sepenuhnya, jika kita semua mau dan berusaha, perubahan pasti dapat kita bawa. Sekian dari pidato saya, semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatian dan waktu yang telah diberikan, saya ucapkan terima kasih.