teori komunikasi massa 2 (1)

Upload: widyanto-duta-nugroho

Post on 16-Jul-2015

1.493 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TEORI KOMUNIKASI MASSADISUSUN OLEH : KELOMPOK ANISA SUHRIAWATI RESTI HANDINI MILLITHIA KRISTYNA SHEILA SYLVIANA ARINI INAYAH AYYU ABSHARI SYIFA CHAIRUNISA 210110090173 210110090174 210110090182 210110090191 210110090208 210110090205 210110090212

CUT MEUTIA AYUNDA 210110090157

JURUSAN ILMU HUBUNGAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN

2011

TEORI KOMUNIKASI MASSAKomunikasi (radio, Massa (Mass Communication) oleh adalah komunikasi atau orang yang yang

menggunakan media massa, baik cetak (Surat Kabar, Majalah) atau elektronik televisi) yang dikelola suatu lembaga dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat.

1. Teori Pembelajaran Sosial (social learning)Teori pembelajaran sosial adalah suatu teori yang mengkaji dampak media massa. teori ini dipopulerkan oleh Albert Bandura dan dibantu oleh Richard Walter. Namun sebelumnya teori ini pernah diteliti oleh dua orang psikolog, yaitu: Neil Miller dan John Dollard pada tahun 1941.a.

Penelitian Miller dan Dollard Pada tahun 1939, Miller dan Dollar melakukan penelitian mengenai

teori pembelajaran sosial. Dalam penelitiannya Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, mereka dapat meniru orang dengan sekali pembelajaran, hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Contohnya kita meniru perilaku orang lain, karena kita

mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang tersebut dan juga dari mereka yang mirip dengan orang tersebut di masa lampau. Maka dari hasil penelitian ini Miller dan Dollard mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis, namun melalui belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning (pembelajaran social). Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya.

b.

Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura Pada tahun 1959, Albert Bandura dan Richard Walters mengusulkan

satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anakanak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film kartun.

Maka dari penjelasan ini didapat asumsi dasar Teori Pembelajaran Sosial:

bahwa orang mempelajari banyak perilaku dari peniruan (imitation). Didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan diri / berfikir (selfregulation cognition), hal ini terjadi karena adanya hukuman dan ganjaran, serta keserupaan model dengan pengamatnya.

KONSEP TEORI SOSIAL KOGNITIF Dalam teori pembelajaran sosial terdapat beberapa konsep yaitu pembelajaran, fungsi psikologis, serta ganjaran dan hukuman. a. pembelajaran Satu asumsi paling awal dan mendasar teori pembelajaran sosial

Bandura adalah manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun berperilaku, dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari semua ini adalah pengalaman-pengalaman tak terduga (vicarious experiences).

1.

Observational

Learning

(pembelajaran

dari

hasil

pengamatan atau modeling) Bandura mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran observasional:1. Model

hidup,

yang

melibatkan

seorang

individu

yang

mendemonstrasikan secara langsung dalam kehidupan nyata

2. Model simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku dalam buku-buku, film, program televisi, atau media online. 3. Model pembelajaran verbal, yang melibatkan deskripsi dan penjelasan tentang perilaku.

Proses-proses yang mengatur Pembelajaran dengan mengamati Empat proses yang mengatur pembelajaran dengan mengamati:

1.

Attention

Procces

:

Pembelajaran

sosial

dilakukan

melaui

perhatian individu memiliki kesempatan untuk untyk mengamati individu, dengan mengamati tersebut kita dapat mempelajari tingkah laku model. sesuatu yang menaruh perhatian adalah karakteristik model. Kita akan lebih memperhatikan jika modelnya colorfull, dramatis, atraktif, atau berwibawa atau terlihat sangat kompeten. Dan kita juga akan lebih memperhatikan jika model tersebut terlihat sama dengan diri kita.2.

Retentional

Procces:

Pembelajaran

sosial

dilakukan

melalui

ingatan/merekam objek tahap kedua, kita harus mampu menyimpan (mengingat) apa yang harus diperhatikan. Kita menyimpan apa yang kita lihat pada yang dilakukan model dalam bentuk penggambaran mental atau deskripsi verbal. Ketika benar-benar disimpan, kemudian kita dapat membawa kesan atau deskripsi itu, kita dapat menirunya dengan tingkah laku kita sendiri.

3.

Motor Retroduction : Pembelajaran sosial dilakukan melaui

tindakan/aktivitas Setelah memberi perhatian kepada sebuah model dan

mempertahankan apa yang sudah diamati, kita akan menghasilkan perilaku. Dalam hal ini kita harus memiliki kemampuan untuk menerjemahkan atau mewujudkan kesan/deskripsi pada dalam tingkah laku. misalkan kita bisa bermain sepak bola, dalam dunia nyata kemampuan kita akan meningkat apabila menonton pemain sepak bola yang bermain lebih baik dari kita.4.

Motivational Procces : Timbulnya motivasi atas adanya ganjaran

terhadap proses yang dilakukan Pembelajaran dengan mengamati paling efektif ketika subjek yang belajar termotivasikan untuk melakukan perilaku yang dimodelkan.

2.

Pembelajaran dengan Bertindak (Enactive Learning) Bandura berpendapat bahwa ketika pembelajar secara kognitif terlibat

di dalam situasi pembelajaran dan memahami perilaku mana yang dapat menghasilkan respons-respons yang tepat. Hal ini dikarenakan ketika manusia memikirkan dan mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi dari perilaku tersebut, sehingga manusia akan belajar dan bertindak lebih baik daripada hanya sekedar memperhatikan model dan setelah itu menirunya.

3.

Tanpa penguatan reinforcement atau penguatan penting

Bandura berpendapat bahwa

dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau

tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, dan pilihan manusia tersebut.

4.

kognisi dan pengaturan diri

Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkahlakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang.

Pengaturan diri Faktor-Faktor Eksternal Pengaturan Diri Faktor eksternal menyediakan standar untuk mengevaluasi perilaku kita sendiri.. Faktor-Faktor Internal Pengaturan Diri

1. Observasian Diri (Self-Observation) terhadap performa yang sudah

dilakukan. Manusia sanggup memonitor penampilannya meskipun tidak lengkap atau akurat.2. Proses

Penilaian (Judgmental Process) membantu meregulasi

perilaku melalui proses mediasi kognitif. Proses penilaian bergantung pada empat hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai aktivitas, dan penyempurnaan performa.

3 .Reaksi Diri (Self Reaction). Manusia merespons positif atau negatif perilaku mereka tergantung kepada bagaimana perilaku ini diukur

Secara epistimologis, variabel yang terdapat dalam teori ini adalah sistem pembelajaran dan fungsi sosial. Inti pembelajaran dengan mengamati adalah pemodelan (modeling). Dalam hal ini pemodelan melibatkan proses proses kognitif, jadi tidak hanya meniru tetapi lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan tindakan orang lain. Fungsi-Fungsi Sosial : 1. Faktor kepribadian (kepercayaan, pengetahuan, sikap) 2. Faktor lingkungan 3. Faktor tingkah laku (individual action, choices and verbal statement) Pembelajaran sosial dilakukan/didapat melalui pengamatan media. Respon/tindakan individu muncul setelah melakukan pengamatan terhadap pesan yang disampaikan media baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama,

Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan

mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).

2. Teori Information SeekingDalam masyarakat kita, informasi dalam berbagai bentuknya dan dalam jumlah yang sangat besar diproduksi, didistribusikan, disimpan, dan diterima. Pada saat yang bersamaan, akan menjadi semakin sulit bagi individu untuk menenmukan informasi yang relevan. Kondisi ini telah mengarahkan perhatian para ahli untuk memahami bagaimana orang mencari informasi. Information seeking memiliki beberapa keterkaitan dengan teori

sebelumnya. Teori difusi seringkali menyentuh proses pencarian informasi. Uses and Gratifications dianggap memberikan kerangka bagi studi mengenai proses pencarian informasi. Demikian pula dengan teori-teori congruence yang menjelaskan pengorganisasian sikap, seperti misalnya teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Festinger. Teori Information Seeking yang dikemukakan disini, yaitu dari Donohew dan Tipton (1973), yang menjelaskan tentang pencarian, penghindaran, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang kesesuaian sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena terasa membahayakan. Beberapa konsep utama dari teori ini antara lain adalah image atau image of reality. Pertama-tama, konsep image ini mengacu pada pengalaman yang diperoleh sepanjang hidup seseorang dan terdiri dari berbagai tujuan, keyakinan, dan pengetahuan yang telah diperolehnya. Bagian kedua dari image terdiri dari konsep diri seseorang, termasuk evaluasinya terhadap kemampuan dirinya dalam mengatasi berbagai situasi. Ketiga, image of

reality terdiri dari suatu perangkat penggunaan informasi yang mengatur perilaku seseorang dalan mencari dan memproses informasi. Ketika mencari informasi, individu dapat memilih di antara berbagai strategi yang dalam teori ini dibedakan antara strategi luas dan sempit. Pada strategi yang luas, individu pertama-tama akan membuat suatu daftar mengenai sumber-sumber informasi yang memungkinkan, mengevaluasinya, dan memilih sumber mana yang akan digunakannya. Dalam strategi yang sempit, satu sumber digunakan sebagai titik awal, dan pencarian lebih lanjut dilakukan dengan menempatkan sumber tersebut sebagai basisnya. Pencarian informasi akan dilakukan sampai pada tahap yang disebut closure di mana seseorang akan berhenti mencari lebih banyak informasi. Proses pencarian informasi oleh Donohew dan Tipton dijelaskan dalam beberapa tahapan. Proses dimulai ketika individu diterpa oleh sejumlah stimuli. Kepada stimuli tersebut, individu dapat memperhatikan atau tidak memperhatikan, dan pilihan pada salah satunya sebagian ditemukan oleh karakteristik dari stimuli tersebut. Pada tahap berikutnya, terjadi suatu perbandingan antar stimuli (informasi) dan image of reality yang dimiliki individu tersebut. Di sini diuji tingkat relevansi dan konsistensi antara image dan stimuli. Materi/informasi yang terlalu berbahaya atau tidak penting akan tersaring keluar, demikian pula dengan stimuli yang dianggap monoton karena tingkat konsistensinya yang tinggi. Jika stimuli diabaikan maka proses ini otomatis berhenti. Berikutnya muncul persoalan tentang apakah stimuli tersebut menuntut suatu tindakan. Jika jawabannya adalah tidak, maka efek dari stimuli mungkin adalah membentuk suatu bagian tambahan dari image. Sedangkan jika jawabannya adalah ya, maka perangkat dari image of reality, sperti pengalaman, konsep diri, dan gaya pemrosesan informasi akan mempengaruhi tindakan apa yang harus dilakukan.

Seandainya

dalam menilai

suatu

situasi,

seseorang

memberikan

prioritas lebih pada suatu stimuli dibandingkan stimuli lainnya, maka dia dapat memilih untuk mencukupkan pencarian informasinya atau mencari informasi lebih jauh. Dalam hal yang kedua, orang tersebut harus menentukan kebutuhan-kebutuhan informasinya dan menilai sumber-sumber yang potensial untuk menjawab kebutuhannya. Seandainya terdapat lebih dari satu sumber informasi yang potensial, orang tersebut harus memikirkan strategi informasi apa yang dipilih (luas atau sempit). Apa pun pilihan strateginya, seseorang akan mencapai titik dimana dia sudah merasa cukup mendapatkan informasi, yang biasanya akan dilanjutkan dengan dilakukannya suatu tindakan. Setelah melakukan tindakan, seseorang mungkin akan memerlukan umpan balik (feedback) dari tindakannya, yang memungkinkan untuk mengevaluasi efektivitas tindakannya. Di sini dia juga dapat menilai apakah informasi yang diperolehnya berguna dan relevan bagi tindakan yang dia lakukan. Pada bagian terakhir, proses ini dapat menghasilkan revisi pada image of reality seseorang. Pengalaman barunya dapat mengubah persepsinya terhadap lingkungan dan konsep diri yang telah dia miliki. Sebagai hasil dari suatu proses yang bekerja secara utuh, gaya/cara pencarian informasinya dapat juga dimodofikasi atau diperkuat. Secara ontologis, asumsi dasar dari teori information seeking ini adalah ketika seseorang mencari atau memperoleh informasi, orang tersebut cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of realitynya karena akan dianggap mengganggu dan mengancam keseluruhan sistem yang telah ada pada dirinya. Untuk mempermudah pemahaman, kita akan mencoba menerapkan teori ini dalam contoh berikut :

Seorang petani menemukan adanya gejala hama yang menyerang padi disawahnya (stimuli). Dia akan menganggap hal ini relevan dan memberikan prioritas tinggi pada informasi mengenai hama tersebut. Melihat situasi seperti itu, dia merasa bahwa informasi yang dimilikinya belum cukup dan mempertimbangkan sumber-sumber informasi apa yang dapat dipergunakannya. Dia memutuskan untuk menggunakan strategi sempit, di mana dia menghubungi Dinas Pertanian setempat. Selanjutnya oleh Dinas tersebut dia disarankan untuk menghubungi seorang ahli hama pertanian yang kemudian memberikan informasi yang dia butuhkan. Ketika sekali lagi dia mengevaluasi situasi yang dihadapinya, dia merasa telah mendapatkan cukup informasi (closure), dan dia lalu bertindak sesuai dengan informasi yang telah diperolehnya. Persoalan hama teratasi dan petani tersebut menganggap tindakan yang dia lakukan adalah tepat, demikian pula dengan informasi yang diperolehnya. Akhirnya, image of reality-nya telah sedikit berubah, sesuai dengan pengalaman barunya.

3. Teori Peluru atau Jarum HipodermikTeori peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic needle theory (teori jarum hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The Invasion from Mars (Effendy.1993: 264-265). Teori ini diperkenalkan oleh Wilbur Schramm. Secara ontologis, teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif). Dalam teori ini lebih membahas mengenai efek adanya media massa sebagai komunikator terhadap khalayak atau komunikan. Pengaruh media sebagai hypodermic

injection (jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945). Secara Epistimologis, variable yang terdapat dalam teori ini adalah komunikator dan komunikan. Namun, teori yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm ini dicabut kembali tahun 1970-an, dengan meminta kepada para pendukungnya untuk menganggap teori ini tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif. Pernyataan ini juga didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Sehingga secara aksiologis, teori ini belum terlalu diterapkan, karena teori tersebut dicabut kembali. Tetapi, pada tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan para pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori peluru tersebut. Sehingga muncul teori lain yaitu, Limited Model Effect.

4. Teori Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antarpribadi (The Two Step Flow Communication Theory)Konsep komunikasi dua tahap (two step flow of communication) pada awalnya berasal dari Paul Felix Lazarsfeld, Bernard Berelson dan Hazel Gaudet yang berdasarkan pada penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seringkali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders) dan dari mereka ini berlalu menuju penduduk yang kurang giat. Hal ini pertama kali diperkenalkan oleh Lazarsfeld pada tahun 1944. Kemudian dikembangkan oleh Elihu Katz di tahun 1955. Pada awalnya para ilmuan berpendapat bahwa efek yang diberikan media massa berlaku secara langsung seperti yang dikatakan oleh teori jarum suntik. Akan tetapi Lazarsfeld mempertanyakan kebenarannya. Pada saat itu, mungkin saja dia mempertanyakan apa hubungan antara media massa dan masyarakat pengguna media massa saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Selain itu keingintahuan Lazarsfeld terhadap apa saja efek yang diberikan media massa pada masyarakat pengguna media massa pada saat

itu

serta

cara

media

massa

menyampaikan

pengaruhnya

terhadap

masyarakat. Untuk itu Lazarsfeld memanfaatkan pemilihan umum presiden Amerika pada tahun 1940. mempengaruhi opini Lazarsfeld mencari tahu cara kerja media dalam publik mengenai calon presiden Amerika yang

berkampanye melalui media massa. Lazarsfeld dan beberapa rekannya memilih daerah Erie County di Ohio serta Elmira di New York sebagai tempat penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif pada bulan Mei hingga November 1940. Fokusnya terhadap pengaruh interpersonal dalam penyampaian pesan. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keputusan media dibuat. Ternyata ditemukan hal yang sangat menarik bahwa hanya 5% responden yang mengaku bahwa mereka menglami perubahan sikap setelah melihat pesan media secara langsung. Selebihnya pemilih mengatakan bahwa hal yang sedikit banyak berpengaruh dalam pembuatan opini mereka adalah interaksi dengan orang terdekat seperti keluarga atau teman. Setelah melakukan observasi terhadap responden, Lazarsfeld kemudian menemukan kesimpulan yang sedikit bertolak belakang dengan apa yang diyakini sebelumnya. Hal yang ditemukan Lazarsfeld bahwa terdapat banyak hal yang terjadi saat media massa menyampaikan pesannya. Cara kerja media massa dalam mempengaruhi opini masyarakat terjadi dalam dua tahap. Disebut dua tahap karena model komunikasi ini dimulai dengan tahap pertama sebagai proses komunikasi massa, yaitu sumbernya adalah komunikator kepada pemuka pendapat. Kedua sebagai proses komunikasi antarpersonal, yaitu dimulai dari pemuka pendapat kepada pengikutpengikutnya. Proses tersebut bisa digambarkan seperti bagan di bawah ini: Media Massa ---> Pesan-pesan ---> Opinion Leaders ---> Followers (Mass Audience)

Pada

masa selanjutnya, teori ini memperlihatkan bahwa pengaruh

media itu kecil, ada variabel lain yang lebih bisa mendominasi dalam mempengaruhi masing-masing penonton. Hal ini dapat dicontohkan pada dua orang yang sedang menonton sebuah iklan motor di TV. Orang pertama berkeyakinan bahwa motor yang ditayangkan dalam iklan tersebut adalah paling bagus daripada motor lainnya, karena ia pun telah mencoba dan membuktikannya. Dan akhirnya ia menceritakan hal itu kepada penonton lain yang kebetulan sedang mencari motor yang dianggap baik pula. Setelah itu, penonton kedua pun mendapat keyakinan yang sama, sehingga ia membeli motor yang serupa. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel lain yang dianggap lebih bisa mendominasi daripada media adalah seseorang terdekat yang memberi pengaruh kuat pada orang lainnya. Teori ini berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld dan kawan-kawannya mengenai efek media massa dalam suatu kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Studi tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil penelitian menunjukkan sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah, dan asumsi stimulus-respons tidak cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan pembentukan pendapat umum. Dalam analisisnya terhadap hasil penelitian tersebut, Lazarsfeld

kemudian mengajukan gagasan mengenai komunikasi dua tahap (two step flow) dan konsep pemuka pendapat. Temuan mereka mengenai kegagalan media massa dibandingkan dengan pengaruh kontak antarpribadi telah membawa kepada gagasan bahwa seringkali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para pemuka pendapat, dan dari mereka kepada orang-orang lain yang kurang aktif dalam masyarakat. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan dengan penelitian yang lebih serius dan re-evaluasi terhadap teori stimulus-respons dalam konteks media massa.

Teori dan penelitian-penelitian komunikasi dua tahap memiliki asumsiasumsi sebagai berikut (ontologis): 1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. 2. Respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak akan terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut. 3. Ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi. 4. Individu tidak bersikap sama terhadap pesan atau kampanye media, melainkan memiliki berbagai peran yang berbeda dalam proses komunikasi, dan khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan meneruskan atau mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya. 5. Individu-individu yang berperan aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap orangorang lain, dan memiliki peran sebagai sumber informasi dan panutan. Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam suatu situasi kevakuman sosial, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan, yang lainnya.

5. Uses, Gratifications and Depedency TheorySalah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan sering digunakan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah

uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media? (McQuail, 2002 : 388). Berdasarkan dimensi teori, teori ini dapat dijabarkan dengan tiga demensi teori sebagai berikut : a. Epistemologi Apa yang ditelaah Uses and Gratification Theory yaitu komunikasi massa, unsur-unsur komunikasi massa yang meliputi; komunikator, pesan, media, komunikan atau khalayak/audiens dan pengaruh dari media massa. Uses and Gratification Theory yang merupakan salah satu dari teori komunikasi massa melihat audiens dari proses komunikasi massa sebagai individu yang aktif, selektif dan memiliki tujuan tertentu terkait dengan terpaan media kepadanya. Artinya individu atau audiens (khalayak) sebagai makhluk sosial mempunyai sifat selektif dalam menerima pesan yang ada dalam media massa. Audiens yang menerima pesan tidak serta merta lagi menerima semua pesan, informasi dari media seperti halnya dalam teori peluru dan model jarum hipodermik melainkan audiens menggunakan media tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhannya sehingga menciptakan kepuasaan dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. b. Ontologi Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael

Gurevitch (dalam Rakhmat, 2005), uses and gratifications meneliti asal mula motif secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan motif dan akibat-akibat lain.

Lebih lanjut William J. Mcguire dalam Jalaludin Rakhmat (2005) menjelaskan bahwa berdasarkan berbagai aliran dalam psikologi motivasional ada setidaknya 16 motif. Motif ini terbagi menjadi dua kelompok besar yakni motif kognitif dan motif afektif. Motif kognitif terdiri dari konsistensi, atribusi, kategorisasi, otonomi, stimulasi, teleologis, dan utilitarian sedangkan motif afektif antara lain adalah reduksitas, ekspresif, egodefensif, penguhan, penonojolan, afiliasi, identifikasi dan peniruan. Sebagai makhluk sosial, motif manusia terbentuk dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial ini antara lain terdiri dari karakteristik demografis, kelompok-kelompok sosial yang diikuti dan karakteristik personal seseorang. Littlejohn (2002) menjelaskan bahwa dalam perspektif uses and gratifications, khalayak yang dengan sadar memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan media atau dengan cara lain. Selain sadar dengan kebutuhan-kebutuhannya, khalayak pun dapat menyadari apakah cara yang digunakan untuk memenuhi motif-motif ini bisa memuaskannya atau tidak. Penelitian tentang teori uses and gratifications sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1940an ketika para peneliti tertarik untuk mengetahui mengapa audiens memiliki pola penggunaan media yang berbeda-beda (Wimmer dan Dominick, 1987). Penelitian tentang uses and gratificationspada awalnya hanya berupa penelitian deskriptif yang berusaha untuk mengklasifikasikan respons khalayak terhadap penggunaan media ke dalam beberapa ketegori (Berelson, Lazarsfeld, & McPhee, 1954; Katz & Lazarsfeld, 1955; Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet, 1948; Merton, 1949 dalam Ruggerio, 2000). Wimmer & Dominick (1987) menyebutkan baru pada tahun 1950an hingga 1960an penelitian uses and gratifications ini lebih menfokuskan pada identifikasi variabel-variabel psikologis dan sosial yang diperkirakan sebagai precursors dalam perbedaan pola konsumsi media massa. Beberapa penelitian pada periode ini,disebutkan oleh Ruggerio (2000), dilakukan oleh banyak peneliti dengan subyek dan obyek yang bervariasi. Schramm, Lyle, dan Parker (1961) misalnya meneliti tentang penggunaan televisi oleh anak-anak yang

dipengaruhi oleh perkembangan mental anak bersangkutan dan hubungannya dengan orangtua dan teman-temannya. Ruggerio (2000) pun mensitasi penelitian Katz dan Foulkes (1964) dalam mengkonsepsikan penggunaan media massa sebagai pelarian sedangkan Klapper (1963) menekankan pentingnya menganalisa efek dari penggunaan media daripada sekedar melabeli motif penggunaan seperti yang telah dilakukan banyak peneliti sebelumnya. Greenberg and Dominick (1969) dalam penelitian selanjutnya menyimpulkan bahwa ras dan kelas sosial berpengaruh pada bagaimana remaja menggunakan televisi sebagai bahan pelajaran informal. Selama tahun 1970an penelitian dengan intens menguji motivasi audiens dan membangun tipologi-tipologi tambahan dalam penggunaan media untuk memperoleh kepuasan sosial dan psikologis. Hal ini merupakan jawaban dari kritik-kritik yang disampaikan oleh beberapa ilmuwan terhadap teori uses and gratifications. Kritik yang disampaikan oleh Elliott (1974), Swanson (1977), serta Lometti, Reeves, and Bybee (1977) yang mengungkit bahwa teori uses and gratifications ini memiliki empat masalah konseptual yakni ketidakjelasan kerangka konseptual, konsep mayor yang kurang tepat, penjelasan teori pendukung yang membingungkan dan kegagalan dalam memperhitungkan persepsi audiens terhadap konten media (Ruggerio, 2000:4). Beberapa contoh penelitian dari periode ini antara lain penelitian Rosengreen (1974) yang menyatakan bahwan beberapa kebutuhan dasar beinteraksi dengan karakteristik personal dan lingkungan sosial seseorang akan menghasilkan beberapa permasalahan dan beberapa solusi. Masalah dan solusi yang ditimbulkan ini merupakan bagian dari perbedaan motif untuk pencarian gratifikasi yang muncul dari penggunaan media atau aktivitias lain. Secara bersamaan penggunaan media atau aktivitas lain dapat menghasilkan gratifikasi (atau non-gratifikasi) yang memiliki efek terhadap seseorang atau masyarakat yang akhirnya menciptakan proses yang baru.

Tahun 1980 dan 1990an banyak penelitian yang mulai menganalisa penemuan-penemuan dari penelitian terpisah dan menganggap bahwa penggunaan media massa sebagai sebuah komunikasi terintegrasi sekaligus fenomena sosial (Rubin dalam Ruggerio, 2000:7). Contoh-contoh yang mendukung penelitian pada tahun-tahun ini adalah penelitian yang dilakukan Eastman (1979) yang menganalisa hubungan antara penggunaan media televisi dengan gaya hidup audiens, Ostman and Jeffers (1980) menguji hubungan antara motivasi penggunaan televisi dengan gaya hidup khalayak dan genre telvisi untuk mprediksikan motivasi menonton. Bantzs (1982) melakukan studi komparatif antara motivasi penggunaan media secara umum dan menonton program televisi tertentu. Pada tahun 1980-an pula Windahl (dalam Ruggerio, 2000:6) mengemukakan terdapat perbedaan mendasar antara pendekatan efek secara tradisional dan pendekatan teori uses and gratificationsdimana penelitian tentang efek sebelumnya selalu berangkat dari perspektif media massa, namun pada penelitian uses and gratifications peneliti berangkat dari perspektif khalayak. Windahl percaya untuk menggabungkan dua pendekatan ini dengan mencari persamaan dari keduanya dan menamai penggabungan ini dengan istiah conseffects. Berbeda dengan Webster dan Wakshlag (dalam Ruggerio:2000) yang berupaya untuk meningkatkan validitas dari determinan struktural dengan cara menggabungkan perbedaan perspektif antara uses and gratifiactions dengan model pemilihan. Pendekatan ini melihat perubahan antara struktur program, pilihan konten media dan kondisi menonton dalam proses pemilihan program. Penelitian lain juga dilakukan oleh Dobos yang menggunakan model uses and gratifications untuk mengamati kepuasan penggunaan dan pemilihan media komunikasi tertentu. Tidak bisa dipungkiri dengan adanya perkembangan baru teknologi yang menyuguhkan khalayak dengan banyaknya pilihan media, analisa motivasi dan kepuasan menjadi komponen yang paling krusial dalam dalam sebuah organisasi yang dapat mempredikasikan pemilihan saluran telvisi dan kepuasan dengan teknologi

penelitian khalayak (Ruggerio, 2000). Setiap kali teknologi komunikasi baru tumbuh, dalam hal ini komunikasi massa, para peneliti kemudian berlombalomba untuk mengaplikasikan pendekatan uses and geratifications ini terhadap medium baru tersebut.Contohnya adalah Donohew, Palmgreen, and Rayburn (1987) yang mengeksplorasi bagaimana kebutuhan untuk beraktivasi berkorelasi dengan faktor-faktor sosial dan psikologis yang berdampak pada gratifikasi yang didapatkan oleh pemirsa televisi kabel. Walker and Bellamy (1991) meneliti tentang hubungan antara penggunaan pengendali televise jarak jauh dengan ketertaikan audiesn terhadap program tertentu. Lin (1993) melakukan studi untuk mengetahui jika kepuasaan penggunaan VCR, frekuensi dan durasi penggunaan VCR dan komunikasi antarpersonal tentang VCR berhubungan dengan tiga fungsi VCR yakni hiburan, teknologi pengganti televisi dan utilitas social. Jacobs (1995) menguji hubungan antara karakteristik sosiodemografis khalayak dan kepuasan menonton pada pemirsa televise kabel. Perse dan Dunn (1998) meneliti tentang penggunaan computer dan bagaimana kepemilikan CD-Rom dan fasilitas internet dapat berpenganruh tentang kegunaan komputer. Matthias Rickes, Christian von Criegern, Sven Jckel (2006) meneliti tentang gratifikasi yang didapatkan dari penggunaan situs-situs internet. Benang merah tentang penerapan teori uses and gratifications dalam media ini diungkapkan oleh Williams, Phillips, & Lum pada tahun 1985 (dalam Ruggerio, 2000) bahwa setiap peneliti ingin mengetahui apakah media baru dapat memenuhi kebutuhan khalayak yang sama dengan media konvesional yang telah diuji sebelumnya. Ruggerio (2000) sendiri menganggap bahwa dengan banyak pilihan media di masyarakat maka perlu diteliti alasan khalayak untuk terus mengkonsumsi media tertentu dan gratifikasi apa yang mereka dapatkan dari penggunaan media tersebut. c. Aksiologi

Teori uses and gratification ini dapat menggunakan teori ini untuk mengukur tingkat kebutuhan masyarakat terhadap suatu media. Dan bermanfaat sebagai referensi dalam melakukan penelitian di bidang media massa. Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut : Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345). Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, satu cara memenuhi kebutuhannya individu dan dan bagaimana individu cara boleh memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah memenuhi kebutuhan memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan

rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387). Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media persons interactions sebagai berikut :

Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi

Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).

Teori yang dikemukakan oleh Blumler, Gurevitch dan Katz (Griffin, 2003) ini menyatakan bahwa pengguna media memainkan peran yang aktif dalam memilih dan menggunakan media. Pengguna media menjadi bagian yang aktif dalam proses komunikasi yang terjadi serta berorientasi pada tujuannya dalam media yang digunakannya. Littlejohn menyatakan bahwa teori ini menekankan fokus pada individu khalayak ketimbang pesan dari media itu sendiri. Pada awalnya menurut Blumler (dalam Pedersen & Ling, 2003:11), teori ini ditujukan untuk penelitian media yang berbasis kepada media dan komunikasi massa. Akan tetapi di masa kini, teori ini juga telah digunakan untuk meneliti penggunaan internet (Flanagin dan Metzer pada tahun 2001), ponsel (Ozcan dan Kocak, 2003), blog (Li, 2005), world wide web (Kaye dan Johnson, 2002), dsb. Menurut Blumler dan Katz (1974, dalam Fiske, 2007:213-214) beberapa asumsi mendasar dari uses and gratifications adalah sebagai berikut:

1) Khalayak itu aktif. Khalayak bukanlah penerima yang pasif atas apa pun yang media siarkan. Khalayak memilih dan menggunakan isi program. 2) Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan programprogramnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya. 3) Media bukanlah satu-satunya sumber pemuasan kebutuhan. 4) Orang bisa atau dibuat bisa menyadari kepentingan dan motifnya dalam kasus-kasus tertentu. 5) Pertimbangan nilai tentang signifikansi kultural dari media massa harus dicegah. Semisal, tidaklah relevan untuk menyatakan program-program infotainment itu sampah, bila ternyata ditonton oleh sekian juta penonton. Beberapa motif kebutuhan yang menyebabkan khalayak menggunakan media menurut McQuail (dalam Miller, 2002:244) adalah information (kebutuhan akan informasi dari lingkungan sekitar), personal identity (kebutuhan untuk menonjolkan sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang), integration and social interaction (dorongan untuk menggunakan media dalam rangka melanggengkan dan menghibur diri. Gratification Category Examples Information

hubungan

dengan

individu

lain) dan entertainment (kebutuhan untuk melepaskan diri dari ketegangan

Belajar, maupun belajar secara otodidak. Meningkatkan kesadaran akan keamanan melalui pengetahuan. Mencari tahu peristiwa yang sedang terjadi di sekeliling, maupun di tingkat nasional maupun global.

Personal Identity

Mencari model/teladan dalam berperilaku. Mencari penguatan kepribadian. Mendalami sosok orang lain secara lebih mendalam.

Integration and Social Interaction

Mengidentifikasi diri dengan orang lain dan menguatkan rasa saling memiliki. Menghubungkan diri dengan keluarga, kawan maupun masyarakat. Mencari rekan untuk berkomunikasi/bercakap-cakap dan berinteraksi.

Entertainment

Melepaskan diri dari permasalahan (eskapisme). Mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Mengisi waktu luang.

McQuail (1983, dalam Miller, 2002: 244) Adapun proses internal yang dialami oleh seorang khalayak dalam mencari gratifikasi (kepuasan) dari media adalah sebagai berikut (Kim & Rubin, 1997 dalam Miller, 2002:244-245): Pertama, seorang khalayak akan melakukan proses seleksi (selectivity). Gratifikasi yang diinginkannya akan disesuaikan dengan media yang akan digunakannya. Seseorang yang ingin beristirahat setelah capek bekerja seharian, tentu akan memilih mendengarkan musik-video ketimbang melihat dialog/debat di televisi. Kedua, selanjutnya yang dilakukan adalah proses memperhatikan (attention). Pada proses ini, individu khalayak akan mengalokasikan usaha kognitifnya untuk mengkonsumsi media. Seseorang yang pelatih sepakbola tentu akan lebih teliti dalam membaca tabloid Bola, ketimbang seseorang yang sekedar membaca untuk mengisi waktu luang. Ketiga, proses terakhir adalah proses keterlibatan (involvement). Pada proses ini seorang khalayak akan terlibat lebih dalam secara personal dengan media tersebut, bahkan juga memiliki

hubungan spesial dengan karakter media tersebut. Proses ini seringkali juga disebut sebagai para-social interaction. Misalnya, para penonton sepakbola level maniak, biasanya akan mampu merasakan ketegangan meski hanya menonton dari layar televisi. Pada dasarnya, uses and gratifications selalu membawa pendekatan mutakhir teori pada tahap awal setiap media komunikasi massa baru (Baran & Davis, 2009:237). Thomas Ruggiero (2000, dalam Baran & Davis, 2009:237238) merumuskan 3 karakteristik dari komunikasi berbasis komputer (internet) yang harus diteliti oleh peneliti berbasis uses and gratifications, yaitu: 1) Interactivity Bermakna suatu kondisi dimana individu dalam setiap proses komunikasi memiliki kontrol dan dapat mengubahperan dalam proses tersebut (komunikator komunikan). 2) Demassification Adalah peluang dari individu pengguna media untuk memilih dari menu yang amat luas/bervariasi. Tidak seperti media tradisional lainnya, internet dalam hal ini mengijinkan tiap penggunanya untuk menyesuaikan pesan sesuai dengan kebutuhan mereka. 3) Asynchroneity Bermakna bahwa pesan yang dibawa oleh media internet dapat menghubungkan komunikator dan komunikan pada waktu yang berbeda, namun mereka tetap dapat berinteraksi secara nyaman. Seorang individu dapat mengirim, menerima dan menyimpan sebuah pesan sekehendaknya. Untuk media televisi, asynchroneity bermakna individu dapat menyimpan sebuah tayangan televisi untuk kemudian ditontonnya kembali pada waktu yang lain.

Dalam kasus perkembang media tradisional ke media baru. Uses and gratifications sangat penting posisinya untuk memetakan kecenderungan media baru yang menjadi suplemen atau bahkan menggantikan posisi media tradisional di dalam masyarakat (Baran & Davis, 2009:238). Akan tetapi, uses and gratifications juga tidak lepas dari adanya kritik. Beberapa pakar menilai teori ini terlalu membesar-besarkan peran pengguna media dalam memilah media. Mereka menilai bahwa sebagian besar pengguna media adalah kelompok yang pasif dan dan hanya menjalani kebiasaan, dan tidak masuk akal untuk menanyakan tentang hal itu kepada orang-orang tersebut. Problema ini ditemukan pula oleh Jay G. Blumler yang melihat bahwa aktivitas (audiens, pengguna media) maknanya terlalu luas. Oleh karena itu ia menjelaskan kembali makna tersebut ke dalam 4 hal:utility, intentionality, selectivity dan imperviousness to influence. Utility bermakna menggunakan media memiliki untuk kegunaan dan pengguna pun

media

mendapatkan

kegunaan

tersebut. Intentionality bermakna konsumsi dari suatu media dapat terjadi karena dorongan yang ada dari tiap orang. Selectivity bermakna penggunaan media dapat merefleksikan minat dan preferensi yang sedang dirasakan oleh seorang pengguna. Sedangkan, imperviousness to influencebermakna seringkali pengguna media bersikap keras kepala, tidak mau diatur oleh siapapun dan apapun. Sehingga secara otomatis, menghindari tipe media tertentu. S elain beberapa kegunaan dan alasan untuk menggunakan media

tersebut. Katz, Blumler dan Gurevitch (1974, dalam Baran & Davis, 2009:241242) menjelaskan juga adanya situasi sosial yang membuat seorang pengguna membutuhkan media, antara lain:

1) Situasi sosial dapat melahirkan tekanan dan konflik, ketika itu konsumsi media bisa jadi adalah obat untuk keluar dari tekanan tersebut. 2) Situasi sosial dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk terus mencari informasi yang ditawarkan pada media. 3) Situasi sosial dapat membatasi peluang untuk berinteraksi di dunia nyata, di situlah media dapat berfungsi sebagai suplemen atau bahkan menggantikan kehidupan nyata tersebut. 4) Situasi sosial seringkali melahirkan nilai-nilai sosial tertentu. Pemenuhan kepuasan dari nilai-nilai tersebut dapat difasilitasi oleh konsumsi media tertentu. 5) Situasi sosial dapat membuat pengguna semakin akrab dengan media. Kedekatan pengguna dengan media beserta isinya, dimaksudkan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam kelompok-kelompok tertentu. Secara umum, inilah kelebihan dan kelemahan dari uses and gratifications: 1. 1. Memfokuskan perhatian pada individu dalam melihat proses

komunikasi massa. 2. 2. Respek pada kemampuan intelektual dari pengguna media. 3. 3. Menyediakan analisis yang mencerahkan bagaimana pengguna berinteraksi dengan isi media. 4. 4. Membedakan antara pengguna yang aktif dengan yang pasif. 5. 5. Mempelajari media sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. 6. Menyediakan wawasan yang berguna untuk dalam proses adopsi terhadap media baru.7. Bergantung pada analisis fungsional, yang dapat menciptakan bias

terhadap status quo. 8. Tidak dapat dengan mudah memberi petunjuk ada tidaknya efek. 9. Banyak konsep-konsep kuncinya dikritik, karena tidak dapat diukur

10.

Terlalu berorientasi pada level mikro.

(Baran & Davis, 2009:242)

6. Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)Teori yang akan dibahas adalah value-expectancy theory, sebuah teori yang dikembangkan oleh psikolog terkemuka, Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada awal tahun 1970-an. Sejarah Teori Teori nilai harapan (value-expectancy theory) dikemukakan oleh Dr. Martin Fishbein pada awal tahun 1970-an. Teori ini pertama kali dijelaskan dalam buku Martin Fishbein dan Icek Ijzen tahun 1975 yaitu Belief, Attitude, Intention, and Behaviour: An Introduction to Theory and Research. Penelitian teori ini juga dapat dilihati dalam disertasi Fishbein yakni A Theoretical and Empirical Investigation of the Interrelation between Belief about an Object and the Attitude toward that Object (1961, UCLA). Teori ini juga dijelaskan dalam dua artikel lainnya tahun 1962 dan 1963 dalam jurnal Human Relations. Penelitian Fishbein dituliskan oleh peneliti lain seperti Ward Edwards, Milton Rosenberg, dan John B. Watson. Dr. Martin Fishbein adalah seorang Profesor Kehormatan dari Harry C. Coles Jr. di jurusan Komunikasi Annenberg School for Communication dan Direktur Health Communication Program (Program Komunikasi Kesehatan) di Annenberg Public Policy Center. Di samping value-expectancy theory, beliau juga penggagas theory of reasoned action. Dr. Fishbein menerbitkan 200 artikel dan bab dalam buku profesionan dan jurnal, serta mengarang dan mengedit enam buku. Penelitian Dr. Fishbein terdiri dari teori sikap dan tindakan, komunikasi dan persuasi, prediksi dan perubahan tingkah laku. Ia meneliti di lapangan dan

laboratorium terdiri dari penelitian terhadap keefektifan dari tingkah laku kesehatan. Beliau adalah pimpinan Society Consumer Psychology and the Interamerican Psychological Society. Value-expectancy theory adalah salah satu teori tentang komunikasi massa yang meneliti pengaruh penggunaan media oleh pemirsanya dilihat dari kepentingan penggunanya. Teori ini mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap segmen-segmen media ditentukan oleh nilai yang mereka anut dan evaluasi mereka tentang media tersebut. Teori ini merupakan tambahan penjelasan dari teori atau pendekatan uses and gratifications adalah dijelaskannya teori yang mendasarkan diri pada orientasi khalayak sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya.Intinya, sikap kita terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan tentang penilaian kita terhadap media tersebut. (Palmgreen dkk. dalam Littlejohn, 1996:345) membatasigratification sought (pencarian kepuasan) berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi kita terhadap isi media tersebut. Jika kita percaya bahwa film India dapat memberikan hiburan terhadap kita, dan kita menilai hiburan tersebut termasuk bagus (misalnya bersifat edukatif), maka kita akan mencari kepuasan dengan menonton film India tersebut sebagai hiburan. Itu contohnya. Juga sebaliknya, jika kita menilai film India sebaliknya dari itu, maka kita tidak akan menontonnya. Film-film telenovela dari Amerika Latin yang sekarang banyak

ditayangkan oleh televisi swasta, banyak disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena. Dari fenomena tersebut, bisa diguga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran film-film tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budaya yang sama sekali tidak rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga sangat banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat bertele-tele, dsb. Namun

demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian dari kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya. Tampaknya masalah hiburan tidak selalu mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita. Contoh lain, bila kita percaya bahwa segmen gosip akan menghadirkan hiburan bagi kita, dan kita senang dihibur, maka kita akan memenuhi kepentingan kita dengan menonton/mendengar/ membaca acara gosip. Di pihak lain bila kita percaya bahwa bergosip itu termasuk bergunjing dan melihatnya sebagai hal yang negatif, dan kita tidak menyukainya, kita akan menghindar diri dari menonton/ mendengar/ membacanya. Klandersman dalam value-expectancy theory nya menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi nilai (value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan. "Individual's behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior" (Klandersman,1997,h.26). Perilaku seseorang akan menghasilkan sesuatu, semakin tinggi nilai yang diharapkan, semakin tinggi pula keinginan untuk mewujudkan perilaku tertentu. Teori ini mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319). Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Value-expectation theory memiliki tiga komponen dasar yakni: 1. Individu merespon informasi baru tentang suatu hal atau tindakan dengan menghasilkan suatu keyakinan dari hal atau tindakan tersebut. Bila

keyakinan sudah terbentuk, itu dapat dan seringkali berubah dengan informasi baru. 2. Setiap individu memberikan sebuah nilai (value) pada setiap sifat di mana keyakinan tersebut tergantung/berdasar. 3. Sebuah harapan (expectation) terbentuk atau termodifikasi berdasarkan hasil perhitungan antara keyakinan (beliefs) dan nilai-nilai (values) Sebagai contoh, seorang mahasiswa menemukan bahwa seorang profesor memiliki sifat humoris. Mahasiswa tersebut memberikan nilai positif pada humor di kelas, jadi mahasiswa tersebut memiliki harapan bahwa pengalamannya dengan profesor akan positif. Ketika mahasiswa menghadiri kelas dan menemukan sang profesor humoris, mahasiswa tersebut akan memperhitungkan bahwa itu adalah kelas yang baik. Fishbein dan Azjen (1975) memberikan persamaan untuk teori ini sebagai berikut: Philip Palmgreen memodernisasikan teori ini dengan rumus sebagai berikut: Gsi = biei Keterangan: Gsi = gratification sought (pencarian kepuasan) bi = belief (keyakinan) ei = evaluation (evaluasi) Penggunaan: Ketika memperoleh pengalaman dengan suatu media,

kepuasan yang diperoleh akan memengaruhi keyakinan, menguatkan pola yang terlihat.(Philip Palmgreen)

Salah satu kegunaan value-expectancy theory adalah dalam pendekatan persuasi (persuasion approaches). Berdasarkan teori ini kita mengharapkan sesuatu untuk mengontrol sikap kita (e.g. Fishbein & Ajzen, 1975; Rosenberg, 1956). Memengaruhi seseorang meliputi mengubah nilai yang mereka harapkan untuk diterima. Sebagai contoh, jika kita mengharapkan hasil yang baik dari pendapat namun seseorang meyakinkan kita bahwa pendapat tersebut tidak bagus, maka kita akan mengubah isi dari pendapat tersebut. Ada dua penjelasan utama mengapa seseorang mengubah pendiriannya. Konsistensi Afektif-Kognitif (Affective-Cognitive Consistency). Teori ini menyatakan bahwa pengaruh dan kesadaran kita mengenai suatu hal terdiri dari dua aspek. Affectmeliputi sikap kita, bagaimana suatu hal terasa menyenangkan. Cognitions kepercayaan yang berhubungan dengan objek. Jika kita percaya konsekuensi yang baik akan didapat dari pendapat, kita akan memakai pendapat itu. Affective-Cognitive Consistency menjelaskan hukum sikap kognitif: jika kita mengubah kepercayaan seseorang tentang pendapat, sikapnya akan berubah secara otomatis dalam kesamaan tujuan dan tingkat sesuai dengan perubahan keyakinan. Sebagai contoh, kita dihadapkan pada pilihan bahwa mendapat nilai yang tinggi akan lebih sulit saat ujian akhir, kita akan mengubah kebijakan saat ujian dan lebih konsentrasi pada tugas. Sebaliknya jika kita yakin ujian berarti nilai rendah dan banyak tekanan kita akan bersikap sebaliknya. Konsistensi sikap-sikap untuk kognitif tidak hanya mengubah keyakinan. keyakinan Rosenberg untuk (1960)

menghasilkan perubahan pada sikap, tetapi juga menyebabkan perubahan menuntun perubahan membuat sebuah penelitian untuk menguji ide ini. Ia menghipnotis orang dan mengubah sikap mereka. Dia menemukan bahwa ketika sikap berubah dari senang menjadi tidak senang, individu akan memproses untuk mengubah keyakinan tentang suatu program dari baik ke buruk. Mereka melakukannya dengan lengkap. Tak ada orang yang mengatakan,Program ini akan

menghasilkan efek buruk Penelitian ini menunjukkan bukti meyakinkan bahwa kita mencoba untuk membuat perasaan dan keyakinan kita tentang suatu hal tetap konsisten. Penelitian lain menemukan bahwa ketika seseorang mengajukan pendapat dan pembicara meyakinkan bahwa ada banyak konsekuensi buruk dari pendapat, individu akan mulai yakin bahwa konsekuensi baik akan terjadi sedikit, kita tak ragu bahwa hal tersebut akan menghasilkan hal baik dari hubungan sebelumnya. Penelitian juga menunjukkan menyetujui konsekuensi baik tidak sama dan tidak seefektif menyetujui konsekuensi buruk. Faktanya, pendengar menyukai pembicara yang mengatakan konsekuensi baik. Strategi dasar dalam persuasi adalah dengan meyakinkan seseorang bahwa pemikiran mereka tidak berhubungan dengan pendapat. Sebagai contoh orang tidak pernah berpikir bahwa ketika mereka mengevalusi hasil ujian itu akan menambah stress. Orang jarang berpikir mereka salah. Mereka cenderung mengubah keyakinan mereka sendiri setelah menemukan hasil buruk dari pendapat. Pernyataan bahwa hasil lebih tinggi tak akan diperoleh dari sistem baru akan kurang efektif dibandingkan memberikan ide bahwa ujian tengah semester akan lebih berat. Ide yang sama dapat diterapkan pada seseorang yang ingin meyakinkan penerima pendapat. Penerima yakin konsekuensi buruk akan timbul. Di lain pihak pembicara yakin akan timbul konsekuensi baik. Di sini terjadi dua pendapat yang berbeda. Akan menjadi lebih baik untuk memberikan si penerima dengan fakta-fakta tentang konsekuensi baik dan membiarkan dia menerima banyak tekanan dan kemungkinan buruk. Dibandingkan dengan meyakinkan penerima bahwa tekanan tinggi tidak akan berhasil mengubah nilai ujian, pembicara harus menekankan bahwa akan terjadi hasil baik. Tentu saja orang tersebut tak perlu bertanya langsung tentang kemungkinan konsekuensi buruk. Apa yang kita katakan belum tentu strategi baik bagi pendapat sukarelawan yang menyayangkan keyakinan penerima. Dengan

membiarkan sendiri si penerima mengubah keyakinannya, sebenarnya pembicara telah mengajak dalam pesan. Penerima bebas untuk tidak berbicara atau menyatakan secara tidak langsung (Infante 1975c). Teori Pembelajaran (Learning Theory). Ini merupakan penjelasan kedua untuk persuasi dalam kerangka value-expectancy. Ide di sini ialah kita mempelajari untuk menghubungkan konsekuensi dengan pendapat, karakteristik seseorang, perlengkapan dengan objek (Cronkhite, 1969). Perasaan mendatangkan dengan sebuah konsekuensi menjadi terhubungkan dengan pendapat tersebut. Pendapat tersebut dapat diidentifikasi dalam berbagai emosi. Menyebutkan pendapat akan menimbulkan emosi yang luar biasa. Empat konsekuensi hasil yang lebih rendah, lebih banyak tekanan, lebih banyak ujian akhir, dan sedikit kesempatan untuk meraih nilai rata-rata dapat dikondisikan pada pendapat kita untuk mengubah kebijakan pada ujian akhir. Sikap penerima akan mewakili total dari perasaan negatif dari empat konsekuensi. Ide ini timbul dari kondisi klasik dalam psikologi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing datang menanggapi bel bersamaan saat ia menanggapi bubuk daging di mulutnya, ia pun mengeluarkan air liur. Menanggapi bubuk daging yang terhubung pada bel dengan menempatkan bubuk di mulut anjing dengan segera setelah membunyikan bel. Beberapa saat kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur sebagai tanggapan terhadap bel. Tak bisa dipungkiri bahwa proses ini mirip persuasi. Dalam iklan konsekuensi terdiri dari pendapat dalam harapan terhadap reaksi orang-orang akan terkondisikan pada pendapat tersebut. Jika tercipta kondisi yang sukses, pendapat tersebut akan menghasilkan reaksi khalayak yang akan sama dengan reaksi mereka untuk menghubungkan elemenelemen. Menyebutkan sebuah perubahan dalam kebijakan menghadapi ujian akhir memiliki efek yang sama dengan menyebutkan kemungkinan dalam kualitas lebih rendah, lebih banyak tekanan, lebih banyak soal ujian, dan sedikit kemungkinan mengubah nilai rata-rata. Pengkondisian akan

memungkinkan untuk menimbulkan ketidaksenangan khalayak tanpa disertai keperluan untuk mengulang konsekuensi. Persuasi meliputi pengkondisian perasaan baru pada pendapat dan membolehkan yang tak diinginkan sebelumnya dengan menghubungkan pada kelemahan. Tujuannya adalah untuk memusnahkan hubungan antara pendapat dan hubungan sebelumnya. Sebagai contoh seseorang mencoba seseorang untuk mengubah keyakinan kebijakan pada ujian akhir, bahwa ada tiga konsekuensi yang timbul dari pendapat tersebut: lebih sedikit tekanan pada akhir semester, lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas lain, dan lebih sedikit begadang. Ini merupakan konsekuensi baru yang penerima belum mempertimbangkan sebelumnya. Ide ini adalah sikap seseorang dikontrol oleh keyakinan yang terkuat atau lebih penting (Fishbein dan Ajzen, 1975). Jika seseorang meyakini khalayak tentang tiga konsekuensi baik, keyakinan baru akan menjadi seorang penerima akan lebih disadari, dan mereka didorong keyakinan yang lebih awal untuk level kesadaran yang lebih rendah. Jika penerima kurang menyadari keyakinannya, keyakinan tersebut memiliki efek yang kurang pada kesadaran penerima. Di samping menambahkan keyakinan baru pada pemikiran penerima tentang sebuah pendapat, seseorang dapat menambah kepercayaan pada keyakinan lama. Seorang penerima yang melawan kebijakan baru ujian akhir akan memiliki keyakinan tentang konsekuensi baik seperti lebih banyak waktu luang untuk mencari pekerjaan musim panas. Tetapi keyakinan tersebut belum tentu seyakin keyakinan tentang konsekuensi buruk seperti hasil rendah dalam ujian. Strategi dilakukan untuk membuat khalayak lebih sadar akan keyakinannya, sekaligus mengurangi kesadaran pada keyakinan negatif. Kita perlu membuat keyakinan baik lebih menjulang karena dua alasan. Pertama, pembicara dapat menyajikan fakta-fakta dan berbagai alasan untuk mendemonstrasikan mengapa konsekuensi baik akan terjadi jika pendapat itu diterapkan. Kedua, pembicara dapat menunjukkan bagaimana pentingnya

konsekuensi baik akan terjadi pada penerima dan teman-temannya. Khalayak menjadi kurang sadar pada keyakinan negatif karena pemikiran akan menjadi sadar hanya dengan banyak hal pada satu waktu. Sesuai affective-cognitive consistency theory, pembicara dapat menghindari menyebutkan keyakinan negatif karena mereka akan lebih menonjol jika pembicara memikirkan tentang mereka. Sesuai dengan learning theory, keyakinan paling atas akan menentukan sikap seseorang. Model-model value-expectancy theory Ada beberapa model value-expectancy: 1. Value-expectancy model of attitudes I (Fishbein dan Ajzen, 1976) Berdasarkan model ini seseorang memegang banyak keyakinan tentang sikap suatu objek, suatu objek terlihat memiliki banyak sifat. Menghubungkan dengan setiap sikap adalah respon yang evaluatif (contoh: sikap). Dengan proses pembelajaran, respon evaluatif menghubungkan dengan sikap suatu objek.

2. Value-expectancy theory model of attitudes II (Fishbein dan Ajzen, 1976) Ao = (biei) Keterangan: Ao = attitude (sikap) terhadap objek (O) bi = belief (keyakinan) tentang sifat objek ei = evaluasi dari suatu sikap Keyakinan adalah kemungkinan subjektif dari seseorang (objek) tentang sifat orang lain (contoh: Bill Clinton pembohong). Evaluasi adalah penilaian

sifat berdasarkan berapa dimensi evaluasi (contoh: baik/buruk diukur dari skala 1 sampai 7) Value-expectancy theory model of attitudes III (Fishbein dan Ajzen, 1976) Sikap (attitude) seseorang merupakan penjumlahan dari produk setiap keyakinan (belief) dikali nilai evaluasinya (evaluation). Keyakinan dipegang dalam sebuah jenjang (tingkatan). Suatu sikap ditentukan dalam setiap waktu yang diberikan dengan lima sampai sembilan keyakinan yang paling menonjol dalam jenjang keyakinan seseorang. Tipe-tipe keyakinan: Descriptive belief berdasarkan keyakinan langsung Inferential belief keyakinan dari keyakinan lain Informational belief info dari sumber luar Pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, Fishbein dan Ajzen mengembangkan value-expectancy theory menjadi theory of reasoned action. Kemudian menunjukkan Ajzen menjelaskan theory dan memiliki of planned behavior dalam bukunya Attitudes, Personality, and Behavior (1988). Kedua teori tersebut prediksi kelemahan. Value-expectancy theorymasih merupakan teori terkemuka di berbagai bidang seperti penelitian komunikasi kesehatan, pemasaran, dan ekonomi. Walaupun tidak digunakan sebanyak pada awal 1980-an, value-expectancy theory masih digunakan dalam berbagai bidang penelitian, seperti periklanan, (Shoham, Rose, & Kahle 1998; Smith & Vogt, 1995), perkembangan anak-anak (Watkinson, Dwyer, & Nielsen, 2005), pendidikan (Eklof, 2006; Ping, McBride, & Breune, 2006), komunikasi kesehatan (Purvis Cooper, Burgoon, & Roter, 2001; Ludman & Curry, 1999), dan komunikasi organisasi (Westaby, 2002).

Bagan theory of reasoned action dan theory of planned behavior dalam kerangka value-expectancy theory: Sejak pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1970-an, valueexpectancy theory telah mengalami berbagai perkembangan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji keabsahan teori ini. Teori ini dikemukakan oleh beberapa psikolog terkemuka seperti Martin Fishbein, Icek Ajzen, dan Philip Palmgreen. Maka tak heran jika latar belakang teori ini adalah psikologi, memprediksi sikap manusia terhadap objek dan tindakan. Teori ini sangat penting untuk

mengetahui expectancy (harapan), values (nilai-nilai),beliefs (keyakinan), attit ude (sikap), dan juga gratification sought (pencarian kepuasan). Dalam ilmu komunikasi teori ini sangat bermanfaat khususnya dalam mengetahui sikap seseorang dan nilai-nilai yang dianut. Teori ini telah digunakan untuk mendukung berbagai teori lain dan masih digunakan saat ini dalam berbagai bidang pembelajaran. Teori ini masih memiliki kekurangan dan membutuhkan berbagai pnelitian untuk menguji teori ini. Teori ini menggunakan ilmu psikologi sehingga tingkat subjektivitas masih bisa ditemui. Walaupun demikian teori ini memiliki banyak kekuatan dan bisa mendukung teori lainnya. Terbukti valueexpectancy theory masih terus digunakan hingga saat ini.

7. Spiral of Silence TheoryTeori Spiral of Silence atau spiral kebisuan berkaitan dengan pertanyaan mengenai bagaimana terbentuknya pendapat umum. Dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle-Neuman, sosiolog Jerman, pada tahun 1974, teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses saling mempengaruhi dan persepsi antara komunikasi atas massa, komunikasi dalam antarpribadi, individu pendapatnya sendiri

hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat.

Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan/diharapkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan/anggap sebagai pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut , spiral of silence selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya orang akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer. Jika orang merasakan bahwa pandangannya termasuk di antara yang tidak dominan atau tidak populer,maka ia cenderung kurang berani mengekspresikannya, karena adanya ketakutan akan isolasi tersebut. Sebaliknya, pendapat yang dominan akan menjadi semakin luas dan kuat. Semakin banyak orang merasakan kecenderungan ini dan menyesuaikan pendapatnya, maka satu kelompok pendapat akan menjadi dominan, sementara lainnya akan menyusut. Jadi kecenderungan seseorang untuk menyatakan pendapat dan orang lainnya menjadi diam akan mengawali suatu proses spiral yang meningkatkan kemapanan satu pendapat sebagai pendapat umum atau pendapat yang dominan. Dalam kondisi tertentu, media massa tampak membentuk karenanya persepsi mengenai pendapat yang dominan individu melalui cara-cara dan yang mempengaruhi pendapat

dijelaskan oleh teori spiral of silence ini.

8. Teori Agenda-SettingDari beberapa asumsi mengenai efek komunikasi massa, satu yang bertahan dan berkembang dewasa ini menganggap bahwa media massa dengan memberikan perhatian pada issue tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal yang diberitakan media massa dan menerima susunan prioritas yang diberikan media massa terhadap isu-isu yang berbeda.

Teori agenda-setting menawarkan suatu cara untuk menghubungkan temuan ini dengan kemungkinan terjadinya efek terhadap pendapat, karena pada dasarnya yang ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa. Teoritisi utama agenda-setting adalah Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Mereka menuliskan bahwa audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan agenda kampanye tersebut. Asumsi agenda- setting ini memiliki kelebihan karena mudah dipahami dan relatif mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media. Perkiraan ini dapat diuji dengan membandingkan hasil dari analisis isi media secara kuantitatif dengan perubahan dalam pendapat umum yang diukur melalui survei pada dua (atau lebih) waktu yang berbeda. Pada tahun 1976, McCombs dan Shaw mengambil kasus Watergate sebagai ilustrasi dari fungsi agenda setting. Mereka menunjukkan bahwa sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam mengungkap kasus politik yang korup, tetapi pemberitaan surat kabar yang sangat intensif dan diikuti oleh penayangan dengar pendapat di Dewan Perwakilan melalui televisi, telah membuat kasus Watergate menjadi topic of the year.

9.

Individual

Differences

Theory

(

teori

perbedaan

individual )

Teori yang dikeluarkan oleh Melvin D. Defleur ini menelaah perbedaanperbedaan di antara individu-individu sebagai sasaran media massa ketika mereka diterpa sehingga menimbulkan efek tertentu. Menurut teori ini individu-individu sebagai anggota khalayak sasaran media massa secara selektif, menaruh perhatian kepada pesan-pesan terutama jika berkaitan dengan kepentingannya konsisten dengan sikap-sikapnya, sesuai dengan kepercayaannya yang didukung oleh nilai-nilainya. Sehingga tanggapannya terhadap pesan-pesan tersebut diubah oleh tatanan psikologisnya. Jadi, efek media massa pada khalayak massa itu tidak seragam melainkan beragam disebabkan secara individual berbeda satu sama lain dalam struktur kejiwaannya. (Effendy 2003: 275) Anggapan dasar dari teori ini ialah bahwa manusia amat bervariasi dalam organisasi psikologisnya secara pribadi. Variasi ini sebagian dimulai dari dukungan perbedaan secara biologis, tetapi ini dikarenakan pengetahuan secara individual yang berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan yang secara tajam berbeda, menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda secara tajam pula. Dari lingkungan yang dipelajarinya itu, mereka menghendaki seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang merupakan tatanan psikologisnya masing-masing pribadi yang membedakannya dari yang lain. (Effendy 2003: 275) Teori perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus yang menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan anggota khalayak. Oleh karena terdapat perbedaan individual pada setiap pribadi anggota khalayak itu maka secara alamiah dapat diduga akan muncul efek yang bervariasi sesuai dengan perbedaan individual itu. Tetapi dengan berpegang tetap pada pengaruh variabel-variabel kepribadian (yakni mengganggap khalayak memiliki ciri-ciri kepribadian yang sama) teori tersebut tetap akan memprediksi keseragaman tanggapan terhadap pesan tertentu (jika variabel antara bersifat seragam). (Effendy 2003: 275-276)

Individual Differences Theory menyebutkan bahwa khalayak yang secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya jika berkaitan dengan kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya, kepercayaannya dan nilai-nilainya. Tanggapannya terhadap pesan komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya.(Effendy 2003 : 316).

10. Social Categories Theory ( teori kategori sosial )

Melvin L. DeFleur selaku pakar yang menampilkan teori ini mengatakan bahwa teori kategori sosial menyatakan adanya perkumpulan perkumpulan, kategori sosial pada masyarakat urban-industrial yang perikakunya ketika diterpa perangsang- perangsang tertentu hampir seragam.

Asumsi dasar dari teori

kategori sosial adalah teori sosiologis yang

menyatakan bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, penduduk yang memiliki sejumlah ciri ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama. Persamaan gaya, orientasi dan perilaku akan berkaitan pada suatu gejala seperti pada media massa dalam perilaku yang seragam.

11. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi peluru ajaib (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.

Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model). setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

12. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media

massa.

Namun

perlu

digarisbawahi

bahwa

khalayak

tidak

memiliki

ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ? Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas. Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial. Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

13. Social Relationship Theory (DeFleur)Teori ini diperkenalkan oleh Melvin L DeFleur. Teori ini dapat dijabarkan dengan tiga demensi teori sebagai berikut : Kajian Ontologi:

Menunjukan bahwa hubungan sosial secara informal berperan penting dalam merubah perilaku seseorang ketika diterpa pesan komunikasi massa. Pesan media disampaikan melalui perantara/tidak langsung (opinion leader). Pada dasarnya pesan-pesan komunikasi massa lebih banyak diterima individu melalui hubungan personal dibanding langsung dari media massa. Informasi melalui media massa tersebar melalui hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat.

Kajian Epistimologi: Suatu penelitian menemukan adanya semacam kegiatan informasi melalui dua tahapan besar. Pertama, informasi bergerak dari media kepada orang-orang yang secara relatif banyak pengetahuannya. (well informed). Kedua, informasi bergerak dari orang-orang itu melalui saluran antarpribadi (interpersonal channels) mereka yang kurang diterpa media dan banyak bergantung pada orang lain mengenai suatu informasi. Situasi komunikasi seperti ini dikenal sebagai arus komunikasi dua tahap ( two step flow of communication). Communication. Kajian Aksiologi:

Teori

ini

berhubungan

dengan

teori

Two Step Flow

informasi bergerak dari media kepada orang-orang yang secara relatif banyak pengetahuannya. (well informed). informasi bergerak dari orang-orang itu melalui saluran antarpribadi (interpersonal channels) mereka yang kurang diterpa media dan banyak bergantung pada orang lain mengenai suatu informasi.

Seorang pemuka pendapat dalam berkomunikasi dengan media massa berperan penting dalam membantu pembentukan pengumpulan suara dalam rangka pemilihan umum.

Tidak hanya meneruskan informasi, tetapi juga interpretasi terhadap pesan komunikasi yang mereka terima.

14. Cultural Norms Theory (Norma Budaya) (DeFleur)Teori ini di perkenalkan oleh Melvin DeFleur sama seperti social relationship theory. Teori ini dapat dijabarkan dengan tiga demensi teori sebagai berikut : Kajian ontologis Media massa menyampaikan informasi dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan nilai-nilai budayanya. Pesan media mampu mengubah norma-norma budaya yang telah ada/berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini ada tiga indicator peran media terhadap budaya, a. Memperkuat norma b. Mengubah norma c. Menciptakan norma baru Kajian epistimologis: Media massa mempengaruhi budaya-budaya masyarakatnya dengan cara : Pesan-pesan yang disampaikan media massa memperkuat budaya yang ada. Ketika suatu budaya telah kehilangan tempat apresiasinya, kemudian media massa memberi lahan atau tempat maka budaya yang pada awalnya sudah mulai luntur menjadi hidup kembali. Contoh : Acara pertunjukan Wayang Golek atau Wayang Kulit yang yakni:

ditayangkan Televisi terbukti telah memberi tempat pada budaya tersebut untuk diapresiasi oleh masyarakat. Media massa telah menciptakan pola baru tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama. Contoh : Acara Ludruk Glamor misalnya memberi nuansa baru terhadap budaya ludruk dengan tidak menghilangkan esensi budaya asalnya. Media massa mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama. Contoh : Terdapat acara-acara tertentu yang bukan tak mungkin lambat laun akan menumbuhkan budaya baru. Kajian aksiologis: Menurut Paul Lazarfeld dan Robert K Merton terdapat empat sumber utama kekhawatiran masyarakat terhadap media massa, yakitu : Sifat Media Massa yang mampu hadir dimana-mana (Ubiquity) serta kekuatannnya yang potensial untuk memanipulasi dengan tujuan-tujuan tertentu. Dominasi kepentingan ekonomi dari pemilik modal untuk menguasai media massa dengan demikian media massa dapat dipergunakan untuk menjamin ketundukan masyarakat terhadap status quo sehingga memperkecil kritik sosial dan memperlemah kemampuan khalayak untuk berpikir kritis. Media massa dengan jangkauan yang besar dan luas dapat membawa khalayaknya pada cita rasa estetis dan standar budaya populer yang rendah. Media massa dapat menghilangkan sukses sosial yang merupakan jerih payah para pembaharu selama beberapa puluh tahun yang lalu.

15. Teori Difusi InovasiTeori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu

sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system. Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters. Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: (1) Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep baru dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. (2) Saluran komunikasi; alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. (3) Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

(4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents). Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup: 1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi 2. 3. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi. 4. 5. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya. Penerapan dan keterkaitan teori

Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi. Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti ini perspektif antara ekonomi, lain perspektif market and infrastructure (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif. Dalam teori ini menyebutkan bahwa sebuah perubahan-perubahan atau inovasi-inovasi di sampaikan kepada khalayak melalui media massa. Menurut

Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker mengemukakan bahwa teori difusi inovasi dalam prosesnya ada 4 tahap, yaitu :1. Pengetahuan : kesadaram individu akan adanya inovasi dan pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. 2. Persuasi : individu membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap inovasi. 3. Keputusan : individu melibatkan diri pada aktivitas yang mengarah pada pilihan untuk menerima atau menolak inovasi. 4. Konfirmasi : individu mencari penguatan (dukungan) terhadap keputusan yang telah dibuatnya, tapi ia mungkin saja berbalik keputusan jika ia memperoleh is pernyataan yang bertentangan

Contoh : Petani yang awalnya menggunakan kerbau atau sapi untuk membajak sawah, diberikan inovasi baru yaitu menggunakan traktor.

16. Teori KultivasiTokoh yang memperkenalkan teori kultivasi adalah George Gerbner. Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa dunia itu sangat menakutkan . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa apa yang mereka lihat di televisi yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan modern. yang Kekuatan secara dominan berasal dapat dari mempengaruhi masyarakat tersebut

kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-

hari.Televisi

mampu

mempengaruhi

penontonnya,

sehingga

apa

yang

ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif. Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah rumah tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai akses yang tidak terbatas terhadap televisi. Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan lebih banyak kisah sepanjang waktu. Gebrner menyatakan bahwa masyarakat memperhatikan televisi sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja). Lalu apa yang dilihat di televisi? Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan bagiamana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan pelajaran berharga bagi para penontonnya tentang berbagai kenyataan hidup, yang cenderung dipenuhi berbagai tindakan kekerasan. Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu ;(1) Para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut sebagai kahalayak the television type (2) Penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton