teori dhf.doc

17
BAB I PENDAHULUAN Definisi Dengue Hemoragic Fever adalah penyakit demam akut yang ditandai dengan demam yang tinggi, uji tourniquet positif, manifestasi perdarahan lain berupa petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, hematemesis atau melena, hepatomegali, trombositopenia, hemokonsentrasi dan perembesan plasma. Bila kriteria diatas disertai manifestasi kegagalan sirkulasi berupa nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg), hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak gelisah maka disebut sebagai DSS. Epidemiologi Istilah DHF pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain diAsia Tenggara, diantaranya pada tahun 1958 di Hanoi, Malaysia (1962-1964) dan Saigon (1965). Di Indonesia DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DHF berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Angka kesakitan rata-rata DHF di Indonesia

Upload: hessa-sena

Post on 13-Sep-2015

4 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Definisi

Dengue Hemoragic Fever adalah penyakit demam akut yang ditandai dengan demam yang tinggi, uji tourniquet positif, manifestasi perdarahan lain berupa petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, hematemesis atau melena, hepatomegali, trombositopenia, hemokonsentrasi dan perembesan plasma. Bila kriteria diatas disertai manifestasi kegagalan sirkulasi berupa nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg), hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak gelisah maka disebut sebagai DSS.Epidemiologi

Istilah DHF pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain diAsia Tenggara, diantaranya pada tahun 1958 di Hanoi, Malaysia (1962-1964) dan Saigon (1965).

Di Indonesia DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DHF berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Angka kesakitan rata-rata DHF di Indonesia mencapai nilai tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita 72.133 orang.Pada periode 1 januari 1995 - 31 Desember 1995 di bagian anak RSUP Dr. M. Djamil Padang ditemukan 165 kasus DHF. DHF grade I sebanyak 84 kasus (50,9%), grade II 46 kasus (21,8%), grade III 33 kasus (20%) dan grade IV sebanyak 12 kasus (7,3%). Periode 1 Januari 31 Desember 1998 angka ini meningkat menjadi 400 penderita DHF dan 130 orang diantaranya (32,5%) menderita syok. Kelompok umur 5-9 tahun merupakan yang terbanyak mengalami syok dengan rata-rata umur 6,74 tahun.

Etiologi

Virus Dengue merupakan penyebab DHF dan DSS. Virus ini termasuk group B Arthropod borne virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan nampak berhubungan dengan kasus berat.

Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari sebelumnya merupakan faktor risiko terjadinya manifestasi DHF yang berat atau DSS. Urutan infeksi serotipe juga merupakan suatu risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus Den-1 yang disusul Den-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus Den-3 yang diikuti oleh Den-2 adalah 6% dan Den-4 yang diikuti oleh Den-2 adalah 2%.

CARA PENULARAN

Sampai saat ini hanya dikenal satu host untuk virus Dengue yaitu manusia (meskipun di Malaysia juga terdapat pada kera), sedang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk dari famili Aedes. Vektor yang klasik, Aedes Aegepty betina, adalah nyamuk yang berbiak di tempat-tempat penampungan air bersih di dalam rumah atau di sekitar tempat tinggal manusia. Meskipun begitu penularan dapat juga terjadi melalui nyamuk Aedes Albopictus yang hidup diluar rumah, seperti di kaleng-kaleng kosong, di potongan-potongan bambu ataupun di pot tanaman yang terisi air. Nyamuk Aedes hanya memiliki jarak terbang rendah, biasanya tidak lebih dari 100 meter, karena itu penyebaran penyakit ini umumnya terbatas di daera-daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi.

Penularan dapat terjadi secara langsung, yaitu melalui gigitan pada orang yang sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah melaui inkubasi dalam tubuhnya, yakni selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada periode ini, virus ini bereplikasi pada usus nyamuk, ovarium, jaringan syaraf, dan lemak, yang nantinya akan keluar menuju ruang-ruang dalam tubuh nyamuk. Virus kemudian bereplikasi pada kelenjar air liur nyamuk. Pada anak diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada periode ini, virus bereplikasi dalam berbagai macam organ, seperti kelenjar limfe lokal dan hati. Kemudian virus menyebar melalui pembuluh darah dan menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik lainnya.Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 5-7 hari.PATOGENESIS

Mekanisme sebenarnya tentang patogenesis, patofisiologi, hemodinamika dan perubahan biokimia pada DHF maupun DSS hingga kini belum dapat diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan model binatang percobaan yang dapat digunakan untuk menimbulkan gejala klinis DHF yang sama dengan yang terjadi pada manusia. Beberapa faktor risiko pada DHF adalah:

Jenis dan serotipe virus (DHF bisa terjadi pada infeksi primer oleh virus serotipe tertentu).

Adanya antibodi anti-Dengue akibat infeksi sebelumnya atau akibat berpindahnya antibodi dari ibu ke janin yang dikandungnya .

Faktor genetik (misalnya faktor ras tampaknya berperan karena berdasarkan data, di Kuba DHF lebih banyak ditemukan pada orang kulit putih).

Usia (di Asia Tenggara, DHF lebih banyak menyerang anak-anak, sedangkan di Amerika DHF bisa menyerang semua kelompok umur).

Risiko yang lebih tinggi pada infeksi sekunder.

Risiko yang lebih tinggi dari lokasi dimana lebih dari 2 serotipe virus beredar secara bersamaan pada kadar yang tinggi (transmisi hiperendemik).Teori Virulensi VirusFakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal. Artinya semua virus dapat saja membuat kematian. Serotipe Den-2 lebih banyak menyebabkan syok, sedangkan Den-3 lebih banyak diisolasi pada DHF berat jika dibandingkan Den-1 dan Den-4. Di Indonesia ditemukan keempat tipe virus Dengue, dengan tipe paling banyak ditemukan adalah serotipe Den-3 dan Den-2. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa di suatu daerah lebih banyak Den-3, di daerah lain Den-2 sedang Den-1 dan Den-4 relatif lebih jarang? Apakah virulensi berbeda diantara keempatnya? Sayang sekali sampai sekarang belum ada penelitian untuk melakukan penandaan virulensi virus.

Hipotesis ini dilandaskan pada beberapa pengalaman klinis baik di Jakarta, Kepulauan Tongga, Manila dan Bangkok, ternyata DSS dapat pula terjadi pada penderita yang mendapat infeksi virus Dengue untuk pertama kali pada usia lebih dari 1 tahun dan terbukti bahwa sensitisasi oleh infeksi sebelumnya bukan merupakan faktor utama dalam patogenesis sindroma ini, sehingga timbul dugaan bahwa keempat serotipe mempunyai potensi patogen yang sama dan renjatan terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen, tetapi hipotesis ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.1. Teori Imunopatologi

Didapatkan bahwa reaksi imun mempunyai dua aspek yaitu respon kekebalan atau malahan menyebabkan penyakit. Pada percobaan dapat disimpulkan bahwa sesudah infeksi virus Dengue satu serotipe maka akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka waktu lama namun tidak mampu memberi pertahanan terhadap jenis virus lain. Teori ini berkembang dan didukung oleh data epidemiologik, klinis dan laboratorium yang banyak diteliti di Thailand sekitar tahun 1954-1964. Teori tersebut kemudian disebut sebagai teori infeksi sekunder oleh virus heterologus yang berurutan. Bila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, kemudian lain waktu mendapat infeksi virus sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain maka risiko besar akan terjadi infeksi yang berat. Teori yang dikembangkan oleh Halstead ini sampai sekarang masih banyak penganutnya meskipun banyak pula penentangnya.2. Teori Infection Enhancing Antibody

Penelitian epidemiologi memberi kesan bahwa hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut oleh sebagian besar sarjana sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila mendapat infeksi berulang oleh serotipe virus Dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan 5 tahun.

Dasar teori ini adalah peran sel fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi non-netralisasi. Sel fagosit mononuklear, yaitu monosit, makrofag dan sel Kupffer merupakan sel target pada infeksi primer. Selanjutnya antibodi yang terbentuk pada infeksi primer berfungsi membawa virus ke dalam sel fagosit mononuklear pada infeksi sekunder.

Menurut penelitian, antigen Dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Russel mendapatkan antibodi IgG yang terbentuk pada infeksi Dengue terdiri dari antibodi yang berfungsi menghambat replikasi virus secara spesifik (neutralizing antibody) dan antibodi yang tidak mempunyai sifat netralisasi namun berfungsi dapat memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).

Kemungkinan antibodi non netralisasi itu berperan melingkupi sel makrofag yang beredar dan tidak melingkupi sel makrofag yang menetap di jaringan. Pada makrofag yang dilingkupi antibodi non-netralisasi, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel makrofag terinfeksi maka akan lebih berat penyakitnya. Diduga makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan mengeluarkan berbagai substansi inflamasi, sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas dan akan mengaktivasi faktor koagulasi.3. Teori Antigen Antibodi

Pada kejadian DHF / DSS terjadi penurunan kadar komplemen, dan semakin berat penyakit semakin turun kadar komplemen tersebut. Komplemen yang turun adalah C3, C3 proaktivator, C4 dan C5. Secara radioaktif dibuktikan penurunannya bukan karena produksi yang menurun atau ekstravasasi namun terjadi karena aktivasi komplemen tersebut. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk meningkatkan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipovolemik. Kadar anafilatoksin meninggi pada fase syok dan menurun kembali pada saat konvalesensi. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan korelasi yang positif antara aktivasi komplemen dengan perembesan plasma dan syok sehingga kadar komplemen dapat menggambarkan derajat penyakit.

4. Teori Mediator

Ada beberapa kejadian yang menyebabkan para ahli beranggapan bahwa mediator sebagai penyebab terjadinya DHF. Pertama, melanjutkan teori antibody enhancing. Jadi dipikirkan bahwa makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Di dalam keadaan normal, sitokin ini tidak terbentuk sehingga tidak terdapat pada serum. Kedua, kejadian masa kritis pada DHF selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala sisa. Kejadian tersebut menimbulkan pemikiran bahwa yang dapat berperilaku seperti itu adalah mediator. Ketiga, dari kalangan ahli syok bakterial mengambil perbandingan bahwa pada syok septik banyak berhubungan dengan mediator. Beberapa kejadian tersebut membawa penelitian diarahkan kepada mediator, seperti interferon, interleukin 1, interleukin 6, interleukin 12, Tumor Necross Factor (TNF), Leukosit Inhibiting Factor (LIF), dll. Dipikirkan bahwa mediator tersebut yang bertanggung jawab atas terjadinya demam, syok dan permeabilitas kapiler yang meningkat.

5. Teori Trombosit Endotel

Trombosit dan endotel diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesis DHF, berdasar kenyataan bahwa pada DHF terjadi trombositopenia dan permeabilitas kapiler yang meningkat yang berarti ada pengaruh terhadap integritas sel endotel. Gangguan pada endotel akan menimbulkan agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi.

6. Teori Apoptosis

Teori ini berdasar penelitian apoptosis yang banyak dikerjakan di berbagai penyakit. Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang merupakan reaksi terhadap berbagai stimuli. Proses tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu kerusakan inti sel, kemudian perubahan bentuk sel dan perubahan permeabilitas membran sel. Konsekuensi dari apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel, vakuolisasi sitoplasma, blebbing dan peningkatan granulasi membran plasma menjadi DNA sub selular yang berisi badan-badan apoptotik.

Pada kasus DHF yang berat terdapat kerusakan hepar, terdapat Councilman bodies. Kemungkinan hal tersebut merupakan proses apoptosis pada sel hepar. Menurut pemikiran pakar di bidang ini, waktu terjadi apoptosis, virus dan sel yang berserakan dimakan oleh sel makrofag atau fagositosis. Jadi bukan virus yang bereplikasi di dalam sel makrofag. Teori apoptosis ini juga tidak mempercayai adanya antibodi sub netralisasi.

Dua patofisiologi utama yang terjadi pada DHF / DSS adalah : pertama, terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma dari vaskuler. Hal ini menyebabkan hemokonsentrasi, hipotensi dan tanda syok lainnya jika kehilangan plasma semakin meningkat. Perubahan kedua adalah gangguan hemostasis termasuk perubahan vaskular, trombositopenia dan koagulopati.Penurunan Volume plasma

Penyelidikan volume plasma pada kasus DHF dengan menggunakan 131 Iodin labeled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai masa puncaknya pada masa syok. Penelitian menemukan pada kasus yang berat terjadi pengurangan volume plasma lebih dari 20%, menyebabkan terjadinya peningkatan nilai hematokrit sehingga menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritonium, pleura dan perikard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Kebocoran plasma ini bila tidak dikoreksi akan menyebabkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Jarang sekali syok disebabkan oleh perdarahan, tetapi justru sebaliknya syok yang cepat terjadi dan berlangsung lama dapat menyebabkan perdarahan.13 Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DHF pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip luka akibat anoksia atau luka bakar.Kelainan Hemostasis pada DHF

Perdarahan pada DHF disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama, yaitu vaskulopati, kelainan trombosit,dan penurunan kadar faktor pembekuan.

Pada fase awal demam, perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, kemudian diikuti oleh koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi intravaskular menyeluruh (disseminated intravascular coagulation = DIC) dan peningkatan fibrinolisis.

A. Vaskulopati

Secara klinik, vaskulopati bermanifestasi sebagai petekia, uji bendung positif, perembesan plasma, dan elektrolit serta protein ke dalam rongga ekstravaskuler. Penyebab utama vaskulopati adalah dikeluarkannya zat anafilatoksin C3a dan C5a.B. Penurunan Trombosit

Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit (hari sakit ke-1 sampai dengan ke-4) merupakan penyebab trombositopenia. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Pada saat itu sumsum tulang tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam berbagai bentuk fase maturasi. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sum-sum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Trombosit pada saat itu dapat mencapai 20.000-50.000/(. Pada hari sakit ke-5 sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama disebabkan oleh penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang melekat pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikulo endotelial di dalam hati, limpa, mengakibatkan trombositopenia pada fase syok. Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel, reaksi oleh kompleks imun, antibodi trombosit spesifik atau DIC yang disebabkan syok lama. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai pada 7-10 hari sejak permulaan penyakit.

C. Penurunan Kadar Faktor Pembekuan

Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DHF berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa : (1) Pada DHF stadium akut telah terjadi koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DHF tanpa syok. Pada masa dini DHF, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian, (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit, dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks.Selama fase bebas demam DHF grade II, komplikasi biasanya terlihat. Tambahan selama observasi DHF grade I adalah nyeri perut, BAB hitam, epistaksis, berdarah dari hidung, gusi, dan perdarahan tidak berhenti dari tempat bekas suntikan

Secepatnya cari RS, hematokrit dan trombosit harus dilakukan untuk menilai kondisi pasien.penurunan trombosit 100.000/mmmm3 atau kurang dari 1-2 trombosit perlapangan pandang.biasanya mendahului peningkatan Ht. Peningkatan >20 atau lebih mengindikasikan kehilangan plasma dan membutuhkan cairan IV. Penggantian dini kehilangan plasma dengan kristaloid (ex larutan salin isotonis) dapat mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya shock. Terapi IV sebelum kebocoran plasma tidak direkomendasikan. Pada kasus ringan dan sedang DHF grade II terapi cairan IV mungkin diberikan untuk periode 12-24 jam,iini merupakan ukuran live saving yang penting. Pasien harus dimonitor setiap jam danberdasarkan hematokrit dan jumlah trombosit secara periodic pengobatan harus ditinjau dan di revisi.

Instruksi Penting untuk Tatalaksana DHF :

Kasus DHF harus diobservasi setiap jam.

Pemeriksaan trombosit serial dan hematokrit, jumlah platelet yang menurun dan hematokrit yang naik merupakan tanda penting untuk diagnosis awal DHF.

Terapi cairan intravena - cairan kristaloid isotonic dapat mencegah syok dan/atau mengurangi beratnya penyakit.

Jika kondisi pasien memburuk walaupun diberikan 20ml/kg/jam selama 1 jam, ganti ciaran kristaloid dengan cairan koloid sepeti Dextran atau plasma. Setelah terjadi perbaikan, ganti kembali dengan kristaloid.

Jika perbaikan terjadi, kurangi kecepatan tetesan dari 20ml menjadi 10 ml, kemudian menjadi 6 ml, dan akhirnya 3 ml/kg.

Jika hematokrit turun, beri transfusi darah 10 ml/kg dan beri cairan kristaloid iv 10ml/kg/jam.

Pada kasus perdarahan yang hebat, beri transfusi darah segar sekitar 20ml/kg selama 2 jam. Kemudian beri kristaloid 10ml/kg/jam dalam waktu yang pendek (30-60 menit) dan kemudian kurangi kecepatannya.

Pada kasus syok, beri oksigen.

Untuk koreksi asidosis (gejala : pernafasan yang dalam), beri sodium bikarbonat.

Apa yang jangan dilakukan

Jangan memberikan aspirin atau brufen sebagai terapi demam

Hindari IV terapi sebelum ada bukti perdarahan dan haemorrhagic.

Hindari tranfusi darah kecuali jika ada indikasi,penurunan Ht atau perdarahan berat

Hidari steroid,Karen atidak menunjukan mamfaat.

Jangan gunakan antibiotic

Jangan merubah kecepatan cairan dengan cepat (menaikan tau menurunkan)

Pemasangan NGT untuk mengetahui perdarahan tersembunyi atau untuk terapi (bilas dingin) tidak dianjurkan karena berbahaya.

Tanda kesembuhan

Pulsasi ,tekanan darah, nafas stabil.

Temperature normal

Tidak ada bukti perdarahan external atau internal

Nafsu makan mambaik

Tidak ada muntah

Produksi urine baik

Hematokrit stabil Ruam confluent petikiae menghilangKriteria untuk Memulangkan Patients

Tidak demam paling tidak 24 jam tanpa mengunakan anti demam terapi.

Kembali nafsu makan

Terlihat peningkatan tanda klinik

Pruduksi urine yang cukup

Minimal 3 hari setelah syok teratasi

Tidak ada repiratory distress dari efusi pleura dan tidak ada asites

Trombosit > 50.000/mm

Selama fase bebas demam DHF grade II, komplikasi biasanya terlihat. Tambahan selama observasi DHF grade I adalah nyeri perut, BAB hitam, epistaksis, berdarah dari hidung, gusi, dan perdarahan tidak berhenti dari tempat bekas suntikan

Secepatnya cari RS, hematokrit dan trombosit harus dilakukan untuk menilai kondisi pasien.penurunan trombosit 100.000/mmmm3 atau kurang dari 1-2 trombosit perlapangan pandang.biasanya mendahului peningkatan Ht. Peningkatan >20 atau lebih mengindikasikan kehilangan plasma dan membutuhkan cairan IV. Penggantian dini kehilangan plasma dengan kristaloid (ex larutan salin isotonis) dapat mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya shock. Terapi IV sebelum kebocoran plasma tidak direkomendasikan. Pada kasus ringan dan sedang DHF grade II terapi cairan IV mungkin diberikan untuk periode 12-24 jam,iini merupakan ukuran live saving yang penting. Pasien harus dimonitor setiap jam danberdasarkan hematokrit dan jumlah trombosit secara periodic pengobatan harus ditinjau dan di revisi.