teori aktivitas industri& pengembangan desa

15
AKTIVITAS INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH PERDESAAN oleh: GALUH FATHIA SHANTI 2.1. Konsep Aktivitas Industri 2.1.1 Pengertian Aktivitas Industri Studi mengenai industri pada umumnya akan selalu dititikberatkan pada bahasan mengenai industri manufaktur; yang identik dengan kegiatan membuat atau menghasilkan dalam jumlah besar dengan menggunakan teknologi dan mesin-mesin (Chapman dan Walker, 1991). Menurut Daljoeni (1998: 167) aktivitas industri didefinisikan sebagai usaha pengubahan suatu komoditi agar menjadi lebih bermanfaat (commercial manufacturing). Setidaknya terdapat tiga hal dalam setiap kegiatan industri ini, yaitu pengumpulan bahan mentah, ada peningkatan terhadap kegunaannya lewat pengubahan bentuk serta pengiriman komoditi yang lebih berharga ini ke tempat lain. Dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebuah aktivitas industri akan sangat bergantung pada faktor-faktor produksi yang berkaitan satu sama lain sebagai suatu sistem produksi. Faktor produksi yang terlibat dalam aktivitas industri antara lain faktor produksi berupa bahan mentah, bahan bakar (energi), faktor produksi tenaga kerja (buruh), modal serta kemampuan manajerial. Aktivitas Industri Sebagai Kutub Pertumbuhan Konsep dasar kutub pertumbuhan pada awalnya diperkenalkan secara sistematis oleh Perroux dalam tulisannya pada tahun 1955. Konsep ini terkait erat dengan ekonomi keruangan yang tersusun atas kekuatan sentrifugal dan sentripetal dari sebuah pusat atau kutub pertumbuhan. Setiap kutub akan menjadi pusat keluarnya kekuatan sekaligus sebagai pusat yang akan menarik berbagai kekuatan ke dalamnya. Dari sini dapat dicatat bahwa konsep dasar kutub pertumbuhan Perroux ini kemudian diaplikasikan secara jelas dengan keberadaan industri (Kuklinski: 21). Menurut Perroux, industri merupakan aktivitas dengan tingkat inovasi tinggi dan dapat berlangsung dalam unit ekonomi yang luas. Aktivitas industri dapat mendominasi lingkungannya dan memberikan pengaruh kepada unit ekonomi lain.

Upload: noorpuspito

Post on 23-Jun-2015

1.017 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

by galuh fathia santi

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

AKTIVITAS INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH PERDESAAN

oleh:

GALUH FATHIA SHANTI

2.1. Konsep Aktivitas Industri

2.1.1 Pengertian Aktivitas Industri

Studi mengenai industri pada umumnya akan selalu dititikberatkan pada bahasan

mengenai industri manufaktur; yang identik dengan kegiatan membuat atau menghasilkan

dalam jumlah besar dengan menggunakan teknologi dan mesin-mesin (Chapman dan

Walker, 1991).

Menurut Daljoeni (1998: 167) aktivitas industri didefinisikan sebagai usaha

pengubahan suatu komoditi agar menjadi lebih bermanfaat (commercial manufacturing).

Setidaknya terdapat tiga hal dalam setiap kegiatan industri ini, yaitu pengumpulan bahan

mentah, ada peningkatan terhadap kegunaannya lewat pengubahan bentuk serta pengiriman

komoditi yang lebih berharga ini ke tempat lain. Dari pengertian tersebut, maka dapat

dikatakan bahwa sebuah aktivitas industri akan sangat bergantung pada faktor-faktor

produksi yang berkaitan satu sama lain sebagai suatu sistem produksi. Faktor produksi

yang terlibat dalam aktivitas industri antara lain faktor produksi berupa bahan mentah,

bahan bakar (energi), faktor produksi tenaga kerja (buruh), modal serta kemampuan

manajerial.

Aktivitas Industri Sebagai Kutub Pertumbuhan

Konsep dasar kutub pertumbuhan pada awalnya diperkenalkan secara sistematis

oleh Perroux dalam tulisannya pada tahun 1955. Konsep ini terkait erat dengan ekonomi

keruangan yang tersusun atas kekuatan sentrifugal dan sentripetal dari sebuah pusat atau

kutub pertumbuhan. Setiap kutub akan menjadi pusat keluarnya kekuatan sekaligus sebagai

pusat yang akan menarik berbagai kekuatan ke dalamnya. Dari sini dapat dicatat bahwa

konsep dasar kutub pertumbuhan Perroux ini kemudian diaplikasikan secara jelas dengan

keberadaan industri (Kuklinski: 21).

Menurut Perroux, industri merupakan aktivitas dengan tingkat inovasi tinggi dan

dapat berlangsung dalam unit ekonomi yang luas. Aktivitas industri dapat mendominasi

lingkungannya dan memberikan pengaruh kepada unit ekonomi lain.

Page 2: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

Pada dasarnya, Perroux memfokuskan bahasan mengenai perkembangan kutub

pertumbuhan ini dalam lingkup ekonomi. Namun kemudian, Christaller dan Losch

mengembangkan teori ini dengan menambahkan dimensi geografi dan keruangan.

Sehingga, istilah kutub pertumbuhan menurut konsep Perroux tidak merujuk pada dimensi

geografi, sedangkan pada perkembangan berikutnya, terdapat istilah pusat pertumbuhan

(growth centre) yang mengacu pada aspek lokasi keruangan (Glasson, 1978: 172).

Sementara, terdapat pendapat lain, bahwa istilah kutub pertumbuhan lebih mengacu kepada

lingkup nasional, sedangkan pusat pertumbuhan mengacu kepada skala regional.

Menurut Glasson (1978: 173), pada prinsipnya terdapat tiga konsep dasar ekonomi

dan pengembangan lingkup geografinya sebagai berikut:

a. Konsep leading industries dan perusahaan propulsif.

Dalam konsep ini sebuah kutub pertumbuhan berupa perusahaan propulsif yang

menjadi leading industries dan mendominasi unit ekonomi lain. Hal tersebut dapat

berbentuk sebuah perusahaan propulsif saja atau juga dapat berupa kompleks atau kawasan

industri. Lokasi industri–industri tersebut secara geografis umumnya disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain adanya sumberdaya alam, seperti air dan bahan bakar; adanya

faktor sumberdaya buatan, seperti jaringan komunikasi, pelayanan infrastruktur serta

ketersediaan tenaga kerja; atau adanya kesempatan dan peluang lain di lokasi tersebut.

Konsep ini menunjukkan adanya kaitan yang kuat antara industri dengan sektor

ekonomi lainnya. Kaitan tersebut dapat berbentuk kaitan “ke depan” (forward linkages),

artinya industri mempunyai rasio penjualan hasil industri yang tinggi terhadap rasio total.

Sedangkan kaitan ke belakang (backward linkages) berarti bahwa industri mempunyai

rasio input output terhadap rasio total.

b. Konsep Polarisasi

Konsep ini menyatakan bahwa pertumbuhan leading industries yang cepat dapat

menyebabkan terjadinya polarisasi unit ekonomi yang lain ke dalam kutub pertumbuhan

tersebut. Proses polarisasi ini secara implisit akan menimbulkan berbagai keuntungan

aglomerasi ekonomi, baik keuntungan internal maupun eksternal. Polarisasi ekonomi ini

akan memicu polarisasi geografi melalui aliran sumberdaya dan konsentrasi aktivitas

ekonomi.

Page 3: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

c. Konsep Spread Effect

Konsep ini menyatakan bahwa ketika mencapai keadaan dinamik, kualitas propulsif

suatu kutub pertumbuhan akan menyebar ke daerah di sekitarnya. Konsep spread effect

dan trickling down ini menjadi semakin populer sebagai teori yang menjadi dasar bagi

berbagai kebijakan.

2.2 Aglomerasi Industri

Para ahli geografi dan perencana wilayah pada umumnya cenderung

menghubungkan masalah pengembangan industri dengan teori-teori lokasi klasik yang

awalnya diperkenalkan oleh Weber (1929) dan kemudian diperbaharui menjadi teori lokasi

neoklasik oleh Hoover (1937), Isaard (1956) dan Moses (1958). Secara eksplisit, teori-teori

yang berbasis pada teori Weber ini dapat dijelaskan melalui logika sebuah proses

penentuan lokasi organisasi industri.

Konsep tersebut dihubungkan dengan adanya dinamika secara agregat dari suatu

kutub pertumbuhan. Inilah yang menjadi dasar adanya pemikiran tentang proses

aglomerasi industri. Kaitannya dengan industri, kutub pertumbuhan disini diartikan sebagai

sektor produksi yang memiliki kaitan ke belakang (backward linkages), baik secara

langsung maupun tak langsung, dengan sektor-sektor lainnya dalam jumlah besar. Kutub

pertumbuhan menjadi posisi sentral dalam struktur input dan output produksi.

Proses aglomerasi industri diawali dari adanya industri utama pada lokasi tertentu

yang menjadi pusat pertumbuhan bagi lingkungan sekitarnya. Kemudian seiring dengan

proses perkembangan industri utama tersebut, akan bermunculan jenis industri-industri

hulu (upstream industries) dalam jumlah besar yang berlokasi di tempat tersebut. Industri

hulu ini menghasilkan produksi yang nantinya menjadi input bagi industri utama. Dalam

perkembangan berikutnya, jenis industri-industri hilir (downstream industries) yang

memindahkan lokasi industri mendekati industri utama semakin bertambah. Hal ini untuk

mempermudah akses memperoleh produksi industri utama sebagai input bagi proses

produksi industri-industri hulu (Scott, 1990:45-46).

Dari proses aglomerasi tersebut, terbentuk pula adanya keterkaitan ke depan dan ke

belakang dalam sebuah kutub pertumbuhan, sebagai satu kekuatan yang berdimensi

keruangan (Perroux, 1961).

Efek turunan yang cukup signifikan dari adanya aglomerasi industri tersebut antara

lain:

Page 4: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

Penyerapan tenaga kerja di sekitar pusat aglomerasi

Hal ini akan menjadi konsekuensi logis, karena keberadaan industri umumnya

dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Menurut Scott, bila sistem proses

produksi yang ada cukup bervariasi akan dapat mewujudkan keragaman ketrampilan dan

kemampuan baru bagi para pekerja. Keragaman kemampuan pekerja ini dapat menarik

industri baru untuk berlokasi di tempat tersebut.

Terjadi efek pengganda (multiplier effects) bagi daerah di sekitar pusat aglomerasi industri

Secara sederhana, ini dapat dijelaskan melalui upah yang diterima oleh para

pekerja. Para pekerja akan membelanjakan uangnya untuk membeli barang dan jasa yang

ditawarkan di sekitar tempat kerja mereka. Perputaran uang inilah yang sering disebut efek

pengganda dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekitar industri.

Mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah pusat aglomerasi industri

tersebut berada

Aglomerasi industri menjadi pemicu bagi pertumbuhan dan dinamika ekonomi di

daerah tersebut. Ini karena keberadaan aglomerasi industri menyebabkan naiknya arus

migrasi serta modal ke daerah itu.

Keuntungan lokalisasi dan urbanisasi ekonomi.

Menurut Hoover (1937), keberadaan aglomerasi industri dapat mendorong naiknya

kualitas serta jumlah sarana dan prasarana buatan yang memerlukan biaya besar di daerah

itu; seperti jaringan jalan, terminal barang, dan sebagainya.

2.3 Keterkaitan Industri

Transmisi pertumbuhan yang terjadi secara sentripetal dan sentrifugal dari sebuah

kutub pertumbuhan terhadap daerah dimana industri tersebut berada dapat mengalir

melalui keterkaitan antarindustri (Kuklinski, 1971). Dari pernyataan tersebut, terdapat dua

hal yang dapat dicatat, pertama, keterkaitan antarindustri (inter-indsutrial linkages) yang

menunjukkan sistem produksi atau rantai produksi dari sebuah aktivitas industri. Kedua,

keterkaitan industri terhadap daerah di sekitarnya yang masih mendapat pengaruh dari

aktivitas industri tersebut.

Menurut Scott (1990: 48), keterkaitan antarindustri dalam sistem produksi akan

mempengaruhi besar biaya produksi yang harus dikeluarkan. Menurutnya, terdapat

beberapa aspek penting yang dapat mempengaruhi keterkaitan antarindustri tersebut, yaitu:

a. Transportasi dan komunikasi

Page 5: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

Kegiatan transportasi dan komunikasi sebagi salah satu keterkaitan antarindustri

dalam sistem produksi. Fungsi jarak menunjukkan besarnya biaya yang harus dibayar serta

tingkat kesulitan industri untuk memperoleh bahan baku sebagai input maupun saat mereka

harus melepas produk ke pasaran atau kepada industri hilir yang lain.

b. Karakter produk dan struktur produksi

Keterkaitan antarindustri dapat terjadi bila proses produksi yang terjadi dalam

sebuah industri saling melengkapi atau terkait dengan industri lain untuk menghasilkan

produknya.

c. Lokasi

Lokasi merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya keterkaitan

antarindustri. Sebagai ilustrasi, bila terdapat sebuah industri bersakala kecil dengan

aktivitas produksi yang memiliki ketergantungan tinggi dengan industri lain, maka akan

cenderung berlokasi dekat dengan dengan industri partner utamanya.

Konsep Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah diartikan sebagai usaha memberdayakan suatu masyarakat

yang berada di suatu daerah untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di

sekitarnya dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan

meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Dalam konsep

pengembangan wilayah, setidaknya terdapat tiga sasaran utama yang ditempuh yaitu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan usaha dan menjaga agar

pembangunan tetap berjalan secara berkesinambungan. Pada umumnya konsep

pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan (disparitas)

pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah (Alkadri, 1999).

Namun dalam implementasinya, konsep pengembangan wilayah ini sendiri sangat

sulit diterapkan. Kegagalan tersebut sangat nyata terlihat dari beberapa wilayah yang

diprioritaskan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga mengalami kemajuan pesat,

sedangkan wilayah lain jauh dari kemampuan untuk berkembang.

Berkaitan dengan konsep pengembangan wilayah ini, terdapat dua teori yang

relevan, yaitu teori atau model pusat-pinggiran yang dikemukakan oleh Friedman serta

teori tahap perkembangan dari Adam Smith. Menurut Friedman dengan model pusat-

pinggiran (core-periphery) terdapat empat tahapan dalam perkembangan dan perubahan

sistem keruangan dalam suatu wilayah,yakni sebagai berikut (Gilbert dan Gugler, 1979):

Page 6: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

1. Tahap pertama (struktur pra-industrialisasi)

Ditandai oleh adanya wilayah yang belum tereksploitasi dengan ciri permukiman

perdesaan yang terpencar, dengan pusat-pusat tertentu yang mengatur dan melayani

masing-masing kegiatan di wilayah tersebut. Masing-masing wilayah berdiri sendiri dan

tingkat ketergantungan antar wilayah kecil.

2. Tahap kedua (permulaan industri)

Dicirikan dengan adanya industrialisasi dan meningkatnya konsentrasi investasi ke

dalam satu atau beberapa kota besar. Kesenjangan wilayah mulai nampak karena

sumberdaya, baik alam maupun manusia, terus mengalir ke wilayah yang lebih produktif,

maninggalkan wilayah yang dianggap telah usang. Muncul karakter dualistik wilayah,

ditandai dengan adanya pusat pertumbuhan dengan pembangunan yang maju, cepat dan

intensif, sementara kondisi wilayah pinggiran dengan kegiatan ekonomi yang tidak terkait

dengan pusat, bersifat stagnan bahkan merosot.

3. Tahap ketiga (pematangan industri)

Ditandai dengan adanya proses pematangan industri dan kesadaran wilayah

pinggiran atas eksploitasi terhadap sumberdaya dari wilayah pinggiran. Hal semacam ini

merespon pemerintah untuk membuat kebijakan mengenai kesenjangan perkembangan

wilayah pusat-pinggiran. Sehingga akhirnya, pada tahap ini kesenjangan wilayah pusat-

pinggiran semakin berkurang.

4. Tahap Keempat (terbentuknya sistem)

Ditandai dengan munculnya suatu sistem ekonomi keruangan yang terintegrasi

penuh. Masing-masing pusat pertumbuhan berinteraksi dalam lingkup sebuah sistem.

Dalam kondisi seperti ini, kesenjangan wilayah semakin dapat diminimalisir.

Sedangkan menurut teori tahapan (stages theory) yang dikemukakan oleh Adam

Smith, menyebutkan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami tahap-tahap

sebagai berikut:

Tahap pertama, adalah tahap perekonomian swasembada, dimana hanya terdapat sedikit

investasi atau perdagangan. Penduduk pertanian menjadi basis distribusi menurut lokasi

sumberdaya alam.

Tahap kedua, dengan kemajuan perangkutan, wilayah yang bersangkutan mengembangkan

perdagangan dan spesialisasi, maka muncullah lapisan kedua yang mengusahakan industri

desa sederhana untuk memenuhi kebutuhan para petani. Karena pada mulanya semua

Page 7: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

bahan, pasar dan tenaga kerja disediakan oleh penduduk pertanian, maka lapisan baru ini

berlokasi di tempat yang berkaitan dengan lapisan basis.

Tahap Ketiga, dengan semakin bertambahnya perdagangan inter-regional, wilayah yang

bersangkutan berkembang melalui suatu urutan perubahan jenis produksi tanaman

pertanian dan peternakan, yaitu dari tanaman biji-bijian dan peternakan yang ekstensif

menuju jenis tanaman buah-buahan dan peternakan yang intensif.

Tahap Keempat, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan semakin

bekurangnya tanaman hasil pertanian, wilayah yang bersangkutan melakukan

industrialisasi. Industri sekunder berkembang, mula-mula mengolah produk-produk primer

tetapi kemudian semakin lebih terspesialisasi. Ketiadaan industrialisasi akan

mengakibatkan terjadinya tekanan penduduk, menurunnya taraf hidup dan stagnasi serta

kemerosotan secara umum di wilayah tersebut.

Tahap kelima, adalah pengembangan industri tersier yang berproduksi untuk ekspor.

Wilayah tersebut mengekspor model, ketrampilan dan jasa-jasa yang bersifat khusus ke

wilayah- wilayah lain yang telah berkembang.

Dilihat dari faktor pemicu perkembangannya, terdapat dua macam perkembangan

wilayah, yaitu:

Perkembangan dari dalam

Menurut Teori Sektor yang dikemukakan oleh Clark dan Fisher disebutkan bahwa

kenaikan pendapatan per kapita berbagai wilayah dalam berbagai waktu pada umumnya

dibarengi oleh adanya realokasi sumberdaya, dengan penurunan proporsi angkatan kerja

dalam kegiatan-kegiatan primer (pertanian), dan kenaikan proporsi dalam kegiatan-

kegiatan sekunder (manufakturing) dan kemudian disusul dalam kegiatan-kegiatan tersier

atau jasa (Glasson diterjemahkan oleh Sihotang, 1977).

Perkembangan dari dalam suatu wilayah juga didasarkan pada potensi sumberdaya

alam, sumberdaya manuasia, serta beberapa faktor lokasi yang menentukan suatu wilayah

dapat terakses dengan baik dari wilayah lainnya.

Perkembangan dari luar

Di dalam teori basis ekspor (export base theory) dikemukakan bahwa pertumbuhan

suatu wilayah ditentukan oleh eksploitasi pemanfaatan-pemanfaatan alamiah dan

Page 8: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

pertumbuhan basis ekspor wilayah yang bersangkutan yang selanjutnya dipengaruhi oleh

tingkat permintaan ekstern dari wilayah-wilayah lain. Pendapatan yang diperoleh dari

penjualan ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan-kegiatan penduduk

setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja, keuntungan-keuntungan eksternal dan

perkembangan wilayah lebih lanjut. Teori ini memandang tingkat permintaan luar terhadap

produk dari industri-industri ekspor suatu wilayah sebagai penentu bagi perkembangan

regional.

Metode lain yang juga memasukkan faktor-faktor dari luar ke dalam perkembangan

wilayah adalah model-model alokasi sumberdaya inter regional yang dikemukakan Ohlin.

Dalam model ini diasumsikan bahwa faktor-faktor produksi, terutama tenaga kerja dan

modal, akan mengalir keluar dari wilayah yang imbalannya rendah ke wilayah yang

imbalannya tinggi. Jadi, jika suatu wilayah yang lebih rendah daripada di semua wilayah

lainnya, maka ada kemungkinan terjadinya arus keluar ke wilayah-wilayah lain atau arus

masuk modal yang hendak memanfaatkan rendahnya biaya tenaga kerja tersebut, atau juga

merupakan kombinasi dari dua kemungkinan tersebut (Glasson,1977).

Faktor lain yang tidak kalah menentukan dalam perkembangan suatu wilayah

adalah faktor kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini meliputi kebijaksanaan ekonomi,

kebijaksanaan sosial dan budaya serta kebijaksanaan lain yang menentukan arah

pengembangan wilayah.

Sementara, aspek interaksi keruangan yang terjadi dalam konsep pengembangan

wilayah ini meliputi (Rondinelli, 1978):

a. Keterkaitan fisik, dapat berupa jaringan transportasi yang menghubungkan antar

wilayah.

b. Keterkaitan ekonomi, keterkaitan ini dapat berupa keterkaitan aliran komoditas

barang, modal, keterkaitan produksi serta berbagai elemen ekonomi lainnya.

Keterkaitan ekonomi erat hubungannya dengan keterkaitan fisik, dimana semakin

baik kondisi fisik yang menghubungkan antar wilayah, maka aspek ekonomi

dapat lebih cepat berkembang.

c. Keterkaitan pergerakan peduduk, pola migrasi baik permanen maupun non

permanen merupakan gambaran dalam keterkaitan pergerakan penduduk ini.

Pergerakan penduduk dari perdesaan ke perkotaan merupakan bentuk interaksi

keruangan desa-kota.

Page 9: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

d. Keterkaitan teknologi, terutama peralatan, cara dan metode produksi harus

terintegrasi secara spasial dan fungsional karena inovasi teknologi saja tidak

cukup untuk memacu transformasi sosial dan ekonomi pada suatu wilayah,

terutama bila teknologi yang diterapkan tidak tepat guna.

e. Keterkaitan sosial, pola hubungan sosial dalam keterkaitan ini menjadi pengaruh

dari adanya keterkaitan ekonomi.

f. Keterkaitan pelayanan sosial, adanya keterkaitan fisik, ekonomi dan teknologi

merupakan upaya untuk memperluas jaringan berbagai fasilitas pelayanan sosial,

seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan sebagainya.

g. Keterkaitan administrasi, politik, dan kelembagaan, bentuk-bentuk keterkaitan ini

dapat dilihat pada struktur pemerintahan, batas-batas administrasi, sistem

pengelolaan anggaran dan pembiayaan pembangunan.

2.5 Konsep Kawasan Perdesaan

2.5.1 Pengertian Desa dan Perdesaan

Dari berbagai sumber, terdapat beberapa pengertian desa adalah permukiman yang

terletak di luar kota dan penduduknya bekerja dalam bidang agraris (Daldjoeni, 1998).

Sementara menurut Kamus Tata Ruang, terdapat dua definisi desa, pertama, desa

merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kekuatan

masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan

rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian

kedua, desa adalah permukiman kecil di luar kota jumlah penduduk terbatas, luas daerah

georafis terbatas, kepadatan penduduk rendah, berpola hubungan tradisional, mata

pencaharian utama di bidang pertanian.

Sedangkan pengertian wilayah perdesaan menurut Dirjen Pembangunan Desa,

diartikan sebagai wilayah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Perbandingan tanah dan manusia cukup besar

Lapangan kerja didominasi oleh sektor agraris

Hubungan penduduk yang akrab

Sifat masyarakat menurut tradisi

Sementara menurut Yustika (2002: 109), wilayah perdesaan umumnya di negara-

negara dunia ketiga, dideskripsikan sebagai tempat bagi orang-orang untuk bekerja di

Page 10: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

sektor pertanian. Penurunan proporsi penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan dalam

25 tahun terakhir ini menjadi sebuah fenomena nyata. Hal ini juga merupakan konsekuensi

dari semakin beragamnya kegiatan ekonomi yang tidak hanya bertumpu pada sektor

pertanian, dan umumnya berlangsung di perkotaan. Fenomena ini pula yang kemudian

mendorong masyarakat perdesaan berpindah ke daerah perkotaan.

Keterkaitan Desa-Kota

Keterkaitan desa-kota pada dasarnya dipengaruhi oleh gerakan manusia dan juga

sifat keinginan manusia untuk saling melengkapi, dikarenakan suatu wilayah dengan

wilayah lain memiliki keadaan yang berbeda (Daljoeni, 1996).

Batasan desa-kota juga diperjelas oleh Bintarto (1989) dalam skema zone interaksi

desa-kota, bahwa kawasan desa-kota meliputi daerah di sekitar kota, mulai dari suburban

hingga rural urban fringe. Pada kawasan tersebut dapat dijumpai berbagai karakteristik

daerah perkotaan, namun lokasinya sudah berada di luar inti kota dan karakteristik

penduduknya lebih bersifat seperti masyarakat perdesaan. Berikut ini skema untuk

memperjelas pengertian kawasan desa-kota.

GAMBAR 2.1

ZONE INTERAKSI DESA-KOTA

Sumber: Bintarto (1989:67)

Keterangan:

1. City, merupakan kota atau pusat kota

3

6

5

4

2

1

Page 11: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

2. Suburban, merupakan suatu area yang lokasinya dekat pusat kota dengan luas

mencakup daerah penglaju atau commuter. Daerah ini disebut juga subdaerah

perkotaan.

3. Suburban fringe, merupakan suatu area yang melingkasi suburban dan merupakan

daerah peralihan antara kota dan desa (jalur tepi sub daerah perkotaan).

4. Urban fringe, meliputi semua daerah batas luar kota yang mempunyai sifat mirip

kota (jalur tepi daerah perkotaan paling luar).

5. Rural urban fringe merupakan suatu jalur daerah yang terletak antara daerah kota

dan daerah desa yang ditandai dengan penggunaan tanah camuran (jalur batas

desa-kota).

6. Rural, perdesaan.

2.5.3 Konsep Dualisme dalam Interaksi Aktivitas Industri dengan Kawasan

Perdesaan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keberadaan aktivitas industri di

suatu tempat dapat menjadi sebuah titik pertumbuhan baru yang dapat mendorong

perkembangan wilayah di sekitarnya. Aktivitas industri ini memiliki kekuatan untuk

mendorong terjadinya pemusatan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar daripada daerah

hinterlandnya. Daerah ini kemudian menyerap tenaga terlatih dan investasi dari wilayah

hinterlandnya sebagai wilayah yang relatif kurang berkembang. Inilah yang menjadi

ancaman bagi perkembangan wilayah perdesaan di sekitar pusat aktivitas industri. Menurut

Estalita (2001), bila kondisi seperti ini berlanjut, maka akan terjadi gejala dualisme

ekonomi yang dapat dideskripsikan sebagai suatu daerah perkotaan yang dinamis, tumbuh

dan modern yang dilingkupi oleh daerah perdesaan yang statis, menurun dan tradisional.

Perdesaan yang sering diidentikkan dengan sektor tradisional, khususnya pertanian.

Sektor tradisional, secara umum, memiliki pengertian mengacu kepada segala sesuatu yang

telah dilakukan oleh petani secara turun temurun atau sudah menjadi kebiasaan. Selain itu,

sektor pertanian tidak memakai manajemen modern dengan mempertimbangkan faktor

biaya dan keuntungan (Yustika, 2002: 117). Menurut Norton dan Alwang (1993), terdapat

beberapa karakteristik sektor tradisional yang diwakili oleh sektor pertanian, antara lain

(Yustika, 2002: 118):

a. Pertanian campuran dan dominasi hubungan keluarga

Page 12: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

Artinya, pertimbangan hubungan dalam keluarga lebih mendominasi berbagai

keputusan dalam pengolahan pertanian mereka. Pertanian tradisional dijalankan dengan

berbagai bentuk serta teknik yang berbeda, dengan jenis tanaman yang dapat berganti-ganti

pula.

b. Pemanfaatan tenaga kerja dan lahan

Pemanfaatan lahan untuk pertanian tradisional umumnya sangat kecil (antara 1-3

Ha). Namun tenaga kerja yang dipakai per hektarnya sangat tinggi.

c. Musiman

Penggunaan tenaga kerja pada pertanian tradisional cenderung untuk

mempertimbangkan variasi musim yang berdampak pada siklus pertanian. Sehingga

jumlah tenaga kerja yang dipakai akan berbeda setiap musimnya.

d. Produktivitas dan efisiensi

Pertanian tradisional dikarakteristikkan oleh rendahnya penggunaan input-input

yang harus dibeli dibandingkan dengan pemanfaatan tenaga kerja. Dengan demikian,

jumlah panen per hektar, produksi per orang, dan ukuran-ukuran lain menyebabkan

produktivitas cenderung menjadi rendah.

e. Rasionalitas dan resiko

Petani tradisional sesungguhnya secara ekonomi sangat rasional. Mereka bekerja

dengan dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan mutu standar hidup. Namun

demikian, resiko gagal panen, terserang hama dan bencana alam selalu membebani sektor

pertanian tradisional.

Sektor industri tumbuh dan berkembang dengan melibatkan bantuan modal yang jauh

lebih besar. Karena sektor industri memakai teknik padat modal dan koefisien teknik tetap

maka sektor ini tidak dapat menciptakan kesempatan kerja pada laju yang sama dengan

laju pertumbuhan penduduk. Dengan demikian surplus buruh harus mencari alternatif

pekerjaan lain diluar sektor industri.

Menurut Higgins, sebelum adanya proses ekspansi, sektor pedesaan tidak mengalami

kelebihan atau kekurangan faktor produksi. Pada permulaannya sektor tersebut menyerap

tenaga buruh tambahan dengan memanfaatkan tanah untuk pertanian lebih banyak. Ini

menyebabkan naiknya kombinasi buruh dan modal saat output juga naik. Rasio buruh

dengan modal yang ada di sektor tersebut naik secara teratur dan karena tersedia koefisien

teknis maka teknik yang dipakai di sektor ini menjadi berubah-ubah. Sebagai contoh,

Page 13: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

penanaman padi dengan irigasi telah menggantikan penanaman padi kering. Pada akhirnya,

seluruh tanah yang tersedia diolah dengan teknik padat-buruh dan produktivitas marginal

buruh turun ke nol atau bahkan di bawah nol. Jadi dengan pertumbuhan penduduk yang

terus menerus, pengangguran tersembunyi mulai muncul. Dalam kondisi ini,petani tidak

termotivasi untuk menanam modal lebih banyak atau memeperkenalkan teknik yang dapat

menghemat buruh. Disamping itu, tidak tersedia teknik untuk menigkatkan output perorang

dan tidak ada keinginan dari pihak buruh untuk meningkatkan produktivitas mereka

sendiri. Akibatnya, teknik produksi, produktivitas orang per jam dan kesejahteraan sosial

ekonomi masyarakat perdesaan tetap berada di tingkat yang rendah.

Higgins juga berpendapat bahwa hanya sedikit saja atau tidak terjadi kemajuan

teknologi di sektor perdesaan sementara di sektor industri terjadi kemajuan teknologi yang

begitu cepat. Hal tersebut cenderung meningkatkan jumlah pengangguran tersembunyi.

Situasi seperti ini semakin diperburuk dengan adanya tingkat upah yang tinggi. Karena

tingkat upah buruh industri yang semakin tinggi dan tidak sebanding dengan tingkat

produktivitasnya akan mendorong pengusaha untuk mencari teknik yang menghemat

buruh, sehingga ini semakin mengurangi kemampuan sektor industri dalam menyerap

kelebihan buruh dari perdesaan di sekitarnya.

2.6 Ikhtisar Kajian Teori

Keberadaan pusat-pusat pertumbuhan di suatu daerah atau wilayah akan

memberikan pengaruh bagi perkembangan wilayah di sekitarnya. Begitu pula dengan pusat

pertumbuhan berupa aktivitas industri. Menurut Perroux, industri merupakan aktivitas

dengan tingkat inovasi tinggi dan dapat berlangsung dalam unit ekonomi yang luas.

Aktivitas industri dapat mendominasi lingkungannya dan memberikan pengaruh kepada

unit ekonomi lain.

Menurut Daljoeni (1998: 167), aktivitas dari industri didefinisikan sebagai usaha

pengubahan suatu komoditi agar menjadi lebih bermanfaat (commercial manufacturing).

Pengertian aktivitas industri akan selalu berorientasi pada suatu bentuk usaha pengolahan.

Aktivitas industri merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan berbagai faktor

produksi, sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas industri adalah sebuah sistem produksi

yang bekerja saling berkaitan. Oleh karena itu, dalam sektor industri selalu terjadi apa yang

disebut dengan keterkaitan industri. Dalam sistem produksinya, keterkaitan antarindustri

dapat dilihat dari kebutuhan input yang diperoleh dari industri-industri hulu (upstream

Page 14: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

industries) dan penggunaan output suatu industri bagi industri hilir (downstream

industries).

Keterkaitan industri dengan perdesaan di sekitarnya, dapat dilihat dari kaitan sistem

proses produksi dengan sektor–sektor perdesaan yang ada. Didalamnya, tercakup pula

kebutuhan industri akan tenaga kerja. Berdasarkan tipe-tipe keterkaitan keruangan yang

dikemukakan oleh Rondinelli (1978), maka keterkaitan yang difokuskan dalam studi ini

adalah:

a. Keterkaitan Ekonomi, keterkaitan ini dapat berupa keterkaitan aliran komoditas

barang, modal, keterkaitan produksi serta berbagai elemen ekonomi lainnya.Dalam

keterkaitan ini juga dapat diketahui backward dan forward linkage antara aktivitas

industri dengan perdesaan di sekitarnya.

b. Keterkaitan pergerakan peduduk, untuk studi ini akan lebih difokuskan kepada pola

interaksi keruangan yang ditinjau dari pola arus tenaga kerja serta keterikatan lokasi

antara aktivitas industri dengan perdesaan sekitarnya.

Ikhtisar dari keseluruhan kajian literatur di atas dapat disajikan dalam Tabel II.1

berikut ini.

TABEL II.1

VARIABEL PENELITIAN

Konsep Variabel Penelitian Elemen Studi

Konsep aktivitas industri Aktivitas internal industri

Sistem produksi industri

Batasan aktivitas industri yang

diteliti.

Kaitan aktivitas internal

industri dengan kawasan

perdesaan di Kecamatan Tugu.

Keterkaitan industri Rantai produksi industri

Karakter aktivitas internal

industri di Kecamatan Tugu.

Konsep pengembangan

wilayah

Generator pertumbuhan

wilayah.

Industri sebagai generator

pertumbuhan wlayah

perdesaan di Kecamatan Tugu.

Keterkaitan ekonomi dan

keruangan industri dengan

wilayah perdesaan di

Kecamatan Tugu.

Page 15: Teori Aktivitas Industri& pengembangan desa

Konsep Variabel Penelitian Elemen Studi

Konsep kawasan perdesaan Pengertian perdesaan

Karakter perdesaan

Kegiatan ekonomi masyarakat

perdesaan di Kecamatan Tugu.

Keterkaitan ekonomi aktivitas

industri dengan kawasan

perdesaan di Kecamatan Tugu.

Sumber: Analisis, 2004