temulawak stupus

Upload: ilma-anisa

Post on 02-Mar-2016

70 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Temulawak1. PendahuluanTemulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan banyak tersebar di Pulau Jawa, Madura, Maluku, dan Kalimantan. Pada mulanya tanaman temulawak banyak tumbuh liar di hutan-hutan jati, di tanah kering, tegalan, maupun padang alang-alang, tetapi karena penggunaannya yang semakin meluas maka tanaman ini juga banyak dibudidayakan di kebun maupun pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan apotik hidup (Herman 1985; Hargono 1985).

(a) (b)Gambar 1. Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b)

Bagian tanaman temulawak yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian umbi batang. Umbi batang ini dinamakan juga rimpang atau umbi akar. Bagian pinggir penampangnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning tua, memiliki aroma tajam dan rasa yang pahit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Bagian rimpang ini biasanya dipanen setelah berumur 8 12 bulan (Herman 1985).

Klasifikasi tanaman temulawak adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : MonocotyledonaeOrdo : ZingiberalesFamili : ZingiberaceaeGenus : CurcumaSpecies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.2. Kandungan Gizi dan Manfaat TemulawakRimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%. Selain itu rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri (volatil oil), lemak (fixed oil), zat warna/pigmen, protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan berbagai komponen tersebut sangat tergantung pada umur rimpang pada saat dipanen dan jika dibandingkan dengan jenis curcuma yang lain, maka temulawak memiliki kandungan minyak atsiri yang tinggi (Herman 1985). Kataren (1988) menyebutkan bahwa komposisi rimpang kering temulawak (dengan kadar air 10%) terdiri atas pati (58.24%), lemak (12.10%), kurkumin (1.55%), serat kasar (4.20%), abu (4.90%), protein (2.90%), mineral (4.29%), dan minyak atsiri (4.90%).Bagi sebagian rakyat Indonesia, selain sebagai bumbu masak rimpang temulawak juga telah lama dikenal sebagai obat tradisional yang diantaranya bermanfaat untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, dan obat sakit maag (Sumiaty, 1997). Dalam pengobatan modern, bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).Dalam dunia fitoterapi, temulawak dikelompokkan sebagai adaptogen, yaitu bahan tidak berbahaya, yang dapat mendorong peningkatan resistensi melawan racun atau yang dapat mempengaruhi secara fisik, kimia, dan biologi. Secara umum dapat dikatakan bahwa temulawak mempunyai efek menormalkan fungsi jaringan yang terganggu.Temulawak selain dimanfaatkan sebagai obat juga dapat dijadikan produk minuman fungsional (memiliki manfaat kesehatan). Sebagai minuman temulawak dapat dibuat menjadi sirup, minuman berkarbonat, minuman nonkarbonat atau bahkan minuman instan. Secara singkat minuman instan temulawak dibuat dari tepung temulawak (hasil pengeringan minyak atsiri dengan spray dryer), yang ditambah dengan gula tepung, garam, bahan pengisi (maltodekstrin), dan asam sitrat. Minuman instan ini jika dilarutkan dalam satu gelas air akan menjadi minuman temulawak yang berwarna kuning jernih dengan cita rasa asam manis dan sedikit agak pahit. Minuman ini serupa dengan minuman sari temulawak yang ada di negara-negara Eropa (Sumiaty 1997).3. Kadar KurkuminKomposisi rimpang temulawak dapat dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu fraksi zat warna dan minyak atsiri. Kurkuminoid merupakan zat pigmen yang menyebabkan temulawak memiliki warna kuning. Selain pemberi warna, kurkuminoid juga merupakan salah satu komponen temulawak yang memberikan khasiat farmakologis seperti zat anti inflamasi dan memiliki aktivitas hipokolesterolemik. Sidik et al. (1995) menjelaskan bahwa kurkuminoid dalam temulawak terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin. Jumlah kurkumin dalam kurkuminoid temulawak ada lebih banyak dibandingkan dengan jumlah desmetoksikurkumin dengan perbandingan kurkumin mencapai 71% dan desmetoksikurkumin 29%. Kurkuminoid bersifat larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida serta tidak dapat larut dalam air dan dietil eter sehingga ekstraksi oleoresin temulawak menggunakan pelarut etanol (Yulianti 2010).4. Kadar XanthorrhizolKadar xanthorrhizol dalam bahan volatil pada oleoresin temulawak ditunjukkan dengan persentase luas area senyawa xanthorrhizol komparatif terhadap persentase luas area senyawa lainnya yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak. Berdasarkan kromatogram hasil analisis gas kromatografi dapat diketahui bahwa persentase luas area xanthorrhizol komparatif terhadap bahan yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak berkisar antara 1.26 42.82%. Persentase luas area xanthorrhizol tertinggi ada pada oleoresin dengan suhu ekstraksi 30o C dan perbandingan antara bahan dengan pelarut 1 : 6 (Yulianti 2010). Hasil penelitian Yulianti (2010) menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi mengakibatkan penurunan persentase luas area xanthorrhizol. Hal ini selaras dengan hasil analisis keragaman terhadap persentase luas area xanthorrhizol yang memberikan informasi bahwa faktor suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap persentase luas area xanthorrhizol, sedangkan perbandingan baku pelarut tidak memiliki pengaruh nyata pada persentase luas area xanthorrhizol.Xanthorrhizol yang merupakan salah satu komponen minyak atsiri temulawak memiliki sifat sensitif terhadap panas dan cahaya. Peningkatan suhu proses untuk memperoleh minyak atsiri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen minyak atsiri tersebut sehingga peningkatan suhu ekstraksi oleoresin juga akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen xanthorrhizol. Selain itu penyimpanan minyak atsiri yang mengandung xanthorrhizol juga harus menggunakan wadah yang kedap cahaya untuk meminimalkan kerusakan xanthorrhizol yang ada di dalamnya.

5. Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan TradisionalDi antara sekian banyak tumbuhan yang terdapat di Indonesia, temulawak merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat, hingga dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan obat Indonesia. Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Temulawak dalam obat tradisional Indonesia digunakan sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Dalam konteks penggunaan tradisional, temulawak digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu, atau juga digunakan sebagai penguat daya tahan tubuh. Di Aceh, temulawak dikenal dengan nama kunyit ketumbu, rimpangnya digunakan dalam ramuan untuk penambah darah, atau untuk mengatasi malaria. Masyarakat etnis Sakai di Bengkalis, Riau, menggunakan rimpang temulawak untuk penambah nafsu makan, sedangkan masyarakat Sunda menggunakan rimpang temulawak untuk mengobati sakit kuning dan mengatasi gangguan perut kembung. Selain oleh masyarakat Sunda, rimpang temulawak juga digunakan dalam ramuan sebagai obat penyakit kuning oleh masyarakat etnis Jawa, yang juga menggunakan rimpang temulawak tunggal sebagai obat mencret. Masyarakat etnis Bali menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi gangguan lambung perih dan kembung, sedangkan masyarakat etnis Madura menggunakan rimpang temulawak sebagai obat keputihan. Komunitas penggemar jamu gendong menggunakan rebusan rimpang temulawak sebagai penguat daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Moelyono 2007).Sebagai primadona obat herbal Indonesia, penggunaan temulawak mengalami perkembangan dalam penggunaannya, dimulai dari sediaan obat tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka. Perkembangan penggunaan juga diikuti oleh perkembangan bentuk sediaan, dari bentuk sediaan tradisional seperti jamu rebusan, jamu seduh, atau bentuk lain menjadi sediaan berbentuk kapsul, kaplet, hingga bentuk sediaan sirup atau suspensi. Pengembangan bentuk dan penggunaan ini merupakan tuntutan pengguna yang menginginkan kepastian keamanan dan khasiat, serta bentuk yang menarik, praktis, dan stabil. Persyaratan jaminan kualitas dari sediaan fitofarmaka yang mengandung ekstrak temulawak dapat dipenuhi karena kandungan kimia aktif yang terkandung dalam ekstrak temulawak telah dikenal baik, yaitu kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin, serta kandungan minyak atsiri dengan komponen xanthorhizol sebagai senyawa penandanya (Moelyono 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Darwis SN, Madjo Indo ABD, & Hasiyah S. 1992. Tanaman Obat Famili Zingiberaceae. Seri Pengembangan No. 17 Tahun 1992.

Hargono D. 1985. Prospek Pemanfaatan Temulawak. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Herman AS. 1985. Berbagai Macam Penggunaan Temulawak dalam Makanan dan Minuman. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka.

Moelyono. 2007. Temulawak, ikon obat herbal Indonesia? http://blogs.unpad.ac.id/moelyono/2007/09/21/temulawak-ikon-obatherbal -indonesia/ - Diakses Oktober 2013.

Sidik, Mulayono MW, & Muhatdi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam.

Sumiaty. 1997. Minuman berkhasiat dari temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Yulianti NP. 2010. Pengaruh nisbah bahan baku-pelarut dan suhu ekstraksi terhadap kandungan xanthorrhizol dalam oleoresin temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor