teman seperjalanan: sosok

36
TS/IX-Edisi 23

Upload: seminari-tinggi-yohanes-paulus-ii

Post on 08-Apr-2016

235 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Rekan seperjalanan yang terkasih, dalam buku Syukur Tiada Henti, Jacob Oetama pendiri Kompas Gramedia merefleksikan bahwa kata-kata akan hilang lenyap tetapi tulisan akan tinggal tetap. Dalam arti ini, jejak seseorang yang dituangkan dalam suatu tulisan akan tinggal tetap walaupun perkataan dan perbuatan orang tersebut telah pergi bersama waktu. Tulisan akan membuat semua orang ingat siapa orang yang ada dalam tulisan itu. Mungkin saja tulisan itu hanya sketsa dan tak dapat memperlihatkan perjuangan seseorang secara utuh. Akan tetapi, biarkan sketsa itu menjadi suatu gambaran yang mampu memberikan warna bagi setiap orang yang membacanya. Majalah teman seperjalanan pada edisi ini berupaya untuk memperlihatkan sketsa tersebut. Sosok yang kami tuliskan dalam edisi ini adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih. Perjuangan mereka pada awalnya hanya berupa ide. Dan pada akhirnya ide itu menjadi suatu gagasan dan tindakan konkret.

TRANSCRIPT

Page 1: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Page 2: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

REDAKSIONAL

Moderator: RD. Riki Maulana Baruwarsa; Pemimpin Umum: fr. Stefanus Tino D; Pemimpin Redaksi: fr. Salto Deodatus Manulang; Sekretaris & Sirkulasi: fr. Stevanus Harry Yudanto; Bendahara: fr. Octavianus Joko Prasetyo; Editor: fr. Marcellinus Vitus Dwiputra, fr. Reinardus Doddy Triatmaja; Layout: fr. Georgeus Mahendra Budi Prakoso, fr. Frederick Yolando; Anggota Redaksi: fr. Albertus Bondika Widyaputra, fr. Alberto Ernes; Publisher: Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta, Jl. Cempaka Putih Timur XXV, no 7-8 Jakarta Pusat, 021-4203374, Email: [email protected]

REDAKSI

Rekan seperjalanan yang terkasih, dalam buku Syukur Tiada Henti, Jacob Oetama pendiri Kompas Gramedia merefleksikan bahwa kata-kata akan hilang lenyap tetapi tulisan akan tinggal tetap. Dalam arti ini, jejak seseorang yang dituangkan dalam suatu tulisan akan tinggal tetap walaupun perkataan dan perbuatan orang tersebut telah pergi bersama waktu. Tulisan akan membuat semua orang ingat siapa orang yang ada dalam tulisan itu. Mungkin saja tulisan itu hanya sketsa dan tak dapat memperlihatkan perjuangan seseorang secara utuh. Akan tetapi, biarkan sketsa itu menjadi suatu gambaran yang mampu memberikan warna bagi setiap orang yang membacanya.

Majalah teman seperjalanan pada edisi ini berupaya untuk memperlihatkan sketsa tersebut. Sosok yang kami tuliskan dalam edisi ini adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih. Perjuangan mereka pada awalnya hanya berupa ide. Dan pada akhirnya ide itu menjadi suatu gagasan dan tindakan konkrit. Ada suatu keberanian dan ketulusan. Ketulusan atas dasar iman yang dihayati bagi sesama. Kehadiran mereka memberi arti bagi tahun pelayanan di KAJ dan akan tetap hidup walaupun tahun pelayanan akan segera berakhir. Kami sadar ada ribuan orang yang juga berjuang untuk melayani dan tak dapat kami tuliskan dalam majalah ini. Semoga sketsa mereka memberi warna dan gambaran yang hidup bagi kita semua yang membacanya. Gambaran yang membuat diri kita bertanya, sudahkah aku berbuat bagi sesamaku?

Page 3: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

DAFTAR ISIDaging Ayam Itu!...3

Wawancara dengan Ibu Windi

Sebuah Perjalanan Hidup Single Mother Community ...7Wawancara dengan Sr. Lia, RGS

Mengembalikan Si Hijau...11wawancara dengan Bapak Bintang Nugroho

Ku Sebut Engkau Sebagai Darah Ku...14fr. Patrick Slamet Widodo

Karya Roh Kudus Itu Bernama ASAK...17Wawancara dengan Bapak Justinus Yanto J.W

Manusia Yang Baik dan Warganegara Yang Baik...20fr. Albertus Ade Pratama

1

Tidak Bisa One Man Show...25Wawancara dengan Vikjen KAJ; RD Samuel Pangestu

Yang Muda, Yang Melayani...27Wawancara dengan Bapak Erlip

60 Detik...29Wawancara dengan Bapak Surya Pujawiyata

Perjumpaan...32RD. Riki Maulana Baruwarsa

Page 4: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Kolom Utama

2

Page 5: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Daging Ayam Itu!Penulis: fr. Harry dan fr. Salto; hasil wawancara dengan Ibu Windi

Dua frater menginterogasi ibu Windi. Sekejap mata, kami “menculik” sang jenderal wanita dan mengevakuasinya ke klinik warga binaan. Di sana, kami ngobrol bersama ditemani nasi kotak. Di dalamnya, fried chicken bertengger sebagai menu utama. Saking semangatnya makan, lauk saya pun habis sebelum nasi habis. Tiba-tiba, sepotong dada ayam mendarat di kotak makan saya. Kepada semua manusia di sekitar meja di sana saya bertanya, “Dari mana ayam ini?” Bu Windi menjawab, “Dari langit. Itu berkat.” Tak salah lagi, ayam itu terbang dari tempat makan si ibu jenderal, pemimpin sekaligus pendiri KKT.

Pelayanan Konkret: Sabda yang menjadi Daging!

Lakon nyata barusan bisa menjadi potret pelayanan ibu Windi bersama Komunitas Kasih Tuhan (KKT). Hal itu merupakan satu bentuk pemberian diri dalam pelayanan yang nyata dan membumi. Pada mulanya, pelayanan penjara berkisar tidak jauh seputar meja sabda. Para hamba Tuhan datang menyelenggarakan misa atau ibadat sabda atau persekutuan doa. “Mulia, tugas itu tentu sangat mulia. Namun, cukupkah bila pelayanannya berhenti di situ?” gugat ibu Windi menggebu-gebu dalam ceritanya kepada kami.

Ungkapan hati itu jelas mengandung arti. Lihat saja kelanjutan cerita ibu Windi ini, “Kalau begitu, terus apa kamu kenal si A, si B? Apa masalahnya? Kenapa memakai narkoba? Kenapa membunuh orang tua? Kenapa cerai?” Secara tersirat, kalimat itu sesungguhnya mau mengatakan bahwa ibu Windi sendiri merasa resah dengan model pelayanan yang sudah berjalan demikian. Bahkan timpalnya kemudian, “Saat itu saya merasa tidak melakukan apa-apa.

3

Page 6: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Waktu terus bergulir sampai momen ini tiba. Ibu Windi meyakininya sebagai gerak Roh Kudus. Suatu ketika, ia memilih untuk tidak mengikuti ibadat sabda. Saat itu ibu Windi ngobrol selama dua jam dengan seorang anak binaan. Sepanjang perbincangan itu, barulah semua kebutuhan, harapan, dan permohonan para sahabat ketahuan olehnya. Ia sedih sekaligus gembira lantaran seperti baru mendapat pencerahan dari Tuhan. Imbuhnya, “Aduh, Mak! Inilah yang harus Gereja lakukan.” Sejak saat itu, orientasi karya KKT mengarah pada spiritualitas inkarnatoris: sabda yang menjadi daging!

Ibu Windi menyadari bahwa pelayanan meja dan sabda belum sepenuhnya menyentuh problem utama anak-anak binaan. Mirip peristiwa ayam itu. Konsep ‘ayamnya’ harus dibagikan pada mereka yang membutuhkan. Mari kita simak kutipan curahan hati ibu Windi ini. Saya sendiri terhenyak dan termangu mendengarkannya, “Sering kali, hamba Tuhan datang hanya membawa sabda. Padahal ketika warga binaan masuk gereja sudah tidak dapat jatah makan. Dia harus puasa, sementara kita di mimbar bilang sabda. Dia pulang dalam keadaan lapar, jatah makan sudah lewat.”

Dari situ, ibu Windi menarik garis haluan pelayanan KKT. Pertama, ia menyadari betapa dibutuhkannya waktu untuk menyelami mereka. Arahnya jelas: konseling dibutuhkan! Metode ini terbukti ampuh untuk mengenali problem para sahabat. Cara yang membantu para pelayan Tuhan memberikan feedback bagi

warga binaan yang benar-benar sesuai kebutuhan.

Kedua, “Mereka butuh nasi, pakaian, obat, dan seterusnya,” urai sang ibu. Mengapa? Karena keadaan di penjara memaparkan situasi yang amat memprihatinkan. Misalnya, para sahabat dulu mengeluhkan nasi kadok. Makanan, yang bahkan kucing pun tidak suka. Pun begitu misalnya berkaitan dengan kesehatan para sahabat. Penyakit di penjara mudah sekali menular.

Saya cepat memahaminya begitu mendengarkan cerita seorang sahabat yang mengatakan bahwa di sana satu handuk dipakai bersama-sama secara bergantian. Satu lagi. Seorang sahabat yang lain dalam satu dialog dengan saya menceritakan betapa terbatasnya pelayanan kesehatan di penjara. “Obatnya enggak ampuh. Apalagi kalau enggak punya uang, dapat obatnya yang biasa. Tetap aja susah sembuhnya,” ungkapnya dengan wajah memelas. Hal inilah yang mendorong KKT setiap bulannya membagikan seribu bungkus nasi dan melakukan pemeriksaan serta pengobatan kesehatan secara gratis untuk waktu-waktu tertentu di Lembaga Pemasyarakatan.

Namanya: Komunitas Kasih Tuhan

Kelompok ini lahir dari pergulatan dan permenungan panjang sang pendiri. Tanpa saya tanyakan, ibu yang dikaruniai dua orang anak ini bertanya dengan semangatnya, “Kenapa sampai kepikiran mendirikan satu komunitas khusus untuk melayani di penjara?” Terdorong oleh sabda Yesus kepada

4

Page 7: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Petrus, “Bertolaklah ke tempat yang dalam,” (Luk 5:4) ibu Windi menggali terus panggilannya. Dua tahun ia bergulat dengan pencarian ini. Berbagai macam cara dilakukan, sebut saja ziarah ke Gedono. Tidak hanya itu, ibu Windi juga melakukan konsultasi kepada para imam, salah satunya RD. Petrus Tunjung Kesuma (Rektor STKAJ saat ini-red).

Ibu Windi pun bingung. Ia pernah masuk komunitas doa. Anehnya, di situ batinnya merasa resah. Hingga suatu kali, Romo Tunjung membaca gerak rohnya serta memberi masukan yang meneguhkan sekaligus mencerahkan, “Kamu tuh spiritualitasnya pelayanan sosial.” Lantas, pada tanggal 15 Agustus 2009 Organisasi Theos Agape Estim? didirikan (nama beken dari Allah adalah Kasih yang menurutnya lebih keren dari istilah Deus Caritas Est yang sudah terlalu biasa). Kemudian, seiring berjalannya waktu, nama itu berubah bersamaan dengan masukan dari RD. Yohanes Subagyo. Nama itu pun menjadi lebih ramah di telinga kebanyakan orang: Komunitas Kasih Tuhan (KKT).

“Apalah arti sebuah nama?” Berkaca dari sepak terjang KKT, saya akan menjawab pertanyaan itu: Nama mampu menjadi daya yang menjiwai suatu karya. Komunitas Kasih Tuhan mempertanggungjawabkan nama dan logo yang dijagokannya dengan baik. Spiritualitas—nadi kehidupan rohani—yang diserap dari nama ‘Komunitas Kasih Tuhan’ itu diejawantahkan anggotanya dalam karya dengan tepat! Jadi, nama ini pun berbunyi, bukan sekadar omong kosong pemanis lidah belaka.

Insight pertama diambil dari refleksi Yohanes, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16) Secara sederhana, ibu Windi merenungkannya begini, “Karena kita sudah merasakan kasih Tuhan dulu lho! Kalau kita enggak pernah merasakan kasih Tuhan, enggak mungkin kita bisa melayani orang lain” Kedua, tak ketinggalan sabda tentang pengadilan terakhir, “... ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” (Yoh 25:36). Spiritualitas ini juga diabadikan dalam gambar salib pada logo KKT, yang melengkapi simbol hati yang melambangkan hati Yesus Yang Maha Kudus. Hati yang rela memberi sehabis-habisnya. Dan, semua gambar itu disatukan oleh satu simbol lingkaran yang menyatakan komuni suci dalam perayaan ekaristi. ###

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah

mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,

supaya setiap orang yang percaya kepada-

Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

(Yoh 3:16)

5

Page 8: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Kolom Utama

Page 9: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Sebuah Perjalanan Hidup

Single Mother Community

Penulis: fr. Guntur dan fr. Tino; hasil wawancara dengan Sr. Lia, RGS

Mengenakan pakaian biarawati berwarna biru, Sr. Lia, RGS, dengan senyum lebar di wajahnya menyambut kedatangan tim redaksi majalah “Teman Seperjalanan”. Nada bicaranya yang begitu ramah dan murah senyum membuat suasana menjadi hangat dan akrab. Sr. Lia berkarya dalam pendampingan dan pelayanan untuk perempuan dan anak. Karya dan pelayanannya ini sudah diawali sejak bertugas di Ruteng.

Karya pendampingan ini berawal dari perjumpaannya dengan seorang ibu yang membagikan kegundahan hatinya dalam menghadapi hidup sebagai seorang perempuan yang diusir oleh suami yang dicintainya, karena tidak dapat memberikan keturunan. Sr. Lia merasa terkoyak dan tersentuh hatinya karena ternyata nasib yang serupa juga dialami oleh banyak ibu lain. Sr. Lia semakin terusik dan tidak banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.

Berangkat dari keprihatinan ini, Sr. Lia tergerak hati dan menawarkan kepada para ibu untuk berkumpul bersama bertemu dengan ibu-ibu lain yang memiliki nasib serupa. Rupanya, mereka menyambut baik dan antusias dengan tawaran tersebut. Setidak-tidaknya, melalui perjumpaan antarsesama ibu yang memiliki nasib serupa ini, dapat saling meringankan beban mereka dengan sharing bersama.

Para ibu ini adalah mereka yang telah lama hidup penuh tekanan karena stigma negatif yang “ditempelkan” dalam diri mereka dan seolah tanpa harapan. Apa yang telah dirintisnya saat menjalani perutusan di Keuskupan Ruteng, kini karya itu diteruskan di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Atas perbincangan ringan bersama RP. Andang, SJ terkait dengan keprihatinan akan makin banyaknya keluarga katolik yang mengalami perpisahan, lahirlah sebuah komunitas untuk para ibu tunggal Katolik. Sr. Lia menanggapi secara positif atas keprihatinan itu dan berangkat pula dari sebuah kerinduan besar untuk melakukan pendampingan bagi para single

Page 10: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

mother. Sr. Lia bersama dengan yang lain berupaya mencari para single mother yang dikenal, mengajak mereka bertemu, hingga diadakan sebuah pertemuan rutin bulanan.

Sebenarnya upaya para suster Gembala Baik mengumpulkan para ibu tunggal Katolik sudah dilakukan sejak akhir tahun 2003, tetapi komunitas ibu tunggal ini baru benar-benar terbentuk pada tahun 2008 di Keuskupan Agung Jakarta dengan nama Single Mother Community (SMC). Dalam pertemuan rutin bulanan, aneka macam kegiatan dilakukan, antara lain sharing bersama, perayaan iman bersama, pelayanan konseling, seminar-seminar, pemberdayaan ekonomi, pendidikan parenting, dan semacamnya. SMC mendapat dukungan sepenuhnya dari Susteran Gembala Baik yang didukung oleh para profesional yang memiliki keprihatinan tinggi terhadap permasalahan perempuan dan anak, antara lain psikolog, ahli hukum negara, ahli hukum gereja, rohaniwan, tenaga medis, aktivis, dan media.

Sosok seorang Sr. Lia dengan segala upaya, jerih payah, dan totalitas dalam menjalankan tugas, karya, dan pelayanannya membuatnya terus bertahan dan tetap setia melayani, menemani, dan mendampingi para ibu tunggal (single mother). Melalui survei dan kunjungan rumah, Sr. Lia tidak hanya sekadar untuk mendapatkan data, tetapi lebih dari itu, survei yang dilakukan merupakan sebuah proses pencarian yang panjang dan melibatkan begitu banyak pihak yang mempunyai kepedulian terhadap mereka yang lemah dan tersisih. “Bagi saya, banyaknya rintangan

dan kesulitan yang saya alami juga membawa sukacita besar karena yang hilang, yang tersembunyi, atau menyembunyikan diri ditemukan kembali”, ungkap Sr. Lia.

Semangat Gembala yang Baik menjadi sumber kekuatan Sr. Lia dalam menjalani karya pelayanan ini. “Gembala Baik meninggalkan 99 domba-Nya untuk mencari satu yang hilang” (Luk 15:4). Satu kutipan ayat dari injil Lukas inilah yang terus menjadi pegangan dan sumber semangat sebagai suatu panggilan dan tugas kegembalaan, yakni mencari yang belum ditemukan dan menghiburnya. Dalam pengalamannya, proses pencarian tidak selalu menggembirakan, terkadang melelahkan, harus bertanya ke sana-ke mari (baik kepada sesama maupun kepada Tuhan) demi menemukan yang dicari.

Sejujurnya, mendampingi para single mother tidaklah mudah karena mereka berangkat dari pribadi-pribadi yang memiliki masalah dan luka batin yang belum terselesaikan. Belum lagi, mereka mendapat “tekanan” sosial dari lingkungan atau masyarakat sekitar, stigma-stigma negatif tentang single mother, dan kesulitan berelasi dengan anaknya sendiri yang cenderung memberontak. Upaya dan usaha untuk mencari para single mother masih dilakukan karena mereka mulai menghilang dari lingkungan gereja, menutup diri, dan semakin tidak ingin diketahui identitasnya.

Sr. Lia pun menyadari akan keterbatasannya dan usaha maksimal melalui dedikasinya terhadap persoalan perempuan dan anak yang

8

Page 11: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

masih terus diperjuangkan. Akan tetapi, ada beberapa harapan atau keinginan yang belum terwujud, mengingat bahwa akan seperti apa dan bagaimana komunitas ini ke depannya. Secara sederhana, harapan atau keinginan Sr. Lia melalui komunitas ini, setidak-tidaknya dapat menghentikan siklus kekerasan atau luka batin. Selain itu, anak-anak dari para single mother dapat tumbuh dengan baik meski dalam situasi yang tidak ideal. Untuk harapan ke depan, Sr. Lia sedang memikirkan, apakah mungkin komunitas ini ada di masing-masing dekenat supaya mereka yang jarak tempuhnya jauh dari Susteran Gembala Baik-Jatinegara dapat bergabung di dekenat mana ia berada, tetapi konsekuensinya adalah ketersediaan tenaga pendamping yang cukup.

Beliau juga menyampaikan beberapa pesan bagi kami para calon imam terkait dengan persoalan perempuan dan anak, antara lain mengusahakan memberi peneguhan kepada kasus-kasus keluarga yang bercerai secara bijaksana, berupaya agar yang bermasalah merasa diteguhkan dengan keputusannya sendiri, dan pro-life. Sekali lagi, Sr. Lia menekankan bahwa keberadaan Single Mother Community ini tidak berarti mendukung keputusan para single mother memiliki anak tanpa suami, justru ingin merangkul mereka dan lebih-lebih memberi apresiasi kepada para single mother yang mempertahankan kandungan, melahirkan, dan merawat anaknya sebagaimana mestinya meski dengan perjuangan dan pergulatan hidup yang tidak mudah. ###

9

Page 12: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Kolom Utama

Page 13: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

MengembalikanSi Hijau

Penulis: fr. Joko & fr. Deta; hasil wawancara dengan Bapak Bintang Nugroho

“Aduh.... mengapa matahari begitu terik memancarkan sinarnya di siang hari tetapi tiba – tiba di malam hari hujan deras pun datang”, ujar Bapak Bintang sebelum memulai wawancara. Pada kenyataannya perubahan iklim ini telah dirasakan oleh masyarakat Indonesia dan juga di belahan dunia lain beberapa tahun belakangan ini. Menurut penelitian para ahli, permasalahan ini terjadi karena meningkatnya gas rumah kaca (CO2) sehingga lapisan ozon semakin menipis. Bahkan, permasalahan selanjutnya yang diperkirakan oleh para ahli ialah di tahun 2050 dibutuhkan dua bumi untuk dapat menunjang kehidupan manusia jika cara hidup manusia yang senang “mengeksploitasi” bumi secara berlebihan tidak diubah. Semua gambaran permasalahan tersebut menunjukkan betapa beliau sunguh memiliki kepedulian dan dedikasi yang tinggi terhadap lingkungan hidup.

Bapak Bintang Nugroho adalah seorang Kristiani yang membaktikan dirinya untuk sesama melalui kepedulian dan perhatiannya terhadap lingkungan hidup. Bapak Bintang, begitu beliau biasa dipanggil oleh kerabat dan teman-teman, memiliki latar belakang pendidikan sebagai arsitektur landscape (tata ruang kota). Beliau membaktikan diri di PEPULIH karena merasa PEPULIH dapat dijadikan sebagai sarana mewartakan Kristus kepada sesama. Bukan hanya sekadar membawa atribut Kristiani (salib, pakaian, dsb) tetapi nilai-nilai Kristianilah yang dibawa olehnya dalam pewartaan. Sebab, Beliau merasa perbuatan sehari-hari lebih berbunyi daripada atribut-atribut keagamaan atau kata – kata indah.

Beliau bersama teman–teman yang lain merintis PEPULIH (Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup) sebagai kelompok kategorial pada tahun 2004 dengan

Page 14: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

RP Andang L. Binawan, SJ sebagai pendampingnya. Masih teringat dibenaknya bahwa PEPULIH adalah kelompok kategorial yang “inklusif”. Maksudnya, PEPULIH bukan hanya dibentuk untuk orang katolik tetapi juga untuk seluruh masyarakat guna menjembatani permasalahan lingkungan yang tidak terjembatani selama ini (masuk lewat pintu mereka dan keluar lewat pintu kita). PEPULIH adalah kelompok kategorial yang pertama–tama memiliki target untuk mengubah perilaku yang tidak sadar menjadi sadar akan pentingnya lingkungan hidup tempat kita tinggal.

Salah satu pengalaman yang menarik bagi Bapak Bintang ialah saat PEPULIH beserta teman-teman lain yang peduli dengan lingkungan mengadakan acara pembersihan dan pengurukan sungai Ciliwung. Saat itu tidak ada yang mewajibkan para peserta untuk berdoa secara Kristiani di awal dan akhir acara. Melainkan, setiap perserta diberikan kesempatan untuk secara bergantian memimpin doa (doa pembuka secara Kristen dan doa penutup secara Islam). Dari pengalaman tersebut beliau merasa bahwa lingkungan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat menjembatani segala permasalahan–permasalahan lingkungan hidup.

Dewasa ini, muncul sebuah keprihatinan baru, yakni permasalahan lingkungan dijadikan sarana untuk mengambil keuntungan oleh produsen dengan mengatakan bahwa barang produksi tersebut ramah lingkungan. Apabila hal ini terus dibiarkan begitu saja, ditakutkan akan terjadi “pembiasaan” di dalam diri masyarakat.

Maksudnya, masyarakat akan biasa saja ketika melihat permasalahan lingkungan yang terjadi karena menganggap mereka sudah memiliki andil dalam menjaga bumi dengan membeli produk–produk ramah lingkungan yang ditawarkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap kritis dari masyarakat terhadap janji–janji tersebut dan juga pembinaan lanjut akan pemasalahan lingkungan.

Pembinaan tersebut beliau lakukan dengan menjadi pembicara ketika mengikuti atau mengadakan seminar-seminar ataupun simposium dan acara–acara yang akan membahas mengenai lingkungan hidup. Misalnya, acara PEPULIH yang memfasilitasi simposium ‘Pachamama’ yang beberapa tahun ini dilakukan di Jakarta. ‘Pachamama’ merupakan suatu perkumpulan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan hidup. Pachamama pertama kali terbentuk di Amerika, Pachamama memiliki perhatian untuk mengadakan simposium dan diskusi tentang planet bumi dan cara hidup yang baik serta bagaimana cara memperbaikinya. Ada cara lain yang lebih efektif dan ekonomis ialah melalui tindakan sehari–hari, seperti menghemat air, menggunakan tas kain dan meninggalkan tas plastik saat berbelanja, mematikan listrik saat berpergian. Oleh karena itu, kita (komunitas umat Allah) memiliki tanggung jawab penuh untuk memelihara lingkungan hidup untuk anak cucu kita karena mereka juga berhak atas bumi yang diciptakan oleh Allah sebagai bentuk cinta kasih Allah terhadap umat ciptaan-Nya.###

12

Page 15: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Page 16: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Kusebut Engkau Sebagai Darahkufr. Patrick Slamet Widodo

Hidupmu adalah berkat bagi kami sebagai abdi TuhanKetulusan, kesederhanaan, kegembiraanEngkau pancarkan kepada kamiMurid-muridmu yang sedang berjalan ini

Tidak terbatas lintas benua dan samuderaEngkau wartakan iman Yesus Kristus dalam akal budi kami pulaKesetiaan hidup yang engkau jalani adalah titian jalan panggilanCerminan bagi kami untuk berserah diri serta

Lukisan wajahmu akan terus terpatri dalam setiap insandan kilauan gemericik sabda yang engkau ukir pelanAkan tetap menjadi titah yang tidak akan pernah padamSambut setiap renunganmu dalam jelaga malam

14

Page 17: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Bayangan wajah itu masih semburat saja di sudut kamar ituTerpaut kilasan kisah yang tidak bisa berlalu begitu sajaTerasa berat untuk dilepaskan agar menjadi memorabiliaHentakkan sepi agar kami terus berlari dan berlalu

Tahun demi tahun menjadi jalan panjang nan singkatEngkau tetap seperti dulu yang kami kenangMasih jelas dalam sanubari kami mengingat tentang sebuah benihYang terserak di antara dedaunan kering nan pekat legamdan rumah itu masih tetap seperti dulu yang engkau tinggalkan.

Kepadamu...Tiada yang bisa kami haturkan dalam pelukan kasih persaudaraanHanya keceriaan hati yang engkau tanamkan setiap saatdan tanpa membeda-bedakan kami semua disaat yang tepat

Kepadamu...Wejanganmu akan terus mengalir dalam darah kamimeski berada jauh dari mu terasa dekat dalam hati pribadidoa nan tulus kami lantunkan bagimu cinta sejati kami ###

Komunitas Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II

15

Page 18: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Kolom Utama

Page 19: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Karya Roh Kudus Itu Bernama ASAK

Penulis: fr. Linus dan fr. Reja; hasil wawancara dengan Bapak Justinus Yanto J.W

Di Tahun Pelayanan yang dicanangkan oleh Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), gerakan Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK) menjadi salah satu gerakan pelayanan yang mendapat perhatian besar di keuskupan. Berawal dari gerakan pelayanan di Paroki St. Thomas Rasul, Bojong Indah—pada saat tulisan ini dibuat—ASAK sudah menjadi gerakan di 32 paroki di KAJ. Justinus Yanto Jayadi Wibisono menjadi salah satu motivator utama lahirnya gerakan ASAK. Pada edisi kali ini, redaksi Teman Seperjalanan menyajikan hasil wawancara dengan Bpk. Yanto sebagai salah satu tokoh gerakan ASAK di Tahun Pelayanan 2014.

1. Motivasi apa yang mendasari Bapak untuk menggagas program ASAK di paroki dan KAJ? Mengapa bidang yang Bapak pilih adalah bidang pendidikan dan bukan di bidang yang lain?

Sebenarnya saya hanya menjalankan apa yang Tuhan perintahkan saja. Tuhan memberikan inspirasi kepada saya waktu saya misa di Gereja RKZ Surabaya pada tahun 1991 untuk membuat sebuah program orang tua asuh. Pada saat itu saya berumur 24 tahun dan baru saja bekerja belum satu tahun setelah lulus kuliah. Singkat cerita, pada tahun 2007, kesempatan itu muncul lagi pada waktu saya tinggal di paroki Santo Thomas Rasul (Sathora – red.), Bojong Indah. Dewan Paroki memberi kesempatan kepada saya untuk memikirkan program bantuan pendidikan di paroki Sathora.

Bagi saya, pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang. Pada mulanya ASAK hanya berusaha mengambil peran kecil dalam bidang pendidikan ini, seperti bantuan dana, namun dalam perkembangannya ternyata ASAK juga membantu dalam pengembangan’soft skill’.

2. Keprihatinan apa yang Bapak lihat dalam bidang pendidikan di Indonesia, atau di KAJ secara khusus?

Saya melihat bahwa pendidikan etika dan budi pekerti semakin berkurang. Kecenderungan sekarang ini, manusia cenderung

Page 20: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

diperlakukan sebagai robot dengan memperhatikan hal-hal teknikal. Padahal manusia adalah makhluk sosial. Orientasi pada yang bersifat teknis hanya akan melahirkan MANUSIA ROBOT, sehingga saya kuatir manusia akan berubah seolah-olah menjadi MESIN. Biaya pendidikan yang melambung tinggi pun juga menjadi keprihatinan lainnya. Sementara itu, saya melihat sekolah Katolik mulai kehilangan pamor karena lemah di sisi manajemen, sehingga saya merasa “reformasi” dalam manajemen sekolah katolik saat ini sangat diperlukan.

3. Apa dan kapan momen terberat yang pernah Bapak alami selama program ASAK ini berjalan?

Momen terberat adalah ketika sedang merintis ASAK. Dukungan dari hierarki Gereja masih belum jelas. Bahkan di Paroki Sathora, ASAK membutuhkan waktu delapan bulan untuk meyakinkan dewan paroki. Selain itu, juga sangat sulit untuk merubah ‘mind set’ para keluarga

pra-sejahtera tentang pentingnya sekolah untuk menggerakkan mereka mengikuti ASAK. Salah satu tugas berat kami adalah untuk terus-menerus menanamkan prinsip transparan, baik kepada pengurus maupun keluarga anak santun sehingga kepercayaan kepada ASAK tetap terjaga.

4. Apa dan kapan momen sukacita yang pernah Bapak alami selama program ASAK ini berjalan?

Saya merasa semua pengalaman bersama Tim dan Anak ASAK merupakan pengalaman sangat mengesankan, meskipun menyita waktu dan tenaga dengan sosialisasi ke paroki-paroki di KAJ, baik pada hari libur atau pun malam hari. Kegembiraan bertambah ketika respon umat dan hirarki Gereja di paroki-paroki mendukung terlaksanannya program ASAK. Juga dukungan dari pihak luar (sekolah, universitas, dll) menjadi kegembiraan Tim ASAK. Komunikasi dengan Tuhan pun juga menjadi kunci sukacita kami. Ia selalu memberikan jalan dan jawaban ketika kami mengalami kesulitan di sana-sini. Jawabannya dapat ditemukan lewat istri dan keluarga, para romo, Bapak Uskup, Vikjen, relawan, dsb.

5. Bagaimana usaha yang Bapak lakukan untuk menjalin kerjasama dengan berbagai sekolah dan universitas dalam program ASAK ini?

Dalam menjalin kerjasama dengan pihak luar, kuncinya adalah TUNDUK dan TAAT. Lakukan dengan senantiasa berpikir positif dan menjalaninya dengan segenap hati. Selebihnya

BiodataNama: Justinus Yanto Jayadi WibisonoTempat dan Tgl Lahir: Jakarta,

17 Mei 1967Paroki saat ini: Paroki

Laurensius, Alam Sutra - Serpong

Nama Istri: Dominika WiwikKriswianti

Anak:1) Gisela Maura Adisti.2) Demitria Erin Adela

18

Page 21: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

kami (Tim ASAK) hanya mengikuti saja prosedur yang dibahas bersama dengan para pihak yang mendukung tersebut. Sejauh ini ‘toh’ pihak yang bersangkutan memberikan umpan balik yang sangat baik kepada kami.

6. Bagaimana pendapat Bapak ketika melihat program ASAK ini berkembang menjadi gerakan di KAJ sekarang ini?

Jujur saja, ketika mengetahui ASAK sudah menjadi gerakan di KAJ, saya stres. Mengapa? Karena saya membayangkan saya akan sibuk sekali. Akan tetapi, saya beserta istri lalu meyakini bahwa yang penting TUNDUK dan TAAT, maka Tuhan akan menunjukkan jalan. Semua yang dilakukan Tim ASAK adalah karya ROH KUDUS. Saya ‘sih’ bermimpi supaya tidak ada satu pun Anak Katolik di KAJ yang tidak bisa sekolah atau kuliah karena miskin. Kemiskinan tidak berarti anak-anak tidak sekolah.

7. Harapan Bapak terhadap anak-anak yang sudah mengikuti program ASAK?

Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa ASAK bukanlah sebuah program ‘TAKE and GIVE’. Artinya adalah kalau mau bergabung menjadi anak ASAK, mereka tidak harus membayar dengan: menjadi Misdinar atau aktivis gereja, misalnya. ASAK lebih kepada gerakan KASIH dan gerakan MEMBERI. Kami percaya bahwa Tuhan punya cara sendiri dan Tuhanlah yang akan menentukan waktunya yang tepat bagi anak-anak ASAK untuk berbuah. Harapan saya dan tim, semoga anak-anak ASAK dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Buah-buah dari kehadiran-Nya dalam hidup mereka kelak bisa mereka bagikan dan tularkan kepada orang lain. Biarlah tetesan KASIH yang diterima itu bisa juga menetes ke tempat-tempat lainnya di mana mereka hidup dan berkarya nantinya. ###

19

Page 22: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Jikalau Anda bertanya mengenai keutamaan manusia kepada Aristoteles, maka dia akan menjawab bahwa ada dua macam keutamaan, yaitu keutamaan sebagai manusia (good man) dan keutamaan sebagai warga negara (good citizen). Kemudian Anda bertanya-tanya, apakah hal yang membedakan kedua keutamaan tersebut? Untuk melihat perbedaan dari kedua keutamaan itu, kita perlu melihat pengertian dari masing-masing keutamaan tersebut. Menilik makna keutamaan sebagai manusia menurut Aristoteles, mengutip penjelasan Magnis-Suseno, adalah hidup sebagai manusia yang utama—wong utomo—yang tidak selalu berbuat baik, tetapi pertama-tama menandakan orang yang kuat batinnya, mantap, tidak mudah goyah, tidak resah, berani dan dapat diandalkan.1 Keutamaan warga negara (citizen) adalah keutamaan yang

1. Franz-Magnis-Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Hlm. 42-43.

perlu dimiliki oleh manusia sebagai anggota warga negara/polis. Singkat kata, keutamaan sebagai manusia, adalah keutamaan yang perlu dimilliki manusia sebagai bagian dari umat manusia, sedangkan keutamaan warga negara adalah keutamaan yang perlu dimiliki oleh manusia sebagai bagian dari sebuah negara/polis, yaitu dengan berorientasi pada konstitusi negara/polis di mana ia berada.

Manusia secara alamiah adalah makhluk politis (zoon politikon)2. Ia hidup dalam sebuah komunitas, dan membutuhkan komunitas. Ia adalah mahluk sosial yang hidup dalam sebuah polis. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketidakdapatan manusia untuk mencukupi dirinya sendiri (autarkis). Negara, menurut Aristoteles, telah mencapai batas autarkis yang sempurna, yang tidak terjadi demi kehidupan melulu, tetapi demi kehidupan yang lebih

2. Aristoteles, Politik, 1253a3

Manusia Yang Baik dan Warganegara Yang BaikPenulis: fr. Albertus Ade Pratama

“Jadi, keutamaan warganegara harus beroritentasi pada konsistusi negara. Namun karena ada banyak konstitusi negara, keutamaan warganegara yang baik jelas-jelas bukanlah satu-satunya keutamaan dan juga bukan keutamaan yang sempurna. Jadi, jelaslah bahwa orang dapat menjadi seorang warganegara yang baik tanpa memiliki keutamaan manusia yang baik.”(Aristoteles, Politik, 1276b29-35)

20

Page 23: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

baik (good live). Dengan demikian negara menjamin kehidupan yang baik bagi setiap manusia dalam negaranya. Kehidupan tersebutlah yang menjamin seorang warga negara dapat mengaktualisasikan dirinya. Negara menjadi ruang di mana setiap anggotanya dapat mengejar kehidupan yang baik, yaitu pengembangan seluruh potensi kemanusiaannya selaras dengan keutamaan-keutamaannya. Hal inilah yang membuat negara berada di batas autarkis yang sempurna dibandingkan dengan desa, keluarga dan individu itu sendiri.

Akan tetapi, Aristoteles menyadari pula bahwa negara tidak selamanya membuat anggotanya menjadi autarkis.

Ada negara yang hanya memikirkan keuntungan bagi sang penguasa semata, negara yang tirani. Negara yang demikian tidak menjalankan pemerintahannya demi kepentingan umum. Dalam negara tirani tersebut, banyak terdapat kumpulan orang-orang yang berusaha memperoleh keuntungan dari sang tiran. Terkadang, kaum-kaum tirani inilah yang masuk dalam kategori warga negara/polis yang baik, yang menyesuaikan dirinya dengan kepentingan negara/polis mereka yang tirani. Inilah pandangan yang disampaikan oleh kaum Sophis, yang hidup dan aktif dalam kegiatan polis di masa Aristoteles, yaitu bahwa polis dan hukumnya hanya merupakan sebuah kesepakatan belaka.

Frater-Frater TOR Puruhita (2014-2015)

21

Page 24: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Aristoteles menyelamatkan kita dari pandangan yang mempersempit keutamaan sebagai manusia. Jikalau kita, sebagai anggota sebuah negara, hanya memiliki keutamaan warganegara, niscaya kita harus tunduk terhadap konstitusi negara di mana kita tinggal. Bayangkanlah jika kita tinggal di Jerman di masa Hitler atau di suatu negara yang dipimpin sebuah rezim otoriter. Mau tidak mau kita perlu tunduk terhadap konsitusi negara tersebut karena kita hanya memiliki sebuah keutamaan yang kita junjung tinggi, yaitu keutamaan sebagai warga negara. Akan tetapi, pembedaan antara keutamaan manusia sebagai manusia, yang berujung pada hal-hal etis seperti kebahagiaan, dan keutamaan kita sebagai warganegara membuat kita memahami bahwa ada dua macam keutamaan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Aristoteles mengatakan bahwa, keutamaan warganegara yang baik jelas-jelas bukanlah satu-satunya keutamaan dan juga bukan keutamaan

yang sempurna.

Dari permenungan filosofis yang dilakukan oleh Aristoteles ini, kita dapat menarik sebuah nilai demi pembelajaran kita. Bahwasanya sebagai seorang warga negara, kita perlu menaruh perhatian pada konstitusi negara. Hubungan polis dan manusia (individu) bersifat komplementer. Manusia memerlukan negara untuk menjadi autarkis dan negara baru sungguh-sungguh menjadi autarkis ketika individu yang menjadi anggotanya autarkis. Akan tetapi, keterlibatan dalam negara tidaklah semata-mata tunduk pada konstitusi. Manusia perlu menilik sebuah keutamaan yang lebih sempurna yang dimilikinya, yaitu keutamaan manusia sebagai manusia (good man). Dengan demikian, manusia dapat pula terlibat dengan cara kritis dan berjuang melawan konstitusi sebuah negara/polis yang tidak sesuai dengan keutamaan manusia (good man). ###

Aristoteles mengatakan bahwa, keutamaan warganegara yang baik jelas-jelas bukanlah satu-

satunya keutamaan dan juga bukan keutamaan yang sempurna.

22

Page 25: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Page 26: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Page 27: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Tidak bisa One Man Show

Penulis: fr. Guntur hasil wawancara dengan RD. Samuel Pangestu

Romo Vikjen KAJ memandang bahwa pelayanan yang dilakukan setiap orang itu tidak bisa berdiri sendiri. Pelayanan itu harus bersifat memerdayakan dan adanya partisipasi aktif dari banyak orang. Berikut petikan wawancara dan pandangan Romo Vikjen terkait dengan gerakan dan komunitas pelayanan yang ada di KAJ.

1.Bagaimana romo melihat gerakan-gerakan pelayanan yang ada di KAJ?Saya pribadi bersyukur akan peran awam yang ada di KAJ ini. Pelbagai gerakan

pelayanan yang ada di KAJ menjadi suatu bentuk kesaksian seorang awam dalam mewartakan Injil bagi semua orang.2.Apa tanggapan romo dengan banyaknya gerakan pelayanan yang ada di KAJ?

Bagi saya pelbagai gerakan tersebut melambangkan keberagaman Gereja. Harus ada koordinasi dan saling bersinergi. Tidak boleh ada yang merasa hebat antara gerakan yang satu dengan gerakan yang lainnya.3.Maksud romo?

Ya, dalam melakukan pelayanan tidak bisa one man show. Orang tidak bisa merasa diri paling hebat karena yang hebat hanya Dia (Allah –ed.). Kerja sama dapat diartikan sebagai bentuk kerendahan hati dalam melakukan pelayanan.4.Ada ketakutan dalam melakukan pelayanan, menurut romo?

Saya tetap yakin bahwa maksud baik pasti buahnya juga baik. Buah yang baik belum tentu dapat dirasakan dengan cepat. Semua butuh proses dan waktu. Jadi jangan takut. Ketakutan itu muncul karena ukurannya adalah sukses, bukannya setia. 5.Bagi romo dasar dalam melakukan pelayanan terhadap sesama?

Dasarnya adalah hati dan cinta yang ingin dibagikan kepada sesama. Memberikan hati dan cinta berarti memberikan hidup kita bagi Kristus dan sesama.

6.Apa harapan romo terkait dengan komunitas atau gerakan pelayanan yang ada di KAJ ini?

Saya hanya berharap semoga karya yang sudah ada tetap hidup terus menerus. Dan menjadi gerakan bersama umat KAJ. Regenerasi kepemimpinan penting dalam hal ini. Tidak bisa diandaikan tetapi harus disiapkan. ###

Kolom Utama

Page 28: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Page 29: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

Yang MudaYang MelayaniPenulis: fr. Surya Nandi Putra; hasil wawancara dengan Bapak Erlip

“Suatu malam teman saya berkata : Lip, yok kita doa, di asrama ngapain kamu?” dari situlah awal perjumpaan Erlip dengan komunitas San Egidio. Bermula dari iseng-iseng mengisi waktu luang dan mencari teman, kini Erlip telah 15 tahun bergabung dengan Komunitas San Egidio. Pada perjumpaan pertama itu Erlip merasa diberikan nilai lebih sebagai seorang manusia. “Saya yang dari tempat ‘terpencil’, dinilai lebih melalui pelayanan komunitas, komunitas meyakinkan bahwa saya bukan sekadar anak SMA, saya pun bisa memberikan sesuatu kepada sesamaku”.

Erlip bertemu komunitas San Egidio ketika tinggal di Padang pada tahun 1999. Waktu itu Erlip yang berasal dari Mentawai, Nias, hijrah ke padang untuk meneruskan pendidikan sekolah menengah atas. Di komunitas tersebut Erlip dan teman-teman memberikan pelayanan kepada anak-anak kurang mampu. Seminggu sekali mereka mengajar pelajaran matematika atau Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dalam mengajar Erlip berusaha menyalurkan apa yang ia punyai sebagai anak SMA. Ia percaya meski masih SMA ia pun mampu untuk ”memberi” kepada sesama. Karena, tidak ada orang miskin yang tidak bisa memberikan sesuatu kepada yang lain. Dari komunitas ini pula Erlip berkesempatan pergi studi di Roma, dan semakin mengenal komunitas ini di tempat asalnya.

Tentang San EgidioErlip berkisah, San Egidio bermula di Italia tepatnya di kota Roma. Pada tahun

1968 lima anak muda yang dipimpin oleh Andrea Riccardi belajar membaca Kitab Suci dan mencoba menghidupinya dalam kehidupan sehari-hari. Andrea Riccardi bersama teman-temannya kemudian melakukan aksi nyata dengan memperhatikan orang miskin, gelandangan, dan yang menderita. Muda-muda itu tidak hanya membagi makanan, tetapi lebih-lebih menjadikan mereka sahabat dengan dialog dan komunikasi. Dengan demikian San Egidio dapat dikatakan memiliki spiritualitas yang didasarkan pada doa, Kitab Suci, persahabatan orang miskin dan dialog.

Dari Italia, sejak tahun 1973, komunitas mulai terbentuk di kota-kota lain di Italia dan di berbagai negara. Di Indonesia sendiri San Egidio hadir pada tahun 1991 di kota Padang. Dalam perkembangan waktu banyak anggota komunitas Padang yang berpencar ke berbagai kota di Indonesia, entah karena kuliah atau bekerja. Komunitas ini kemudian membentuk komunitas serupa di tempat mereka

Page 30: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

tinggal. Kini sudah ada 15 komunitas di seantero negeri, sebut saja Jogja, Atambua, Kupang, Maumere, Bajawa, Pekanbaru, dll. Di tengah dunia yang menawarkan berbagai macam ideologi, San Egidio hendak menawarkan nilai-nilai Injili.

”Bukan” KebetulanPerjumpaan dengan komunitas

San Egidio bukanlah suatu kebetulan. ”Perjumpaan dengan San Egidio adalah cara Tuhan memanggil saya”, tandasnya. Erlip menghayati bahwa dengan bergabung dengan komunitas tersebut dan memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, anak-anak jalanan, dan mereka yang kurang diperhatikan, ia telah ikut mewartakan Kristus. Panggilan Tuhan tidak harus dengan suatu pengalaman mistik yang ”wah”. Erlip merasa, meskipun bukan suatu yang kebetulan, panggilan Tuhan untuk melayani itu diperolehnya lewat pengalaman yang biasa-biasa saja. ”Banyak juga dari anggota komunitas yang awalnya bergabung dengan komunitas karena mau mengisi waktu, mencari teman, dan motivasi yang lainnya”, ungkap pria kelahiran 1981 ini. Namun demikian, dari motivasi awal yang biasa itu berkembang menjadi

kesadaran akan sebuah panggilan hidup. ”Perlahan-lahan saya mengerti dan memahami, bahwa masuk suatu komunitas juga suatu panggilan”

Lima belas tahun tahun tentu bukan waktu yang sebentar. Dalam perjalanan pelayanan, pernah juga Erlip merasa malas. Berbagai hal bisa dijadikan sebagai alasan untuk ”libur”. ”Terkadang saya kecapekan habis bekerja, atau habis sekolah jaman SMA dulu” tambahnya. Akan tetapi, meskipun keanggotaan komunitas tidak mengikat, kesetiaan, dan komitmen adalah nilai yang patut diperjuangkan.

Harapan yang SederhanaDi tempat asalnya, di Italia, San

Egidio berkembang sangat pesat. Banyak anak muda dan dewasa yang terlibat dalam berbagai macam pelayanan. Erlip berharap agar di Jakarta juga semakin banyak umat yang ikut di dalam pelayanan kepada orang kecil, miskin, dan tersisih. Terlibat bukan berarti harus bergabung dengan komunitas San Egidio, melainkan terlibat dengan caranya masing-masing. Karena sekali lagi ”tidak ada orang miskin, yang tidak bisa memberikan sesuatu kepada yang lain”. ###

28

Page 31: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

60 DetikPenulis: fr. Guntur; hasil wawancara dengan Bapak Surya Pujawiyata

“Saya masih ingat, Bapak Uskup kita adalah orang pertama yang memberikan uangnya untuk gerakan ini. Saya kagum dengan beliau,” ungkap Pak Surya. Gerakan ini memang sepenuhnya didukung oleh Bapak Uskup KAJ, Mgr. Ignatius Suharyo. Program ini diharapkan bisa menjadi gerakan kemanusiaan dalam bergotong royong serta menjadi virus positif yang menguatkan persaudaraan. BKSY sebagai program dikembangkan untuk umat katholik seluruh Indonesia, namun sebagai tahap awal dimulai di KAJ dengan paroki pionir peserta awal sebanyak 8 dari 63 paroki KAJ.

Pak Parno—umat Paroki Pamulang—ditunjuk oleh Seksi Pengembangan Sosial dan Ekonomi (PSE) KAJ sebagai pemimpin dari gerakan ini. Pak Parno menolak bahwa ide ini berasal dari dirnya. Lahirnya gerakan ‘Berkhat Santo Yusuf’ sebenarnya dimulai dari obrolan bersama teman-teman Seksi Santo Yusuf dari tiap paroki. “Saya sebenarnya prihatin dan kasihan akan orang-orang

yang miskin. Kasihan mereka, sudah susah, ketika susah tambah susah. Contohnya saja kalau mau berobat. Berapa biaya yang harus ia tanggung? Belum lagi urusan administrasi yang tidak ada habisnya. Itu kalau sakit. Kalau ada orang yang meninggal. Berapa biaya yang dikeluarkan oleh Gereja untuk menyantun umat yang meninggal? Itu sangat sedikit dan kecil sekali. Kalau yang meninggal itu orang kaya, ya tidak jadi masalah. Kalau sebaliknya, ya repot,” Pak Surya bercerita dengan penuh semangat.

Bagi Pak Surya, Gereja bukan tempat untuk orang kaya saja. Gereja adalah milik semua umat. Semua umat bukan hanya orang kaya, tetapi juga orang miskin. Inilah dambaan sederhana dari Pak Surya dan teman-temannya. Bagi Pak Surya, gerakan ‘Berkhat Santo Yusuf’ adalah jembatan dan fasilitas yang diberikan Gereja bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Khususnya pertolongan dalam bidang kesehatan dan kematian. Kedua bidang ini yang sering kali

“Semoga gerakan ini menjadi virus belarasa yang menyebar di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ),” ungkap Mgr. Ignatius Suharyo. Kata-kata Bapak Uskup masih membekas dalam hati Bapak Surya. Hal itu diucapkan oleh Bapak Uskup ketika gerakan ‘Berkhat Santo Yusuf’ menjadi gerakan di KAJ secara resmi pada tanggal 30 November 2013.

29

Page 32: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

dilupakan oleh Gereja. Gereja kerap lupa bahwa pelayanan dalam bidang kesehatan dan kematian dapat menjadi suatu sarana pelayanan yang berbuah manis.

Berjuang dan BerjuangPak Surya dan teman-temannya

harus berjuang untuk mewujudkan impiannya tersebut. Impian yang hendak dinyatakan dalam suatu tindakan yang konkret bukanlah perkara yang mudah. Banyak halangan dan hambatan yang harus dihadapi. Hal itu juga dirasakan oleh Pak Surya. “Saya beberapa kali harus ditolak oleh perusahan asuransi tetapi saya tidak menyerah,” ungkap Pak Surya. Pak Surya bersyukur ada teman-teman yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat. Terutama semangat dari keluarga yang membuat Pak Surya kembali diteguhkan. “Hanya doa dan keluarga yang menjadi kekuatan saya,” ungkap Pak Surya.

Semangat belarasa adalah semangat yang menjiwai Pak Surya dalam melakukan karya pelayanannya. Bagi Pak Surya dalam program ini caranya untuk berbelarasa adalah dengan menjadi peserta serta umat yang lebih mampu dapat membantu saudaranya selingkungan atau separoki dengan membayar satu atau lebih iuran untuk mereka. Semangat belarasa tersebut dijiwai oleh Injil Lukas 6:36 (Berbelarasa seperti Bapa berbelarasa) dan Lukas 10: 33 – 36 (Orang Samaria yang baik hati) serta semangat dan tradisi orang di Napoli yang disebut “Pending Coffee”, cara berbagi minuman kopi untuk yang miskin dengan membeli dua atau

lebih dimana satu ia minum lainnya diserahkan kepada pengelola warung kopi untuk diberikan kepada yg tidak mampu membeli.

Menjadi Tangan TuhanGerakan ‘Berkhat Santo Yusuf’ telah

dijalankan oleh 15 Paroki di KAJ dengan total peserta berjumlah 5989 orang. Paroki-paroki lain yang ada di KAJ juga menyambut positif gerakan ini. Program BKSY dikemas dalam bentuk asuransi mikro dengan dua manfaat berupa dana bantuan saat dirawat di rumah sakit sebesar Rp. 100,000,- per hari selama 90 hari setahun dan santunan pemakaman bila terjadi kematian sebesar Rp. 10,000,000,- kepada ahli waris. Untuk mendapatkan manfaat tersebut terlebih dahulu umat mendaftar melalui ketua lingkungan dan membayar iuran sebesar Rp. 80,000,- per tahun untuk 1 orang. Usia yang dapat didaftarkan adalah mulai dari 15 hari sampai dengan menjelang 80 tahun.

Gerakan ini sungguh membarikan suatu daya pembaharuan di KAJ. Dari jumlah peserta yang hampir 6000 tersebut terdapat cukup banyak dibiayai kepesertaannya melalui semangat “Pending Coffee” yang berkembang di tingkat lingkungan-lingkungan. Bahkan saat ini Pak Surya dan teman-temannya sedang mengusulkan kepada pihak keuskupan untuk pengembangan dengan data base agar pelayanan BKSY dapat tertata dengan baik. Bagi Pak Surya pastoral berbasis data sangat penting untuk dilaksanakan di setiap paroki-paroki yang ada di KAJ ini.

30

Page 33: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

“Saya dan teman-teman hanya menjadi tangannya Tuhan, bukan menjadi tangan kami masing-masing. Kami hanya berusaha, selebihnya Tuhan yang mengatur,” ungkap Pak Surya. Ketulusan iman Pak Surya ini adalah buah yang membuat dirinya merasa ikut bertanggung jawab pada sesamanya. Kebahagiaan dapat berbuat bagi sesama yang membutuhkan adalah suatu kebahagiaan yang tidak tergantikan dengan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Keyakinan Pak Surya tersebut berdasarkan akan pengalaman hidup yang membawanya

kepada arti kebahagiaan untuk sesama. “Kebahagiaan itu, ya bukan untuk diri sendiri tetapi harus dibagikan kepada orang lain. Syukur-syukur bisa membuat orang lain bahagia.”

Enam puluh (60) detik adalah simbol yang digunakan oleh pria berumur 55 tahun untuk merefleksikan apa yang telah dilakukannya selama ini. Enam puluh (60) detik adalah waktu. Waktu yang terus berputar dan akan menjadi menit dan jam. Sudahkah selama 60 detik dalam hidupku, aku berbuat bagi sesamaku? Ya, hanya 60 detik saja.###

31

Page 34: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23

PerjumpaanPenulis: RD. Riki Maulana Baruwarsa

Dalam situasi dunia sekarang ini, dimana logika instrumental menjadi sesuatu yang diagung-agungkan, kita menjadi agak sulit untuk bersikap reflektif-kritis akan hidup kita sendiri, termasuk bagaimana kita berpikir mengenainya. Jargon-jargon keseharian yang menyuarakan kepentingan tertentu yang sesaat membuat hidup, tanpa disadari, menjadi dangkal. Dalam situasi seperti ini kita tetap dituntut untuk menjalani kehidupan secara normal. Dapatkah kita lantas mengharapkan sebuah ke-asli-an dan ke-dalam-an? Ataukah memang benar bahwa keseharian memang pada dasarnya adalah sebuah banalitas?

Perjumpaan menjadi sebuah momen krusial. Ia dapat dimengerti sebagai alat pemenuhan kebutuhan pribadi kita semata. Atau, ia dapat dihayati sebagai usaha pencarian terus-menerus ‘wajah’ sesungguhnya.

Dalam perjumpaan yang sungguh, kehadiran ‘sosok’ menjadi sesuatu yang sangat dramatis, sekaligus kreatif. Sosok memunculkan rasa penasaran dan gelisah, karena ia menampakkan sekaligus menyembunyikan dirinya. Kita berhadapan dengannya, tetapi dalam misteri. Kegelisahan eksistensial ini dirasakan oleh st. Agustinus: “et inquietum est cor nostrum donec requiescat in te” (Dan hatiku tidak akan tenang sampai tinggal di dalam Engkau). Perjumpaan dengan ‘sosok’ itu menggelisahkan karena ia menarik kita keluar dari relung-relung kenyamanan dan keamanan kita. Kita dihadapkan pada sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan atau terbayangkan sebelumnya.

Perjumpaan yang menarik kita keluar ini dirasakan pula sebagai momen yang menyadarkan kita betapa sebelumnya kita ‘terkekang’ oleh ruang-ruang nyaman yang kita ciptakan sendiri. Perjumpaan yang sungguh itu membebaskan. Perjumpaan yang sungguh itu adalah sebuah pencarian-tanpa-henti dan ini sungguh disadari oleh Origenes yang mengkomentari Kitab Kidung Agung, yang salah satu kutipannya kita telah baca di awal tulisan ini. ###

“Dia belum mengungkapkan diri kepadanya secara terang-terangan dan menyeluruh, tetapi masih melalui jaring-jaring renda, dia memanggilnya,

mendorongnya untuk tidak berdiam diri, tetapi keluar dan berusaha untuk melihatnya tidak lagi melalui bingkai jendela seperti melalui cermin, seperti

untuk teka-teki, melainkan mencoba untuk keluar dan bertemu wajah dengan wajah” (Origenes)

Dengan nuansa intimitas orang yang saling jatuh hati, penulis kalimat di atas mengajak para pembacanya untuk sadar akan makna perjumpaan yang

dirindukan.

32

Page 35: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23 33

Page 36: Teman Seperjalanan: Sosok

TS/IX-Edisi 23