telaah pasal krusial ruu pemilu1 - kodeinisiatif.org€¦ · den gan demikian, rakyat sebagai...

14
Page 1 of 14 TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU 1 Oleh: Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif 1. RUU Pemilu ini baru akan digunakan sepenuhnya pada penyelenggaraan Pemilihan Umum Nasional pada Tahun 2029. Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 tetap akan mengacu kepada UU No 7/2017 kecuali berkaitan dengan 3 hal yang diatur di dalam Draft RUU Pemilu ini yakni: a. Sistem Pemilu b. Alokasi Kursi dan c. Ambang batas perolehan suara minimal parpol. Sehingga pada tahun 2024 nanti, Pemilu serentak akan tetap dilaksanakan dengan Pemilu 5 kotak, dan UU 7/2017 tetap berlaku kecuali 3 ketentuan diatas yang akan mengacu pada Draft RUU Pemilu ini. 2. Draft RUU Pemilu ini tidak terdapat perubahan terhadap ketentuan terkait dengan Penanganan Pelanggaran Administrasi di Bawaslu, Sengketa proses di Bawaslu dari UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Yang menjadi kebaharuan di dalam Draft RUU Pemilu ini adalah, ketentuan tentang Penanganan Pelanggaran Administrasi dan Sengketa Proses di dalam UU Pilkada diberlakukan sama dengan Penanganan Pelanggaran Administrasi di dalam UU Pemilu No 7/2017 dan Draft RUU Pemilu ini. 3. Catatan lain di dalam Draft RUU Pemilu ini dari UU No 7/2017 adalah : a. Tidak adanya pengaturan kembali Bagian Ketujuh tentang Pengawasan dan Sanksi dalam Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Pasal 410 UU No 7/2017 tentang Pemilihan b. Tidak adanya pengaturan kembali Buku Kelima Tindak Pidana Pemilu terkait Penanganan Tindak Pidana Pemilu dari Pasal 476 sampai 487. Pembentuk draft RUU Pemilu ini mendasari bahwa 2 ketentuan diatas masih mengacu pada UU No 7/2017 tentang Pemilu. Padahal jika Draft RUU Pemilu ini diundangkan dan mulai berlaku, maka 2 (dua) ketentuan diatas tidak akan 1 Draf RUU Pemilu yang menjadi acuan ialah draf per tanggal 6 Mei 2020 dari Komisi II DPR RI.

Upload: others

Post on 20-Aug-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 1 of 14

TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1

Oleh: Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif

1. RUU Pemilu ini baru akan digunakan sepenuhnya pada penyelenggaraan Pemilihan Umum Nasional pada Tahun 2029.

Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 tetap akan mengacu kepada UU No 7/2017 kecuali berkaitan dengan 3

hal yang diatur di dalam Draft RUU Pemilu ini yakni:

a. Sistem Pemilu

b. Alokasi Kursi dan

c. Ambang batas perolehan suara minimal parpol.

Sehingga pada tahun 2024 nanti, Pemilu serentak akan tetap dilaksanakan dengan Pemilu 5 kotak, dan UU 7/2017

tetap berlaku kecuali 3 ketentuan diatas yang akan mengacu pada Draft RUU Pemilu ini.

2. Draft RUU Pemilu ini tidak terdapat perubahan terhadap ketentuan terkait dengan Penanganan Pelanggaran

Administrasi di Bawaslu, Sengketa proses di Bawaslu dari UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Yang menjadi

kebaharuan di dalam Draft RUU Pemilu ini adalah, ketentuan tentang Penanganan Pelanggaran Administrasi dan

Sengketa Proses di dalam UU Pilkada diberlakukan sama dengan Penanganan Pelanggaran Administrasi di dalam UU

Pemilu No 7/2017 dan Draft RUU Pemilu ini.

3. Catatan lain di dalam Draft RUU Pemilu ini dari UU No 7/2017 adalah :

a. Tidak adanya pengaturan kembali Bagian Ketujuh tentang Pengawasan dan Sanksi dalam Penghitungan Suara dan

Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Pasal 410 UU No 7/2017 tentang Pemilihan

b. Tidak adanya pengaturan kembali Buku Kelima Tindak Pidana Pemilu terkait Penanganan Tindak Pidana Pemilu

dari Pasal 476 sampai 487.

Pembentuk draft RUU Pemilu ini mendasari bahwa 2 ketentuan diatas masih mengacu pada UU No 7/2017 tentang

Pemilu. Padahal jika Draft RUU Pemilu ini diundangkan dan mulai berlaku, maka 2 (dua) ketentuan diatas tidak akan

1 Draf RUU Pemilu yang menjadi acuan ialah draf per tanggal 6 Mei 2020 dari Komisi II DPR RI.

Page 2: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 2 of 14

berlaku pula dan terjadinya kekosongan hukum karena telah mencabut sepenuhnya seluruh ketentuan di dalam UU No

7/2017 sebagaimana Ketentuan Penutup Pasal 739 Draft RUU Pemilu ini.

Seharusnya Draft RUU Pemilu ini juga mengatur 2 ketentuan diatas, sebagaimana Draft RUU Pemilu ini juga mengatur

aspek pengawasan lain yang juga diatur di dalam UU 7/2017 tentang Pemilu.

4. Pengisian Jabatan DPRD Sesuai RUU Pemilu ini Dapat menjadi Inkonstitusional

Pasal 22E (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun

sekali.*** ) (Pemilu DPRD terakhir di Tahun 2024, sedangkan Di Draft Pemilu DPRD sebagai Pemilu Daerah

dilaksanakan di Tahun 2027. Hanya 3 Tahun Pasca Pemilu Sudah Harus Pemilu. Teknokratik penghitungan waktu

keserentakan harus betul2 dikaji)

5. RUU Pemilu Tidak Cukup Menjawab Persoalan Yang Kurang Dalam Aspek Pengawasan dan Penegakan Hukum

kepemiluan Didalam UU 7/2017

Persinggungan antara kewenangan lembaga penegak hukum pemilu eks kasus OSO.

Pelanggaran Administrasi saat rekapitulasi antara Bawaslu dengan MK.

Pemecatan Caleg Terpilih dan PAW seperti Kasus Mulan, Kalbar 2.

No. Isu Pasal Isi Pasal Catatan

1. Gakkumdu Pasal 1 angka 56

Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang selanjutnya disebut Gakkumdu adalah pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana pemilu yang terdiri atas unsur Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah, dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Agung Republik

Untuk memperkuat kelembagaan dan kewenangan Bawaslu, hendaknya Bawaslu dititikberatkan untuk menjadi lembaga kuasi peradilan atau dengan kata lain, Bawaslu fokus kepada pelaksanaan kewenangan pengawasan pemilu dan penyelesaian pelanggaran administrasi serta sengketa proses pemilu. Bawaslu tidak terlibat di dalam Gakkumdu, penegakan hukum pidana pemilu diserahkan sepenuhnya kepada Kepolisian dan Kejaksaan.

Page 3: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 3 of 14

Indonesia, Kejaksaan Tinggi, dan/atau Kejaksaan Negeri

Selain mengoptimalkan peran Bawaslu, model demikian ditujukan untuk mengoptimalkan efektivitas dan memacu kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan pidana pemilu. Dari segi waktu, penanganan pelanggaran pidana pemilu menjadi tidak berbelit-belit. Sebelumnya, dugaan pelanggaran harus dilaporkan terlebih dahulu ke Bawaslu untuk dibahas bersama-sama di Gakkumdu, hal ini tidak cukup efektif karena harus bekerja dua kali.

Penanganan tindak pidana pemilu diharapkan dilakukan secara holistik oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Tidak hanya merujuk pada UU Pemilu, tetapi juga kepada KUHP dan KUHAP.

2. Sistem Proporsional Tertutup

Pasal 206 ayat (1)

Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 memberikan syarat penentuan sistim pemilu yakni agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata

Sistem proporsional tertutup menempatkan partai

Page 4: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 4 of 14

politik sebagai penentu besar, padahal dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak

3. Keserentak

Nasional Dan Daerah

Pasal 1 ayat (2)

Pemilu Nasional adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. MK menambahkan skema keserentakan baru dari Putusan MK yang sebelumnya yakni pada Putusan sebelumnya No 14/PUU-XI/2013 Putusan MK pun menambah keharusan penggabungan UU satu bidang kepemiluan.

Pemerintah dan DPR harus memiliki pemahaman, model pemilu serentak yang diterapkan 2019 bukanlah satu-satunya pilihan model pemilu serentak. Berdasar putusan MK, terdapat beberapa model pemilu serentak yang penting dipertimbangkan pemerintah dan DPR.

Di dalam original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem

Pasal 1 ayat (3)

Pemilu Daerah adalah Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, serta Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

Page 5: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 5 of 14

pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu: 1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; 2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; 5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan

Page 6: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 6 of 14

Walikota; 6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk UU

Semua model itu mengunci keserentakan pemilu presiden/wapres, DPR, dan DPD dengan tujuan penguatan sistem presidensial.

Dalam menentukan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih

Page 7: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 7 of 14

dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum

4.

Jadwal Keserentakan

Pasal 730 ayat (1)

Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota secara serentak tetap diselenggarakan pada tahun 2024 berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Melalui RUU Pemilu ini, Pemerintah mencoba memisahkan antara pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Hal ini berimplikasi pada jadwal keserentakan penyelenggaraan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Terdapat banyak alternative jadwal keserentakan yang dapat diterapkan. Namun jika melihat draft di dalam RUU Pemilu ini, terdapat satu hal yang luput untuk dipertimbangkan yakni factor keamanan dalam negeri untuk penyelenggaraan pemilu daerah. Jika dilaksanakan pemilu serentak daerah, dengan tingkat kerumitan dan potensi keamanan yang terganggu. Seharusnya model pemilu daerah menerapkan sistem zonasi yang dibagi menjadi 3 bagian yakni Pemilu daerah bagian barat, tengah dan timur. Hal ini untuk menghindari terjadinya gesekan antar pendukung dan mampu mengganggu stabilitas keamanan.

5. Pasal 734 ayat (1)

Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

6. Pasal 734 ayat (2)

Pemilu Nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2029, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali

7. Penghapusan hak untuk dipilih bagi eks-anggota PKI

Pasal 182 ayat (2) huruf ii

Calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD PRovinsi, Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Prasyarat ini semestinya dihapuskan karena melanggar hak konstitusional warga negara dan bersifat diskriminatif serta stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa pasal yang

Page 8: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 8 of 14

harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: …ii. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI

menghalangi eks-PKI untuk memilih dan dipilih adalah inkonstitusional karena melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Ketentuan tersebut juga dinyatakan tidak relevan lagi dengan adanya upaya rekonsiliasi nasional. Seharusnya, pertimbangan putusan MK ini berlaku mutatis mutandis terhadap prasyarat quo, sebab pertimbangan hukum MK bernilai erga omnes dan ditujukan untuk menjaga dan melindungi hak pilih warga negara.

8. Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold)

Pasal 187 ayat (1)

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang merupakan hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Menggunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi telah merusak logika sistem presidensial, hal ini merupakan logika pengisian jabatan dalam sistem parlementer. Apalagi, hasil pemilu merujuk kepada pemilu DPR pada periode sebelumnya yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, sebab dipastikan terdapat perbedaan peserta pemilu. Misalnya di Pemilu 2019, terdapat 5 partai politik baru peserta pemilu, yaitu Partai Berkarya, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan PKP Indonesia.

Pasal ini berpotensi menjadi ajang candidacy buying, menjadi alat untuk menghilangkan lawan politik, dan menghasilkan calon tunggal serta tidak menawarkan calon alternatif.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017

Page 9: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 9 of 14

dan Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, presidential threshold dikatakan sebagai open legal policy, artinya merupakan kebebasan dari pembentuk undang-undang untuk mengatur selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, seharusnya merupakan close legal policy karena secara eksplisit diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

9. Ambang batas pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota

Pasal 192 ayat (1) – (4)

(1) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah dalam pemilu anggota DPR sesuai hasil pemilu nasional sebelumnya.

(2) Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi anggota DPR menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi

Ambang batas pencalonan kepala daerah merujuk pada hasil pemilu anggota DPR di tahun sebelumnya merupakan upaya pemaksaan penyeragaman konstelasi politik di tatanan nasional dengan di daerah. Ketentuan ini tidak relevan, tidak masuk akal, dan tidak proporsional. Sebab tidak ada kepastian bahwa partai politik yang dituju oleh rakyat sebagai kendaraan untuk menitipkan aspirasi di daerah adalah sama dengan partai politik yang lolos parliamentary threshold pada pemilu nasional.

Ketentuan ini pun mematikan keberagaman dan lokalitas partai politik yang telah berkembang di daerah. Secara terang, pasal ini mereduksi esensi pemilihan umum kepala daerah, melanggar prinsip kedaulatan rakyat, dan menegasikan keberagaman yang tumbuh di daerah.

Page 10: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 10 of 14

dihitung dengan pembulatan ke atas.

(3) Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPR.

(4) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon.

Pasal 198 ayat (1) – (4)

(1) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah dalam pemilu anggota DPR sesuai hasil pemilu nasional sebelumnya.

(2) Dalam hal partai politik atau

Page 11: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 11 of 14

gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi anggota DPR menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.

(3) Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPR.

(4) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon.

10. Ambang batas parlemen (parliamentary

Pasal 217 Partai politik peserta pemilu anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 7%

Angka 7% untuk parliamentary threshold tergolong sangat tinggi dan tidak proporsional. Tingginya angka ini hanya akan melanggengkan hegemoni

Page 12: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 12 of 14

threshold) (tujuh persen) dari jumlah suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.

partai politik yang besar dan menutup kesempatan bagi partai politik baru, partai politik minoritas untuk berkontestasi di pemilu legislatif. Selain itu, partai politik akan cenderung memberikan gagasan-gagasan yang populis, ketimbang ide-ide alternatif.

Tingginya persentase parliamentary threshold akan banyak membuang suara pemilu. Apabila diproyeksikan berdasarkan hasil Pemilu 2019, maka akan terdapat 29.490.612 dari 139.970.810 suara sah pemilih yang akan dibuang begitu saja.

Angka parliamentary threshold yang tinggi ini tidak serta merta dapat mengegolkan tujuan penyederhanaan partai politik di parlemen, sebab merujuk pada hasil Pemilu 2019 lalu, hanya akan menyingkirkan 1 partai politik saja dari 8 partai politik yang telah duduk di DPR, berikut merupakan ilustrasinya: Parpol Peserta Pemilu 2019 di DPR yang Berpotensi Lolos Parliamentary Threshold 7% a. PDIP (19,33%) b. Partai Gerindra (12,57%) c. Partai Golkar (12,31%) d. PKB (9,69%) e. Partai Nasdem (9,05%) f. PKS (8,21%) g. Partai Demokrat (7,77%) Parpol Peserta Pemilu 2019 di DPR yang Berpotensi Tidak Lolos Parliamentary Threshold 7% a. PAN (6,84%)

Page 13: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 13 of 14

Dalam preseden Putusan MK (Nomor 20/PUU-

XVI/2018, 56/PUU-XI/2013, 51/PUU-X/2012, 52/PUU-X/2012, dan 3/PUU-VII/2009), parliamentary threshold dianggap sebagai open legal policy, artinya merupakan kebebasan pembentuk undang-undang untuk mengatur selama tidak bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, berdasarkan rasionalitas dan moralitas hukum, hendaknya angka persentase parliamentary threshold ditetapkan pada batas yang rasional dan proporsional, yaitu antara 3%-4%.

11. Ambang batas DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 248 ayat (1)

Partai politik peserta pemilu anggota DPRD Provinsi harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 7% (tujuh persen) dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPRD Provinsi.

Ambang batas penentuan perolehan kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang merujuk pada hasil pemilu nasional, khususnya anggota DPR, berupaya untuk memaksakan penyeragaman konstelasi politik di tataran nasional dengan di daerah. Padahal, parlemen daerah terbangun berdasarkan pilihan politik dan ideologi masyarakat di daerah yang belum tentu sama dengan di pusat. Ketentuan ini bernilai irasional dan irelevan serta tidak mengakomodasikan keberagaman di daerah.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012, pemberlakuan threshold secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, tetapi partai politik yang bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki oleh partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di

Pasal 270 ayat (1)

Partai politik peserta pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 7% (tujuh persen) dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPRD Provinsi.

Page 14: TELAAH PASAL KRUSIAL RUU PEMILU1 - kodeinisiatif.org€¦ · Den gan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh

Page 14 of 14

DPR, justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga bertentangan dengan tujuan pemilihan umum, yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

Selain itu, MK menambahkan threshold sebesar 3.5% saja tidak dapat diberlakukan secara bertingkat untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, sebab dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3.5%, sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Oleh karena itu, MK membatalkan ketentuan ambang batas perolehan suara bagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.