belajarpenuhkaryahome.files.wordpress.com · web viewformulasi kebijakan sebagai bagian dalam...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Evaluasi Evektivitas Kebijakan Pendidikan
(Otonomi Pendidikan, Penganggaran Berbasis Kinerja, Ujian Nasional)
MAKALAH
Dipersentasekan dalam Bentuk Diskusi Kelompok
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Nasional Pada program studi PAI Program Magister (S2) IAIM Sinjai
Oleh Kelompok: 4
1. Drs, Kaharuddin2. Marsuki, S. Pd.I3. Muhammad Jailani, S. Pd4. Sriwahyuni Ar, S. Pd5. St. Hajrah, S. Pd
Dosen Pemandu:
Dr. Madalle Agil, M.Pd.
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH SINJAI
TAHUN AJARAN 2018/2019
1
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT., atas
segala rahmat dan hidayah-Nya serta salawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang diberikan di Pascasarjana (S2) Institut Agama Islam
Muhammadiyah Sinjai.
Dalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan
baik dalam teknis penulisan maupun materi yang tepat dengan judul, mengingat
akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran
ynag membangun dari semua pihak terutama Dosen yang bersangkutan demi
perbaikan penyusunan makalah ini.
Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak
yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khusus kepada
dosen yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.
Sinjai, 23 Mei 2019
Penulis,
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Otonomi Pendidikan ...................................................................................3
B. Anggaran Berbasis Kinerja..........................................................................10
C. kebijakan Publik Tentang Ujian Nasional...................................................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................................21
B. Saran ............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan suatu program, pastilah dibutuhkan evaluasi.
Begitu pula dalam proses perumusan kebijakan pendidikan. Setelah proses
formulasi hingga pelaksanaan kebijakan, barulah dilakukan evaluasi kebijakan.
Pengadaan evaluasi ini burfungsi untuk mengetahui seberapa jauh program yang
telah dirumuskan dan dilaksanakan berjalan dan sebagai perbaikan untuk program
yang selanjutnya.
3
Evaluasi yang dilakukan dalam kebijakan pendidikan merupakan proses
akhir dari seluruh langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan. Dalam
melakukan proses terakhir ini terdapat beberapa model yang dapat digunakan
dalam menilai hasil-hasil kebijakan. Model inilah yang menjadi langkah
selanjutnya setelah melihat permasalahan yang ada dalam perumusan kebijakan.
Proses pelaksanaan kebijakan pendidikan perlu mendapatkan perhatian
khusus. Karena hampir disetiap elemen-elemen pendidikan memiliki kekurangan
yang perlu mendapatkan perbaikan. Mulai dari formulasi, legitimasi,
implementasi, komunikasi serta partisipasi masyarakat dalam kebijakan
pendidikan.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan pendidikan
merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan
hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai,
disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-
tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap
formulasi. Oleh karena itu, pentingnya evaluasi dini sejak dilakukan formulasi
kebijakan akan mencegah terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan.
Karena, evaluasi kebijakan pendidikan bertujuan untuk mengukur dan menilai
tingkat keberhasilan pelaksanaan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.Selain itu,
dengan diadakannya evaluasi akan dapat diketahui dampak serta resiko yang
dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan sehingga akan mencegah terjadinya
kegagalan yang lebih besar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Otonomi Pendidikan
2. Bagaimana Penganggaran Berbasis Kinerja
3. Bagaimana kebijakan Publik Tentang Ujian Nasional
C. Tujuan
4
1. Mengetahui Pengertian Otonomi Pendidikan
2. Mengetahui Bagaimana Penganggaran Berbasis Kinerja
3. Mengetahui Bagaimana kebijakan Publik Tentang Ujian Nasional
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Otonomi Pendidikan
Secara bahasa otonomi berasal dari Yunani autos berarti sendiri,
dan nomos yang berarti hukum atau aturan1.Secara istilah, otonomi adalah
pemberian wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri2
Dengan demikian otonomi adalah kewenangan yang dimiliki suatu daerah untuk
mengatur dan mengelolah daerahnya secara mandiri. Sedangkan otonomi
pendidikan adalah kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan
untuk mengatur dan mengelola lembaganya secara mandiri.
Menurut H.A.R. Tilar, Otonomi pendidikan mempunyai dua arti yaitu:
Pertama, menata kembali sistem pendidikan nasional yang sentralistis menuju
kepada suatu sistem yang memberikan kesempatan luas kepada inisiatif
masyarakat. Kedua, memperkuat dasar-dasar pendidikan pada tingkat bawah
untuk membentuk suatu masyarakat yang bersatu berdasarkan kebhinnekaan3.
Dari pendapat Tilar tersebut, penulis dapat simpulkan bahwa otonomi
pendidikan merupakan upaya penataan pendidikan dari sentralistik menjadi
desentralistik agar masyarakat Indonesia bisa berkembang dan bersatu dalam
kebhinnekaannya. Keragamaan kultur yang dimiliki oleh Indonesia tidak
dijadikan sebagai argumen untuk memecah belah bangsa tetapi dijadikan sebagai
penguat bangsa dengan kekayaan budaya yang beranikaragam.
1. Konsep Otonomi Pendidikan
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti “sendiri” dan
nomos yang berarti “hukum” atau “atauran”. Sedangkan menurut Ateng
1 Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987),h. 9
2 Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 9-10.3 H.A.R. Tilar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 76-77.
6
Syafrudin mengatakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan
kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan4.
Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20
tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara, orang tua,
masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat
pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal
9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat hak dan
kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya
pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi
pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosifi, tujuan, format
dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan itu sendiri. Impikasi dari semua
itu adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidkan yang
jelas dan jauh kedepan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan
meluas tentang tren perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh
masyarakat yang lebih baik kedepannya serta merancang sistem pendidikan yang
sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia yang bineka tunggal ika.
Untuk itu kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri,
melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu
gambaran nyata tetang kondisi daerah, sehingga dapat disusun suatu strategi
yang matang dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah
yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang
bermutu dan produktif.
2. Otonomi Pendidikan sebagai Optimalisasi Potensi Daerah
UUD tahun 45 menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah
4 Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 7
7
menyusun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh
negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20%
dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelanggaraan pendidikan
nasional. Dengan adanya UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan
sistem pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap
daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sistem
pemerintahannya sendiri guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya
Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap
pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam
pasal 12 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 bahwa urusan pemerintahan yang
diserahkan daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan.
Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang
ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemeritah daerah akan meningkat
dan semakin luas, termasuk dalam menejemen pendidikan. Pemerintah daerah di
harapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap
pembangunan pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan daerah,
perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan monitoring di daerah
masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan
pemerintah5.
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai
strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan
memajukan daerah-daerah diseluruh Indonesia, terutama yang berkaitan
langsung dengan SDM dan SDA masing-masing daerah dalam upaya menggali
dan mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat yang selama ini masih
terpendam. Begitu juga adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah
baik tingkat I maupun tingkat II dapat memulai peranannya sebagai basis
pengelolaannya sebagai pendidikan dasar. Untuk itu perlu adanya lembag non
5 Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h.18
8
struktural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan
pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan
daerah tersebut.
Di era otonomi ini, sudah saatnya kita berpikir kritis untuk membangun
sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban.
Agar masyarakat selama ini dimarjinalkan dalam lubang berpikir
yang ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat dinamis
dan progesif. Maka bila hal ini bisa terwujud, masyarakat juga akan merasa
bangga dengan dirinya sendiri dan pada nantinya akan respek terhadap kemajuan
dan pekembangan yang terjadi dalam lingkungan sosial maupun pendidikan.
Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tinggi sebagai mahluk
sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang
mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu dapat berjalan dengan
sinergis, beriringan dan selaras sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Selain itu juga di era otonomi ini, masyarakat perlu diberikan
kepercayaan untuk ikut serta dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan,
tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau penambah dana bagi sekolah
yang terlambangkan dalam BP3. Dengan kata lain ketidak seimbangan dan
ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 yang terdiri dari
masyarakat atau orang tua peserta didik harus tiadakan. Karena hal itu telah
menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat tidak
ada fungsinya lagi (disfuction), untuk itu ketika otonomisasi telah digalakkan
maka sudah saatnya masyarakat diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di
sekolah dalam berbagai hal. Tetapi tidak hanya sekedar sebagai formalitas saja
dalam arti masyarakat dalam musyawarah nantinya sekedar menjadi objek saja
atau sebagai pendengar, tetapi harus benar-benar dilibatkan secara langsung,
namun peran serta masyarakat juga terbatas pada lingkup tartentu dengan
diikutsertakan masyarakat dalam pendidikan akan lebih efektif kerena secara
langsung dapat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan implementasinya otonomi pendidikan, maka sudah
tentunya peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan, IPTEK ,dan
9
budaya menjadi lebih penting serta stategis. Hal itu dilakukan dalam rangka
pemberdayaan daerah, untuk mempertegas otonomi yang sedang berjalan.
3. Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan
Pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, memberikan fokus bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah
didaerah kabupaten dan daerah kota. Dalam situasi yang demikian ini, baik dari
segi kewenangan maupun sumber pembiayaan dibidang pendidikan, daerah
kabupaten atau kota akan memegang peranan penting terutama dalam
pelaksanaannya. Sementara itu koordinasi dan singkronisai program pendidikan
perlu di tingkatkan agar mampu menghindari ego kewilayahan. Untuk itu
pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menjadi penting kiranya kita
mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi dalam
pelaksanaannya6, dan diantara masalah itu adalah:
a. Kepentingan Nasional
Salah satu tujuan nasional yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 45,
yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” . Untuk mencapai hal tersebut
pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan segala amandemennya menegaskan
demokratisasi dan pemenuhan hak-hak dasar bagi semua warga negara
untuk memperoleh pendidikan. Kemungkinan yang terjadi adalah
bagaimana dengan masing-masing daerah kabupaten atau kota, yang potensi
sumber pembiyayaannya berbeda, dapatkah menjamin agar tiap warga
negara memperoleh hak pendidikan tersebut. Hal lain yang berkaitan dengan
kepentingan nasional adalah bagaimana melalui pendidikan dapat tetap
dikembangkan dalam satu kesatuan arah dan tujuan7.
b. Peningkatan mutu
Salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya UU No 22 tahun 1999
yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan baik
eksternal maupun internal khususnya menghadapi tantangan persaingan
6 M. Nurdin Matry, Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, (Makasar: Aksara Madani, 2008) h. 7
7 Ibid, h. 8
10
global dan persaingan pasar bebas. Ada tiga kemampuan dasar yang
diperlukan agar masyarakat indonesia dapat ikut dalam persaingan global,
yaitu kemampuan menejemen, teknologi dan kualitas SDM yang semua itu
dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Mutu yang dimaksud disini
bukan hanya yang memenuhi Standar Nasional tetapi juga internasional.
Persoalannya adalah dengan adanya otonomi pelaksanaan pendidikan
sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota yang kualitas
sumberdaya,prasarana dan kemampuan pembiayaannya bagi masyarakat
akankah dapat menghasilkan mutu yang dibawah atau diatas standar?
c. Efisiensi pengelolaan
Guna memacu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dalam kondisi
keterbatasan sumber dana yang kemudian dibagi-bagi pada daerah otonomi,
pelaksanakanotonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan efesiensi
pengelolaan (technical efficiency) maupun efisiensi dalam mengelolakan
anggaran (economic efficiency). Sistem pengelolahan yang sangat
sentralistik selama ini akan mempunyai potensi problem efisiensi
pengelolaan didaerah, apalagi diseolah,jika tidak dilakukan secara
profesional dan proporsional.
d. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan
implementasi otonomi pendidikan. SDM selama ini belum memadai,
maksudnya yaitu berhubungan dengan kuantitas dan kualitas SDM tersbut.
Masih ada daerah yang belum dapat memahami, menganalisis, serta
mengaplikasikan konsep otonomi pendidikan. Demikian halnya yang
berkaian dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada8.
e. Pemerataan
Pelaksanaan otonomi pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat
akan pendidikan yang diperkirakan akan juga meningkatkannya pemerataan
8 Sam M Chan dan Tuti T Sam, Analisis Swot: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4
11
memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi yang jadi permasalahan adalah
semakin tingginya jarak antara daerah dalam pemerataan akan fasilitas
pendidikan yang akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan
dalam mutu hasil pendidikan.
f. Peranserta Masyarakat
Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peranserta
masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dan dalam
menyelanggarakan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan
dapat berupa perorangan,kelompok ataupun lembaga seperti dunia usaha
dan industri.
g. Pengawasan Pendidikan
Sistem pendidikan nasional termasuk aspek kepengawasannya diharapkan
memiliki kemampuan untuk merespon berbagai tuntutan daerah, terus
bersaing secara global. Sistem pengawasan hendaknya menitik beratkan
kepada pengembangan mutu, mewujudkan efisiensi dan efektivitas layanan
manejemen. Pengawasan pendidikan hendaknya juga juga tidak hanya
sekedar diposisikan sebagai perilaku birokratis dan perundang-undangan
saja. Lebih dari itu hendaknya diperlakukan sebagai bagian dari budaya
profesional dalam organisasi pendidikan. Sekalipun pengawasan itu
merupakan rangkaian atau siklus dari proses menejemen, akan tetapi makna
pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat harus selalu bersinergi
dengan pengawasan fungsional9.
h. Masalah Kurikulum
ebagaimana telah kita ketahui bahwa kondisi masyarakat indonesia sangat
heterogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti budaya, adat,
suku, SDA dan bahkan SDM-nya. Masing-masing daerah mempunyai
esiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan otonomi
penidikan. Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga
9 M. Nurdin Matry, Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, h. 9-11
12
pendidkan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut dalam suatu
jenis jenjang pendidikan, dalam pengertian yang luas kurikulum berisi
kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran
tertentu.
Sedangkan menurut Hasbullah, kurikulum adalah keseluruhan program,
fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk
mewujudkan visi dan misi lembaganya10.
B. Anggaran Berbasis Kinerja
Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran negara telah mengalami
banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran negara berkembang dan
berubah sesuai dengan dinamika perkembangan menejemen sektor publik dan
perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat.
ABK merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk
mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan
manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan
dan sasaran yang dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. ABK
yang efektif akan mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil,
serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi yang
merupakan kunci pengelolaan program secara efektif. Jika terjadi perbedaan
antara rencana dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input
dan bagaimana keterkaitannya dengan output/outcome untuk menentukan
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program. Adapun tujuan dialkukannya
anggaran berbasis kinerja diharapakan.Dengan penyusunan anggaran berbasis
kinerja diharapkan rencana dan program-program pembangunan yang disusun
dapat mengarah kepada :
a. terwujudnya sasaran yang telah ditetapkan,
10 Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h 20-22
13
b. dicapainya hasil yang optimal dari setiap investasi yang dilakukan guna
meningkatkan kualitas pelayanan publik,
c. tercapainya efisiensi serta peningkatan produktifitas di dalam pengelolaan
sumberdaya dan peningkatan kualitas produk serta jasa untuk mewujudkan
kesinambungan pembangunan dan kemandirian nasional.
d. mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan yang
akan dilaksanakan
Suatu konsep anggaran berbasis kinerja, diketahui pula apa yang
dimaksud dengan anggaran kinerja dimana dalam artinya Identifikasi output dan
outcome yang akan dihasilkan oleh suatu program dan pelayanan yang
Menghubungkan pengeluaran dengan hasil yang akan dicapai berupa Nilai
efektivitas, efisiensi dan ekonomis ( Value for money ). Sesuai dengan
pengertaian anggaran berbasis kinerja bahwa inerja merupakan keluaran/hasil dari
kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan
anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Dalam anggaran berbais
kinerja inidiketahui ada beberapa elemen-elemen yang mampu menjelaskan hal
yang bebrbau dengan anggaran berbasis kineraja ini. Ada pun elemen-elemen
yang ada diantaranya yaitu. Visi Misi Tujuan Sasaran Program dan Kegiatan.
Ada beberapa Visi dalam anggaran kinerja yakni.
a. Mencerminkan apa yang akan dicapai organisasi dalam jangka panjang
b. Memberi arah dan fokus yang jelas agar organisasi dapat eksis, antisipatif
dan inovatif
c. Mudah diingat, ringkas dan sederhana
d. Sebaiknya hanya di tingkat Kabupaten/Kota
Misi dalam anggaran kinerja merupakan sedikit turunan dalam visi
anggaran kinerja.dimana dalam hal ini lebih menfokuskan apa yang akan
dilakukan.Menetapkan kerangka tujuan dan sasaran yang akan dicapai Visi akan
dicapai melalui beberapa misi ,Mendukung pernyataan visi Menjelaskan tujuan
organisasi idealnya tidak lebih dari 3 pernyataan
14
Penganggaran berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk
digunakan sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah.
Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen
untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan
dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisisiensi dalam pencapaian
hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target
kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai,
dituangkan dalam program diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat
pencapaian tujuan.
Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrument
kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh
instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta
memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan
oleh instansi pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai
kinerja tahunan.Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan (Renja
SKPD ) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan
merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja. Elemen-elemen yang
penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja adalah :
1. Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya.
2. Pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja
dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara
biaya dengan prestasinya.
Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat
digunakandalam manajemen perencanaan, pemrograman, penganggaran dan
evaluasi. Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan
implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu :
a. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
b. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
c. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang,
waktu dan orang).
15
d. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
e. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
C. kebijakan Publik Tentang Ujian Nasional
1. Analisa Kebijakan UAN
Dalam pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang
bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan.
Pertama, ada anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif
yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah
satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran
2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian
hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan
tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan
gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan
informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu
memberikan tiga informasi penting seperti yang dipaparkan oleh McNeil.
Selain itupula dalam evaluasi pendidikan diharapkan dapat memberikan
informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap
demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan
dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun
ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku
siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu
16
pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi
pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab
pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau
meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal
UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya
hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara
tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur
dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja,
apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait
dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan
di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat
menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal
seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu
pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan
pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu
menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan
yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan
penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada
beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh
tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti
pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran tidak
dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik,
tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar dalam
keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan
motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat
menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak
dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti
pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai
17
dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak
bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran
2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN dipakai
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena
pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan
psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia
yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang
semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan
kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak
sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum
yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah
di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-
sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang
jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di
lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap.
Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba
terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak
kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang
sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan
mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan
jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
18
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang
terjadi orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa
Inggris dan IPA yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada
diantara kita anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga,
mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting
bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena yang
ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut.
Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan
mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut,
karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat
terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada
mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan
terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan
terkekang karena dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula
metode pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan
dikembangkan sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan peserta didik hanya
“dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat mata
pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan
kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN
dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah.
Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah
melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak
dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah
membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap
mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi
19
untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu
bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang
diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya
kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah
melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk
“menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan
memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah
itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang
ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian.
Nilai 4 dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai,
padahal secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima
untuk dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN
selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah
“menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi,
sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa
di daerah pedesaan.
2. Evaluasi Pendidikan Seharusnya dan Meluruskan Kebijakan
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak
bertentangan dengan evaluasi pendidikan bahkan dengan tujuannya sendiri,
sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk
mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan dan ketidakadilan akan
terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua
anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu
prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu
mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak
dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi
sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya
berbeda.
20
Sebaiknya, evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem
penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes
masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah
akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang
berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang
bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan
lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan
masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam
menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah
berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada
manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada
umumnya sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan
cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk
pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam
cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya
disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi
yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk
teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan
petunjuk bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada
kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum.
Apabila UAN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya
harus dimodifikasi dimana UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan
siswa tetapi dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak
perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan
pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah
minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas
sekolah. Bila suatu evaluasi mengacu pada hal tersebut di atas maka UAN
bukanlah suatu kebijakan yang patut dipertentangkan lagi.
Oleh karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang
sistem penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah
21
perumusan ulang kebijakan UAN dan sistem penilaian tersebut secara
komprehensif dengan melakukan pelurusan kebijakan-kebijakan tersebut.
Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain pembentukan Tim
Perumusan Kebijakan Nasional tentang Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa
dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi leading sectornya dan anggotanya
bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat pendidikan, termasuk juga DPR
Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan, organisasi profesi independen seperti
PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya. Kemudian tim tersebut dapat
melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua kebijakan yang terkait dengan
penilaian pendidikan di negeri ini misalnya dengan melakukan studi banding ke
negara lain untuk mencari model yang sesuai dengan Indonesia dan kemudian
merumuskannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
serta melaporkan hasil kerjanya kepada Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian
tersebut akan menghasilkan butir-butir rekomendasi yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah dalam bidang penilaian pendidikan. Adapun kajian-kajian yang
dilakukan tersebut dapat berupa substansi seperti :
1. Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir
serta berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan
tinggi
2. Pengembangan model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat
sampai dengan kemungkinan menggunakan ujian akhir online (online
assessment) perlu diantisipasi dalam era teknologi informasi.
3. Bentuk-bentuk laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat, sistem
pemberian skor atau nilai.
4. Apakah diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah ditetapkan
dalam PP tentang Standar Nasional Pendidikan?
5. Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang
akan menjadi pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP).
22
Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan
Menteri tentang sistem penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian
dilaksanakan dimana PP ini secara komprehensif akan mengatur tentang hal-hal
sampai yang terkecil. Setelah PP dapat diterbitkan maka kebijakan itu harus
dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
pemerintah harus banyak mengkaji tentang pendidikan agar dapat
melakukan kegiatannya secara optimal. Dengan cara demikian maka perumusan
kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat
dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di
masa mendatang
B. Saran
Makalah ini masih banyak kekurangan, maka diharapakan kritik beserta
saran yang membangun dalam makalah ini, sehingga makalah selanjutnya ada
perubahan yang lebih baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987)
H.A.R. Tilar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 9-10.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007)
M. Nurdin Matry, Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era
Otonomi Daerah, (Makasar: Aksara Madani, 2008) h. 7
Sam M Chan dan Tuti T Sam, Analisis Swot: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4
25