teknologi inderajakes

8
Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 1 dari 10 TEKNOLOGI INDERAJAKES DALAM BIDANG SANITASI DAN KESEHATAN LINGKUNGAN *) Oleh : Sugeng Abdullah **) Pendahuluan. Inderajakes merupakan akronim dari penginderaan jauh untuk kesehatan. Istilah inderajakes ini oleh sebagian orang yang bekerja di bidang kesehatan masih jarang dikenal bahkan terkesan asing. Inderajakes merupakan sebagian kecil dari bentuk aplikasi teknologi inderaja (penginderaan jauh). Menyadari bahwa teknologi inderajakes masih jarang dikenal, maka sejak akhir tahun 90an kosa kata inderajakes ini mulai diperkenalkan sebagai istilah yang "resmi" dipakai secara nasional. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sejak tahun 1997 telah terbentuk suatu kelompok kerja yang terutama melibatkan Fakultas Kedokteran, Geografi, dan Kedokteran Hewan, dengan nama Penginderaan Jauh untuk Kesehatan (Inderajakes). Kelompok kerja ini telah melaksanakan simposium, proyek penelitian, bahkan pembimbingan skripsi, tesis, dan disertasi doktor bersama-sama. Danoedoro (2005) dalam sebuah publikasi internet secara panjang lebar mengemukakan bahwa beberapa pakar kesehatan lingkungan, misalnya Hollander dan Staatsen (2003) dari Pusat Riset Kesehatan Lingkungan Negeri Belanda, mengelompokkan faktor-faktor penentu kesehatan masyarakat ke dalam empat hal: gaya hidup, lingkungan fisik, lingkungan sosial, serta atribut individual endogen, baik yang bersifat genetik maupun yang diperoleh selama hidup. Dalam perspektif keruangan, pakar-pakar inderaja seperti Lambin (2002), Albert, Gesler dan Levergoods (2000), serta Gatrell (2001) memandang lingkungan fisik dan sosial sebagai faktor kunci dalam memahami pola spasial penyakit dan penularannya. Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang menjadi inang alami (natural host) kuman. Penelitian di Jerman yang sedang akan diterbitkan oleh jurnal Preventive Veterinary Medicine (Hansen dkk, 2003) menunjukkan bahwa pertambahan jumlah semacam rubah di habitat yang dilindungi juga membawa implikasi pada bertambahnya risiko penularan penyakit cacing pita Echinococcus multilocularis ke manusia melalui kotoran rubah, karena rubah tadi adalah inang alaminya. *) Makalah ini dibuat dan disajikan secara khusus untuk studium general bagi mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto Poltekkes Semarang pada tanggal 13 Maret 2006. **) Staf Pengajar pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto Poltekkes Semarang. Ketua Yayasan Sanitarian Banyumas.

Upload: sugeng-abdullah

Post on 10-Jun-2015

1.005 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

seperti baca koran, pagi dibaca siang diceritakan : ini tentang penginderaan jauh di bidang kesehatan linfkungan / sanitasi

TRANSCRIPT

Page 1: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 1 dari 10

TEKNOLOGI INDERAJAKES DALAM BIDANG SANITASI DAN KESEHATAN LINGKUNGAN *)

Oleh : Sugeng Abdullah **)

Pendahuluan.

Inderajakes merupakan akronim dari penginderaan jauh untuk kesehatan. Istilah inderajakes ini oleh sebagian orang yang bekerja di bidang kesehatan masih jarang dikenal bahkan terkesan asing. Inderajakes merupakan sebagian kecil dari bentuk aplikasi teknologi inderaja (penginderaan jauh). Menyadari bahwa teknologi inderajakes masih jarang dikenal, maka sejak akhir tahun 90an kosa kata inderajakes ini mulai diperkenalkan sebagai istilah yang "resmi" dipakai secara nasional.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sejak tahun 1997 telah terbentuk suatu kelompok kerja yang terutama melibatkan Fakultas Kedokteran, Geografi, dan Kedokteran Hewan, dengan nama Penginderaan Jauh untuk Kesehatan (Inderajakes). Kelompok kerja ini telah melaksanakan simposium, proyek penelitian, bahkan pembimbingan skripsi, tesis, dan disertasi doktor bersama-sama.

Danoedoro (2005) dalam sebuah publikasi internet secara panjang lebar mengemukakan bahwa beberapa pakar kesehatan lingkungan, misalnya Hollander dan Staatsen (2003) dari Pusat Riset Kesehatan Lingkungan Negeri Belanda, mengelompokkan faktor-faktor penentu kesehatan masyarakat ke dalam empat hal: gaya hidup, lingkungan fisik, lingkungan sosial, serta atribut individual endogen, baik yang bersifat genetik maupun yang diperoleh selama hidup. Dalam perspektif keruangan, pakar-pakar inderaja seperti Lambin (2002), Albert, Gesler dan Levergoods (2000), serta Gatrell (2001) memandang lingkungan fisik dan sosial sebagai faktor kunci dalam memahami pola spasial penyakit dan penularannya.

Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang menjadi inang alami (natural host) kuman. Penelitian di Jerman yang sedang akan diterbitkan oleh jurnal Preventive Veterinary Medicine (Hansen dkk, 2003) menunjukkan bahwa pertambahan jumlah semacam rubah di habitat yang dilindungi juga membawa implikasi pada bertambahnya risiko penularan penyakit cacing pita Echinococcus multilocularis ke manusia melalui kotoran rubah, karena rubah tadi adalah inang alaminya.

*) Makalah ini dibuat dan disajikan secara khusus untuk studium general bagi mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto Poltekkes Semarang pada tanggal 13 Maret 2006.

**) Staf Pengajar pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto Poltekkes Semarang. Ketua Yayasan Sanitarian Banyumas.

Page 2: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 2 dari 10

Faktor ekologis juga ditemukan oleh peneliti di India (Srivastava dkk, 2003: jurnal Health and Place) yang mengkaji hubungan kualitas permukiman urban dan peri-urban dengan insidensi malaria. Di Afrika Selatan juga ditemukan banyak kasus malaria di wilayah-wilayah yang kurang berkembang sektor pertanian, wisata, dan industrinya (Martin dkk, 2002; jurnal Computer Methods and Programs in Biomedicine). Di kedua negara itu, pengendalian malaria dilaksanakan secara terpadu dalam kerangka nasional sistem informasi malaria berbasis GIS.

GIS (Geographic Information System = Sistem Informasi Geografik (SIG)) merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka pemanfaatan teknologi inderajakes. Hampir dapat dinyatakan bahwa tanpa GIS, inderajakes tidak akan banyak memberikan manfaat. Pemanfaatan GIS dalam bidang kesehatan (misalnya epidemiologi) sangat lekat dengan kegiatan pemantauan wilayah setempat. GIS merupakan alat bantu analisis yang dapat dipadankan kegunaannya dengan statititik. GIS menekankan pada aspek keruangan, sedangkan statistik lebih menekankan pada angka-angka. Keduanya sangat diperlukan dalam menunjang pemanfaatan inderajakes.

Ketika telah memutuskan akan memanfaatkan teknologi inderajakes untuk kajian atau program sanitasi dan kesehatan lingkungan, maka terlebih dahulu harus mengenal teknologi inderaja. Aplikasi teknologi inderaja memerlukan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang GIS, Kartografi, GPS, Komputer dan ilmu sanitasi / kesehatan lingkungan itu sendiri. Penguasaan bidang ilmu sanitasi dan kesehatan lingkungan secara mendalam akan sangat membantu dalam memberikan tafsir terhadap citra satelit. Citra satelit, foto udara dan sejenisnya merupakan objek penting dalam inderajakes.

Teknologi inderaja

Manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuai yang ada di lingkungannya melalui alat indera. Alat indera yang dimiliki manusia yang lebih dikenal dengan sebutan panca indera ini meliputi mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Berdasarkan "ciri-ciri" yang telah dipelajarinya, manusia mampu mengenal panas, dingin, tumpul, halus, cerah dan lainnya menggunakan indera yang dimiliki.

Indera yang dimiliki manusia mampu mendeteksi kondisi lingkungan secara relatif dan subyektif. Misalnya seseorang menyatakan bahwa ruangannya panas, tetapi yang lain menyatakan biasa saja. Agar tidak terjadi perbedaan tafsir terhadap kondisi ruangan / lingkungan, maka diciptakan alat bantu penginderaan. Alat bantu penginderaan ini dapat berupa termometer, anemometer, luxmeter, kamera, sensor-sensor optik dan lainnya. Alat bantu penginderaan ini dapat dipasang pada balon, pesawat udara atau satelit. Hasil penginderaannya kemudian dapat dikirim melalui gelombang radio dan diterima di stasiun penerima. Karena penginderaannya dari jarak jauh maka disebut sebagai penginderaan jauh.

Penginderaan jauh biasa dikenal dengan sebutan PJ atau Inderaja. Dalam instilah yang lebih baku secara internasional dikenal sebagai remote sensing. Soetanto (1995) mengemukakan bahwa dalam inderaja, kegiatan pengkajian atas

Page 3: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 3 dari 10

benda / objek atau fenomena, dilakukan pada hasil rekamannya dan bukan pada benda aslinya. Menurut Lilesand dan Keifer (Suharyadi, 2004) inderaja didefinisikan sebagai ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui anlisis citra yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.

Dalam inderaja terdapat dua sub sistem utama yaitu (1) subsistem perolehan data dan (2) subsistem analisis dan sintesis. Dalam hal perolehan data, perlu diperhatikan tentang tenaga/energi, objek/benda, proses dan output yang dikehendaki. Energi yang banyak digunakan dalam inderaja adalah energi elektromagnetik dengan pola gelombang sinusoidal yang harmonis. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang teori dan sifat-sifat dari berbagai macam gelombang. Energi pada tiap gelombang berbeda-beda, sehingga secara praktis untuk keperluan ini lazim digunakan unit ukuran panjang gelombang (λ) dan frekwensi (f).

Objek / benda dalam inderaja dapat berupa benda atau fenomena. Benda bisa berupa bangunan, tanah, air, udara, tumbuhan, dll. Fenomena bisa dalam bentuk suhu udara, aliran air, kecepatan angin, distribusi permukinan, distribusi vektor penyakit, dll. Benda dapat langsung dikenali melalui hasil rekaman inderaja, tetapi untuk fenomena dapat dikenali melalui benda lain yang ada disekitarnya. Contohnya foto udara yang menunjukan rumah penduduk yang berhimpitan dapat ditafsirkan : terdapat banyak orang, resting places nyamuk Aedes sp.

Di dalam Proses perolehan data, hal penting yang harus diketahui adalah bagaimana interakasi antara energi yang digunakan dalam inderaja dengan atmosfer. Juga interaksi antara energi inderaja dengan objek/benda yang direkam. Apakah terjadi penyerapan energi atau terjadi pantulan energi atau keduanya. Juga penting diperhatikan adalah tentang perekaman. Perekaman suatu benda atau fenomena untuk inderaja saat ini banyak digunakan cakram magnetik, atau cakram fotonik. Perekaman harus memperhatikan ciri spektral (rona-kecerahan), ciri spasial (bentuk, pola, ukuran, tekstur, situs dan asosiasi), ciri temporal (waktu, periode). Ketiga ciri ini merupakan kunci dalam inderaja.

Output inderaja berupa hasil perekaman yang merupakan data penginderaan jauh. Sesuai dengan cara perekammanya maka data inderaja dapat berupa data digital atau data analog. Data digital direkam dalam informasi tingkat kecerahan yang ditunjukkan dalam angka nilai pixel (picture elemen). Nilai pixel dapat dibuat berkisar 0 – 255. Data analog adalah hasil perekaman dalam bentuk gambar / visual. Data visual ini bisa digunakan satu dimensi berupa grafik atau garis, bisa juga digunakan dua dimensi berupa image / citra.

Lebih lanjut citra dapat dibedakan menjadi citra foto dan citra non foto. Citra foto dapat dirinci sebagai berikut : (a) berdasarkan wahana (platform) yaitu foto udara dan foto satelit, (b) berdasarkan sumbu kamera yaitu foto tegak, agak condong dan sangat condong, (c) berdasarkan gelombang yang digunakan yaitu foto ultraviolet, pankromatik, inframerah dan multispektral, (d) berdasarkan ukuran yaitu foto format standar dan format kecil. Citra non foto berdasarkan gelombang yang digunakan yaitu citra spektrum tampak, citra inframerah termal, citra gelombang mikro/radar. Panjang gelombang yang digunakan pada berbagai satelit yang

Page 4: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 4 dari 10

beroperasi, disajikan pada tabel data satelit di lampiran. Berdasarkan tujuannya yaitu citra satelit cuaca, citra satelit sumberdaya alam, citra satelit kelautan.

Interpretasi citra satelit

Kemampuan untuk menafsirkan atau interpretasi citra sangat ditentukan oleh pengalaman dan latar belakang profesi / keilmuan yang bersangkutan. Akurasi dari hasil interpretasi juga ditentukan oleh kualitas atau tingkat resolusi dari citra dimaksud. Informasi tentang resolusi citra juga berguna untuk keperluan pemesanan kepada vendor dan tujuan dari penggunaan citra tersebut.

Ada empat pengertian tentang resolusi, yakni (1) resolusi spasial, (2) resolusi spektral, (3) resolusi temporal dan (4) resolusi radiometrik. Resolusi spasial dinyatakan dalam bentuk resolusi citra yang menyatakan banyaknya garis tiap milimeter dan resolusi medan yang menyatakan ukuran oyek terkecil yang dapat direkam. Resolusi spektral menunjukan banyaknya gelombang yang digunakan. Semakin banyka gelombang yang digunakan informasi yang dapat direkam juga semakin rinci. Resolusi temporal adalah frekwensi pengulangan pemotretan yang bisa dilakukan. Resolusi radiometrik adalah kepekaan sensor terhadap perubahan temperatur obyek.

Dari pengertian resolusi seperti diatas, yang paling lazim diucapkan adalah resolusi citra dalam pengertian resolusi spasial. Jadi kalau ada orang menyebut resolusi tanpa diikuti keterangan apapun, hal tersebut berarti resolusi spasial. Beberapa data tentang resolusi dari satelit yang kini beroperasi adalah sebagai berikut :

data pada tabel diatas adalah untuk kondisi tahun 90an, sekarang tentu sudah lebih maju lagi. Contoh paling anyar adalah satelit Quick Bird yang memiliki resolusi 0,4 m. Ini artinya bahwa benda di permukaan bumi dengan luasan 0,4m2 mampu dibaca / dikenali dengan kamera satelit Quick Bird. Bayangkan !, Quick Bird adalah satelit untuk keperluan sipil, maka satelit untuk keperluan militer pasti jauh lebih sensitif dengan resolusinya jauh lebih tinggi.

Dalam upaya interpretasi citra bisa dilakukan secara digital atau manual. Interpretasi scera digital pada dasarnya adalah pengenalan pola spektral. Sedangkan

Page 5: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 5 dari 10

interpretasi secara manual dapat dilakukan dengan pengenalan ciri-ciri obyek yang terekam pada citra berdasarkan kunci-kunci. Ciri-ciri dimaksud adalah seperti pada perekaman yakni ciri spektral, ciri spasial dan ciri temporal. Di dalam pelaksanaannya, pengenalan obyek pada citra dilakukan melalui 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi dan recognisi.

Deteksi merupakan kegiatan melihat secara menyeluruh terhadap citra, kemudian mendeliniasi atau membuat batas pada kenampakan yang relatif sama. Identifikasi adalah kegiatan mencocokkan "ciri-ciri" yang telah diketahui dengan ciri-ciri yang tampak pada citra. Sebagai analogi, seorang sanitarian melakukan identifikasi nyamuk, maka yang bersangkutan sudah mempelajari ciri-ciri nyamuk spesies tertentu. Selanjutnya mencocokkan dengan ciri-ciri yang ada pada nyamuk tersebut. Rekognisi merupakan tahap pengenalan akhir, mengambil kesimpulan atau "menebak" obyek sesungguhnya. Dalam rekognisi ini dikenal azas konvergensi bukti (converging evidence).

Agar dapat "menebak" dengan tepat, maka dalam kegiatan identifikasi perlu memperhatikan ciri-ciri atau kunci-kunci yang meliputi (1) Rona/Warna, (2) Bentuk, (3) Ukuran, (4) Bayangan, (5) Tekstur, (6) Pola, (7) Tinggi, (8) Situs, (9) Asosiasi. Untuk keperluan ini dapat dicontohkan, misalnya akan "menebak" obyek berupa Jalan. Ciri-ciri jalan adalah Rona : lebih cerah, berbeda dengan sekitarnya, Bentuk : memanjang, Ukuran : lebar sama, Bayangan : jalan layang ada bayangannya, Tekstur : halus dan seragam, Pola : Teratur, Tinggi : bervariasi, Situs : berada di daratan, Asosiasi : ada jembatan di persilangan lembah, ada obyek/rumah di kanan-kiri.

Seperti dikemukakan dimuka bahwa kemampuan interpretasi (menebak) citra satelit dengan tepat sangat bergantung pada pengalaman dan latar belakang ilmu yang dikuasai. Kualitas citra dan sifat obyek yang diamati juga akan menetukan keberhasilan dalam ketepatan interpretasi citra. Hal penting yang harus diakui bahwa pengetahuan lokal (local knowledge) juga sangat berguna untuk kepentingan interpretasi. Misalnya, untuk warna dan bentuk tertentu yang sama di suatu daerah (situs) yang terekam dalam citra, dalam kenyataannya adalah obyek "x" atau obyek "y".

Penggunaan citra inderaja memiliki beberapa keunggulan dan keterbatasan. Suharyadi (2004) mengemukakan bahwa diantara keunggulan citra inderaja adalah (1) rekaman muka bumi yang permanen, serentak dan sesuai dengan kenampakan di permukaan bumi saat diadakan perekaman, (2) dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang aplikasi, (3) Cakupan citra cukup luas (Resolusi spasial, resolusi medan), (4) Sesuai untuk daerah yang sulit dijangkau dan luas, (5) kepekaan spektral lebih luas daripada mata manusia, (6) Memungkinkan perekaman berulang dalam periode pendek (resolusi temporal), (7) memungkinkan diperoleh kenampakan tiga dimensi.

Beberapa keterbatasan penggunaan citra inderaja antara lain (1) Hambatan atmosfer berupa awan atau hujan, (2) Resolusi spasial terbatas, tergantung satelit yang digunakan, (3) Obyek yang tertutup bayangan, (4) Kesalahan geometrik, (5) Dapat menimbulkan "penyakit" gaptek, sehingga beranggapan bahwa inderaja adalah sesuatu yang menakutkan, rumit, mahal dan menimbulkan ketergantungan.

Page 6: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 6 dari 10

Pemanfaatan dalam bidang sanitasi

Pemanfaatan inderaja dalam bidang sanitasi secara khusus belum banyak dilakukan. Diperlukan keberanian dan dana untuk memulainya. Beberapa bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan yang dapat memanfaatkan inderaja antara lain dapat disebutkan : penyehatan air dan air limbah, pengendalian vektor penyakit, pengendalian pencemaran lingkungan fisik. Kegiatan monitoring terhadap perubahan breeding places vektor malaria menjadi sangat mudah, cepat dengan cakupan yang luas melalui pemanfaatan inderajakes. Demikian halnya dalam upaya mencari sumber air atau mata air menjadi sangat mudah. Perencanaan program sanitasi untuk kesehatan matra, menjadi lebih cepat dan terarah. Contoh untuk kasus ini adalah penanganan bencana tsunami di Aceh.

Telah disebutkan diatas bahwa inderajakes akan sangat bermanfaat bila ditunjang dengan teknologi GIS dan GPS. Kegiatan survey dan pemetaan atau inventarisasi sumber pencemar, TTU, TP2M dan sejenisnya akan menjadi sangat mudah dan cepat bila digunakan GPS (Global Positioning System). Data dari GPS kemudian di plotkan (overlay) pada citra satelit atau foto udara menggunakan software GIS. Langkah berikutnya dapat dilakukan analisis dan pemodelan. Seorang Sanitarian, kelak akan bisa memprediksi bahkan mengambarkan gerakan pencemar dari sumber pencemar menuju TTU dengan sebuah pemodelan.

Melalui pesawat GPS seorang sanitarian dapat dengan mudah membaca, mengukur, memprediksi kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara, tingkat penyinaran / pencahayaan matahari, ketinggian suatu tempat, jejak perjalanan pencemar, dan sebagainya. Tentu saja kesemuanya itu tergantung fitur yang ada pada GPS. Melalui pesawat GPS bisa dilakukan penginderaan jauh terhadap temperatur di atmosfer dan kecepatan angin. Peran radio sonde atau anemometer barangkali telah dapat dialihkan pada GPS.

Gambaran tentang pemaanfaatan inderaja untuk kesehatan secara komprehensip, Danoedoro (2005) mengemukakan secara rinci dalam uraian berikut. Inderaja dan GIS bekerja pada domain keruangan. Fenomena keruangan terutama terjadi pada lingkungan fisik dan dalam batas tertentu juga lingkungan sosial. Melalui inderaja, wilayah di permukaan Bumi dibuat zonasi berdasarkan keseragaman pola yang tampak melalui citra satelit atau foto udara, dilengkapi dengan data lapangan.

Satuan analisis terkecil ini biasanya diwujudkan dalam bentuk satuan bentanglahan (landscape unit) yang berkorelasi dengan tipe-tipe habitat inang ataupun vektor penyakit (misalnya nyamuk Anopheles untuk malaria). Para ahli kesehatan dan sanitarian biasanya punya data yang cukup lengkap mengenai perilaku virus, bakteri, dan kuman lain dalam hubungannya dengan inang ataupun vektor. Di samping itu, mereka juga tahu persis kondisi lingkungan yang disukai inang dan vektor. Di daerah tropis dan subtropis, faktor iklim lokal juga berperan sangat penting. Ketinggian tempat, drainase permukaan, dan curah hujan perlu diperhatikan.

Sekali zona-zona ini teridentifikasi dan dipetakan, faktor perilaku manusia di wilayah kajian pun dimasukkan sebagai bagian dari analisis keruangan. Perangkat lunak GIS memungkinkan berbagai analisis tersebut dalam pemodelan spasialnya. Di antaranya ialah faktor ketetanggaan (neighborhood), persentuhan (contiguity), serta

Page 7: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 7 dari 10

keterjangkauan (access-ibility) antarunit yang dicurigai sebagai habitat dengan unit-unit aktivitas manusianya. Misalnya keterjangkauan setiap unit permukiman dari habitat vektor (misalnya nyamuk). Atau sebaliknya: keterjangkauan habitat inang atau vektor dari aktivitas manusia, misalnya peladang dan pengumpul kayu di hutan.

Selanjutnya, bentuk campur tangan manusia terhadap lingkungan juga dikaji melalui analisis penggunaan lahannya. Misalnya pola penanaman padi terus-menerus yang menyebabkan selalu tersedianya genangan air sehingga siklus hidup nyamuk tidak pernah terputus. Fungsi pemanfaatan lahan pekarangan yang rapat dengan jenis tanaman tertentu kadang-kadang disukai vektor penyakit tertentu.

Penularan penyakit secara cepat juga sangat dipengaruhi oleh gerakan (migrasi) manusia. GIS terbukti andal dalam analisis jaringan (network analysis) berbasis komputer, termasuk untuk membantu perencanaan transportasi dan jaringan distribusi air minum. Melalui analisis ini, setiap ruas informasi (misalnya jalan) dipetakan dengan atribut lebar, panjang, tingkat kerusakan, arah, kepadatan lalu-lintas, serta pemanfaatan lahan di sekitarnya. Dengan demikian, potensi kemacetan dapat diprediksi seiring dengan perubahan rute atau pemanfaatan lahan.

Konsep jaringan ini dapat diterapkan untuk memahami pola penularan penyakit antarwilayah dan antarnegara meskipun ini tidak mudah. Tentu saja setelah semua faktor penyebab atau pemicu secara medis telah diketahui. Peta perkembangan SARS yang dapat diperoleh melalui situs-situs Internet dewasa ini merupakan langkah awal di mana pola spasial secara regional bahkan global dapat dicoba untuk dipahami dan dikembangkan, dengan memasukkan angka migrasi masuk dan keluar manusia, dilengkapi dengan atribut sosial-ekonomi dan medisnya. Memang, jalan ke pemahaman menyeluruh tentang hal ini masih panjang serta memerlukan kerja sama lintasdisiplin dan lintasnegara.

Kerjasama lintas negara yang sekarang telah terbangun antara lain dalam hal kekarantinaan. Upaya karantina tidak saja terhadap manusia, tetapi juga terhadap hewan, tumbuhan dan bahkan barang yang diduga dapat menumbulkan dan menyebarkan penyakit. Di bawah kontrol WHO, sekarang informasi tentang status kesehatan suatu negara (pelabuhan) diseluruh dunia telah diinformasikan secara berkala bahkan bisa diakses secara daring (on line).

Penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang menular. Kondisi lingkungan yang spesifik dapat memicu angka kejadian penyakit yang tinggi. Secara alami, wilayah gunung api biasanya miskin yodium. Daerah berbatuan kapur juga menyebabkan kandungan air tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi. Di pedalaman Kalimantan Timur, pernah dijumpai air permukaan dengan kandungan logam berat kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak terdapat kegiatan industri di sekitarnya.

Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang perlu dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida yang berlebihan di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan mencemari air tanah dan terbawa sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah hujan, kemiringan lereng, gerakan air tanah, dan konsentrasi polutan industri sangat berpengaruh terhadap kesehatan penduduk di sekitar lokasi industri.

Page 8: Teknologi  Inderajakes

Sugeng Abdullah (2006), "Teknologi Inderajakes Bidang Sanitasi", Hal : 8 dari 10

Inderaja dan GIS dapat membantu mendefinisikan zona-zona dalam bentuk satuan pemetaan, memodelkan pola dan arah gerakan atau aliran pencemar. Dari sana kemudian dapat ditentukan wilayah-wilayah yang berisiko tercemar, dengan memperhatikan pola permukiman, kepadatan penduduk, pola aktivitas, dan pemanfaatan air tanahnya.

Penutup

Uraian diatas belum dapat dikatakan sebagai makalah yang mengupas tentang inderajakes untuk keperluan sanitasi secara rinci, mengingat kelangkaan referensi. Uraian pada tulisan diatas lebih merupakan "provokasi" kepada calon sanitarian untuk ikut serta mempelajari inderajakes. Bagi penulis, pemaparan inderajakes diatas, dapat dianalogikan sebagai "aku baca koran, kemudian aku ceritakan kepadamu". Sangat dangkal dan jauh dari memuaskan.

Adalah merupakan kebanggaan bagi penulis apabila ada pembaca yang berkenan memberikan saran dan koreksi demi membangkitkan semangat menguasai teknologi inderajakes. Saran dan koreksi dapat dikirim melalui e-mail : [email protected]. Sangat disadari bahwa kendatipun tulisan diatas sangat dangkal dan jauh dari memuaskan, penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat.

Bahan bacaan :

Abdullah, S. (2004), Interpretasi Citra Satelit dan Peninjauan Lapangan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana UGM Yogyakarta.

Anonim, (2005), Survey Geomorfologi dan Geologi, Interpretasi Citra Geomorfologis dan Geologis, Out of Print, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta

Danoedoro, Projo (2005), Fenomena Keruangan Penyakit Menular, Suatu Perpektif Geoinformasi, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta

Hartono (2004), Penginderaan Jauh Dasar, S2 Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.

Marfai, MA (2003), GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards in Waterfront City, Case study : Semarang City Central Java, ITC Netherlands.

Purwadi, SH.,(2000), Pengolahan Citra Digital, PT Grasindo Jakarta. Soetanto (1995), Penginderaan Jauh Dasar, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. Suharyadi (2004), Sistem Informasi Geografis, Pengantar, Fakultas Geografi UGM

Yogyakarta