tatalaksana perdarahan uterus disfungsional
DESCRIPTION
DUBTRANSCRIPT
Tatalaksana
Tujuan terapi
o mengontrol perdarahan
o mencegah perdarahan berulang
o mencegah komplikasi
o mengembalikan kekurangan zat besi dalam tubuh
o menjaga kesuburan.
Tatalaksana awal dari perdarahan akut adalah pemulihan kondisi hemodinamik dari ibu.
Pemberian estrogen dosis tinggi adalah tatalaksana yang sering dilakukan. Regimen estrogen
tersebut efektif di dalam menghentikan episode perdarahan. Bagaimanapun juga penyebab
perdarahan harus dicari dan dihentikan. Apabila pasien memiliki kontraindikasi untuk terapi
estrogen, maka penggunaan progesteron dianjurkan.
Untuk perdarahan disfungsional yang berlangsung dalam jangka waktu lama, terapi yang
diberikan tergantung dari status ovulasi pasien, usia, risiko kesehatan, dan pilihan
kontrasepsi. Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan untuk terapinya. Pasien yang
menerima terapi hormonal sebaiknya dievaluasi 3 bulan setelah terapi diberikan, dan
kemudian 6 bulan untuk reevaluasi efek yang terjadi. Terapi operasi dapat disarankan untuk
kasus yang resisten terhadap terapi obat-obatan. Secara singkat langkah-langkah tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perbaikan Keadaan Umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk. Pada perdarahan
uterus disfungsional akut, anemia (Hb <8 g/dL) yang terjadi harus segera diatasi dengan
transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan anemia ringan
seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat
membutuhkan transfusi darah
2. Penghentian Pendarahan
Hormon Steroid Seks
o Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan
karena memiliki berbagai khasiat yaitu healing effect, pembentukan mukopolisakarida
pada dinding pembuluh darah, vasokonstriksi (karena merangsang prostaglandin),
meningkatkan pembentukan thrombin dan fibrin. Dosis pemberian estrogen pada
perdarahan uterus disfungsional adalah 25 mg IV setiap 4-6 jam untuk 24 jam diikuti
dengan oral terapi yaitu 1 tablet perhari selama 5-7 hari (untuk semua produk estrogen
dengan kandungan ≤ 35 mg ethynil estradiol).
o Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan.
Beberapa sedian tersebut antara lain noretisteron, MPA, megestrol asetat,
dihidrogesteron dan linestrenol. Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-
48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20
mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20
mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari.
o Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan
progesteron. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil
testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17-α-etinil-testosteron). Dosis yang
diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka
panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.
Penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi
endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgF2α meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu,
penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk
pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional
anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari
selama 3-5 hari atau ethamsylate 500 mg 4 kali sehari terbukti mampu mengurangi perdarahan.
Antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara lokal pada perdarahan uterus
disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja
enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi
penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila
diaktifkan akan mengeluarkan protease plasmin. Enzim tersebut akan menghambat aktivasi
palsminogen menjadi plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula.
Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4
x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari)
Operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi. Dilatasi
dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus
disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk
diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan
dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan
perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara
tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. Namun demikian tindakan
kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan
hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan
kambuhnya cukup tinggi (30-40%) sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa
ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan
pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan
perdarahan.
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara
vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen, sehingga penderita akan
mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya
kontraindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi,
tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan
usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan terakhir.
Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus dipertimbangkan
bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu histerektomi juga dilakukan
untuk perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium hiperplasia
atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase. Histerektomi
mempunyai tingkat mortalitas 6/ 10.000 operasi. Satu penelitian menemukan bahwa histerektomi
berhubungan dengan tingkat morbiditas dan membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama
dibanding ablasi endometrium. Beberapa studi sebelumnya menemukan bahwa fungsi seksual
meningkat setelah histerektomi dimana terdapat peningkatan aktifitas seksual. Histerektomi
merupakan metode popular untuk mengatasi perdarahan uterus disfungsional, terutama di
negara-negara industri
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus
anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk
pemicuan ovulasi.
o Siklus ovulatorik
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea,
oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau
pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari
atau etinilestradiol 50 mikrogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak
prahaid diobati dengan progesteron (medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis
10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan progesteron dan
estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral,
mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.8
o Siklus anovulatorik
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan
progesteron. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi
dilakukan dengan pemberian progesteron, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-
20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis
10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari
mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika
gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada
penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis
0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.8
Penanganan terapi berdasarkan usia
PUD pada Usia Perimenarche
Pada usia perimenarche (rata-rata 11 tahun ) hingga memasuki usia reproduksi , berlangsung
sampai 3- 5 tahun setelah menarche dan ditandai dengan siklus yang tidak teratur baik lama
maupun jumlah darahnya.
Pada keadaan yang tidak akut dapat diberikan antiprostaglandin, antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), atau asam traneksamat. Pemberian tablet estrogen – progesteron kombinasi,
atau tablet progesterone saja maupun analog GnRH (agonis atau antagonis) hanya bila
tidak ada perbaikan.
Pada keadaan akut, dimana Hb sampai <8 gr%, maka pasien harus :
o Dirawat dan diberikan transfusi darah.
o Untuk mengurangi perdarahan diberikan sediaan :
Estrogen- progesterone kombinasi, misalnya 17β estradiol 2x2 mg, atau
Estrogen equin konjugasi 2x1.25 mg, atau
Estropipete 1x 1,25 mg dikombinasikan dengan noretisteron asetat 2x5 mg ;atau
Medroksiprogesteron asetat (MPA) 2x10 mg, atau juga dapat diberikan
normegestrol asetat 2x5 mg dan cukup diberikan selama 3 hari
Bila perdarahan akut telah berkurang atau selesai , lakukan pengaturan siklus, dengan pemberian
tablet progesterone pada hari 16-25 selama 3 bulan. MPA atau didrogesterone (10mg/ hari)
sedangnkan noretisterone 5mg/ hari.
PUD pada Usia Reproduksi
Pada usia ini dapat terjadi siklus yang berovulasi (65%) dan terdapat siklus yang tidak
berovulasi. Pada keadaan akut penanganan sama seperti PUD pada usia perimenarche .
Pada PUD dengan siklus yang berovulasi umumnya lebih ringan dan jarang hingga akut.
PUD yang terjadi paling sering berupa perdarahan bercak (spotting) pada pertengahan
siklus. Pengobatan dapat diberikan berupa :
o 17-β estradiol 1x2 mg, atau estrogen equin konjugasi 1x1,25 mg, atau
estropipete 1x1,25 mg, dari hari ke 10-15 siklus haid
o Pada perdarahan bercak prahaid dapat diberikan MPA 1x10 mg, atau
didrogesteron 1x10 mg, atau Noretisteron asetat 1x5 mg; atau juga Normegestrol
asetat 1x5 mg yang diberikan mulai hari 16-25 siklus.
o Pada perdarahban bercak pascahaid dapat diberikan 17-β estradiol 1x 2mg, atau
estrogen equin konjugasi 1x 1,25 mg, atau estropipete 1x 1,25 mg yang
diberikan mulai hari 2- 8 siklus haid.
PUD pada usia perimenopause
Perimenopause atau usia antara masa pramenopause dan pascamenopause, yaitu sekitar
menopause (usia 40-50 tahun). PUD ini hampir 95% terjadi siklus yang tidak berovulasi (folikel
persisten). Sehingga setiap perdarahan atau gangguan haid yang terjadi pada usia perimenopause
harus dipikirkan adanaya keganasan pada endometrium.
Pada keadaan tidak akut pasien dipersiapkan untuk dilakukan tindakan D & C (Dilatasi
dan kuretase). Perubahan pada endometrium juga dapat dilihat dengan USG. Bila ditemukan
ketebalan endometrium lebih dari 5 mm berarti telah terjadi hiperplasia endometrium.
Jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menggambarkan suatu hiperplasia kistikm atau
hiperplasia adenomatosa, maka pertama kali dapat dicoba pemberian progesteron seperti MPA
dengan dosis 3x10 mg / hari selama 6 bulan, atau dapat juga diberikan depo
medroksiprogesterone asetat (DPMA)
Bila ketebalan endometrium kurang dari 6 mm dapat langsung diberikan kombinasi estrogen-
progesteron, seperti estrogen equin konyugasi 1x0,3 mg , atau 17-β estradiol 1x2 mg + MPA
1x10 mg yang dibekian secara berkelanjutan selama 6 bulan. Bila tidak ada perbaikan, maka
perlu dilakukan tindakan D&C . dan pengobatan selanjutnya bergantung pada hasil patologi
anatomi yang diperoleh. Namun pasien dengan faktor risiko kanker endometrium seperti
kegemukan, DM, dan hipertensi sebaiknya tetap dilakukak D&C , meskipun ketebalan
endometrium <5 mm.
Berdasarkan banyaknya perdarahan
Jika Perdarahan Uterus Disfungsional telah ditegakkan dan perdarahannya tidak banyak serta
tidak terdapat diskrasia perdarahan, dapat dilakukan observasi tanpa melakukan intervensi
terlebih dahulu.
Apabila pasien mengalami perdarahan sedang , pasien dapat diberikan :
o Kontrasepsi Oral Estrogen dosis tinggi selama 3 minggu atau
o Regimen 3-4 pil kontrasepsi oral dosis rendah per hari selama 1 minggu
kemudian diikuti dengan penurunan ke dosis lazim sampai 3 minggu.
Apabila pasien mengalami perdarahan berat :
o Pasien perlu dirawat di rumah sakit, tirah baring.
o Diberikan suntikan estradiol valerate (10mg) dan hydroxyprogesterone
caproate (500 mg) intramuskular ; atau
o Conjugated estrogens (25 mg) intravena atau intramuskular.
o Berikan preparat besi untuk mencegah anemia
Untuk mencegah kekambuhan perlu diberikan kontrasepsi oral siklik selama 2-3 bulan
atau dapat dilakukan induksi mentruasi setiap 2-3 bulan dengan 10 mg hydroxyprogesterone
acetate oral, 1-2 kali per hari selama 10 hari .
Jika pemberian terapi hormon gagal mengontrol perdarahan uterus, perlu dilakukan
evaluasi dan pemeriksaan biopsi endometrium, histeroskopi, atau dilatasi dan kuretase untuk
diagnosis lebih lanjut dan terapi.