tatalaksana fraktur

3
TATALAKSANA FRAKTUR Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan. Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling (proses swapugar). Cara pertama penanganan adalah proteksi saja tanpa reposisi dan imobilisasi. Pada fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau tidak akan menyebabkan cacat di kemudian hari, cukup dilakukan dengan proteksi saja, misalnya dengan mengenakan mitela atau sling. Contoh kasus yang ditangani dengan cara ini adalah fraktur iga, fraktur klavikula pada anak, dan fraktur vertebra dengan kompresi minimal. Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap diperlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Cara ketiga berupa reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti, seperti patah tulang radius distal. Cara keempat berupa reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, lalu diikuti dengan imobilisasi. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi akan terdislokasi kembali ke dalam gips, biasanya pada

Upload: budiana-bae

Post on 25-Apr-2015

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TATALAKSANA FRAKTUR

TATALAKSANA FRAKTUR

Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula

(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan. Reposisi yang dilakukan

tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan

remodeling (proses swapugar).

Cara pertama penanganan adalah proteksi saja tanpa reposisi dan imobilisasi. Pada

fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau tidak akan menyebabkan cacat di

kemudian hari, cukup dilakukan dengan proteksi saja, misalnya dengan mengenakan mitela atau

sling. Contoh kasus yang ditangani dengan cara ini adalah fraktur iga, fraktur klavikula pada

anak, dan fraktur vertebra dengan kompresi minimal.

Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap diperlukan imobilisasi agar

tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan patah tulang tungkai bawah

tanpa dislokasi yang penting.

Cara ketiga berupa reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti imobilisasi. Ini

dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti, seperti patah tulang radius

distal.

Cara keempat berupa reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu,

misalnya beberapa minggu, lalu diikuti dengan imobilisasi. Hal ini dilakukan pada patah tulang

yang bila direposisi akan terdislokasi kembali ke dalam gips, biasanya pada fraktur yang

dikelilingi oleh otot yang kuat seperti pada patah tulang femur.

Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Fiksasi

fragmen fraktur menggunakan pipa baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin

baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat ini dinamakan

fiksator eksterna.

Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator

tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang kolum femur. Fragmen direposisi secara

non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prostesis pada kolum

femur secara operatif.

Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna. Cara ini

disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (open reduction internal fixation, ORIF).

Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa pelat den sekrup. Keuntungan ORIF adalah

Page 2: TATALAKSANA FRAKTUR

tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu

lagi dipasang gips dan mobilisasi segera dilakukan. Kerugiaanya adalah adanya risiko infeksi

tulang. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang. ORIF biasanya dilakukan pada fraktur

femur, tibia, humerus, antebrakia.

Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan

prostesis, yang dilakukan pada patah tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif

lalu diganti dengan prostesis. Penggunaan prostesis dipilih jika fragmen kolum femur tidak dapat

disambungkan kembali, biasanya pada orang lanjut usia.

Khusus untuk fraktur terbuka, perlu diperhatikan bahaya terjadinya (bakterimia) maupun

infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan (osteomiolitis). Pencegahan infeksi harus dilakukan

sejak awal pasien masuk rumah sakit, yaitu debrideman yang adekuat dan pemberian antibiotik

profilaksis serta imunisasi tetanus. Untuk fraktur terbuka, secara umum lebih baik dilakukan

fiksasi eksterna dibanding fiksasi interna. Penutupan defek akibat kehilangan jaringan lunak

dapat ditunda (delayed primary closure) sampai keadaan luka vital aman dan bebas infeksi. Yang

paling sederhana adalah penjahitan sederhana, menutup dengan graft kulit setelah mengikis

periosteumagar skin graft bisa hidup, hingga menutup luka dengan flap.