tari sebagai studi dan ekspresi budaya

3
Catatan dari Diskusi Tari Kelompok Sepuluh Tari Sebagai Studi dan Ekspresi Budaya Tari menurut Alan P. Merriam (seorang sarjana antropo-logi budaya) merupakan gejala kemasyarakatan; artinya dibu-at oleh manusia untuk manusia yang lain pula. Di sini harus ada suatu pemahaman bahwa tari adalah salah satu perilaku manusia yang ada kaitannya dengan perilaku manusia yang lain. Dalam hal ini bisa didapatkan suatu konteks tari dalam masyarakat, sejauh mana tari berperan-serta merupakan cerminan dari struktur masyarakat pendukungnya. Di masa lalu penelitian tari yang dilakukan oleh orang ta-ri biasanya lebih kepada pendekatan bentuk yang deskripsi geraknya hanya bisa dilakukan kembali oleh kelompok ter-tentu saja. Sehingga keterlibatan ini belum dirasakan man-faatnya di kalangan yang lebih luas. Sebaliknya penelitian dari masyarakat antropologi, aspek bentuk tidak disinggung secara lebih mendalam, sehingga sisi perilaku sebagai gejala fisik tidak terlalu berperan banyak dalam analisis konteksnya. Maka idealnya adalah bila penelitian tari secara antropologis ini dilakukan dalam bobot yang seimbang antara bentuk dengan konteks yang menyelimutinya. Di sini Alan P. Mer-riam menyodorkan klasifikasi penelitiannya menjadi tiga, yaitu: pembahasan tari sebagai gerak tubuh, tari sebagai perilaku serta yang menghubungkan tari dengan bidang studi yang lain. Sedangkan tentang tujuannya bisa berupa pema-haman yang bersifat sinkronis dan mendalam dari segi-segi pekembangan komunikasi, motivasi serta mengapa tari dalam lingkup budaya tertentu mendapatkan bentuk yang tertentu pula. Juga perubahan tari dari masa ke masa di suatu tempat, maupun langkah yang bersifat lintas budaya, misalnya choreometric yaitu suatu metoda yang mencoba mengungkit gerak dalam sajian data-data gerak yang terukur. Penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu itu sendiri maupun dalam upaya pembinaan tari di Indo-nesia dewasa ini. Pada kesempatan diskusi ini dimunculkan berbagai masalah pelestarian. Setelah langkah pelestarian itu lalu apa; apakah materinya masih mungkin disodorkan ma-syarakat luas yang notabene sudah mengalami pergeseran nilai. Lalu bagaimana dengan adanya upaya indonesianisasi tari yang mencakup berbagai gerak tari daerah seperti yang dilakukan oleh Bagong Kussudiardjo. Bagaimana dengan di-namisasi nilai yang terjadi kaitannya dengan konteks keindo-nesiaannya sendiri. Lalu sudahkah kemudian tari muncul sebagai ekspresi budaya. Bagaimana peran dari lembaga pen-didikan tinggi tari dalam masyarakat. Bagaimana dengan upaya rekonstruksi/reproduksi tari produk masa lampau kait-annya dengan aktualisasi nilai-nilainya yang kadang sudah tidak terjembatani lagi dengan masyarakat masa kini. Seba-liknya terungkit pula masalah sisi pengembangan tari tradisi bila dikaitkan dengan tata nilai masyarakat yang terus ber-kembang dengan cepat. Segudang permasalahan di atas memang sangat menan-tang kita untuk dipikrkan bersama, dipecahkan serta diko-munikasikan kepada masyarakat luas, sehingga pemikiran yang kabur tentang tari sekedar sebagai “lenggak-lenggok” di atas panggung yang menghibur bisa berubah dalam sudut pandang yang lebih signifikan. Inilah yang saya rasakan diskusi ini sangat bermanfaat, terutama bila kelompok ini dengan keterampilan tulisnya yang lebih dari orang tari bisa membantu mengangkat apresiasi masyarakat menjadi lebih tinggi lagi.

Upload: purnama-suzanti

Post on 14-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tari

TRANSCRIPT

Page 1: Tari Sebagai Studi Dan Ekspresi Budaya

Catatan dari Diskusi Tari Kelompok Sepuluh Tari Sebagai Studi dan Ekspresi Budaya

Tari menurut Alan P. Merriam (seorang sarjana antropo-logi budaya) merupakan

gejala kemasyarakatan; artinya dibu-at oleh manusia untuk manusia yang lain pula. Di sini harus ada suatu pemahaman bahwa tari adalah salah satu perilaku manusia yang ada kaitannya dengan perilaku manusia yang lain. Dalam hal ini bisa didapatkan suatu konteks tari dalam masyarakat, sejauh mana tari berperan-serta merupakan cerminan dari struktur masyarakat pendukungnya.

Di masa lalu penelitian tari yang dilakukan oleh orang ta-ri biasanya lebih kepada pendekatan bentuk yang deskripsi geraknya hanya bisa dilakukan kembali oleh kelompok ter-tentu saja. Sehingga keterlibatan ini belum dirasakan man-faatnya di kalangan yang lebih luas. Sebaliknya penelitian dari masyarakat antropologi, aspek bentuk tidak disinggung secara lebih mendalam, sehingga sisi perilaku sebagai gejala fisik tidak terlalu berperan banyak dalam analisis konteksnya. Maka idealnya adalah bila penelitian tari secara antropologis ini dilakukan dalam bobot yang seimbang antara bentuk dengan konteks yang menyelimutinya. Di sini Alan P. Mer-riam menyodorkan klasifikasi penelitiannya menjadi tiga, yaitu: pembahasan tari sebagai gerak tubuh, tari sebagai perilaku serta yang menghubungkan tari dengan bidang studi yang lain. Sedangkan tentang tujuannya bisa berupa pema-haman yang bersifat sinkronis dan mendalam dari segi-segi pekembangan komunikasi, motivasi serta mengapa tari dalam lingkup budaya tertentu mendapatkan bentuk yang tertentu pula. Juga perubahan tari dari masa ke masa di suatu tempat, maupun langkah yang bersifat lintas budaya, misalnya choreometric yaitu suatu metoda yang mencoba mengungkit gerak dalam sajian data-data gerak yang terukur.

Penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu itu sendiri maupun dalam upaya pembinaan tari di Indo-nesia dewasa ini. Pada kesempatan diskusi ini dimunculkan berbagai masalah pelestarian. Setelah langkah pelestarian itu lalu apa; apakah materinya masih mungkin disodorkan ma-syarakat luas yang notabene sudah mengalami pergeseran nilai. Lalu bagaimana dengan adanya upaya indonesianisasi tari yang mencakup berbagai gerak tari daerah seperti yang dilakukan oleh Bagong Kussudiardjo. Bagaimana dengan di-namisasi nilai yang terjadi kaitannya dengan konteks keindo-nesiaannya sendiri. Lalu sudahkah kemudian tari muncul sebagai ekspresi budaya. Bagaimana peran dari lembaga pen-didikan tinggi tari dalam masyarakat. Bagaimana dengan upaya rekonstruksi/reproduksi tari produk masa lampau kait-annya dengan aktualisasi nilai-nilainya yang kadang sudah tidak terjembatani lagi dengan masyarakat masa kini. Seba-liknya terungkit pula masalah sisi pengembangan tari tradisi bila dikaitkan dengan tata nilai masyarakat yang terus ber-kembang dengan cepat.

Segudang permasalahan di atas memang sangat menan-tang kita untuk dipikrkan bersama, dipecahkan serta diko-munikasikan kepada masyarakat luas, sehingga pemikiran yang kabur tentang tari sekedar sebagai “lenggak-lenggok” di atas panggung yang menghibur bisa berubah dalam sudut pandang yang lebih signifikan. Inilah yang saya rasakan diskusi ini sangat bermanfaat, terutama bila kelompok ini dengan keterampilan tulisnya yang lebih dari orang tari bisa membantu mengangkat apresiasi masyarakat menjadi lebih tinggi lagi.

Page 2: Tari Sebagai Studi Dan Ekspresi Budaya

Menyinggung masalah apresiasi ini, ada satu sisi kenya-taan yang lain, di mana tari tradisi kita (tari Jawa misalnya) telah banyak diminati oleh banyak kelompok masyarakat di Amerika, baik yang berasal dari dalam maupun di luar kam-pus. Pengembangan program studi tari Jawa di berbagai universitas di sana, bertumpu pada keberadaan gamelan yang menurut Jody Diamond pada sensus gamelan tahun 1983, telah mencapai sebanyak 100 perangkat (30 dari Indonesia dan 70 buatan “dalam negeri” alias produk pecinta karawitan di Amerika sendiri). Sedang menurut Prof. Hardjo Susilo, di sana ada 3 kelompok mesyarakat pecinta karawitan, antara lain kelompok sarjana, pandhemen (yang gandrung sekali), serta kaum eksperimentalis. Betapa masyarakatnya sudah mulai banyak yang tidak hanya sebagai penikmat saja, namun lebih jauh lagi sudah terlibat dalam berbagai aktivitas kara-witan dan tari sebagai suatu tontonan. Sehingga aktivitas me-reka bisa disebut sebagai simpul-simpul kesenian kita sekali-gus merupakan “Jawatan Penerangan Swasta” Indonesia yang sangat efektif, terutama dalam menyajikan informasi tentang budaya bangsa Indonesia di sana.

**

Upaya pelestarian yang ada nampaknya memang tidak sederhana. Dalam upaya rekonstruksi, walaupun sudah ada data tulisan otentik serta tokoh-tokoh penari tua di sekitar kraton (di Yogyakarta misalnya), tokh reproduksinya belum bisa dijamin sama seperti dahulu. Untuk itu deskripsi tari mo-del Adrienne L. Kaeppler ataupun notasi Laban dengan effort and shapenya sebagai alat bedah analisis video tari yang dibuat, akan membantu upaya ini bagi anak cucu kita di masa mendatang. Namun di sisi lain bagaimana dengan kesejajaran sistem nilai yang terikat dengan gaya tari di masa lalu seperti yang diritir oleh Merriam J. Morrison. Dia berungkap, kalau orang mau menjadi wanita Jawa di masa lalu, saran utamaya adalah dengan mempelajari tari Bedhaya. Aktualisasi nilai kuasa ningrat inilah yang nampaknya tidak lagi relevan dengan idealisasi wanita Jawa masa kini. Di sini sisi feno-mena feodalismenya yang akan tetap menarik untuk divi-sualisasikan kembali. Apalagi kemudian sebagai sumber garap, kandungan dinamika gerak yang tidak lagi tertangkap oleh masyarakat masa kini bisa dikembangkan dalam galian nilai-nilai ruang, kecepatan, dan sebagainya, yang diharapkan mampu menyodorkan kandungan nilai-nilai estetika baru da-lam persepsi yang baru pula. Namun anehnya bila kehidupan telah menuntut derap langkah yang begitu cepat, orang akan lebih menggandrungi bentuk-bentuk gerak minimalis, yang miskin ruang, namun mengandung sesuatu misteri yang ter-sembunyi. Salah satunya hal ini dikatakan oleh Baverly Sea-vey (doktor Botani University of Wisconsin) yang menunjuk gerak lembut pada pose stasioner pada Bedhaya yang ditangkap sebagai exquisitely beautiful dan sekaligus me-ngandung akumulasi tenaga yang sangat lekat dengan tempat penari itu berpijak.

Menoleh pada permasalahan indonesianisasi yang dilaku-kan dari berbagai tarian daerah yang ada, tidak ada salahnya bila hal itu terjadi. Namun perlu diketahui, bahwa tari-tarian daerah yang ada merupakan cermin perilaku dari masyarakat pendukungnya. Bila kemudian digabungkan walau secara mulus dan enak dilihat, kandungan nilai yang ada pastilah mengalami pergeseran. Sedang naik-turunnya pergeseran itu perlu pengamatan tersendiri yang mestinya juga akan berpulang pada latar belakang penciptanya. Dalam hal ini Bagong Kussudiardjo sangat berhasil dalam langkah sosiali-sasinya.

Page 3: Tari Sebagai Studi Dan Ekspresi Budaya

Kemunculan tari di sisi lain dapat dikatakan sebagai ekspresi budaya bila keberadaannya (baca: penyajiannya) mampu menyentuh sisi yang paling dalam dari emosi orang-perseorangan maupun kelompok masyarakat, serta akan memberikan gema yang tak lain merupakan sinyal-sinyal dalam menyiasati hari depan kehidupan. Bukan sekedar ma-salah hitam dan putih, namun lebih-lebih lagi berupa renung-an yang dalam kaitannya dengan aplikasi kehidupan dewasa ini. Sastra lama seperti Maahabharata, Ramayana, Lokapala, dan sebagainya banyak memuat aspek pendidikan budi pe-kerti, yang kalau kita kaji tidak akan ada habis-habisnya dimengerti, betapa tinggi nilai-nilai yang terkandung di da-lamnya.

Di sinilah kemudian peran lembaga pendidikan tinggi tari sangat diharapkan, terutama dalam memunculkan tenaga-tenaga profesional terampil (D-3), maupun para peneliti dan pemikir tari (S-1). Yang terakhir inilah yang masih terasa langka, sehingga belum berperan banyak dalam upaya men-jembatani masyarakat tari di satu sisi dengan masyarakat penikmat di sisi lain. Diharapkan bersama kendala ini bisa secepatnya diatasi. Mudah-mudahan.

PIKIRAN RAKYAT, Selasa 3 Februari 1987