taqdÎm dan ta’khÎr dalam pandangan ulama2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak...
TRANSCRIPT
1
TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA
Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, MA
Definisi Taqdîm dan Ta’khîr
Taqdîm dan Ta‟khîr dua bentuk kata mashdar yang saling berkaitan dan saling
melengkapi. Taqdîm dan Ta‟khîr (ارمذ٠ ارأخ١ش ) berasal dari wazan fa‟ala ) فؼ (
ditambah tasyid pada „ain fi‟ilnya, yaitu: ( لذ , ٠مذ ذمذ٠ا ). Dengan demikian taqdîm (
,menurut bahasa artinya; mendahulukan ( priority ) atau memprioritaskan ارمذ٠ (
mengutamakan atau boleh juga ( presentation ) yang artinya: penyajian. 1
Sedangkan ta‟khîr ارـأخ١ش () berasal dari kata „Akhara ( أخش) juga dengan
penambahan tasydid pada kha‟, menjadi (أخش, ٠ؤخش, ذـأخ١شا ) yang berarti : penundaan (
delay ), pengunduran atau penangguhan, ( deferment ). 2
Dengan demikian taqdîm secara etimologis adalah lawan dari ta‟khîr, sehingga
taqdîm berarti : mendahulukan, dan ta‟khîr berarti : penangguhan atau mengakhirkan. 3
Dalam Al-Qur‟an taqdîm dan ta‟khîr disebutkan sebanyak 43 kali, dengan lafazh taqdîm
1 J. Milton Cowan, Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟âshirah ( Dictionary of Modern Written Arabic )
( Hans Wehr ), ( Arabic-English ), ( Beirut : Maktabah Lubnân, 1974 ), Cet. ke-3, h. 749 John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976 ), Cet. ke-23, h. 445
2 J. Milton Cowan, op,cit., h. 8 John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit., h. 39,170
3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ),
h. 12 dan 1098
2
sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli,
fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar.
Dalam bentuk mâdli dengan wazan fa‟ala ( فؼ ) dengan lafazh Qadimnâ sebanyak
1 kali dalam surat Al-Furqân / 25 : 23, dengan bentuk mudlâri dengan lafazh Yaqdumu
sebanyak 1 kali terdapat dalam surat Hûd / 11 : 98. Dan bentuk mâdli dengan wazan
fa‟‟ala (فؼ) ( tasydid pada „ain fi‟il ) dalam bentuk lafazh Qaddama sebanyak 2 kali,
yaitu terdapat dalam surat Shâd / 38 : 61, dan surat Al-Qiyâmah / 75 :13.
Dalam bentuk mâdli yang diikuti dengan dhamîr mu‟anats dengan lafazh (
Qaddamat ) sebanyak 14 kali, dalam surat Al-Baqarah / 2 : 95, Ali Imrân / 3 : 182, An-
Nisâ‟ / 4 ; 62, Al-Mâidah / 5 : 80. Al-Anfâl / 8 : 51 dan Al-Kahfi / 18 : 57, Al-Hajj / 22 :
10, Al-Qashash / 28 : 47, Ar-Rûm / 30 : 36, As-Syu‟ara‟ / 42 : 48, Al-Hasyr / 59 : 18, Al-
Jumu‟ah / 62 : 7, An-Naba‟ / 78 : 40 dan Al-Infithâr / 82 : 5. Dalam bentuk mâdli dengan
dlamîr mukhâthab ( orang kedua ) dengan lafazh ( qaddamtu ) sebanyak 2 kali
terdapat dalam surat Qâf / 50 : 28 dan surat Al-Fajr / 89 : 24, Dan dengan dlamîr
mukhâthab ( orang kedua jamak ), sebanyak 4 kali, dengan lafazh qaddamtum,
qaddamtumûhu, yaitu terdapat dalam surat Yusuf / 12 : 48 dan Shâd / 38 : 60 serta dlamîr
gha‟ib dengan lafazh qaddamu dalam surat Yasin / 36 : 12. Dan dengan lafazh tuqaddimuu
sebanyak 4 kali dalam surat Al-Baqârah / 2 : 110, al-Hujurat / 49 : 1, Al-Mujâdilah / 58 :
13 dan surat Al-Muzzammil / 73 : 20. Dalam bentuk fi‟il mâdli dengan wazan ( ذفؼ ) (
tafa‟‟ala ) dengan lafazh taqaddama sebanyak 1 kali, yaitu dalam surat al-Fath / 48 : 2.
Dalam bentuk mudlâri‟ dengan lafazh, yataqaddamu 1 kali dalam surat al-Muddatsir / 74 :
37, dan dengan fi‟il „amr sebanyak 2 kali dengan lafazh ; qaddimu, terdapat dalam surat
Al-Baqârah / 2 : 223 dan Al-Mujâdilah / 58 : 12.
3
Dalam bentuk fi‟il mudlâri dengan wazan ) اسرفؼ ( dengan lafazh (
yastaqdimu, tastaqdimu ), sebanyak 4 kali terdapat dalam surat Al-A‟râf / 7 : 34, Yûnus /
10 : 49, An-Nahl / 16 : 61, Saba‟ / 34 : 30.
Sedangkan kata ta‟khîr terdapat dalam surat Al-Qiyâmah / 75 : 13 dengan lafazh
„akhara ( 1 kali ), dalam surat Al-Infithar / 82 : 5 dengan lafazh „akharat ( 1 kali ), dalam
Al-Fath / 48 : 2 dengan lafazh ta‟akhara ( 1 kali ). Dengan lafazh yata‟akhara ( 1 kali )
terdapat dalam surat Al-Mudatsir / 74 : 37. Dan surat Saba‟ / 34 : 30 dengan lafazh
tasta‟khirûn ( 1 kali ), dengan lafazh yasta‟khirûn ( 3 kali ) terdapat dalam surat Al-A‟râf /
7 : 34, dalam surat Yunus / 10: 49, dan terakhir dalam surat An-Nahl / 16 : 61. 4
Sedangkan taqdîm dan ta‟khîr menurut terminologis, sebagaimana dikemukakan
oleh Imam Mâlik ( w. 672 H ) pengarang kitab AlFiyah, juga Ibn Hisyâm ( w. 761 H ), Ibn
„Aqîl ( w. 778 H ) serta Al-Asymunî ( w. 900 H ) yang dikutip oleh Musthafa Al-Ghalâyini
dalam kitabnya, yaitu Jâmi‟ud-Durûs Al-Arabiyah, bahwa taqdîm dan ta‟khîr ialah : 5
األط ف اثرذأ أ ٠رمذ أل سى ػ١ , األط ف اخثش أ ٠رأخش أل
ف١رأخش األخش ختا . سى ت, لذ ٠رمذ أزذا ختا
Artinya :
“ Kedudukan asal mubtada‟ ( subjek ) ialah : di awal kalimat karena ia sebagai
mahkum „alaih ( subjek ), dan tempat kedudukan khabar ( predikat ) di akhir
4 Muhamad Fuad Abdul Bâqi‟, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Al-Fazh Al-Qur‟an Al-Karim, ( Kairo : Dar-Al-
Hadîts, 1411 H / 1991 M ), cet, ke-3, h. 684
5 Syeikh Mustafa Al-Ghalâyini, Jaami‟ud Durus Al-Arabiyah, ( Beirut: Mansyurat al-Maktabah Al-
Ashriyah, 1411 H / 1991 M ), Juz ke-2, h. 266, Ahmad Al-Hâsyimi, Al-Qawâ‟id Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), h. 128
4
setelah mubtada‟, karena ia sebagai mahklum bih ( predikat ), dan terkandang
harus ( wajib) didahulukan salah satunya, atau di akhirkan yang lain”.
Sementara Imam Az-Zarkasyî ( w. 794 H ) dalam kitabnya Al-Burhân, mengatakan
bahwa taqdîm dan ta‟khîr ialah : 6
أزذ أسا١ة اثالغح , فئ أذا ت دالح ػ ذى ف افظازح ىر ف اىال
ام١اد , ف امب أزس لغ , أػزب زاق.
Artinya :
“ Dia adalah salah satu ushlûb ( gaya bahasa ) balaghah, karena itu para ulama-
Balâghah menggunakannya untuk menunjukan kemampuan mereka dalam fashâhah,
dan kemahiran mereka dalam percakapan serta menjadi bagian yang patuh kepada
mereka. Dan dia mempunyai tempat yang indah di hati serta perasaan yang
menyenangkan”.
Tetapi ada sebagian ulama dalam hal ini menyebutnya salah satu bentuk Majâz.7
Dan sebagian yang lain menyatakan bukan majâz akan tetapi salah satu bagian dari
uslûb-balâghah, sebagaimana diungkap oleh Az-Zarkasyî dengan definisi lain, yaitu : 8
ذمذ٠ ا سذثر ارأخ١ش, وافؼي, ذأخ١ش ا سذثر ارمذ٠ , وافاػ, م و
ازذ ا ػ سذثر زم .
Artinya :
6 Az-Zarkasyî, Al-Burhân Fî Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut: Dar Al-Fikr, t.th ), Jilid III,
cet. ke-1, h. 273 7 Majâz sebagaimana diungkapkan oleh Syarif al-Jurjâni ( w. 816 H ) yaitu : Suatu nama yang dimaksudkan
bukan nama sesungguhnya tetapi nama yang sesuai dengan kemiripan kepada dua lafazh tersebut. Contoh kata
اشداع اشخ ) dipergunakan untuk mengungkapkan tentang seseorang yang gagah berani ( األسذ) ), Muhamad
Syarîf Al-Jurjâni ( 740 H-816 H ), Kitab At-Ta‟rifât ( tahqiq ) Dr. Abdul Mun‟im al-Khifni, ( Kairo : Dar Ar-
Rasyâd, 1991 M ), h. 229, al-Khatîb al-Qazwaini, Al-Idhah fii Ulumil Balâghah al-Ma‟ani wa al-Bayan wa al-
Badi‟, ( Beirut : Da al-Kutub al-Ilmiyah t.th ), h. 272 as-Suyûti, Al-Itqân Fî Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut : Dar-Fikr,
1416 H / 1996 M ), cet. ke-1, h. 97 8 Az-Zarkasyî, loc.cit
5
“ Taqdîm ialah mendahulukan yang posisinya di akhir kalimat, seperti : maf‟ûl ( obyek ), dan ta‟khîr ialah mengakhirkan yang posisinya di awal kalimat, seperti :
fâil ( subyek ), dan dipindahkan salah satu dari keduanya, sesuai dengan posisi dan
kedudukannya ”.
Kriteria Taqdîm dan Takhîr
Sebagaimana diungkapkan dalam definisi di atas, kedudukan mubtada‟ adalah di
awal kalimat, karena ia sebagai mahkûm „alaih ( subyek ). Karena itu, mubtada‟
mempunyai posisi di muka dan terletak lebih dahulu dari khabar. Dengan demikian,
mubtada‟ harus ( wajib ) didahulukan dalam suatu kalimat pada empat situasi ( kriteria ),
yaitu:
Pertama: Apabila mubtada‟ ( subek ) terdiri dari lafazh-lafazh yang harus berada di
awal kalimat ( إرا وا اثرذأ األفاظ ار ا اظذاسج) , seperti :
a. Harful-istifhâm ( زشف اإلسرفا ) 9 yaitu lafazh yang digunakan untuk bertanya
kepada seseorang. Seperti : ف اث١د ؟ ( siapa di dalam rumah ? ). Maka lafazh ( ) sebagai mubtada‟ wajib didahulukan.
b. Untuk menyatakan keheranan dengan Mâ at-Ta‟ajjubiyah ) اارؼدث١ح ( misalnya:
harus ( ا ) Dan huruf .( ? alangkah indahnya sastra ) ا أزس األدب ؟
didahulukan.
c. Sebagai syarath ( syarat ), seperti: ٠طة ٠دذ ( dan siapa yang berusaha akan
memperoleh ). Kata man ( ) adalah ism-syarath, maka harus didahulukan.
d. Atau juga, lafazh ) و ( kam-khabariyah, misalnya : ( و ػث١ذ ؟ ) ( betapa
banyaknya hamba sahayaku? ), maka kata kam ( و) harus didahulukan. Juga ism
maushûl ( kata sambung ) yang dihubungkan dengan fâ‟ ( فـاء) , sebagaimana
9 Ism Istifhâm ialah kata yang dipergunakan untuk bertanya, yaitu : ( ,ارا, ر, أ٠ا, أ٠, و١ف
, أ, , را, اأ, و ), Musthafa al-Ghalâyinî, op.cit., h. 139
6
contoh: از ٠در أي ارال١ز ف خائضج ( murid yang lulus sebagai rangking pertama
akan mendapat hadiah ). Maka kata sambung ( از ) harus didahulukan.
Kedua : Apabila mubtada‟ ( subjek ) terbatas pada khabar ( إرا وا اثرذأ مظسا
.dalam hal ini mubtada‟ didahului dengan adâtul-Qashar ( alat qahsar ) ( ػ اخــثش10
Contohnya : إا اسذ٠ذ طة ( sesungguhnya besi itu hanyalah keras ). Dan mubtada‟
dibatasi sifanya dengan harf-qashar ( إا ) . Maka mubtada‟ itu harus didahulukan.
Ketiga: Apabila khabar ( predikat ) dalam bentuk Jumlah fi‟liyah ( kalimat
verbal ) yang pelakunya adalah dlamîr ditujukan kepada mubtada‟-nya, ( إرا وا خثشاثرذأ
خح فؼ١ح فاػا ػ١شسررش ٠ؼد ػ اثرذأ ), contoh : ( اإلزسا ٠سرشق اإلسا ) (
perbuatan baik mendatangkan simpati manusia ). Juga contoh lain : ( اسك ٠ؼ )( kebenaran
itu tinggi kedudukannya ). Maka mubtada‟ yang terdapat dalam kata ( اإلزسا ,اسك )
wajib didahulukan.
Keempat : Apabila mubtada‟ dan khabar dalam bentuk ma‟rifat ( dikenal )
atau keduanya nakirat ( tidak dikenal ) yang sejenis baik dalam keadaan nakirat atau
ma‟rifat dan tidak terdapat perantara ( qarinah ) antara keduanya yang menjelaskan
kedudukannya. ( إرا وا اثرذأ اخثشؼشفر١ أ ىشذ١ رسا٠ر١ ف ارخظض ارؼش٠ف ال
) Bahwa lafazh .( bukuku adalah temanku )( ورات سف١م ) : Seperti .( لش٠ح ذث١ اشاد (ورات sebagai mubtada‟ dan lafazh ( سف١م) sebagai khabar keduanya sejenis dan dikenal
( ma‟rifat ), dan di antara keduanya tidak terdapat kata bantu sebagai penjelas kedudukan
satu dari yang lainnya, karena ia telah dikenal ( ma‟rifat ). Contoh lain : ( اظادل
10 Al-Qashr, menurut bahasa artinya al-Habs ( pembatasan, pengkhususan ), menurut istilah yaitu
mengkhususkan atau membatasi sesuatu dengan sesuatu, maka bagian yang pertama disebut maqshur ( yang
mengkhususkan ) sedangkan yang kedua disebut maqshur „alaih ( yang dikhususkan ), contoh : mengkhususkan
mubtada‟ terhadap khabar ( إا ص٠ذ لائ ), maka ( ص٠ذ ), sebagai maqshur, dan ( لائ ) sebagai
maqshur „alaih, dan macam-macam adatul-qashr, yaitu ( ال, ت, ى, إا, إال ), As-Syarif Al-Jurjani, op.cit., h.
200, Al-Khatib Al-Chazwaini, op.cit., h. 122-124
7
Dalam contoh ini, di .( orang-orang yang jujur itulah yang akan beruntung )( افس
mana mubtada‟ dan khabar berbentuk ma‟rifat, namun dipisahkan dengan dlamîr-fâshil
sebagai pemisah yang menjelaskan status antara keduanya dan jika tidak terdapat dlamir
pemisah ( fâshil ) tersebut, maka akan ada prasangka ( zhan ) bahwa kata ( افس)
adalah sifat dari kata (اظادل ) . Juga contoh : أخن اؼا ( saudaramu-lah yang pandai ) dan sebagainya. Contoh lain, dari mubtada‟ dan khabar dengan status nakirat ( umum )
sama dan sejenis, seperti : سا أوثشه ذدشتح أوثشه ( orang yang lebih besar dari kamu
itu, lebih berpengalaman dari kamu ). Bahwa dari contoh di atas terdapat mubtada‟ dan
khabar yang berbentuk ism-tafdlîl, yaitu (أوثش ), dan (أوثش ), keduanya berstatus nakirat
yang sama dan sejenis. Melihat dari beberapa contoh di atas, bahwa lafazh-lafazh ( ورات )
dan ( اظادل ) dan juga ism tafdhîl ( أوثش ) adalah mubtada‟. Maka dengan demikian
mubtada‟ wajib didahulukan.11
Sebagaimana posisi mubtada‟ terletak di awal kalimat dan khabar berada sesudah
mubtada‟. Dalam situasi dan kondisi yang berbeda, bahwa khabar juga bisa berada di awal
kalimat bahkan harus di muka dan mubtada‟ diakhirkan.
Khabar harus didahulukan dan berada di posisi awal kalimat, terdapat pada empat
situasi ( kriteria ) juga, yaitu:
Pertama: Apabila khabar ( predikat ) terdiri dari lafazh-lafazh yang harus berada di
awal kalimat ( إرا وا اخثش األفاظ ار ا اظذاسج األساء اإلسرفا ). Seperti : ism-
istifhâm : yaitu lafazh-lafazh yang digunakan untuk pertanyaan yang menunjukan tentang
waktu dan tempat serta keadaan, contoh kata menunjukan tentang waktu : seperti:
سا؟رىاإلر ( kapan waktu ujian ? ). Menunjukan suatu tempat أ٠ـ ورـاته ؟ ( dimana kitab
11
Ahmad Al-Hâsyimi, op.cit., h. 129
8
kamu ? ), tentang keadaan, seperti : ؟ -Atau khabar di .( ?bagaimana keadaanmu ) و١ف زـاه
idhaf-kan ( mudhâf ) kepada ism-istifhâm, contoh : ( إت أد ؟ ) ( anak siapa kamu ? ), atau
Dari beberapa .( ? Pada pagi hari apa kamu berangkat berpergian ) ( طث١سح أ ٠ سفشن ؟ )
contoh di atas terdapat lafadz-lafazh ( أ٠ , ر, و١ف ) dan ( إت )( طث١سح ) adalah
bentuk pertanyaan yang menunjukan tempat, waktu serta keadaan. Dan lafazh-lafazh
tersebut adalah khabar dan wajib didahulukan.
Kedua : Apabila khabar ( predikat ) terbatas pada mubtada‟ ( subyek ) ;
( إرا وا اخثشمظساػىاثرذأ) . Sedangkan khabar didahului dengan adât-Qasr ( alat
Qashar ), contohnya: ) ا ػادي إال ست (; ( Yang Maha Adil hanyalah Tuhanku ). Atau
contoh lain : ) ا خاك إال هللا ( ( Tiada Pencipta kecuali hanyalah Allah SWT ), atau contoh
Dan khabar tersebut .( yang terpuji hanyalah orang yang rajin ) ) إا سد ٠درـذ ( :
dibatasi sifatnya dengan adât-qashar ) ا (. Dan di antara khabar dan mubtada‟ dipisahkan
dengan huruf-istisnâ‟ ) إال (, maka lafazh-lafazh ) خاك ( ,) ػادي (, serta lafazh ) سد (
adalah sebagai khabar, karena itu ia wajib didahulukan.
Ketiga : Apabila mubtada‟ salah satu bentuk nakirat yang tidak terikat, sedangkan
khabar adalah dalam bentuk jar-majrûr atau zharaf. ( إرا وا اثرذأ ىشج غ١ش م١ذج خثشا
di dalam rumah ada seorang ) ( ف اذاس سخ ) :contohnya ( ػا تظشف أ خاس دشس
laki-laki ) atau contoh : ( ػذن أدب )( kamu mempunyai sastra ) atau seperti : ( ماد دشح
)( yang datang itu menakjubkan ). Dalam ayat Al-Qur‟an surat Qâf / 50 : 35 ( ذ٠ا ض٠ذ ),
QS. Al-Baqarah / 2 : 7, ( ػ أتظاس غشاج ). Dan lafazh-lafazh di atas, seperti ( ف اذاس
adalah khabar jar-majrûr ( huruf jar ) atau zharaf-mazhrûf ( ماد ) serta ( ػذن ) ,(
yang didahulukan. Sedangkan lafazh-lafazh ( سخ )( دشح ), ( أدب ) adalah mubtada‟
dengan bentuk nakirat yang apabila lafazh-lafazh tersebut didahulukan akan menimbulkan
9
prasangka bahwa jar-majrûr atau zharaf-mazrûf adalah sebagai sifat. Contoh dalam ayat di
atas ; ( ض٠ذ ذ٠ا ), yaitu bentuk nakirat dalam kata ( ض٠ذ ) dan ( ذ٠ا ) adalah sifat dari
kata ( ض٠ذ ). Dan setelah zharaf ( ذ٠ا ) didahulukan, maka zharf itu menjadi khabar dan
bukan sifat. Demikian juga lafazh-lafazh ( ف اذاس ) dan ( ماد ) adalah bukan sifat tetapi
khabar, maka wajib didahulukan.
Keempat : Apabila dhamîr ( kata ganti ) yang terdapat dalam mubtada‟ kembali
kepada khabar. ( إرا ػاد تؼغ اخثش ػ١ش ف اثرذأ ). Seperti : ( ؼا خضاء ػ )(
setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya ). Contoh lain : ( ف اذاس
di ) ( ف اذسسح ذال١زا ) : juga ontoh ,( di dalam rumah ada penghuninya ) ( طازثا
sekolah terdapat murid-muridnya ), sebagaimana Al-Qur‟an surat Muhamad / 47 : 24 ( أ
ف ) ,( ؼا ) Lafazh-lafazh .( ataukah di hati mereka ada kuncinya )( ػ لب ألفاا
,adalah sebagai khabar dan khabar harus didahulukan ,( ػ لب ) ,( ف اذسسح ) ,( اذاس
dan jika tidak didahulukan, akan menyebabkan kembalinya dlamir kepada kata yang di
akhir. Hal ini tidak dibenarkan menurut sebagian ulama, seperti : ( أوش أت خاذا ) (
bapaknya menghormati Si Khâlid ). Oleh karena itu, maka khabar wajib didahulukan. 12
Dan jika tidak terdapat dalam kalimat hal-hal yang menyebabkan wajib didahulukan atau
diakhirkan, maka majunya khabar di awal kalimat dibenarkan, seperti : ( زاػش اذ )(
ayahku hadir ). 13
Demikian contoh-contoh situasi mubtada‟ atau khabar yang harus
didahulukan atau diakhirkan.
12
Kembalinya dhamîr secara lafazh dan ratb ( urutan ) dalam suatu kalimat tidak dibenarkan, seperti ; (
Dan juga maf‟ûl itu .( خاذ ) kembali kepada maf‟ûl bih ( أت ) karena dhaîir ha‟ dalam kata ( أوش أت خاذا
diakhirkan secara urutan dari fâ‟ilnya. Dan juga secara lafazh diakhirkan, akan tetapi bila diakhirkan secara lafazh
dan juga secara urutan dibenarkan juga, seperti : ( أوش خاذا أت ). Ibid., h. 125
13
Ibid., h. 30, Musthafa Al-Ghalâyini, op.cit., h. 267-268
10
C. Pandangan Ulama Tentang Taqdîm dan Ta’khîr.
Persoalan taqdîm dan ta‟khîr adalah persoalan susunan kalimat. Setiap kalimat tentu
tersusun dari beberapa bagian penting, yaitu mubtada‟ ( subjek ) dan khabar ( predikat )
serta maf‟ûl bih ( objek ) atau fi‟il dan fâ‟ilnya. Dan setiap kalimat terucap tentu atas
kehendak pembicara dalam suatu perkataan. Karena itu, kita mengetahui bahwa setiap kata
yang akan diucapkan seseorang tidak mungkin diucapkan sekaligus, akan tetapi pasti
terdapat bagian-bagian yang didahulukan ( taqdîm ) atau diakhirkan ( ta‟khîr ). Dan tidak
ada suatu kata pun yang lebih utama dalam kalimat untuk didahulukan atau diakhirkan dari
lainnya, karena setiap kata itu berkedudukan sama penting dan diperlukan. Melihat kondisi
suatu kalimat demikian, penulis setuju tentang adanya beberapa faktor yang menyebabkan
didahulukan atau diakhirkan kata-kata dalam suatu kalimat dalam setiap pembicaraan atau
percakapan. Sehingga dengan demikian, sebagaimana diungkap dalam kitab Qawa‟id al-
Lughah al-Arabiyah yang diterjemahkan oleh Dr. Chatîbul Umam dalam sebuah buku yang
berjudul “ Kaidah Tata Bahasa Arab “ bahwa didahulukannya suatu kata atau kalimat
didorong oleh faktor-faktor tertentu, di antaranya yaitu :
a. Membuat ingin tahu kepada yang diakhirkan. Jika yang didahulukan itu menunjukan
keasingan. Seperti ; sesuatu yang dapat menimbulkan keheranan manusia adalah
sesuatu yang dijadikan dari benda-benda mati ( از زاسخ اثش٠ح ف١ ز١ا سرسذز
.( خادb. Mendahulukan yang menggembirakan atau yang buruk. Seperti ; pengampunanmu
telah keluar perintahnya atau melakukan qishas telah divonis hakim ( اؼف ػه طذس
.( ت األش أ امظاص زى ت اماػ
11
c. Yang didahulukan itu menjadi sebab dan tujuan pengingkaran dan keheranan.
Misalnya ; “ Apakah setelah pengalaman yang begitu lama anda masih tertipu oleh
keindahan-keindahan itu ? ( أتؼذ ؽي اردشتح ذخذع تز اضخاسف ؟ ). d. Menyatakan keumuman atau kekhususan. Pertama : mendahulukan kata keumuman
dengan menggunakan adâtul-umûm ( menunjukan keumuman ), seperti : kata-kata ;
semua dan adâtul-nafyi ( pengecualian atau peniadaan ), seperti ;
kata tidak, contohnya ; semua itu tidak ada, atau tidak terjadi, baik ini, ataupun itu.
Kedua : mendahulukan kata-kata ; tidak terhadap kata umum, contohnya : tidak
terjadi semua itu. ( artinya : tidak semua terjadi, maka mengandung pengertian
terjadi sebagian atau tidak sama sekali ).
e. Mengkhususkan , contohnya : Bukan saya yang mengatakan. Atau hanya engakau
yang kami sembah dan hanya engkau yang kami mohon pertolongan ( إ٠ان ؼثذ
.( Qs. / 1 : 5 ) ( إ٠ان سرؼ١
Demikian yang diungkap dalam kitab tersebut, bahwa tidak disebutkan faktor-faktor
khusus baik taqdim atau ta‟khîr, karena apabila salah satu unsur kalimat didahulukan,
berarti yang lain diakhirkan, karena kedudukan satu kalimat dengan kalimat lainnya saling
berkaitan dan diperlukan. 14
Masih dalam persoalan taqdîm dan ta‟khîr Imam az-Zarkasyî ( w. 794 H
), dalam kitabnya mengungkapkan beberapa sebab dimajukan atau diakhirkan lafazh-lafazh
itu dalam suatu kalimat dan alasannya, yaitu :
Pertama : Asalnya di awal kalimat ( أ ٠ى أط ارمذ٠ ). Didahulukan ( ارمذ٠ ),
karena tidak terdapat hal yang menghalanginya dimajukan atau sebaliknya. Seperti
14
Hifni Bek Dayyab, ( ed. ), Qawâid Al-Lughah Al-Arabiyah ( Kaidah Tata Bahasa Arab Nahwu, Sharaf,
Balâghah, Bayân, Ma‟âni, Badî‟ ), diterjemahkan oleh Dr. Chatibul Umam, et.al, ( Jakarta : Darul- Ulum Press, t.tt
), cet. Ke-3, h. 448 -451
12
didahulukannya fâ‟il ( subjek ) dari maf‟ûlnya ( objek ). Juga mendahulukan mubtada‟ dari
khabarnya, atau shâhibul-hal dari hâl-nya. Contoh : ( Zaid datang ) ( ساوثا ص٠ذ خاء
berkendaraan ).
Kedua : Diakhirkan ( ارأخ١ش ) untuk menjelaskan kerancuan makna ( أ ٠ى ف
Maka didahulukan khabarnya. Seperti terdapat dalam firman .( ارأخ١ش إخالي تث١ا اؼ
Allah SWT dalam surat Ghâfir / 24 : 28.
) لاي سخ ؤ ءاي فشػ ٠ىر إ٠ا أذمر سخال أ ٠مي ست هللا
( 82: 04/غافش
Artinya :
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aûn yang
menyembunyikan imannya berkata : " Apakah kamu akan membunuh seorang laki-
laki karena dia menyatakan : " Tuhanku ialah Allah “ ( Ghâfir / 40 : 28 )
Dilihat dari ayat di atas, bahwa kalimat (لاي سخ ؤ ءاي فشػ ٠ىر إ٠ا ).
Dan bila diakhirkan lafazh ( فشػ ءاي ) dalam ayat di atas, setelah kalimat ( ٠ىر
maka tidak difahami kalau sebenarnya orang yang menyembunyikan imannya itu ,( إ٠ا
adalah di antara pengikut Fir‟aûn. Maka didahulukan lafazh ( فشػ ءاي ). Dan menurut
As-Sakkaki ( w. 627 H ), salah seorang ulama Balâghah, bahwa sebab diakhirkan adalah
karena larangan, yaitu rancu ( khalâl ) maknanya. Seperti terdapat dalam surat Al-
Mu‟minûn / 23 : 33, yang berbunyi :
از٠ وفشا وزتا تماء ا٢خشج أذشفا ف اس١اج للاي األ
.( 83: 33/ اؤ اذ١ا )
13
Artinya:
“ Dan berkata pemuka-pemuka orang kafir di antara kaumnya dan yang
mendustakan akan menemui hari akhirat ( kelak ) dan yang telah kami mewahkan
mereka dalam kehidupan di dunia ”. (Al-Mu‟minûn / 23 : 33).
Dalam ayat di atas, didahulukan hâl terhadap wasf ( sifat ), yaitu kalimat ( ـ
(لـ terhadap kalimat ( از٠ـ وفـشا) . Jika diakhirkan, kalimat ( لـ ) dengan
taqdîr; ( لاي األ از٠ وفشا وزتا تماء األخشج ل أذشفا ف اس١اج اذ١ا ), maka
akan timbul pemahaman, bahwa kalimat ( ل ) yang kedudukannya sebabai hâl, akan
ada prasangka bahwa ia sifat dari ( ماء األخشج) yang artinya, “ Dan berkata pemuka-
pemuka yang kafir dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat ( kelak ) diantar
kaumnya dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia). Dan persoalan
di atas, di antara dua perkataan akan menjadi samar ( rancu ), apakah maksud dari lafazh (( ل adalah dalam kalimat ( اذ٠ وفشا) ( orang-orang yang Kafir ) atau tidak
termasuk ?, yaitu, masuk ke dalam ( س١اج اذ١ا أذشفا ف ا )( orang-orang yang
telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia ). Karena itu dimajukan untuk
menghindari kerancuan maknanya. Demikian alasan as-Sakkaki ( w. 627 H ), bahwa ta‟khîr
dalam hal ini dilarang. Maka kesimpulan beliau, bahwa orang-orang yang kafir, yang
mendustakan hari akhirat dan orang yang Allah berikan kemewahan dalam kehidupan di
dunia adalah perkataan dari pemuka-pemuka orang kafir.
Dengan dimajukan kalimat ( ل ) , maka terjawab maksunya, yaitu hilang
kerancuan maknanya. Sebagaimana Allah SWT juga menjelaskan dalam ayat lain dan
diakhirkan sebagai hal jarr-majrûr ( ل ) dari sifat yang marfû‟ ( dirafa‟ ) yaitu (ا (از٠ وفش , dan selamat dari kerancuan makna kalimatnya. Sebagaimana terdapat dalam
surat Al-Mu‟minûn / 23 ayat : 24.
14
83: 80 / ا زا إال تششثى ) اؤ لفماي األ از٠ وفشا
)
Artinya:
Maka pemuka-pemuka orang kafir di antara kaumnya, menjawab : “ Orang ini
tidak lain kecuali hanyalah manusia seperti kamu ”. ( Al-Mu‟minûn / 23 :
24 ).
Lafazh ( ل ) diakhirkan setelah kalimat ( از٠ وفشا ), karena itu kalimat
selamat dari hal-hal yang menyebabkan rancu ( khalâl ) pada arti dan susunan kalimatnya.
Ketiga : Didahulukan karena, jika diakhirkan akan menyebabkan ketidakserasian
susunan kalimat. ( أ ٠ى ف ارأخ١شإخالي تاراسة) . Dengan dimajukan terdapat
kesamaan syakl ( harakat ) serta keserasian kata terakhir ( ri‟âyatul fashilah ).
Sebagaimana terdapat dalam QS. Fushilat / 41 : 37, berbunyi : ( از خم إ اسدذا هلل
( ور إ٠ا ذؼثذ . Dimajukan kata (إ٠ا ) sebelum kata (ذؼثذ ) untuk menjaga keserasian
kata terakhir ( fâshilah ). Sebagaimana firman Allah SWT juga dalam surat Thâha / 20 : 67, berbunyi : (فأخس ف فس خ١فح س ) ( Maka Musa merasa takut dalam hatinya ).
Sesungguhnya jika diakhirkan lafazh (فـ مس ) setelah lafazh (س ), maka hilang
keserasian fâshilah-nya. Demikian karena keserasian fâshilah dilihat dari ayat sebelumnya
berbunyi (٠خ١ إ١ سسش أـا ذسؼ ) ; ( terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap
lantaran sihir mereka ) dan ayat setelahnya berbunyi (إه أد األػ ) : ( kamulah yang
paling unggul ). Dan keserasian itu akan terlihat indah di akhir setiap kalimat. Keempat : Untuk mengagungkan dan perhatian (الرا ت ؼظ ا) . Kebiasaan
bangsa Arab, jika mengabarkan sesuatu yang berhubungan dengan hukum setelah
dikaitkan, dengan menghubungkan ( athaf ) satu kata dengan kata yang lainnya, yaitu
dengan menggunakan huruf wâwu. Dengan ini bangsa Arab mendahulukan kata yang lebih
15
penting untuk dijelaskan dari yang penting. Menurut Sibawaih, dimajukan suatu kalimat
atau diakhirkan melihat adanya kepentingan, yaitu penjelasan maksud dan tujuan yang
lebih penting meskipun semua itu penting. 15
Menurut Abû Hayyân ( w. 745 H ) apa yang
dimaksudkan Az-Zamakhsyari dan juga yang lain, bahwa dimajukan ma‟mûl 16
( huruf
zharf atau huruf jar ) bertujuan untuk tujuan ikhtishash ( kekuasaan ).
Demikian menurut Abu Hayyân, sebagaimana diungkap oleh Zamakhsyari ( w. 538
H ) juga ulama lainnya, karena itu adalah kebanyakan bukan keharusan.
Dalam hal ini terdapat bukti-bukti dari beberapa ayat Al-Qur‟an, yang bertujuan
untuk kekhususan, diantaranya, di dahulukan zharaf, sebagaimana dalam surat Al-An‟âm / 6 : 84, berbunyi:
: 6 / اإلؼا لث ) وال ذ٠ا زا ذ٠اؼمب ثا إسساق ٠
20 )
Artinya:
“ Dan kami telah menganugerahkan Ishâq dan Ya‟kûb kepadabnya. Kepada
keduanya masing-masing telah kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu
juga telah kami beri petunjuk “. ( Al-An‟âm / 6 : 84 ).
Juga dalam surat Ibrâhim / 14 ayat 10, berbunyi :
(04:00 / فاؽش اسااخ األسع ) إتشا١ أف هللا شهلاد سس
Artinya:
15
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 274-275
16
Ma‟mûl ialah : suatu dari isim atau fi‟il yang berubah harakat akhirnya dengan dhummah ( marfû‟ ), atau
fathah ( manshûb ), atau sukun ( majzûm ), atau majrûr sesuai dengan âmil ( faktor ) yang mengubahnya. Seperti ;
mubtada‟ menjadi „âmil, karena menjadikan marfû‟ khabar-nya, juga menjadi ma‟mûl, ( tidak merubah ), karena
tidak ada amil yang mengubahnya sehingga menjadi marfû‟, sebagaimana juga mudhâf menjadi ma‟mûl karena
merafa‟ atau menasab atau memajrurkan mudhâf-ilaihnya, Mushthafah al-Ghalâyini, op.cit., h. 274-275
16
Berkata rasul-rasul mereka : “ Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah,
Pencipta langit dan bumi ? ” ( QS. Ibrâhim / 14 : 10 )
Dua ayat di atas, dalam surat Al-An‟âm : 84 ( وال ذ٠ا زا ذ٠ا لث ) dan
juga dalam surat Ibrâhim : 10 ( أفـ هللا شـه ). Kedua ayat di atas didahulukan dengan
ma‟mûl yaitu zharf dan ( وـال) dan jar ( فـ) . Dari ayat di atas menurut Abu Hayyân ( w.
745 H ), tentang perkataan Zamakhsyari ( w. 538 H ), bahwa tujuan didahulukan ma‟mûl
tersebut untuk tujuan ikhtishâs ( kekhususan ).
Pendapat di atas dijawab oleh pengarang kitab “al-Falâq ad-Dâ‟ir, oleh Ibn Hâjib ( w. 225 H ) dan juga Abu Hayyân ( w. 745 H ), khususnya tentang kaidah yang terdapat
pada ayat pertama ( Al-An‟âm / 6 : 84 ). Mereka juga berbeda dalam menjelaskan, bahwa
yang dimaksudkan Ibn Hâjib dan Abu Hayyân didahulukan ma‟mûl pada fi‟il itu bertujuan
untuk kekhususan bukan keharusan. Maka alasan di atas dilandasi dengan dua syarat : Pertama : Bahwa ma‟mûl yang didahulukan itu bukan karena kedudukan asalnya,
seperti ; asma-istifhâm ( kata-kata untuk bertanya ), yang diletakkan di awal kalimat atau
seperti ; mubtada‟ yang menjadi ma‟mûl terhadap khabarnya, sehingga menjadi marfû‟
karena tidak ada âmil yang menjadikan manshûb atau majrûr, seperti ; ism kâna dan
kawan-kawannya, atau khabar inna serta kawan-kawannya. Dengan demikian tidak
dinamakan taqdim yang sebenarnya ( ghairu haqîqî ). Contohnya : seperti mubtada‟ yang
menjadi ma‟mûl terhadap khabarnya. ( فـ اث١د ؟ ) ( siapa di dalam rumah? ), atau (
؟ أ ش١ئ ػذن )( apa yang kamu miliki ? ).
Kedua : Bahwa taqdîm tidak bertujuan untuk urutan susunan kalimat saja ( tarkîb ).
Contoh dalam surat Fushilat / 41 : 17 (أا ثد فذ٠ا ) ( adapun kaum Tsamûd
kami beri petunjuk ), dalam lafazh (ثـد ) dibaca nasb ( fatha ) tidak dibaca rafa‟ ( dhummah ). Dan seharusnya dibaca marfû‟, karena taqdîm tersebut tidak bertujuan untuk
urutan susunan kalimat.
17
Dalam hal ini sebagian besar ulama bersepakat, bahwa tujuan taqdîm di atas adalah
untuk mengkhususkan, tetapi tidak termasuk dalam ayat yang satu ini, yaitu dalam surat
Al-An‟âm / 6 : 40-41 :
إ ور أغ١ش هللا ذذػاب هللا أ أذرى اساػح ل أسأ٠رى إ أذاو ػز
طادل١ ت إ٠ا ذذػ ف١ىشف ا ذذػ إ١ إ شاء ذس ا ذششو )
( 00 -04: 6 /األؼا
Artinya:
Katakanlah : “ Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau
datang kepadamu hari kiamat, apakah kami menyeru ( Tuhan ) selain Allah, jika
kamu orang-orang yang benar!,( Tidak ), Tetapi hanya dialah yang kami seru, maka
Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdo‟a kepadaNya, Jika Dia
menghedaki dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kami sekutukan (
dengan Allah ) ”. ( Al-An‟âm / 6 : 40-41 ).
Dalam ayat pertama di atas, dalam kalimat ( طادل١ أغ١ش هللا ذذػ إ ور )(
apakah kamu menyeru kepada Tuhan selain Allah ? ), taqdîm yang dimaksudkan ayat di
atas, tidak bertujuan untuk kekhususan ( ikhtishâsh ), akan tetapi karena keharusan ( wâjib
qath‟an ). Ini disebabkan karena ayat tersebut berbicara tentang persoalan „Aqîdah (
keimanan ) yang tidak dibenarkan beriman kepada tuhan selain yang dimaksudkan dalam
ayat yaitu Allah SWT. tetapi dalam ayat kedua ( ت إ٠ا ذذػ ف١ىشف ا ذذػ إ١) ,
bertujuan untuk kekhususan. Yaitu khusus kepada Dia yang menghilangkan bahaya,
disebabkan karena perbuatan baik yang dilakukan manusia dengan berdo‟a kepada-Nya,
Dialah Allah SWT.17
18
Dan juga As-Suyûti ( w. 911 H ) berpendapat lain tentang taqdîm dan ta‟khîr.
Dalam hal ini beliau membagi dua bagian penting dalam taqdîm dan ta‟khîr, yaitu :
Pertama : Sesuatu yang tidak jelas maknanya secara zhâhir ( nyata ), dan setelah
diketahui bahwa pokok bahasan ini termasuk bab taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas
maksudnya ( ا أشى ؼا تـسسة اظاش, فاػشف أ تاب ارمذ٠ ارأخ١شاذؼر ). Dengan
demikian, As-Suyuti mencantumkannya ke dalam bab taqdîm dan ta‟khîr, sebagaimana
dikemukakan dalam berbagai riwayat yang diriwayatkan oleh para ulama salaf, yaitu:
a. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hâtim dari Qatâdah bahwa surat At-Taubah / 9 ayat 85,
yang berbunyi :
ال ذؼدثه أا أالد إا ٠ش٠ذ هللا أ ٠ؼزت تا ف اذ١ا ذضك
(8::2 /ارتح أفس وافش )
Artinya:
“ Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik perhatinmu,
sesungguhnya Allah menghendaki mereka memperoleh azab di dunia dengan harta
benda dan anak-anak itu” ( At-Taubah / 9 : 85 ).
Masuk dalam bab taqdîmul-kalâm, dan ayat di atas bertujuan untuk maksud ( perkiraan ) sebagai berikut :
18
17
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 278
18 As-Suyûtî, Al-Itqân Fî Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut: Darul Fikr Li at-Tabâ‟ah Wa Al-Nasyr Wa al-Tawzi‟,
1416 H/1999 M ), ditahqiq oleh Said Mandurah, Jilid ke-2, Cet. ke-1, h. 33
19
فـ ٠ش٠ذهللا أ ٠ؼزتـ تـا إا اذ٠ا فىاس١اجا أالد الذؼدثه أ
.األخشج
Dua lafazh ( اس١ـاج) dan ( األخشج) dihilangkan dan dimajukan lafazh ( اذ١ـا )
sehingga artinya, “ Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu
dalam kehidupan dunia. Sesungguhnya Allah menghendaki kepada mereka akan azab di
akhirat ”. Dalam hal ini Allah memberi peringatan bahwa kenikmatan dan kesenangan
berupa anak dan harta itu hanya sementara, yaitu di dunia.
b. Juga diriwayatkan oleh Ibn Hâtim bahwa Al-Qur‟an surat Thâha / 20 ayat : 129,
yang berbunyi :
(088:84/ؽ ) أخ سال وح سثمد سته ىا ضاا
Artinya:
“ Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah SWT yang telah terdahulu atau
tidak ada ajal yang telah ditentukan pasti ( azab itu ) menimpa mereka ” ( Thâha /
20 : 129).
Menurut as-Suyûtî juga masuk dalam bab taqdîm dengan taqdîr ( perkiraan
) maksudnya, ( ال وح أخ س ىا ضاا ). Dimajukan lafazh ( ىـا ضاـا) dan
diakhiri lafazh ( أخ س) sehingga maksudnya, “ Dan sekiranya tidak ada ketetapan
dari Allah serta ajal yang telah ditentukan, pasti akan menimpa mereka “. Kedudukan wawu
dalam lafazh ( و) dan ( أخ س ) adalah sebagai „athaf ( wawu-athaf ). Ketetapan serta
ajal yang ditentukan Allah SWT menyebabkan tertundanya azab. Demikian tujuan taqdîm dalam
ayat di atas tanpa mengubah maksudnya.19
19
Ibid., h. 40
20
c. Diriwayatkan oleh Mujâhid mengenai ayat surat Al-Kahfi / 18 : 1-2 yang berbunyi:
) ػخا ل١ااسذ هلل از أضي ػ ػثذ اىراب ٠دؼ
(. 8-0 :02/اىف
Artinya:
“ Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan kepada hambanya, al-Kitab (
Al-Qur‟an ), dan tidak ada penyimpangan di dalamnya, sebagai bimbingan yang
lurus ” ( Al-Kahfi / 18 : 1-2 )
As-Suyûtî ( w. 911 H ) mengatakan, bahwa ayat ini adalah dari taqdîm dan
ta‟khîr dalam Al-Qur‟an. Taqdîr maksudnya ( اسذ هلل از أضي ػ ػثذ اىراب
ل١ا ) dan diakhirkan lafazh ( ػخا ) Dimajukan lafazh .( ل١ا ٠دؼ ػخا
), sedangkan maksud artinya, “ Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan
kepada hambanya, al-Kitab ( Al-Qur‟an ), sebagai bimbingan yang lurus, dan tidak
ada penyimpangan di dalamnya ”. Dalam bentuk zhahir ayat terlihat ada perubahan
susunan kalimat, tetapi maksud ayatnya tidak berubah.
d. Diriwayatkan oleh Qatâdah tentang surat Ali Imran / 3 ayat : 55 ( إـ رف١ـه
As-Suyûtî menyebutkan bahwa ayat ini adalah bagian pembahasan ( .سافؼه إـ
taqdîm dan ta‟khîr, yang artinya : “ Sesungguhnya Aku akan membawa kamu
kepada ajalmu, dan mengangkat kamu kepadaku ”. Ayat di atas mempunyai
maksud, dengan taqdîr : ( رف١ه Sesungguhnya Aku “ ( إـ سافؼه إ
angkat kamu kepadaku dengan membawamu kepada hari ajalmu ”.
e. Diriwayatkan oleh Ikrimah tentang Al-Qur‟an surat Shâd / 38 ayat 26, berbunyi : (
,mereka akan mendapat azab yang berat )( ـ ػزاب شذ٠ذ تا سا ٠ اسساب
karena mereka melupakan hari pembalasan ). As-Suyûtî ( w.911 H ) mengatakan
21
bahwa ayat ini juga, bagian dari bab taqdim dan ta‟khir. Dan dimajukan lafazh ((ػزاب شذ٠ذ dan diakhirkan lafazh ( ٠ اسساب ) untuk mengingatkan bahwa azab
pasti akan datang di hari pembalasan. Taqdîr -nya menjadi :
ػزاب شذ٠ذ تا سا ٠ اسساب
Artinya:
“ Mereka dihari pembalasan akan mendapatkan siksa yang berat karena mereka
lalai ”
f. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Ibn Zaid mengenai surat Al-Nisâ‟ / 4 ayat : 83,
yang berbunyi :
إال ل١الالفؼ هللا ػ١ى سزر الذثؼر اش١طا Artinya :
Dan kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah
kamu mengikuti langkah syetan, kecuali sebagian kecil saja ( diantaramu ) “ (
An-Nisa‟ / 4 : 83 )
As-Suyûtî memasukkan ayat ini, dalam bab taqdîm dan ta‟khîr karena pada lafazh (
didahulukan karena ( ال فؼ هللا ػ١ى سزر ) diakhirkan dan lafazd ( إال ل١ال
mempunyai tujuan, sedangkan taqdîr semestinya, 20
إال ل١ال ال فؼ هللا ػ١ى سزر ٠ح ل١ ال وث١شأراػا ت
Artinya:
“ Mereka menyiarkan berita ( keamanan atau ketakutan ), kecuali sedikit yang tidak
mengikuti kemauan ( syaitan ), dan kalaulah bukan karena karunia dan rahmat
Allah SWT kepada kamu sekalian, kamu tidak akan selamat kecuali sedikit sekali ”.
20
Ibid, h. 34
22
Keselamatan dari rasa ketakutan dirasakan oleh setiap manusia semata-mata hanya
karena rahmat Allah SWT, kecuali sedikit sekali tidak mengikuti kemauan syetan.
g. Diriwayatkan oleh Ibn Abbâs RA, mengenai surat An-Nisâ‟ / 4 : 153, berbunyi :
berkata : perlihatkanlah Allah kepada ( Mereka Ahli Kitab ) فماا أسـا هللا خـشج
kami dengan nyata ). Lafazh. Taqdîr semestinya, bahwa mereka berkata: (خشج )
diakhirkan. Taqdîr semestinya, bahwa mereka berkata: ) خشج أسـا هللا ( ( dengan
nyata perlihatkanlah Allah kepada kami ). Ibn Abbâs berkata : “
Sesungguhnya mereka, apabila telah melihat Allah SWT, maka telah melihat-Nya
”, Ibn Jarîr berkata : bahwa permintaan mereka agar Allah diperlihatkan kepada
mereka dengan nyata ( jahrah ). Permintaan itu diutarakan, karena landasan mereka
tidak beriman ( kâfir ) dan zhâlim, maka mereka minta diperlihatkannya,
sehingga Allah mengazab mereka dengan disambar petir karena kezhaliman mereka
.( فأخزذ اظاػمح تظ )21 Demikian As-Suyûtî memasukannya ke dalam
bab taqdîm dan ta‟khîr.
h. Firman Allah SWT dalam surat Al-Furqân / 25 : 43, berbunyi : ( أسأ٠د
terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan ha )( اذخز إ ا wa
nafsunya sebagai tuhannya ). Asal kalimatnya: (ا إـ ). Dimajukan lafazh ((إـ sebelum lafazh ( ا) , karena kalimat ( إـ ا) itu tidak tercela bagi
seseorang yang menjadikan tuhannya sebagai keinginannya. Maka dimakjukan
maf‟ul-tsâni (objek) untuk menjaga keserasian makna kalimat.
i. Juga dalam surat Al-A‟lâ / 87: 4-5, berbunyi :
( :-0: 28 /) األػ. أزفدؼ غثاء *از أخشج اشػ
21
Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, ( Tahqîq Ali As-Shâbunî ), ( Kairo : Dar As- Shâbunî, t.th ), jilid
I, h. 454
23
Artinya:
“ Dan menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput tersebut
kering kehitam-kehitaman ”. ( Al-A‟lâ / 87 : 4-5 ) Sebagaimana ditafsirkan kata ( أز) adalah rumput yang hijau. Namun dijadikan
sebagai sifat dari ( اشػـ) yaitu sebagai tempat pengembala yang dikelilingi dengan
rerumputan yang hijau. Maka taqdîr: أخشخ أز ( dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan
yang hijau ). Tujuan diakhirkan lafazh ( أز) untuk menjaga keserasian susunan kalimat.
j. Juga tentang firman Allah dalam surat Fâthir / 35 : 27, yaitu:
ادثاي أ ذش أ هللا أضي اساء اء فأخشخا ت ثشاخ خرفا أاا
( 88: :3 /فاؽش ) غشات١ة سدخذد ت١غ زش خرف أاا
Artinya:
“ Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buah yang beraneka ragam jenisnya. Dan di
antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam
warnanya dan ada ( pula ) yang hitam pekat”. ( Al-Fâthir / 35 : 27 ).
Lafazh ( غشات١ة سد) ( hitam kelam ) asalnya : سدغشات١ة ( hitam kelam atau
hitam pekat ). Dikatakan demikian, karena (اغشت١ة ) adalah jenis warna hitam yang
sangat gelap ( اشـذ٠ذ اسـاد) . Maka lafazh ( غشات١ة) dimajukan. Juga disebutkan tentang
surat Hûd / 11 : 71, berbunyi :
تئسساق ساء إسساق ٠ؼمب ) فؼسىد فثششاااشأذ لائح
( 80:00 /د
Artinya:
24
“ Dan istrinya berdiri ( di sampingnya ) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan
kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak ( lahir pula
) Ya‟kûb”. ( Hûd / 11 : 71 ).
Pada kalimat (فؼسىد فثشـشاا ) asalnya ( فثششااتاتسساق فؼسىد ), dimajukan
lafazh (فؼسىد ) ( lalu dia tersenyum ). Nabi Ibrâhim, memberitakan tentang kelahiran
Ishâk kepada tamu-tamunya, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya ( para
Malaikat ) yang diutus, lalu istrinya tersenyum. Dikatakan, bahwa kata ( ػسىد )
maksudnya (زاػد ) yaitu, bahwa istri Nabi Ibrahim mengalami haid setelah berumur
tua, dengan demikian ia kembali normal, sebagaimana mestinya dialami kaum hawâ‟, yaitu,
haid, hamil kemudian melahirkan, sungguh sangat menggembirakan. Maksud dimajukan (( ػسىد , meskipun yang memberitakan tentang keadaan adalah Nabi Ibrâhim AS terhadap
tamu-tamunya itu, namun sesungguhnya yang lebih mengetahui hal itu terlebih dahulu
adalah istri Nabi Ibrâhim, bahwa ia tersenyum dengan kedatangan haid kemudian
diberitakan kepada suaminya, dan Ibrâhim memberitakannya.22
Dengan demikian
dimajukan kata ( فؼسىد ).
Juga tentang surat Yûsuf / 12 : 24.
تا ال أ سأ تشا ست وزه ظشف ػ اسء د تمذ
( 80:08 /٠سف افسشاء إ ػثادا اخظ١ )
Artinya:
“ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud ( melakukan perbuatan itu dengan
Yusuf dan Yusuf pun bermaksud ( melakukan pula ) dengan wanita itu andaikata
dia tidak melihat tanda ( dari ) Tuhannya. Demikianlah agar kami memalingkan
22
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 324, Ibn Katsîr, Mukhtashar Tafîir Ibn Katsîr ( tahîq : Muhammad Ali As-Shâbûnî
), ( Kairo : Dar As-Shâbûnî, t.th ), Jilid III, cet ke-7, h. 325
25
dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-
hamba kami yang terpilih”. ( QS. Yûsuf / 12 : 24 ).
Dalam ayat tersebut terdapat kata yang dihilangkan, yaitu ( ـ) yang taqdîrnya ( ـد ت) Dimajukan lafazh .( تـا ) : dengan menyalahi kebiasaan yaitu, bahwa
kebanyakan seorang prialah yang ingin melakukan perbuatan itu dengan cara merayu atau
menggoda. Tetapi dalam ayat ini berbeda, karena wanita yang menggoda pria, maka
didahulukan lafazh ( د ت ) sebelum lafazh (تـا ) . Sebagaimana dalam ayat : (
تـا ال أ سأ تش ـا ستـ د ت .( مذ
Demikian penjelasan taqdîm dan ta‟khîr menurut As-Suyûti( w.911 H ) dalam
kitabnya.
Kedua : Kata yang tidak mempunyai banyak arti (ا١س وزه ) , kebalikan dari
maksud yang pertama. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam Syamsuddîn Ibn As-Shâ‟ig
dalam kitabnya (امذح فـ سشاألفاظ امذح ) tentang rahasia lafazh-lafazh yang
didahulukan, beliau berkata: “ bahwa hikmah dimajukan lafazh-lafazh tersebut bertujuan
untuk menarik perhatian ( Ihtimam ). Juga telah dikemukakan oleh Sibawaih, bahwa
tujuannya: “ untuk menerangkan persoalan yang lebih penting, dan penjelasannya lebih
diperlukan. 23
D. Urgensi Taqdîm dan Ta’khîr
Al-Qur‟an adalah kitab suci yang terdapat di dalamnya tujuan mu lia diturunkannya
Al-Qur‟an oleh Sang Pencipta Allah SWT sebagai kitab petunjuk serta hidayah bagi
hamba-Nya yang beriman. Dari sisi lain, terkandung di dalamnya segala macam aspek
23
As-Suyuti, op.cit., h. 34-35
26
kehidupan dengan berbagai maksud dan tujuan. Di antara isi yang terdapat da lam Al-
Qur‟an melalui aspek bahasanya bertujuan untuk menjelaskan kepada manusia dengan
bahasa yang baik, indah dan mudah dipahami.
Berbicara mengenai tujuan, maka taqdîm dan ta‟khîr mempunyai tujuan tertentu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur‟an dan isinya bukanlah ciptaan manusia, bahasa
yang indah dengan susunan kata-kata serta kalimatnya adalah bahasa Sang Pencipta.
Bahasa yang dipergunakannya dengan uslub yang jelas maksudnya atau dengan bahasa
perumpamaan ( majâz ) dan dengan bahasa sindiran ( kinâyah ) yang menyentuh
perasaan.24
Demikian taqdîm dan ta‟khîr sebagaimana diungkapkan oleh para ahli ilmu
bahasa, ahli ilmu tafsir dan ahli ilmu lainnya, untuk mendapatkan tafsiran Al-Qur‟an sesuai
dengan yang dimaksudkan. Di antara tujuan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur‟an, adalah:
Pertama : Bertujuan untuk memfokuskan pembicaraan ke dalam satu masalah ( ذث١
,Contoh menurut Sibawaih terlihat dalam kata ism yang mabni . ( اخاؽة إ اسذز ػ
contoh : (ص٠ذ ػشتر ) ( Si Zaid yang aku pukul ). Dalam contoh di atas, pokok yang
dibicarakan adalah si Zaid, maka harus terdapat dhamîr hâ‟ (اـاء ) yang menyertai
kalimat fi‟ilnya (ػشتر ) , dan dhamîr tersebut bertujuan sebagai penekanan serta
perhatian ( al-Inâyah wal-Ihtimâm ), sebagaimana juga mendahulukan maf‟ûl-bih sebelum
fi‟ilnya. Contoh: ( ص٠ذا ػشتد ) : ( Si Zaid yang aku pukul ). Sebagaimana Sibawaih
menjelaskan, bahwa tujuan lain dari taqdîm, ialah: mendahulukan ism istifhâm sebagai mubtada‟,
contohnya : (ص٠ذ و شج سأ٠ر ) ( berapa kali kamu melihat si Zaid ? )dengan taqdîr ( و شج
؟ ( سأ٠د ص٠ذا ( berapa kali kamu melihat si Zaid ? ). Jadi dengan demikian uslûb di atas akan
24
AL-Khatîb Al-Qazwainî, op.cit., h. 272, 330
27
lebih terfokuskan sebagai penekanan serta perhatian dalam satu masalah, jika si penanya
itu lupa. 25
Kedua : Bertujuan menguatkan hukum serta penekanan makna ( taqwiyah
dan ta‟kîd ). Tentu hal ini terdapat dalam uslûb kinâyah. 26
Karena uslûb-kinâyah itu
dikenal lebih luas pengertiannya dari pada uslub sharih, karena uslûb kinâyah, ialah
kebenaran yang haqiqi ( nyata ) disertakan dengan dalil serta keputusan yang disertai
dengan bukti-bukti. Contoh-contoh dengan uslûb-kinâyah, misalnya mendahulukan misl (ث )
dan ghair (غ١ش ) dari fi‟ilnya. Contohnya dalam kalimat : (ثه ال٠ثخ ) ( selain kamu tidak
ada yang bakhil ). Maksud pembicaraan hanya ditujukan kepada mukhâtbah ( orang kedua )
bukan kepada orang lain, dengan uslûb kinâyah menafikan sifat bakhil kepada selain mukhatab.
Demikian menurut Abdul Qâhir Al-Jurjani ( w. 471 H ). Juga contoh lain dari uslûb kinâyah : (( غ١شن ال٠دـد ( selain kamu tidak ada yang lebih baik ). Menafikan kebaikan kepada semua
orang selain mukhâtabah, yaitu bahwa mukâhtab-lah satu-satunya orang yang terbaik. 27
Ketiga : Berfaedah umumun-nafyi‟ ( meniadakan secara umum ). Dalam hal ini ada
dua pendapat :
A. Menurut Ibn Mâlik ( w. 672 H ) : mendahulukan musnad-ilaih dengan tujuan
meniadakan sebagian saja ( umumun-nafyi ). Menurut beliau wajib dimajukan bila
terdapat tiga syarat:
25
Ahmad Sa‟ad Muhamad, Al-Usûl Al-Balâghiyah Fî Kitab Sibawaih, ( Kairo : Maktabul-Adab, 1419 H /
1999 M ), Cet. ke-1, h. 43 26
Kinâyah adalah lafazh yang dimaksudkan untuk menunjukan makna lazimnya, tetapi dapat dimaksudkan
juga untuk makna asalnya. Di lihat dari bagian yang akan dijelaskan, maka kinayah terbagi kepada tiga bentuk, yaitu
adakalanya berupa sifat, adakalanya berupa maushûf, adakalanya berupa nisbat ( perantara ). Ali Al-Jarîm dan
Musthafa Amîn, Al-Balâghah al Wâdlihah, ( terj ), ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994 ), cet. ke-1, h. 177 27
Al-Khatîb Al-Qazwainî, op.cit., h. 337
28
1. Apabila musnad-ilaih bersamaan dengan adât-umûm (و, خ١غ ) Jika tidak, maka
taqdîm dan ta‟khîr tidak berfungsi. Contohnya: (سذ ٠سؼش ). ( Muhammad
belum datang ). Dalam hal ini dibenarkan mendahulukan lafazh (سـذ ) atau juga
boleh mengakhirkannya, sebagaimana contoh : (٠سؼشسذ ) . Dan apabila
bersamaan dengan adatul-umum, maka lafazh (سذ ) wajib didahulukan.
2. Harus didahulukan musnad-ilaih dengan adat-umûm. Jika dikahirkan, maka
kedudukannya menjadi fâ‟il, dengan demikian, maka tidak berfungsi taqdîm dan
ta‟khîr atau sama saja kedudukan dimajukan atau diakhirkan. Misalnya lafazh (( إسا , seperti dalam kalimat : ( و إسا ٠م أت )( semua bapak belum
bangun ). Berarti tujuan keumuman itu hasil, yaitu menyatakan semua bapak
belum bangun. Dan jika lafazh (إسـا ) diakhirkan, sebagaimana dalam contoh
( إسـا) maka lafazh ( ٠م أت و إـسا ) : tidak berkedudukan sebagai
fa‟il. Dengan tujuan umumnya-nafyi itu berfungsi sebagai taqdim dan ta‟khîr.
Dengan demikian syarat taqdîm itu bukan keharusan ( wâjib ) akan tetapi boleh
( jâiz ). 3. Musnad-ilaih bersamaan dengan harfu-nafyi ( huruf peniadaan ). Jika tidak
terdapat huruf tersebut, maka wajib didahulukan musnad ilaihnya. Contoh dalam
lafazh (اإلـسا ) dalam kalimat (اإلـسا لا ) boleh juga (لا اإلـسا ) .
Dengan adanya adâtun-nafyi, maka wajib didahulukan: ) و إسا لا ( : (
semua orang berdiri ). Dan apabila tidak adanya adâtun-nafyi, berarti berlaku
baik taqdîm atau ta‟khîr.
B. Menurut Abdul Qâhir Al-Jurjâni ( w. 471 H ) : Menurut beliau, bahwa fungsi dari
peniadaan sebagian ( umûmun-nafyi ) bergantung dengan didahulukannya adât-umûm
terhadap harf-nafyi baik secara lafazh atau tertib-kalimat dan tidak sebaliknya.
29
Contohnya, bila lafazh (و ) di-idhâfat-kan kepada musnad ilaih, dan musnadnya
disertai dengan nafyi, contohnya: ( ٠م و إـسا ) : ( seluruh manusia tidak berdiri ).
Jika didahulukan harf-nafyi sebelum adât-umûm, maka berubah fungsinya, menjadi
nafyul-umûm ( menafikan keseluruhan ), meskipun pengecualian hanya salah satunya,
sebagaimana terdapat dalam sya‟ir Abû Tayyib dalam bentuk lafazh :
اسف اش٠اذ تـا ال ذشر ذدش *٠ذسو ا و ا ٠ر اشء
Artinya:
“ Tidaklah setiap perkara yang diharapkan oleh manusia itu bisa tercapai, sebagaimana
angin pun suka bertiup dengan tidak sekehendak tukang perahu ”. ( artinya sebagian
tercapai, sebagian lagi tidak ). Sebagaimana juga terdapat dalam contoh lain : (اخاء ام و ) ( tidak semua
penduduk datang ), maksudnya tidak datang semua. Berbeda dengan maksud yang terdapat
dalam contoh: (ا خاء و ام ) ( tidak datang semua penduduk ), maknanya bukan berarti tidak
ada yang datang, tetapi ada yang datang meskipun tidak semua.
Dengan dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan :
1. Kedua ulama di atas mempunyai kesamaan pendapat, dan apabila didahulukan adâtul-
umûm terhadap adâtun-nafyi, maka bertujuan untuk umûmun-nafyi ( peniadaan secara
umum ). Seperti terdapat dalam contoh: (و إسـا ٠م ) ( semua orang belum
berdiri ) ; atau contoh : ( و ره ٠ى ) ( yang demikian itu belum terjadi ).
2. Kedua ulama mempunyai perbedaan pendapat, jika diakhirkan adâtul- umûm, terhadap
adât-nafyi. Seperti: ) ٠م و إسا ( ( tidak berdiri semua orang ) atau ٠ى و ره () ( belum terjadi semua itu ). Dari perbedaan pendapat di atas menurut Ibn-Mâlik: bila
diakhirkan adâtul-umûm terhadap adâtun-nafyi, seperti : (٠م و إسا ) , maka dapat
30
berarti menafikan berdirinya semua orang (و فشد ) . Tetapi menurut Abdul Qâhir
Al-Jurjâni : hanya menafikan sebagian orang saja
( تؼغ األ فشاد) , tidak menafikan semua orang. 28 *
28
Muhammad Syeikhun, Dirâsat Fî Lughah Al-Arabiyah Wa Adabuha, ( Kairo : Dirâsat Islamiyah wal
Arabiyah, 1417 H / 1996 M ), h. 92-99, Al-Khatîb Al-Qazwaini, op.cit., h. 68-69