taqdÎm dan ta’khÎr dalam pandangan ulama2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak...

30
1 TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, MA Definisi Taqdîm dan Ta’khîr Taqdîm dan Ta‟khîr dua bentuk kata mashdar yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Taqdîm dan Ta‟khîr ( ش١ رأخ ا ٠ رمذ ا) berasal dari wazan fa‟ala ) ّ فؼ( ditambah tasyid pada „ain fi‟ilnya, yaitu: ( ا٠مذ ذّ مذ٠ , ّ لذ). Dengan demikian taqdîm ( ) ٠ رمذ اmenurut bahasa artinya; mendahulukan ( priority ) atau memprioritaskan, mengutamakan atau boleh juga ( presentation ) yang artinya: penyajian. 1 Sedangkan ta‟khîr ش١ رـأخ ا( ) berasal dari kata „Akhara ( شّ أخ) juga dengan penambahan tasydid pada kha‟, menjadi ( شا١ ش, ذـأخّ ؤخ٠ , شّ أخ) yang berarti : penundaan ( delay ), pengunduran atau penangguhan, ( deferment ). 2 Dengan demikian taqdîm secara etimologis adalah lawan dari ta‟khîr, sehingga taqdîm berarti : mendahulukan, dan ta‟khîr berarti : penangguhan atau mengakhirkan. 3 Dalam Al- Qur‟an taqdîm dan ta‟khîr disebutkan sebanyak 43 kali, dengan lafazh taqdîm 1 J. Milton Cowan, Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟âshirah ( Dictionary of Modern Written Arabic ) ( Hans Wehr ), ( Arabic-English ), ( Beirut : Maktabah Lubnân, 1974 ), Cet. ke-3, h. 749 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976 ), Cet. ke-23, h. 445 2 J. Milton Cowan, op,cit., h. 8 John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit., h. 39,170 3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ), h. 12 dan 1098

Upload: others

Post on 27-Dec-2019

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

1

TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA

Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, MA

Definisi Taqdîm dan Ta’khîr

Taqdîm dan Ta‟khîr dua bentuk kata mashdar yang saling berkaitan dan saling

melengkapi. Taqdîm dan Ta‟khîr (ارمذ٠ ارأخ١ش ) berasal dari wazan fa‟ala ) فؼ (

ditambah tasyid pada „ain fi‟ilnya, yaitu: ( لذ , ٠مذ ذمذ٠ا ). Dengan demikian taqdîm (

,menurut bahasa artinya; mendahulukan ( priority ) atau memprioritaskan ارمذ٠ (

mengutamakan atau boleh juga ( presentation ) yang artinya: penyajian. 1

Sedangkan ta‟khîr ارـأخ١ش () berasal dari kata „Akhara ( أخش) juga dengan

penambahan tasydid pada kha‟, menjadi (أخش, ٠ؤخش, ذـأخ١شا ) yang berarti : penundaan (

delay ), pengunduran atau penangguhan, ( deferment ). 2

Dengan demikian taqdîm secara etimologis adalah lawan dari ta‟khîr, sehingga

taqdîm berarti : mendahulukan, dan ta‟khîr berarti : penangguhan atau mengakhirkan. 3

Dalam Al-Qur‟an taqdîm dan ta‟khîr disebutkan sebanyak 43 kali, dengan lafazh taqdîm

1 J. Milton Cowan, Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟âshirah ( Dictionary of Modern Written Arabic )

( Hans Wehr ), ( Arabic-English ), ( Beirut : Maktabah Lubnân, 1974 ), Cet. ke-3, h. 749 John M. Echols dan Hassan

Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976 ), Cet. ke-23, h. 445

2 J. Milton Cowan, op,cit., h. 8 John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit., h. 39,170

3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ),

h. 12 dan 1098

Page 2: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

2

sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli,

fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar.

Dalam bentuk mâdli dengan wazan fa‟ala ( فؼ ) dengan lafazh Qadimnâ sebanyak

1 kali dalam surat Al-Furqân / 25 : 23, dengan bentuk mudlâri dengan lafazh Yaqdumu

sebanyak 1 kali terdapat dalam surat Hûd / 11 : 98. Dan bentuk mâdli dengan wazan

fa‟‟ala (فؼ) ( tasydid pada „ain fi‟il ) dalam bentuk lafazh Qaddama sebanyak 2 kali,

yaitu terdapat dalam surat Shâd / 38 : 61, dan surat Al-Qiyâmah / 75 :13.

Dalam bentuk mâdli yang diikuti dengan dhamîr mu‟anats dengan lafazh (

Qaddamat ) sebanyak 14 kali, dalam surat Al-Baqarah / 2 : 95, Ali Imrân / 3 : 182, An-

Nisâ‟ / 4 ; 62, Al-Mâidah / 5 : 80. Al-Anfâl / 8 : 51 dan Al-Kahfi / 18 : 57, Al-Hajj / 22 :

10, Al-Qashash / 28 : 47, Ar-Rûm / 30 : 36, As-Syu‟ara‟ / 42 : 48, Al-Hasyr / 59 : 18, Al-

Jumu‟ah / 62 : 7, An-Naba‟ / 78 : 40 dan Al-Infithâr / 82 : 5. Dalam bentuk mâdli dengan

dlamîr mukhâthab ( orang kedua ) dengan lafazh ( qaddamtu ) sebanyak 2 kali

terdapat dalam surat Qâf / 50 : 28 dan surat Al-Fajr / 89 : 24, Dan dengan dlamîr

mukhâthab ( orang kedua jamak ), sebanyak 4 kali, dengan lafazh qaddamtum,

qaddamtumûhu, yaitu terdapat dalam surat Yusuf / 12 : 48 dan Shâd / 38 : 60 serta dlamîr

gha‟ib dengan lafazh qaddamu dalam surat Yasin / 36 : 12. Dan dengan lafazh tuqaddimuu

sebanyak 4 kali dalam surat Al-Baqârah / 2 : 110, al-Hujurat / 49 : 1, Al-Mujâdilah / 58 :

13 dan surat Al-Muzzammil / 73 : 20. Dalam bentuk fi‟il mâdli dengan wazan ( ذفؼ ) (

tafa‟‟ala ) dengan lafazh taqaddama sebanyak 1 kali, yaitu dalam surat al-Fath / 48 : 2.

Dalam bentuk mudlâri‟ dengan lafazh, yataqaddamu 1 kali dalam surat al-Muddatsir / 74 :

37, dan dengan fi‟il „amr sebanyak 2 kali dengan lafazh ; qaddimu, terdapat dalam surat

Al-Baqârah / 2 : 223 dan Al-Mujâdilah / 58 : 12.

Page 3: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

3

Dalam bentuk fi‟il mudlâri dengan wazan ) اسرفؼ ( dengan lafazh (

yastaqdimu, tastaqdimu ), sebanyak 4 kali terdapat dalam surat Al-A‟râf / 7 : 34, Yûnus /

10 : 49, An-Nahl / 16 : 61, Saba‟ / 34 : 30.

Sedangkan kata ta‟khîr terdapat dalam surat Al-Qiyâmah / 75 : 13 dengan lafazh

„akhara ( 1 kali ), dalam surat Al-Infithar / 82 : 5 dengan lafazh „akharat ( 1 kali ), dalam

Al-Fath / 48 : 2 dengan lafazh ta‟akhara ( 1 kali ). Dengan lafazh yata‟akhara ( 1 kali )

terdapat dalam surat Al-Mudatsir / 74 : 37. Dan surat Saba‟ / 34 : 30 dengan lafazh

tasta‟khirûn ( 1 kali ), dengan lafazh yasta‟khirûn ( 3 kali ) terdapat dalam surat Al-A‟râf /

7 : 34, dalam surat Yunus / 10: 49, dan terakhir dalam surat An-Nahl / 16 : 61. 4

Sedangkan taqdîm dan ta‟khîr menurut terminologis, sebagaimana dikemukakan

oleh Imam Mâlik ( w. 672 H ) pengarang kitab AlFiyah, juga Ibn Hisyâm ( w. 761 H ), Ibn

„Aqîl ( w. 778 H ) serta Al-Asymunî ( w. 900 H ) yang dikutip oleh Musthafa Al-Ghalâyini

dalam kitabnya, yaitu Jâmi‟ud-Durûs Al-Arabiyah, bahwa taqdîm dan ta‟khîr ialah : 5

األط ف اثرذأ أ ٠رمذ أل سى ػ١ , األط ف اخثش أ ٠رأخش أل

ف١رأخش األخش ختا . سى ت, لذ ٠رمذ أزذا ختا

Artinya :

“ Kedudukan asal mubtada‟ ( subjek ) ialah : di awal kalimat karena ia sebagai

mahkum „alaih ( subjek ), dan tempat kedudukan khabar ( predikat ) di akhir

4 Muhamad Fuad Abdul Bâqi‟, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Al-Fazh Al-Qur‟an Al-Karim, ( Kairo : Dar-Al-

Hadîts, 1411 H / 1991 M ), cet, ke-3, h. 684

5 Syeikh Mustafa Al-Ghalâyini, Jaami‟ud Durus Al-Arabiyah, ( Beirut: Mansyurat al-Maktabah Al-

Ashriyah, 1411 H / 1991 M ), Juz ke-2, h. 266, Ahmad Al-Hâsyimi, Al-Qawâ‟id Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), h. 128

Page 4: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

4

setelah mubtada‟, karena ia sebagai mahklum bih ( predikat ), dan terkandang

harus ( wajib) didahulukan salah satunya, atau di akhirkan yang lain”.

Sementara Imam Az-Zarkasyî ( w. 794 H ) dalam kitabnya Al-Burhân, mengatakan

bahwa taqdîm dan ta‟khîr ialah : 6

أزذ أسا١ة اثالغح , فئ أذا ت دالح ػ ذى ف افظازح ىر ف اىال

ام١اد , ف امب أزس لغ , أػزب زاق.

Artinya :

“ Dia adalah salah satu ushlûb ( gaya bahasa ) balaghah, karena itu para ulama-

Balâghah menggunakannya untuk menunjukan kemampuan mereka dalam fashâhah,

dan kemahiran mereka dalam percakapan serta menjadi bagian yang patuh kepada

mereka. Dan dia mempunyai tempat yang indah di hati serta perasaan yang

menyenangkan”.

Tetapi ada sebagian ulama dalam hal ini menyebutnya salah satu bentuk Majâz.7

Dan sebagian yang lain menyatakan bukan majâz akan tetapi salah satu bagian dari

uslûb-balâghah, sebagaimana diungkap oleh Az-Zarkasyî dengan definisi lain, yaitu : 8

ذمذ٠ ا سذثر ارأخ١ش, وافؼي, ذأخ١ش ا سذثر ارمذ٠ , وافاػ, م و

ازذ ا ػ سذثر زم .

Artinya :

6 Az-Zarkasyî, Al-Burhân Fî Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut: Dar Al-Fikr, t.th ), Jilid III,

cet. ke-1, h. 273 7 Majâz sebagaimana diungkapkan oleh Syarif al-Jurjâni ( w. 816 H ) yaitu : Suatu nama yang dimaksudkan

bukan nama sesungguhnya tetapi nama yang sesuai dengan kemiripan kepada dua lafazh tersebut. Contoh kata

اشداع اشخ ) dipergunakan untuk mengungkapkan tentang seseorang yang gagah berani ( األسذ) ), Muhamad

Syarîf Al-Jurjâni ( 740 H-816 H ), Kitab At-Ta‟rifât ( tahqiq ) Dr. Abdul Mun‟im al-Khifni, ( Kairo : Dar Ar-

Rasyâd, 1991 M ), h. 229, al-Khatîb al-Qazwaini, Al-Idhah fii Ulumil Balâghah al-Ma‟ani wa al-Bayan wa al-

Badi‟, ( Beirut : Da al-Kutub al-Ilmiyah t.th ), h. 272 as-Suyûti, Al-Itqân Fî Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut : Dar-Fikr,

1416 H / 1996 M ), cet. ke-1, h. 97 8 Az-Zarkasyî, loc.cit

Page 5: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

5

“ Taqdîm ialah mendahulukan yang posisinya di akhir kalimat, seperti : maf‟ûl ( obyek ), dan ta‟khîr ialah mengakhirkan yang posisinya di awal kalimat, seperti :

fâil ( subyek ), dan dipindahkan salah satu dari keduanya, sesuai dengan posisi dan

kedudukannya ”.

Kriteria Taqdîm dan Takhîr

Sebagaimana diungkapkan dalam definisi di atas, kedudukan mubtada‟ adalah di

awal kalimat, karena ia sebagai mahkûm „alaih ( subyek ). Karena itu, mubtada‟

mempunyai posisi di muka dan terletak lebih dahulu dari khabar. Dengan demikian,

mubtada‟ harus ( wajib ) didahulukan dalam suatu kalimat pada empat situasi ( kriteria ),

yaitu:

Pertama: Apabila mubtada‟ ( subek ) terdiri dari lafazh-lafazh yang harus berada di

awal kalimat ( إرا وا اثرذأ األفاظ ار ا اظذاسج) , seperti :

a. Harful-istifhâm ( زشف اإلسرفا ) 9 yaitu lafazh yang digunakan untuk bertanya

kepada seseorang. Seperti : ف اث١د ؟ ( siapa di dalam rumah ? ). Maka lafazh ( ) sebagai mubtada‟ wajib didahulukan.

b. Untuk menyatakan keheranan dengan Mâ at-Ta‟ajjubiyah ) اارؼدث١ح ( misalnya:

harus ( ا ) Dan huruf .( ? alangkah indahnya sastra ) ا أزس األدب ؟

didahulukan.

c. Sebagai syarath ( syarat ), seperti: ٠طة ٠دذ ( dan siapa yang berusaha akan

memperoleh ). Kata man ( ) adalah ism-syarath, maka harus didahulukan.

d. Atau juga, lafazh ) و ( kam-khabariyah, misalnya : ( و ػث١ذ ؟ ) ( betapa

banyaknya hamba sahayaku? ), maka kata kam ( و) harus didahulukan. Juga ism

maushûl ( kata sambung ) yang dihubungkan dengan fâ‟ ( فـاء) , sebagaimana

9 Ism Istifhâm ialah kata yang dipergunakan untuk bertanya, yaitu : ( ,ارا, ر, أ٠ا, أ٠, و١ف

, أ, , را, اأ, و ), Musthafa al-Ghalâyinî, op.cit., h. 139

Page 6: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

6

contoh: از ٠در أي ارال١ز ف خائضج ( murid yang lulus sebagai rangking pertama

akan mendapat hadiah ). Maka kata sambung ( از ) harus didahulukan.

Kedua : Apabila mubtada‟ ( subjek ) terbatas pada khabar ( إرا وا اثرذأ مظسا

.dalam hal ini mubtada‟ didahului dengan adâtul-Qashar ( alat qahsar ) ( ػ اخــثش10

Contohnya : إا اسذ٠ذ طة ( sesungguhnya besi itu hanyalah keras ). Dan mubtada‟

dibatasi sifanya dengan harf-qashar ( إا ) . Maka mubtada‟ itu harus didahulukan.

Ketiga: Apabila khabar ( predikat ) dalam bentuk Jumlah fi‟liyah ( kalimat

verbal ) yang pelakunya adalah dlamîr ditujukan kepada mubtada‟-nya, ( إرا وا خثشاثرذأ

خح فؼ١ح فاػا ػ١شسررش ٠ؼد ػ اثرذأ ), contoh : ( اإلزسا ٠سرشق اإلسا ) (

perbuatan baik mendatangkan simpati manusia ). Juga contoh lain : ( اسك ٠ؼ )( kebenaran

itu tinggi kedudukannya ). Maka mubtada‟ yang terdapat dalam kata ( اإلزسا ,اسك )

wajib didahulukan.

Keempat : Apabila mubtada‟ dan khabar dalam bentuk ma‟rifat ( dikenal )

atau keduanya nakirat ( tidak dikenal ) yang sejenis baik dalam keadaan nakirat atau

ma‟rifat dan tidak terdapat perantara ( qarinah ) antara keduanya yang menjelaskan

kedudukannya. ( إرا وا اثرذأ اخثشؼشفر١ أ ىشذ١ رسا٠ر١ ف ارخظض ارؼش٠ف ال

) Bahwa lafazh .( bukuku adalah temanku )( ورات سف١م ) : Seperti .( لش٠ح ذث١ اشاد (ورات sebagai mubtada‟ dan lafazh ( سف١م) sebagai khabar keduanya sejenis dan dikenal

( ma‟rifat ), dan di antara keduanya tidak terdapat kata bantu sebagai penjelas kedudukan

satu dari yang lainnya, karena ia telah dikenal ( ma‟rifat ). Contoh lain : ( اظادل

10 Al-Qashr, menurut bahasa artinya al-Habs ( pembatasan, pengkhususan ), menurut istilah yaitu

mengkhususkan atau membatasi sesuatu dengan sesuatu, maka bagian yang pertama disebut maqshur ( yang

mengkhususkan ) sedangkan yang kedua disebut maqshur „alaih ( yang dikhususkan ), contoh : mengkhususkan

mubtada‟ terhadap khabar ( إا ص٠ذ لائ ), maka ( ص٠ذ ), sebagai maqshur, dan ( لائ ) sebagai

maqshur „alaih, dan macam-macam adatul-qashr, yaitu ( ال, ت, ى, إا, إال ), As-Syarif Al-Jurjani, op.cit., h.

200, Al-Khatib Al-Chazwaini, op.cit., h. 122-124

Page 7: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

7

Dalam contoh ini, di .( orang-orang yang jujur itulah yang akan beruntung )( افس

mana mubtada‟ dan khabar berbentuk ma‟rifat, namun dipisahkan dengan dlamîr-fâshil

sebagai pemisah yang menjelaskan status antara keduanya dan jika tidak terdapat dlamir

pemisah ( fâshil ) tersebut, maka akan ada prasangka ( zhan ) bahwa kata ( افس)

adalah sifat dari kata (اظادل ) . Juga contoh : أخن اؼا ( saudaramu-lah yang pandai ) dan sebagainya. Contoh lain, dari mubtada‟ dan khabar dengan status nakirat ( umum )

sama dan sejenis, seperti : سا أوثشه ذدشتح أوثشه ( orang yang lebih besar dari kamu

itu, lebih berpengalaman dari kamu ). Bahwa dari contoh di atas terdapat mubtada‟ dan

khabar yang berbentuk ism-tafdlîl, yaitu (أوثش ), dan (أوثش ), keduanya berstatus nakirat

yang sama dan sejenis. Melihat dari beberapa contoh di atas, bahwa lafazh-lafazh ( ورات )

dan ( اظادل ) dan juga ism tafdhîl ( أوثش ) adalah mubtada‟. Maka dengan demikian

mubtada‟ wajib didahulukan.11

Sebagaimana posisi mubtada‟ terletak di awal kalimat dan khabar berada sesudah

mubtada‟. Dalam situasi dan kondisi yang berbeda, bahwa khabar juga bisa berada di awal

kalimat bahkan harus di muka dan mubtada‟ diakhirkan.

Khabar harus didahulukan dan berada di posisi awal kalimat, terdapat pada empat

situasi ( kriteria ) juga, yaitu:

Pertama: Apabila khabar ( predikat ) terdiri dari lafazh-lafazh yang harus berada di

awal kalimat ( إرا وا اخثش األفاظ ار ا اظذاسج األساء اإلسرفا ). Seperti : ism-

istifhâm : yaitu lafazh-lafazh yang digunakan untuk pertanyaan yang menunjukan tentang

waktu dan tempat serta keadaan, contoh kata menunjukan tentang waktu : seperti:

سا؟رىاإلر ( kapan waktu ujian ? ). Menunjukan suatu tempat أ٠ـ ورـاته ؟ ( dimana kitab

11

Ahmad Al-Hâsyimi, op.cit., h. 129

Page 8: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

8

kamu ? ), tentang keadaan, seperti : ؟ -Atau khabar di .( ?bagaimana keadaanmu ) و١ف زـاه

idhaf-kan ( mudhâf ) kepada ism-istifhâm, contoh : ( إت أد ؟ ) ( anak siapa kamu ? ), atau

Dari beberapa .( ? Pada pagi hari apa kamu berangkat berpergian ) ( طث١سح أ ٠ سفشن ؟ )

contoh di atas terdapat lafadz-lafazh ( أ٠ , ر, و١ف ) dan ( إت )( طث١سح ) adalah

bentuk pertanyaan yang menunjukan tempat, waktu serta keadaan. Dan lafazh-lafazh

tersebut adalah khabar dan wajib didahulukan.

Kedua : Apabila khabar ( predikat ) terbatas pada mubtada‟ ( subyek ) ;

( إرا وا اخثشمظساػىاثرذأ) . Sedangkan khabar didahului dengan adât-Qasr ( alat

Qashar ), contohnya: ) ا ػادي إال ست (; ( Yang Maha Adil hanyalah Tuhanku ). Atau

contoh lain : ) ا خاك إال هللا ( ( Tiada Pencipta kecuali hanyalah Allah SWT ), atau contoh

Dan khabar tersebut .( yang terpuji hanyalah orang yang rajin ) ) إا سد ٠درـذ ( :

dibatasi sifatnya dengan adât-qashar ) ا (. Dan di antara khabar dan mubtada‟ dipisahkan

dengan huruf-istisnâ‟ ) إال (, maka lafazh-lafazh ) خاك ( ,) ػادي (, serta lafazh ) سد (

adalah sebagai khabar, karena itu ia wajib didahulukan.

Ketiga : Apabila mubtada‟ salah satu bentuk nakirat yang tidak terikat, sedangkan

khabar adalah dalam bentuk jar-majrûr atau zharaf. ( إرا وا اثرذأ ىشج غ١ش م١ذج خثشا

di dalam rumah ada seorang ) ( ف اذاس سخ ) :contohnya ( ػا تظشف أ خاس دشس

laki-laki ) atau contoh : ( ػذن أدب )( kamu mempunyai sastra ) atau seperti : ( ماد دشح

)( yang datang itu menakjubkan ). Dalam ayat Al-Qur‟an surat Qâf / 50 : 35 ( ذ٠ا ض٠ذ ),

QS. Al-Baqarah / 2 : 7, ( ػ أتظاس غشاج ). Dan lafazh-lafazh di atas, seperti ( ف اذاس

adalah khabar jar-majrûr ( huruf jar ) atau zharaf-mazhrûf ( ماد ) serta ( ػذن ) ,(

yang didahulukan. Sedangkan lafazh-lafazh ( سخ )( دشح ), ( أدب ) adalah mubtada‟

dengan bentuk nakirat yang apabila lafazh-lafazh tersebut didahulukan akan menimbulkan

Page 9: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

9

prasangka bahwa jar-majrûr atau zharaf-mazrûf adalah sebagai sifat. Contoh dalam ayat di

atas ; ( ض٠ذ ذ٠ا ), yaitu bentuk nakirat dalam kata ( ض٠ذ ) dan ( ذ٠ا ) adalah sifat dari

kata ( ض٠ذ ). Dan setelah zharaf ( ذ٠ا ) didahulukan, maka zharf itu menjadi khabar dan

bukan sifat. Demikian juga lafazh-lafazh ( ف اذاس ) dan ( ماد ) adalah bukan sifat tetapi

khabar, maka wajib didahulukan.

Keempat : Apabila dhamîr ( kata ganti ) yang terdapat dalam mubtada‟ kembali

kepada khabar. ( إرا ػاد تؼغ اخثش ػ١ش ف اثرذأ ). Seperti : ( ؼا خضاء ػ )(

setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya ). Contoh lain : ( ف اذاس

di ) ( ف اذسسح ذال١زا ) : juga ontoh ,( di dalam rumah ada penghuninya ) ( طازثا

sekolah terdapat murid-muridnya ), sebagaimana Al-Qur‟an surat Muhamad / 47 : 24 ( أ

ف ) ,( ؼا ) Lafazh-lafazh .( ataukah di hati mereka ada kuncinya )( ػ لب ألفاا

,adalah sebagai khabar dan khabar harus didahulukan ,( ػ لب ) ,( ف اذسسح ) ,( اذاس

dan jika tidak didahulukan, akan menyebabkan kembalinya dlamir kepada kata yang di

akhir. Hal ini tidak dibenarkan menurut sebagian ulama, seperti : ( أوش أت خاذا ) (

bapaknya menghormati Si Khâlid ). Oleh karena itu, maka khabar wajib didahulukan. 12

Dan jika tidak terdapat dalam kalimat hal-hal yang menyebabkan wajib didahulukan atau

diakhirkan, maka majunya khabar di awal kalimat dibenarkan, seperti : ( زاػش اذ )(

ayahku hadir ). 13

Demikian contoh-contoh situasi mubtada‟ atau khabar yang harus

didahulukan atau diakhirkan.

12

Kembalinya dhamîr secara lafazh dan ratb ( urutan ) dalam suatu kalimat tidak dibenarkan, seperti ; (

Dan juga maf‟ûl itu .( خاذ ) kembali kepada maf‟ûl bih ( أت ) karena dhaîir ha‟ dalam kata ( أوش أت خاذا

diakhirkan secara urutan dari fâ‟ilnya. Dan juga secara lafazh diakhirkan, akan tetapi bila diakhirkan secara lafazh

dan juga secara urutan dibenarkan juga, seperti : ( أوش خاذا أت ). Ibid., h. 125

13

Ibid., h. 30, Musthafa Al-Ghalâyini, op.cit., h. 267-268

Page 10: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

10

C. Pandangan Ulama Tentang Taqdîm dan Ta’khîr.

Persoalan taqdîm dan ta‟khîr adalah persoalan susunan kalimat. Setiap kalimat tentu

tersusun dari beberapa bagian penting, yaitu mubtada‟ ( subjek ) dan khabar ( predikat )

serta maf‟ûl bih ( objek ) atau fi‟il dan fâ‟ilnya. Dan setiap kalimat terucap tentu atas

kehendak pembicara dalam suatu perkataan. Karena itu, kita mengetahui bahwa setiap kata

yang akan diucapkan seseorang tidak mungkin diucapkan sekaligus, akan tetapi pasti

terdapat bagian-bagian yang didahulukan ( taqdîm ) atau diakhirkan ( ta‟khîr ). Dan tidak

ada suatu kata pun yang lebih utama dalam kalimat untuk didahulukan atau diakhirkan dari

lainnya, karena setiap kata itu berkedudukan sama penting dan diperlukan. Melihat kondisi

suatu kalimat demikian, penulis setuju tentang adanya beberapa faktor yang menyebabkan

didahulukan atau diakhirkan kata-kata dalam suatu kalimat dalam setiap pembicaraan atau

percakapan. Sehingga dengan demikian, sebagaimana diungkap dalam kitab Qawa‟id al-

Lughah al-Arabiyah yang diterjemahkan oleh Dr. Chatîbul Umam dalam sebuah buku yang

berjudul “ Kaidah Tata Bahasa Arab “ bahwa didahulukannya suatu kata atau kalimat

didorong oleh faktor-faktor tertentu, di antaranya yaitu :

a. Membuat ingin tahu kepada yang diakhirkan. Jika yang didahulukan itu menunjukan

keasingan. Seperti ; sesuatu yang dapat menimbulkan keheranan manusia adalah

sesuatu yang dijadikan dari benda-benda mati ( از زاسخ اثش٠ح ف١ ز١ا سرسذز

.( خادb. Mendahulukan yang menggembirakan atau yang buruk. Seperti ; pengampunanmu

telah keluar perintahnya atau melakukan qishas telah divonis hakim ( اؼف ػه طذس

.( ت األش أ امظاص زى ت اماػ

Page 11: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

11

c. Yang didahulukan itu menjadi sebab dan tujuan pengingkaran dan keheranan.

Misalnya ; “ Apakah setelah pengalaman yang begitu lama anda masih tertipu oleh

keindahan-keindahan itu ? ( أتؼذ ؽي اردشتح ذخذع تز اضخاسف ؟ ). d. Menyatakan keumuman atau kekhususan. Pertama : mendahulukan kata keumuman

dengan menggunakan adâtul-umûm ( menunjukan keumuman ), seperti : kata-kata ;

semua dan adâtul-nafyi ( pengecualian atau peniadaan ), seperti ;

kata tidak, contohnya ; semua itu tidak ada, atau tidak terjadi, baik ini, ataupun itu.

Kedua : mendahulukan kata-kata ; tidak terhadap kata umum, contohnya : tidak

terjadi semua itu. ( artinya : tidak semua terjadi, maka mengandung pengertian

terjadi sebagian atau tidak sama sekali ).

e. Mengkhususkan , contohnya : Bukan saya yang mengatakan. Atau hanya engakau

yang kami sembah dan hanya engkau yang kami mohon pertolongan ( إ٠ان ؼثذ

.( Qs. / 1 : 5 ) ( إ٠ان سرؼ١

Demikian yang diungkap dalam kitab tersebut, bahwa tidak disebutkan faktor-faktor

khusus baik taqdim atau ta‟khîr, karena apabila salah satu unsur kalimat didahulukan,

berarti yang lain diakhirkan, karena kedudukan satu kalimat dengan kalimat lainnya saling

berkaitan dan diperlukan. 14

Masih dalam persoalan taqdîm dan ta‟khîr Imam az-Zarkasyî ( w. 794 H

), dalam kitabnya mengungkapkan beberapa sebab dimajukan atau diakhirkan lafazh-lafazh

itu dalam suatu kalimat dan alasannya, yaitu :

Pertama : Asalnya di awal kalimat ( أ ٠ى أط ارمذ٠ ). Didahulukan ( ارمذ٠ ),

karena tidak terdapat hal yang menghalanginya dimajukan atau sebaliknya. Seperti

14

Hifni Bek Dayyab, ( ed. ), Qawâid Al-Lughah Al-Arabiyah ( Kaidah Tata Bahasa Arab Nahwu, Sharaf,

Balâghah, Bayân, Ma‟âni, Badî‟ ), diterjemahkan oleh Dr. Chatibul Umam, et.al, ( Jakarta : Darul- Ulum Press, t.tt

), cet. Ke-3, h. 448 -451

Page 12: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

12

didahulukannya fâ‟il ( subjek ) dari maf‟ûlnya ( objek ). Juga mendahulukan mubtada‟ dari

khabarnya, atau shâhibul-hal dari hâl-nya. Contoh : ( Zaid datang ) ( ساوثا ص٠ذ خاء

berkendaraan ).

Kedua : Diakhirkan ( ارأخ١ش ) untuk menjelaskan kerancuan makna ( أ ٠ى ف

Maka didahulukan khabarnya. Seperti terdapat dalam firman .( ارأخ١ش إخالي تث١ا اؼ

Allah SWT dalam surat Ghâfir / 24 : 28.

) لاي سخ ؤ ءاي فشػ ٠ىر إ٠ا أذمر سخال أ ٠مي ست هللا

( 82: 04/غافش

Artinya :

“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aûn yang

menyembunyikan imannya berkata : " Apakah kamu akan membunuh seorang laki-

laki karena dia menyatakan : " Tuhanku ialah Allah “ ( Ghâfir / 40 : 28 )

Dilihat dari ayat di atas, bahwa kalimat (لاي سخ ؤ ءاي فشػ ٠ىر إ٠ا ).

Dan bila diakhirkan lafazh ( فشػ ءاي ) dalam ayat di atas, setelah kalimat ( ٠ىر

maka tidak difahami kalau sebenarnya orang yang menyembunyikan imannya itu ,( إ٠ا

adalah di antara pengikut Fir‟aûn. Maka didahulukan lafazh ( فشػ ءاي ). Dan menurut

As-Sakkaki ( w. 627 H ), salah seorang ulama Balâghah, bahwa sebab diakhirkan adalah

karena larangan, yaitu rancu ( khalâl ) maknanya. Seperti terdapat dalam surat Al-

Mu‟minûn / 23 : 33, yang berbunyi :

از٠ وفشا وزتا تماء ا٢خشج أذشفا ف اس١اج للاي األ

.( 83: 33/ اؤ اذ١ا )

Page 13: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

13

Artinya:

“ Dan berkata pemuka-pemuka orang kafir di antara kaumnya dan yang

mendustakan akan menemui hari akhirat ( kelak ) dan yang telah kami mewahkan

mereka dalam kehidupan di dunia ”. (Al-Mu‟minûn / 23 : 33).

Dalam ayat di atas, didahulukan hâl terhadap wasf ( sifat ), yaitu kalimat ( ـ

(لـ terhadap kalimat ( از٠ـ وفـشا) . Jika diakhirkan, kalimat ( لـ ) dengan

taqdîr; ( لاي األ از٠ وفشا وزتا تماء األخشج ل أذشفا ف اس١اج اذ١ا ), maka

akan timbul pemahaman, bahwa kalimat ( ل ) yang kedudukannya sebabai hâl, akan

ada prasangka bahwa ia sifat dari ( ماء األخشج) yang artinya, “ Dan berkata pemuka-

pemuka yang kafir dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat ( kelak ) diantar

kaumnya dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia). Dan persoalan

di atas, di antara dua perkataan akan menjadi samar ( rancu ), apakah maksud dari lafazh (( ل adalah dalam kalimat ( اذ٠ وفشا) ( orang-orang yang Kafir ) atau tidak

termasuk ?, yaitu, masuk ke dalam ( س١اج اذ١ا أذشفا ف ا )( orang-orang yang

telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia ). Karena itu dimajukan untuk

menghindari kerancuan maknanya. Demikian alasan as-Sakkaki ( w. 627 H ), bahwa ta‟khîr

dalam hal ini dilarang. Maka kesimpulan beliau, bahwa orang-orang yang kafir, yang

mendustakan hari akhirat dan orang yang Allah berikan kemewahan dalam kehidupan di

dunia adalah perkataan dari pemuka-pemuka orang kafir.

Dengan dimajukan kalimat ( ل ) , maka terjawab maksunya, yaitu hilang

kerancuan maknanya. Sebagaimana Allah SWT juga menjelaskan dalam ayat lain dan

diakhirkan sebagai hal jarr-majrûr ( ل ) dari sifat yang marfû‟ ( dirafa‟ ) yaitu (ا (از٠ وفش , dan selamat dari kerancuan makna kalimatnya. Sebagaimana terdapat dalam

surat Al-Mu‟minûn / 23 ayat : 24.

Page 14: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

14

83: 80 / ا زا إال تششثى ) اؤ لفماي األ از٠ وفشا

)

Artinya:

Maka pemuka-pemuka orang kafir di antara kaumnya, menjawab : “ Orang ini

tidak lain kecuali hanyalah manusia seperti kamu ”. ( Al-Mu‟minûn / 23 :

24 ).

Lafazh ( ل ) diakhirkan setelah kalimat ( از٠ وفشا ), karena itu kalimat

selamat dari hal-hal yang menyebabkan rancu ( khalâl ) pada arti dan susunan kalimatnya.

Ketiga : Didahulukan karena, jika diakhirkan akan menyebabkan ketidakserasian

susunan kalimat. ( أ ٠ى ف ارأخ١شإخالي تاراسة) . Dengan dimajukan terdapat

kesamaan syakl ( harakat ) serta keserasian kata terakhir ( ri‟âyatul fashilah ).

Sebagaimana terdapat dalam QS. Fushilat / 41 : 37, berbunyi : ( از خم إ اسدذا هلل

( ور إ٠ا ذؼثذ . Dimajukan kata (إ٠ا ) sebelum kata (ذؼثذ ) untuk menjaga keserasian

kata terakhir ( fâshilah ). Sebagaimana firman Allah SWT juga dalam surat Thâha / 20 : 67, berbunyi : (فأخس ف فس خ١فح س ) ( Maka Musa merasa takut dalam hatinya ).

Sesungguhnya jika diakhirkan lafazh (فـ مس ) setelah lafazh (س ), maka hilang

keserasian fâshilah-nya. Demikian karena keserasian fâshilah dilihat dari ayat sebelumnya

berbunyi (٠خ١ إ١ سسش أـا ذسؼ ) ; ( terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap

lantaran sihir mereka ) dan ayat setelahnya berbunyi (إه أد األػ ) : ( kamulah yang

paling unggul ). Dan keserasian itu akan terlihat indah di akhir setiap kalimat. Keempat : Untuk mengagungkan dan perhatian (الرا ت ؼظ ا) . Kebiasaan

bangsa Arab, jika mengabarkan sesuatu yang berhubungan dengan hukum setelah

dikaitkan, dengan menghubungkan ( athaf ) satu kata dengan kata yang lainnya, yaitu

dengan menggunakan huruf wâwu. Dengan ini bangsa Arab mendahulukan kata yang lebih

Page 15: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

15

penting untuk dijelaskan dari yang penting. Menurut Sibawaih, dimajukan suatu kalimat

atau diakhirkan melihat adanya kepentingan, yaitu penjelasan maksud dan tujuan yang

lebih penting meskipun semua itu penting. 15

Menurut Abû Hayyân ( w. 745 H ) apa yang

dimaksudkan Az-Zamakhsyari dan juga yang lain, bahwa dimajukan ma‟mûl 16

( huruf

zharf atau huruf jar ) bertujuan untuk tujuan ikhtishash ( kekuasaan ).

Demikian menurut Abu Hayyân, sebagaimana diungkap oleh Zamakhsyari ( w. 538

H ) juga ulama lainnya, karena itu adalah kebanyakan bukan keharusan.

Dalam hal ini terdapat bukti-bukti dari beberapa ayat Al-Qur‟an, yang bertujuan

untuk kekhususan, diantaranya, di dahulukan zharaf, sebagaimana dalam surat Al-An‟âm / 6 : 84, berbunyi:

: 6 / اإلؼا لث ) وال ذ٠ا زا ذ٠اؼمب ثا إسساق ٠

20 )

Artinya:

“ Dan kami telah menganugerahkan Ishâq dan Ya‟kûb kepadabnya. Kepada

keduanya masing-masing telah kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu

juga telah kami beri petunjuk “. ( Al-An‟âm / 6 : 84 ).

Juga dalam surat Ibrâhim / 14 ayat 10, berbunyi :

(04:00 / فاؽش اسااخ األسع ) إتشا١ أف هللا شهلاد سس

Artinya:

15

Az-Zarkasyi, op.cit., h. 274-275

16

Ma‟mûl ialah : suatu dari isim atau fi‟il yang berubah harakat akhirnya dengan dhummah ( marfû‟ ), atau

fathah ( manshûb ), atau sukun ( majzûm ), atau majrûr sesuai dengan âmil ( faktor ) yang mengubahnya. Seperti ;

mubtada‟ menjadi „âmil, karena menjadikan marfû‟ khabar-nya, juga menjadi ma‟mûl, ( tidak merubah ), karena

tidak ada amil yang mengubahnya sehingga menjadi marfû‟, sebagaimana juga mudhâf menjadi ma‟mûl karena

merafa‟ atau menasab atau memajrurkan mudhâf-ilaihnya, Mushthafah al-Ghalâyini, op.cit., h. 274-275

Page 16: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

16

Berkata rasul-rasul mereka : “ Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah,

Pencipta langit dan bumi ? ” ( QS. Ibrâhim / 14 : 10 )

Dua ayat di atas, dalam surat Al-An‟âm : 84 ( وال ذ٠ا زا ذ٠ا لث ) dan

juga dalam surat Ibrâhim : 10 ( أفـ هللا شـه ). Kedua ayat di atas didahulukan dengan

ma‟mûl yaitu zharf dan ( وـال) dan jar ( فـ) . Dari ayat di atas menurut Abu Hayyân ( w.

745 H ), tentang perkataan Zamakhsyari ( w. 538 H ), bahwa tujuan didahulukan ma‟mûl

tersebut untuk tujuan ikhtishâs ( kekhususan ).

Pendapat di atas dijawab oleh pengarang kitab “al-Falâq ad-Dâ‟ir, oleh Ibn Hâjib ( w. 225 H ) dan juga Abu Hayyân ( w. 745 H ), khususnya tentang kaidah yang terdapat

pada ayat pertama ( Al-An‟âm / 6 : 84 ). Mereka juga berbeda dalam menjelaskan, bahwa

yang dimaksudkan Ibn Hâjib dan Abu Hayyân didahulukan ma‟mûl pada fi‟il itu bertujuan

untuk kekhususan bukan keharusan. Maka alasan di atas dilandasi dengan dua syarat : Pertama : Bahwa ma‟mûl yang didahulukan itu bukan karena kedudukan asalnya,

seperti ; asma-istifhâm ( kata-kata untuk bertanya ), yang diletakkan di awal kalimat atau

seperti ; mubtada‟ yang menjadi ma‟mûl terhadap khabarnya, sehingga menjadi marfû‟

karena tidak ada âmil yang menjadikan manshûb atau majrûr, seperti ; ism kâna dan

kawan-kawannya, atau khabar inna serta kawan-kawannya. Dengan demikian tidak

dinamakan taqdim yang sebenarnya ( ghairu haqîqî ). Contohnya : seperti mubtada‟ yang

menjadi ma‟mûl terhadap khabarnya. ( فـ اث١د ؟ ) ( siapa di dalam rumah? ), atau (

؟ أ ش١ئ ػذن )( apa yang kamu miliki ? ).

Kedua : Bahwa taqdîm tidak bertujuan untuk urutan susunan kalimat saja ( tarkîb ).

Contoh dalam surat Fushilat / 41 : 17 (أا ثد فذ٠ا ) ( adapun kaum Tsamûd

kami beri petunjuk ), dalam lafazh (ثـد ) dibaca nasb ( fatha ) tidak dibaca rafa‟ ( dhummah ). Dan seharusnya dibaca marfû‟, karena taqdîm tersebut tidak bertujuan untuk

urutan susunan kalimat.

Page 17: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

17

Dalam hal ini sebagian besar ulama bersepakat, bahwa tujuan taqdîm di atas adalah

untuk mengkhususkan, tetapi tidak termasuk dalam ayat yang satu ini, yaitu dalam surat

Al-An‟âm / 6 : 40-41 :

إ ور أغ١ش هللا ذذػاب هللا أ أذرى اساػح ل أسأ٠رى إ أذاو ػز

طادل١ ت إ٠ا ذذػ ف١ىشف ا ذذػ إ١ إ شاء ذس ا ذششو )

( 00 -04: 6 /األؼا

Artinya:

Katakanlah : “ Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau

datang kepadamu hari kiamat, apakah kami menyeru ( Tuhan ) selain Allah, jika

kamu orang-orang yang benar!,( Tidak ), Tetapi hanya dialah yang kami seru, maka

Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdo‟a kepadaNya, Jika Dia

menghedaki dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kami sekutukan (

dengan Allah ) ”. ( Al-An‟âm / 6 : 40-41 ).

Dalam ayat pertama di atas, dalam kalimat ( طادل١ أغ١ش هللا ذذػ إ ور )(

apakah kamu menyeru kepada Tuhan selain Allah ? ), taqdîm yang dimaksudkan ayat di

atas, tidak bertujuan untuk kekhususan ( ikhtishâsh ), akan tetapi karena keharusan ( wâjib

qath‟an ). Ini disebabkan karena ayat tersebut berbicara tentang persoalan „Aqîdah (

keimanan ) yang tidak dibenarkan beriman kepada tuhan selain yang dimaksudkan dalam

ayat yaitu Allah SWT. tetapi dalam ayat kedua ( ت إ٠ا ذذػ ف١ىشف ا ذذػ إ١) ,

bertujuan untuk kekhususan. Yaitu khusus kepada Dia yang menghilangkan bahaya,

disebabkan karena perbuatan baik yang dilakukan manusia dengan berdo‟a kepada-Nya,

Dialah Allah SWT.17

Page 18: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

18

Dan juga As-Suyûti ( w. 911 H ) berpendapat lain tentang taqdîm dan ta‟khîr.

Dalam hal ini beliau membagi dua bagian penting dalam taqdîm dan ta‟khîr, yaitu :

Pertama : Sesuatu yang tidak jelas maknanya secara zhâhir ( nyata ), dan setelah

diketahui bahwa pokok bahasan ini termasuk bab taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas

maksudnya ( ا أشى ؼا تـسسة اظاش, فاػشف أ تاب ارمذ٠ ارأخ١شاذؼر ). Dengan

demikian, As-Suyuti mencantumkannya ke dalam bab taqdîm dan ta‟khîr, sebagaimana

dikemukakan dalam berbagai riwayat yang diriwayatkan oleh para ulama salaf, yaitu:

a. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hâtim dari Qatâdah bahwa surat At-Taubah / 9 ayat 85,

yang berbunyi :

ال ذؼدثه أا أالد إا ٠ش٠ذ هللا أ ٠ؼزت تا ف اذ١ا ذضك

(8::2 /ارتح أفس وافش )

Artinya:

“ Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik perhatinmu,

sesungguhnya Allah menghendaki mereka memperoleh azab di dunia dengan harta

benda dan anak-anak itu” ( At-Taubah / 9 : 85 ).

Masuk dalam bab taqdîmul-kalâm, dan ayat di atas bertujuan untuk maksud ( perkiraan ) sebagai berikut :

18

17

Az-Zarkasyi, op.cit., h. 278

18 As-Suyûtî, Al-Itqân Fî Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut: Darul Fikr Li at-Tabâ‟ah Wa Al-Nasyr Wa al-Tawzi‟,

1416 H/1999 M ), ditahqiq oleh Said Mandurah, Jilid ke-2, Cet. ke-1, h. 33

Page 19: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

19

فـ ٠ش٠ذهللا أ ٠ؼزتـ تـا إا اذ٠ا فىاس١اجا أالد الذؼدثه أ

.األخشج

Dua lafazh ( اس١ـاج) dan ( األخشج) dihilangkan dan dimajukan lafazh ( اذ١ـا )

sehingga artinya, “ Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu

dalam kehidupan dunia. Sesungguhnya Allah menghendaki kepada mereka akan azab di

akhirat ”. Dalam hal ini Allah memberi peringatan bahwa kenikmatan dan kesenangan

berupa anak dan harta itu hanya sementara, yaitu di dunia.

b. Juga diriwayatkan oleh Ibn Hâtim bahwa Al-Qur‟an surat Thâha / 20 ayat : 129,

yang berbunyi :

(088:84/ؽ ) أخ سال وح سثمد سته ىا ضاا

Artinya:

“ Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah SWT yang telah terdahulu atau

tidak ada ajal yang telah ditentukan pasti ( azab itu ) menimpa mereka ” ( Thâha /

20 : 129).

Menurut as-Suyûtî juga masuk dalam bab taqdîm dengan taqdîr ( perkiraan

) maksudnya, ( ال وح أخ س ىا ضاا ). Dimajukan lafazh ( ىـا ضاـا) dan

diakhiri lafazh ( أخ س) sehingga maksudnya, “ Dan sekiranya tidak ada ketetapan

dari Allah serta ajal yang telah ditentukan, pasti akan menimpa mereka “. Kedudukan wawu

dalam lafazh ( و) dan ( أخ س ) adalah sebagai „athaf ( wawu-athaf ). Ketetapan serta

ajal yang ditentukan Allah SWT menyebabkan tertundanya azab. Demikian tujuan taqdîm dalam

ayat di atas tanpa mengubah maksudnya.19

19

Ibid., h. 40

Page 20: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

20

c. Diriwayatkan oleh Mujâhid mengenai ayat surat Al-Kahfi / 18 : 1-2 yang berbunyi:

) ػخا ل١ااسذ هلل از أضي ػ ػثذ اىراب ٠دؼ

(. 8-0 :02/اىف

Artinya:

“ Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan kepada hambanya, al-Kitab (

Al-Qur‟an ), dan tidak ada penyimpangan di dalamnya, sebagai bimbingan yang

lurus ” ( Al-Kahfi / 18 : 1-2 )

As-Suyûtî ( w. 911 H ) mengatakan, bahwa ayat ini adalah dari taqdîm dan

ta‟khîr dalam Al-Qur‟an. Taqdîr maksudnya ( اسذ هلل از أضي ػ ػثذ اىراب

ل١ا ) dan diakhirkan lafazh ( ػخا ) Dimajukan lafazh .( ل١ا ٠دؼ ػخا

), sedangkan maksud artinya, “ Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan

kepada hambanya, al-Kitab ( Al-Qur‟an ), sebagai bimbingan yang lurus, dan tidak

ada penyimpangan di dalamnya ”. Dalam bentuk zhahir ayat terlihat ada perubahan

susunan kalimat, tetapi maksud ayatnya tidak berubah.

d. Diriwayatkan oleh Qatâdah tentang surat Ali Imran / 3 ayat : 55 ( إـ رف١ـه

As-Suyûtî menyebutkan bahwa ayat ini adalah bagian pembahasan ( .سافؼه إـ

taqdîm dan ta‟khîr, yang artinya : “ Sesungguhnya Aku akan membawa kamu

kepada ajalmu, dan mengangkat kamu kepadaku ”. Ayat di atas mempunyai

maksud, dengan taqdîr : ( رف١ه Sesungguhnya Aku “ ( إـ سافؼه إ

angkat kamu kepadaku dengan membawamu kepada hari ajalmu ”.

e. Diriwayatkan oleh Ikrimah tentang Al-Qur‟an surat Shâd / 38 ayat 26, berbunyi : (

,mereka akan mendapat azab yang berat )( ـ ػزاب شذ٠ذ تا سا ٠ اسساب

karena mereka melupakan hari pembalasan ). As-Suyûtî ( w.911 H ) mengatakan

Page 21: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

21

bahwa ayat ini juga, bagian dari bab taqdim dan ta‟khir. Dan dimajukan lafazh ((ػزاب شذ٠ذ dan diakhirkan lafazh ( ٠ اسساب ) untuk mengingatkan bahwa azab

pasti akan datang di hari pembalasan. Taqdîr -nya menjadi :

ػزاب شذ٠ذ تا سا ٠ اسساب

Artinya:

“ Mereka dihari pembalasan akan mendapatkan siksa yang berat karena mereka

lalai ”

f. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Ibn Zaid mengenai surat Al-Nisâ‟ / 4 ayat : 83,

yang berbunyi :

إال ل١الالفؼ هللا ػ١ى سزر الذثؼر اش١طا Artinya :

Dan kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah

kamu mengikuti langkah syetan, kecuali sebagian kecil saja ( diantaramu ) “ (

An-Nisa‟ / 4 : 83 )

As-Suyûtî memasukkan ayat ini, dalam bab taqdîm dan ta‟khîr karena pada lafazh (

didahulukan karena ( ال فؼ هللا ػ١ى سزر ) diakhirkan dan lafazd ( إال ل١ال

mempunyai tujuan, sedangkan taqdîr semestinya, 20

إال ل١ال ال فؼ هللا ػ١ى سزر ٠ح ل١ ال وث١شأراػا ت

Artinya:

“ Mereka menyiarkan berita ( keamanan atau ketakutan ), kecuali sedikit yang tidak

mengikuti kemauan ( syaitan ), dan kalaulah bukan karena karunia dan rahmat

Allah SWT kepada kamu sekalian, kamu tidak akan selamat kecuali sedikit sekali ”.

20

Ibid, h. 34

Page 22: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

22

Keselamatan dari rasa ketakutan dirasakan oleh setiap manusia semata-mata hanya

karena rahmat Allah SWT, kecuali sedikit sekali tidak mengikuti kemauan syetan.

g. Diriwayatkan oleh Ibn Abbâs RA, mengenai surat An-Nisâ‟ / 4 : 153, berbunyi :

berkata : perlihatkanlah Allah kepada ( Mereka Ahli Kitab ) فماا أسـا هللا خـشج

kami dengan nyata ). Lafazh. Taqdîr semestinya, bahwa mereka berkata: (خشج )

diakhirkan. Taqdîr semestinya, bahwa mereka berkata: ) خشج أسـا هللا ( ( dengan

nyata perlihatkanlah Allah kepada kami ). Ibn Abbâs berkata : “

Sesungguhnya mereka, apabila telah melihat Allah SWT, maka telah melihat-Nya

”, Ibn Jarîr berkata : bahwa permintaan mereka agar Allah diperlihatkan kepada

mereka dengan nyata ( jahrah ). Permintaan itu diutarakan, karena landasan mereka

tidak beriman ( kâfir ) dan zhâlim, maka mereka minta diperlihatkannya,

sehingga Allah mengazab mereka dengan disambar petir karena kezhaliman mereka

.( فأخزذ اظاػمح تظ )21 Demikian As-Suyûtî memasukannya ke dalam

bab taqdîm dan ta‟khîr.

h. Firman Allah SWT dalam surat Al-Furqân / 25 : 43, berbunyi : ( أسأ٠د

terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan ha )( اذخز إ ا wa

nafsunya sebagai tuhannya ). Asal kalimatnya: (ا إـ ). Dimajukan lafazh ((إـ sebelum lafazh ( ا) , karena kalimat ( إـ ا) itu tidak tercela bagi

seseorang yang menjadikan tuhannya sebagai keinginannya. Maka dimakjukan

maf‟ul-tsâni (objek) untuk menjaga keserasian makna kalimat.

i. Juga dalam surat Al-A‟lâ / 87: 4-5, berbunyi :

( :-0: 28 /) األػ. أزفدؼ غثاء *از أخشج اشػ

21

Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, ( Tahqîq Ali As-Shâbunî ), ( Kairo : Dar As- Shâbunî, t.th ), jilid

I, h. 454

Page 23: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

23

Artinya:

“ Dan menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput tersebut

kering kehitam-kehitaman ”. ( Al-A‟lâ / 87 : 4-5 ) Sebagaimana ditafsirkan kata ( أز) adalah rumput yang hijau. Namun dijadikan

sebagai sifat dari ( اشػـ) yaitu sebagai tempat pengembala yang dikelilingi dengan

rerumputan yang hijau. Maka taqdîr: أخشخ أز ( dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan

yang hijau ). Tujuan diakhirkan lafazh ( أز) untuk menjaga keserasian susunan kalimat.

j. Juga tentang firman Allah dalam surat Fâthir / 35 : 27, yaitu:

ادثاي أ ذش أ هللا أضي اساء اء فأخشخا ت ثشاخ خرفا أاا

( 88: :3 /فاؽش ) غشات١ة سدخذد ت١غ زش خرف أاا

Artinya:

“ Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu

Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buah yang beraneka ragam jenisnya. Dan di

antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam

warnanya dan ada ( pula ) yang hitam pekat”. ( Al-Fâthir / 35 : 27 ).

Lafazh ( غشات١ة سد) ( hitam kelam ) asalnya : سدغشات١ة ( hitam kelam atau

hitam pekat ). Dikatakan demikian, karena (اغشت١ة ) adalah jenis warna hitam yang

sangat gelap ( اشـذ٠ذ اسـاد) . Maka lafazh ( غشات١ة) dimajukan. Juga disebutkan tentang

surat Hûd / 11 : 71, berbunyi :

تئسساق ساء إسساق ٠ؼمب ) فؼسىد فثششاااشأذ لائح

( 80:00 /د

Artinya:

Page 24: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

24

“ Dan istrinya berdiri ( di sampingnya ) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan

kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak ( lahir pula

) Ya‟kûb”. ( Hûd / 11 : 71 ).

Pada kalimat (فؼسىد فثشـشاا ) asalnya ( فثششااتاتسساق فؼسىد ), dimajukan

lafazh (فؼسىد ) ( lalu dia tersenyum ). Nabi Ibrâhim, memberitakan tentang kelahiran

Ishâk kepada tamu-tamunya, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya ( para

Malaikat ) yang diutus, lalu istrinya tersenyum. Dikatakan, bahwa kata ( ػسىد )

maksudnya (زاػد ) yaitu, bahwa istri Nabi Ibrahim mengalami haid setelah berumur

tua, dengan demikian ia kembali normal, sebagaimana mestinya dialami kaum hawâ‟, yaitu,

haid, hamil kemudian melahirkan, sungguh sangat menggembirakan. Maksud dimajukan (( ػسىد , meskipun yang memberitakan tentang keadaan adalah Nabi Ibrâhim AS terhadap

tamu-tamunya itu, namun sesungguhnya yang lebih mengetahui hal itu terlebih dahulu

adalah istri Nabi Ibrâhim, bahwa ia tersenyum dengan kedatangan haid kemudian

diberitakan kepada suaminya, dan Ibrâhim memberitakannya.22

Dengan demikian

dimajukan kata ( فؼسىد ).

Juga tentang surat Yûsuf / 12 : 24.

تا ال أ سأ تشا ست وزه ظشف ػ اسء د تمذ

( 80:08 /٠سف افسشاء إ ػثادا اخظ١ )

Artinya:

“ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud ( melakukan perbuatan itu dengan

Yusuf dan Yusuf pun bermaksud ( melakukan pula ) dengan wanita itu andaikata

dia tidak melihat tanda ( dari ) Tuhannya. Demikianlah agar kami memalingkan

22

Az-Zarkasyi, op.cit., h. 324, Ibn Katsîr, Mukhtashar Tafîir Ibn Katsîr ( tahîq : Muhammad Ali As-Shâbûnî

), ( Kairo : Dar As-Shâbûnî, t.th ), Jilid III, cet ke-7, h. 325

Page 25: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

25

dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-

hamba kami yang terpilih”. ( QS. Yûsuf / 12 : 24 ).

Dalam ayat tersebut terdapat kata yang dihilangkan, yaitu ( ـ) yang taqdîrnya ( ـد ت) Dimajukan lafazh .( تـا ) : dengan menyalahi kebiasaan yaitu, bahwa

kebanyakan seorang prialah yang ingin melakukan perbuatan itu dengan cara merayu atau

menggoda. Tetapi dalam ayat ini berbeda, karena wanita yang menggoda pria, maka

didahulukan lafazh ( د ت ) sebelum lafazh (تـا ) . Sebagaimana dalam ayat : (

تـا ال أ سأ تش ـا ستـ د ت .( مذ

Demikian penjelasan taqdîm dan ta‟khîr menurut As-Suyûti( w.911 H ) dalam

kitabnya.

Kedua : Kata yang tidak mempunyai banyak arti (ا١س وزه ) , kebalikan dari

maksud yang pertama. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam Syamsuddîn Ibn As-Shâ‟ig

dalam kitabnya (امذح فـ سشاألفاظ امذح ) tentang rahasia lafazh-lafazh yang

didahulukan, beliau berkata: “ bahwa hikmah dimajukan lafazh-lafazh tersebut bertujuan

untuk menarik perhatian ( Ihtimam ). Juga telah dikemukakan oleh Sibawaih, bahwa

tujuannya: “ untuk menerangkan persoalan yang lebih penting, dan penjelasannya lebih

diperlukan. 23

D. Urgensi Taqdîm dan Ta’khîr

Al-Qur‟an adalah kitab suci yang terdapat di dalamnya tujuan mu lia diturunkannya

Al-Qur‟an oleh Sang Pencipta Allah SWT sebagai kitab petunjuk serta hidayah bagi

hamba-Nya yang beriman. Dari sisi lain, terkandung di dalamnya segala macam aspek

23

As-Suyuti, op.cit., h. 34-35

Page 26: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

26

kehidupan dengan berbagai maksud dan tujuan. Di antara isi yang terdapat da lam Al-

Qur‟an melalui aspek bahasanya bertujuan untuk menjelaskan kepada manusia dengan

bahasa yang baik, indah dan mudah dipahami.

Berbicara mengenai tujuan, maka taqdîm dan ta‟khîr mempunyai tujuan tertentu.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur‟an dan isinya bukanlah ciptaan manusia, bahasa

yang indah dengan susunan kata-kata serta kalimatnya adalah bahasa Sang Pencipta.

Bahasa yang dipergunakannya dengan uslub yang jelas maksudnya atau dengan bahasa

perumpamaan ( majâz ) dan dengan bahasa sindiran ( kinâyah ) yang menyentuh

perasaan.24

Demikian taqdîm dan ta‟khîr sebagaimana diungkapkan oleh para ahli ilmu

bahasa, ahli ilmu tafsir dan ahli ilmu lainnya, untuk mendapatkan tafsiran Al-Qur‟an sesuai

dengan yang dimaksudkan. Di antara tujuan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur‟an, adalah:

Pertama : Bertujuan untuk memfokuskan pembicaraan ke dalam satu masalah ( ذث١

,Contoh menurut Sibawaih terlihat dalam kata ism yang mabni . ( اخاؽة إ اسذز ػ

contoh : (ص٠ذ ػشتر ) ( Si Zaid yang aku pukul ). Dalam contoh di atas, pokok yang

dibicarakan adalah si Zaid, maka harus terdapat dhamîr hâ‟ (اـاء ) yang menyertai

kalimat fi‟ilnya (ػشتر ) , dan dhamîr tersebut bertujuan sebagai penekanan serta

perhatian ( al-Inâyah wal-Ihtimâm ), sebagaimana juga mendahulukan maf‟ûl-bih sebelum

fi‟ilnya. Contoh: ( ص٠ذا ػشتد ) : ( Si Zaid yang aku pukul ). Sebagaimana Sibawaih

menjelaskan, bahwa tujuan lain dari taqdîm, ialah: mendahulukan ism istifhâm sebagai mubtada‟,

contohnya : (ص٠ذ و شج سأ٠ر ) ( berapa kali kamu melihat si Zaid ? )dengan taqdîr ( و شج

؟ ( سأ٠د ص٠ذا ( berapa kali kamu melihat si Zaid ? ). Jadi dengan demikian uslûb di atas akan

24

AL-Khatîb Al-Qazwainî, op.cit., h. 272, 330

Page 27: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

27

lebih terfokuskan sebagai penekanan serta perhatian dalam satu masalah, jika si penanya

itu lupa. 25

Kedua : Bertujuan menguatkan hukum serta penekanan makna ( taqwiyah

dan ta‟kîd ). Tentu hal ini terdapat dalam uslûb kinâyah. 26

Karena uslûb-kinâyah itu

dikenal lebih luas pengertiannya dari pada uslub sharih, karena uslûb kinâyah, ialah

kebenaran yang haqiqi ( nyata ) disertakan dengan dalil serta keputusan yang disertai

dengan bukti-bukti. Contoh-contoh dengan uslûb-kinâyah, misalnya mendahulukan misl (ث )

dan ghair (غ١ش ) dari fi‟ilnya. Contohnya dalam kalimat : (ثه ال٠ثخ ) ( selain kamu tidak

ada yang bakhil ). Maksud pembicaraan hanya ditujukan kepada mukhâtbah ( orang kedua )

bukan kepada orang lain, dengan uslûb kinâyah menafikan sifat bakhil kepada selain mukhatab.

Demikian menurut Abdul Qâhir Al-Jurjani ( w. 471 H ). Juga contoh lain dari uslûb kinâyah : (( غ١شن ال٠دـد ( selain kamu tidak ada yang lebih baik ). Menafikan kebaikan kepada semua

orang selain mukhâtabah, yaitu bahwa mukâhtab-lah satu-satunya orang yang terbaik. 27

Ketiga : Berfaedah umumun-nafyi‟ ( meniadakan secara umum ). Dalam hal ini ada

dua pendapat :

A. Menurut Ibn Mâlik ( w. 672 H ) : mendahulukan musnad-ilaih dengan tujuan

meniadakan sebagian saja ( umumun-nafyi ). Menurut beliau wajib dimajukan bila

terdapat tiga syarat:

25

Ahmad Sa‟ad Muhamad, Al-Usûl Al-Balâghiyah Fî Kitab Sibawaih, ( Kairo : Maktabul-Adab, 1419 H /

1999 M ), Cet. ke-1, h. 43 26

Kinâyah adalah lafazh yang dimaksudkan untuk menunjukan makna lazimnya, tetapi dapat dimaksudkan

juga untuk makna asalnya. Di lihat dari bagian yang akan dijelaskan, maka kinayah terbagi kepada tiga bentuk, yaitu

adakalanya berupa sifat, adakalanya berupa maushûf, adakalanya berupa nisbat ( perantara ). Ali Al-Jarîm dan

Musthafa Amîn, Al-Balâghah al Wâdlihah, ( terj ), ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994 ), cet. ke-1, h. 177 27

Al-Khatîb Al-Qazwainî, op.cit., h. 337

Page 28: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

28

1. Apabila musnad-ilaih bersamaan dengan adât-umûm (و, خ١غ ) Jika tidak, maka

taqdîm dan ta‟khîr tidak berfungsi. Contohnya: (سذ ٠سؼش ). ( Muhammad

belum datang ). Dalam hal ini dibenarkan mendahulukan lafazh (سـذ ) atau juga

boleh mengakhirkannya, sebagaimana contoh : (٠سؼشسذ ) . Dan apabila

bersamaan dengan adatul-umum, maka lafazh (سذ ) wajib didahulukan.

2. Harus didahulukan musnad-ilaih dengan adat-umûm. Jika dikahirkan, maka

kedudukannya menjadi fâ‟il, dengan demikian, maka tidak berfungsi taqdîm dan

ta‟khîr atau sama saja kedudukan dimajukan atau diakhirkan. Misalnya lafazh (( إسا , seperti dalam kalimat : ( و إسا ٠م أت )( semua bapak belum

bangun ). Berarti tujuan keumuman itu hasil, yaitu menyatakan semua bapak

belum bangun. Dan jika lafazh (إسـا ) diakhirkan, sebagaimana dalam contoh

( إسـا) maka lafazh ( ٠م أت و إـسا ) : tidak berkedudukan sebagai

fa‟il. Dengan tujuan umumnya-nafyi itu berfungsi sebagai taqdim dan ta‟khîr.

Dengan demikian syarat taqdîm itu bukan keharusan ( wâjib ) akan tetapi boleh

( jâiz ). 3. Musnad-ilaih bersamaan dengan harfu-nafyi ( huruf peniadaan ). Jika tidak

terdapat huruf tersebut, maka wajib didahulukan musnad ilaihnya. Contoh dalam

lafazh (اإلـسا ) dalam kalimat (اإلـسا لا ) boleh juga (لا اإلـسا ) .

Dengan adanya adâtun-nafyi, maka wajib didahulukan: ) و إسا لا ( : (

semua orang berdiri ). Dan apabila tidak adanya adâtun-nafyi, berarti berlaku

baik taqdîm atau ta‟khîr.

B. Menurut Abdul Qâhir Al-Jurjâni ( w. 471 H ) : Menurut beliau, bahwa fungsi dari

peniadaan sebagian ( umûmun-nafyi ) bergantung dengan didahulukannya adât-umûm

terhadap harf-nafyi baik secara lafazh atau tertib-kalimat dan tidak sebaliknya.

Page 29: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

29

Contohnya, bila lafazh (و ) di-idhâfat-kan kepada musnad ilaih, dan musnadnya

disertai dengan nafyi, contohnya: ( ٠م و إـسا ) : ( seluruh manusia tidak berdiri ).

Jika didahulukan harf-nafyi sebelum adât-umûm, maka berubah fungsinya, menjadi

nafyul-umûm ( menafikan keseluruhan ), meskipun pengecualian hanya salah satunya,

sebagaimana terdapat dalam sya‟ir Abû Tayyib dalam bentuk lafazh :

اسف اش٠اذ تـا ال ذشر ذدش *٠ذسو ا و ا ٠ر اشء

Artinya:

“ Tidaklah setiap perkara yang diharapkan oleh manusia itu bisa tercapai, sebagaimana

angin pun suka bertiup dengan tidak sekehendak tukang perahu ”. ( artinya sebagian

tercapai, sebagian lagi tidak ). Sebagaimana juga terdapat dalam contoh lain : (اخاء ام و ) ( tidak semua

penduduk datang ), maksudnya tidak datang semua. Berbeda dengan maksud yang terdapat

dalam contoh: (ا خاء و ام ) ( tidak datang semua penduduk ), maknanya bukan berarti tidak

ada yang datang, tetapi ada yang datang meskipun tidak semua.

Dengan dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan :

1. Kedua ulama di atas mempunyai kesamaan pendapat, dan apabila didahulukan adâtul-

umûm terhadap adâtun-nafyi, maka bertujuan untuk umûmun-nafyi ( peniadaan secara

umum ). Seperti terdapat dalam contoh: (و إسـا ٠م ) ( semua orang belum

berdiri ) ; atau contoh : ( و ره ٠ى ) ( yang demikian itu belum terjadi ).

2. Kedua ulama mempunyai perbedaan pendapat, jika diakhirkan adâtul- umûm, terhadap

adât-nafyi. Seperti: ) ٠م و إسا ( ( tidak berdiri semua orang ) atau ٠ى و ره () ( belum terjadi semua itu ). Dari perbedaan pendapat di atas menurut Ibn-Mâlik: bila

diakhirkan adâtul-umûm terhadap adâtun-nafyi, seperti : (٠م و إسا ) , maka dapat

Page 30: TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM PANDANGAN ULAMA2 sebanyak 35 kali dan dengan lafazh ta‟khîr sebanyak 8 kali, baik dalam bentuk fi‟il mâdli, fi‟il mudlâri serta fi‟il „amar

30

berarti menafikan berdirinya semua orang (و فشد ) . Tetapi menurut Abdul Qâhir

Al-Jurjâni : hanya menafikan sebagian orang saja

( تؼغ األ فشاد) , tidak menafikan semua orang. 28 *

28

Muhammad Syeikhun, Dirâsat Fî Lughah Al-Arabiyah Wa Adabuha, ( Kairo : Dirâsat Islamiyah wal

Arabiyah, 1417 H / 1996 M ), h. 92-99, Al-Khatîb Al-Qazwaini, op.cit., h. 68-69