tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter

215
TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS DENGAN CMA ELIS KARTIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN

KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG

BERSIMBIOSIS DENGAN CMA

ELIS KARTIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

Page 2: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa segala pernyataan dalam

disertasi yang berjudul :

TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS DENGAN CMA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

Elis Kartika

NRP P036 00010/AGR

Page 3: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

ABSTRACT

ELIS KARTIKA. Growth, Nutrient Uptake and Morphophysiology Characters

Responses on Drought Stress of Oil Palm Seedling Inoculated with AMF.

Advisory committee: SUDIRMAN YAHYA (chairman), SUDARSONO and

SRI WILARSO BUDI (members).

Drought stress is one of the main limiting factors in growth, nutrient

uptake and yield of oil palm, particularly those which are planted on Red Yellow

Podzolic (RYP) and peat soils. One of the alternatives to overcome this drought

stress problem on many plants is through inoculation with Arbuscular Mycorrhiza

Fungi (AMF). AMF occurs in each rhizosphere of certain plant in an ecosystem.

Each ecosystem contains various kinds of AMF and each kind of AMF possesses

different level of effectiveness in oil palm seedlings growing on various types of

soil. Also, various kinds of AMF could act synergistically and antagonistically

to each other in influencing the growth of oil palm seedlings. Therefore, research

on AMF in oil palm rhizosphere, and its role in overcoming drought stress, needs

to be conducted.

This research comprised three interrelated experiments, namely: (1)

Isolation, characterization and purification of AMF from three sites of oil palm

plantation (first, RYP of used forest; second, RYP of rubber plantation; and third,

peat of used forest soils), (2) Evaluation on the effectiveness of AMF for oil palm

seedling using the soils from of the three sites as the growing media, and (3)

Study adaptation mechanism of oil palm seedling inoculated with AMF on

drought stress on RYP and peat of used forest soils media.

The observed soil samples came from rhizosphere of the three oil palm

plantation sites. Evaluation on the effectiveness was conducted toward the AMF

isolates produced from a single spore culture on those three soil types.

Adaptability test of oil palm seedlings consisted of two experiments. Each

experiment for each soil type used Factorial Completely Randomized Design with

two factors. The first factor was AMF inoculation (M0 = without AMF, and M1 =

inoculation of AMF). The second factor was level of drought stress (100 %, 75

%, 50 % and 25 % of available water).

Results showed that in each type of soil, there were 2 genus of AMF,

namely Glomus and Acaulospora. There were 9 strains of AMF in rhizosphere of

oil palms planted on the first soil (5 strains of Acaulospora and 4 strains of

Glomus). In the second soil, there were 9 strains of AMF (7 strains of Glomus and

2 strains of Acaulospora). In the third soil, however, 12 strains of AMF were

characterized (7 strains of Glomus and 5 strains of Acaulospora). In the

rhizosphere of oil palms planted in RYP of used forest soil, AMF was dominated

by Acaulospora, whereas those in RYP of used rubber plantation and peat of used

forest soils, were dominated by Glomus. During effectiveness test the highest

effectiveness on the first soil was mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-

3a, Acaulospora sp-3a and Acaulospora sp-5a; on second soil was single

inoculums of AMF Glomus sp-3b; whereas third soil was mixed inoculums of 3

AMF isolates Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, and Acaulospora sp-5c. Adaptability

experiment showed that on both soil types, AMF inoculation improved the

Page 4: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

adaptability of oil palm seedling on every level of drought stress, as shown by the

responses of growth and nutrient uptake. The adaptation of non-inoculated

seedling on drought stress was solely by tolerance mechanism, either

osmoregulation as shown by higher production level of osmoticum components

or cell turgor regulation by leaf ABA accumulation. On the inoculated seedlings,

however, there were synergism between those two tolerance mechanism and

escape mechanism. Two important escape mechanism were intensifying root

system and decreasing transpiration surface of seedlings. Responses of growth

and nutrient uptake of oil palm seedlings inoculated with AMF and without AMF

on the peat soil media, were higher as compared to those on RYP soil media for

each level of drought stress.

Page 5: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

ABSTRAK

ELIS KARTIKA. Tanggap Pertumbuhan, Serapan Hara dan Karakter

Morfofisiologi terhadap Cekaman Kekeringan pada Bibit Kelapa Sawit yang

Bersimbiosis dengan CMA. Komisi pembimbing : SUDIRMAN YAHYA

(ketua), SUDARSONO dan SRI WILARSO BUDI (anggota).

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam

pertumbuhan, serapan hara dan hasil kelapa sawit terutama yang ditanam pada

tanah PMK dan gambut. Salah satu alternatif yang mungkin dapat meningkatkan

kemampuan adaptasi terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kelapa sawit

adalah dengan menggunakan CMA. CMA ada di setiap rizosfir suatu tanaman

dalam suatu ekosistem. Masing-masing ekosistem mangandung jenis CMA yang

beragam dan setiap jenis CMA memiliki keefektivan yang berbeda dengan bibit

kelapa sawit dan jenis tanah di mana bibit tersebut tumbuh. Demikian juga antara

jenis CMA dapat bersifat sinergis atau dapat pula bersifat antagonis dalam

mempengaruhi pertumbuhan bibit kelapa sawit. Oleh karena itu, studi tentang

CMA pada rizosfir kelapa sawit dan peranannya dalam mengatasi cekaman

kekeringan perlu dilakukan.

Penelitian terdiri atas tiga percobaan yang masing-masing memiliki

keterkaitan yaitu : (1) Isolasi, karakterisasi dan pemurnian CMA dari tiga lokasi

perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan

gambut bekas hutan), (2) Pengujian keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit

pada media tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas

hutan, dan (3) Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA

terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan.

Sampel tanah yang diamati berasal dari rizosfir tiga lokasi perkebunan

kelapa sawit yaitu tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet dan

tanah gambut bekas hutan. Pengujian keefektivan dilakukan terhadap isolat-isolat

hasil kultur spora tunggal pada ketiga jenis tanah tersebut. Pengujian adaptasi

bibit kelapa sawit terdiri dari dua percobaan, masing-masing percobaan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu faktor

pertama adalah inokulasi CMA (M0= tanpa CMA and M1 = inokulasi CMA) dan

faktor kedua adalah taraf cekaman kekeringan (100%, 75%, 50% and 25% air

tersedia).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap jenis tanah hanya

ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora. Jenis CMA di

rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan diperoleh

sembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus), di tanah

PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan dua tipe

Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan diperoleh 12 jenis CMA (tujuh

tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora). CMA di rizosfir kelapa sawit yang

ditanam pada tanah PMK bekas hutan didominasi oleh jenis Acaulospora,

sedangkan di tanah PMK bekas kebun karet dan tanah gambut bekas hutan

didominasi oleh Glomus. Pada pengujian keefektivan diperoleh CMA yang

memiliki keefektivan tertinggi di media tanah PMK bekas hutan adalah inokulum

campuran tiga isolat CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-

Page 6: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

5a; di media tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal CMA

Glomus sp-3b serta di media tanah gambut bekas hutan adalah inokulum

campuran tiga isolat CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c.

Hasil pengujian adaptasi bibit kelapa sawit menunjukkan bahwa pada jenis tanah

PMK dan gambut bekas hutan, inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit

kelapa sawit pada setiap tingkat cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh

tanggap pertumbuhan dan serapan hara (P dan K). Mekanisme adaptasi bibit

kelapa sawit tanpa CMA terhadap cekaman kekeringan yang dominan adalah

melalui mekanisme toleransi (pengaturan osmoregulasi dengan memproduksi

senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina daun, serta pengaturan

turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Pada bibit kelapa sawit yang

bersimbiosis dengan CMA, mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan

adalah melalui mekanisme toleransi dan mekanisme penghindaran (perbaikan

penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan penyerapan air melalui

perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas permukaan transpirasi dan

pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Tanggap pertumbuhan

dan serapan hara bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA pada

media tanah gambut bekas hutan lebih tinggi dibandingkan pada media tanah

PMK bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan.

Page 7: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

© Hak cipta milik Elis Kartika, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

Page 8: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN

KEKERINGAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS DENGAN CMA

ELIS KARTIKA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

Page 9: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER
Page 10: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia

dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Mei 2002 sampai April 2005 ini

adalah mikoriza, dengan judul : “Tanggap Pertumbuhan, Serapan Hara dan

Karakter Morfofisiologi terhadap Cekaman Kekeringan pada Bibit Kelapa

Sawit yang Bersimbiosis dengan CMA”.

Selama penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H Sudirman Yahya, M.Sc. selaku ketua komisi

pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Sri

Wilarso Budi R., M.Si., selaku anggota komisi pembimbing atas segala

bantuan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Pimpinan dan Staf di lingkup Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,

atas segala pendidikan, layanan administrasi dan bantuan yang telah diberikan.

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan beasiswa

BPPS.

4. Bapak Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Jambi atas izin, dukungan, motivasi dan kebijaksanaan yang diberikan dalam

menyelesaikan studi program doktor.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Pertanian Universitas Jambi atas

segala bantuan dan layanan yang diberikan.

6. Pimpinan dan staf PT Rigunas Agri Utama Jambi, PTP Nusantara VI Jambi,

PT Era Sakti Parastama Jambi dan PT Persada Harapan Kahuripan Jambi, atas

bantuan dan izin pengambilan contoh tanah untuk bahan penelitian ini.

7. Pimpinan, staf dan pegawai Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan

IPB, Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) IPB,

Laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian Bogor,

Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi, dan Laboratorium

Page 11: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi, atas segala bantuan yang

telah diberikan selama aktivitas di laboratorium.

8. Bapak H. Dahri Nasution atas segala bantuan baik moril maupun materil yang

telah diberikan kepada penulis.

9. Ayahanda dan Ibunda, Bapak dan Ibu Mertua, Suami dan anak-anak tercinta,

serta kakanda dan adinda, atas segala pengorbanan, pengertian, dorongan, dan

semangat serta doanya, sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini.

10. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang sekaligus teman-teman yang sangat baik, atas

segala batuan dan motivasi yang telah diberikan : Dr. Ir. Eliyanti, M.Si., Ir.

Rainiyati, M.Si., Ir. Lizawati, M.Si., Ir. Asmadi, M.Si., Dr. Ir. Hamzah, M.Si.,

Ir. Rahman, M.Sc., Mas Bambang, Ir. Rizal dan seluruh teman-teman yang

tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis kiranya disertasi ini dapat bermanfaat dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2006

Penulis

Page 12: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 16 November 1963 sebagai

anak keempat dari pasangan Dedi Hidayat dan E. Haryati. Pada tanggal 10

Desember 1988 penulis menikah dengan Islahudin. Sekarang penulis telah

dikaruniai tiga orang anak: Nurika Maulidiniawati Islahudin (lahir 18 Oktober

1989), Desiska Rachmayati Islahudin (lahir 18 Desember 1992) dan Muhammad

Adharamadinka Islahudin (lahir 28 April 1996).

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri

Sukaraja II Sumedang (tahun 1976), sekolah menengah pertama di Sekolah

Menengah Pertama Negeri I Sumedang (tahun 1980) dan sekolah menengah atas

di Sekolah Menengah Atas Negeri I Sumedang (1983).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991

penulis meneruskan pendidikan Pascasarjana di Program Studi Agronomi, Institut

Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 1994. Selanjutnya pada tahun

2000 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program

doktor pada Program Studi Agronomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas

Jambi sejak tahun 1989.

Page 13: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ..………………………………………………………

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….

DAFTAR LAMPIRAN ..…………………………………………………

PENDAHULUAN ……………………………………………………….

Latar Belakang ……………………………………………………...

Tujuan Penelitian …………………………………………………...

Kegunaan Penelitian ………………………………………………..

Hipotesis …………………………………………………………….

Strategi Penelitian …………………………………………………..

ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PEMURNIAN CMA DARI 3

LOKASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (TANAH PMK BEKAS

HUTAN, PMK BEKAS KEBUN KARET DAN GAMBUT BEKAS

HUTAN) ………………………………………………………………….

Abstrak ………………………………………………………………

Abstract ………………………………………………………………

Pendahuluan …………………………………………………………

Bahan dan Metode …………………………………………………...

Hasil dan pembahasan ……………………………………………….

Hasil Penelitian ………………………………….....................

Pembahasan …………………………………………………..

Kesimpulan ………………………………………………………….

PENGUJIAN KEEFEKTIVAN CMA PADA BIBIT KELAPA

SAWIT DI TANAH PMK BEKAS HUTAN, PMK BEKAS

KEBUN KARET DAN GAMBUT BEKAS HUTAN …………………...

Abstrak ……………………………………………………………….

Abstract ………………………………………………………………

Pendahuluan ………………………………………………………….

Bahan dan Metode ……………………………………………………

Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….

Hasil Penelitian ……………………………………………......

Pembahasan ……………………………………………………

Kesimpulan …………………………………………………………..

ADAPTASI BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS

DENGAN CMA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

PADA TANAH PMK DAN GAMBUT BEKAS HUTAN ………………..

Abstrak ……………………………………………………………….

Abstract …………………………………………………………….....

xv

xvii

xxii

1

1

4

5

5

6

8

8

8

9

11

16

16

17

29

30

30

30

31

33

36

36

51

56

57

57

57

Page 14: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

Halaman

Pendahuluan …………………………………………………………

Bahan dan Metode …………………………………………………..

Hasil dan Pembahasan ………………………………………………

Hasil Penelitian …………………………………………….....

Pembahasan ………………………………………………..….

Kesimpulan ……………………………………………………….....

PEMBAHASAN UMUM .………………………………………………..

KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ...………………………………..

Kesimpulan Umum ………………………………………………….

Saran ………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….

LAMPIRAN ………………………………………………………………

58

62

68

68

111

127

129

144

144

145

146

162

Page 15: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh tanah pada setiap jenis

tanah……………………………………………………………………

2. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam

pada tanah PMK bekas hutan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi………..

3. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam

pada tanah PMK bekas kebun karet Kabupaten Tebo Provinsi Jambi...

4. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam

pada tanah gambut bekas hutan Kabupaten Muara Jambi Provinsi

Jambi…………………………………………………………………...

5. Hasil standarisasi inokulan dari setiap isolat dari t anah PMK bekas

hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan…..………….

6. Perlakuan pemberian jenis isolat untuk tanah PMK bekas hutan, PMK

bekas kebun karet dan gambut bekas hutan …………………………...

7. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang,

jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur

5 bulan di tanah PMK bekas hutan …………………………………….

8. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit,

nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa

sawit umur 5 bulan di tanah PMK bekas hutan ………………………..

9. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang,

jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur

5 bulan di tanah PMK bekas kebun karet….…………………………...

10. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit,

nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa

sawit umur 5 bulan di tanah PMK bekas kebun karet …………………

11. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang

jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur

5 bulan di tanah gambut bekas hutan ………………………………….

12. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit

nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa

sawit umur 5 bulan di tanah gambut bekas hutan ……………..............

13. Pertumbuhan (bobot kering bibit) dan serapan P bibit kelapa sawit

yang diinokulasi CMA paling efektif di tanah PMK bekas hutan, PMK

bekas kebun karet dan gambut bekas hutan …………………………...

16

18

20

22

34

35

38

39

43

44

48

48

51

Page 16: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap

semua peubah yang diamati pada tanah PMK bekas hutan ………….

Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan hasil

penelitian dan standar dari PPKS Medan …………………………….

Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap

semua peubah yang diamati pada tanah gambut bekas hutan ………...

Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah gambut bekas hutan hasil

penelitian dan standar dari PPKS Medan …………………………….

Perubahan bobot kering bibit, serapan P dan kandungan prolina daun

pada bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan ………

Persentase air tersedia yang diperlukan bibit yang bersimbiosis

dengan CMA untuk mencapai pertumbuhan dan serapan P bibit pada

keadaan cukup air …………………………………………………….

Efisiensi pupuk P dan K pada bibit kelapa sawit umur 9 bulan di

media tanah PMK dan gambut bekas hutan …………………………..

70

85

90

107

110

111

142

Page 17: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Alur penelitian peranan CMA pada keadaan kekeringan terhadap

serapan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di beberapa

ekosistem ……………………………………………………………...

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap

inokulasi CMA di media tanah PMK bekas hutan…………………….

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap

inokulasi CMA di media tanah PMK bekas kebun karet ……………..

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap

inokulasi CMA di media tanah gambut bekas hutan …………………

Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan...

Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan …………………………………………........

Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat

cekaman kekeringan yang berbeda di media tanah PMK bekas hutan..

Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

PMK bekas hutan ……………………………………………………..

Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan............................................................................................

Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan ……………………………………………....

7

42

46

50

69

70

70

71

72

72

73

74

74

Page 18: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan...

Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan …………………………...............................

Tanggap Serapan K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap serapan P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap kadar glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

PMK bekas hutan ……………………………………………………..

Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan sebelum

perlakuan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan…...

Tanggap kadar prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan di

media tanah PMK bekas hutan ………………………………………..

75

75

76

78

78

79

79

80

81

82

82

83

84

Page 19: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan

di media tanah PMK bekas hutan terhadap perlakuan pemberian

mikoriza dan cekaman kekeringan …………………………………....

Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit umur 9

bulan di media tanah PMK bekas hutan terhadap perlakuan

pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan …………………….....

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan...........................................................................................

Tanggap persentase infeksi akar terhadap perlakuan mikoriza dan

cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan ……………...

Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi mikoriza (A) dan yang

terinfeksi mikoriza (B) dan (C) ……………………………………….

Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman

kekeringan di media tanah PMK bekas hutan ………………………...

Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas

hutan …………………………………………………………………..

Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah

gambut bekas hutan …………………………………………………...

Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………………………………………...........................

Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan ………………………………………...............................

Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………………………………………...........................

Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan ……………………………………………………………

Tanggap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat cekaman

kekeringan yang berbeda di media tanah gambut bekas hutan……….

84

85

86

87

87

88

91

91

92

93

93

94

94

95

Page 20: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan……………………………………………………………

Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan …………………………………………....

Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan …………………………………………….

Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………………………………………………...............

Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan ………………………………………………...................

Tanggap serapan K bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan ………………………………………………...................

Tanggap serapan P bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………………………………………………...............

Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………………………………………………………...

Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas

hutan ………………………………………………………………….

Tanggap glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan ……………………………………………

Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan sebelum

perlakuan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan…

Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………… ……………………………………………..

Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan …………………………………………………………...

96

96

97

97

98

98

99

99

100

100

101

102

103

Page 21: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

54.

55.

56.

57.

58.

59.

60.

61.

Tanggap infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan............................................................................................

Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan …………………………………………….

Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

tanah gambut bekas hutan …………………………………………….

Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan …………………………………………….

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah

gambut bekas hutan ……………………………………………..........

Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang

mengalami cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan..

Bibit tanpa mikoriza (Mo) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada

tingkat cekaman kekeringan yang sama di media tanah PMK bekas

hutan ………………………………………………………….............

Bibit tanpa mikoriza (Mo) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada

tingkat cekaman kekeringan yang sama di tanah gambut bekas

hutan ………………………………………………………….............

104

105

105

106

108

109

112

113

Page 22: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Prosedur pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh…...

Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah PMK yang

dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan …...

Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah gambut yang

dilaksanakan oleh PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Kecamatan

Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi……………...

Metode analisis aktivitas enzim fosfatase asam (E.C. 3.1.3.2

orthophosphoric-monoester phosphohydrolase) ……………………...

Prosedur analisis prolina …………………………………………….

Prosedur analisis ABA ……………………………………………….

Prosedur analisis glisina-betaina ...……………………………………

Prosedur pengukuran kadar P dalam tanaman ………………………..

Prosedur pengukuran kadar K dalam tanaman ……………………….

Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun

di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2 …………………

Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media

tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2 …………………………..

Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan

nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas hutan pada

Percobaan 2 …………………………………………………………...

Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di media

tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2 ……………………….......

Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun

di tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2 ………………….

Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media

tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2 …………………….

Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan

nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas kebun karet pada

Percobaan 2 …………………………………………………………...

Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di media

tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2 …………………….

Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun

di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2 ……………....

163

164

164

165

167

167

168

168

169

169

170

170

170

170

170

171

171

171

Page 23: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media

tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2 ………………………...

Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan

nisbah tajuk akar di media tanah gambut bekas hutan pada

Percobaan 2……………………………………………………………

Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di media

tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2 ………………………...

Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan bobot kering

bibit di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3 …………...

Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah

daun pecah lidi di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3...

Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan fosfatase

asam di akar pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) …...

Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar K dan kadar P pada

media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……………………….

Sidik ragam uji ortogonal polinomial jumlah daun dan bobot kering

tajuk pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……….......

Sidik ragam uji ortogonal polinomial luas daun dan EPA pada media

tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……………………………….

Sidik ragam uji ortogonal polinomial enzim fosfatase asam di media

dan serapan K pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)….

Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan nisbah tajuk akar

pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ………………….

Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina pada

media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ………………………..

Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada

media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……………………….

Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan jumlah daun

pecah lidi di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3........

Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah

media daun di tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3................

Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan kadar K

pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………......

Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar P dan bobot kering tajuk

pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ………………..

171

171

172

172

172

172

173

173

173

173

174

174

174

174

175

175

175

Page 24: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

No. Judul Halaman

36.

37.

38.

39.

40.

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

51.

Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering bibit dan serapan

K pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) …………......

Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan l uas daun pada

media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………………..

Sidik ragam uji ortogonal polinomial nisbah tajuk akar dan EPA pada

media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………………...

Sidik ragam uji ortogonal polinomial enzim fosfatase asam di akar

dan enzim fosfatase asam di tanah pada media tanah gambut bekas

hutan (Percobaan 3) …………………………………………………..

Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina pada

Media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) …………………......

Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada

media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………………..

Sidik ragam kandungan prolina daun sebelum cekaman kekeringan

di media tanah PMK bekas hutan dan tanah gambut bekas hutan

(Percobaan 3) …………………………………………………………

Analisis tanah PMK bekas kebun karet sebelum percobaan …………

Analisis tanah PMK bekas hutan sebelum percobaan ………………..

Analisis tanah PMK bekas hutan setelah percobaan 3 ……………….

Analisis tanah gambut bekas hutan sebelum percobaan ……………...

Analisis tanah gambut bekas hutan setelah percobaan 3 ……………..

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza

dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan ………...

Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza

dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan…………

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza

dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan ………

Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza

dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan ………

175

176

176

176

176

177

177

178

179

180

182

183

185

186

187

188

Page 25: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

DAFTAR SINGKATAN

PMK : Podsolik Merah Kuning

CMA : Cendawan Mikoriza Arbuskular

AMF : Arbuscular Mycorrhiza Fungi

RYP : Red Yellow Podzolic

MPN : Most Probable Number

PVLG : Polivinil Alcohol Lactophenol Glycol

PDOC : Petridish Observation Chamber

FAA : Formalin Aceto Alcohol

ABA : Abcisic Acid

EPA : Efisiensi Penggunaan Air

PPKS : Pusat Penelitian Kelapa Sawit

P5C : Pyrolline-5-carboxsilase

P5CS : Pyrolline-5-carboxsilase syntetase

BADH : Betaine Aldehyde Dehydrogenase

Page 26: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditi

sektor non-migas andalan yang berperan penting dalam menunjang pembangunan

Indonesia. Produksi minyak sawit di perkebunan rakyat pada tahun 2002

mencapai sebesar 3.134.300 ton dan pada tahun 2003 terjadi kenaikan sebesar

16.42% menjadi 3.648.800 ton. Sedangkan produksi minyak sawit di perkebunan

besar pada tahun 2002 mencapai sebesar 5.277.300 ton dan pada tahun 2003

terjadi kenaikan sebesar 3.4% menjadi 5.456.700 ton. Secara umum ekspor

minyak sawit di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2003 meningkat dengan laju

rata-rata 18.47 % per tahun (BPS 2003). Volume ekspor minyak sawit pada tahun

2003 mencapai 6.386.400 ton dengan nilai US$ 2.454.600.000 (BPS 2003).

Kebutuhan minyak sawit terus meningkat sejalan dengan peningkatan

jumlah penduduk dunia, yang juga dipacu dengan ditemukannya teknologi

pengolahan atau diversifikasi industri. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar

kelapa sawit sangat baik, sehingga produksi kelapa sawit mempunyai prospek

yang sangat baik untuk dikembangkan di Indonesia. Sehubungan dengan hal

tersebut, dalam dekade terakhir Indonesia sudah mengusahakan peningkatan

produksi dan produktivitas sawit baik melalui program ekstensifikasi, intensifikasi

maupun rehabilitasi.

Salah satu kendala pengembangan kelapa sawit adalah keterbatasan lahan-

lahan subur, sehingga usaha perluasan areal lebih diarahkan pada lahan-lahan

marjinal yang biasanya terdapat di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Pada

daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning

(PMK) dan tanah gambut yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah serta

memiliki masalah dalam penyediaan air.

Tanah PMK bersifat masam, kahat hara makro, kadar bahan organik

rendah, kejenuhan basa rendah, kadar besi, alumunium dan mangan tinggi yang

dapat meracuni tanaman dan dapat menyebabkan fiksasi fosfor (Sudjadi 1984).

Masalah utama tanah PMK adalah dalam hal tersedianya unsur P akibat derajat

Page 27: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

2

kemasaman yang tinggi yang menyebabkan Al dan Fe tertukar ke nisbi larut,

sehingga akan terjadi fiksasi P oleh kedua unsur tersebut atau P dijerap pada

permukaan oksida Fe, Al dan Mn yang tidak larut (Mengel & Kirkby 1987) atau

dengan mineral liat (Tisdale et al. 1985). Selain itu, secara fisik tanah PMK peka

terhadap erosi dan kemampuan menahan air yang rendah serta mempunyai nilai

kapasitas tukar kation yang rendah (Mengel & Kirkby 1987). Dengan

kemampuan menahan air yang rendah tersebut, tanah PMK mudah mengalami

kekeringan terutama pada musim kemarau, sehingga tanaman kelapa sawit yang

ditanam pada tanah tersebut akan mengalami cekaman kekeringan.

Tanah gambut memiliki reaksi tanah yang sangat masam, kandungan hara

makro dan mikro rendah, kapasitas tukar kation tinggi, sedangkan kejenuhan basa

rendah, kandungan bahan organik tinggi dan tingginya kandungan asam-asam

organik tanah yang berpengaruh langsung dan bersifat meracuni tanaman (Rachim

1995). Pada tanah gambut, unsur P dominan dalam bentuk inositol ester fosfat,

inositol heksafosfat dan sebagian kecil dalam bentuk inositol di-, tri- dan

tetrafosfat sehingga sulit tersedia bagi tanaman (Mengel & Kirkby 1987). Tanah

gambut yang ditanami kelapa sawit yang akan diteliti merupakan jenis gambut

saprik yang sebagian besar telah mengalami pelapukan. Kelapa sawit

memerlukan drainase yang baik untuk pertumbuhannya, oleh karena itu

penanaman tanaman tersebut pada tanah ini terlebih dahulu perlu dibuat drainase

dengan dibuat parit. Pada tanah gambut ini air tersedia juga rendah sehingga

tanaman kelapa sawit tersebut akan mengalami kekeringan juga sewaktu musim

kemarau.

Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK ataupun gambut di

Provinsi Jambi mudah sekali mengalami kekeringan, terutama di musim kemarau.

Hal itu disebabkan karena selain sifat tanah tersebut yang mempunyai

kemampuan menahan air yang rendah (khususnya tanah PMK), juga menurut

Hartley (1977) karena tanaman kelapa sawit mempunyai tipe perakaran yang

dangkal (akar serabut), sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan yang

sangat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut. Dampak

kekeringan terhadap pertumbuhan tanaman kelapa sawit ditandai dengan daun

Page 28: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

3

muda tidak membuka, merusak hijau daun yang menyebabkan daun tampak

menguning dan mengering, pelepah daun tua terkulai dan pupus patah. Pada fase

reproduktif, cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga,

bunga dan buah muda mengalami keguguran dan tandan buah gagal menjadi

masak, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan gagal panen dan menurunkan

produksi 10-40 % dan CPO 21-65 % (Siregar 1998).

Alternatif yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah

tersebut selain dengan menggunakan bahan tanaman yang toleran, adalah dengan

usaha pemanfaatan mikroorganisme bermanfaat seperti mikoriza. Beberapa

penelitian telah menunjukkan manfaat mikoriza seperti pada tanaman padi gogo

(Sastrahidayat 1991), kopi (Hanapiah 1997), gandum (Al-Karaki et al. 1998),

kakao (Sasli 1999), barley (Al-Karaki & Clark 1999), jagung dan kedelai

(Sastrahidayat 2000), padi sawah tadah hujan (Hanafiah 2001), dan jeruk

(Camprubi & Calvet 1996; Graham & Eissentat 1998; Syvertsen & Graham 1999;

Fidelibus et al. 2000).

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada lahan kekeringan mampu

meningkatkan penyerapan hara makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa

eksternalnya, selain itu juga mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan

(Nelson & Safir 1982; Setiadi 1989; Al-Karaki & AlRaddad 1997; Al-Karaki et

al. 1998; Al-Karaki & Clark 1999; Aboul-Nasr 1998; Brundrett et al. 1996).

Peningkatan serapan P oleh tanaman akibat adanya asosiasi CMA dan tanaman

merupakan manfaat yang paling dominan. Penyebab terjadinya peningkatan

serapan P oleh tanaman bermikoriza adalah karena serapan P oleh hifa

berlangsung sangat efektif (Smith & Read 1997).

Menurut Bowen (1987), CMA dapat ditemukan hampir pada sebagian

besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Walaupun

demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi

oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah,

kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen, serta konsentrasi logam berat

(Daniels & Trappe 1980). Abbott & Gazey (1994) menyatakan bahwa CMA

sangat berlimpah pada tanah dengan bahan organik rendah. Dengan demikian,

Page 29: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

4

setiap ekosistem kemungkinan dapat mengandung CMA dengan jenis yang sama

atau bisa juga berbeda.

Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam mengatasi cekaman kekeringan

pada bibit kelapa sawit belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu perlu diteliti

lebih lanjut bagaimana peranan CMA dalam mengatasi cekaman kekeringan pada

bibit kelapa sawit, sehingga akan didapatkan mekanisme adaptasi bibit kelapa

sawit terhadap cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi

CMA.

Produksi kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kualitas bibit yang

digunakan, oleh karena itu pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh

rangkaian kegiatan pembudidayaan pada tanaman kelapa sawit. Melalui tahap

pembibitan ini diharapkan akan menghasilkan bibit yang baik dan berkualitas.

Bibit kelapa sawit yang berkualitas adalah bibit yang memiliki kekuatan dan

penampilan tumbuh yang optimal serta berkemampuan dalam menghadapi

keadaan cekaman lingkungan, seperti cekaman kekeringan. Dengan adanya CMA

pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA dapat meningkatkan kemampuan bibit

mengatasi cekaman kekeringan dan meningkatkan serapan hara, sehingga pada

akhirnya bibit tersebut mampu tumbuh baik di lapangan dan mampu mengatasi

keadaan lingkungan yang beragam.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan :

1. Mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa

sawit yaitu pada tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan

tanah gambut bekas hutan.

2. Menguji keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media dari ketiga

lokasi perkebunan kelapa sawit tersebut.

3. Mengkaji peranan CMA pada keadaan kekeringan terhadap pertumbuhan dan

serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan

tanah gambut bekas hutan.

Page 30: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

5

4. Mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kelapa sawit dalam mengatasi

cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA.

Kegunaan Penelitian

1. Dengan ditemukannya isolat CMA yang efektif, maka isolat tersebut

diharapkan dapat digunakan pada pembibitan kelapa sawit di perkebunan-

perkebunan.

2. Dengan diketahui mekanisme toleransi bibit kelapa sawit terhadap cekaman

kekeringan, diharapkan dapat memanipulasi teknik agronomi dalam mengatasi

cekaman kekeringan.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi program

pemuliaan dalam merakit varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman

kekeringan.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah :

1. Setiap jenis tanah dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas

hutan, tanah PMK bekas kebun karet, tanah gambut bekas hutan) memiliki

jenis CMA yang berbeda.

2. Terdapat CMA jenis tertentu dari setiap jenis tanah yang mempunyai

keefektivan yang tinggi pada bibit kelapa sawit.

3. CMA pada keadaan kekeringan dapat meningkatkan pertumbuhan dan

serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan

tanah gambut bekas hutan.

4. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan

dipengaruhi oleh CMA. Tanpa CMA, diduga osmoregulasi merupakan

mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan.

Page 31: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

6

Strategi Penelitian

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga

topik penelitian, dan masing-masing topik penelitian saling berkaitan. Topik

penelitian pertama bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi isolat-

isolat CMA yang terdapat pada tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet

dan gambut bekas hutan, dengan judul “Isolasi, karakterisasi dan pemurnian

CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan,

tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan)”. Isolat-

isolat CMA yang ditemukan pada hasil penelitian pertama, diuji keefektivannya

dengan bibit kelapa sawit pada penelitian kedua yang berjudul “Pengujian

keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media tanah PMK

bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas

hutan”. Selanjutnya hasil dari penelitian kedua tersebut, digunakan pada topik

penelitian ketiga yang berjudul “Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis

dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan

gambut bekas hutan”.

Bagan alur penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar penelitian

disajikan pada Gambar 1.

Page 32: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

7

Gambar 1. Alur penelitian tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter

morfofisiologi terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit

yang bersimbiosis dengan Cendawan Mikoriza Arbuskular

Percobaan 3

Mengkaji adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis

dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media

tanah PMK dan gambut bekas hutan

Diperoleh gambaran tentang tanggap pertumbuhan, serapan

hara dan karakter morfofisiologi terhadap cekaman

kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis

dengan Cendawan Mikoriza Arbuskular

Percobaan 1

Isolasi, karakterisasi dan pemurnian CMA dari 3 lokasi

perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, tanah

PMK bekas kebun karet, tanah gambut bekas hutan)

Percobaan 2

Pengujian keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit

pada media tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas

kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan

Page 33: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

8

ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PEMURNIAN CMA DARI

TIGA LOKASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (TANAH

PMK BEKAS HUTAN, PMK BEKAS KEBUN KARET

DAN GAMBUT BEKAS HUTAN)

Isolation, Characterization and Purification of AMF from Three

Different of Oil Palm Plantation (Red Yellow Podzolicl of Used

Forest and Rubber Plantation, and Peat of Used Forest Soils)

Abstrak

Setiap rhizosfir suatu tanaman dalam suatu ekosistem memiliki berbagai

jenis mirkroorganisme termasuk CMA. Masing-masing ekosistem mangandung

jenis CMA yang beragam dan untuk mengetahui jenis CMA tersebut perlu

diadakan kegiatan isolasi dan karakterisasi spora CMA. Penelitian ini bertujuan

mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit

yaitu pada tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet, dan gambut bekas

hutan. Sampel tanah yang diamati berasal dari ketiga jenis tanah tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap jenis tanah hanya

ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora. Jenis CMA di

rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan diperoleh

sembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus), di tanah

PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan dua tipe

Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan diperoleh 12 jenis CMA (tujuh

tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora). CMA di rizosfir kelapa sawit yang

ditanam pada tanah PMK bekas hutan didominasi oleh jenis Acaulospora,

sedangkan di tanah PMK bekas kebun karet dan tanah gambut bekas hutan

didominasi oleh Glomus.

Kata kunci : isolasi, karakterisasi, pemurnian, CMA, PMK, gambut

Abstract

Every rhizosphere of a plant within any ecosystem has various kinds of

microorganism, including AMF. Each ecosystem also has different species and

strains of AMF, and in order to identify for further use, the isolation and

characterization steps of AMF spores are required. The study was conducted on

three different locations of oil palm plantation which developed on Red Yellow

Podzolic (RYP) of used forest and rubber plantation, and peat of used forest soils.

The study had identified that at each soil type was found 2 AMF genus i.e.

Glomus and Acaulospora. At oil palm rhizosphere, it was found 9 strains of AMF

Page 34: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

9

(5 strains of Acaulospora and 4 strains of Glomus) on RYP of used forest, 9

strains of AMF (7 strains of Glomus and 2 strains of Acaulospora) on RYP of

used rubber plantation, and 12 strains of AMF (7 strains of Glomus and 5 strains

of Acaulospora) on peat of used forest. In the rhizosphere of oil palms planted in

RYP of used forest soil, AMF was dominated by Acaulospora, whereas those in

RYP of used rubber plantation and peat of used forest soils, were dominated by

Glomus.

Key words: isolation, characterization, purification, AMF, RYP, peat

Pendahuluan

CMA secara taksonomi termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, ordo

Glomales yang terbagi dalam dua sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae.

Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus yaitu,

Gigaspora dan Scutellospora. Glomales mempunyai dua famili yaitu famili

Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, serta famili Acaulosporaceae

dengan genus Acaulospora, dan Entrophospora (Smith & Read, 1997).

Dijelaskan lebih lanjut dalam INVAM (2003) bahwa telah ditemukan dua famili

tambahan berdasarkan karakteristik DNA yaitu Paraglomaceae dengan genusnya

Paraglomus yang memiliki dua jenis yaitu P. occultum Morton and Redecker dan

P. brasilianum; serta Archaesporaceae dengan genusnya Archaespora yang

memiliki tiga jenis yaitu A. trappei, A. leptoticha, A. gerdemani.

CMA berperan penting dalam ekosistem alami maupun ekosistem yang

telah dikelola, sebab CMA dapat menguntungkan tanaman dalam hal penyediaan

hara, antagonisme bagi organisme parasit akar, sinergisme dengan mikroba tanah

lainnya, selain itu terlibat dalam siklus hara, perbaikan struktur tanah (agregasi

tanah), alat transpor karbon dari akar tanaman bagi organisme tanah lainnya

(Brundrett et al. 1996; Smith dan Smith 1996; Smith & Read 1997). Asosiasi

antara CMA dan tanaman inangnya merupakan mekanisme yang sangat penting

dalam rangka untuk mengatasi keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan.

CMA ini mempunyai selang ekologis yang luas dan dapat dijumpai dalam

sebagian ekosistem yang meliputi semak, sabana (Cuenca & Lovera 1992), arid

(Allen & Allen 1992), semi arid (Lee et al. 1996), daerah temperate, tropika

Page 35: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

10

(Muthukumar et al. 1996), di daerah antartika (Phipps & Taylor 1996), ekosistem

gambut alami (Astiani & Ekamawanti 1996) dan gambut yang sudah terbuka

(Ekamawanti et al. 1994; Ervayenri 1998), hutan hujan tropika (Janos &

Hartshorn 1997), serta padang rumput (Nadarajah & Nawawi 1997).

Populasi dan keanekaragaman CMA pada tanah-tanah mineral masam di

Indonesia cukup tinggi, tetapi umumnya didominasi oleh genus Glomus,

Acaulospora, Gigaspora dan Scutellospora. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa setiap jenis tanah dan jenis tanaman memiliki jenis CMA yang berbeda,

seperti di pulau Jawa dan Bali ditemukan Acaulospora walkeri yang berasosiasi

dengan tanaman kakao (Kramadibrata & Hedger 1990), pada tanah masam di

Pondok Gede, Layung Sari, dan Cimatis yang ditumbuhi alang-alang, jagung dan

kakao ditemukan Acaulospora, Gigaspora, Glomus dan Scutellospora (Widiastuti

& Kramadibrata, 1992), serta di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara

ditemukan Glomus spp., Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan Scutellospora sp.

(Puspa & Suwandi 1990).

Menurut Sieverding (1991), berdasarkan nilai pH tanah, CMA yang hidup

paling baik pada pH < 5,0 adalah Entrophospora columbiana, pada pH > 5,0

meliputi Glomus mosseae dan Gigaspora margarita serta pada pH 4,0-8,0 terdiri

dari Acaulospora myriocarpa, A. longula, A. morrowae, A. scrobiculata, G.

aggregatum, G. versiforme dan Scutellospora pellucida. Hasil penelitian Heijne

et al. (1996) menunjukkan bahwa infeksi CMA Glomus fasciculatum menurun

dengan menurunnya pH tanah pada perakaran tanaman Arnica montana L.,

Hieracium pilosella L dan Deschampsia flexuosa L.

Acaulospora lebih banyak tersebar pada tanah masam dan Gigaspora sp.

lebih umum ada di tanah-tanah masam daripada Glomus sp. Beberapa spora

CMA ada yang lebih tahan terhadap keadaan asam dan alumunium tinggi daripada

yang lainnya. Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan Glomus manihotis termasuk

pada jenis CMA yang toleran terhadap keadaan masam dan Al tinggi (Clark

1997).

Di daerah penelitian (tanah PMK bekas hutan yang terletak di PT Rigunas

Agri Utama, Kebun Bukit Harapan, Desa Tuo Sumay, Kecamatan Sumay,

Page 36: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

11

Kabupaten Tebo; tanah PMK bekas kebun karet (berumur 22-25 tahun) yang

terletak di PTP Nusantara VI Kebun Rimbo I, Desa Pematang Sapat, Kecamatan

Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo; dan tanah gambut bekas hutan yang terletak di

PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten

Muaro Jambi) memiliki keadaan lingkungan yang berbeda sehingga kemungkinan

juga akan memiliki jenis CMA yang berbeda serta sampai saat ini kemungkinan

tersebut belum ada yang melaporkan.

Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga

lokasi perkebunan kelapa sawit yaitu pada tanah PMK bekas hutan, tanah PMK

bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Silvikultur

Fakultas Kehutanan IPB dan di Laboratorium Research Group on Crop

Improvement (RGCI) Fakultas Pertanian IPB. Waktu penelitian dari bulan April

2002 sampai dengan Agustus 2003.

Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan di tiga lokasi perkebunan kelapa

sawit di Provinsi Jambi yang terdiri dari jenis tanah PMK bekas hutan yang

terletak di PT Rigunas Agri Utama Desa Tuo Sumay Kecamatan Sumay

Kabupaten Tebo, tanah PMK bekas kebun karet yang terletak di PTP Nusantara

VI Desa Pematang Sapat Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo, dan tanah

gambut bekas hutan yang terletak di PT Era Sakti Parastama Desa Sakean

Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi. Contoh tanah diambil dari

zona perakaran (rizosfir) kelapa sawit dengan kedalaman 0-20 cm, kemudian

dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label dari masing-masing jenis.

Page 37: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

12

Contoh tanah merupakan komposit dari 20 titik pengambilan contoh, di mana

masing-masing titik banyaknya 500 g.

Pengamatan Spora Awal

Pengamatan spora awal dilakukan di bawah mikroskop. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa jumlah spora sangat sedikit yang kemungkinan pada saat

pengambilan contoh tanah tidak pada musim sporulasi, oleh karena itu dilakukan

kegiatan trapping terlebih dahulu. Selain adanya spora kemungkinan ada

propagul lain sehingga dilakukan juga penaksiran jumlah propagul dengan teknik

Most Probable Number (MPN).

Trapping (Pemerangkapan) CMA

Teknik trapping yang digunakan mengikuti metode Brundrett et al. (1994)

dengan menggunakan pot-pot kultur kecil. Media tanam yang digunakan berupa

campuran contoh tanah sebanyak ± 50 g dan batuan zeolit berukuran 1-2 mm

sebanyak ± 150 g. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot

kultur diisi dengan zeolit sampai setengah volume pot, kemudian dimasukkan

contoh tanah dan terakhir ditutup dengan zeolit sehingga media tanam tersusun

atas zeolit-contoh tanah-zeolit.

Benih-benih P. javanica yang akan digunakan sebagai tanaman inang

terlebih dahulu direndam dalam larutan Bayclin selama 5 -10 menit sebagai upaya

sterilisasi permukaan. Kemudian benih tersebut direndam dalam air hangat

selama ± 24 jam untuk memecahkan dormansi yang mungkin terjadi. Selanjutnya

benih-benih tersebut disemaikan dalam bak persemaian selama ± 10 hari. Setelah

itu kecambah dipindahkan langsung ke dalam pot-pot kultur.

Pemeliharan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan

pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex

merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/ 2 L air. Pemberian larutan hara

dilakukan setiap minggu sebanyak ± 20 mL tiap pot kultur.

Page 38: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

13

Setelah kultur berumur ± empat bulan dilakukan pemanenan untuk

mendapatkan spora-spora yang akan digunakan pada kegiatan tahap berikutnya.

Peubah yang diamati adalah jumlah spora per 50 g media tanam dan tipe spora.

Penaksiran Kepadatan Propagul dengan Teknik Most Probable Number

(MPN)

Setiap contoh tanah dihaluskan dan dilakukan pengenceran dengan

kelipatan 10 sebanyak tujuh kali pengenceran dengan mencampur contoh tanah uji

langsung dari lapang dengan zeolit yang telah steril dan setiap pengenceran

diulang lima kali. Campuran media dimasukkan ke dalam pot-pot plastik.

Benih P. javanica yang telah disterilkan dan telah dikecambahkan ditanam

pada pot kultur tersebut dan dipelihara di rumah kaca selama lebih kurang 5

minggu. Pemeliharaan meliputi penyiraman dan pemupukan dengan larutan hara

Hyponex merah (25-5-20).

Setelah 5 minggu, dilakukan pemanenan akar dengan cara memotong

bagian akar. Akar-akar tersebut dicuci dan dipotong-potong kemudian

dimasukkan ke dalam botol yang berisi Formalin Aceto Alcohol (FAA).

Selanjutnya akar-akar tersebut diwarnai dengan larutan pewarna melalui teknik

pewarnaan akar dari Kormanik dan McGraw (1982). Akar-akar yang telah

didestaining diamati di bawah mikroskop untuk melihat ada tidaknya infeksi

CMA. Prosedur lengkap pewarnaan akar dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kemudian hasil pengamatan dapat dihitung MPN-nya.

Isolasi Spora dan Identifikasi CMA

Ekstraksi CMA dilakukan untuk memisahkaan spora dari contoh tanah

sehingga dapat dilakukan identifikasi CMA guna mengetahui genus spora CMA.

Teknik yang digunakan adalah teknik tuang–saring dari Pacioni (1992) dan

dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996).

Prosedur teknik tuang-saring ini, pertama adalah mencampurkan contoh

tanah sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air, lalu diaduk sampai butiran-butiran

tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 500 μm

Page 39: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

14

dan 45 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas

disemprot dengan air kran untuk memudahkan spora lolos. Kemudian saringan

teratas dilepas, dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah

dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.

Isolasi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik

sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse

ditambah glukosa 60 % dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup

rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya

larutan supernatan tersebut dihisap dengan pipet hisap dan dituang ke dalam

saringan 45 μm, dicuci dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan

glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di atas, dituangkan ke dalam cawan

petri plastik dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop binokuler untuk

penghitungan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora CMA yang

ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan

bahan pengawet PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat.

Spora-spora CMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlahnya

diletakkan dalam larutan Melzer’s dan PVLG. Selanjutnya spora-spora tersebut

dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat

menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah

salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.

Pembuatan Kultur Spora Tunggal

Pembuatan kultur spora tunggal mengacu pada metode yang dilakukan

Mansur (2000), yaitu Petridish Observation Chamber (PDOC). Cawan petri

plastik yang akan digunakan sebagai tempat penanaman kultur terlebih dahulu

dilubangi (0,5 cm x 0,5 cm) pada bagian tepinya yang berfungsi sebagai tempat

munculnya kecambah. Kemudian cawan petri plastik diisi batuan zeolit

berukuran 1-2 mm sampai penuh dan cukup padat. Sebelumnya zeolit disterilisasi

dengan autoklaf untuk memusnahkan patogen atau nematoda yang terbawa yang

dapat merusak kultur.

Page 40: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

15

Spora-spora CMA yang telah diisolasi dari kultur trapping dikumpulkan

dalam gelas arloji dan dilakukan pemisahan berdasarkan genusnya. Kemudian

bibit P. javanica yang telah memiliki 2-3 helai daun (umur 7-10 hari setelah

semai) diletakkan di atas kertas putih atau kertas tissue.

Selanjutnya spora diambil dengan pinset dan diletakkan pada akar bibit

tersebut. Setiap bibit hanya diinokulasi dengan satu spora. Bibit yang telah

diinokulasi dipindahkan pada media kultur dengan posisi bagian batang bibit

diletakkan pada bagian tepi cawan petri plastik yang telah dilubangi. Selanjutnya

cawan petri plastik ditutup dengan penutupnya dan diberi perekat supaya tidak

tumpah. Kemudian cawan petri plastik diberi label.

Cawan petri plastik kultur dibungkus dengan alumunium foil untuk

mengurangi pengaruh langsung cahaya terhadap media kultur. Cawan petri

plastik selanjutnya diletakkan dalam bak plastik kecil yang berfungsi sebagai

tempat air dan larutan hara bagi kultur. Pemberian air melalui bak plastik

dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, sedangkan pemberian larutan hara

Hyponex merah dilakukan 1 kali seminggu dengan konsentrasi 1 g/2 L.

Kultur dipelihara selama 6 bulan tergantung sporulasi yang terjadi. Untuk

mengetahui perkembangan proses sporulasi maka kultur-kultur diamati setiap

minggu yang dimulai pada awal minggu kedua setelah pembuatan kultur. Jika

spora yang terbentuk sudah cukup banyak maka akan dilakukan sub-kultur ke

dalam pot-pot kultur yang lebih besar.

Perbanyakan Kultur CMA

Kultur spora tunggal yang sudah menghasilkan spora cukup baik langsung

disub-kulturkan untuk memperbanyak jumlah spora yang terbentuk. Teknik

subkultur dilakukan dengan cara menanam langsung cawan petri plastik spora

tunggal yang telah dibuka penutupnya ke dalam pot-pot plastik kecil yang telah

diisi zeolit kira-kira sepertiga volume pot. Selanjutnya pot diisi zeolit sampai

penuh.

Kultur-kultur ini akan dipelihara di rumah kaca sampai berumur kurang

lebih 4 bulan. Selama kegiatan pemeliharaan dilakukan penyiraman dan

Page 41: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

16

pemberian larutan hara Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/2 L air

sebanyak 20 mL setiap pot yang dilakukan setiap minggu.

Hasil pemanenan kultur akan digunakan untuk uji keefektivan terhadap

bibit kelapa sawit pada percobaan selanjutnya.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

a. Kepadatan Spora

Berdasarkan hasil percobaan didapatkan jumlah spora hasil traping per 50

g contoh tanah untuk setiap ekosistem (jenis tanah PMK bekas hutan, tanah PMK

bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan) seperti terlihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh

tanah berbeda untuk setiap jenis tanah, dimana jumlah spora terbanyak adalah di

tanah PMK bekas kebun karet, disusul dengan tanah gambut bekas hutan dan

tanah PMK bekas hutan. Sedangkan kepadatan spora alami sebelum dilakukan

trapping hanya 1-10 spora saja per 50 g tanah untuk setiap jenis tanah.

Tabel 1. Jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh tanah pada setiap jenis

tanah

Ulangan Tanah PMK bekas Tanah PMK bekas Tanah gambu bekas

Hutan kebun karet hutan

1 167 224 165

2 160 110 178

3 148 187 138

4 170 171 167

Rata-rata 161.25 173 162

b. Jumlah Propagul Infektif

Setiap jenis tanah mengandung jumlah propagul infektif yang berbeda,

yaitu di tanah PMK bekas hutan sebanyak 700 organisme/g tanah, di tanah PMK

bekas kebun karet sebanyak 1400 organisme/g tanah, dan di tanah gambut bekas

hutan sebanyak 1100 organisme/g tanah.

Page 42: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

17

Jumlah propagul infektif yang tertinggi ternyata diperoleh pada tanah

PMK bekas kebun karet diikuti oleh tanah gambut bekas hutan dan tanah PMK

bekas hutan.

c. Karakterisasi Tipe Spora

Identifikasi tipe spora hasil isolasi atas dasar karakteristik morfologi dan

responnya terhadap larutan Melzer’s di setiap jenis tanah ternyata memiliki

jumlah dan tipe spora yang berbeda walaupun ada beberapa yang satu tipe. Tipe

spora di tanah PMK bekas hutan ada sembilan tipe yaitu termasuk ke dalam genus

Glomus (empat tipe) dan Acaulospora (lima tipe), seperti terlihat pada Tabel 2.

Demikian juga dengan tipe spora yang ada di tanah PMK bekas kebun karet ada

sembilan tipe dengan genus Glomus (tujuh tipe) dan Acaulospora (dua tipe),

seperti terlihat pada Tabel 3. Tipe spora di tanah gambut bekas hutan primer

terdapat 12 tipe spora yaitu Glomus (tujuh tipe) dan Acaulospora (lima tipe),

seperti terlihat pada Tabel 4.

d. Kultur spora tunggal

Berdasarkan kultur spora tunggal didapatkan bahwa tidak semua tipe spora

yang dikulturkan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari sembilan

jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus) yang ditemukan di

rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan hanya empat tipe

spora yang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik yaitu tipe spora Glomus

sp-3a (P-3), Glomus sp-4a (P-4), Acaulospora sp-3a (P-7), dan Acaulospora sp-

5a (P-9). Demikian juga di tanah PMK bekas kebun karet, dari sembilan jenis

CMA (tujuh tipe Glomus dan dua tipe Acaulospora) yang ditemukan hanya empat

tipe spora yang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik yaitu Glomus sp-2b

(S-2), Glomus sp-3b (S-3), Glomus sp-7b (S-7) dan Acaulospora sp-1b (S-8).

Sedangkan di tanah gambut bekas hutan dari 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus

dan lima tipe Acaulospora) yang diperoleh, hanya tiga tipe spora yang tumbuh dan

berkembang dengan baik yaitu Glomus sp-1c (G-1), Glomus sp-5c (G-5), dan

Acaulospora sp-5c (G-12).

Page 43: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

18

Tabel 2. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam pada

tanah PMK bekas hutan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

No.

Tipe Spora Karakteristik morfologi

(Pembesaran 100 kali)

Reaksi dengan melzer’s

1 Glomus sp-1a

Spora berbentuk bulat,

berwarna hitam, per-

mukaan spora halus,

mempunyai hyphal

attachment berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

2

Glomus sp-2a

Spora berbentuk lon-

jong, berwarna keco-

klatan, permukaan spo-

ra halus, berdinding te-

bal, tidak mempunyai

hyphal attachment.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

3

Glomus sp-3a

Spora berbentuk bulat,

berwarna kuning tua,

permukaan spora halus

dan berdinding tebal,

tidak mempunyai hy-

phal attachment.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

4 Glomus sp-4a

Spora berukuran bulat,

berwarna kuning sangat

muda (keputihan), per-

mukaan spora halus, ti-

dak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

Page 44: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

19

Tabel 2. Lanjutan

5 Acaulospora sp-1a

Spora berukuran bulat,

berwarna kekuningan,

permukaan spora halus.

Bereaksi dengan pewar-

na Melzer’s, terjadi pe-

rubahan warna. Bagian

dalam spora berwarna

merah tua dan bagian

luar berwarna kuning.

6 Acaulospora sp-2a

Spora berukuran bulat,

berwarna kuning sangat

muda (kuning keputih-

an), permukaan spora

relatif kasar dan mem-

bentuk ornament seper-

ti kulit jeruk.

Bereaksi dengan pewar-

na Melzer’s, terjadi pe-

rubahan warna. Bagian

dalam spora berwarna

kuning muda bagian luar

berwarna kuning kepu-

tihan.

7 Acaulospora sp-3a

Spora berbentuk pipih,

berwarna kuning kehi-

jauan. Permukaan spora

relatif kasar dan

membentuk ornament

seperti kulit jeruk.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

8 Acaulospora sp-4a

Spora berbentuk bulat

dan berukuran lebih

kecil dari Acaulospora

sp-1a, berwarna keku-

ningan. Permukaan

spora relatif halus.

Bereaksi dengan pewar-

na Melzer’s, terjadi pe-

rubahan warna. Bagian

dalam spora berwarna

merah tua dan bagian

luar berwarna kuning.

9 Acaulospora sp-5a

Spora berukuran bulat,

berwarna kecoklatan.

Permukaan spora relatif

halus.

Bereaksi dengan pewar-

na Melzer’s, terjadi pe-

rubahan warna. Bagian

dalam spora berwarna

merah tua dan bagian

luar berwarna kuning.

Page 45: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

20

Tabel 3. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam pada

tanah PMK bekas kebun karet Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

No. Tipe Spora Karakteristik morfologi

(Pembesaran 100 kali)

Reaksi dengan melzer’s

1 Glomus sp- 1b

Spora berbentuk lon-

jong, berwarna keco-

klatan, permukaan spo-

ra agak kasar, tidak

mempunyai hyphal

attachment.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

2

Glomus sp- 2b

Spora berbentuk bulat,

berwarna kuning muda,

permukaan spora halus,

mempunyai hyphal

attachment berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

3

Glomus sp- 3b

Spora berbentuk bulat,

berwarna coklat tua,

permukaan spora relatif

kasar, mempunyai hy-

phal attachment ber-

bentuk lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

4 Glomus sp-4b

Spora berbentuk bulat,

berwarna coklat tua,

permukaan spora relatif

kasar, mempunyai hy-

phal attachment ber-

bentuk lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

Page 46: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

21

Tabel 3. Lanjutan

5 Glomus sp-5b

Spora berbentuk lon-

jong, berwarna kuning

muda, permukaan spora

agak kasar, tidak

mempunyai hyphal

attachment.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

6 Glomus sp-6b

Spora berbentuk bulat,

berwarna hitam, per-

mukaan spora halus,

mempunyai hyphal

attachment berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

7 Glomus sp-7b

Spora berbentuk bulat,

berwarna hitam, per-

mukaan spora halus,

mempunyai hyphal

attachment berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

8 Acaulospora sp-1b

Spora berukuran bulat,

berwarna kuning kepu-

tihan (kuning sangat

muda), Permukaan

agak kasar.

Bereaksi dengan pewa-

rna Melzer’s, terjadi pe-

rubahan warna. Bagian

dalam spora berwarna

kuning dan bagian luar

berwarna kuning sangat

muda.

9 Acaulospora sp-2b

Spora berbentuk bulat,

berwarna kekuningan.

Permukaan spora relatif

halus.

Bereaksi dengan pewar-

na Melzer’s, terjadi pe-

rubah-an warna. Bagian

dalam spora berwarna

merah tua dan bagian

luar berwarna kuning.

Page 47: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

22

Tabel 4. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam pada

tanah gambut bekas hutan Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi

No. Tipe Spora Karakteristik morfologi

(Pembesaran 100 kali)

Reaksi dengan melzer’s

1

Glomus sp-1c

Spora berbentuk bulat,

berwarna hitam, per-

mukaannya halus,

mempunyai hyphal

attachments berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

2 Glomus sp-2c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kuning tua,

permukaannya halus,

tidak mempunyai hy-

phal attachment.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

3 Glomus sp-3c

Spora berbentuk bulat,

berwarna hitam, per-

mukaannya halus dan

berdinding lebih tebal

dari Glomus sp-2c,

mempunyai hyphal

attachments berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

4 Glomus sp-4c

Spora berbentuk lon-

jong, berwarna coklat,

permukaannya relatif

kasar mempunyai hy-

phal attachments ber-

bentuk lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

Page 48: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

23

Tabel 4. Lanjutan

5 Glomus sp-5c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kecoklatan,

permukaannya relatif

kasar, mempunyai hy-

phal attachments ber-

bentuk lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

6

Glomus sp-6c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kuning tua,

permukaannya halus,

mempunyai hyphal

attachments berbentuk

lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

7

Glomus sp-7c

Spora berbentuk bulat,

berwarna coklat kehi-

taman, permukaannya

halus, mempunyai

hyphal attachments

berbentuk lurus.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

8

Acaulospora sp-1c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kecoklatan,

permukaannya relatif

kasar.

Bereaksi dengan pe-

warna Melzer’s, terjadi

perubahan warna dari

kecoklatan menjadi co-

klat kemerahan. Bagian

dalam spora berwarna

merah muda dan bagian

luar berwarna keku-

ningan.

Page 49: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

24

Tabel 4. Lanjutan

9

Acaulospora sp-2c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kekuningan,

permukaannya relatif

kasar.

Bereaksi dengan pe-

warna Melzer’s, terjadi

perubahan warna dari

kekuningan menjadi

kuning kemerahan. Ba-

gian dalam spora ber-

warna merah dan ba-

gian luar berwarna ke-

kuningan.

10

Acaulospora sp-3c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kuning muda,

permukaannya relatif

kasar..

Bereaksi dengan pe-

warna Melzer’s, terjadi

perubahan warna dari

kecoklatan menjadi ku-

ning kecoklatan. Ba-

gian dalam spora ber-

warna kuning muda

dan bagian luar ber-

warna kuning agak tua.

11

Acaulospora sp-4c

Spora berbentuk bulat,

berwarna kuning muda,

permukaannya relatif

kasar.

Bereaksi dengan pe-

warna Melzer’s, terjadi

perubahan warna. Ba-

gian dalam spora ber-

warna kuning muda

dan bagian luar berwar-

na kuning sangat muda.

12

Acaulospora sp-5c

Spora berbentuk pipih,

berwarna kuning kehi-

jauan. Permukaannya

relatif kasar dan

membentuk ornament

seperti kulit jeruk.

Tidak bereaksi dengan

pewarna Melzer’s

Page 50: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

25

Pembahasan

Kepadatan spora alami sebelum trapping pada setiap jenis tanah hanya

ditemukan 1-10 spora/50 g tanah. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil

penelitian Nadarajah dan Nawawi (1997) yang menemukan 33- 63 spora/50 g

tanah, Nadarajah (1999) yang menjumpai jumlah spora 109-114 spora/100 g tanah

serta Widiastuti (2004) yang mendapatkan 3-103 spora/100 g tanah pada rizosfir

kelapa sawit. Rendahnya kepadatan spora alami pada rizosfir kelapa sawit ini

kemungkinan pada saat mengambil contoh tanah CMA belum bersporulasi, jadi

pada contoh tanah tersebut lebih banyak mengandung propagul yang lain seperti

hifa.

Selanjutnya kepadatan spora pada rizosfir kelapa sawit untuk setiap jenis

tanah hasil trapping menunjukkan hasil yang berbeda. Kepadatan spora tertinggi

diperoleh di tanah PMK bekas kebun karet (173 spora/50 g tanah), diikuti tanah

gambut (162 spora/50 g tanah) dan tanah PMK bekas hutan (161.25 spora/50 g

tanah) seperti tercantum pada Tabel 1. Hasil ini ternyata lebih rendah juga

dibandingkan kepadatan spora hasil trapping Widiastuti (2004) yang menemukan

1-474 spora/100 g tanah.

Jumlah propagul di setiap rizosfir juga bervariasi di antara jenis tanah di

mana yang tertinggi diperoleh di tanah PMK bekas kebun karet (1400/g tanah),

diikuti tanah gambut bekas hutan (1100/g tanah) dan tanah PMK bekas hutan

(700/g tanah).

Perbedaan kepadatan spora dan jumlah propagul di antara contoh jenis

tanah kemungkinan karena perbedaan lingkungan asal (jenis tanah, hara tanaman,

pemupukan, cahaya, dan lain-lain) dan juga tanaman inang itu sendiri (umur

tanaman inang), maupun cara pengelolaan. Menurut hasil penelitian Widiastuti

(2004) bahwa umur kelapa sawit menentukan kepadatan spora dan jumlah

propagul infektif yang ada di rizosfirnya, di mana semakin tua umur kelapa sawit

maka jumlah spora dan propagulnya semakin menurun. Pada penelitian ini,

contoh tanah yang diambil adalah dari rizosfir kelapa sawit yang berumur 8 tahun

(untuk tanah PMK bekas kebun karet dan tanah PMK bekas hutan ) dan 3 tahun

(untuk tanah gambut bekas hutan), berarti pernyataan Widiastuti (2004) tidak

Page 51: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

26

berlaku untuk penelitian ini. Selain itu, hasil penelitian Ervayenri (1998) justru

mendapatkan bahwa pada rizosfir kelapa sawit yang berumur 3 tahun lebih

banyak jumlah spora dan propagul infektifnya dibandingkan kelapa sawit yang

berumur 1 tahun. Jadi pada penelitian ini perbedaan kepadatan spora dan

propagul terutama disebabkan perbedaan lingkungan tumbuh kelapa sawit,

keberadaan vegetasi lain di bawah tanaman kelapa sawit dan mungkin juga cara

pengelolaannya, bukan hanya semata-mata karena umur kelapa sawitnya.

Jumlah spora dan propagul infektif di tanah PMK bekas hutan ternyata

lebih sedikit daripada tanah PMK bekas kebun karet. Hal ini kemungkinan pada

tanah PMK bekas hutan, tanah tersebut masih alami (belum pernah dikelola),

sedangkan PMK bekas kebun karet sudah dikelola untuk perkebunan karet

sebelum ditanami kelapa sawit. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian

Erickson (2001) yang menunjukkan bahwa kolonisasi dan jumlah spora CMA

nyata lebih tinggi pada pengelolaan tanah (cara pengolahan dan pemupukan) yang

kontinyu secara terus-menerus dibandingkan pengelolaan tanah yang tidak

kontinyu. Sebaliknya hasil penelitian Ervayenri (1998) menunjukkan bahwa

jumlah spora dan propagul infektif CMA di tanah yang terganggu lebih sedikit

daripada yang belum terganggu (alami). Demikian juga dengan hasil penelitian

McGonigle et al. (1990) dan Zhao et al. (2001) yang mendapatkan bahwa

pengolahan tanah justru dapat mengurangi kolonisasi mikoriza serta tingkat

pemupukan yang tinggi juga dapat berpengaruh negatif pada mikoriza. Dalam hal

ini berarti bahwa jumlah spora dan propagul infektif di tanah PMK bekas kebun

karet tidak berkurang akibat adanya pengolahan dan pemupukan tanah tersebut.

Jadi berkurangnya jumlah spora dan propagul infektif pada suatu jenis tanah

mungkin lebih disebabkan oleh perbedaan lingkungan, musim waktu pengambilan

contoh tanah, jenis tanaman inang, keberadaan vegetasi lain di bawah kelapa sawit

dan bukan semata-mata karena adanya pengolahan tanah dan pemupukan saja.

Jumlah CMA di tanah pertanian bervariasi tergantung musim setiap tahun

dan juga tergantung beberapa faktor seperti pertumbuhan tanaman, faktor edafik,

pola cuaca setiap musim dan pengelolaan (pemupukan, cara pemupukan dan

pengolahan tanah). Seperti halnya hasil penelitian Giovannetti (1985) dan Sturmer

Page 52: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

27

& Bellei (1994) yang mendapatkan bahwa jumlah spora atau frekuensi sporulasi

CMA bervariasi sesuai musim.

Keanekaragaman jenis CMA di tanah yang diteliti cukup tinggi, di mana

pada tanah PMK bekas hutan dan PMK bekas kebun karet masing-masing

ditemukan 9 tipe spora, sedangkan di tanah gambut bekas hutan ada 12 tipe spora.

Keragaman spesies yang didapatkan pada penelitian ini ternyata lebih tinggi

daripada hasil penelitian Puspa dan Suwandi (1990) yang menemukan enam

spesies dan Nadarajah (1999) yang hanya memperoleh tujuh spesies pada rizosfir

kelapa sawit. Keragaman yang berbeda ini disebabkan karena perbedaan

lingkungan, jenis vegetasi yang ada di bawah kelapa sawit dan cara pengelolaan.

Pada setiap jenis tanah hanya ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus

dan Acaulospora. Hal ini berhubungan dengan waktu pengambilan sampel tanah

dan pada saat pengambilan sampel untuk karakterisasi. Kemungkinan pada saat

pengambilan sampel tanah untuk trapping itu hanya ada propagul Glomus dan

Acaulospora yang ada, demikian juga saat pengambilan sampel tanah dari hasil

trapping, sebab keberadaan dan keanekaragaman CMA dipengaruhi oleh faktor

lingkungan dan tanaman inang seperti hasil penelitian Johnson-Green & Booth

(1995) dan Siguenza et al. (1996). Selain itu menurut Ocampo et al. (1986), setiap

individu CMA dipengaruhi oleh faktor intrinsik terhadap perubahan lingkungan

seperti halnya musim. Kemungkinan lain adalah ada beberapa genus CMA yang

terbatas penyebarannya sehingga kemungkinan genus spora yang ditemukan dari

suatu jenis tanah pada suatu wilayah pada suatu waktu tertentu mungkin tidak

mewakili seluruh spora yang ada dari genus CMA yang ada di daerah tersebut.

Tipe spora di rizosfir kelapa sawit pada tanah PMK bekas hutan dan PMK

bekas kebun karet ditemukan dalam jumlah yang sama yaitu sembilan tipe spora,

walaupun tipenya berbeda, sedangkan di tanah gambut bekas hutan ada 12 tipe

spora. Di tanah PMK bekas hutan jenis Acaulospora yang mendominasi (lima

tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus), sedangkan di tanah PMK bekas kebun

karet jenis Glomus yang mendominasi (tujuh tipe) daripada tipe Acaulospora

(dua tipe). Demikian juga di tanah gambut bekas hutan jenis Glomus juga yang

mendominasi (tujuh tipe Glomus) dibandingkan jenis Acaulospora (lima tipe).

Page 53: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

28

Jadi jelas terlihat bahwa jenis tanah sangat mempengaruhi keberadaan jenis CMA

juga setiap jenis CMA memiliki kemampuan beradaptasi yang berbeda di setiap

ekosistem. Hasil penelitian Allen & Cunningham (1983), Pond et al. (1984),

Ragupathy & Mahadevan (1991) dan Purwanto (1999) menunjukkan bahwa jenis

Glomus lebih beradaptasi dibandingkan genus yang lain terhadap kisaran keadaan

lingkungan yang luas.

Tipe spora yang berhasil diperbanyak melalui kultur spora tunggal hanya

44,4 % (empat tipe) untuk masing-masing tanah PMK bekas hutan dan PMK

bekas kebun karet, sedangkan untuk tanah gambut bekas hutan hanya 25 % (tiga

tipe) dari seluruh spora yang ditemukan. Hal ini kemungkinan disebabkan daya

adaptasi dari setiap tipe tersebut, di mana tidak semua tipe spora yang ditemukan

mampu beradaptasi pada keadaan lingkungan yang baru. Oleh sebab itu, hanya

spora yang memiliki adaptasi yang tinggi saja yang mampu hidup dan

berkembang di lingkungan yang baru. Demikian juga berdasarkan Invam (2003),

Glomus memang merupakan jenis CMA yang paling dominan dan mempunyai

toleransi yang luas terhadap berbagai faktor lingkungan, sebab dari 172 jenis

CMA yang sudah diidentifikasi ternyata 52,3 % adalah jenis Glomus diikuti oleh

Acaulospora 20,9 %, Scutellospora 16,9 %, Gigaspora 4,7 %, Entrophospora 2,3

%, Archaespora 1,7 % dan Paraglomus 1,2 %. Hasil penelitian Ervayenri (1998)

di tanah gambut di Dumai dan Perawang Kabupaten Bengkalis didapatkan bahwa

jenis Glomus juga yang mendominasi daerah tersebut. Dari 27 tipe spora yang

ditemukan genus Glomus mempunyai tipe spora yang tertinggi.

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka untuk mendapatkan

jumlah spora yang banyak dapat diisolasi dari tanah PMK bekas kebun karet

dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan CMA

tersebut terutama waktu pengambilan contoh tanah. Sebaliknya untuk

mendapatkan keanekaragaman tipe spora, tanah gambut bekas hutan lebih baik

dibandingkan tanah PMK. Tetapi walaupun demikian, keberadaan CMA di suatu

ekosistem sangat bervariasi karena banyak yang mempengaruhi antara lain oleh

perbedaan musim, keadaan lingkungan, jenis tanaman inang, jenis vegetasi di

sekitarnya, cara pengelolaan dan sebagainya. Demikian juga untuk

Page 54: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

29

mempertahankan keberadaan CMA dalam suatu ekosistem, ternyata tidak bisa

dengan cara pengurangan pengolahan tanah atau pemupukan sebab hasil

penelitian ini dan dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

banyak sekali faktor yang mempengaruhi keberadaan CMA tersebut selain cara

pengelolaan tersebut.

Kesimpulan

1. Jenis CMA yang tedapat di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah

PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan memiliki

jumlah dan jenis yang berbeda. Pada setiap jenis tanah hanya ditemukan dua

genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora.

2. Jenis CMA di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan

diperoleh ssembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe

Glomus), di tanah PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe

Glomus dan dua tipe Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan

diperoleh 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora).

3. CMA di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan

didominasi oleh Acaulospora, sedangkan di tanah PMK bekas kebun karet dan

tanah gambut bekas hutan didominasi oleh Glomus.

4. Jenis CMA yang berhasil diisolasi dan diperbanyak dari kultur spora tunggal

di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan ada empat

tipe spora yaitu Glomus sp-3a (P-3), Glomus sp-4a (P-4), Acaulospora sp-3a

(P-7), dan Acaulospora sp-5a (P-9), di tanah PMK bekas kebun karet empat

tipe spora yaitu Glomus sp-2b (S-2), Glomus sp-3b (S-3), Glomus sp-7b (S-7)

dan Acaulospora sp-1b (S-8) serta di tanah gambut bekas hutan tiga tipe

spora yaitu Glomus sp-1c (G-1), Glomus sp-5c (G-5), dan Acaulospora sp-5c

(G-12).

5. Ekosistem buatan (tanah PMK bekas kebun karet) memiliki jumlah spora dan

propagul infektif lebih tinggi dibandingkan ekosistem alami (tanah PMK dan

gambut bekas hutan).

Page 55: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

PENGUJIAN KEEFEKTIVAN CMA TERHADAP BIBIT

KELAPA SAWIT PADA MEDIA TANAH PMK

BEKAS HUTAN, PMK BEKAS KEBUN KARET

DAN GAMBUT BEKAS HUTAN

Evaluation on the Effectiveness of AMF for Oil Palm Seedling

On Red Yellow Podzolic of Used Forest and Rubber Plantation

and Peat of Used Forest Soils Media

Abstrak

Setiap jenis CMA dapat memiliki keefektivan yang berbeda terhadap bibit

kelapa sawit dan jenis tanah di mana bibit tersebut tumbuh. Demikian juga antara

jenis CMA dapat bersifat sinergis atau dapat pula bersifat antagonis dalam

mempengaruhi pertumbuhan bibit kelapa sawit. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menguji keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah PMK bekas

hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan. Pengujian keefektivan

dilakukan terhadap isolat-isolat hasil kultur spora tunggal pada ketiga jenis tanah

tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CMA yang memiliki keefektivan

tertinggi di media tanah PMK bekas hutan adalah inokulum campuran tiga isolat

CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a; di media tanah

PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal CMA Glomus sp-3b serta di

media tanah gambut bekas hutan adalah inokulum campuran tiga isolat CMA

Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c.

Kata Kunci : kelapa sawit, CMA, PMK, tanah gambut

Abstract

Each kind of AMF possesses different level of effectiveness on oil palm

seedlings growing in various types of soil. Also, various kinds of AMF could act

synergistically and antagonistically to each other in influencing the growth of oil

palm seedlings. The objective of this study to evaluate AMF effectiveness to oil

palm seedling on RYP of used forest and rubber plantation, and peat of used

forest soils media. Evaluation on the effectiveness was conducted toward the

AMF isolates produced from a single spore culture on those three soil types.

The results showed that highest effectiveness of AMF on RYP of used

forest soil media was a mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-3a,

Acaulospora sp-3a and Acaulospora sp-5a; on RYP of used rubber plantation soil

media was single inoculums of AMF Glomus sp-3b; whereas on peat of used

forest soil media was a mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-1c,

Glomus sp-5c, and Acaulospora sp-5c.

Key words : oil palm, AMF, RYP, peat soil

Page 56: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

31

Pendahuluan

CMA dapat berasosiasi erat dengan lebih dari 90% spesies tanaman.

Keuntungan terbesar dari pengaruh simbiosis mikoriza adalah dihubungkan

dengan perbaikan hara P dari tanaman inang. Kolonisasi akar dengan CMA dapat

meningkatkan penyerapan P oleh akar tanaman dengan cara menyediakan

permukaan serapan yang lebih besar untuk P dan mengatasi masalah-masalah

yang berhubungan dengan perkembangan daerah deplesi, melalui translokasi

dalam hifa eksternal pada akar tanaman inang (Cooper & Tinker 1978). Ada

beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kolonisasi mikoriza membantu tanaman

untuk berkembang pada keadaan arid (Nelson & Safir 1982) menghalangi patogen

akar (Gianinazzi-Person & Gianinazzi 1983) serta meningkatkan agregasi tanah

dalam tanah tererosi (Tisdall 1991).

CMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, khususnya berhubungan

dengan kemampuannya dalam menyediakan hara mineral bagi tanaman, baik

berupa unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Menurut Marschner (1997),

tanaman yang bermikoriza mempunyai laju penyerapan unsur P per unit panjang

akar yang meningkat 2-3 kali dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini

karena pada akar tanaman yang bermikoriza ditemukan hifa yang memberikan

kontribusi sebesar 70-80 % dari total penyerapan P. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa CMA mampu meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara

tanaman (Ortas et al. 1996; Camprubi & Calvet 1996; Graham et al. 1996;

Schreiner et al. 1997; Graham & Eissentat 1998; dan Fidelibus et al. 2000).

Menurut Abbott & Robson (1982) CMA dapat meningkatkan penyerapan

hara dalam tanah sebab CMA dapat mengurangi jarak bagi hara untuk memasuki

akar tanaman, meningkatkan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi hara pada

permukaan penyerapan dan mengubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga

memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman. Selanjutnya Fakuara

(1986), menjelaskan bahwa CMA dapat membantu tanaman dalam penyerapan

unsur hara fosfat dan nitrogen, di mana CMA mampu menguraikan fosfat ke

dalam bentuk yang dapat diserap oleh akar tanaman.

Page 57: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

32

Keefektivan setiap jenis CMA selain tergantung pada jenis CMA itu

sendiri juga sangat tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi

antara ketiganya (Brundrett 1996). Setiap jenis tanaman memberikan tanggap

yang berbeda terhadap CMA, demikian juga dengan jenis tanah, berkaitan erat

dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Setiap CMA mempunyai perbedaan

dalam kemampuannya meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman

(Daniels & Menge 1981), sehingga akan berbeda pula keefektivannya dalam

meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa setiap jenis CMA memiliki

efisiensi dan keefektivan yang berbeda-beda dalam meningkatkan pertumbuhan

tanaman, tergantung jenis CMA, jenis tanaman inang dan jenis tanah (lingkungan)

serta interaksi ketiganya (Rijal 1998; Putri 1998; Heijne et al. 1996; Clark 1997;

Hanapiah 1997).

Jenis CMA yang diisolasi dari pertanaman kelapa sawit telah didapatkan

pada penelitian sebelumnya yaitu di tanah PMK bekas hutan ada sembilan tipe

yang terdiri dari genus Glomus (empat tipe) dan Acaulospora (lima tipe), seperti

terlihat pada Tabel 3. Demikian juga dengan tipe spora yang ada di tanah PMK

bekas kebun karet ada sembilan tipe dengan genus Glomus (tujuh tipe) dan

Acaulospora (dua tipe), seperti terlihat pada Tabel 4. Tipe spora di tanah gambut

bekas hutan primer terdapat 12 tipe spora yaitu Glomus (tujuh tipe) dan

Acaulospora (lima tipe), seperti terlihat pada Tabel 5. Selanjutnya CMA yang

telah ditemukan pada percobaan sebelumnya tersebut diuji keefektivannya pada

bibit kelapa sawit.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektivan CMA pada bibit

kelapa sawit di media tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet dan

tanah gambut bekas hutan. Selanjutnya jenis CMA yang memiliki keefektivan

tertinggi akan digunakan untuk percobaan 3.

Page 58: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

33

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Bioteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Waktu penelitian dari bulan September

2003 sampai dengan April 2004.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan

3 ulangan yaitu jenis isolat CMA dari setiap jenis tanah perkebunan kelapa sawit

(tanah gambut bekas hutan, tanah PMK bekas hutan dan tanah bekas kebun karet)

dan isolat (Mycofer) yang ada di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan

Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, di mana setiap jenis isolat yang

ditemukan pada Penelitian 1 tersebut diuji pada masing-masing jenis tanah tempat

isolat tersebut berada. Isolat yang diujikan adalah isolat yang berhasil diperbanyak

dari hasil kultur spora tunggal yaitu untuk tanah PMK bekas hutan ada empat

isolat [Glomus sp-3a (P-3), Glomus sp-4a (P-4), Acaulospora sp-3a (P-7), dan

Acaulospora sp-5a (P-9) ], di PMK bekas kebun karet ada empat isolat [Glomus

sp-2b (S-2), Glomus sp-3b (S-3), Glomus sp-7b (S-7) dan Acaulospora sp-1b (S-

8) ] serta di tanah gambut bekas hutan ada tiga isolat [Glomus sp-1c (G-1),

Glomus sp-5c (G-5), dan Acaulospora sp-5c (G-12)], seperti tercantum pada

Tabel 6.

Model rancangan yang digunakan adalah :

Yij = μ + Ai + εij

Di mana :

Yij = hasil pengamatan pada perlakuan jenis isolat ke-i

μ = nilai rata-rata

Ai = pengaruh jenis isolat ke-i

i = 1, …, 18 untuk tanah PMK bekas hutan dan tanah gambut bekas

hutan; i = 1, …, 10 untuk tanah PMK bekas kebun karet

j = ulangan ke-1, 2, 3

εij = pengaruh galat

Page 59: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

34

Pelaksanaan

Contoh tanah dari tiga jenis tanah di atas terlebih dahulu disterilisasi

dengan cara pengukusan (pemanasan) untuk mematikan semua organisme yang

terkandung dalam contoh tanah, sehingga hanya isolat CMA yang diinokulasikan

yang berkembang dan tanggap yang terjadi benar-benar akibat isolat yang

diberikan. Selanjutnya contoh tanah diisikan ke dalam polybag sesuai dengan

jenis tanahnya.

Penanaman dan inokulasi CMA dilakukan terhadap kecambah kelapa

sawit varietas D x P (Tenera) dan setiap polybag ditanami satu kecambah. Jumlah

inokulan (terdiri atas media tanam, spora, potongan hifa dan potongan akar) yang

diberikan dari setiap isolat tidak sama, tergantung kepadatan spora per gram

inokulan. Setiap inokulum mempunyai kepadatan spora yang berbeda sehingga

dilakukan standarisasi agar inokulan dari setiap isolat yang diberikan mempunyai

kepadatan spora yang relatif sama, yaitu 60 spora. Hasil standarisasi tersebut

untuk setiap jenis tanah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil standarisasi inokulan dari setiap isolat dari tanah PMK bekas

hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan

Isolat Kepadatan spora per 50 g Kebutuhan inokulan (g)

inokulan untuk 60 spora

Tanah PMK bekas hutan

Glomus sp-3a (P-3) 110 27,27

Glomus sp-4a (P-4) 120 25,00

Acaulospora sp-3a (P-7) 109 27,52

Acaulospora sp-5a (P-9) 108 27,78

Tanah PMK bekas kebun karet

Glomus sp-2b (S-2) 130 23,08

Glomus sp-3b (S-3) 125 24,00

Glomus sp-7b (S-7) 130 23,08

Acaulospora sp-1b (S-8) 120 25,00

Tanah gambut bekas hutan

Glomus sp-1c (G-1) 126 23,81

Glomus sp-5c (G-5) 118 25,42

Acaulospora sp-5c (G-12) 108 27,78

Isolat campuran Proposional dengan jumlah isolat

Page 60: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

35

Perlakuan jenis isolat yang diberikan untuk setiap jenis tanah terdiri dari

tanpa isolat, isolat tunggal dan isolat campuran kombinasi dari isolat tunggal

tersebut (Tabel 6).

Tabel 6. Perlakuan pemberian jenis isolat untuk tanah PMK bekas hutan, PMK

bekas kebun karet dan gambut bekas hutan

Perlakuan inokulum CMA

PMK bekas hutan PMK bekas kebun karet Gambut bekas hutan

P-0

P-3

P-4

P-7

P-9

P-3,4

P-3,7

P-3,9

P-4,7

P-4,9

P-7,9

P-3,4,7

P-3,4,9

P-3,7,9

P-4,7,9

P-3,4,7,9

P-gab.

P-myc.

S-0

S-2

S-3

S-7

S-8

S-2,3

S-2,7

S-2,8

S-3,7

S-3,8

S-7,8

S-2,3,7

S-2,3,8

S-2,7,8

S-3,7,8

S-2,3,7,8

S-gab.

S-myc.

G-1

G-5

G-12

G-1,5

G-1,12

G-5,12

G-1,5,12

G-gab.

G-myc.

Inokulasi dilakukan bersamaan dengan penanaman kecambah.

Selanjutnya dilakukan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan

dan pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pupuk urea, rock phosphate, KCl

dan kisserite dengan dosis seperti tercantum pada Lampiran 2 dan 3. Pemupukan

dilakukan dengan cara membuat alur di bagian pinggir polybag dan pupuk

dibenamkan secara merata pada alur tersebut sesuai dosis anjuran dari Pusat

Penelitian Kelapa Sawit untuk tanah PMK dan rekomendasi dari PT Era Sakti

Parastama untuk tanah gambut.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setelah bibit berumur 5 bulan terhadap peubah

tinggi bibit, jumlah daun, luas daun, diameter batang, bobot kering tajuk, bobot

kering akar, nisbah tajuk akar, kadar P dan kolonisasi CMA. Pengamatan

kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui teknik pewarnaan

akar (staining akar) menggunakan metode dari Kormanik dan McGraw (1982),

seperti tercantum pada Lampiran 1.

Page 61: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

36

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara statistik menggunakan uji kontras

ortogonal.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

a. Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah PMK

bekas hutan

Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertumbuhan, kadar P dan serapan P,

serta infeksi akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan akibat perlakuan pemberian

berbagai inokulum CMA di media tanah PMK bekas hutan disajikan pada Tabel

7 dan 8.

Berdasarkan Tabel 7 dan 8 terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA

memberikan pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa

CMA seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, luas daun, bobot kering

tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, serapan P dan infeksi akar.

Bibit yang diinokulasi isolat CMA tunggal memilki bobot kering akar

lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran isolat tunggal, campuran 2 isolat

dan campuran 4 isolat CMA. Selanjutnya terlihat bahwa bibit yang diinokulasi

isolat tunggal tersebut memiliki bobot kering bibit lebih tinggi dibandingkan

inokulum campuran 2 isolat CMA serta memiliki luas daun dan bobot kering tajuk

yang lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran 4 isolat. Jadi pemberian

isolat tunggal CMA lebih baik daripada inokulum campuran isolat tunggal,

campuran 2 isolat ataupun campuran 4 isolat CMA. Tetapi kalau dilihat

berdasarkan peubah lain, inokulum campuran 2 isolat CMA memiliki luas daun,

nisbah tajuk akar, kadar P dan serapan P yang lebih tinggi daripada isolat tunggal

serta inokulum campuran 4 isolat CMA memiliki jumlah daun dan nisbah tajuk

akar lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal. Oleh karena itu belum dapat

disimpulkan bahwa isolat tunggal yang terbaik, sementara itu antara isolat tunggal

dan campuran 3 isolat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua

peubah yang diukur.

Page 62: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

37 Tabel 7. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit

kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas hutan

Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (Cm2) BK Akar (g)

Kontrol vs Isolat lainnya 31.80 vs 35.65 tn 11.17 vs 16.31 * 4.67 vs 5.59 tn 283.97 vs 442.27 ** 0.86 vs 1.96 tn

Isolat tunggal vs Campurannya 33.36 vs 36.58 tn 13.49 vs 17.33 tn 4.92 vs 5.73 tn 369.54 vs 481.66 tn 2.97 vs 1.79 **

Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 33.36 vs 35.34 tn 13.49 vs 16.30 tn 4.92 vs 5.56 tn 369.54 vs 386.53 ** 2.97 vs 1.41 **

Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 33.36 vs 39.62 tn 13.49 vs 19.49 tn 4.92 vs 6.08 tn 369.54 vs 657.14 tn 2.97 vs 2.42 tn

Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 33.36 vs 31.93 tn 13.49 vs 14.83 tn 4.92 vs 5.33 * 369.54 vs 350.54 ** 2.97 vs 1.53 **

Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 35.34 vs 39.62 tn 16.30 vs 19.49 tn 5.56 vs 6.08 tn 386.53 vs 657.14 ** 1.41 vs 2.42 *

campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 35.34 vs 31.93 * 16.30 vs 14.83 tn 5.56 vs 5.33 * 386.53 vs 350.54 ** 1.41 vs 1.53 **

Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 39.62 vs 31.93 tn 19.49 vs 14.83 tn 6.08 vs 5.33 * 657.14 vs 350.54 * 2.42 vs 1.53 **

P3 vs P3,4; P3,7; P3,9 30.83 vs 35.81 ** 14.17 vs 16.69 * 5.00 vs 5.56 * 284.02 vs 421.74 ** 1.38 vs 1.66 *

P3 vs P3,4,7; P3,4,9; P3,7,9 30.83 vs 41.50 tn 14.17 vs 21.38 tn 5.00 vs 6.67 tn 284.02 vs 759.36 ** 1.38 vs 2.83 tn

P3 vs P3,4,7,9 30.83 vs 31.93 tn 14.17 vs 14.83 tn 5.00 vs 5.33 tn 284.02 vs 350.54 tn 1.38 vs 1.53 **

P4 vs P3,4; P4,7; P4,9 34.97 vs 35.34 tn 11.83 vs 15.02 tn 5.00 vs 5.33 tn 360.10 vs 338.97 * 3.76 vs 1.19 tn

P4 vs P3,4,7; P3,4,9; P4,7,9 34.97 vs 38.24 tn 11.83 vs 18.71 tn 5.00 vs 5.78 tn 360.10 vs 579.79 tn 3.76 vs 1.27 tn

P4 vs P3,4,7,9 34.97 vs 31.93 tn 11.83 vs 14.83 tn 5.00 vs 5.33 tn 360.10 vs 350.54 tn 3.76 vs 1.53 **

P7 vs P3,7; P4,7; P7,9 34.83 vs 35.88 ** 14.47 vs 15.80 ** 5.33 vs 5.56 ** 513.54 vs 396.95 ** 2.03 vs 1.24 tn

P7 vs P3,4,7; P3,7,9; P4,7,9 34.83 vs 39.98 ** 14.47 vs 19.81 ** 5.33 vs 6.00 * 513.54 vs 648.11 ** 2.03 vs 2.73 tn

P7 vs P3,4,7,9 34.83 vs 31.93 ** 14.47 vs 14.83 ** 5.33 vs 5.33 tn 513.54 vs 350.54 ** 2.03 vs 1.53 **

P9 vs P3,9; P4,9; P7,9 32.80 vs 34.32 * 13.50 vs 17.69 tn 4.33 vs 5.78 tn 320.48 vs 388.44 ** 4.72 vs 1.53 *

P9 vs P3,4,9; P3,7,9; P4,7,9 32.80 vs 38.74 tn 13.50 vs 18.07 tn 4.33 vs 5.89 tn 320.48 vs 641.31 * 4.72 vs 2.86 tn

P9 vs P3,4,7,9 32.80 vs 31.93 tn 13.50 vs 14.83 tn 4.33 vs 5.33 tn 320.48 vs 350.54 tn 4.72 vs 1.53 tn

P3_4_7 vs campuran 3 Isolat lainnya 42.23 vs 38.74 tn 23.77 vs 18.07 tn 6.67 vs 5.89 ** 704.64 vs 641.31 * 1.10 vs 2.86 tn

P3_4_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 38.53 vs 39.98 tn 18.53 vs 19.81 tn 6.33 vs 6.00 tn 684.25 vs 648.11 tn 1.51 vs 2.73 tn

P3_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 43.73 vs 38.24 tn 21.83 vs 18.71 tn 7.00 vs 5.78 tn 889.20 vs 579.79 ** 5.88 vs 1.27 tn

P4_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 33.97 vs 41.50 tn 13.83 vs 18.71 tn 4.33 vs 6.67 tn 350.48 vs 759.36 tn 1.19 vs 2.83 tn

Pgab vs Isolat lainnya (tanpa Pmyc.) 31.97 vs 33.60 * 14.53 vs 21.34 tn 5.67 vs 5.17 tn 318.04 vs 428.54 ** 0.90 vs 2.21 tn

Pmyc. vs Isolat lainnya 38.20 vs 35.49 tn 18.17 vs 16.19 tn 6.67 vs 5.52 tn 424.09 vs 443.40 * 0.97 vs 2.03 *

Page 63: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

38 Tabel 8. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi

akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas hutan

Sumber Keragaman BK Tajuk (g) BK bibit (g) Nisbah tajuk

akar Kadar P (%) Serapan P

(g/tan.) Infeksi akar (%)

Kontrol vs Isolat lainnya 1.27 vs 4.38 ** 2.13 vs 6.35 ** 1.49 vs 3.20 * 0.21 vs 0.25 tn 0.26 vs 1.17 ** 0.00 vs 74.61 **

Isolat tunggal vs Campurannya 3.44 vs 4.74 tn 6.41 vs 6.52 tn 1.53 vs 3.60 ** 0.19 vs 0.27 tn 0.63 vs 1.39 tn 76.75 vs 75.12 tn

Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 3.44 vs 4.16 tn 6.41 vs 5.57 * 1.53 vs 3.16 * 0.19 vs 0.24 ** 0.63 vs 0.98 * 76.75 vs 64.83 tn

Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 3.44 vs 5.99 tn 6.41 vs 8.41 tn 1.53 vs 4.60 tn 0.19 vs 0.34 tn 0.63 vs 2.20 tn 76.75 vs 86.75 tn

Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 3.44 vs 3.18 ** 6.41 vs 4.70 tn 1.53 vs 2.24 ** 0.19 vs 0.19 tn 0.63 vs 0.63 tn 76.75 vs 90.33 tn

Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 4.16 vs 5.99 tn 5.57 vs 8.41 * 3.16 vs 4.60 tn 0.24 vs 0.34 * 0.98 vs 2.20 * 64.83 vs 86.75 tn

campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 4.16 vs 3.18 ** 5.57 vs 4.70 tn 3.16 vs 2.24 ** 0.24 vs 0.19 * 0.98 vs 0.63 ** 64.83 vs 90.33 tn

Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 5.99 vs 3.18 ** 8.41 vs 4.70 tn 4.60 vs 2.24 ** 0.34 vs 0.19 tn 2.20 vs 0.63 ** 86.75 vs 90.33 tn

P3 vs P3,4; P3,7; P3,9 3.41 vs 4.70 ** 4.79 vs 6.36 ** 3.17 vs 3.02 tn 0.18 vs 0.22 ** 0.62 vs 1.01 ** 70.00 vs 64.11 tn

P3 vs P3,4,7; P3,4,9; P3,7,9 3.41 vs 6.70 tn 4.79 vs 9.54 tn 3.17 vs 4.85 tn 0.18 vs 0.35 tn 0.62 vs 2.57 tn 70.00 vs 84.89 tn

P3 vs P3,4,7,9 3.41 vs 3.18 tn 4.79 vs 4.70 tn 3.17 vs 2.24** 0.18 vs 0.19 tn 0.62 vs 0.63 tn 70.00 vs 90.33 tn

P4 vs P3,4; P4,7; P4,9 3.14 vs 3.88 tn 6.90 vs 5.07 tn 1.27 vs 3.40 tn 0.21 vs 0.25 * 0.65 vs 0.90 tn 87.00 vs 74.89 tn

P4 vs P3,4,7; P3,4,9; P4,7,9 3.14 vs 5.19 tn 6.90 vs 6.45 tn 1.27 vs 4.70 tn 0.21 vs 0.30 tn 0.65 vs 1.59 tn 87.00 vs 84.11 tn

P4 vs P3,4,7,9 3.14 vs 3.18 ** 6.90 vs 4.70 tn 1.27 vs 2.24 ** 0.21 vs 0.19 tn 0.65 vs 0.63 tn 87.00 vs 90.33 tn

P7 vs P3,7; P4,7; P7,9 5.52 vs 3.85 ** 7.54 vs 5.09 tn 1.03 vs 3.16 ** 0.17 vs 0.28 tn 0.92 vs 1.02 ** 83.33 vs 64.78 *

P7 vs P3,4,7; P3,7,9; P4,7,9 5.52 vs 6.19 ** 7.54 vs 8.92 tn 1.03 vs 4.87 ** 0.17 vs 0.36 * 0.92 vs 2.43 ** 83.33 vs 90.11 tn

P7 vs P3,4,7,9 5.52 vs 3.18 * 7.54 vs 4.70 tn 1.03 vs 2.24 ** 0.17 vs 0.19 * 0.92 vs 0.63 ** 83.33 vs 90.33 tn

P9 vs P3,9; P4,9; P7,9 1.69 vs 4.23 ** 6.41 vs 5.76 ** 0.63 vs 3.05 tn 0.21 vs 0.23 ** 0.32 vs 0.98 ** 66.67 vs 55.56 tn

P9 vs P3,4,9; P3,7,9; P4,7,9 1.69 vs 5.88 tn 6.41 vs 8.74 tn 0.63 vs 3.98 tn 0.21 vs 0.34 tn 0.32 vs 2.21 tn 66.67 vs 87.89tn

P9 vs P3,4,7,9 1.69 vs 3.18 tn 6.41 vs 4.70 tn 0.63 vs 2.24 ** 0.21 vs 0.19 tn 0.32 vs 0.63 tn 66.67 vs 90.33 tn

P3_4_7 vs campuran 3 Isolat lainnya 6.33 vs 5.88 tn 7.43 vs 8.74 tn 6.45 vs 3.98 tn 0.34 vs 0.34 * 2.18 vs 2.21 tn 83.33 vs 87.89 *

P3_4_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 5.38 vs 6.19 tn 6.89 vs 8.92 tn 3.80 vs 4.87 * 0.26 vs 0.36 tn 1.51 vs 2.43 tn 76.67 vs 90.11 tn

P3_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 8.41 vs 5.19 * 14.29 vs 6.45 * 4.30 vs 4.70 ** 0.46 vs 0.30 * 4.02 vs 1.59 tn 94.67 vs 84.11 tn

P4_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 3.85 vs 6.70 tn 5.04 vs 6.45 tn 3.85 vs 4.85 tn 0.29 vs 0.35 tn 1.09 vs 2.57 tn 92.33 vs 84.89 tn

Pgab vs Isolat lainnya (tanpa Pmyc.) 3.24 vs 4.49 tn 4.14 vs 7.17 * 3.79 vs 2.94 tn 0.23 vs 23.61 tn 0.73 vs 3.27 tn 63.33 vs 69.89 tn

Pmyc. vs Isolat lainnya 5.38 vs 4.32 tn 6.34 vs 6.35 tn 4.93 vs 3.09 * 0.23 vs 0.25 tn 1.28 vs 1.16 tn 71.67 vs 74.79 tn

Page 64: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

39

Jika dibandingkan dengan inokulum campuran 4 isolat CMA, bibit yang

diinokulasi dengan campuan 2 isolat nyata memiliki pertumbuhan yang lebih baik

dibandingkan campuran 4 isolat CMA tersebut, seperti ditunjukkan oleh peubah

tinggi bibit, jumlah daun, bobot kering tajuk, nisbah tajuk akar, kadar P dan

serapan P.

Selanjutnya bibit yang diinokulasi inokulum campuran 3 isolat CMA

ternyata menunjukkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan campuran 2 isolat

seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, bobot kering akar, bobot kering bibit,

kadar P dan serapan P. Demikian juga inokulum campuran 3 isolat CMA

memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan inokulum

campuran 4 isolat CMA seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, jumlah

daun, luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan nisbah tajuk akar.

Bibit yang diinokulasi isolat tunggal P-3 (Glomus sp-3a) dibandingkan

campuran 2, 3 dan 4 isolat yang mengandung isolat P3 menunjukkan bahwa pada

umumnya inokulum campuran yang mengandung isolat tunggal P-3 memiliki

pertumbuhan lebih baik seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diukur

kecuali peubah infeksi akar. Demikian juga inokulum campuran yang

mengandung isolat tunggal P-4 (Glomus sp-4a) memiliki pertumbuhan yang lebih

baik daripada isolat tunggal P-4 seperti ditunjukkan oleh peubah bobot kering

tajuk, nisbah tajuk akar dan kadar P. Inokulum campuran yang mengandung

isolat P7 (Acaulospora sp-3a) memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi

dibandingkan isolat tunggal P-7 (diameter, jumlah daun, luas daun, bobot kering

tajuk, kadar P dan nisbah tajuk akar, sedangkan isolat tunggal P-9 (Acaulospora

sp-5a) dibandingkan dengan campuran 3 dan 4 isolat yang mengandung P-9 pada

umumnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua peubah kecuali

luas daun lebih tinggi pada campuran 3 isolat. Selanjutnya inokulum campuran 2

isolat yang mengandung P-9 menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada

P-9 sendiri seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit, luas daun, bobot kering

tajuk, kadar P dan serapan P. Bobot kering akar dan bobot kering bibit lebih

tinggi pada isolat P-9 dibandingkan campuran 2 isolat yang mengandung P-9.

Page 65: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

40

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa inokulum campuran isolat yang

mengandung masing-masing isolat tunggalnya merupakan isolat yang lebih efektif

dalam meningkatkan pertumbuhan dan serapan P di tanah PMK bekas hutan

dibandingkan masing-masing isolat tunggalnya.

Untuk melihat lebih jauh keefektivan dari inokulum campuran 3 isolat

CMA, maka dilakukan pengujian antara inokulum campuran 3 isolat CMA. Hasil

pengujian menunjukkan bahwa inokulum campuran P-3,4,9 (Glomus sp-3a,

Glomus sp-4a dan Acaulospora sp-5a) dan P-4,7,9 (Glomus sp-4a, Acaulospora

sp-3a dan Acaulospora sp-5a) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan

inokulum campuran 3 isolat CMA lainnya. Selanjutnya inokulum campuran 3

isolat CMA yaitu P-3,4,7 (Glomus sp-3a, Glomus sp-4a, dan Acaulospora sp-3a)

memiliki jumlah daun dan luas daun yang lebih tinggi dibandingkan inokulum

campuran 3 isolat CMA lainnya, sedangkan inokulum campuran 3 isolat P-3,7,9

(Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a) memiliki jumlah daun,

bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar dan kadar P yang lebih

tinggi dibandingkan inokulum campuran 3 isolat CMA lainnya. Berdasarkan

uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa P-3,7,9 (Glomus sp-3a, Acaulospora

sp-3a dan Acaulospora sp-5a) merupakan isolat paling efektif dibandingkan isolat

lainnya.

Semua bibit yang dinokulasi isolat tunggal CMA dan kombinasinya nyata

memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan isolat P-gab. (isolat

alami) seperti terlihat pada peubah tinggi bibit, luas daun dan bobot kering bibit.

Demikian juga jika dibandingkan dengan isolat P-myc., bibit yang dinokulasi

isolat CMA lainnya memiliki jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar, yang

lebih tinggi.

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap inokulasi CMA pada media

tanah PMK bekas hutan dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 66: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

41

Gambar 2. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap inokulasi

CMA pada media tanah PMK bekas hutan

Page 67: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

42

b. Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah PMK

bekas kebun karet

Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertumbuhan tanaman, kadar P dan

serapan P, serta infeksi akar akibat perlakuan pemberian berbagai inokulum CMA

di tanah PMK bekas kebun karet disajikan pada Tabel 9 dan 10.

Pada Tabel 9 dan 10 tersebut terlihat bahwa pemberian inokulum CMA

secara umum meningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kelapa sawit di

tanah PMK bekas pohon karet dibandingkan tanpa pemberian inokulum CMA,

seperti yang ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati, kecuali kadar P dan

nisbah tajuk akar.

Bibit yang diinokulasi dengan isolat tunggal CMA tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata dengan inokulum campuran isolat tunggal, campuran 2 dan

3 isolat untuk semua peubah yang diamati, sedangkan jika dibandingkan dengan

campuran 4 isolat terlihat bahwa isolat tunggal memberikan pertumbuhan lebih

tinggi seperti yang ditunjukkan oleh peubah diameter batang, luas daun, kadar P

dan serapan P.

Selanjutnya dapat dilihat bahwa bibit yang diinokulasi inokulum campuran

3 isolat CMA memberikan pertumbuhan dan serapan P yang lebih baik daripada

inokulum campuran 2 isolat CMA seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit,

diameter batang, luas daun dan serapan P. Inokulum campuran 2 isolat CMA jika

dibandingkan dengan campuran 4 isolat CMA memiliki diameter batang, kadar P

dan serapan P yang lebih tinggi, sedangkan inokulum campuran 4 isolat CMA

hanya memiliki infeksi akar yang lebih tinggi daripada campuran 2 isolat CMA.

Pada inokulum campuran 3 isolat CMA yang dibandingkan dengan campuran 4

isolat CMA terlihat bahwa inokulum campuran 3 isolat CMA memiliki diameter

batang, luas daun, kadar dan serapan P yang lebih tinggi, sedangkan inokulum

campuran 4 isolat CMA hanya menunjukkan infeksi akar yang lebih tinggi

daripada inokulum campuran 3 isolat CMA. Oleh karena itu, secara umum dapat

dikatakan bahwa inokulum campuran 2 dan 3 isolat CMA lebih baik

Page 68: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

43 Tabel 9. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit

kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas kebun karet

Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (Cm2) BK Akar (g)

Kontrol vs Isolat lainnya 29.93 vs 35.49 ** 11.07 vs 14.33 * 4.33 vs 5.39 * 268.23 vs 418.67 ** 0.82 vs 1.51 *

Isolat tunggal vs Campurannya 37.66 vs 34.67 tn 16.89 vs 13.58 tn 5.58 vs 5.42 tn 543.75 vs 385.92 tn 2.01 vs 1.39 tn

Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 37.66 vs 34.32 tn 16.89 vs 13.62 tn 5.58 vs 5.50 tn 543.75 vs 374.83 tn 2.01 vs 1.30 tn

Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 37.66 vs 35.09 tn 16.89 vs 13.80 tn 5.58 vs 5.33 tn 543.75 vs 431.07 tn 2.01 vs 1.42 tn

Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 37.66 vs 35.07 tn 16.89 vs 12.43 ** 5.58 vs 5.33 tn 543.75 vs 271.89 * 2.01 vs 1.83 tn

Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 34.32 vs 35.09 * 13.62 vs 13.80 * 5.50 vs 5.33 tn 374.83 vs 431.07 * 1.30 vs 1.42 tn

campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 34.32 vs 35.07 tn 13.62 vs 12.43 ** 5.50 vs 5.33 tn 374.83 vs 271.89 tn 1.30 vs 1.83 tn

Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 35.09 vs 35.07 tn 13.80 vs 12.43 ** 5.33 vs 5.33 tn 431.07 vs 271.89 * 1.42 vs 1.83 tn

S2 vs S2,3; S2,7; S2,8 33.73 vs 33.11 tn 13.50 vs 14.09 tn 5.33 vs 5.44 tn 372.16 vs 371.99 tn 1.99 vs 1.07 tn

S2 vs S2,3,7; S2,3,8; S2,7,8 33.73 vs 35.54 tn 13.50 vs 14.01 tn 5.33 vs 5.33 tn 372.16 vs 460.11 tn 1.99 vs 1.65 *

S2 vs S2,3,7,8 33.73 vs 35.07 tn 13.50 vs 12.43 ** 5.33 vs 5.33 tn 372.16 vs 271.89 * 1.99 vs 1.83 tn

S3 vs S2,3; S3,7; S3,8 38.03 vs 35.33 tn 21.80 vs 14.73 * 6.00 vs 6.00 tn 664.59 vs 448.40 * 1.94 vs 1.60 tn

S3 vs S2,3,7; S2,3,8; S3,7,8 38.03 vs 34.99 tn 21.80 vs 13.91 ** 6.00 vs 5.22 tn 664.59 vs 427.08 ** 1.94 vs 1.38 tn

S3 vs S2,3,7,8 38.03 vs 35.07 tn 21.80 vs 12.43 tn 6.00 vs 5.33 tn 664.59 vs 271.89 ** 1.94 vs 1.83 tn

S7 vs S2,7; S3,7; S7,8 41.33 vs 33.83 tn 13.47 vs 13.48 tn 5.33 vs 5.33 tn 624.08 vs 334.47 * 2.48 vs 1.44 tn

S7 vs S2,3,7; S2,7,8; S3,7,8 41.33 vs 34.84 tn 13.47 vs 13.37 tn 5.33 vs 5.22 tn 624.08 vs 410.60 * 2.48 vs 1.24 tn

S7 vs S2,3,7,8 41.33 vs 35.07 tn 13.47 vs 12.43 ** 5.33 vs 5.33 tn 624.08 vs 271.89 ** 2.48 vs 1.83 tn

S8 vs S2,8; S3,8; S7,8 37.53 vs 34.99 tn 18.80 vs 12.17 ** 5.67 vs 5.22 tn 514.16 vs 344.47 ** 1.64 vs 1.09 tn

S8 vs S2,3,8; S2,7,8; S3,7,8 37.53 vs 34.99 tn 18.80 vs 13.91 tn 5.67 vs 5.56 tn 514.16 vs 426.49 ** 1.64 vs 1.39 tn

S8 vs S2,3,7,8 37.53 vs 35.07 tn 18.80 vs 12.43 ** 5.67 vs 5.33 tn 514.16 vs 271.89 ** 1.64 vs 1.83 tn

S3 vs S2 38.03 vs 33.73 tn 21.80 vs 13.50 * 6.00 vs 5.33 tn 664.59 vs 372.16 * 1.94 vs 2.00 tn

S3 vs S7 38.03 vs 41.33 tn 21.80 vs 13.47 * 6.00 vs 5.33 * 664.59 vs 624.08 tn 1.94 vs 2.48 tn

S3 vs S8 38.03 vs 37.53 tn 21.80 vs 18.80 ** 6.00 vs 5.67 tn 664.59 vs 514.16 ** 1.94 vs 1.64 tn

Sgab. vs Isolat lainnya (tanpa Smyc.) 36.43 vs 33.13 tn 15.13 vs 18.54 * 5.00 vs 5.12 tn 393.98 vs 410.10 * 1.38 vs 1.74 tn

Smyc. vs Isolat lainnya 34.87 vs 35.53 tn 11.50 vs 14.50 * 4.67 vs 5.44 tn 303.20 vs 425.88 * 0.96 vs 1.54 tn

Page 69: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

44 Tabel 10. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi

akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas kebun karet

Sumber Keragaman BK Tajuk (g) BK bibit (g) Nisbah tajuk

akar Kadar P (%) Serapan P

(g/tan.) Infeksi akar (%)

Kontrol vs Isolat lainnya 1.75 vs 4.47 ** 2.57 vs 5.98 ** 2.32 vs 3.15 tn 0.17 vs 0.21 tn 0.29 vs 1.01 ** 0.00 vs 69.94 **

Isolat tunggal vs Campurannya 6.14 vs 4.06 tn 8.16 vs 5.45 tn 3.10 vs 3.23 tn 0.34 vs 0.17 tn 1.97 vs 0.73 tn 82.67 vs 66.97 tn

Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 6.14 vs 4.07 tn 8.16 vs 5.37 tn 3.10 vs 3.37 tn 0.34 vs 0.16 tn 1.97 vs 0.72 tn 82.67 vs 69.06 tn

Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 6.14 vs 3.93 tn 8.16 vs 5.34 tn 3.10 vs 3.01 tn 0.34 vs 0.20 tn 1.97 vs 0.76 tn 82.67 vs 62.17 tn

Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 6.14 vs 4.56 tn 8.16 vs 6.38 tn 3.10 vs 3.20 tn 0.34 vs 0.14 ** 1.97 vs 0.64 ** 82.67 vs 73.67 tn

Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 4.07 vs 3.93 tn 5.37 vs 5.34 tn 3.37 vs 3.20 tn 0.16 vs 0.20 tn 0.72 vs 3.01 ** 69.06 vs 62.17 tn

campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 4.07 vs 4.56 tn 5.37 vs 6.38 tn 3.37 vs 3.20 tn 0.16 vs 0.14 ** 0.72 vs 0.64 ** 69.06 vs 73.67 *

Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 3.93 vs 4.56 tn 5.34 vs 6.38 tn 3.01 vs 3.20 tn 0.20 vs 0.14 ** 0.76 vs 0.64 ** 62.17 vs 73.67 *

S2 vs S2,3; S2,7; S2,8 4.13 vs 3.76 tn 6.12 vs 4.83 tn 2.17 vs 3.82 tn 0.22 vs 0.13 tn 0.92 vs 0.59 tn 61.67 vs 71.44 tn

S2 vs S2,3,7; S2,3,8; S2,7,8 4.13 vs 4.50 tn 6.12 vs 6.15 tn 2.17 vs 2.87 tn 0.22 vs 0.19 tn 0.92 vs 0.86 tn 61.67 vs 66.67 tn

S2 vs S2,3,7,8 4.13 vs 4.56 tn 6.12 vs 6.38 tn 2.17 vs 3.20 tn 0.22 vs 0.14 ** 0.92 vs 0.64 ** 61.67 vs 73.67 *

S3 vs S2,3; S3,7; S3,8 8.20 vs 5.19 * 10.13 vs 6.79 * 4.28 vs 3.45 tn 0.25 vs 0.19 tn 2.02 vs 1.03 tn 94.33 vs 66.67 **

S3 vs S2,3,7; S2,3,8; S3,7,8 8.20 vs 3.89 ** 10.13 vs 5.27 ** 4.28 vs 3.07 tn 0.25 vs 0.19 tn 2.02 vs 0.72 ** 94.33 vs 56.22 **

S3 vs S2,3,7,8 8.20 vs 4.56 * 10.13 vs 6.38 * 4.28 vs 3.20 tn 0.25 vs 0.14 ** 2.02 vs 0.64 ** 94.33 vs 73.67 **

S7 vs S2,7; S3,7; S7,8 7.58 vs 4.23 tn 10.07 vs 5.67 tn 3.07 vs 3.11 tn 0.26 vs 0.18 tn 1.95 vs 0.82 tn 86.33 vs 72.11 tn

S7 vs S2,3,7; S2,7,8; S3,7,8 7.58 vs 3.52 tn 10.07 vs 4.76 tn 3.07 vs 3.11 tn 0.26 vs 0.20 tn 1.95 vs 0.68 tn 86.33 vs 68.44 tn

S7 vs S2,3,7,8 7.58 vs 4.56 * 10.07 vs 6.38 tn 3.07 vs 3.20 tn 0.26 vs 0.14 ** 1.95 vs 0.64 ** 86.33 vs 73.67 tn

S8 vs S2,8; S3,8; S7,8 4.67 vs 3.09 ** 6.30 vs 4.18 * 2.88 vs 3.12 tn 0.62 vs 0.14 * 2.98 vs 0.43 ** 88.33 vs 66.00 tn

S8 vs S2,3,8; S2,7,8; S3,7,8 4.67 vs 3.81 tn 6.30 vs 5.19 tn 2.88 vs 3.00 tn 0.62 vs 0.21 tn 2.98 vs 0.78 tn 88.33 vs 57.33 tn

S8 vs S2,3,7,8 4.67 vs 4.56 tn 6.30 vs 6.38 tn 2.88 vs 3.20 tn 0.62 vs 0.14 ** 2.98 vs 0.64 ** 88.33 vs 73.67 tn

S3 vs S2 8.20 vs 4.13 * 10.13 vs 6.12 tn 4.28 vs 2.17 * 0.25 vs 0.22 ** 2.02 vs 0.92 tn 94.33 vs 61.67 tn

S3 vs S7 8.20 vs 7.58 tn 10.13 vs 10.07 tn 4.28 vs 3.07 tn 0.25 vs 0.26 tn 2.02 vs 1.95 * 94.33 vs 86.33 tn

S3 vs S8 8.20 vs 4.67 tn 10.13 vs 6.30 tn 4.28 vs 2.88 tn 0.25 vs 0.62 tn 2.02 vs 2.98 tn 94.33 vs 88.33 tn

Sga.b vs Isolat lainnya (tanpa Smyc.) 4.05 vs 4.74 tn 5.43 vs 6.58 * 2.98 vs 3.02 tn 0.22 vs 0.22 tn 0.90 vs 3.35 ** 63.33 vs 66.60 tn

Smyc. vs Isolat lainnya 2.63 vs 4.58 ** 3.59 vs 6.13 ** 2.72 vs 3.18 tn 0.14 vs 0.22 tn 0.36 vs 1.05 ** 58.33 vs 70.67 tn

Page 70: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

45

dibandingkan inokulum campuran 4 isolat CMA, sementara itu inokulum

campuran 3 isolat CMA lebih baik daripada inokulum campuran 2 isolat CMA.

Bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-2 (Glomus sp-2b) tidak

menunjukkan perbedaan nyata dengan inokulum campuran 2 isolat CMA yang

mengandung S-2, sedangkan jika dibandingkan dengan inokulum campuran 3

isolat CMA yang mengandung S-2, ternyata isolat tungggal S-2 memiliki bobot

kering akar lebih tinggi. Selanjutnya bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-2

memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan inokulum

campuran 4 isolat CMA seperti yang ditunjukkan dengan diameter batang, luas

daun, kadar P dan serapan P. Jadi isolat S-2 merupakan isolat yang lebih efektif

dibandingkan inokulum campuran yang mengandung S-2.

Bibit yang diinokulasi isolat tunggal S3 (Glomus sp-3b) menunjukkan

pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran

2,3 dan 4 isolat yang mengandung S-3 seperti ditunjukkan oleh peubah diameter

batang, luas daun, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, kadar dan serapan P,

sserta infeksi akar. Demikian juga dengan bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-

7 (Glomus sp-7b) memiliki pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan

inokulum campuran 2, 3, dan 4 isolat yang mengandung S-7 pada peubah

diameter batang, luas daun, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, dan serapan P.

Bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-8 (Acaulospora sp-1b) dapat

meningkatkan lebih tinggi diameter batang, luas daun, bobot kering tajuk, bobot

kering bibit, kadar P dan serapan P dibandingkan inokulum campuran 2 isolat

yang mengandung S-8, dan hanya meningkatkan lebih tinggi luas daun

dibandingkan inokulum campuran 3 isolat yang mengandung S-8. Jika

dibandingkan dengan inokulum campuran 4 isolat yang mengandung S-8, isolat

tunggal S-8 memberikan diameter batang, luas daun, kadar P dan serapan P yang

lebiht tinggi.

Berdasarkan penjelasan di atas ternyata bibit yang diinokulasi isolat

tunggal S-2 (Glomus sp-2b), S-3 (Glomus sp-3b), S-7 (Glomus sp-7b) dan S-8

(Acaulospora sp-1b) memberikan pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi

dibandingkan inokulum campuran dari masing-masing isolat tunggal tersebut.

Page 71: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

46

Sehubungan dengan hal itu, untuk melihat lebih jauh keefektivan dari masing-

masing isolat tunggal CMA maka dilakukan pengujian di antara isolat tunggal

tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bibit yang diinokulasi isolat

tunggal S-3 (Glomus sp-3b) memberikan pertumbuhan dan serapan P yang lebih

tinggi dibandingkan isolat tunggal S-2 (Glomus sp-2b) seperti ditunjukkan peubah

diameter batang, jumlah daun, bobot kering tajuk, nisbah tajuk akar dan kadar P,

S-7 (Glomus sp-7b) pada peubah diameter batang, jumlah daun dan serapan P,

serta S-8 (Acaulospora sp-1b) pada peubah diameter batang dan luas daun.

Bibit yang diinokulasi isolat alami (Sgab.) ternyata memberikan

pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan isolat lainnya yang ditunjukkan

oleh peubah diameter batang, luas daun, bobot kering bibit, dan serapan P.

Demikain juga Smyc., memberikan pertumbuhan yang lebih redah daripada isolat

lainnya seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, luas daun, bobot kering

tajuk, bobot kering bibit dan serapan P.

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas kebun karet

disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap inokulasi

CMA pada media tanah PMK bekas kebun karet

S-2,7,8

S-3 S-2 S-2,3 S-2,8 S-7 S-3,7 S-2,7 S-7,8

S-3,7,8 S-2,3,8 S-2,3,7 S-myc. S-gab. S-8 S-3,8 S-2,3,7,8 S-0

Page 72: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

47

c. Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah

gambut bekas hutan

Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertumbuhan tanaman, kadar P dan

serapan P, serta infeksi akar akibat perlakuan pemberian berbagai inokulum CMA

di tanah gambut bekas hutan disajikan pada Tabel 11 dan 12.

Berdasarkan Tabel 11 dan 12 tersebut ternyata bibit yang diinokulasi

CMA memberikan pertumbuhan, serapan P dan infeksi akar lebih tinggi

dibandingkan bibit tanpa CMA seperti yang ditunjukkan oleh semua peubah yang

diukur kecuali peubah nisbah tajuk akar.

Bibit yang diinokulasi isolat tunggal CMA tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata dibandingkan inokulum campurannya dan campuran 2 isolat CMA

untuk semua peubah kecuali peubah infeksi akar. Inokulum campuran isolat

tunggal dan campuran 2 isolat CMA memiliki infeksi akar lebih tinggi daripada

isolat tunggal.

Selanjutnya dapat dilihat bahwa bibit yang diinokulasi inokulum

campuran 3 isolat CMA ternyata memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi

dibandingkan isolat tunggal (peubah luas daun, bobot kering akar, bobot kering

tajuk, bobot kering bibit, serapan P dan infeksi akar,) maupun inokulum campuran

2 isolat CMA (peubah diameter batang, luas daun, bobot kering akar, serapan P

dan infeksi akar).

Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 isolat CMA yang

mengandung isolat tunggal G-1 (Glomus sp-1c) yaitu G-1,5 (Glomus sp-1c dan

Glomus sp-5c) serta G-1,12 (Glomus sp-1c dan Acaulospora sp-5c) memiliki

pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan isolat tungggal G-1

seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, tinggi bibit, bobot kering tajuk, bobot

kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar kecuali

diameter batang (isolat tunggal lebih tinggi).

Demikian juga dengan inokulum campuran 2 isolat yang mengandung G-

5 (Glomus sp-5c) yaitu G-1,5 (Glomus sp-1c dan Glomus sp-5c) dan G-5,12

(Glomus sp-5c dan Acaulopsora sp-5c) yang diinokulasikan pada bibit kelapa

sawit ternyata memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan isolat

Page 73: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

45 Tabel 11. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media

tanah gambut bekas hutan

Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (Cm2) BK Akar (g)

kontrol vs isolat lainnya 41.63 vs 47.67 * 14.23 vs 23.59 ** 5.67 vs 6.93 * 376.00 vs 890.77 ** 1.78 vs 4.63 **

isolat tunggal vs campurannya 43.96 vs51.88 tn 26.23 vs 24.25 tn 6.44 vs 7.33 tn 701.27 vs 1057.84 tn 5.75 vs 4.83 tn

isolat tunggal vs campuran 2 isolat 43.96 vs 49.98 tn 26.23 vs 23.48 tn 6.44 vs 7.22 tn 701.27 vs 996.66 tn 5.75 vs 4.12 tn

isolat tunggal vs campuran 3 isolat 43.96 vs 57.60 tn 26.23 vs 26.57 tn 6.44 vs 7.67 tn 701.27 vs 1241.39 ** 5.75 vs 6.96 *

campuran 2 isolat vs campuran 3 isolat 49.98 vs 57.60 tn 23.48 vs 26.57 * 7.2 vs 7.67 tn 996.66 vs 1241.39 * 4.12 vs 6.96 *

G1 vs G1,5 dan G 1,12 42.70 vs 48.80 ** 28.43 vs 21.82 ** 7.00 vs 7.33 tn 903.80 vs 993.76 ** 4.24 vs 4.43 tn

G5 vs G1,5 dan G 5,12 39.37 vs 51.20 tn 24.77 vs 24.15 tn 5.00 vs 7.33 tn 442.67 vs 1022.48 tn 6.75 vs 4.25 tn

G12 vs G1,12 dan G 5,12 49.80 vs 49.93 tn 25.50 vs 24.47 ** 7.33 vs 7.00 tn 757.34 vs 973.75 tn 6.25 vs 3.68 *

G1 vs G1,5,12 42.70 vs 57.60 * 28.43 vs 26.57 tn 7.00 vs 7.67 tn 903.80 vs 1241.39 ** 4.24 vs 6.96 **

G5 vs G1,5,12 39.37 vs 57.60 tn 24.77 vs 26.57 tn 5.00 vs 7.67 tn 442.67 vs 1241.39 ** 6.75 vs 6.96 *

G12 vs G1,5,12 49.80 vs 57.60 tn 25.50 vs 26.57 ** 7.33 vs 7.67 tn 757.34 vs 1241.39 ** 6.25 vs 6.96 *

Ggab vs isolat lainnya (tanpa Gmyc.) 46.00 vs 48.49 tn 21.47 vs 25.10 ** 6.67 vs 6.95 tn 787.27 vs 905.03 * 2.96 vs 5.22 *

Gmyc vs isolat lainnya 43.60 vs 48.18 tn 15.17 vs 24.65 ** 7.00 vs 6.92 tn 894.47 vs 890.31 tn 2.16 vs 4.94 **

Tabel 12. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di

media tanah gambut bekas hutan

Sumber Keragaman BK Tajuk (g) BK bibit (g)

Nisbah tajuk akar Kadar P (%)

Serapan P (g/tan.) Infeksi akar (%)

kontrol vs isolat lainnya 6.07 vs 9.64 ** 7.84 vs 14.27** 3.82 vs 2.58 tn 0.16 vs 0.27 ** 0.95 vs 2.70 ** 0.00 vs 64.81 **

isolat tunggal vs campurannya 8.93 vs 10.57 tn 14.68 vs 15.40 tn 1.54 vs 2.82 tn 0.23 vs 0.33 tn 1.99 vs 3.58 tn 56.67 vs 80.00 **

isolat tunggal vs campuran 2 isolat 8.93 vs 9.40 tn 14.68 vs 13.52 tn 1.54 vs 2.56 tn 0.23 vs 0.31 tn 1.99 vs 2.98 tn 56.67 vs 75.22 **

isolat tunggal vs campuran 3 isolat 8.93 vs 14.08 * 14.68 vs 21.04 * 1.54 vs 3.60 tn 0.23 vs 0.38 tn 1.99 vs 5.38 ** 56.67 vs 94.33 **

campuran 2 isolat vs campuran 3 isolat 9.40 vs 14.08 tn 13.52 vs 21.04 tn 2.56 vs 3.60 tn 0.31 vs 0.38 tn 2.98 vs 5.38 * 75.22 vs 94.33 *

G1 vs G1,5 dan G 1,12 8.27 vs 9.23 ** 12.51 vs 13.66** 1.19 vs 2.30 * 0.21 vs 0.34 * 1.77 vs 3.22 ** 42.33 vs 74.67 **

G5 vs G1,5 dan G 5,12 7.49 vs 9.13 ** 14.24 vs 13.38 * 1.18 vs 2.41 tn 0.24 vs 0.25 tn 1.74 vs 2.33 tn 77.33 vs 77.17 **

G12 vs G1,12 dan G 5,12 11.03 vs 9.83 tn 17.28 vs 13.51 * 2.26 vs 2.99 tn 0.22 vs 0.35 ** 2.45 vs 3.40 tn 50.33 vs 73.83 *

G1 vs G1,5,12 8.27 vs 14.08 ** 12.51 vs 21.04 * 1.19 vs 3.60 * 0.21 vs 0.38 tn 1.77 vs 5.38 tn 42.33 vs 94.33 **

G5 vs G1,5,12 7.49 vs 14.08 ** 14.24 vs 21.04 * 1.18 vs 3.60 * 0.24 vs 0.38 tn 1.74 vs 5.38 tn 77.33 vs 94.33 **

G12 vs G1,5,12 11.03 vs 14.08 * 17.28 vs 21.04 * 2.26 vs 3.60 * 0.22 vs 0.38 ** 2.45 vs 5.38 ** 50.33 vs 94.33 **

Ggab vs isolat lainnya (tanpa Gmyc.) 8.29 vs 9.87 tn 11.25 vs 15.09 * 2.87 vs 2.27 tn 0.19 vs 0.29 * 1.62 vs 2.90 ** 41.67 vs 70.00 **

Gmyc vs isolat lainnya 9.37 vs 9.67 tn 11.53 vs 14.61 * 4.41 vs 2.35 ** 0.25 vs 0.27 tn 2.35 vs 2.74 tn 51.67 vs 66.46 *

Page 74: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

49

tunggal G-5 (Glomus sp-5c) seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, bobot

kering tajuk dan infeksi akar. Isolat G5 hanya memberikan bobot kering bibit

yang lebih tinggi dibandingkan campuran 2 isolat tersebut.

Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 isolat yang mengandung G-

12 (Acaulospora 5-c) yaitu G1, 12 (Glomus sp-1c dan Acaulospora sp-5c) dan

G5, 12 (Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) memiliki pertumbuhan yang lebih

tinggi dibandingkan isolat tungggal G-12 (diameter batang, bobot kering bibit,

kadar P dan infeksi akar. Isolat tunggal G-12 hanya memberikan bobot akar lebih

tinggi dibandingkan campurannya.

Bibit yang diinokulasi Inokulum campuran 3 isolat yaitu G1,5,12

(Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) memberikan pertumbuhan

tertinggi dibandingkan isolat tunggal G-1, G-5 dan G-12 pada peubah luas daun,

bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering bibit nisbah tajuk akar dan

infeksi akar. Peubah diameter batang, kadar P dan serapan P menunjukkan nilai

lebih tinggi pada inokulum campuran 3 isolat tersebut dibandingkan G-12.

G-gab. menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan isolat

lainnya seperti terlihat pada peubah diameter batang, luas daun, bobot kering akar,

bobot kering tajuk, kadar P, serapan P dan infeksi akar. Demikian juga dengan

Gmyc. memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibanding isolat lainnya pada

peubah diameter batang, bobot kering akar, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar,

dan infeksi akar.

Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pemberian inokulum

campuran G-1,5,12 (Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c)

memberikan pertumbuhan, serapan P dan infeksi akar tertinggi.

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap inokulasi CMA dimedia

tanah gambut bekas hutan dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 75: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

50

Gambar 4. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap inokulasi

CMA pada media tanah gambut bekas hutan

Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan isolat CMA yang paling

efektif pada bibit kelapa sawit yaitu di tanah PMK bekas hutan adalah inokulum

campuran 3 isolat CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a

(P-3,7,9); di tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum CMA Glomus sp-3b

(S-3) serta di tanah gambut bekas hutan adalah inokulum campuran 3 isolat CMA

Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c (G-1,5,12), seperti

ditunjukkan oleh pertumbuhan (bobot kering bibit) dan serapan P bibit tersebut

(Tabel 13).

G-1,5,12 G-1,5 G-5,12 G-1,12 G-1

G-myc. G-gab. G-12 G-5 G-0

Page 76: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

51

Tabel 13. Pertumbuhan (bobot kering bibit) dan serapan P bibit kelapa sawit yang

diinokulasi CMA paling efektif di media tanah PMK bekas hutan,

PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan

Ekosistem (Isolat) Bobot kering bibit (g) Serapan P (g/tan.)

PMK bekas hutan

CMA (P-3,7,9)

Kontrol (tanpa CMA)

14.29

2.13

4.02

0.26

PMK bekas kebun karet

CMA (S-3)

Kontrol (tanpa CMA)

10.13

2.57

2.02

0.29

Gambut bekas hutan

CMA (G-1,5,12)

Kontrol (tanpa CMA)

21.04

7.84

5.38

0.95

Pembahasan

Tanggap pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diinokulasi inokulum

CMA lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA baik di tanah PMK bekas

hutan, PMK bekas kebun karet maupun di tanah gambut bekas hutan.

Di tanah PMK bekas hutan, bibit yang diinokulasi isolat CMA tunggal

memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran

isolat tunggal, inokulum campuran 2 dan 4 isolat CMA serta tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata dengan inokulum campuran 3 isolat CMA. Sementara itu,

di tanah PMK bekas kebun karet, bibit yang diinokulasi isolat CMA tunggal

hanya memberikan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan inokulum

campuran 4 isolat CMA, tetapi dengan campuran isolat tunggal, inokulum

campuran 2 dan 3 isolat CMA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada

tanah gambut bekas hutan, isolat tunggal CMA tidak berbeda nyata dibandingkan

inokulum campuran isolat tunggal tersebut maupun inokulum campuran 2 isolat

CMA. Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 3 isolat CMA ternyata memiliki

pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal maupun inokulum

campuran 2 isolat CMA.

Page 77: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

52

Perbedaan keefektivan yang terjadi dari masing-masing jenis isolat

tersebut disebabkan adanya perbedaan kemampuan dari masing-masing isolat

dalam bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit tersebut. Kemungkinan setiap isolat

juga memiliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan bibit

tersebut. Di tanah PMK bekas kebun karet, kelompok isolat tunggal pengaruhnya

lebih baik jika bekerja sendiri-sendiri dan jika bersama-sama malahan saling

antagonis dan saling bersaing. Sebaliknya di tanah PMK bekas hutan dan gambut

bekas hutan, justru inokulum campuran 3 isolat yang lebih baik dibandingkan

kelompok isolat tunggal maupun campuran 2 isolat. Dalam hal ini berarti

inokulum campuran 3 isolat lebih mampu meningkatkan pertumbuhan bibit yang

menunjukkan bahwa masing-masing isolat bekerja sama secara sinergis dalam

membantu pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Hanapiah (1997)

menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman kopi arabika cenderung lebih

tinggi bila diinokulasi dengan Gigaspora margarita dibandingkan Glomus

manihotis, tetapi kombinasi keduanya saling kuat mempengaruhi pertumbuhan

tanaman kopi arabika. Selanjutnya hasil penelitian Delvian (2003) menunjukkan

bahwa inokulum campuran 2 isolat (Glomus sp-2 dan Acaulospora sp-1; Glomus

sp-2 dan Gigaspora sp.; Acaulospora sp-1 dan Gigaspora sp.) dan inokulum

campuran 3 isolat (Glomus sp-2, Acaulospora sp-1 dan Gigaspora sp.) cenderung

lebih efektif dibandingkan isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan

tanaman lamtorogung (Leucaena leucocephala).

Perbedaan keefektivan dari setiap isolat CMA juga kemungkinan diduga

karena adanya peran dari mikroorganisme lain selain CMA, misalnya adanya

bakteri yang berinteraksi dengan CMA tersebut. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa bakteri dapat membantu mikoriza dalam meningkatkan

kolonisasi terhadap tanaman Pinus radiata di pembibitan (Garbaye & Bowen

1989), Pseudotsuga menziesii ( Garbaye & Duponnois 1992), Pinus strobus L.

(Schelkle & Peterson 1996) dan wortel (Bianciotto et al. 2001). Kemudian

Garbaye (1994) dan Smith & Read (1997) mengemukakan bahwa simbiosis antara

mikoriza dengan tanaman juga dipengaruhi oleh adanya mikroorganisme lain

yang ada di rizosfir terutama bakteri. Selanjutnya Minerdi et al. (2002)

Page 78: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

53

menyimpulkan bahwa kolonisasi sel, fiksasi nitrogen dan kemampuan menyerap

unsur hara oleh CMA dan tanaman dipengaruhi oleh adanya bakteri yang ada di

rizosfir tanaman tersebut.

Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 dan 3 isolat memberikan

pertumbuhan lebih tinggi daripada inokulum campuran 4 isolat baik pada tanah

PMK bekas hutan maupun PMK bekas kebun karet. Hal ini menunjukkan bahwa

pada kedua jenis tanah tersebut, dalam inokulum campuran 2 dan 3 isolat masing-

masing isolat dapat bekerja sama, tetapi ketika dicampur menjadi campuran 4

isolat masing-masing tidak mampu lagi memberikan peran yang lebih baik,

disebabkan kemungkinan adanya sifat keefektivan yang berbeda dari masing-

masing CMA tersebut sehingga kerja keempat isolat tersebut saling antagonis.

Selanjutnya bibit yang diinokulasi inokulum campuran 3 isolat CMA

menunjukan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran 2 atau 4

isolat baik pada tanah PMK bekas hutan maupun PMK bekas kebun karet. Berarti

inokulum campuran 3 isolat tersebut paling efektif dalam memberikan perannya

terhadap bibit kelapa sawit.

Pada tanah PMK bekas hutan, inokulum campuran 3 isolat dari setiap

isolat tunggal lebih baik dibandingkan masing-masing isolat tunggal. Oleh karena

itu setelah dilakukan pengujian antara campuran 3 isolat didapatkan bahwa

inokulum campuran 3 isolat (P3,7,9) merupakan inokulum terbaik, yang artinya

isolat tunggal P-3, P-7 dan P-9 jika dicampur masing-masing memberikan peran

yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi lainnya.

Sebaliknya di tanah PMK bekas kebun karet, masing-masing isolat tunggal

(S-2, S-3, S-7 dan S-8) memiliki pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan

campurannya atau kombinasinya. Dan di antara keempat isolat tunggal tersebut

ternyata S-3 merupakan isolat paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan

dan serapan P bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas kebun karet.

Pada tanah gambut bekas hutan, bibit yang diinokulasi inokulum

campuran 2 isolat dari kombinasi isolat tunggal (G-1 vs G-1,5 dan G-1,12; G-5 vs

G-1,5 dan G-5,12; G-12 vs G-1,12 dan G-5,12) memiliki pertumbuhan dan

serapan P yang lebih tinggi dibandingkan isolat tunggalnya. Jadi masing-masing

Page 79: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

54

isolat tunggal memperlihatkan peran yang lebih tinggi jika berada bersama-sama

dengan isolat lainnya. Demikian juga bibit yang diinokulasi inokulum campuran

3 isolat CMA (G-1,5,12) menunjukkan pertumbuhan dan serapan P yang lebih

tinggi dibandingkan masing-masing isolat tunggalnya (G-1, G-5 dan G-12).

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa inokulum campuran 3 isolat lebih baik

daripada inokulum campuran 2 isolat atau kelompok isolat tunggalnya. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa inokulum campuran paling efektif dalam

meningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kelapa sawit di tanah gambut

bekas hutan.

Inokulum campuran CMA alami (P-gab., S-gab. dan G-gab.) serta

inokulum mycofer memiliki keefektivan yang lebih rendah dibandingkan isolat

hasil isolasi dan kombinasinya. Hal tersebut kemungkinan peran dari isolat-isolat

itu tidak sinergis tetapi malahan saling bersaing dalam mempengaruhi

pertumbuhan bibit kelapa sawit.

Pada tanah PMK bekas kebun karet, inokulum CMA tunggal lebih baik

meningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kelapa sawit daripada yang

campuran. Hal ini menunjukkan bahwa kerja CMA tersebut lebih baik kerjanya

ketika sendiri dan menurun ketika kerja bersama-sama dengan CMA lainnya,

akibat kerjanya yang saling bersaing.

Kemampuan CMA memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan tanaman

berkaitan dengan peranannya dalam penyerapan fosfor (Ortas et al. 1996; Al-

Karaki & Al-Raddad 1997; A-Karaki & Clark 1998), seperti hasil penelitian ini

CMA mampu meningkatkan serapan P sehingga pertumbuhan bibit kelapa sawit

dapat meningkat dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian CMA. Pada

tanah PMK dan gambut, P tersedia yang dapat diserap tanaman sangat rendah,

tetapi dengan adanya CMA, P yang dapat diserap tanaman menjadi lebih tinggi.

Adanya peningkatan serapan P ternyata diakibatkan meningkatnya kadar P dan

juga ditunjang dengan meningkatnya pertumbuhan bibit baik di tanah PMK bekas

hutan, PMK bekas kebun karet maupun gambut bekas hutan (Tabel 7, 8, 9, 10, 11

dan 12). Jadi dengan semakin meningkatnya kadar P tajuk dan bobot kering tajuk,

maka serapan P bibit tersebut semakin meningkat. Menurut Kramadibrata (1993),

Page 80: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

55

peningkatan serapan P oleh tanaman ber-CMA sebagian besar karena hifa

eksternal dari CMA yang berperan sebagai sistem perakaran di mana hifa

eksternalnya menyediakan permukaan yang lebih efektif dalam menyerap unsur

hara dari tanah yang kemudian dipindahkan ke akar inang.

CMA juga dapat menyerap fosfat organik dan mengubahnya menjadi P

anorganik yang dapat diserap tanaman dengan adanya bantuan enzim fosfatase

asam yang juga dihasilkan oleh CMA dan juga sel-sel tanaman tersebut.

Gunawan (1993) menjelaskan bahwa enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh

hifa CMA yang sedang aktif tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada

permukaan akar sebagai hasil infeksi CMA menyebabkan Pi dibebaskan dari

fosfat organik pada daerah dekat permukaan sel sehingga dapat diserap melalui

mekanisme serapan hara.

Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro yang penting dalam

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Unsur tersebut berfungsi sebagai

penyusun metabolit dalam senyawa kompleks, sebagai aktivator, kofaktor atau

penyatu enzim serat dan berperan dalam proses fisiologi (Soepardi 1983) dan juga

merupakan komponen struktural dari sejumlah senyawa penting, molekul

pentransfer energi ADP dan ATP (Gardner et al. 1991; Marschner 1997). Menurut

Prawiranata et al. (1992), ATP merupakan senyawa penting bagi reaksi metabolit

yaitu reaksi biosintetik pembentukan senyawa penting bagi pemeliharaan sel dan

pertumbuhan termasuk protein dan asam nukleat. Selain itu ATP diperlukan

untuk sintesis cadangan makanan seperti lemak dan polisakarida serta diperlukan

dalam proses transpor aktif dan aliran protoplasma. Fosfor juga merupakan unsur

yang sangat kritikal bagi pertumbuhan tanaman, selain itu kekurangan P

mengakibatkan tanaman tidak mampu menyerap unsur-unsur lain. Sebagai unsur

yang penting dalam pembentukan energi bagi pertumbuhan tanaman maka

ketersediaan P yang cukup akan memperbaiki pertumbuhan tanaman. Jika energi

tersedia dalam jumlah yang cukup maka semua proses metabolisme dapat

berlangsung dengan baik, sehingga tanaman akan lebih mampu menghadapi

keadaan lingkungan yang beragam dan mampu tumbuh dengan baik.

Page 81: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

56

Kesimpulan

1. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA menunjukkan tanggap

pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa inokulasi

CMA baik yang ditanam pada media tanah PMK bekas hutan, PMK bekas

kebun karet maupun gambut bekas hutan.

2. Setiap jenis CMA memiliki keefektivan yang berbeda dengan bibit kelapa

sawit. CMA yang memiliki keefektivan tertinggi di media tanah PMK bekas

hutan adalah inokulum campuran 3 isolat CMA Glomus sp-3a, Acaulospora

sp-3a dan Acaulospora sp-5a; di media tanah PMK bekas kebun karet adalah

inokulum tunggal CMA Glomus sp-3b serta di media tanah gambut bekas

hutan adalah inokulum campuran 3 isolat CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c,

dan Acaulospora sp-5c.

3. Ekosistem tanah PMK dan gambut bekas hutan memiliki keanekaragaman

jenis CMA yang efektif dengan bibit kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan

tanah PMK bekas kebun karet.

Page 82: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

ADAPTASI BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS

DENGAN CMA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

PADA MEDIA TANAH PMK DAN GAMBUT BEKAS HUTAN

Adaptation of Oil Palm Seedling Inoculated with Arbuscular

Mycorrhiza Fungi on Drought Stress in Red Yellow Podzolic and

Peat of Used Forest Soils Media

Abstrak

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam

pertumbuhan, serapan hara dan hasil kelapa sawit terutama yang ditanam pada

tanah PMK dan gambut. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah cekaman

kekeringan pada tanaman kelapa sawit tersebut melalui pemakaian CMA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kelapa sawit

yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah

PMK dan gambut bekas hutan. Pengujian adaptasi ini terdiri dari dua percobaan,

masing-masing percobaan untuk setiap jenis tanah menggunakan Rancangan

Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu faktor pertama adalah inokulasi

CMA (M0= tanpa CMA and M1 = inokulasi CMA) dan faktor kedua adalah taraf

cekaman kekeringan (100%, 75%, 50% and 25% air tersedia).

Pada kedua jenis tanah, inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit

kelapa sawit pada setiap tingkat cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh

tanggap pertumbuhan dan serapan hara. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit

tanpa CMA terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme toleransi

(pengaturan osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum

glisina-betaina dan prolina daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi

kadar ABA daun). Pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA,

mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme

toleransi dan mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan hara (terutama P),

peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, dan

pengurangan luas permukaan transpirasi). Tanggap pertumbuhan dan serapan hara

bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA pada media tanah

gambut bekas hutan lebih tinggi dibandingkan pada media tanah PMK bekas

hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan.

Kata kunci : kelapa sawit, CMA, cekaman kekeringan, mekanisme adaptasi

Abstract

Drought stress is one of the main limiting factors in growth, nutrient

uptake and yield of oil palm, particularly those which are planted in RYP and

Page 83: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

58

peat soils. One of the alternatives to overcome this drought stress problem on

many plants is through inoculation with AMF. This research was conducted to

observe the adaptabilty of oil palm seedling inoculated with AMF on drought

stress in two different soils i.e. RYP and peat of used forest soils. Each

experiment on each soil type was arranged in a Factorial Completely Randomized

Design with two factors. The first factor was AMF inoculation (M0= without

AMF and M1 = inoculation of AMF) and the second factor was drought stress

levels (available water 100%, 75%, 50% and 25%).

On both soil types, AMF inoculation improved the adaptability of oil palm

seedling on every level of drought stress, as shown by the responses of growth

and nutrient uptake. The adaptation of non-inoculated seedling on drought stress

was solely by tolerance mechanism, either osmoregulation as shown by higher

production level of osmoticum components or cell turgor regulation by leaf ABA

accumulation. On the inoculated seedlings, however, there were synergism

between those two tolerance mechanism and escape mechanism. Two important

escape mechanism were intensifying root system and decreasing transpiration

surface of seedlings. Responses of growth and nutrient uptake of oil palm

seedlings inoculated with AMF and without AMF on the peat soil media, were

higher as compared to those on RYP soil media for each level of drought stress.

Key words : oil palm, AMF, drought stress, adaptation mechanism

Pendahuluan

Cekaman kekeringan merupakan penyebab utama penurunan produksi

pada tanaman kelapa sawit. Menurut Hutomo et al. (1977), taksiran penurunan

produksi selama 24 bulan setelah kekeringan pada perkebunan-perkebunan kelapa

sawit di Indonesia berkisar antara 21-65 %. Tanggap paling awal dari tanaman

yang mendapat cekaman kekeringan adalah terjadinya hambatan pembukaan

stomata daun (Penny-Packer et al. 1990). Beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan konduktansi stomata, fotosintesis

dan pertumbuhan (Pattanagul & Madore 1999; Prevete et al. 2000; Delfine et al.

2001), sehingga pada akhirnya dapat menurunkan produksi.

Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK dan gambut akan

mudah mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau. Selain disebabkan

oleh perakarannya yang dangkal, juga tanah tersebut khususnya PMK mempunyai

kemampuan menahan air yang rendah. Tanah PMK dan gambut bekas hutan yang

Page 84: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

59

digunakan dalam penelitian ini memiliki kejenuhan basa yang rendah, derajat

kemasaman yang tinggi dengan pH 4.89 (PMK) dan 3.90 (gambut), kandungan

hara makro dan mikro yang rendah (PMK) dan sedang (gambut), serta unsur P

sulit tersedia bagi tanaman.

Agar tetap dapat bertahan hidup dalam keadaan kekeringan, tanaman harus

dapat mengatur status air dalam tubuhnya melalui pengaturan potensial osmotik.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman mampu beradaptasi terhadap

cekaman kekeringan melalui pengaturan osmotik sel, yaitu melalui sintesis dan

akumulasi senyawa organik serta dengan cara menjaga turgor sel. Beberapa

senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotik sel antara lain gula osmotik

(Pattanagul & Madore 1999; Kobashi et al., 2000; Wijana 2000), glisina-betaina

(Makela et al. 1999; Wijana 2000) dan prolina (Pangaribuan 2001; Wijana 2000).

Selain itu untuk mengatur turgor sel, tanaman menghasilkan ABA (Pastor et al.

1999; Kobashi et al. 2000; Wijana 2000) serta sudah diketahui bahwa ABA dapat

memacu akumulasi prolina (Trotel-Aziz et al. 2000).

Salah satu alternatif yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan

adaptasi terhadap kekeringan pada tanaman kelapa sawit adalah dengan

menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu CMA.

CMA pada lahan kekeringan mampu meningkatkan penyerapan hara

makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa eksternalnya, selain itu juga

mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan (Setiadi 1989). Ketahanan

timbul akibat meningkatnya kemampuan tanaman untuk menghindari pengaruh

langsung dari kekeringan dengan jalan meningkatkan penyerapan air melalui

sistem gabungan akar dan mikoriza. Dijelaskan lebih lanjut oleh Setiadi (1989),

bahwa hifa cendawan ternyata masih mampu untuk menyerap air dari pori-pori

tanah pada saat akar tanaman sudah kesulitan. Penyebaran hifa di dalam tanah

juga sangat luas sehingga tanaman dapat mengambil air relatif lebih banyak.

Menurut Marschner & Dell (1994) hifa eksternal CMA dapat memperoleh

P larut yang relatif lebih besar dibandingkan dengan akar karena daya jelajah hifa

dapat mencapai 10 cm lebih dari permukaan akar, dan menurut Bolan (1991)

ukuran diameter hifa sangat kecil (2-4 um) sehingga volume tanah yang dapat

Page 85: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

60

diterobos menjadi lebih besar. Selain itu, adanya peningkatan serapan P oleh

tanaman yang bermikoriza diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim

fosfatase akar tanaman.

Hasil penelitian Aboul-Nasr (1998) menunjukkan bahwa inokulasi CMA

pada tanaman labu dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan.

Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa tanaman labu yang diinokulasi Glomus

intraradices memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada yang tidak

diinokulasi. Tanaman yang bermikoriza secara nyata meningkatkan jumlah P dan

K pada tajuk tanaman tersebut. Di bawah cekaman kekeringan, tanaman yang

bermikoriza memiliki kandungan K tajuk serta N dan P akar yang lebih tinggi

daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Hasil yang sama diperoleh oleh Al-

Karaki & AlRaddad (1997) pada gandum; Bryla & Duniway (1997) pada

Safflower dan gandum; Al-Karaki et al. (1998) pada tanaman gandum;

Bethlenfalvay et al. (1998) pada kedelai; Al-Karaki & Clark (1999) pada tanaman

barley; Syvertsen & Graham (1999) pada sour orange dan sweet oranges; Hapsoh

(2003) pada kedelai; serta Hanum (2004) pada kedelai.

CMA dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif

tanaman, seperti hasil penelitian Aguilera-Gomez et al. (1999) yang mendapatkan

bahwa CMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar

dan buah Capsicum annuum serta pertumbuhan reproduktif meningkat 450 %

pada tanaman yang bermikoriza.

CMA meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki

serapan unsur-unsur hara dan air. Tanaman yang diinokulasi CMA memiliki

bobot kering tajuk dan akar yang lebih tinggi pada keadaan cekaman kekeringan

daripada yang tidak ber-CMA. Selain itu tanaman yang ber-CMA lebih efisien

dalam penggunaan air (Al-Karaki 1998). Hasil yang sama diperoleh oleh Al-

Karaki dan Clark (1998).

Pemberian CMA pada keadaan kekeringan dapat mempengaruhi

mekanisme adaptasi tanaman dalam memproduksi senyawa organik dan mengatur

turgor sel serta dalam penyerapan P seperti pada tanaman labu (Aboul-Nasr,

1998), gandum (Al-Karaki & AlRaddad 1997; Al-Karaki 1998; Al-Karaki et al.

Page 86: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

61

1998; Al-Karaki & Clark 1998; 1999), kakao (Sasli 1999), dan kedelai (Hapsoh

2003; Hanum 2004). Dengan demikian adanya CMA pada keadaan kekeringan

membantu tanaman dalam meningkatkan pertumbuhannya (Bryla & Duniway

1997, 1998; Goicoechea et al. 1997; Subramanian & Charest 1998; Ruiz-Lozano

et al. 2000; Fidelibus et al. 2000).

Mekanisme peningkatan adaptasi terhadap cekaman kekeringan akibat

adanya CMA, selain karena perbaikan penyerapan P, juga adanya kolonisasi

mikoriza menunda dehidrasi jaringan dan memelihara turgor sel tanaman selama

kekeringan dengan satu atau lebih mekanisme sebagai berikut (1) meningkatkan

penyerapan air melalui peningkatan kerapatan akar (Kothari et al. 1990; Osonubi

et al.1992), daya hantar hidrolik akar internal (Cui & Nobel 1992), dan/atau

transport air dari hifa ke akar (Faber et al. 1991; Ruiz-Lozano & Azcon 1995); (2)

mengurangi kehilangan air dari tanaman melalui pengurangan luas daun

(Henderson & Davies 1990; Osonubi et al.1992) atau peningkatan resistensi

stomata (Allen & Allen 1986) serta (3) peningkatan penyesuaian osmotik daun

(Auge et al.1986; Ruiz-Lozano et al. 1995) dan/atau akar (Auge & Stodola 1990).

Mikoriza juga meningkatkan kelenturan dinding sel tanaman (Auge et al.1987),

yang memelihara turgor sel selama kekeringan. Menurut Davies et al. (1992)

perkembangan hifa ekstraradikal dan agregasi tanah sekeliling akar bermikoriza

akan ditingkatkan oleh mikoriza yang mengkolonisasi tanaman terhadap

kekeringan, dan perubahan ini memfasilitasi penyerapan air yang cukup.

Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam keadaan kekeringan pada

bibit kelapa sawit dalam mengatur mekanisme adaptasi belum dilaporkan.

Dengan pemberian CMA pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA tersebut

mampu meningkatkan daya adaptasi bibit terhadap cekaman kekeringan, sehingga

jika ditanam di lapangan bibit akan mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang

beragam.

Penelitian ini bertujuan mengkaji peranan CMA pada keadaan

kekeringan terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang

ditanam pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan serta untuk mengkaji

Page 87: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

62

mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit dalam mengatasi cekaman kekeringan pada

keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA pada kedua jenis tanah tersebut.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Bioteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Laboratorium Research Group on Crop

Improvement (RGCI) IPB, dan Laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen

Pertanian Bogor. Waktu penelitian dari bulan Mei 2004 sampai dengan April

2005.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yang masing-masing merupakan

percobaan faktorial dua faktor menggunakan Rancangan Acak Lengkap tiga

ulangan yaitu :

1. Faktor pertama, mikoriza terdiri dari dua taraf :

M0 : tanpa inokulasi CMA

M1 : dengan inokulasi CMA

2. Faktor kedua, Cekaman Kekeringan (Pemberian Air) terdiri atas empat taraf :

C1 : 100% air tersedia

C2 : 75% air tersedia

C3 : 50% air tersedia

C4 : 25% air tersedia

Dengan demikian, secara keseluruhan diperoleh delapan kombinasi

perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 24

satuan percobaan, yang masing-masing terdiri atas delapan tanaman. Dengan

demikian jumlah tanaman seluruhnya adalah 192 tanaman.

Model linier aditif dari rancangan yang digunakan sebagai berikut :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Di mana :

i : 1, 2

Page 88: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

63

j : 1, 2, 3, 4

k : 1, 2, 3

Yijk : tanggap pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perla-

kuan mikoriza ke-i dan perlakuan cekaman kekeringan pada taraf

ke-j

μ : rataan umum

αi : pengaruh perlakuan mikoriza ke-i

βj : pengaruh perlakuan cekaman kekeringan ke-j

(αβ)ij : pengaruh interaksi pelakuan mikoriza ke-i dan cekaman

kekeringan ke-j

εijkl : pengaruh galat dan pelakuan mikoriza ke-i dan cekaman

kekeringan ke-j dengan ulangan ke-k

Pelaksanaan

Persiapan media tanam.

Media tanam berupa tanah yang berasal dari tanah PMK bekas hutan dan

gambut bekas hutan terlebih dahulu dikeringanginkan dan diayak dengan ayakan

berukuran 10 mesh kemudian disterilisasi dengan tujuan mematikan semua

organisme yang terkandung dalam contoh tanah, sehingga hanya isolat CMA yang

diinokulasi yang berkembang dan tanggap yang terjadi benar-benar akibat isolat

yang diberikan. Sterilisasi dilakukan dengan cara pengukusan (pemanasan).

Sebelumnya contoh tanah dianalisis terlebih dahulu.

Persiapan kecambah.

Kecambah kelapa sawit varietas D x P (Tenera) yang digunakan adalah

kecambah yang baru muncul radikelnya maksimum 0.5 cm. Kecambah tersebut

ditanam dengan hati-hati dalam polibag yang berukuran 40 cm x 45 cm yang

sudah disiapkan sebelumnya, setiap polybag satu kecambah.

Page 89: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

64

Pemberian isolat CMA.

Isolat CMA yang diberikan merupakan isolat CMA yang terbaik pada

tanah PMK bekas hutan (isolat campuran inokulum CMA tipe Glomus sp-3a,

Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a) dan tanah gambut bekas hutan (isolat

campuran inokulum CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c)

serta diberikan pada saat penanaman kecambah dengan cara membuat lubang di

tengah-tengah polybag sedalam kira-kira 3 cm, kemudian pada masing-masing

ujung lubang tanam diletakkan 1 kecambah. Selanjutnya dimasukkan inokulum

CMA yang mengandung sebanyak 60 spora per polybag pada akar bibit tersebut,

kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah.

Perlakuan cekaman kekeringan.

Perlakuan cekaman kekeringan mulai dilakukan pada saat bibit berumur

2,5 bulan. Sebelum perlakuan cekaman kekeringan, penyiraman dilakukan setiap

hari. Penentuan pemberian air untuk setiap perlakuan dilakukan berdasarkan air

tersedia. Air tersedia dalam tanah ditentukan dengan mencari selisih antara kadar

air kapasitas lapang dan titik layu permanen. Untuk mencari kadar air pada

kapasitas lapang dilakukan dengan mengukur penurunan bobot tanah (metode

gravimetri). Contoh tanah dimasukkan dalam suatu bejana yang diberi saluran

pipa kecil pada bagian dasarnya dan diberi air secara hati-hati hingga merata.

Setelah dibiarkan 24 jam, contoh tanah diambil secara komposit sebanyak 10

gram dan dikeringovenkan pada suhu 105o C selama 24 jam. Sedangkan

penetapan kadar air titik layu pemanen didasarkan pada kadar air tanah pada saat

keadaan tanaman tidak mampu tumbuh normal kembali setelah media tanam

disiram air secara berlebih. Perhitungan kadar air kapasitas lapang dan titik layu

pemanen adalah dengan menggunakan rumus berikut :

BB - BK

Kapasitas lapang = ----------------- X 100 %

BK

Di mana : BB = bobot tanah basah

BK = bobot tanah kering oven

Page 90: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

65

Untuk menentukan tingkat kadar air dari masing-masing perlakuan adalah

sebagai berikut :

1. 100 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(100/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

2. 75 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(75/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

3. 50 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(50/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanent

4. 25 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(25/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

Penyesuaian kadar air tanah untuk masing-masing perlakuan dilakukan

setiap hari, dengan menimbang bobot basah tanah dan tanaman yang ada dalam

polybag. Koreksi terhadap pertambahan bobot tanaman, dilakukan dengan

mencabut tanaman dan menimbang bobot tanaman sesuai kombinasi perlakuan

setiap 4 minggu sekali dengan menggunakan contoh tidak tetap yang disediakan

khusus untuk koreksi bobot basah tanaman.

Pemeliharaan.

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan dan pemupukan.

(1) Penyiangan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara

mencabut rumput-rumput yang tumbuh, sekaligus menggemburkan tanah.

Interval penyiangan tergantung pada pertumbuhan gulma yang tumbuh pada

polybag.

(2) Pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pupuk urea, rock

phosphate, KCl dan kisserite dengan dosis seperti tercantum pada Lampiran 2 dan

3. Pemupukan dilakukan dengan cara membuat alur di bagian pinggir polybag

dan pupuk dibenamkan secara merata pada alur tersebut sesuai dosis anjuran dari

Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan untuk tanah PMK dan rekomendasi dari PT

Era Sakti Parastama untuk tanah gambut.

Page 91: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

66

Pengamatan.

Pengamatan pertama (peubah tinggi bibit, jumlah daun dan diameter

batang) untuk mengetahui titik awal keadaan tanaman dilakukan tepat sebelum

perlakuan cekaman kekeringan yaitu pada saat bibit berumur 2.5 bulan, dan untuk

pengamatan selanjutnya dilakukan dengan interval waktu 2 minggu sampai bibit

berumur 9 bulan.

Peubah yang diamati sebagai berikut :

1. Tinggi bibit (cm). Tinggi bibit diukur dari batas leher akar sampai ke ujung

daun tertinggi. Untuk mempermudah pengukuran ditanam ajir bambu sebagai

standar pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mistar .

2. Jumlah daun (helai). Jumlah daun dihitung dengan cara menghitung semua

daun yang telah membuka sempurna dan masih segar. Selain itu juga dihitung

jumlah daun yang pecah lidi.

3. Luas daun (cm2). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pengukur luas

daun (Leaf Area Meter) dan dilakuan pada akhir penelitian.

4. Diameter batang. Diukur dengan menggunakan jangka sorong pada ketinggian

2 cm dari pangkal batang.

5. Bobot kering tajuk (g). Tanaman dipotong hingga batas leher akar, kemudian

dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 80 oC, kemudian

ditimbang bobot kering tajuknya. Pengukuran dilakukan pada akhir

penelitian.

6. Bobot kering akar (g). Akar dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan

suhu 80 oC, lalu ditimbang. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

7. Efisiensi penggunaan air (EPA), dihitung dengan rumus :

Bobot kering tanaman (g)

EPA = ---------------------------------------

Jumlah air yang digunakan (l)

Jumlah air yang digunakan tanaman dihitung setiap hari mulai dari awal

sampai akhir penelitian, dengan cara mengukur jumlah air yang disiramkan

pada setiap tanaman setiap hari.

Page 92: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

67

8. Persentase akar terinfeksi CMA. Teknik pelaksanaan dilakukan sama dengan

sebelumnya. Penghitungan dilakukan pada akhir penelitian.

9. Analisis aktivitas enzim fosfatase asam. Analisis aktivitas enzim fosfatase

asam di akar dan tanah dilakukan sesuai prosedur yang mengacu pada Dodd et

al. (1987) dan Ezawa dan Yoshida (1994) dengan beberapa modifikasi.

Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 4. Analisis dilakukan pada akhir

penelitian.

10. Kadar dan serapan P. Kadar P diperoleh dengan cara menganalisis contoh

kering (105 oC) bagian atas tanaman dengan menggunakan metode dekstruksi

basah seperti tercantum pada Lampiran 8. Serapan P diperoleh dari hasil kali

antara kadar P dan bobot kering bagian atas tanaman. Analisis ini dilakukan

pada akhir penelitian.

11. Kadar dan serapan K. Kadar K diperoleh dengan cara menganalisis contoh

kering (105 oC) bagian atas tanaman dengan menggunakan metode dekstruksi

basah seperti tercantum pada Lampiran 9. Serapan K diperoleh dari hasil kali

antara kadar K dan bobot kering bagian atas tanaman. Analisis ini dilakukan

pada akhir penelitian.

12. Analisis prolina. Kandungan prolina ditentukan secara kolorimetri

menggunakan metode Bates et al. (1973). Prosedur lengkap disajikan dalam

Lampiran 5. Analisis prolina ini dilakukan pada awal (sebelum cekaman) dan

akhir penelitian.

13. Analisis ABA. Ekstrasi ABA mengikuti prosedur yang dilakukan Yokota et

al. (1994). Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 6. Pengukuran

dilakukan pada akhir penelitian.

14. Analisis glisina-betaina. Kadar glisina-betaina dianalisis berdasarkan metode

Grieve dan Grattan (1983) dengan sedikit perubahan. Prosedur lengkap

disajikan dalam Lampiran 7. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

Analisis Data.

Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji

ortogonal polinomial dan regresi.

Page 93: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

68

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

a. Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap

cekaman kekeringan pada media tanah PMK bekas hutan

Berdasarkan uji ortogonal polinomial didapatkan persamaan regresi dan

grafik dari setiap peubah yang diamati seperti tercantum pada Tabel 14 dan

Gambar 5-26.

Gambar 5-26 memperlihatkan bahwa morfologi dan fisiologi bibit kelapa

sawit semakin menurun dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan

untuk semua peubah morfologi dan fisiologi yang diamati baik pada bibit yang

diinokulasi CMA maupun tidak, kecuali untuk peubah glisina-betaina daun,

prolina daun, ABA daun dan infeksi akar. Peubah glisina-betaina daun, prolina

daun, ABA daun dan infeksi akar semakin meningkat dengan semakin bertambah

beratnya cekaman kekeringan. Bibit yang diinokulasi CMA memberikan nilai

peubah morfologi dan fisiologi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA

untuk setiap tingkat cekaman kekeringan, seperti ditunjukkan oleh semua peubah

yang diukur.

Perubahan tanggap morfologi dan fisiologi bibit kelapa sawit yang

diinokulasi CMA cenderung lebih cepat dibandingkan dengan bibit tanpa CMA.

Pada keadaan tercekam, bibit yang diinokulasi CMA memperlihatkan

tanggap morfologi dan fisiologi yang lebih baik. Hal ini disebabkan adanya peran

CMA dalam membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi. Peran

CMA tersebut mulai terlihat sejak awal terjadi cekaman kekeringan untuk semua

peubah yang diamati kecuali peubah bobot kering tajuk. Peubah bobot kering

tajuk dari bibit yang ditanam di tanah PMK bekas hutan, CMA mulai berperan

pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia).

Pada tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia), CMA tidak

mampu berperan lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan seperti terlihat pada

peubah bobot kering tajuk, luas daun, EPA, kadar K dan serapan K, kadar P dan

serapan P, serta enzim fosfatase asam di akar dan di tanah. Bahkan pada peubah

Page 94: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

69

Tabel 14. Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap semua peubah yang diamati pada media tanah PMK bekas hutan

Peubah

Persamaam regresi

M0 (Tanpa CMA) M1 (dengan CMA)

Morfologi

Tinggi bibit

Diameter batang

Jumlah daun

Jumlah daun pecah lidi

Luas daun

Bobot kering akar

Bobot kering tajuk

Bobot kering bibit

Nisbah tajuk akar

Fisiologi

Enzim fosfatase asam di akar

Enzim fosfatase asam di tanah

Kadar K

Kadar P

Serapan K

Serapan P

Kadar glisina-betaina daun

Kadar prolina daun

Kadar ABA daun

EPA

Infeksi akar

y = 0.5117x + 21.667 R2=0.78

y =-0.0086x2 + 1.5477x - 23.725 R2=0.92

y = 0.0827x + 2.1667 R2=0.91

y = 0.024x - 0.8333 R2=0.62

y = 30.691x – 489.82 R2=0.91

y = 0.079x - 0.9485 R2=0.78

y = 0.4579x - 7.8518 R2=0.96

y = 0.5369x - 8.8003 R2=0.96

y = 0.0002x2 - 0.0276x + 4.8192 R2 =0.05

y = 2.9167x + 161.14 R2=0.78

y = 0.1698x + 11.107 R2=0.90

y = 0.0269x + 3.8292 R2=0.75

y = 0.0032x + 0.243 R2=0.81

y = 0.0296x - 0.61 R2=0.96

y = 0.0026x - 0.0605 R2=0.96

y = -0.0009x2 + 0.1215x + 20.673 R2=0.01

y = -0.0815x + 14.536 R2=0.81

y = -0.4688x + 57.298 R2=0.99

y = -0.0003x2 + 0.0524x - 0.8597 R2 =0.92

-

y = 0.6011x + 23.1 R2=0.79

y = -0.0108x2 + 1.8783x - 26.625 R2=0.94

y = 0.0253x + 7.8333 R2=0.55

y = 0.028x - 0.5 R2=0.52

y = 34.584x – 350.57 R2=0.92

y = 0.1105x - 0.5323 R2=0.77

y = 0.478x – 4.1875 R2=0.87

y =-0.0031x2 + 0.9773x - 14.441 R2=0.88

y = 0.0001x2 - 0.0107x + 5.5115 R2=0.01

y = -0.0711x2 + 12.662x - 51.683 R2=0.92

y = 0.0044x2 - 0.1141x + 15.803 R2=0.96

y = 0.0464x + 3.3324 R2=0.91

y = 0.0061x + 0.1981 R2=0.88

y = 0.0419x - 0.8448 R2=0.92

y = 0.0043x - 0.0978 R2=0.92

y = 0.0007x2 - 0.1434x + 32.629 R2=0.08

y = -0.1208x + 27.255 R2=0.62

y = 0.0039x2 - 0.9738x + 75.342 R2=0.99

y = 0.0006x2 - 0.0273x + 0.9573 R2=0.92

y = 0.0013x2 - 0.3213x + 103 R2=0.66

Keterangan : x = taraf cekaman kekeringan (persentase air tersedia)

Page 95: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

70

EPA dan enzim fosfatase asam di tanah, CMA sudah tidak dapat berperan lagi

mulai tingkat cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia).

Tanggap tinggi, luas daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering bibit

kelapa sawit yang diinokulasi CMA terhadap cekaman kekeringan menunjukkan

bahwa semakin bertambah berat cekaman kekeringan, semakin kecil

perbedaannya dengan bibit tanpa CMA. Hal ini menunjukkan bahwa peran CMA

makin berkurang dengan semakin meningkatnya cekaman kekeringan (Gambar 5-

8).

y = 0.5117x + 21.667

R2 = 0.7771

y = 0.6011x + 23.1

R2 = 0.7929

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Tin

gg

i b

ibit

(cm

)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 5. Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan

Page 96: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

71

y = 34.584x - 350.57

R2 = 0.9242

y = 30.691x - 489.82

R2 = 0.9079

0.00

500.00

1000.00

1500.00

2000.00

2500.00

3000.00

3500.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Lu

as d

au

n (

cm

2)

M0

M1

Linear (M1)

Linear (M0)

Gambar 6. Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

y = 0.4579x - 7.8518

R2 = 0.9578

y = 0.478x - 4.1875

R2 = 0.8723

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Bo

bo

t keri

ng

taju

k (

g)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 7. Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan

Page 97: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

72

y = 0.5369x - 8.8003

R2 = 0.9559

y = -0.0031x2 + 0.9773x - 14.441

R2 = 0.8791

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Bo

bo

t keri

ng

bib

it (

g)

M0

M1

Linear (M0)

Poly. (M1)

Gambar 8. Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi

cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman

kekeringan seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diukur. Dengan adanya

CMA, bibit lebih mampu mengatasi cekaman kekeringan sehingga tingkat

pertumbuhan yang sama dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi CMA pada

kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang tidak diinokulasi CMA

pada kadar air tanah yang lebih tinggi.

Pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia), nilai peubah

morfologi dan fisiologi bibit yang diinokulasi CMA mampu menyamai bibit pada

tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air tersedia) yang tanpa CMA. Demikian

juga, pada cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) bibit yang ber-CMA

mampu menyamai bibit pada cekaman C2 (75% air tersedia) yang tanpa CMA,

seperti yang ditunjukkan oleh peubah, diameter batang, jumlah daun pecah lidi,

bobot kering akar, enzim fosfatase asam di akar, kadar K tajuk dan kadar P tajuk

(Gambar 9-15).

Page 98: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

73

y = -0.0108x2 + 1.8783x - 26.625

R2 = 0.9404

y = -0.0086x2 + 1.5477x - 23.725

R2 = 0.915

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Dia

me

ter

ba

tan

g (

mm

)

M0

M1

Poly. (M1)

Poly. (M0)

Gambar 9. Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Gambar 10. Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat cekaman

kekeringan yang berbeda di media tanah PMK bekas hutan

Page 99: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

74

y = 0.028x - 0.5

R2 = 0.5158

y = 0.024x - 0.8333

R2 = 0.6231

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Ju

mla

h d

au

n p

eca

h lid

i

M0

M1

Linear (M1)

Linear (M0)

Gambar 11. Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan

y = 0.079x - 0.9485

R2 = 0.7757

y = 0.1105x - 0.5323

R2 = 0.766

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Bo

bo

t keri

ng

aka

r (g

)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 12. Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Page 100: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

75

y = 2.9167x + 161.14

R2 = 0.7807

y = -0.0711x2 + 12.662x - 51.683

R2 = 0.918

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

700.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

en

zim

fo

sfa

tase

asa

m d

i aka

r (u

mo

l/g

bb

)

M0

M1

Linear (M0)

Poly. (M1)

Gambar 13. Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di

media tanah PMK bekas hutan

y = 0.0269x + 3.8292

R2 = 0.7499

y = 0.0464x + 3.3324

R2 = 0.9115

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

10.00

0 25 50 75 100

Persentae air tersedia

Kad

ar

K t

aju

k (

%)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 14. Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Page 101: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

76

y = 0.0032x + 0.243

R2 = 0.8117

y = 0.0061x + 0.1981

R2 = 0.8785

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

1.00

1.10

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Kad

ar

P t

aju

k (

%)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 15. Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Pada Gambar 16 terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA pada tingkat

cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia) dapat menyamai jumlah daun bibit

tanpa CMA pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia) bahkan lebih

tinggi daripada jumlah daun bibit tanpa CMA pada tingkat cekaman kekeringan

C3 (50% air tersedia). Demikian juga, jumlah daun bibit ber-CMA pada tingkat

cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) mampu menyamai jumlah daun bibit

tanpa CMA pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia).

Bibit yang diinokulasi CMA memiliki EPA, enzim fosfatase asam di

tanah, serapan K dan serapan P yang lebih tinggi dan semakin menurun drastis

dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan. Mulai tingkat cekaman

kekeringan C3 (50% air tersedia) EPA bibit tersebut tidak berbeda dengan EPA

bibit tanpa CMA. Jadi peran CMA sudah berkurang sejalan dengan bertambah

beratnya cekaman kekeringan. Pada C3 (50% air tersedia) tersebut, CMA sudah

tidak dapat membantu bibit kelapa sawit meningkatkan EPA, enzim fosfatase

asam di tanah, serapan K dan serapan P. Demikian juga pada C4 (25% air

Page 102: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

77

tersedia) CMA sudah tidak mampu lagi membantu bibit kelapa sawit dalam

mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi (Gambar 17, 18, 19 dan 20).

y = 0.0827x + 2.1667

R2 = 0.9066

y = 0.0253x + 7.8333

R2 = 0.5511

0

2

4

6

8

10

12

14

16

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Ju

mla

h d

au

n

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 16. Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

y = 0.0006x2 - 0.0273x + 0.9573

R2 = 0.9218

y = -0.0003x2 + 0.0524x - 0.8597

R2 = 0.9211

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

EP

A (

g/L

)

M0

M1

Poly. (M1)

Poly. (M0)

Gambar 17. Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan

Page 103: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

78

y = 0.0044x2 - 0.1141x + 15.803

R2 = 0.9638

y = 0.1698x + 11.107

R2 = 0.9

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 25 50 75 100

Persentase Air Tersedia

En

zim

fo

sfa

tase

asa

m d

i ta

nah

(u

mo

l/g

bb

)

M0

M1

Poly. (M1)

Linear (M0)

Gambar 18. Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di

media tanah PMK bekas hutan

y = 0.0296x - 0.61

R2 = 0.9577

y = 0.0419x - 0.8448

R2 = 0.9171

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

4.50

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Sera

pa

n K

(g

/tan

.)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 19. Tanggap Serapan K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah

media PMK bekas hutan

Page 104: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

79

y = 0.0026x - 0.0605

R2 = 0.9637

y = 0.0043x - 0.0978

R2 = 0.9186

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Sera

pa

n P

(g

/tan

.)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 20. Tanggap serapan P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Nisbah/tajuk akar pada bibit kelapa sawit akibat adanya perlakuan

cekaman kekeringan mempunyai pola yang sama, di mana bibit yang diinokulasi

CMA memberikan nisbah tajuk/akar yang lebih rendah dibandingkan bibit tanpa

CMA (gambar 21). Dalam hal ini berarti bibit yang bermikoriza memiliki

perkembangan akar lebih baik, sehingga lebih mampu untuk menyerap air dan

unsur-unsur hara yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan

bibit kelapa sawit tersebut.

Perubahan kandungan kadar glisina-betaina pada bibit yang diinokulasi

CMA dan yang tanpa CMA memiliki pola yang berbeda (Gambar 22). Semakin

bertambah beratnya cekaman kekeringan, kandungan glisina-betaina bibit yang

diinokulasi CMA semakin meningkat dan peningkatan terjadi sejak awal terjadi

cekaman kekeringan. Pada bibit yang tanpa CMA, kandungan glisina-betaina

pertama-tama meningkat dan mulai terjadi penurunan pada C4 (25% air tersedia).

Page 105: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

80

y = 0.0001x2 - 0.0107x + 5.5115

R2 = 0.0123

y = 0.0002x2 - 0.0276x + 4.8192

R2 = 0.0497

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Nis

bah

taju

k/a

ka

r

M0

M1

Poly. (M0)

Poly. (M1)

Gambar 21. Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan

y = 0.0007x2 - 0.1434x + 32.629

R2 = 0.0783

y = -0.0009x2 + 0.1215x + 20.673

R2 = 0.0147

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Glisin

a-b

eta

ina d

au

n (

um

ol/g

bb

)

M0

M1

Poly. (M1)

Poly. (M0)

Gambar 22. Tanggap kadar glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di

media tanah PMK bekas hutan

Page 106: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

81

Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa perlakuan mikoriza tidak

berpengaruh nyata terhadap kandungan prolina daun sebelum perlakuan cekaman

kekeringan (Tabel Lampiran 42 dan Gambar 23). Sedangkan kandungan kadar

prolina daun setelah perlakuan cekaman kekeringan semakin meningkat dengan

bertambah beratnya cekaman kekeringan, baik pada bibit yang diinokulasi CMA

maupun yang tanpa CMA (Gambar 24). Bibit yang ber-CMA memiliki kadungan

prolina daun yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA. CMA sudah mulai

berperan sejak awal perlakuan cekaman kekeringan.

Kandungan kadar ABA daun meningkat secara lambat pada bibit ber-

CMA dan secara cepat pada bibit tanpa CMA akibat adanya perlakuan cekaman

kekeringan (Gambar 25). Adanya CMA mampu meningkatkan kadar ABA daun

sejak sebelum terjadinya cekaman dan semakin meningkat dengan semakin

bertambah beratnya cekaman kekeringan.

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

Prolina daun

(umol/g bb)

1

Perlakuan M

M0

M1a a

M0 M1

0.3460.407

Gambar 23. Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan

sebelum perlakuan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Page 107: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

82

y = -0.0815x + 14.536

R2 = 0.8135

y = -0.1208x + 27.255

R2 = 0.6217

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Pro

lin

a d

au

n (

um

ol/g

bb

)M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 24. Tanggap kadar prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah PMK bekas hutan

y = -0.4688x + 57.298

R2 = 0.9934

y = 0.0039x2 - 0.9738x + 75.342

R2 = 0.9922

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Kad

ar

AB

A d

au

n (

ng

/g)

M0

M1

Linear (M0)

Poly. (M1)

Gambar 25. Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Page 108: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

83

Laju pertumbuhan bibit kelapa sawit setiap 2 minggu sekali sejak diberi

perlakuan cekaman kekeringan disajikan pada Gambar 26 (tinggi bibit), Gambar

27 (jumlah daun) dan Gambar 28 (diameter batang). Berdasarkan gambar tersebut

terlihat bahwa semakin berat cekaman kekeringan maka semakin menurun laju

pertumbuhan bibit tersebut, baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun yang

tidak. Pada setiap tingkat cekaman kekeringan, untuk bibit yang diinokulasi

CMA ternyata memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bibit

tanpa CMA.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Minggu Setelah Tanam (MST)

Tin

gg

i b

ibit

(c

m)

M0C1

M0C2

M0C3

M0C4

M1C1

M1C2

M1C3

M1C4

Gambar 26. Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan

pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah

PMK bekas hutan

Page 109: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

84

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Minggu Setelah Tanam (MST)

Ju

mla

h d

au

n

M0C1

M0C2

M0C3

M0C4

M1C1

M1C2

M1C3

M1C4

Gambar 27. Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit terhadap

perlakuan pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan pada

media tanah PMK bekas hutan

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Minggu Setelah Tanam (MST)

Dia

me

ter

ba

tan

g (

mm

) M0C1

M0C2

M0C3

M0C4

M1C1

M1C2

M1C3

M1C4

Gambar 28. Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit terhadap

perlakuan pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan pada media

tanah PMK bekas hutan

Nilai pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA di media

tanah PMK bekas hutan hasil penelitian ini pada umumnya melebihi standar

pertumbuhan bibit kelapa sawit dari PPKS seperti tercantum pada Tabel 15.

Page 110: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

85

Tabel 15. Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan hasil

penelitian dan standar dari PPKS Medan

Umur

(bulan)

Tinggi bibit (cm) Diameter batang (mm) Jumlah daun

Hasil

penelitian

Standar

dari

PPKS

Medan*)

Hasil

penelitian

Standar

dari

PPKS

Medan*)

Hasil

penelitian

Standar

dari

PPKS

Medan*)

M0

M1

M0

M1

M0

M1

3 32.07 28.93

20.00 9.37 10.27

13.00 4.0 4.0

3.5

4 37.23 36.13

25.00 10.77 13.23

15.00 5.0 5.0

4.5

5 43.60 42.87

32.00 14.47 16.23

17.00 5.7 6.0

5.5

6 54.07 54.73

35.90 20.47 24.80

18.00 6.7 8.3

8.5

7 62.73 65.63

52.20 28.17 32.47

27.00 8.3 9.0

10.5

8 66.13 71.63

64.30 34.87 47.17

36.00 9.3 10.3

11.5

9 70.17 89.80

88.30 46.83 54.50

45.00 10.0 10.3

13.5

*) Sumber : Sutanto, et al. (2002)

Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa bibit kelapa sawit yang diinokulasi

CMA memiliki tinggi tanaman dan diameter yang lebih tinggi dibandingkan

standar bibit dari PPKS. Tinggi bibit pada umur 8 bulan berdasarkan standar

PPKS Medan, dapat dicapai oleh bibit hasil penelitian ini pada umur 7 bulan.

Demikian juga diameter bibit pada umur 9 bulan menurut PPKS medan, dapat

dicapai bibit hasil penelitian ini pada umur 8 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa

terjadi penghematan waktu selama satu bulan selama di pembibitan.

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan disajikan pada

Gambar 29. Pada gambar tersebut terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA

memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA.

Page 111: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

86

Gambar 29. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK

bekas hutan

Infeksi akar oleh CMA semakin meningkat dengan bertambah beratnya

cekaman kekeringan (Gambar 30). Peningkatan infeksi akar oleh CMA tersebut

merupakan suatu usaha CMA untuk dapat membantu bibit mengatasi cekaman

kekeringan yang semakin berat.

Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi dan yang terinfeksi oleh

CMA dapat dilihat pada Gambar 31. Infeksi yang terjadi dapat berupa adanya

hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula CMA dalam jaringan korteks akar bibit

kelapa sawit tersebut.

Page 112: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

87

y = 0.0013x2 - 0.3213x + 103

R2 = 0.6614

78

80

82

84

86

88

90

92

94

96

98

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Infe

ks

i aka

r (%

)

M1

Poly. (M1)

Gambar 30. Tanggap persentase infeksi akar terhadap perlakuan mikoriza dan

cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan

A B

C

hifa

Arbuskula

Vesikula

Hifa

Arbuskula

Page 113: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

88

Gambar 31. Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi mikoriza (A) dan yang

terinfeksi mikoriza (B) dan (C)

Bibit yang mengalami cekaman kekeringan memperlihatkan keadaan yang

agak lemah, warna daun kekuning-kuningan bahkan ada yang agak menghitam,

sebagian ada yang timbul bintik-bintik hitam. Selain itu juga bibit yang tercekam

sebagian batang dan daunnya melilit atau melipat (Gambar 32).

Pertumbuhan bibit bermikoriza terlihat lebih seragam di antara setiap bibit

dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza untuk setiap cekaman kekeringan.

Daun berwarna kekuningan Daun melipat atau melilit

Daun berwarna kekuningan dan ada

yang kering

Gambar 32. Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang

mengalami cekaman kekeringan pada media tanah PMK bekas

hutan

Page 114: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

89

b. Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap

cekaman kekeringan pada media tanah gambut bekas hutan

Hasil uji ortogonal polinomial dari setiap peubah yang diamati disajikan

dalam bentuk persamaan regresi dan grafik seperti tercantum pada Tabel 16 dan

Gambar 33-53.

Berdasarkan Gambar 33-53 diperoleh bahwa dengan semakin bertambah

beratnya cekaman kekeringan menyebabkan tanggap morfologi dan fisiologi bibit

kelapa sawit semakin menurun baik bibit yang diinokulasi CMA maupun yang

tidak, seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati kecuali infeksi akar.

glisina-betaina, kadar prolina daun dan kadar ABA daun.

Perubahan tanggap morfologi dan fisiologi pada bibit yang diinokulasi

CMA lebih lambat daripada bibit tanpa CMA untuk peubah jumlah daun, jumlah

daun pecah lidi, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar K

dan glisin. Sebaliknya peubah diameter batang, bobot kering akar, EPA, enzim

fosfatase asam di akar, kadar ABA daun, serapan K dan serapan P menunjukkan

perubahan tanggap yang lebih lambat pada bibit tanpa CMA. Sementara itu,

peubah tinggi tanaman, luas daun, kadar P dan enzim fosfatase asam di tanah

menunjukkan perubahan tanggap yang hampir sama antara bibit yang diinokulasi

CMA dan yang tidak.

Seperti halnya pada tanah PMK bekas hutan, tanggap morfologi dan

fisiologi bibit kelapa sawit semakin menurun dengan semakin meningkatnya

cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati kecuali

glisina-betaina daun, prolina daun, dan kadar ABA daun. Adanya CMA ternyata

membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi, sehingga bibit yang

diinokulasi CMA memperlihatkan tanggap morfologi dan fisiologi yang lebih

baik. Peran CMA tersebut mulai terlihat sejak awal terjadi cekaman kekeringan

untuk semua peubah yang diamati kecuali peubah nisbah tajuk/akar.

Page 115: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

90

Page 116: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

90

Tabel 16. Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap semua peubah yang diamati pada media tanah gambut

bekas hutan

Peubah

Persamaam regresi

M0 (Tanpa CMA) M1 (dengan CMA)

Morfologi

Tinggi bibit

Diameter batang

Jumlah daun

Jumlah daun pecah lidi

Luas daun

Bobot kering akar

Bobot kering tajuk

Bobot kering bibit

Nisbah tajuk akar

Fisiologi

Enzim fosfatase asam di akar

Enzim fosfatase asam di tanah

Kadar K

Kadar P

Serapan K

Serapan P

Kadar glisina-betaina daun

Kadar prolina daun

Kadar ABA daun

EPA

Infeksi akar

y = 0.5907x + 35.117 R2=0.82

y = -0.0053x2 + 1.2168x - 6.1167 R2=0.94

y = 0.0653x + 6.1667 R2=0.64

y = 0.0613x - 1.3333 R2=0.75

y = 63.33x - 693.26 R2=0.92

y = -0.0015x2 + 0.3135x - 3.1945 R2=0.86

y = 0.8225x - 8.2988 R2=0.93

y = 0.9442x - 6.6983 R2=0.93

y = 0.0006x2 - 0.0458x + 4.4825 R2=0.75

y = 2.3844x + 157.22 R2=0.77

y = 0.0969x + 7.2275 R2=0.90

y = 0.0135x + 2.7633 R2=0.43

y = 0.0069x + 0.0089 R2=0.91

y = 0.0355x - 0.5772 R2=0.88

y = 0.0068x - 0.1902 R2=0.92

y = -0.0714x + 31.075 R2=0.60

y = 0.0092x2 - 1.4585x + 61.325 R2=0.93

y = 0.0014x2 - 0.6178x + 55.667 R2=0.99

y = 0.0003x2 - 0.0139x + 1.7732 R2=0.95

-

y = 0.5799x + 42.85 R2= 0.92

y = 0.4704x + 31.417 R2= 0.93

y = 0.052x + 8.6667 R2= 0.65

y = 0.0413x + 0.8333 R2= 0.64

y = 79.015x - 595.6 R2= 0.95

y =-0.0015x2 + 0.4087x - 3.7005 R2= 0.97

y =-0.0038x2 + 1.5387x - 9.2067 R2= 0.98

y =-0.0053x2 + 1.9475x - 12.907 R2= 0.98

y = 0.0002x2 - 0.0216x + 5.2534 R2= 0.05

y = 3.6876x + 218.28 R2= 0.80

y = 0.0893x + 10.6 R2= 0.78

y = 0.0005x2 - 0.0191x + 3.592 R2= 0.92

y = 0.0061x + 0.2782 R2= 0.81

y = 0.0006x2 + 0.0008x + 0.5511 R2= 0.97

y = 0.0114x - 0.2077 R2= 0.95

y = 0.002x2 - 0.412x + 43.546 R2= 0.89

y = 0.0115x2 - 1.7893x + 74.142 R2 = 0.89

y = -0.4909x + 56.674 R2= 0.99

y = 0.0254x + 1.743 R2= 0.92

y = 0.0004x2 - 0.1073x + 97.917 R2= 0.74

Keterangan : x = taraf cekaman kekeringan (persentase air tersedia)

Page 117: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

91

Bibit yang diinokulasi CMA memberikan tanggap tinggi bibit dan jumlah

daun pecah lidi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA pada setiap

cekaman kekeringan. Penurunan tinggi bibit yang diinokulasi CMA mempunyai

pola yang sama dengan bibit tanpa CMA, sedangkan pada peubah jumlah daun

pecah lidi bibit yang diinokulasi CMA penurunannya lebih lambat (Gambar 33

dan 34).

y = 0.5907x + 35.117

R2 = 0.8247

y = 0.5799x + 42.85

R2 = 0.9195

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Tin

gg

i b

ibit

(cm

)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 33. Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah gambut bekas hutan

y = 0.0613x - 1.3333

R2 = 0.7504

y = 0.0413x + 0.8333

R2 = 0.6428

0

1

2

3

4

5

6

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Ju

mla

h d

au

n p

ec

ah

lid

i

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 34. Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan

Page 118: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

92

Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi

cekaman kekeringan sehingga nilai peubah morfologi dan fisiologi yang sama

bahkan lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi CMA pada kadar air

tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang tidak diinokulasi CMA. seperti

ditunjukkan oleh peubah diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, bobot

kering tajuk, bobot kering bibit, luas daun, kadar K tajuk, kadar P tajuk, serapan

K dan serapan P (Gambar 35-47).

y = -0.0053x2 + 1.2168x - 6.1167

R2 = 0.94

y = 0.4704x + 31.417

R2 = 0.9296

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

100.0

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Dia

mete

r b

ata

ng

(m

m)

M0

M1

Poly. (M0)

Linear (M1)

Gambar 35. Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

Page 119: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

93

y = 0.0653x + 6.1667

R2 = 0.6428

y = 0.052x + 8.6667

R2 = 0.6514

0

2

4

6

8

10

12

14

16

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Ju

mla

h d

au

n

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 36. Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

y = -0.0015x2 + 0.4087x - 3.7005

R2 = 0.9707

y = -0.0015x2 + 0.3135x - 3.1945

R2 = 0.8625

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Bo

bo

t keri

ng

aka

r (g

)

M0

M1

Poly. (M1)

Poly. (M0)

Gambar 37. Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan

Page 120: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

94

y = -0.0038x2 + 1.5387x - 9.2067

R2 = 0.9798

y = 0.8225x - 8.2988

R2 = 0.9329

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Bo

bo

t keri

ng

taju

k (

g)

M0

M1

Poly. (M1)

Linear (M0)

Gambar 38. Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan

y = -0.0053x2 + 1.9475x - 12.907

R2 = 0.9842

y = 0.9442x - 6.6983

R2 = 0.9263

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Bo

bo

t keri

ng

bib

it (

g)

M0

M1

Poly. (M1)

Linear (M0)

Gambar 39. Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

Page 121: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

95

Gambar 40. Tanggap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat cekaman

kekeringan yang berbeda di media tanah gambut bekas hutan

Page 122: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

96

y = 63.33x - 693.26

R2 = 0.921

y = 79.015x - 595.6

R2 = 0.9539

0.00

1000.00

2000.00

3000.00

4000.00

5000.00

6000.00

7000.00

8000.00

9000.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Lu

as d

au

n (

cm

2)

M0

M0

Linear (M0)

Linear (M0)

Gambar 41. Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

y = 2.3844x + 157.22

R2 = 0.7731

y = 3.6876x + 218.28

R2 = 0.8011

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

700.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

En

zim

fo

sfa

tase

asa

m d

i aka

r (u

mo

l/g

bb

)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 42. Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di

media tanah gambut bekas hutan

Page 123: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

97

y = 0.0969x + 7.2275

R2 = 0.8971

y = 0.0893x + 10.6

R2 = 0.7791

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

En

zim

fo

sfa

tase

asa

m d

i ta

nah

(u

mo

l/g

bb

)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 43. Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9

bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di

media tanah gambut bekas hutan

y = 0.0135x + 2.7633

R2 = 0.4274

y = 0.0005x2 - 0.0191x + 3.592

R2 = 0.9178

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Kad

ar

K t

aju

k (

%)

M0

M1

Linear (M0)

Poly. (M1)

Gambar 44. Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

gambut bekas hutan

Page 124: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

98

y = 0.0069x + 0.0089

R2 = 0.9141

y = 0.0061x + 0.2782

R2 = 0.8125

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

1.00

1.10

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Kad

ar

P t

aju

k (

%)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 45. Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

y = 0.0006x2 + 0.0008x + 0.5511

R2 = 0.9728

y = 0.0355x - 0.5772

R2 = 0.8788

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Sera

pa

n K

(g

/tan

.)

M0

M1

Poly. (M1)

Linear (M0)

Gambar 46. Tanggap serapan K bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

gambut bekas hutan

Page 125: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

99

y = 0.0068x - 0.1902

R2 = 0.9229

y = 0.0114x - 0.2077

R2 = 0.9476

-0.20

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Sera

pa

n P

(g

/tan

.)

M0

M1

Linear (M0)

Linear (M1)

Gambar 47. Tanggap serapan P bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

Nisbah tajuk/akar pada bibit tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air

tersedia) lebih rendah daripada bibit tanpa CMA, tetapi dengan bertambah

beratnya cekaman kekeringan nisbah tajuk/akar bibit ber-CMA menjadi lebih

tinggi (Gambar 48). Hal ini menunjukkan bahwa pada tanah gambut bekas hutan,

semakin tercekam bibit yang bermikoriza perkembangan tajuknya justru lebih

baik daripada bibit yang tidak bermikoriza.

Pada keadaan tercekam kekeringan, bibit yang bersimbiosis dengan CMA

ternyata lebih efisien dalam penggunaan air dibandingkan bibit tanpa CMA

sehingga EPA yang sama bahkan lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang

diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang

tidak diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih tinggi (Gambar 49).

Page 126: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

100

y = 0.0002x2 - 0.0216x + 5.2534

R2 = 0.0472

y = 0.0006x2 - 0.0458x + 4.4825

R2 = 0.7542

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Nis

bah

taju

k/a

ka

r

M0

M1

Poly. (M1)

Poly. (M0)

Gambar 48. Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan

y = 0.0003x2 - 0.0139x + 1.7732

R2 = 0.9487

y = 0.0254x + 1.743

R2 = 0.9156

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

EP

A (

g/L

)

M0

M1

Poly. (M0)

Linear (M1)

Gambar 49. Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas

hutan

Page 127: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

101

Kandungan kadar glisina-betaina, prolina daun dan ABA daun bibit kelapa

sawit semakin meningkat dengan semakin bertambah beratnya cekaman

kekeringan. Pada tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air tersedia) dan C2

(75% air tersedia), kandungan kadar glisina-betaina daun bibit yang diinokulasi

CMA lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA, tetapi ketika cekaman

kekeringan semakin berat yaitu pada taraf C3 (50% air tersedia) dan C4 (25% air

tersedia) kandungan kadar glisina-betaina daun bibit ber-CMA lebih tinggi

(Gambar 50).

y = -0.0714x + 31.075

R2 = 0.601

y = 0.002x2 - 0.412x + 43.546

R2 = 0.8851

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Glisin

a-b

eta

ina (

um

ol/ g

bb

)

M0

M1

Linear (M0)

Poly. (M1)

Gambar 50. Tanggap glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media

tanah gambut bekas hutan

Kandungan prolina daun sebelum perlakuan cekaman kekeringan di tanah

gambut bekas hutan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara bibit yang

diinokulasi CMA dan tanpa CMA (Tabel Lampiran 42 dan Gambar 51).

Sedangkan kandungan prolina daun setelah perlakuan cekaman kekeringan

disajikan pada Gambar 52. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa

kandungan prolina daun pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia)

menurun baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun yang tidak. Selanjutnya

Page 128: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

102

mulai tingkat cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) meningkat secara tajam

baik bibit yang bermikoriza maupun tidak. Kandungan prolina daun antara bibit

yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA tidak menunjukan perbedaan yang tinggi

bahkan hampir tidak berbeda nyata dengan bibit tanpa CMA pada setiap tingkat

cekaman kekeringan.

M0 M10.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

Prolina daun

(umol/g bb)

1

Perlakuan M

M0

M1

0.321

0.509

a a

Gambar 51. Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan sebelum

perlakuan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan

y = 0.0115x2 - 1.7893x + 74.142

R2 = 0.8901

y = 0.0092x2 - 1.4585x + 61.325

R2 = 0.93170.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Pro

lin

a d

au

n (

um

ol/

g b

b)

M0

M1

Poly. (M1)

Poly. (M0)

Gambar 52. Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

gambut bekas hutan

Page 129: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

103

Kandungan kadar ABA daun bibit yang diinokulasi CMA meningkat

secara tajam dengan meningkatnya cekaman kekeringan dibandingkan dengan

bibit tanpa CMA (Gambar 53). CMA mulai berperan dalam mengatasi cekaman

kekeringan sejak terjadi cekaman kekeringan dengan mulai meningkatnya

kandungan kadar ABA daun.

y = -0.4909x + 56.674

R2 = 0.9932

y = 0.0014x2 - 0.6178x + 55.667

R2 = 0.9911

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Kad

ar

AB

A d

au

n (

ng

/g)

M0

M1

Linear (M1)

Poly. (M0)

Gambar 53. Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut

bekas hutan

Infeksi Akar. Infeksi akar oleh mikoriza semakin meningkat dengan

semakin beratnya cekaman kekeringan yang terjadi. Infeksi akar tertinggi

diperoleh pada bibit yang mendapat cekaman kekeringan sangat berat (Gambar

55).

Page 130: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

104

y = 0.0004x2 - 0.1073x + 97.917

R2 = 0.7355

89.00

90.00

91.00

92.00

93.00

94.00

95.00

96.00

97.00

98.00

0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

Infe

ks

i aka

r (%

)

M1

Poly. (M1)

Gambar 54. Tanggap infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah

gambut bekas hutan

Laju pertumbuhan bibit kelapa sawit setiap 2 minggu sekali sejak diberi

perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan bahwa semakin berat cekaman

kekeringan maka semakin menurun laju pertumbuhan bibit tersebut, baik pada

bibit yang bermikoriza maupun yang tidak seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi

bibit, jumlah daun dan diameter batang (Gambar 55, 56 dan 57). Pada setiap

tingkat cekaman kekeringan, untuk bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata

memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa

CMA.

Page 131: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

105

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Minggu Setelah Tanam (MST)

Tin

gg

i b

ibit

(c

m)

M0C1

M0C2

M0C3

M0C4

M1C1

M1C2

M1C3

M1C4

Gambar 55. Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah gambut bekas

hutan

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Minggu Setelah Tanam (MST)

Ju

mla

h d

au

n

M0C1

M0C2

M0C3

M0C4

M1C1

M1C2

M1C3

M1C4

Gambar 56. Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah

gambut bekas hutan

Page 132: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

106

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Minggu Setelah Tanam (MST)

Dia

me

ter

ba

tan

g (

mm

) M0C1

M0C2

M0C3

M0C4

M1C1

M1C2

M1C3

M1C4

Gambar 57. Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah

gambut bekas hutan

Pertumbuhan bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah gambut

bekas hutan hasil penelitian ini ternyata lebih tinggi dibandingkan standar

pertumbuhan dari PPKS seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit, jumlah daun

dan diameter batang (Tabel 17).

Pada Tabel 17 terlihat bahwa pertumbuhan bibit kelapa sawit baik yang

diinokulasi CMA maupun tanpa CMA lebih tinggi dibandingkan standar

pertumbuhan bibit dari PPKS Medan. Tinggi bibit pada umur 8 bulan menurut

standar PPKS Medan, dapat dicapai oleh bibit hasil penelitian ini pada umur 6

bulan. Demikian juga dengan diameter batang bibit umur 8 dan 9 bulan

berdasarkan standar PPKS Medan, dapat dicapai oleh bibit hasil penelitian ini

berturut-turut pada umur 6 dan 7 bulan. Dalam hal ini berarti pemberian CMA

dapat mempersingkat masa pembibitan selama 2 bulan.

Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan cekaman

kekeringan dan pemberian CMA disajikan pada Gambar 58. Berdasarkan gambar

tersebut terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA memiliki pertumbuhan yang

lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman

kekeringan.

Page 133: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

107

Tabel 17. Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah gambut bekas hutan hasil

penelitian dan standar dari PPKS Medan

Umur

(bulan)

Tinggi bibit (cm) Diameter batang (mm) Jumlah daun

Hasil

penelitian

Standar

dari

PPKS

Medan*)

Hasil

penelitian

Standar

dari

PPKS

Medan*)

Hasil

penelitian

Standar

dari

PPKS

Medan*)

M0

M1

M0

M1

M0

M1

3 25.73 30.63

20.00 9.60 10.53

13.00 3.7 4.3

3.5

4 33.87 36.73

25.00 14.20 14.87

15.00 5.3 6.0

4.5

5 44.20 48.73

32.00 21.80 24.50

17.00 6.7 8.0

5.5

6 54.07 63.97

35.90 30.97 36.17

18.00 8.3 10.0

8.5

7 68.30 76.00

52.20 42.83 54.47

27.00 10.7 11.3

10.5

8 81.13 90.07

64.30 52.83 65.83

36.00 11.7 13.0

11.5

9 92.33 102.27

88.30 62.53 78.53

45.00 12.3 13.7

13.5

*) Sumber : Sutanto, et al. (2002)

Gambar 58. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap

perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah

gambut bekas hutan

Page 134: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

108

Seperti halnya pada bibit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan, bibit

yang mengalami cekaman kekeringan memperlihatkan keadaan yang agak lemah,

warna daun kekuning-kuningan bahkan ada yang agak menghitam, sebagian ada

yang timbul bintik-bintik hitam. Selain itu juga bibit yang tercekam sebagian

batang dan daunnya melilit atau melipat (Gambar 59).

Daun berwarna kehitaman Daun ada yang mulai mengering

Daun berwarna kekuningan dan Sebagian daun mengering

ujung daun mulai mengering

Daun ada yang berwarna keputihan Daun berwarna kekuningan dan

ujung daun mulai mongering

Gambar 59. Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang

mengalami cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan

Page 135: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

109

Perubahan bobot kering bibit, serapan P dan kandungan prolina daun

akibat adanya cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis

dengan CMA dan tanpa CMA di media tanah PMK dan gambut bekas hutan

disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Perubahan bobot kering bibit, serapan P dan kandungan prolina daun

pada bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan

Peubah PMK bekas hutan Gambut bekas hutan

Kontrol

(M0)

CMA

(M1)

Peningkatan

(%)

Kontrol

(M0)

CMA

(M1)

Peningkatan

(%)

Bobot kering bibit (g)

100% air

tersedia (C1)

44.65 54.44 21.93 84.05 130.17 54.87

25% air

tersedia (C4)

2.78 5.79 108.27 19.24 31.18 62.06

Penurunan

(%)

93.77 89.36 77.11 76.05

Serapan P (g/tan.)

100% air

tersedia (C1)

0.21 0.35 66.67 0.52 0.96 84.62

25% air

tersedia (C4)

0.01 0.02 100.00 0.03 0.12 300.00

Penurunan

(%)

95.24 94.29 94.23 87.50

Kandungan prolina daun (µmol/g bb)

100% air

tersedia (C1)

6.74 16.35 142.58 6.47 8.24 27.36

25% air

tersedia (C4)

12.31 25.43 106.59 31.77 38.07 19.83

Peningkatan

(%)

82.64 55.54 391.04 362.01

Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa di media tanah PMK dan gambut

bekas hutan, cekaman kekeringan menyebabkan penurunan bobot kering dan

serapan P bibit kelapa sawit baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa

Page 136: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

110

CMA. Pada kedua jenis tanah tersebut, CMA ternyata mampu meningkatkan

bobot kering dan serapan P bibit kelapa sawit baik yang tanpa cekaman

kekeringan maupun pada keadaan cekaman kekeringan. Bibit tanpa CMA,

mengalami penurunan bobot kering dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan

dengan bibit yang bersimbiosis dengan CMA. Peningkatan bobot kering bibit dan

serapan P akibat adanya CMA jauh lebih tinggi pada saat terjadi cekaman

kekeringan dibandingkan pada keadaan tanpa cekaman kekeringan.

Selanjutnya dari Tabel 18 juga terlihat bahwa pada kedua jenis tanah

tersebut, CMA mampu meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap

cekaman kekeringan melalui peningkatan kandungan prolina daun. Peningkatan

kandungan prolina daun akibat cekaman kekeringan lebih tinggi pada tanah

gambut bekas hutan dibandingkan pada tanah PMK bekas hutan baik pada bibit

yang bersimbiosis dengan CMA maupun tidak. Akibat adanya cekaman

kekeringan, bibit tanpa CMA mengalami peningkatan kandungan prolina daun

yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit yang bersimbiosis dengan CMA.

Sementara itu, pada keadaan 100% air tersedia, adanya CMA menyebabkan

peningkatan kandungan prolina daun lebih tinggi dibandingkan pada 25% air

tersedia.

Pertumbuhan dan serapan hara yang masing-masing diwakili oleh bobot

kering bibit dan serapan P, yang dicapai bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air

(100% air tersedia) ternyata mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan

CMA pada kandungan air yang lebih rendah baik pada media tanah PMK maupun

gambut bekas hutan (Tabel 19).

Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa pertumbuhan pada keadaan cukup

air (100% air tersedia) mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA

pada 81.57 % air tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 59.38 % air tersedia

(gambut bekas hutan). Demikian juga serapan P pada keaadaan cukup air (100%

air tersedia) mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada 71.58

% air tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 63.83 % air tersedia (gambut bekas

hutan).

Page 137: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

111

Tabel 19. Persentase air tersedia yang diperlukan bibit yang bersimbiosis dengan

CMA untuk mencapai pertumbuhan dan serapan P bibit pada keadaan

cukup air

Peubah Bibit tanpa CMA

(M0)

Bibit dengan CMA

(M1)

PMK bekas hutan

Bobot kering bibit (44.65 g)

Serapan P (0.21 g/tan)

100 % air tersedia

100 % air tersedia

81.57 % air tersedia

71.58 % air tersedia

Gambut bekas hutan

Bobot kering bibit (84.05 g)

Serapan P (0.52 g/tan)

100 % air tersedia

100 % air tersedia

59.38 % air tersedia

63.83 % air tersedia

Pembahasan

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas dalam

pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga akan menurunkan produksi

tanaman. Kerugian akibat adanya cekaman kekeringan disebabkan terhambatnya

suplai air dan unsur-unsur hara ke dalam tanaman. Pada tanah PMK dan gambut

yang memiliki tingkat kesuburan dan kemampuan menahan air yang rendah,

ditunjang dengan perakaran kelapa sawit yang dangkal, adanya cekaman

kekeringan terutama pada saat musim kemarau panjang menyebabkan

terganggunya pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut sehingga

menurunkan produksinya.

Berdasarkan hasil penelitian di tanah PMK dan gambut bekas hutan,

terlihat bahwa semua tanggap morfologi dan beberapa tanggap fisiologi

menunjukkan penurunan dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan baik

pada bibit yang diinokulasi CMA maupun tanpa CMA. Semakin berat cekaman

kekeringan yang diberikan, maka semakin terhambat pertumbuhan dan

perkembangan bibit kelapa sawit tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Muller

& Whitsitt (1996) dari hasil penelitiannya bahwa cekaman kekeringan

menyebabkan tanaman mengalami penurunan pertumbuhan, perubahan akumulasi

senyawa osmotik terlarut, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, serta

perubahan pada ekspresi gen. Selanjutnya dikemukakan bahwa cekaman

Page 138: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

112

kekeringan berpengaruh terhadap tanaman baik pada fase vegetatif maupun

reproduktif.

Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi

cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman

kekeringan baik pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan seperti ditunjukkan

pada Gambar 60 dan 61. Dengan adanya CMA, bibit lebih mampu mengatasi

cekaman kekeringan sehingga pertumbuhan dan perkembangan yang sama bahkan

lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada kadar

Gambar 60. Bibit tanpa mikoriza (M0) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada

tingkat cekaman kekeringan yang sama di media tanah PMK bekas

hutan

Page 139: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

113

Gambar 61. Bibit tanpa mikoriza (M0) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada

tingkat cekaman kekeringan yang sama di media tanah gambut

bekas hutan

air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA pada kadar air yang

lebih tinggi seperti terlihat pada hampir semua peubah yang diukur. Demikian

juga dengan laju pertumbuhan bibit kelapa sawit, bibit bermikoriza memiliki laju

pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bibit tanpa mikoriza pada setiap tingkat

cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit, jumlah daun

dan diameter batang (Gambar 26-28 dan 55-57). Hasil tersebut sesuai dengan

hasil-hasil penelitian sebelumnya (Ruiz-Lozano 1995; Goicoechea et al. 1997;

Bryla & Duniway 1997, 1998; Ruiz-Lozano et al. 2000; Morte et al. 2000;

Fidelibus et al. 2000; Mathur & Vyas 2000; Kobashi et al. 2000).

Bibit yang diinokulasi CMA memperlihatkan tanggap morfologi dan

fisiologi yang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Hal ini disebabkan

adanya peran CMA dalam membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang

terjadi.

Page 140: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

114

Dengan adanya cekaman kekeringan, secara normal tanaman akan

mengurangi pembukaan stomatanya sehingga dapat mengurangi kecepatan

kehilangan air. Akibat penutupan sebagian stomata tersebut menyebabkan

menurunnya konsentrasi CO2 melalui stomata sehingga mengurangi proses

fotosintesis. Oleh karena itu bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman

kekeringan memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan tanpa

cekaman kekeringan. Tetapi bibit bermikoriza lebih mampu mengatasi cekaman

kekeringan tersebut. Hal ini diduga adanya simbiosis dengan mikoriza dapat

membantu proses asimilasi CO2 dan alokasi C serta dapat membantu memelihara

konsentrasi CO2 optimal untuk fotosintesis. Araus et al. (1997) mendapatkan

bahwa dengan menutupnya sebagian stomata akibat cekaman kekeringan

menyebabkan konsentrasi CO2 interselular dan fotosintesis bersih menurun,

sementara itu rasio 13C/12C meningkat. Tanaman bermikoriza memiliki potensial

air, transpirasi, konduktansi stomata dan fotosintesis bersih lebih tinggi daripada

tanaman yang tidak bermikoriza. Selanjutnya Morte et al. (2000) melaporkan

hasil penelitiannya bahwa kandungan klorofil per bobot segar daun dan luas daun

lebih tinggi pada tanaman bermikoriza dibandingkan yang tidak bermikoriza pada

keadaan cekaman kekeringan, tapi pada keadaan tidak tercekam tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata.

Pada tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia), CMA yang

bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan tidak mampu

berperan lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan seperti terlihat pada peubah

bobot kering tajuk, luas daun, EPA, kadar K dan serapan K, kadar P dan serapan

P, serta enzim fosfatase asam di akar dan di tanah. Bahkan pada peubah EPA dan

enzim fosfatase asam di tanah, CMA sudah tidak dapat berperan lagi mulai tingkat

cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia). Hal ini disebabkan tanah PMK lebih

padat pada saat mendapat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia) daripada

tanah gambut, sehingga perkembangan CMA juga terhambat. Hifa CMA pada

tanah PMK bekas hutan tidak mampu lagi masuk ke pori-pori tanah yang lebih

kecil untuk mengekstrak air. Akibatnya CMA tidak bisa membantu bibit lebih

jauh lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan. Lain halnya dengan tanah

Page 141: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

115

gambut, CMA berperan terus sampai tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air

tersedia) untuk semua peubah yang diamati karena tanah tersebut memiliki

porositas dan aerasi yang lebih baik.

Pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit baik yang diinokulasi

CMA maupun tanpa CMA pada tanah gambut bekas hutan ternyata lebih tinggi

dibandingkan pada tanah PMK bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman

kekeringan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat dari kedua tanah tersebut,

yaitu selain tanah gambut bekas hutan memiliki aerasi dan porositas yang lebih

baik, juga kadar air kapasitas lapang dan kadar air titik layu permanen dari tanah

gambut lebih tinggi dibandingkan tanah PMK. Akibatnya bibit kelapa sawit yang

ditanam pada tanah gambut mampu tumbuh dan berkembang lebih baik, apalagi

bibit yang diinokulasi CMA.

Jika dibandingkan dengan standar pertumbuhan bibit kelapa sawit dari

PPKS medan (Tabel 15 dan 17), ternyata pertumbuhan bibit kelapa sawit hasil

penelitian ini lebih tinggi, baik yang ditanam di tanah PMK maupun gambut

bekas hutan. Adanya CMA mampu mempersingkat waktu di pembibitan selama 1

bulan (tanah PMK bekas hutan) dan 2 bulan (tanah gambut bekas hutan). Artinya,

dengan pemberian CMA kita dapat mempersingkat pemeliharaan bibit kelapa

sawit di pembibitan sehingga akan mengurangi waktu, biaya dan tenaga kerja

selama pemeliharaan di pembibitan.

Kolonisasi oleh CMA meningkatkan resistensi kekeringan pada berbagai

tanaman. Mekanismenya adalah CMA meningkatkan resistensi tanaman terhadap

cekaman kekeringan melalui peningkatan penyerapan P sebelum dan selama

kekeringan (Al-Karaki & Al-raddad 1997; Subramanian & Charest 1997),

khususnya ketika kandungan air tanah rendah dan difusi ion fosfat di permukaan

akar sangat kurang (Gahoonia et al. 1994). Hasil penelitian terhadap mawar

(Auge & Stodola 1990; Henderson & Davies 1990; Davies et al. 1996), lada

(Davies et al. 1992, 1993), jagung (Subramanian et al. 1995) dan kedelai (Auge et

al.1992) membuktikan bahwa kolonisasi CMA memperbaiki resistensi kekeringan

sesuai dengan jenis tanaman dan kandungan unsur haranya.

Page 142: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

116

Selain itu juga, kolonisasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan air

hubungannya dengan sifat fisiologi tanaman yaitu melalui perbaikan

konduktivitas hidrolik, peningkatan potensial air daun dan peningkatan kecepatan

penyerapan air per unit panjang akar dan per unit waktu (Kothari et al. 1990).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kolonisasi mikoriza meningkatkan

resistensi kekeringan pada berbagai varietas tanaman dan meningkatkan

kecepatan transpirasi serta menurunkan resistensi stomata (Araus et al. 1997;

Dixon et al. 1994; Fidelibus et al. 2000; Morte et al. 2000). Dixon et al. (1994)

juga melaporkan bahwa kecambah Leucaena leucocephala L. bermikoriza

memiliki lebih tinggi potensial air daun, konduktansi stomata daun dan

fotosintesis pada keadaan kekeringan dan masa pemulihan setelah cekaman

kekeringan.

Pada keadaan tercekam kekeringan, kolonisasi mikoriza arbuskular juga

memegang peranan penting dalam mobilisasi secara perlahan difusi ion dan air

yang tidak dapat dijangkau oleh akar tanaman. Selain itu mikoriza juga

meningkatkan serapan P dan N pada keadaan cekaman kekeringan (Subramanian

& Charest 1998).

Penyerapan unsur-unsur hara oleh bibit kelapa sawit semakin menurun

dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit yang diinokulasi

CMA maupun tidak untuk tanah PMK dan gambut bekas hutan seperti

ditunjukkan oleh peubah kadar dan serapan P dan K (Gambar 12, 13, 19, 20, 44,

45, 46 dan 47). Tetapi dengan adanya CMA, penyerapan unsur-unsur tersebut

lebih baik dibandingkan yang tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman

kekeringan. CMA ternyata mampu membantu menyerap unsur hara terutama

unsur P (Gambar 20 dan 47). Peningkatan serapan P didukung oleh

meningkatnya kadar enzim fosfatase asam di akar dan di tanah yang dihasilkan

oleh CMA dan bibit tersebut (Gambar 11, 18, 42 dan 43). Selain itu, peningkatan

serapan P juga terjadi karena adanya peningkatan kadar P dan pertumbuhan bibit.

Menurut Morte et al. (2000), tanaman bermikoriza mengakumulasi lebih banyak

K dalam tajuk dan akar daripada yang tidak bermikoriza di bawah keadaan tanpa

cekaman kekeringan dan cekaman kekeringan. Potasium (K) memegang peranan

Page 143: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

117

penting dalam keadaan cekaman kekeringan dan merupakan kation solut yang

bertanggung jawab dalam pembukaan dan penutupan stomata sebagai tanggap

dari perubahan status air daun.

Pada keadaan cekaman kekeringan, CMA membantu tanaman dalam hal

penyerapan air dengan cara menjaga dan mempertahankan kontak antara tanah

dan akar yang lebih baik, jalinan hifa mikoriza yang terbentuk secara intensif akan

membantu dan memudahkan tanaman dalam menyerap air dan unsur hara.

Dengan terjadinya peningkatan penyerapan air dan unsur hara, tanaman akan lebih

mampu memperbaiki pertumbuhan dan perkembangannya dalam keadaan

tercekam. Hasil ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian seperti Faber et al.

(1991); Chui & Nobel (1992); Davies et al. (1992, 1993, 1996); Bryla & Duniway

(1997, 1998); Gahoonia et al.(1994); Fidelibus et al. (2000); serta Mathur &

Vyas (2000).

CMA mampu meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap

cekaman kekeringan, sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan dan serapan P

serta mengurangi penurunan pertumbuhan dan serapan P bibit tersebut (Tabel 18).

Tanpa adanya CMA, bibit yang mengalami cekaman kekeringan yang sangat berat

akan tertekan pertumbuhannnya, sedangkan bibit yang bersimbiosis dengan CMA

lebih mampu bertahan hidup dalam keadaan tersebut.

Peningkatan kandungan unsur hara dalam bibit bermikoriza selama

cekaman kekeringan merupakan akibat pengaruh dari penyerapan air daun selama

cekaman tersebut. Tanggap morfologi bibit yang bermikoriza nyata lebih tinggi

daripada bibit yang tidak bermikoriza selama cekaman kekeringan. Cekaman

kekeringan menurunkan serapan unsur hara pada setiap perlakuan. Tanaman

bermikoriza menunjukkan kapasitas yang lebih tinggi dalam memelihara

kandungan unsur hara daun selama cekaman kekeringan. Menurut Goicoechea et

al. (1997) tanaman alfalfa bermikoriza dapat memelihara potensial air daun

seperti ketika tidak ada cekaman melalui peningkatan persentase air apoplas dan

elastisitas dinding sel. Kapasitas yang lebih besar dalam penyerapan unsur hara

dan transport unsur hara dari akar ke tajuk selama cekaman kekeringan

berhubungan dengan peningkatan aktivitas akar pada tanaman bermikoriza selama

Page 144: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

118

cekaman kekeringan yang difasilitasi oleh sitokinin akar (Goicoechea et al. 1995).

Tanaman bermikoriza memberikan bobot kering akar dan panjang total akar,

kandungan P, Zn, Cu,Mn dan Fe yang lebih tinggi daripada yang tidak

bermikoriza pada keadaan cekaman kekeringan (Al-Karaki dan Al-Raddad 1997).

Bibit yang diinokulasi CMA lebih efisien dalam penggunaan air

dibandingkan bibit yang tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan,

seperti ditunjukkan oleh peubah efisiensi penggunaan air (EPA) (Gambar 17 dan

49). Semakin berat cekaman kekeringan, efisiensi penggunaan air semakin

menurun baik pada bibit yang bersimbiosis dengan CMA mapun tanpa CMA.

Pada kandungan air tersedia yang lebih rendah, bibit yang bersimbiosis dengan

CMA juga mampu mencapai pertumbuhan dan serapan hara bibit tanpa CMA

pada keadaan cukup air (Tabel 19).

Mikoriza memiliki kemampuan membantu tanaman dalam mengatasi

cekaman kekeringan melalui jalinan hifa eksternalnya. Hifa mikoriza dapat

membantu memperbaiki sistem perakaran tanaman sehingga tanaman mampu

menyerap air lebih jauh ke dalam pori-pori tanah, sehingga dapat menyerap air

dan unsur hara yang lebih baik. Selain meningkatkan sistem perakaran tanaman,

mikoriza juga dapat membantu tanaman dalam memperbaiki potensial air daun

dan turgor, memelihara pembukaan stomata dan transpirasi (Tezara et al. 1999;

Haupt-Herting & Fock 2000; Fidelibus et al. 2000; Delfine et al. 2001), sehingga

tanaman bermikoriza lebih mampu mengefisienkan penggunaan air yang

diserapnya. Selain itu mikoriza juga dapat membantu tanaman dalam

meningkatkan produksi beberapa hormon seperti auksin dan sitokinin (Subashini

& Natarajah 1997), sehingga tanaman dapat meningkatkan elastisitas dinding sel

dan dapat mencegah atau memperlambat proses penuaan akar. Dengan lambatnya

proses penuaan akar berarti fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air

diperpanjang.

Efisiensi penggunaan air sangat penting di dalam tanaman yang tercekam

agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan normal. Produksi tanaman

sangat tergantung pada fiksasi karbon, sebab pertumbuhan tanaman merupakan

proses yang terintegrasi dari proses asimilasi, translokasi, penyimpanan, dan

Page 145: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

119

penggunaan karbon hasil fotoasimilasi. Menurut Ruiz-Lozano et al. (2000)

tanaman bermikoriza memiliki kecepatan fotosintesis dan EPA yang lebih tinggi

daripada yang tidak pada keadaan cekaman kekeringan, sehingga aktivitas

fotosintesis meningkat pada tanaman yang bermikoriza. Hasil penelitiannya

mendapatkan bahwa kombinasi antara kolonisasi mikoriza dan cekaman

kekeringan menurunkan nilai δ13C pada tanaman selada dibandingkan yang tidak

bermikoriza.

Semakin berat cekaman kekeringan ternyata semakin tinggi infeksi akar

oleh CMA (Gambar 30 dan 54). Secara umum CMA akan berkembang dengan

baik pada keadaan yang tidak menguntungkan (sub-optimal). Pada keadaan yang

tidak menguntungkan seperti halnya adanya cekaman kekeringan yang sangat

berat, CMA akan lebih giat menginfeksi tanaman.

Persentase infeksi akar oleh CMA sebenarnya bukanlah merupakan

penduga yang baik untuk menduga pengaruh positif CMA terhadap pertumbuhan

tanaman. Dengan semakin tingginya infeksi akar oleh CMA, tidak berarti

pertumbuhan akan lebih baik daripada yang lebih rendah. Hal ini terlihat dari

hasil penelitian, dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan,

persentase infeksi akar semakin tinggi, tetapi berkorelasi negatif dengan

pertumbuhan yang dihasilkan. Proporsi cendawan yang sedang aktif

bermetabolisme yang sebenarnya dapat mengindikasikan peningkatan

pertumbuhan tanaman, karena metabolisme penting dalam menentukan pengaruh

CMA terhadap hara tanaman inang dan metabolisme karbon serta

memperhitungkan hifa eksternal yang juga melakukan penyerapan hara. Menurut

Allen (2001), persentase infeksi mikoriza merupakan peubah yang bisa digunakan

sebagai indikasi adanya kompatibilitas dengan tanaman inang, tetapi persentase

infeksi yang tinggi belum tentu mencerminkan petumbuhan tanaman yang lebih

baik daripada yang persentase infeksinya lebih rendah. Peubah persentase infeksi

hanya bisa digunakan sebagai indikasi adanya simbiosis antara CMA dengan

tanaman inang jika peubah lain seperti panjang akar sulit atau tidak

memungkinkan untuk diamati.

Page 146: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

120

Supaya tanaman dapat bertahan hidup pada keadaan cekaman

kekeringan, maka tanaman berusaha beradaptasi dan mengatasi keadaan tersebut.

Banyak mekanisme yang digunakan tanaman dalam mengatasi adanya cekaman

kekeringan. Pada penelitian ini, bibit kelapa sawit mengatasi keadaan cekaman

kekeringan melalui beberapa mekanisme yaitu perbaikan penyerapan P (Gambar

20 dan 47); peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem

perakaran dengan peningkatan densitas akar yang ditunjukkan oleh peubah bobot

kering akar (Gambar 10 dan 37); pengurangan luas permukaan transpirasi melalui

pengurangan jumlah daun (Gambar 14 dan 36), pengurangan luas daun (Gambar

16 dan 41) dan pengurangan bobot kering tajuk (Gambar 15 dan 38);

osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum seperti

ditunjukkan oleh peubah kadar glisina-betaina daun (Gambar 22 dan 50) dan

prolina daun (Gambar 24 dan 52), serta pengaturan penutupan stomata melalui

akumulasi kadar ABA daun (Gambar 25 dan 53).

Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA

terhadap cekaman kekeringan ternyata melalui mekanisme penghindaran

(perbaikan penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan penyerapan air

melalui perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas permukaan transpirasi,

pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun), dan

mekanisme toleransi (osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa

osmotikum seperti ditunjukkan oleh peubah kadar glisina-betaina dan prolina

daun, serta pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun).

Sementara itu, mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit tanpa

inokulasi CMA adalah mekanisme toleransi melalui osmoregulasi dengan

memproduksi senyawa-senyawa osmotikum (kadar glisina-betaina dan prolina

daun) dan pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun.

Bobot kering akar bibit kelapa sawit semakin menurun dengan semakin

bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit bermikoriza maupun

tidak. Bibit bermikoriza memiliki bobot kering akar yang lebih tinggi daripada

bibit tanpa mikoriza pada setiap tingkat cekaman kekeringan. Dengan demikian

bibit bermikoriza kemungkinan memiliki densitas akar yang lebih tinggi sehingga

Page 147: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

121

dapat memperbaiki sistem perakaran. Oleh sebab itu bibit tersebut lebih mampu

untuk menyerap air sehingga bibit mampu untuk mengatasi cekaman kekeringan.

Dengan meningkatnya bobot kering akar berarti luasan perakaran yang

dapat menyerap air dan unsur hara semakin banyak, apalagi bibit bermikoriza di

mana hifanya membantu memperluas bidang penyerapan akar serta hifa tersebut

mampu masuk menyerap air ke pori-pori tanah yang lebih kecil yang tidak

mampu dimasuki oleh akar. Hifa mikoriza sacara langsung meningkatkan

penyerapan air oleh akar, sehingga dapat mencukupi kebutuhan air tanaman

untuk aktivitas fisiologisnya, khususnya di bawah keadaan cekaman kekeringan

(Faber et al. 1991). Hifa ekstraradikal mikoriza juga dapat mengikat tanah ke

akar dan memelihara lebih baik kontak akar-tanah selama cekaman kekeringan

serta memfasilitasi penyerapan air (Davies et al. 1992). Infeksi mikoriza

meningkatkan kontrol stomata dan mengurangi kehilangan air selama kekeringan,

juga memperbaiki toleransi tanaman terhadap kekeringan dan setelah kekeringan

serta dapat meningkatkan serapan P. Secara umum dapat diterima bahwa hifa

mikoriza mempunyai kemampuan untuk mentranspor P dan hara lainnya ke

tanaman inangnya melalui peningkatan penyerapan air tanaman selama cekaman

kekeringan serta konduktivitas hidrolik akarnya berakibat pada penyerapan P

selama cekaman kekeringan. Mikoriza juga meningkatkan elastisitas dinding sel

tanaman (Auge et al.1987), yang memelihara turgor sel selama kekeringan.

Menurut Davies et al. (1992) perkembangan hifa ekstraradikal dan agregasi tanah

sekeliling akar bermikoriza akan ditingkatkan oleh mikoriza yang mengkolonisasi

tanaman terhadap kekeringan, dan perubahan ini memfasilitasi penyerapan air

yang cukup.

Untuk menghindari kehilangan air yang lebih banyak, maka bibit kelapa

sawit melakukan pengurangan luas permukaan transpirasi melalui pengurangan

jumlah daun, pengurangan luas daun dan pengurangan bobot kering tajuk serta

pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun.

Semakin berat cekaman kekeringan, maka jumlah daun, luas daun dan

bobot kering tajuk bibit semakin menurun baik pada bibit bermikoriza maupun

tidak. Bibit yang bersimbiosis dengan mikoriza memiliki jumlah daun, luas daun

Page 148: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

122

dan bobot kering tajuk yang lebih besar daripada bibit yang tidak bermikoriza

untuk setiap tingkat cekaman kekeringan. Mikoriza membantu tanaman

mengatasi cekaman kekeringan melalui jalinan hifanya sehingga membantu

tanaman dalam hal penyerapan air dan unsur hara, yang pada akhirnya tanaman

bermikoriza lebih mampu mengatur penurunan potensial air daun. Menurut

Kirkham (1990), dalam keadaan terdapat cekaman kekeringan, pembelahan sel

dan perluasan sel merupakan dua komponen yang sangat peka terhadap keadaan

tersebut, dimana semakin berat cekaman kekeringan maka luas daun akan

semakin menurun.

Mekanisme adaptasi melalui pengurangan jumlah daun dan luas daun,

yang dilakukan oleh bibit bermikoriza, dimaksudkan agar dapat mengurangi luas

permukaan untuk bertranspirasi sehingga laju kehilangan air berkurang, walaupun

konsekuensinya luas daun untuk proses berfotosintesis menjadi berkurang.

Pengurangan luas daun yang terjadi pada setiap tingkat cekaman kekeringan lebih

besar terjadi pada bibit yang tidak bermikoriza, akibatnya proses fotosintesis

semakin berkurang yang menyebabkan penurunan pertumbuhan bibit tersebut

lebih besar dibandingkan bibit bermikoriza. Hasil ini sejalan dengan hasil

penelitian Henderson & Davies (1990); Osonubi et al. (1992); serta Bryla &

Duniway (1997; 1998).

Nisbah tajuk/akar bibit yang diinokulasi CMA pada keadaan tercekam

lebih rendah daripada bibit tanpa CMA untuk tanah PMK bekas hutan. Dalam hal

ini berarti di tanah PMK bekas hutan, bibit yang diinokulasi CMA memiliki

perkembangan akar yang lebih baik sehingga lebih mampu menyerap air dan

unsur-unsur hara, akibatnya bibit bermikoriza memiliki pertumbuhan yang lebih

tinggi seperti terlihat pada semua peubah pertumbuhan. Selain itu dengan

mengurangi pertumbuhan tajuk dan meningkatkan pertumbuhan akar merupakan

suatu upaya tanaman untuk memperbaiki keseimbangan dengan mempertahankan

kemampuan menyerap air dan bersamaan itu juga akan mengurangi transpirasi

(Harjadi dan Yahya 1988).

Sebaliknya di tanah gambut bekas hutan, nisbah tajuk/akar bibit yang

diinokulasi CMA lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA, yang berarti justru

Page 149: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

123

perkembangan tajuknya yang lebih baik dibandingkan sistem perakarannya.

Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena tanah PMK bekas hutan lebih padat

pada saat terjadi cekaman kekeringan sehingga bibit lebih banyak

mentranslokasikan fotosintatnya untuk perkembangan perakarannya agar dapat

lebih banyak menyerap air dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan bibit tersebut.

Pada tanah gambut bekas hutan, struktur tanahnya lebih gembur sehingga

perakaran bibit kelapa sawit lebih mudah menyerap air dan unsur hara

dibandingkan pada tanah PMK bekas hutan, akibatnya bibit lebih banyak

mentranlokasikan fotosintatnya ke bagian tajuk.

Selain dengan mekanisme penghindaran, bibit kelapa sawit yang

bersimbiosis dengan CMA juga melakukan adaptasi terhadap cekaman kekeringan

dengan mekanisme toleransi melalui akumulasi glisina-betaina dan prolina daun.

Demikian juga dengan bibit tanpa CMA, mekanisme adaptasi terhadap cekaman

kekeringan dilakukan melalui mekanisme toleransi tersebut.

Akumulasi glisina-betaina daun sebagai tanggap terhadap cekaman

kekeringan pada sejumlah spesies tanaman dan peranannya dalam mengatasi

cekaman kekeringan telah banyak dilaporkan. Dalam penelitian ini, adanya

cekaman kekeringan menyebabkan bibit mengakumulasi glisina-betaina daun

yang lebih tinggi terutama pada bibit bermikoriza untuk bibit yang ditanam di

tanah PMK bekas hutan. Sebaliknya bibit yang ditanam di tanah gambut bekas

hutan, pada awal cekaman kandungan glisina-betaina daun tanpa CMA lebih

tinggi dan pada bibit yang diinokulasi CMA baru meningkat pada tingkat

cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia). Menurut Sironi et al. (2001) glisina-

betaina (N,N,N-trimethylglycine) akan meningkat pada beberapa spesies tanaman

pada saat terjadi cekaman kekeringan. Makela et al. (1999) menemukan bahwa

glisina-betaina meningkatkan efisiensi fotosintesis melalui peningkatan

konduktansi stomata dan pengurangan fotorespirasi pada tanaman yang

mengalami cekaman kekeringan dan cekaman garam pada tanaman.

Glisina-betaina merupakan kompatibel solut yang diakumulasi pada

jaringan tanaman melalui 2 langkah oksidasi cholin yang dikatalisatori oleh cholin

mono-oxygenase dan betain aldehyde dehydrogenase (BADH) dalam kloroplas.

Page 150: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

124

Pemakaian glisina-betaina meningkatkan konduktansi stomata khususnya pada

tanaman yang stres air dan meningkatkan fotosintesis bersih (Makela et al. (1999).

Glisina-betaina berhubungan dengan tanggap stomata terhadap regulasi ABA

sebagaimana ABA meregulasi kebiasaan stomata.

Akumulasi prolina daun bibit yang diinokulasi CMA lebih tinggi

dibandingkan bibit tanpa CMA pada setiap tingkat cekaman kekeringan baik di

tanah PMK maupun gambut bekas hutan (Gambar 25 dan 53). Peningkatan

akumulasi prolina daun ini dipacu dengan semakin bertambah beratnya cekaman

kekeringan. Pada kedua jenis tanah tersebut, peningkatan prolina daun pada bibit

yang bersimbiosis dengan CMA lebih rendah dibandingkan tanpa CMA (Tabel

18). Hal ini menunjukkan bahwa cekaman kekeringan yang berat pada bibit tanpa

CMA menjadi cekaman yang lebih ringan pada bibit yang bersimbiosis dengan

CMA. Keadaan tersebut terjadi karena CMA mampu meningkatkan daya adaptasi

bibit tersebut terhadap cekaman kekeringan.

Bibit tanpa CMA beradaptasi hanya melalui osmoregulasi, sedangkan bibit

yang bersimbiosis dengan CMA selain dengan osmoregulasi juga dengan

mekanisme penghindaran. Menurut Yang & Kao (1999) peningkatan kadar

prolina pada awal terjadinya cekaman kekeringan relatif lambat dan meningkat

dengan cepat setelah tanaman mengalami cekaman lebih lanjut. Peningkatan

kandungan prolina yang tinggi pada bibit kelapa sawit yang tercekam kekeringan

disebabkan dipacunya aktivitas enzim ornitin-δ-aminotransferase yang dibuktikan

dengan adanya peningkatan produksi pirolin-5-karboksilat sebagai senyawa

perantara dalam sintesis prolin (Wijana 2001).

Menurut Azcon et al. (1996) serta Smith & Read (1997), meningkatnya

kandungan prolina daun pada bibit yang bersimbiosis dengan CMA disebabkan

oleh peningkatan aktivitas glutamat sintetase, glutamin sintetase, dan nitrat

reduktase yang berperan dalam sintesis prolina. Peningkatan kandungan prolina

daun akibat tanaman bersimbiosis dengan CMA juga diperoleh pada tanaman

kedelai (Hapsoh 2003 dan Hanum 2004).

Prolina sebagai osmoregulasi berperan memelihara keseimbangan air

antara vakuola, sitoplasma dan lingkungannya (Yang & Kao 1999), juga prolina

Page 151: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

125

dapat menjaga kelarutan protein, kestabilan membran fosfolipid, dan sebagai

sumber cadangan karbon, nitrogen dan energi (Walton et al. 1998). Mikoriza yang

bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit ternyata mampu membantu bibit dalam

mengatasi cekaman kekeringan melalui peningkatan kadar prolina daun. Hasil

penelitian De Ronde et al. (2000) menunjukkan bahwa penurunan kandungan air

meningkatkan akumulasi prolina bebas dalam enam kultivar kapas dan bervariasi

di antara kultivar.

Prolina dapat mempengaruhi kelarutan berbagai protein akibat

interaksinya dengan residu hidrofobik pada permukaan protein. Peningkatan area

hidrofilik dari protein menstabilkan protein melalui peningkatan kelarutannya

pada lingkungan dengan ketersediaan air yang rendah. Prolina berfungsi sebagai

osmoregulator sebab prolina dapat memelihara integritas membran yang

merupakan adaptasi terhadap keadaan kekurangan air tersedia. Peningkatan

akumulasi prolina dipengaruhi oleh kecepatan gangguan cekaman, keadaan

sebelum cekaman, tipe dan umur organ, serta variasi genetik di antara spesies.

Kolonisasi mikoriza meningkatkan penyerapan unsur hara, akumulasi

asam amino, protein, klorofil, kandungan prolina dan kandungan gula

dibandingkan yang tidak bermikoriza di bawah keadaan cekaman kekeringan

(Mathur & Vyas 2000). Selanjutnya hasil penelitian Gibon et al. (2000)

ditemukan bahwa stres osmotik menginduksi penurunan secara nyata kandungan

klorofil dan akumulasi prolina.

Mekanisme toleransi bibit kelapa sawit selain dengan mekanisme

osmoregulasi dengan cara mengakumulasi prolina dan glisina-betaina daun, juga

melalui mekanisme pengaturan turgor sel yaitu dengan cara mengakumulasi kadar

ABA daun baik di tanah PMK bekas hutan maupun di tanah ganbut bekas hutan

(Gambar 25 dan 53). Akumulasi ABA daun semakin meningkat dengan semakin

bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit yang bermikoriza

maupun tidak. Bibit bermikoriza ternyata lebih banyak mengakumulasi ABA

daun untuk membantu mengatasi cekaman kekeringan dibandingkan bibit yang

tidak bermikoriza pada setiap tingkat cekaman kekeringan. Dengan terbentuknya

ABA maka akan terjadi pengurangan pembukaan stomata sehingga laju

Page 152: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

126

kehilangan air dapat berkurang, walaupun penutupan stomata tersebut dapat

mengurangi masuknya CO2 yang pada akhirnya mengurangi fotosintesis. Tetapi

dengan adanya mikoriza hal tersebut dapat diatasi, sebab simbiosis dengan

mikoriza dapat membantu proses asimilasi CO2 dan alokasi C serta dapat

membantu memelihara konsentrasi CO2 optimal untuk fotosintesis. Menurut

Pastor et al. (1999) pada keadaan cekaman kekeringan yang sangat berat,

membran kloroplas terbuka mengeluarkan ABA dari kloroplas. Perubahan

permeabilitas dalam membran kloroplas selama cekaman kekeringan

dimaksudkan untuk mengeluarkan ABA.

Tanaman mawar yang bermikoriza dapat memelihara status air yang

tersedia melalui peningkatan kandungan ABA daun yang lebih tinggi selama

cekaman kekeringan daripada tanaman mawar yang tidak bermikoriza (Henderson

& Davies 1990). Bacon et al. (1998) mendapatkan bahwa peningkatan

konsentrasi ABA dalam apoplas yang dihasilkan dari peningkatan pH

kompartemen ini pada keadaan cekaman kekeringan mengurangi kecepatan

perluasan sel melalui pengurangan perluasan dinding sel dan/atau turgor sel

tersebut. Menurut hasil penelitian Kobashi et al. (2000), kecepatan fotosintesis

terhambat pada keadaan cekaman kekeringan sehingga menurunkan produksi

total fotoasimilat. Pada keadaan cekaman kekeringan sedang, cekaman tersebut

dapat menginduksi ABA .

Peningkatan akumulasi glisina-betaina, prolina dan ABA daun bibit

kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA pada keadaan tercekam kekeringan

menunjukkan bahwa CMA membantu memperkuat daya adaptasi bibit tersebut

terhadap cekaman kekeringan.

Tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dimanifestasi dengan

berbagai perubahan dalam proses fisiologi dan metabolik. Akumulasi osmolit

yang umum disebut osmotic adjustment atau osmoregulasi merupakan solusi

untuk mengatasi pengaruh negatif dari adanya cekaman kekeringan pada tanaman.

Akumulasi osmolit dalam sel tanaman menghasilkan penurunan potensial

osmotik sel dan memelihara absorpsi air serta tekanan turgor sel.

Page 153: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

127

Mikoriza memodifikasi penyerapan air dalam tanaman inangnya.

Konduktansi stomata, kecepatan transpirasi, dan potensial air daun sering lebih

tinggi pada tanaman bermikoriza daripada yang tidak pada keadaan cekaman

kekeringan akibat lebih tingginya penyerapan air dimana umumnya tanaman

bermikoriza memiliki kecepatan fotosintesis yang lebih tinggi. Auge & Stodola

(1990) menemukan bahwa akar tanaman mawar yang bermikoriza mampu

memelihara turgor yang lebih besar dalam hidrasi jaringan daripada yang tidak

bermikoriza. Menurut Morte et al. (2000) beberapa mekanisme mikoriza dalam

meningkatkan penyerapan air adalah melalui (1) pengaruh tidak langsung dari

peningkatan unsur hara P, (2) perbaikan sistem penyerapan air melalui fase

ekstraradikal, melalui peningkatan efektivitas konduktivitas hidrolik akar atau

memodifikasi arsitektur perakaran, (3) modifikasi biokimia dari regulasi air pada

tanaman melalui perubahan sinyal hormon dan (4) induksi dari tanggap

osmoregulator atau sifat retensi air tanah.

Bibit yang mengalami cekaman kekeringan memperlihatkan keadaan

yang agak lemah, warna daun kekuning-kuningan bahkan ada yang agak

menghitam, sebagian ada yang timbul bintik-bintik hitam. Selain itu juga bibit

yang tercekam sebagian batang dan daunnya melilit atau melipat (Gambar 32 dan

59). Pertumbuhan bibit bermikoriza terlihat lebih seragam di antara setiap bibit

dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza untuk setiap cekaman kekeringan.

Hasil penelitian Bryla dan Duniway (1997) menunjukkan bahwa kolonisasi

mikoriza mengurangi nekrosis daun gandum selama cekaman kekeringan sedang,

dan tanaman bermikoriza juga memiliki kosentrasi P daun yang lebih tinggi

daripada tanaman yang tidak bermikoriza.

Kesimpulan

Pada tanah PMK dan gambut bekas hutan didapatkan bahwa :

1. Dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan, pertumbuhan dan

serapan hara bibit kelapa sawit semakin menurun baik pada bibit bermikoriza

maupun tidak.

Page 154: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

128

2. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA memberikan tanggap

pertumbuhan dan serapan hara bibit yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa

CMA pada setiap tingkat cekaman kekeringan.

3. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA lebih efisien dalam

penggunaan air dibandingkan bibit tanpa CMA.

4. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA

terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme penghindaran

(perbaikan penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan

penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas

permukaan transpirasi, pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi

kadar ABA daun), dan mekanisme toleransi (osmoregulasi dengan

memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina daun,

serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Tanpa CMA,

mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit adalah melalui

mekanisme toleransi.

5. Inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap

cekaman kekeringan

6. Tanggap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang bersimbiosis

dengan CMA dan tanpa CMA pada media tanah gambut bekas hutan lebih

tinggi dibandingkan media tanah PMK bekas hutan untuk setiap tingkat

cekaman kekeringan.

Page 155: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

129

PEMBAHASAN UMUM

Peranan CMA dalam Adaptasi Bibit Kelapa Sawit terhadap

Cekaman Kekeringan

Terbatasnya lahan-lahan subur merupakan salah satu kendala dalam

pengembangan kelapa sawit di Indonesia, sehingga penanaman kelapa sawit lebih

diarahkan pada lahan-lahan marjinal. Lahan-lahan tersebut mempunyai tingkat

kesuburan yang rendah dan memiliki masalah dalam penyediaan air, akibatnya

kelapa sawit akan mengalami cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.

Ketersediaan air merupakan faktor lingkungan utama yang mempengaruhi

pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. Adanya cekaman kekeringan berpengaruh

negatif terhadap proses fisiologi tanaman. Fotosintesis berkurang akibat adanya

penutupan stomata yang dapat mengurangi asimilasi karbon. Tanaman dapat

bertahan hidup dalam keadaan cekaman kekeringan melalui berbagai strategi.

Salah satu hal sangat penting dalam mentolerir dehidrasi sel adalah melalui

pemeliharaan struktur dan fungsi sel pada potensial air yang rendah. Membran sel

merupakan salah satu target pertama dari tanaman yang tercekam dan

pemeliharaan integritas membran di bawah keadaan cekaman kekeringan

merupakan strategi penting untuk toleransi kekeringan.

Cekaman kekeringan secara umum mengurangi penyerapan unsur hara

oleh akar dan transpor dari akar ke tajuk disebabkan oleh kecepatan transpirasi

yang terbatas serta transpor aktif dan permeabilitas membran yang terganggu,

akibat berkurangnya kekuatan penyerapan akar dari tanaman tersebut (Kramer &

Boyer 1995). Penurunan kadar air tanah menyebabkan penurunan kecepatan

difusi unsur hara (khususnya P) dari matriks tanah ke permukaan penyerapan

akar. Menurut Harman & Izuno (1993) tanggap pertama akibat cekaman

kekeringan adalah hilangnya turgor, sehingga terjadi penutupan sebagian stomata,

pengurangan perluasan sel, pengurangan evaporasi dari daun, berkurangnya

penyerapan ion mineral dari tanah, pengurangan fotosintesis dan pada akhirnya

penurunan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan.

Page 156: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

130

Salah satu alternatif untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah

menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu CMA. CMA merupakan

cendawan yang berkemampuan bersimbiosis dengan hampir 90% jenis tanaman,

serta telah banyak dibuktikan mampu memperbaiki hara dan meningkatkan

pertumbuhan tanaman. Selain itu, CMA juga dapat digunakan sebagai pelindung

hayati, terlibat dalam siklus biogeokimia, mempertahankan keanekaragaman

tumbuhan serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan.

Seperti halnya dengan tanaman lainnya, CMA juga berkemampuan

bersimbiosis dengan tanaman kelapa sawit yang merupakan salah satu tanaman

perkebunan. Pemanfaatan CMA pada komoditi tanaman kelapa sawit ini sangat

potensial mengingat dalam budidayanya tanaman ini memerlukan fase pembibitan

sebelum dipindahkan ke lapangan. Dengan adanya cekaman kekeringan, tanaman

kelapa sawit mempunyai kecenderungan untuk lebih bergantung pada asosiasinya

dengan CMA terutama pada masa pembibitan. Hal ini ada hubungannya dengan

karakteristik kebanyakan akar tanaman ini memiliki akar yang relatif sedikit,

pendek serta rambut akar yang jarang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan

sebaran akar dalam tanah menentukan kemampuan tanaman untuk menjangkau

sumber fosfat di dalam tanah (Baon 1999).

CMA ditemukan di beberapa tipe ekosistem, di tanah pertanian CMA

memainkan peranan yang sangat penting dalam hara tanaman. Hifa ekstraradikal

menghubungkan korteks akar di sekeliling tanah yang menyerap unsur hara yang

mobilitasnya rendah dalam tanah seperti P, Zn dan Cu yang tidak dapat diakses

oleh tanaman (Bolan 1991). Hifa ekstraradikal sangat penting dalam konservasi

tanah terutama dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Agregat tanah yang

baik lebih resisten terhadap kekuatan erosi, mempunyai pertukaran gas yang lebih

baik, filtrasi air, kapasitas penyimpanan air dan unsur hara serta menyediakan

mikrositas yang heterogen yang cocok untuk penyebaran mikroba.

Keanekaragaman CMA di setiap ekosistem akan berbeda, tergantung

perbedaan jenis tanah dan vegetasi yang ada di sekitarnya, cara pengolahan tanah,

pemupukan, pemeliharaan tanaman serta organisme lain yang mungkin ada di

lokasi tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada setiap ekosistem

Page 157: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

131

hanya ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora (Tabel 2-4).

Demikian juga daya adaptasi dari setiap jenis CMA akan berbeda akibat

perbedaan lingkungan dan juga faktor intrinsik CMA itu sendiri. Pada hasil

penelitian ini, genus Glomus lebih mendominasi daripada genus Acaulospora

pada tanah PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan, sedangkan di tanah

PMK bekas hutan didominasi oleh genus Acaulospora. Hasil penelitian Allen &

Cunningham (1983), Pond et al. (1984), Ragupathy & Mahadevan (1991) dan

Purwanto (1999) juga menunjukkan bahwa jenis Glomus lebih beradaptasi

dibandingkan genus yang lain terhadap kisaran keadaan lingkungan yang luas.

Penurunan jumlah CMA sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan tanah

yang bervariasi. Hasil penelitian Treseder & Allen (2002) mendapatkan bahwa

jumlah Scutellospora lebih sedikit pada tanah yang mendapat pemupukan N

daripada pemupukan P, sementara itu keberadaan Glomus lebih tinggi pada tanah

yang subur daripada yang kekurangan N, serta Gigaspora dan Acaulospora tidak

berbeda pada lingkungan yang berbeda. Menurut hasil penelitian Zhao et al.

(2001), Acaulospora dan Glomus merupakan CMA dominan di tanah hutan hujan

tropika di Xishuangbanna. Lain halnya menurut hasil penelitian Cordoba et al.

(2001) Glomaceae dan Gigasporaceae merupakan CMA dominan di tanah pantai

Joaquina di pulau Santa Catarina Brazil Selatan.

Menurut Kabir et al. (1997) sifat fisika dan kimia tanah sangat

berpengaruh terhadap keberadaan CMA, seperti halnya tekstur tanah. Tekstur

tanah dapat mempengaruhi keberadaan CMA di mana tanah yang bertekstur

ringan umumnya memilki lebih banyak spora CMA daripada tanah yang

bertekstur halus. Pada tanah liat (clay) sebagian besar volume pori-pori tanah

umumnya lebih kecil daripada tanah lempung berpasir (sandy loam) dan

pertukaran gas berkurang.

Setiap jenis CMA memiliki tingkat keefektivan yang bervariasi terhadap

tanaman inangnya. Demikian juga dengan tanamannya memberikan tanggap yang

berbeda terhadap keberadaan CMA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

perbedaan keefektivan masing-masing tipe spora pada masing-masing jenis tanah

(PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan), disebabkan

Page 158: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

132

adanya faktor intrinsik dari CMA itu sendiri yang mempunyai tingkat adaptasi

yang berbeda selain perbedaan lingkungan. Inokulum CMA yang paling efektif di

tanah PMK bekas hutan adalah inokulum campuran Glomus sp-3a, Acaulospora

sp-3a, Acaulospora sp-5a; di tanah gambut bekas hutan adalah inokulum

campuran Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c; dan di tanah

PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal Glomus sp-3b (Tabel 7-13).

Peranan CMA terhadap pertumbuhan tanaman diakibatkan adanya

peningkatan penyerapan hara dengan semakin besarnya luas permukaan serapan

atau kemampuan memobilisasi sumber hara yang tidak mudah tersedia. Peranan

CMA yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman perkebunan terutama

disebabkan oleh meningkatnya penyerapan P. khususnya dari sumber-sumber

yang sulit larut. Menurut Baon (1999) jika jelajah akar dibatasi, maka sampai

80% P yang berada dalam tanaman diperoleh melalui aktivitas hifa eksternal yang

menjangkau jarak lebih dari 10 cm dari permukaan akar. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa CMA mampu meningkatkan serapan P sehingga

meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dibandingkan dengan perlakuan

tanpa pemberian CMA baik pada media tanah PMK maupun gambut bekas hutan.

Tingginya serapan P sebagai tanggap dari CMA diduga sebagai strategi

tanaman untuk mengurangi pengaruh negatif dari cekaman kekeringan. Serapan P

yang tinggi pada hasil penelitian ini disebabkan meningkatnya kadar P dan juga

bobot kering bibit tersebut (Gambar 8, 15, 39, 45). Banyak penelitian yang

melaporkan bahwa adanya peningkatan pertumbuhan tanaman bermikoriza

merupakan akibat kemampuan CMA dalam membantu penyerapan P ( Heijne et

al. 1996; Clark 1997; Syvertsen & Graham 1999; Liu et al. 2000). P adalah salah

satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh

tanaman tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi

terbatas, sehingga menjadi salah satu masalah pembatas utama dalam peningkatan

produktivitas tanaman.

Menurut Stahl et al. (1998), simbiosis dengan mikoriza memberikan

beberapa keuntungan di antaranya mengubah kecepatan penyerapan air,

konduktivitas hidrolik, potensial air daun dan batang, resistensi stomata dan

Page 159: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

133

kecepatan transpirasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa mekanisme mikoriza

membantu penyerapan air (1) merupakan tanggap sekunder akibat perbaikan

hara, terutama penyerapan P yang dibantu oleh mikoriza di mana perbaikan hara P

mengakibatkan infeksi mikoriza berpengaruh langsung pada resistensi membran

terhadap aliran air dan faktor pembatas untuk menyerap air, (2) hifa eksternal

meningkatkan daerah permukaan total dari sistem perakaran tanaman serta

meningkatkan volume eksploitasi tanah untuk air yang membuat air tersedia lebih

banyak untuk tanaman, (3) hifa menetrasi korteks akar sampai endodermis

sehingga memudahkan air bergerak melalui akar, dan (4) mikoriza mengubah

tingkat hormon akar dan tajuk yang berpengaruh pada penyerapan air oleh

tanaman.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa pertumbuhan dan

serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam di media tanah PMK dan gambut

bekas hutan menunjukkan penurunan dengan bertambah beratnya cekaman

kekeringan baik pada bibit tanpa CMA maupun yang diinokulasi CMA (Tabel

18). Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi

cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman

kekeringan. Selanjutnya diperoleh bahwa pada kandungan air tersedia yang lebih

rendah, bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu mencapai pertumbuhan dan

serapan hara yang sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (Tabel

19).

Peningkatan serapan hara (terutama P) pada bibit yang bersimbiosis

dengan CMA disebabkan CMA juga dapat menyerap P organik (Po) dan

mengubahnya menjadi P anorganik (Pi) yang dapat diserap tanaman dengan

adanya bantuan enzim fosfatase asam yang juga dihasilkan oleh CMA dan juga

sel-sel tanaman tersebut. Enzim fosfatase asam berfungsi memacu proses

mineralisasi P organik. Menurut Bolan (1991), pada keadaan kahat P, CMA

mampu memanfaatkan sumber P yang tidak tersedia melalui peningkatan laju

solubilisasi Pi yang tidak larut dan hidrolisis Po menjadi Pi larut yang dapat

diserap tanaman, sehingga ion-ion fosfat dalam larutan tanah meningkat.

Gunawan (1993) menjelaskan bahwa enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh

Page 160: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

134

hifa CMA yang sedang aktif tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada

permukaan akar sebagai hasil infeksi CMA menyebabkan P inorganik (Pi)

dibebaskan dari fosfat organik (Po) pada daerah dekat permukaan sel sehingga

dapat diserap melalui mekanisme serapan hara.

Selain meningkatkan penyerapan P, CMA juga membantu tanaman

dalam penyerapan N, K, Cu dan Zn pada saat tanaman tercekam kekeringan

(Ruiz-Lozano & Azcon 1995). Pada penelitian ini selain terjadi peningkatan

serapan P, serapan K pada bibit yang bersimbisosis CMA juga meningkat lebih

tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan

(Gambar 19 dan 46). Kalium merupakan unsur monovalen esensial bagi tanaman.

Peranan utama K dalam tanaman adalah sebagai kofaktor berbagai enzim,

pergerakan stomata dan menjaga elektronitas. K juga berfungsi penting dalam

pembentukan hidrat arang dan translokasi gula. K yang tersedia cukup dalam

tanah dapat menjamin ketegaran tanaman, menghilangkan pengaruh buruk

nitrogen, dan mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor

(Soepardi 1983).

Pada media tanah PMK bekas hutan, bibit yang bersimbiosis dengan

CMA, pada keadaan cukup air ternyata mampu meningkatkan bobot kering bibit

sebesar 21.93 % dan pada keadaan tercekam kekeringan (25% air tersedia)

sebesar 108.27 % (Tabel 18). Jadi, adanya cekaman kekeringan, menyebabkan

peningkatan bobot kering bibit sebesar 86.34%. Selanjutnya diperoleh bahwa

pada keadaan cukup air, terjadi peningkatan serapan P sebesar 66.67% dan pada

keadaan tercekam kekeringan sebesar 100%, jadi akibat adanya cekaman

kekeringan tersebut terjadi peningkatan serapan P sebesar 33.33%. Dalam hal ini

berarti, peranan CMA pada keadaan cukup air, meningkatkan ketersediaan dan

serapan hara yang lebih tinggi (ditunjukkan dengan serapan P) dibandingkan

peningkatan bobot kering bibit. Sebaliknya pada keadaan tercekam kekeringan,

CMA lebih berperan dalam meningkatkan bobot kering bibit dibandingkan

peningkatan ketersediaan dan serapan hara. Peranan CMA lebih tinggi pada

keadaan tercekam kekeringan dibandingkan tanpa cekaman kekeringan.

Page 161: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

135

Pada tanah gambut bekas hutan, pada keadaan cukup air, adanya CMA

yang bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit menyebabkan peningkatan bobot

kering bibit sebesar 54.87 % dan pada keadaan tercekam kekeringan (25% air

tersedia) sebesar 62.06 %. Jadi adanya cekaman kekeringan, menyebabkan

peningkatan bobot kering sebesar 7.19% (Tabel 18). Selanjutnya diperoleh

bahwa pada keadaan cukup air, terjadi peningkatan serapan P sebesar 84.62% dan

pada keadaan tercekam kekeringan sebesar 300%, yang berarti adanya cekaman

kekeringan menyebabkan peningkatan serapan P sebesar 215.38%. Pada tanah

gambut bekas hutan, peranan CMA lebih meningkatan ketersediaan dan serapan P

dibandingkan peningkatan bobot kering bibit baik pada keadaan cukup air

maupun tercekam kekeringan.

Perbedaan jenis tanah mempengaruhi pertumbuhan dan serapan hara suatu

tanaman. Pada tanah gambut bekas hutan, ternyata pertumbuhan dan serapan hara

bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa CMA lebih

tinggi dibandingkan bibit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan (Tabel 18).

Pada keadaan tercekam kekeringan, tanah gambut memiliki struktur, aerasi dan

porositas yang lebih baik, sehingga pertumbuhan dan serapan hara bibit juga lebih

tinggi dibandingkan tanah PMK. Selain itu, pada keadaan tercekam kekeringan

tersebut, hifa CMA di tanah gambut bekas hutan lebih mampu untuk menyerap

unsur hara dan air ke pori-pori yang lebih kecil. Sementara di tanah PMK bekas

hutan, hifa CMA sudah tidak mampu lebih jauh lagi untuk menjelajah ke pori-pori

yang lebih kecil disebabkan struktur, aerasi dan porositas tanah yang kurang baik.

Hal tersebut juga disebabkan kadar air pada kapasitas lapang dan titik layu

permanen di tanah gambut lebih tinggi dibandingkan tanah PMK.

Ketersediaan air dianggap faktor pembatas dalam memproduksi suatu

tanaman, dan produksi yang tinggi tergantung pada suplai air yang cukup.

Strategi tanaman yang sering digunakan untuk mengurangi pengaruh defisit air

adalah dengan cara mengakumulasi solut (osmotic adjustment) di dalam sel untuk

memelihara status air tanaman, khususnya turgor. Hare et al. (1998) menyatakan

bahwa cekaman lingkungan merupakan faktor pembatas utama produktivitas

tanaman. Cekaman abiotik yang menyebabkan berkurangnya air sel (cekaman

Page 162: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

136

kekeringan, salinitas tanah tinggi, dan suhu yang ekstrim) merupakan penyebab

kehilangan hasil pertanian yang terbesar. Untuk mengatasi cekaman lingkungan

tersebut, beberapa tanaman mengakumulasi osmolit organik yang umum disebut

senyawa polyhydroxylic (sakarida dan polyhydric alcoholic) dan zwitterionic

alkylamines (asam amino dan senyawa ammonium).

Peningkatan toleransi osmotik pada beberapa tanaman terjadi akibat

akumulasi prolina yang dihubungkan dengan peningkatan nisbah tajuk/akar

relatif. Pada keadaan cekaman osmotik, kecepatan yang rendah dari produksi

biomas secara keseluruhan sering dihubungkan dengan peningkatan alokasi energi

pada akar. Pada potensial air yang rendah, pertumbuhan organ bagian atas

menurun daripada akar walaupun pemeliharaan turgor penuh dalam daun, batang

dan akar. Keuntungan memprioritaskan alokasi dari keterbatasan fotosintat pada

akar adalah untuk memaksimumkan penyerapan air. Meningkatnya sintesis

osmolit pada tanaman berpengaruh terhadap gradien tekanan turgor antara source

daun dan akar sehingga karbohidrat lebih banyak dikirim ke akar (Hare et al

1998).

Penyesuaian osmotik merupakan salah satu mekanisme toleransi

tanaman terhadap cekaman kekeringan yang berperan memelihara turgor sel yang

diperlukan untuk perluasan sel, memelihara konduktansi stomata untuk pertukaran

gas dan melindungi alat-alat fotosintesis dari hambatan cahaya, serta

meningkatkan pemanjangan sel atau perluasan sel sehingga tanaman dapat tetap

bertahan hidup pada keadaan tercekam. Mikoriza dapat memperbaiki

osmoregulasi di dalam jaringan sel dengan cara peningkatan konsentrasi solut

dalam jaringan daun (Auge et al. 1986; Auge & Stodola 1990) atau elastisitas

jaringan (Auge et al. 1987).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi bibit kelapa sawit yang

bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan selain dilakukan dengan

mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan P (Gambar 24 dan 47),

peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran (10

dan 37), dan pengurangan luas permukaan transpirasi (Gambar 14, 16, 36, 41)

serta pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA (Gambar 25

Page 163: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

137

dan 53), juga dilakukan melalui mekanisme toleransi dengan pengaturan larutan

osmotik pada jaringan tanaman (osmotic adjustment) yang ditunjukkan dengan

meningkatnya kadar glisina-betaina (Gambar 22 dan 50) dan prolina daun

(Gambar 24 dan 52) baik pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan, serta

pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA (Gambar 25 dan

53). Sementara itu, bibit tanpa CMA, beradaptasi terhadap cekaman kekeringan

terutama melalui mekanisme toleransi.

Glisina-betaina merupakan salah satu dari beberapa solut kompatibel yang

mempunyai fungsi sebagai osmoprotektan, dan diketahui melindungi protein dan

aktivitas enzim di bawah keadaan cekaman kekeringan dan menstabilkan

membran selama freezing. Glisina-betaina menginduksi toleransi terhadap

freezing sebagai tanggap terhadap aklimatisasi, ABA dan cekaman kekeringan

pada tanaman Arabidopsis thaliana (Xing & Rajashekar 2001).

Berbeda dengan prolina, glisina-betaina tidak terdegradasi secara cepat

pada saat cekaman. Sintesis glisina-betaina dalam stroma kloroplas dihasilkan

melalui dua langkah oksidasi dari cholin melalui intermediate betain aldehid yang

tidak stabil.

Setelah adanya perlakuan cekaman kekeringan, akumulasi prolina daun

bibit bermikoriza lebih tinggi dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza pada

setiap tingkat cekaman kekeringan baik pada tanah PMK maupun gambut bekas

hutan. Peningkatan kadar prolina daun pada bibit kelapa sawit yang mengalami

cekaman kekeringan ini diduga berkaitan dengan meningkatnya prekursor

biosintesis prolina yaitu Δ-prolina-5-karboksilat (P5C) oleh aktivitas enzim Δ-

pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS) (Hare et al. 1998). Peningkatan prolina

daun pada bibit kelapa sawit baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa

CMA pada keadaan cekaman kekeringan menunjukkan bahwa hal itu merupakan

suatu mekanisme toleransi bibit tersebut.

Sumber metabolik dari akumulasi prolina pada potensial air yang rendah

adalah adanya peningkatan sintesis protein. Sintesis protein ada dua jalur yaitu

yang menggunakan bahan prekursor glutamat dan ornitin. Sintesis protein dari

glutamat merupakan sumber terbesar akumulasi prolina di bawah keadaan

Page 164: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

138

cekaman kekeringan atau cekaman garam. Ornitin dapat juga digunakan sebagai

prekursor prolina melalui aktivitas ornitin δ-aminotransferase. Sintesis melalui

prekursor ornitin hanya sebagian kecil saja pada keadaan cekaman kekeringan.

Akumulasi ABA diperlukan untuk meningkatkan deposisi prolina pada cekaman

kekeringan, yang mana ABA memegang peranan dalam regulasi transpor prolina

pada ujung akar (Verslues & Sharp 1999).

Prolina bebas merupakan salah satu perlindungan biofisik, yang dapat

mengatasi cekaman, yang ditransfer menjadi prolina oleh enzim ‘- pyrroline-5-

carboxylate (P5C) syntetase dan P5C reductase yang merupakan mekanisme

perlindungan di mana pada beberapa spesies dapat memperbaiki potensial redox

sellular pada keadaan cekaman biotik maupun abiotik. Hal itu dapat membantu

meniadakan kerusakan fotoinhibitor di bawah keadaan yang merugikan (Hare et

al. 1998).

Pada penelitian ini kandungan ABA daun semakin meningkat dengan

semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan, baik pada bibit yang

diinokulasi CMA maupun tidak. Bibit yang bersimbiosis dengan CMA memiliki

kandungan ABA yang lebih tinggi. ABA memegang peranan penting dalam

mengontrol konduktansi stomata pada keadaan cekaman kekeringan (Bacon et al.

1998; Bahrun et al. 2002) serta merupakan sinyal langsung adanya cekaman

kekeringan khususnya pada sel tetangga (Popova et al. 2000)

Mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan merupakan suatu

sistem sinyal transduksi yang responsif dan dikoordinasi. Dengan adanya

mekanisme adaptasi dari bibit kelapa sawit melalui mekanisme penghindaran dan

toleransi terhadap cekaman kekeringan, baik yang ditanam pada tanah PMK

maupun gambut bekas hutan diharapkan pertumbuhan bibit yang baik tersebut

akan lebih mampu tumbuh dan berkembang di lapangan pada keadaan yang

beragam, terutama terhadap cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.

Keragaan Bibit yang Bersimbiosis dengan CMA di Lapangan

Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terbukti mampu

tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Demikian

Page 165: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

139

juga bibit tersebut memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi daripada bibit tanpa

CMA. Penampilan bibit sangat menentukan keragaannya di kemudian hari saat

berproduksi. Bibit yang unggul memiliki korelasi yang baik dengan produksi

yang akan datang. Dengan kemampuan CMA meningkatkan pertumbuhan dan

perkembangan bibit kelapa sawit tersebut maka pertumbuhannya di lapang juga

akan lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Selanjutnya CMA yang

diinokulasikan pada bibit kelapa sawit tersebut, peranannya akan berlanjut terus

selama tanaman hidup di lapangan.

Bibit yang bersimbiosis dengan CMA juga memiliki EPA yang lebih

tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada kandungan air tersedia yang lebih

rendah, bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh dan berkembang

sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (Tabel 19). Hal tersebut

menunjukkan bahwa bibit yang bersimbiosis dengan CMA memiliki daya

adaptasi yang lebih tinggi pada keadaan cekaman kekeringan. Pertumbuhan yang

sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (100% air tersedia),

mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada 81.57% air

tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 59.38% air tersedia (tanah gambut bekas

hutan). Demikian juga dengan serapan P yang sama dengan bibit tanpa CMA

pada 100% air tersedia, mampu dicapai oleh bibit ber-CMA pada 71.58% air

tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 63.83% air tersedia (tanah gambut bekas

hutan). Dalam hal ini berarti, pada keadaan cekaman kekeringan bibit yang

bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh dan berkembang lebih baik.

Kemampuan tersebut akan sangat berarti jika bibit sudah dipindahkan ke

lapangan. Di lapangan, bibit tersebut akan mampu mengatasi keadaan lingkungan

yang beragam terutama adanya cekaman kekeringan pada musim kemarau

panjang.

Kelapa sawit akan tumbuh dan berkembang serta berproduksi dengan baik

jika ditanam pada keadaan lahan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Keadaan

lahan yang kurang sesuai atau tidak sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit

menyebabkan tanaman tersebut tidak akan mampu tumbuh dan berkembang

dengan baik sehingga akan menurunkan produksi bahkan tidak berproduksi sama

Page 166: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

140

sekali. Adanya CMA yang bersimbiosis dengan kelapa sawit, akan membantu

tanaman dalam mengatasi keadaan lahan yang kurang menguntungkan, sehingga

lahan yang kurang sesuai atau tidak sesuai akibat faktor pembatas curah hujan

yang kurang atau bulan kering yang panjang, ketersediaan hara yang sangat

rendah dan tanah yang terlalu keras atau padat, dapat diatasi. Hal ini disebabkan

CMA mampu membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan air dan unsur

hara serta meningkatkan agregasi tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

bibit yang bersimbiosis dengan CMA lebih mampu meningkatkan penyerapan air

dan unsur hara serta mampu mengefisienkan air yang tersedia, sehingga bibit

tersebut mampu tumbuh dan berkembang lebih baik pada kandungan air tersedia

yang lebih rendah. Oleh karena itu, adanya CMA yang bersimbiosis dengan bibit

kelapa sawit, diduga akan dapat mengatasi keadaan di lapang yang beragam dan

kurang menguntungkan, sehingga diharapkan dapat mengubah keseuaian lahan

untuk tanaman kelapa sawit dan dapat memperluas areal lahan yang sesuai untuk

penanaman kelapa sawit.

Bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu meningkatkan pertumbuhan

dan perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan tanpa CMA. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh

dan berkembang lebih baik dibandingkan standar dari PPKS Medan (Tabel 15 dan

17). Pertumbuhan yang sama dengan standar PPKS dapat dicapai oleh bibit yang

bersimbiosis dengan CMA pada satu bulan (PMK bekas hutan) dan dua bulan

(gambut bekas hutan) lebih cepat. Hal ini sangat menguntungkan karena dapat

menghemat waktu, biaya dan tenaga kerja selama di pembibitan. Jika

pemindahan bibit ke lapangan dilakukan pada umur yang sama dengan

rekomendasi dari PPKS Medan, maka pertumbuhan dan perkembangan bibit di

lapangan yang bersimbiosis dengan CMA akan lebih baik sehingga diduga akan

mempercepat awal waktu pemanenan. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap

biaya produksi di lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian ini juga, kemampuan menyerap unsur hara

oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa

CMA. Hasil yang sama sudah diperoleh pada beberapa penelitian sebelumnya

Page 167: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

141

(Ortas et al. 1996 ; Solaiman & Hirata 1997; Schweiger & Jakobsen 1999; Baon

1999). Kemampuan ini akan terus berlanjut jika bibit dipindahkan ke lapangan,

sehingga di lapangan tanaman tersebut akan lebih mampu menyerap unsur hara

walaupun pada keadaan cekaman kekeringan.

Dalam penelitian ini, dosis dan jenis pupuk yang diberikan pada bibit

kelapa sawit, baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tidak, adalah sama.

Dengan pemberian dosis pupuk yang sama, ternyata bibit yang bersimbiosis

dengan CMA lebih mampu mengefisienkan pemupukan, terlihat dengan

peningkatan serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA (Tabel

18). Peningkatan serapan hara yang diperoleh pada hasil penelitian ini merupakan

akibat meningkatnya bobot kering bibit dan juga kadar haranya. Jadi adanya

CMA mampu meningkatkan efisiensi pemupukan yang diberikan dan juga

meningkatkan ketersediaan hara yang dapat diserap tanaman. Peranan CMA pada

bibit kelapa sawit ini, diharapkan akan terus berlanjut selama tanaman tumbuh di

lapang.

Peningkatan serapan P oleh tanaman bermikoriza dapat terjadi secara

langsung melalui sistem jalinan hifa eksternal dan tidak langsung yang disebabkan

oleh adanya perubahan fisiologi akar bermikoriza. Menurut Bolan (1991), dalam

proses penyerapan P, CMA mambantu dalam (1) proses memodifikasi kimia yaitu

dengan adanya perubahan fisiologi akar yang mempengaruhi eksudasi akar berupa

asam-asam organik dan enzim fosfatase, (2) perpendekan jarak difusi ion-ion

fosfat melalui hifa eksternalnya dan (3) penurunan konsentrasi minimum ion-ion

fosfat yang diserap. Dengan kemampuan CMA seperti itu, maka diharapkan bibit

tersebut mampu tumbuh dan berkembang dengan lebih baik di lapangan.

Jika dilihat efisiensi pupuknya berdasarkan bobot kering bibit yang

dihasilkan oleh setiap gram serapan pupuk, terlihat bahwa pada media tanah PMK

bekas hutan, pada keadaan 100%, 75% dan 50% air tersedia, peranan CMA belum

dapat meningkatkan efisiensi pupuk P dan K yang diberikan pada bibit kelapa

sawit umur 9 bulan, bahkan lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA (Tabel

20). Pada keadaan cekaman kekeringan yang sangat berat (25% air tersedia), baru

terlihat bahwa adanya CMA dapat meningkatkan efisiensi pupuk (terutama P)

Page 168: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

142

yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa CMA berperan dalam

meningkatkan efisiensi pupuk terutama pada keadaan cekaman kekeringan.

Sehubungan dengan itu, peran CMA tersebut akan sangat berarti jika tanaman

kelapa sawit ditanam pada lahan-lahan yang marjinal yang umumnya memiliki

kesuburan yang rendah dan mempunyai masalah dalam penyediaan air.

Tabel 20. Efisiensi pupuk P dan K pada bibit kelapa sawit umur 9 bulan di media

tanah PMK dan gambut bekas hutan

Perlakuan

mikoriza

Perlakuan cekaman kekeringan

Serapan P

(g/tan)

Serapan K

(g/tan)

BK bibit

(g)

Efisiensi

pupuk P

Efisiensi

pupuk K

Tanah PMK bekas hutan

C1 (100% air tersedia)

M0

M1

0.21

0.35

2.38

3.56

44.65

54.44

212.62

155.54

18.76

15.29

C2 (75% air tersedia)

M0

M1

0.13

0.20

1.52

1.87

30.11

34.58

231.62

172.90

19.81

18.49

C3 (50% air tersedia)

M0

M1

0.07

0.12

0.97

1.44

21.50

33.43

307.14

278.58

22.16

23.22

C4 (25% air tersedia)

M0

M1

0.01

0.02

0.10

0.22

2.78

5.79

278.00

289.50

27.80

26.32

Tanah gambut bekas hutan

C1 (100% air tersedia)

M0

M1

0.52

0.96

2.95

6.92

84.05

130.17

161.63

135.59

28.49

18.81

C2 (75% air tersedia)

M0

M1

0.30

0.63

2.30

3.82

73.79

99.51

245.97

157.95

32.08

26.05

C3 (50% air tersedia)

M0

M1

0.08

0.30

0.86

2.41

32.17

75.08

402.13

250.27

37.41

31.15

C4 (25% air tersedia)

M0

M1

0.03

0.12

0.47

0.87

19.24

31.18

641.33

259.83

40.94

35.84

Demikian juga pada media tanah gambut bekas hutan, terlihat bahwa

adanya CMA belum dapat meningkatkan efisiensi pupuk yang diberikan baik

pada keadaan cukup air maupun tercekam kekeringan. Hal ini disebabkan pada

Page 169: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

143

tanah gambut, tingkat cekaman kekeringan yang sama dengan tanah PMK,

memiliki kandungan air tersedia yang lebih tinggi. Jadi pada tingkat cekaman

kekeringan 25% air tersedia pada tanah gambut, kandungan air tersedianya lebih

tinggi dibandingkan tanah PMK, sehingga peran CMA dalam meningkatkan

efisiensi pupuk belum tercapai.

Pada saat ini, konsumen baik konsumen nasional maupun internasional

pada umumnya menginginkan produk pertanian yang ramah lingkungan, artinya

dapat mengurangi polusi yang terjadi akibat pemakaian pupuk kimia dan pestisida

yang berlebihan serta mampu memelihara stabilitas ekosistem. Menurut Setiadi

(1998), CMA dapat berfungsi sebagai pupuk biologis dan sebagai pelindung

hayati, sehingga dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Selain

itu, CMA juga terlibat dalam siklus biogeokimia, mempertahankan

keanekaragaman tumbuhan serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap

kekeringan, sehingga mampu menjaga stabilitas ekosistem. Oleh karena itu,

dengan adanya CMA yang bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit, diharapkan

peranan CMA juga terus berlanjut selama tanaman kelapa sawit tumbuh di lapang,

sehingga akan diperoleh pertumbuhan, perkembangan dan produksi yang tinggi

dan tetap dapat menjaga stabilitas ekosistem serta disukai konsumen.

Page 170: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

144

KESIMPULAN UMUM DAN SARAN

Kesimpulan Umum

6. Jenis CMA di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan

diperoleh sembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe

Glomus), di tanah PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe

Glomus dan dua tipe Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan

diperoleh 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora).

7. CMA yang memiliki keefektivan tertinggi di media tanah PMK bekas hutan

adalah campuran tiga inokulum CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan

Acaulospora sp-5a; di media tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum

tunggal CMA Glomus sp-3b serta di media tanah gambut bekas hutan adalah

campuran tiga inokulum CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora

sp-5c.

8. Inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap

cekaman kekeringan. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang

bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan adalah melalui

mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan hara (terutama P),

peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran,

pengurangan luas permukaan transpirasi, pengaturan penutupan stomata

melalui akumulasi kadar ABA daun), dan mekanisme toleransi (osmoregulasi

dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan

prolina daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun).

Tanpa CMA, mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit

adalah melalui mekanisme toleransi.

9. Tanggap pertumbuhan dan serapan hara (P dan K) bibit kelapa sawit yang

bersimbiosis dengan CMA dan tanpa CMA pada media tanah gambut bekas

hutan lebih tinggi dibandingkan media tanah PMK bekas hutan untuk setiap

tingkat cekaman kekeringan. CMA yang bersimbiosis dengan bibit kelapa

sawit mampu meningkatkan efisiensi pemupukan baik pada media tanah PMK

Page 171: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

145

maupun gambut bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan. CMA

hanya berperan meningkatkan efisiensi pupuk pada keadaan 25% air tersedia

di media tanah PMK bekas hutan, sedangkan di media tanah gambut bekas

hutan CMA belum mampu meningkatkan efisiensi pupuk untuk setiap tingkat

cekaman kekeringan.

Saran

Keragaan bibit yang bersimbiosis dengan CMA di lapangan diduga akan

lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan di lapangan untuk

melihat lebih jauh peranan dari CMA terhadap pertumbuhan, serapan hara dan

produksi kelapa sawit dalam menghadapi kondisi lingkungan yang beragam,

terutama adanya cekaman kekeringan selama musim kemarau. Selain itu perlu

diteliti lebih lanjut peranan kadar ABA, glisina-betaina dan prolina daun dalam

mengatur mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan.

Isolat CMA dari rizosfir kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan perlu

diteliti lebih lanjut apakah isolat tersebut dapat digunakan di tanah gambut bekas

hutan, demikian juga sebaliknya isolat CMA dari dari rizosfir kelapa sawit di

tanah gambut bekas hutan apakah dapat digunakan di tanah PMk bekas hutan.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar bibit kelapa sawit

diinokulasi CMA untuk mendapatkan bibit yang unggul yang memiliki

pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik.

Page 172: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

146

DAFTAR PUSTAKA

Abbott LK, Robson A D. 1982. The role of VA mycorrhizae fungi in agriculture

and the selection of fungi for inoculation. Aust. J. Agric. Res. 33 : 389-

395.

Abbott LK, Robson AD. 1991. Factors influencing the occurrence of vesicular

arbuscular mycorrhizas. Agriculture, Ecosystem and Environment. 35 :

121-150.

Abbott LK, Gazey C. 1994. An ecological view of the formation of vesicular-

arbuscular mycorrhizas. Plant and Soil 159 (1) : 69-78.

Aboul-Nasr A. 1998. Effects of inoculation with Glomus intraradices on growth,

nutrient uptake and metabolic activities of squash plants under drought

stress conditions. Ann. Agric. Sci. Cairo 1 : 119-133.

Aguire-Comez L, Davies FT, Olalde-Portugal V, Duray SA, Phavaphutanon L.

1999. Influence of phosphorus and endomycorrhiza (Glomus

intraradices) on gas exchange and plant growth of chile ancho pepper

(Capsicum annuum L. cv. San Luis). Photosynthetica 36 : 441-449.

Al-Karaki GN. 1998. Benefit, cost and water use efficiency of arbuscular

mycorrhiza durum wheat grown under drought stress. Mycorrhiza 8 : 41-

48.

Al-Karaki GN, AlRaddad A. 1997. Effects of arbuscular mycorrhizal fungi and

drought stress on growth and nutrient uptake of two wheat genotypes

differing in drought resistance. Mycorrhiza 7 : 83-88.

Al-Karaki GN, AlRaddad A, Clark RB. 1998. Water stress and mycorrrhizal

isolate effects on growth and nutrient acquisition of wheat. J. Plant Nutr.

21 : 891-902.

Al-Karaki GN, Clark RB. 1998. Growth, mineral acquisition, and water use by

mycorrhizal wheat grown under water stress. . J. Plant Nutr. 21 : 263-276.

Al-Karaki GN, Clark RB. 1999. Varied rates of mycorrhizal inoculum on growth

and nutrient acquisition by barley grown with drought stress. J. Plant

Nutr. 22 : 1775-1784.

Allen MF. 2001. Modeling arbuscular mycorrhizal infection : is % infection an

appropriate variable? Mycorrhiza 10 : 255-258.

Page 173: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

147

Allen EB, Allen MF. 1986. water relations of two xeric grasses in the field :

Interaction of mycorrhizas and competition. New Phytol. 104 : 559-571.

Allen MF, Allen EB. 1992. Development of mycorrhizal patches in a

successional arid ecosystem, pp. 164-170. Dalam D. J. Read, D. H. Lewis,

A. H. Fitter and I. J. Alexander (Eds.). Mycorrhizas and Ecosystems.

CAB International, UK.

Allen EB, Cunningham GL. 1983. Effects of vesicular-arbuscular mycorrhizae

on Distichlis spicata under three salinity levels. New Phytol. 93 : 227-

236.

Araus JL, Febrero A, Buxo R, Camalich MD, Martin D, Molina F, Rodriguez-

Ariza MO, Romagosa I. 1997. Changes in carbon isotope discrimination

in grain cereals from different regions of the western Mediterranean Basin

during the past seven millennia. Palaeoeviromental evidence of a

differential change in aridity during the late Holocene. Glob Change Biol

3: 107-118.

Astianti D, Ekamawanti HA. 1996. Kajian sifat-sifat fisik, kimia dan biologi

tempat tumbuh anakan ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di hutan alam.

Makalah dalam Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan dengan Sistem

Penelitian Hibah Bersaing (CAS). Badan Litbang Kehutanan Bekerjasama

dengan Natural Resources Management Project/NRMP (USAID), Bogor

(tidak dipublikasikan).

Auge RM, Stodola AJW. 1990. An apparent increase in symplastic water

contributes to greater turgor in mycorrhizal roots of droughted Rosa

plants. New Phytol. 115: 285-295.

Auge RM, Stodola AJW, Brown MS, Bethlenfalway, GJ. 1992. Stomatal

response of mycorrhizal cowpea and soybean to short-term osmotic stress.

New Phytol. 120: 117-125.

Auge RM, Schekel KA, Wample RL. 1986. Osmotic adjustment in leaves of VA

mycorrhizal rose plants in response to drought stress. Plant

Physiol. 82: 765-770.

Auge RM, Schekel KA, Wample RL. 1987. Rose leaf elasticity changes in

response to mycorrhizal colonization and drought acclimation. Physiol.

Plant. 70 : 175-182.

Azcon R, Gomez M, Tobar M. 1996. Physiological and nutritional response by

Lactuca sativa L. to nitrogen sources and mycorrhizal fungi under

drought conditions. Biol. Fertil. Soils. 22 : 156-161.

Page 174: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

148

Bacon MA, Wilkinson S, Davies WJ. 1998. pH-regulated leaf cell expansion in

drought plants is abscisic acid dependent. Plant Physiol. 118: 1507-1515.

Bahrun A, Jensen CR, Asch F, Mogensen VO. 2002. Drougth-induced changes

in xylem pH, ionic composition and ABA concentration act as early

signals in field grown maize (Zea mays L.). Journal of Experimental

Botany 53 : 1-13.

Baon JB. 1995. Serapan hara dan pertumbuhan kopi robusta bermikoriza.

Prosiding Kongres Nasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Serpong,

Vol. 1 : 742-749.

Baon, J. B. 1996. Peranan cendawan mikoriza pada tanah acrisol dalam

meningkatkan pertumbuhan tanaman kakao. Agrivita 19 :121-124.

Baon JB. 1999. Pemanfaatan jamur mikoriza arguskular sebagai pupuk hayati di

bidang perkebunan. Makalah seminar AMI. Bogor. 10 hal.

Bates LS, Waldren RP, Teare ID. 1973. Rapid determination of free proline for

water stress studies. Plant and Soil 39 : 205-207.

Bethlenfalvay GJ, Brown MS, Ames RN, Thomas RS. 1988. Effects of drought

on host and endophyte development in mycorrhizal soybean in relation to

water use and phosphate uptake. Plant Physiol. 72 : 565-571.

Bianciotto V, Andreotti S, Balestrini R, Bonfante P, Perotto S. 2001. Mucoid

mutants of the biocontrol strain Pseudomonas fluorescens CHAO show

increased ability in biofilm formation on mycorrhizal and nonmycorrhizal

carrot roots. Mol. Plant Microbe Interact. 14 : 255-260.

Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorhhizal fungi in the uptake

of phosphorus by plants. Plant and Soil 134 : 189-209.

Bowen G. 1987. The biology and physiology of infection and its development.

In Safir, G.R. (ed.). pp. 27-57. Ecofisiology of VA mycorrhizal plants.

CRC. Press. Inc. Boca Raton. Florida.

BPS. 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. 610 hal.

Brundrett MC, Melville L, Peterson L. 1994. Pratical methods in mycorrhiza

research. Mycologie Publications. Ontario, Canada. 161p.

Brundrett MC, Bougherr N, Dells B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with

mycorrhizas in forestry and agriculture. ACIAR. Peter Lynch (Ed.) Pirie

Printers Canberra. Australia. 374 p.

Page 175: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

149

Bryla DR, Duniway JM. 1997. Growth, phosphorus uptake and water relation of

safflower and wheat infected with an arbuscular mycorrhizal fungus. New

Phytol. 136 : 591-601.

Bryla DR, Duniway JM. 1998. The influence of the mycorrhiza Glomus

etunicatum on drought acclimation in safflower and wheat. Physiol. Plant.

104 : 87-96

Camprubi A, Calvet C. 1996. Isolation and screening of mycorrhizal fungi from

citrus nurseries and orcards and inoculation studies. Hort. Sci. 31 : 366-

369.

Cui M, Nobel PS. 1992. Nutrient status, water uptake and gas exchange for three

desert succulents infected with mycorrhizal fungi. New Phytol.122: 643-

649.

Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root

colonization and host plant growth and mineral acquisition at low pH.

Plant and Soil 192 : 15-22.

Cooper KM, Tinker P B. 1978. Translocation and transfer nutrient in vesicular-

arbuscular mycorrhiza II.. Uptake and translocation of phosphorus, zinc

and sulphur. New Phytol. 81 : 43-52.

Cordoba AS, de Medonca MM, Sturmer SL, Rygiewicz PT. 2001. Diversity of

arbuscular mycorrhizal fungi along a sand dune stabilization gradient : A

case study at Joaquina Beach on the Island of Santa Catarina, South

Brazil. Mycoscience 42 : 379-367

Cuenca G, Lovera M. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrrrhizae in disturbed and

revegated sites from La Gran Sabana, Venezuela. Can. J. Bot. 70 : 73-79.

Damanik FSD. 1996. Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap pertumbuhan dan

penyiraman bibit kelapa sawit. Skripsi. Jur. BDP IPB Bogor.

Daniels BA, Menge JA. 1981. Evaluation of the commercial potential of the

VAM fungus, Glomus epigaeus. New Phytol. 87 : 345-353.

Daniels BA, Trappe JM. 1980. Factors affecting spore germination of vesicular-

arbuscular mycorrhizal fungus, Glomus epigaeus. Mycology 72 : 457-

463.

Davies FT Jr, Potter JR, Linderman RG. 1992. Mycorrhiza and repeated drought

exposure affect drought resistance and extraradical hyphae development of

pepper plants independent of plant size and nutrient content. J. Plant

Physiol. 139: 289-294.

Page 176: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

150

Davies FT Jr, Potter JR, Linderman RG. 1993. Drought resistance of

mycorrhizal pepper plants independent of leaf P concentration-response in

gas exchange and water relations. Physiol. Plant. 87;45-53.

Davies FT, Svenson SE, Cole JC, Phavaphutanon L, Duray SA, Olaldde-Portugal

V, Meir CE. Bo SH. 1996. Non-nutritional stress acclimation of

mycorrhizal woody plants exposed to drought. Tree Physiol. 16:985-993.

Delfine S, Loreto F, Alvino A. 2001. Drougth-stress effects on physiology,

growth and biomass production of rainfed and irrigated bell pepper plants

in the Mediterranean region. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 126 (3) : 297-304.

Delvian 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutan

pantai dan potensi pemanfaatannya. Studi kasus di hutan cagar alam

Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. Disertasi. IPB. 159

hal.

De Ronde JA, Van Der Mescht A, Steyn HSF. 2000. Prolin accumulation in

response to drought and heat stress in cotton. African Crop Science

Journal 8 : 85-91.

Dixon RK, Rao MV, Garge VK. 1994. Water relations and gas exchange of

mycorrhizal Leucaena leucocephala seedlings. Journal of Tropical Forest

Science 6: 542-552.

Dodd JC, Burton CC, Burns RG, Jeffries P. 1987. Phosphatase activity

associated with the roots and the rhizosphere of plants infected with

vesicular-arbuscular mycorhhizal fungi. New Phytol. 107 : 163-172.

Eivazi F, Tabatabai MA. 1977. Phosphatase in soils. Soil Biol. Biochem. 9 :

167-172.

Ekamawanti HA, Rukmi I, Rahayu S. 1994. Eksplorasi keanekaragaman

cendawan mikoriza arbuskular (CMA) pada lahan gambut. Makalah

dalam Seminar on Self Development Project. Univ. Andalas, Padang

(tidak dipublikasikan).

Erickson A. 2001. Arbuscular mycorrhiza in relation to management history, soil

nutrients and plant species diversity. Plant Ecology 155 : 129-137.

Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulan cendawan

mikoriza arbuskula (CMA) di lahan gambut (studi kasus di Kab. Bengkalis

Prop. Riau). Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Page 177: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

151

Ezawa T, Yoshida T. 1994. Acid phosphatase specific to arbuscular mycorrhizal

infection in marigold and possible role in symbiosis. Soil Sci. Plant Nutr.

40 (4) : 655-665.

Faber BA, Zasoski RJ, Munn DN, Shackel K. 1991. A method for measuring

hyphal nutrient and water uptake in mycorrhizal plants. Can.J. Bot. 69:

87-94.

Fakuara Y. 1986. Mikoriza, teori dan kegunaannya dalam praktek. Lembaga

Sumber Daya Informasi, IPB Bogor.

Fidelibus MW, Martin CA, Wright GC, Stutz JC. 2000. Effect of arbuscular

mycorrhizal (AM) fungal communities on growth of Volkamer lemon in

continually moist or periodically dry soil. Scientia Horticulturae 84 : 127-

140

Gahoonia TS, Raza S. Nielsen NE. 1994. Phosphorus depletion in the rhizosphere

as influenced by soil moisture. Plant and Soil 159: 213-218.

Garbaye J. 1994. Helper bacteria : a new dimension to the mycorrhizal

symbiosis. New Phytol. 128 : 197-210.

Garbaye J, Bowen GD. 1989. Stimulation of ectomycorrhizal infection of Pinus

radiata by some microorganisms associated with the mantle of

ectomycorrhizas. New Phytol. 112 : 383-388.

Garbaye J, Duponnois R. 1992. Specificity and function of Mycorrhizal Helper

Bacteria (MHB) associated with the Pseudotsuga menziesii-Laccaria

laccata symbiosis. Symbiosis 14 : 335-344.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of crop plants. The

IOWA State University Press. 427 hal.

Gianinazii-Pearson V, Gianinazii S. 1983. The physiology of vesicular-

arbuscular mycorrhizal roots. Plant and Soil 71 : 197-209.

Gibon Y, Sulpice R. and Larher F. 2000. Prolin accumulation in canola leaf

discs subjected to osmotic stress is related to loss of chlorophylls and to

the decrease of mitochondrial activity. Physiol. Plant. 110:469-476.

Giovannetti M. 1985. Seasonal variation of vesicular-arbuscular mycorrhizas and

endo gonaceous spores in a maritime sand dune. Trans. Br. Mycol.Soc.

84:679-684.

Page 178: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

152

Goicoechea N, Antolin MC, Sanchez-Diaz M. 1997. Influence of arbuscular

mycorrhizae and Rhizobium on nutrient content and water relations in

drought stressed alfalfa. Plant and Soil 192: 261-268.

Goicoechea N, Dolezal K, Antolin MC, Strnad M, Sanchez-Diaz M. 1995.

Influence of mycorrhizae and Rhizobium on Cytokinin content in drought

alfalfa. J. Exp. Bot. 46 : 1543-1549.

Graham, J. H., D. L. Drouillard, and N C Hodge. 1996. Carbon economy of sour

orange in respons to different Glomus spp. Tree Physiol. 16 : 1023-1029.

Graham JH, Eissentat DM. 1998. Field evidence for the carbon cost od citrus

mycorrhizas. New Phytol. 140 : 103-110.

Grieve CM, Grattan SR. 1983. Rapid assay for determination of water soluble

quartenary ammonium compounds. Plant and Soil 70 : 303-307.

Gunawan AW. 1993. Mikoriza arbuskula. PAU Ilmu Hayat. IPB. Bogor.

Hanafiah KA. 2001. Pengaruh inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskuler dan

Azospirrilum brasilience dalam peningkatan efisiensi pemupukan P. dan N

pada padi sawah tadah hujan. Ringkasan Disertasi. Program Pascasarjana

IPB Bogor.

Hanapiah T. 1997. Pengaruh inokulasi mikoriza arbuskula dan pemupukan fosfor

terhadap pertumbuhan bibit kopi arabika (Coffea arabica L.). Skripsi

Faperta IPB Bogor.

Hanum C. 2004. Penapisan beberapa galur kedelai (Gglycine max L.Merr.)

toleran cekaman aluminium dan kekeringan serta tanggap terhadap

mikoriza vesikular arbuskular. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB.

Bogor. 162 hal.

Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan beberapa genotype kedelai pada

berbagai tingkat cekaman kekeringan tanah ultisol : Tanggap

morfofisiologi dan hasil. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.

146 hal.

Hare PD, Cress WA, Staden JV. 1998. Dissecting the roles of osmilyte

accumulation during stress. Plant, Cell & Environment 21 : 535-553.

Harjadi SS, Yahya S. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. Pusat Antar

Universitas. Institut Pertanian Bogor. 236 hal.

Harman DZ, Izuno FT. 1993. Soil Plant Water Relationships. Florida

Cooperative Extension Service. IFAS. Univ. of Florida.

Page 179: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

153

Hartley CWS. 1977. The Oil Palm. Longman Inc. New York. 806p.

Haupt-Herting S, Fock HP. 2000. Exchange of oxygen and its role in energy

dissipation during drourht stress in tomato plants. Physiol. Plant. 110:

489-495.

Heijne B, van Dam D, Heil GW, Bobbink R. 1996. Acidification effects on

vesicular-arbuscular mycorrhizal (VAM) infection, growth and nutrient

uptake of established heathland herb species. Plant and Soil 179 : 197-

206.

Henderson JC, Davies FT Jr. 1990. Drought acclimation and the morphology of

mycorrhizal Rosa hybrida L. cv. ‘Ferdy’ is independent of leaf element

content. New Phytol. 115: 503-510.

Hutomo T, Paimin K, Syamsudin E, Adiwiganda YT. 1997. Upaya

penanggulangan dampak kekeringan dan kebakaran pada tanaman kelapa

sawit. Makalah pada Seminar Sehari PPKS dan GAKPI, Medan.

INVAM. 2003. International culture collection of (vesicular) arbuscular

mycorrizal fungi. http://Invam.caf.wvu.edu/myc-info/Taxonomy/

classification.htm. (18 Agustus 2003).

Janos DP, Hartsorn GS. 1997. Arbuscular mycorrhizae sustain tropical plant

biodiversity. Makalah dalam The International Conference on

Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest

Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian

Institute of Sciences (LIPI), Bogor (tidak dipublikasikan).

Johson-Green PC, Booth T. 1995. The distribution and phenology of arbuscular

mycorrhizas along an inland salinity gradient. Can. J. Bot. 73 : 1318-

1327.

Kabir Z, Halloran IPO, Fyles JW, Hamel C. 1997. Seasonal changes of

arbuscular mycorrhizal fungi as affected by tillage practices and

fertilization : hyphal density and mycorrhizal root colonization. Plant and

Soil 192 : 285-293.

Kirkham MB. 1990. Plant responses to water deficits. Pp. 323-342. In BA

Stewart and DR Nielsen (ed.). Irrigation of Agricultural Crops. Madison

Wisconsin USA.

Kobashi K, Gemma H, Iwahori S. 2000. Abcisic acid content and ssugar

metabolism of peaches grown under water stress. J. Amer. Soc. Hort.

Sci. 125 (4) : 425-428.

Page 180: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

154

Kormanik PP, Mc. Graw AC. 1982. Quantification of vesicular-arbuscular

mycorrhizae in plant root. In NC Schenck. (ed.). Methods and Principles

of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46 : 37-45.

Kothari SK, Marschner H, George E. 1990. Effect of VA mycorrhizal fungi and

rhizosphere microorganism on root and shoot morphology, growth, and

water relations of maize. New Phytol. 116:303-311.

Kramadibrata K, Hedger JN. 1990. A New Species of Acaulospora assosiated

with cocoa in Java and Bali (Indonesia). Mycotaxon 37 : 73-77.

Kramer P.J and Boyer J.S. 1995. Water relations of plant and soils. Academic

Press Inc. London.

Lee KK, Reddy MV, Wani SP, Trimurti N. 1996. Vesicular-arbuscular

mycorrhizal fungi in earthworm casts and surrounding soil in relation to

soil management of a semi arid tropical Alfisol. Applied Soil Ecology 3

:177-181.

Liu A, Hamel C, Hamilton RI, Smith DL. 2000. Mycorrhizae formation and

nutrient uptake of new corn (Zea mays L.) hybrids with extreme canopy

and leaf architecture as influenced by soil N and P levels. Plant and Soil

221 : 157-166.

Makela P, Kontturi M, Pehu E, Somersalo S. 1999. Photosynthetic response of

drought- and salt- stressed tomato and turnip rape plants to foliar-applied

glycinebetaine. Physiol. Plant. 105 : 45-50.

Marschner H. 1997. Mineral nutrition of higher plant. Univ. Academic Press.

Inc. San Diego. 889p.

Marschner H, Dell B. 1994. Nutrient uptake in mycorrhizal symbiosis. Plant and

Soil 159 : 89-102.

Mathur N and Vyas A. 2000. Influence of arbuskular mycorrhizae on biomass

production, nutrient uptake and physiological changes in Ziziphus

mauritiana Lam. Under water stress. J. Arid. Environments 45: 191-195.

McGonigle TP, Evans DG, Miller MH. 1990. Effect of degree of soil disturbance

on mycorrhizal colonization and phosphorus absorption by maize in

growth chamber and field experiment. New Phytol. 116:629-636

Mengel K, Kirkby EA. 1987. Principles of Plant Nutrition. International Potash

Institute. Switzerland.

Page 181: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

155

Minerdi D, Bianciotto V, Bonfante P. 2002. Endosymbiotic bacteria in

mycorrhizal fungi : from their morphology to genomic sequences. Plant

and soil 244 : 211-219.

Morte A, Lovisolo C, Schubert A. 2000. Effect of drought dtress on growth and

water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense-

Ierfezia claveryi. Mycorrhiza 10 : 115-119.

Mullet JE, Whitsitt MS. 1996. Plant cellular responses to water deficit. Plant

Growth Reg. 20 : 119-124.

Muslimin. 1994. Pengaruh inokulasi berbagai taraf dosis cendawan mikoriza (G.

margarita dan S. columnare) terhadap pertumbuhan bibit kakao. Skripsi.

Jur. BDT IPB Bogor.

Muthukumar T, Udaiyan K, Manian S. 1996. Vesicular-arbuscular mycorrhizae

in tropical sedges of southern India. Biol Fertil Soils 22 : 96-100.

Nadarajah P. 1999. Vesicular arbuscular mycorrhizal fungi in two Malaysia oil

palm and cocoa plantations and adjacent grassland. Makalah dalam The

International Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable

Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development

Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor (tidak

dipublikasikan).

Nadarajah P, Nawawi A. 1997. Vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi in

Malaysian Plantations and grasslands. Makalah dalam The International

Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical

Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for

Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor (tidak

dipublikasikan).

Nelson CE. Safir GR. 1982. Increased drought tolerance of mycorrhizal onion

plants caused by improved phosphorus nutrition. Planta 154 : 407-413.

Ocampo JA, Cardona FL, El-Atrach F. 1986. Effect of root extracts of non host

plants on VA mycorrhizal infection and spore germination Hal. 721-724.

Di dalam : Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (eds.). Physiological

and genetical aspect of mycorrhizae. Proceed. On the 1st European

Symposium on Mycorrhizae.

Ortas I., Harris PJ, Rowell DL. 1996. Enhance uptake of phosphorus by

mycorrhizal sorghum plants as influenced by forms of nitrogen. Plant and

Soil 184 : 255-264.

Page 182: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

156

Osonubi O, Bakare ON, Mulongoy K. 1992. Interactions between drought stress

and vesicular-arbuscular mycorrhiza on the growth of Faidherbia albida

(syn. Acacia albida) and Acacia nilotica in sterile and non-sterile soil.

Biol. Fertil. Soils 14: 159-165.

Pangaribuan Y. 2001. Studi karakter morfofisiologi tanaman kelapa sawit

(Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan terhadap cekaman kekeringan.

Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Pastor A, Lopez-Carbonell M, Alegre L. 1999. Abcisic acid immunolocalization

and ultrastructural changes in water-stressed lavender (Lavandula stoechas

L.) plants. Physiol. Plant. 105 : 272-279.

Pattanagul W, Madore MA. 1999. Water deficit effects on raffinose family

oligosaccharide metabolism in coleus. Plant Physiol. 121 : 987-993.

Pennypacker BW, Leath KT, Stout WL, Hill Jr RR. 1990. Technique for

simulating field drought stress in the greenhouse. Agron. J. 82 : 951-957.

Phipps CJ, Taylor TN. 1996. Mixed arbuscular mycorrhizae from the Triassic of

Antartica. Mycology 88 (5) : 707-714.

Pond EC, Menge JA, Jarrell WM. 1984. Improved growth of tomato in salinized

soil by vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi collected from salin soils.

Mcology 76 : 74-84.

Popova LP and Riddle KA. 1996. Development and accumulation of ABA in

fluridone-treated and drought stress Vicia faba plants under different light

conditions. Physiol. Plant. 98:791-797.

Popova LP, Outlaw WH Jr., Aghoram K and Hite DRC. 2000. Abscisic acid-an

intraleaf water-stress signal. Physiol. Plant. 108: 376-381.

Prawiranata WS, Harran S, Tjondronegoro P. 1992. Dasar-dasar fisiologi

tumbuhan. Jilid I. Jur. Biologi. Fak. Matematika dan IPA. IPB.

Prevete KJ, Fernandez RT, Miller WB. 2000. Drougth response of three

ornamental herbaceous perennials. J. Amer. Soc. Hort. 125 (3) : 310-317.

Purwanto A. 1999. Studi hubungan salinitas dengan kelimpahan CMA pada lahan

hutan pantai dan hutan mangrove di Cagar alam Leuweung Sancang Kab.

Garut Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan,

IPB.

Page 183: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

157

Puspa W, Suwandi. 1990. Pemanfaatan mikoriza vesikula-arbuskula pada

perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Bull. Puslitbun. Marihat 10 :

5-13.

Putri ER. 1998. Uji keefektivan beberapa isolat mikoriza arbuskula untuk

meningkatkan pertumbuhan semai P. falcataria L. Nielsen, Acacia

crasicarpa A. Cunn. Ex. Benth dan A. mangium pada media tailing.

Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, IPB.

Rachim A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan

ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut.

Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor.

Ragupathy S, Mahadevan A. 1991. VAM distribution influenced by salinity

gradient in a coastal tropical forest. Hal : 91-97. Di dalam : Soerianegara

and Supriyanto (Eds.). Proceed. Of second Asian Conference on

Mycorrhiza. BIOTROP Special Publication. No. 42 SEAMEO BIOTROP

Bogor.

Rijal M. 1998. Pengaruh beberapa jenis cendawan endomikoriza dan media

tumbuh terhadap pertumbuhan semai Duabanga moluccana Bl. Skripsi.

Jurusan Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, IPB.

Roosens NHCJ, Thu TT, Iskandar HM, Jacobs M. 1998. Isolation of the

ornithine-δ-aminotransferase cDNA and effect of salt stress on expression

in Arabidopsis thaliana. Plant Physiol. 117 : 263-271.

Ruiz-Lozano JM, Azcon R. 1995. Hyphal contribution to water uptake in

mycorrhizal plants as affected by fungal species and water status. Physiol.

Plant. 95: 472-478.

Ruiz-Lozano JM, Azcon R, Gomez M. 1995. Effects of arbuscular-mycorrhizal

Glomus species on drought tolerance : Physiological and nutritional plant

responses. Appl. Environ. Microbiol. 61: 456-460.

Ruiz-Lozano JM, Gomez M, Nunez R, Azcon R. 2000. Mycorrhizal colonization

and drought stress affect δ13C in 13CO2-labeled lettuce plants. Physiol.

Plant. 109: 268-273.

Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Co.

Inc. Colorado.

Sasli I. 1999. Tanggap karakter morfosiologi bibit kakao terhadap cekaman

kekeringan dan aplikasi mikoriza arbuskula. Thesis. Program Pascasarjana

IPB Bogor.

Page 184: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

158

Sastrahidayat IR. 1991. Pengaruh VA-mikoriza terhadap pertumbuhan dan

produksi padi gogo pada berbagai kondisi tanah dan serangan hama

penyakit. Badan Litbang Pertanian.

Sastrahidayat IR. 1992. Pengaruh pemberian pupuk hayati (endomikoriza) pada

peningkatan produktivitas tanaman kacang-kacangan pada tanah miskin

fosfor. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dan Unibraw.

Sastrahidayat IR. 2000. Aplikasi mikoriza vesikular arbuskular pada berbagai

jenis tanaman pertanian di Jawa Timur P. 334-346. Dalam Prosid. Seminar

Mikoriza I. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang

Kehutanan dan Perkebunan, Dept. Kehutanan dan Perkebunan.

Schelkle M, Peterson RL. 1996. Suppression of common root pathogens by

helper bacteria and ectomycorrhizal fungi in vitro. Mycorrhiza 6 : 481-

485.

Schreiner RP, Mihara KL, McDaniel H, Bethlenfalvay GJ. 1997. Mycorrhizal

fungi influence plant and soil functions and interactions. Plant and Soil

188 : 199-209.

Schweiger PF, Jakobsen I. 1999. Direct measurement of arbuscular mycorrhizal

phosphorus uptake into field-grown winter wheat. Agron. J. 91 : 998-

1002.

Setiadi Y. 1989.Pemanfaatan mikroorganisme dalam kehutanan. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti. PAU Bioteknologi, IPB Bogor.

Setiadi Y. 1998. Fungsi mikoriza arbuskula dan prospeknya sebagai pupuk

biologis. Makalah disampaikan pada workshop aplikasi cendawan

mikoriza arbuskula pada tanaman pertanian, kehutanan, dan perkebunan.

Tanggal 5-10 Oktober 1998. PAU Bioteknologi, IPB Bogor.

Shetty K. 1997. Biotechnology to harness the benefits of dietary phenolics; focus

on Lamiaceae. Asia Pacific J. Clin. Nutr. 6 (3) : 162-171.

Sieverding E. 1991. Vesicular-arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical

Agrosystems. Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit

(GTZ), Eschborn, Germany.

Siguenza C, Espejel I, Allen EB. 1996. Seasonality of mycorrhizae in coastal and

dunes of Baja California. Mycorrhiza 6 : 151-157.

Siregar HH. 1998. Model simulasi produksi kelapa sawit berdasarkan

karakteristik kekeringan. Kasus kebun kelapa sawit di Lampung. Tesis.

Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Page 185: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

159

Sironi M, Fornili A and Fornili SL. 2001. Water interaction with glycine betaine:

A hybrid QM/MM molecular dynamics simulation.

Phys.Chem.Chem.Phys. 3: 1081-1085.

Smith FA, Smith SE. 1996. Mutualism and parasitism diversity in function and

structure in the arbuscular (VA) mycorrhizal symbiosis. Advances in

Botanical Research vol 22. Academic Press.

Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition. Academic

Press. Harcourt Brace & Company Publisher. London.

Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Jur. Tanah Faperta IPB Bogor.

Solaiman MZ, Hirata H. 1997. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi

inoculation of rice seedling at the nursery stage upon performance in the

paddy field and greenhouse. Plant and Soil 191 : 1-12.

Stahl PD, Schuman GE, Frost SM and Williams SE. 1998. Arbuscular

mycorrhizae and water stress tolerance of Wyoming big sagebrush

seedlings. Soil Sci. Soc. Am. J. 62:1309-1313.

Sturmer SL and Bellei MM. 1994. Composition and seasonal variation pf spore

population of arbuscular mycorrhizal fungi in dune soils on the island of

Santa Catarina, Brazil. Mycol.Res. 98:453-457.

Subashini HD, Natarajah K. 1997. Enzymes and phytohormones in some

ectomycorrhizal fungi. In : Mycorrhizas in sustainable tropical

agricultural and forest ecosystems. LIPI. Bogor.

Subramanian KS, Charest C. 1998. Arbuscular mycorrhizae and nitrogen

assimilation in maize after drought and recovery. Physiol. Plant. 102: 285-

296.

Subramanian KS, Charest C. 1997. Nutritional, growth and reproductive

responses of maize (Zea mays L.) to arbuscular mycorrhizal inoculation

during and after drought stress at tasselling. Mycorrhiza 7 : 25-32.

Subramanian KS, Charest C, Dwayer LM, Hamilton RI. 1995. Arbuscular

mycorrhizas and water relations in maize under drought stress at tasselling.

New Phytol. 129 : 643-650.

Sudjadi M. 1984. Masalah kesuburan tanah Podsolik Merah Kuning dan

kemungkinan pemecahannya. Hal. 3-10. Dalam Prosiding Pertemuan

Teknis Pola Usaha Tani Menunjang Transmigrasi. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Page 186: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

160

Sutanto A, Akiyat, Koedadiri A, Sitanggang BH, Sudarta ES, Syamsudin E,

Brahmana J, Martoyo K, Maskuddin, Fadli ML, Purba P, Purba RY,

Soegiyono, Prawirosukarto S, Winarna, Darmosarkoro W. 2002.

Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.

Syvertsen JP, Graham JH. 1999. Phosphorus supply and arbuscular mycorrhizas

increase growth and net gas exchange responses of two Citruss spp. grown

at elevated [CO2]. Plant and Soil 208 : 209-219.

Tezara W, Mitchel VJ, Driscoll SD, Lawlor DW. 1999. Water stress inhibits

plant fotosintesis by decreasing coupling factor and ATP. Nature 401;

914-917.

Tim Penulis Penebar Swadaya. 1998. Kelapa Sawit. Usaha Budidaya,

Pemasaran Pemanfaatan Hasil, dan Aspek Pemasaran. Penebar Swadaya,

Jakarta.

Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Fourth

edition. Macmillan Publish. Company. New York.

Tisdall JM. 1991. Fungal hypha and structural stability of soil. Aust. J. Soil

Res. 29 : 729-743.

Treseder KK, Allen NF. 2002. Direct nitrogen and phosphorus limitation of

arbuscular mycorrhizal fungi : a model and field test. New Phytol. 155 :

507-515.

Trotel-Aziz P, Niogret MF, Larher F. 2000. Proline level is partly under the

control of abcisic acid in canola leaf disc during recovery from hyper-

osmotic stress. Physiol. Plant. 110 : 376-383.

Verslues PE, Sharp RE. 1999. Prolin accumulation in maize (Zea mays L.)

primary roots at low water potentials. II. Metabolic source of increase

prolin deposition in the elongation zone. Plant Physiol. 119: 1349-1360.

Walton EF, Podivinsky E, Wu RM, Reynolds PHS, Young LW. 1998.

Regulation of proline biosynthesis on kiwifruit buds with and without

hydrogen cyanamide treatment. Physiol. Plant. 102 : 171-178.

Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit

pada tanah masam sebagai dasar pengembangan teknologi aplikasi dini.

Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Widiastuti H, Kramadibrata K. 1992. Jamur mikoriza bervesikula-arbuskula di

beberapa tanah masam dari Jawa Barat. Menara Perkebunan 60 (1) : 9-19.

Page 187: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

161

Widiastuti H, Tahardi S. 1993. Effect of vesicular-arbuscular mycorrhizal

inoculation on the growth and nutrient uptake of micropropagated oil

palm. Menara Perkebunan 61 (3) : 56-60.

Wijana G. 2001. Analisis fisiologi, biokimia dan molekuler sifat toleran tanaman

kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan.

Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Xing W, Rajashekar CB. 2001. Glycine betain involvement in freezing tolerance

and water stress in Arabidopsis thaliana. Environmental and

Experimental Botany 46 : 21-28.

Yang CW, Kao CH. 1999. Importance of ornithine-δ-transferase to prolin

accumulation caused by water stress in detached rice leaves. Plant Growth

Reg. 27 : 189-192.

Yokota T, Nakayama M, Harasawa I, Sato M, Katsuhara M, Kawabe S. 1994.

Polyamines, indole-3-acetic acid and abcisic acid in rice phloem sap.

Plant Growth Reg. 15 : 125-128.

Zhao ZW, Xia YM, Qin XZ, Li XW, Cheng LZ, Sha T, Wang GH. 2001.

Arbuscular mycorrhizal status of plants and the spore density of arbuscular

mycorrhizal fungi in the tropical rain forest of xishuangbanna, southwest

China. Mycorrhiza 11 : 159-162.

Page 188: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

162

L A M P I R A N

Page 189: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

163

Lampiran 1. Prosedur pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh.

Pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui

teknik pewarnaan akar (staining akar). Metode yang digunakan adalah metode

Kormanik dan McGraw (1982) sebagai berikut :

1. Akar-akar segar dipilih dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Contoh

akar direndam dalam larutan KOH 10% sampai akar menjadi jernih.

2. Larutan KOH kemudian dibuang dan contoh akar dicuci dengan air mengalir

selama 5-10 menit.

3. Contoh akar direndam dalam larutan HCl 5 % selama 30 menit, kemudian

larutan tersebut dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan.

4. Contoh akar direndam dalam larutan staining (Trypan blue 0,05 %) dan

dipanaskan pada plat pemanas selama 10 menit.

5. Larutan Trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto glycerol untuk

proses destaining. Selanjutnya contoh akar siap diamati.

6. Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang slide

(slide length) dari Giovanetti dan Mosse (1980). Secara acak potongan-

potongan akar yang telah diwarnai diambil dengan panjang ± 1 cm sebanyak

10 potongan akar dan disusun dalam preparat slide. Kolonisasi akar ditandai

dengan adanya hifa, vesikula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya. Setiap

bidang pandang (field of view/fov) mikroskop yang menunjukkan tanda

kolonisasi diberi simbol (+) dan yang tidak (-). Jumlah bidang pandang yang

akan diamati sebanyak 10 buah per 1 potongan akar. Persentase kolonisasi

akar dihitung dengan menggunakan rumus :

Σ field of view (+)

% kolonisasi = ------------------------ x 100 %

Σ field of view

Page 190: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

164

Tabel Lampiran 2. Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah PMK

yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit

(PPKS) Medan

Umur

(minggu)

Jenis dan dosis pupuk

Urea (45 %)

(g/bibit)

Rock Phosphate

Christmas

(28,39%) (g/bibit)

KCl (50%)

(g/bibit)

Kisserite

(27%)

(g/bibit)

4-12 0,833 1,321 0,300 0,370

14 dan 15 0,833 1,321 0,300 0,370

16 dan 17 1,667 2,642 0,600 0,740

18 dan 20 2,500 3,963 0,900 1,110

22 dan 24 3,333 5,284 1,200 1,480

26, 28, 30,

dan 32

2,667 4,227 3,400 0,740

Keterangan : dosis pupuk diperoleh dari konversi dosis pupuk majemuk menurut

Sutanto, et al. (2000).

Untuk bibit umur 4-12 bulan urea ditambah 2 g/liter air/100 bibit.

Tabel Lampiran 3. Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah gambut

yang dilaksanakan oleh PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean,

Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi

Jambi.

Umur

(minggu)

Jenis dan dosis pupuk

Urea (45 %)

(g/bibit)

Rock Phosphate

(28,39) (g/bibit)

KCl (50%)

(g/bibit)

Kisserite (27%)

(g/bibit)

1-3 - 5,000 - -

4-12 - 5,000 - -

14 5,000 - - -

16 3,333 5,284 1,200 1,481

24,28,32 5,333 8,454 6,800 1,481

Keterangan : dosis pupuk diperoleh dari konversi dosis pupuk majemuk menurut

rekomendasi PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Kecamatan

Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

Untuk bibit umur 4-12 minggu pemupukan ditambah dengan :

a. Urea 8,333 g + Rock Phosphate 13,209 g + KCl 3,000 g +

Kisserite 3,704 g, yang dilarutkan dalam 10 L air untuk 200

bibit.

b. Urea 10 g/10 L air/200 bibit

Page 191: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

165

Lampiram 4. Metode analisis aktivitas enzim fosfatase asam (E.C. 3.1.3.2

orthophosphoric-monoester phosphohydrolase)

AKAR

Pengukuran enzim fosfatase asam pada akar mengacu pada Dodd et al.

(1987) yang dimodifikasi dengan memperhatikan prosedur Ezawa dan Yoshida

(1994), dengan langkah-langkah sebagau berrikut :

1. Contoh akar dicuci bersih dari partikel-partikel tanah. Untuk

menghentikan metabolisme enzim, contoh akar direndam dalam N2 cair

selama 5 menit, lalu dibungkus dengan kertas alumunium dan disimpan

dalam ruang dingin.

2. 20 mg jaringan akar segar yang telah dipotong-potong dimasukkan dalam

tabung Erlenmeyer dan diinkubasi dengan 4 ml buffer asetat 0,1 M pH 5,2

dan 1 ml p-nitrofenilfosfat (p-NPP) 2,0 mM, selama satu jam pada suhu

35 oC di dalam shaking water bath (60 rpm).

3. Reaksi dihentikan dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M.

4. Filtrat disentrifusi pada 3000 rpm selama 10 menit.

5. Kerapatan optic dari supernatant (jumlah p-nitrifenol yang dilepaskan)

diukur dengan spectrometer pada panjang gelombang 410 nm.

6. Blanko dilakukan sama seperti di atas, tetapi sebelum diinkubasi dengan

buffer asetat dan substrat p-NPP, aktivitas enzim dihentikan lebih dahulu

dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M.

TANAH

Pengukuran enzim fosfatase asam pada akar mengacu pada Dodd et al.

(1987) yang dimodifikasi dengan memperhatikan prosedur Eivazi dan Tabatabai

(1977), dengan langkah-langkah sebagau berrikut :

1. 100 mg contoh tanah yang telah dikeringanginkan dan diayak dimasukkan

dalam tabung Erlenmeyer.

2. Contoh tanah ditambah 0,25 ml toluen dan diinkubasi dengan 4 ml buffer

asetat 0,1 M pH 5,2 dan 1 ml p-nitrofenilfosfat (p-NPP) 2,0 mM, selama

satu jam pada suhu 35 oC di dalam shaking water bath (60 rpm).

Page 192: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

166

3. Reaksi dihentikan dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M. Khusus untuk

contoh tanah gambut bekas hutan, reaksi dihentikan dengan pemanasan

dalam penangas pada suhu 110 oC selama 10 menit dan untuk

mendapatkan volume yang sama ditambahkan 5 ml air suling.

4. Filtrat disaring dengan kertas saring biasa.

5. Kerapatan optic dari supernatant (jumlah p-nitrifenol yang dilepaskan)

diukur dengan spectrometer pada panjang gelombang 410 nm.

6. Blanko dilakukan sama seperti di atas, tetapi sebelum diinkubasi dengan

buffer asetat dan substrat p-NPP, aktivitas enzim dihentikan lebih dahulu

dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M (untuk contoh tanah PMK) dan

dengan pemanasan (untuk contoh tanah gambut bekas hutan).

7. Kontrol positif dilakukan sama seperti di atas, tetapi setelah inkubasi satu

jam dilakukan penambahan 1 ml p-NPP yang kedua, dan diinkubasi

kembali selama 45 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 5 ml

NaOH 0,5 M (untuk contoh tanah PMK) dan dengan pemanasan (untuk

contoh tanah gambut bekas hutan).

KURVA STANDAR

Kurva standar dibuat dengan menentukan serapan p-nitrifenol (p-NP) dari

konsentrasi 0,1 mM sampai dengan 2,0 mM pada panjang gelombang 410 nm :

1. Stok larutan standar 50 ml p-NP 2,0 mM dibuat dengan menimbang

0,01391 g p-NP dan dilarutkan dalam air suling hingga 50 ml.

2. Untuk mendapatkan 1 ml p-NP dengan konsentrasi 0,05 mM sampai

dengan 2,0 mM, masing-masing dilakukan pengenceran stok larutan p-NP

2 mM.

3. Satu ml p-NP masing-masing konsentrasi ditambah dengan 4 ml buffer

asetat dan 5 ml NaOH, kemudian diukur nilai absorbansinya dengan

spectrometer pada panjang gelombang 410 nm.

4. Blanko dibuat tanpa menggunakan p-NP, yaitu 1 ml air suling ditambah 4

ml buffer asetat dan 5 ml NaOH. Maisng-masing dibuat duplo.

Page 193: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

167

Lampiran 5. Prosedur analisis prolina

Kadar prolina dianalisis berdasarkan metode Bates et al. (1973) sebagai

berikut:

1. Potongan daun yang telah dikeringkan secara dingin (Freeze drying)

ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian digerus dan dihomogenasi dengan 10

ml asam sulfosalisilat 3%.

2. Bahan tersebut selanjutnya disentrifusi pada 9000xg selama 15 menit

sehingga diperoleh supernatan.

3. Supernatan dipipet sebanyak 2 ml, kemudian direaksikan dengan 2 ml

larutan asam ninhidrin dan 2 ml asam asetat glacial dalam tabung reaksi.

4. Selanjutnya dipanaskan pada penangas air suhu 100 oC selama 60 menit.

5. Setelah 1 jam, kemudian diinkubasikan dalam es curah selama 5 menit.

Hasil reaksi selanjutnya diekstraksi dengan 4 ml toluen sehingga terbentuk

kromoform.

6. Kromoform yang terbentuk diukur absorbansinya dengan Spectronic 20

Genesys pada panjang gelombang 520 nm. Sebagai standar digunakan DL-

Proline (Sigma) 0,1 – 3,0 mM yang dilarutkan dalam asam sulfosalisilat

3%. Kadar prolin dinyatakan sebagai μmol/g daun basis kering.

Lampiran 6. Prosedur analisis ABA

Ekstraksi ABA mengikuti prosedur yang dilakukan Yokota et al. (1994)

yang dimodifikasi sebagai berikut :

1. Satu gram contoh daun diekstrak dengan buffer fosfat pH 8.3 + sodium

dietil ditio carbamat 1 mg. Kemudian diekstrak dengan 2 x 10 mL

CH2Cl2.

2. Fraksi CH2Cl2 dipisahkan dengan fraksi air. Selanjutnya fraksi air diatur

pH-nya dengan 6 N HCl hingga pH 3.

3. Ekstrak 3 x 10 mL CH2Cl2, kemudian dipisahkan dari fraksi CH2Cl2.

Selanjutnya dihiddrasi dengan Na2SO4 anhiddrat.

4. Larutan dievaporasikan sampai hampir kering. Residu dilarutkan dengan

50 mL fase gerak (45% methanol : 55% asam asetat). Selanjutnya

Page 194: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

168

dianalisis dengan HPLC. Standar ABA menggunakan standar ABA

(sigma).

Lampiran 7. Prosedur analisis glisina-betaina

Kadar glisina–betaina dianalisis berdasarkan metode Grieve dan Grattan

(1983) dengan sedikit perubahan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Sebanyak 0,5 g potongan daun yang telah dikeringkan secara dingin

digeus dan diekstraksi dengan 20 ml aquades bebas ion.

2. Selanjutnya disaring dan diencerkan dengan 2N H2SO4 dengan

perbandingan 1:1 (v:v) dan sebanyak 0,5 ml didinginkan.

3. Setelah 60 menit pendinginan, campuran direaksikan dengan 0,2 ml

larutan KI-I2 dingin untuk pembentukan kristal periodida.

4. Kristal periodida pada tabung dilarutkan dengan 9 ml 1,2-dikloroetan dan

diukur absorbansinya dengan Spectronic 20 Genesys pada panjang

gelombang 498 nm dengan standar glisina-betaina (Sigma). Kadar glisina-

betaina dinyatakan sebagai μmol/g daun basis kering.

Lampiran 8. Prosedur pengukuran kadar P dalam tanaman

Kadar P dalam tanaman (tajuk) dianalisis dengan langkah-langkah sebagai

berikut :

1. Contoh kering mutlak 105oC ditimbang sebanyak 0.1 g, kemudian dimasukkan

dalam tabung reaksi 20 ml.

2. Ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan 10 tetes H2O2 30%, digoyang perlahan-

lahan.

3. Ditambahkan 10 tetes H2O2 30% dan didestruksi kembali, lalu ditambahkan

H2O2 30%, dan diulangi sampai larutan contoh menjadi bening.

4. Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, dibilas dengan air destilasi,

kemudian labu ukur 100 ml dipenuhkan hingga tanda garis.

5. Filtrat contoh, blanko dan larutan seri standar (0-8 ppm) dipipet masing-

masing sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas 30 ml dan

Page 195: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

169

ditambah 5 ml air destilasi. Satu ml larutan campuran dikocok homogen dan

ditunggu 15 menit.

6. Larutan seri standar, blanko dan contoh diukur absorbansinya dengan

spectronic 20.

Lampiran 9. Prosedur pengukuran kadar K dalam tanaman

Kadar K dalam tanaman (tajuk) dianalisis dengan langkah-langkah sebagai

berikut :

1. Contoh kering mutlak 105oC ditimbang sebanyak 0.1 g, kemudian dimasukkan

dalam tabung reaksi 20 ml.

2. Ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan 10 tetes H2O2 30%, digoyang perlahan-

lahan.

3. Ditambahkan 10 tetes H2O2 30% dan didestruksi kembali, lalu ditambahkan

H2O2 30%, dan diulangi sampai larutan contoh menjadi bening.

4. Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, dibilas dengan air destilasi,

kemudian labu ukur 100 ml dipenuhkan hingga tanda garis.

5. Larutan blanko dan larutan contoh dipipet masing-masing 20 ml ke dalam

botol plastik, kemudian ditambahkan 1 ml larutan 4000 ppm LaCl3 dan

dikocok.

6. Diukur absorbansinya dengan flame photometer dan larutan standar (0-20 ppm

K) sebagai pembanding.

Lampiran 10. Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah

daun pada media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2

SK

db Tinggi bibit

_________________________ Diameter batang

___________________________ Jumlah daun

_________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat Total

17

36 53

658.74

438.29 1097.02

38.75

12.17

3.18 0.0017** 584.48

405.06 989.54

34.38 3.06 0.0024** 37.43

24.00 61.43

2.20

0.67

3.30 0.0013**

KK = 9.85 KK = 20.93 KK = 14.75

Page 196: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

170

Lampiran 11. Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media

tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2

SK

db

Luas daun

__________________________________________

Bobot kering akar

_______________________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat

Total

17

36

53

1452774.25

105771.19

1558545.44

85457.31

2938.09

29.09

<.0001** 8.78

4.04

12.82

0.52

0.11

4.60 <.0001**

KK = 12.50 KK = 25.96

Lampiran 12. Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan

nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan

2

SK

db

Bobot kering tajuk

___________________________

Bobot kering bibit

____________________________

Nisbah tajuk akar

______________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat Galat

Total

17 36

53

155.67 49.31

204.97

9.16 1.37

6.69 <.0001** 323.67 118.50

442.18

19.04 3.29

5.78 <.0001** 10.61 3.95

14.57

0.62 0.11

5.68 <.0001**

KK = 27.80 KK = 29.68 KK = 19.69

Lampiran 13. Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di

media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2

SK

db

Kadar P

_________________________

Serapan P

___________________________

Infeksi akar

_________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat Galat

Total

17 36

53

0.28 0.17

0.45

0.017 0.005

3.43 0.0009** 5.58 1.78

7.36

0.33 0.05

6.65 <.0001** 24967.43

9322.00

34289.4

3

1468.67 258.94

5.67 <.0001**

KK = 28.30 KK = 22.45 KK = 22.83

Lampiran 14. Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah

daun di media tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2

SK

db

Tinggi bibit

_________________________

Diameter batang

___________________________

Jumlah daun

_________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat

Total

17

36

53

383.13

409.84

792.97

22.54

11.38

1.98 0.0420* 399.01

165.26

564.27

23.47

4.59

5.11 <.0001** 14.67

23.33

38.00

0.86

0.65

1.33 0.2293tn

KK = 9.59 KK = 15.15 KK = 15.10

Page 197: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

171

Lampiran 15. Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media

tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2

SK

db

Luas daun

__________________________________________

Bobot kering akar

_______________________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat

Total

17

36

53

701054.96

239715.84

940770.80

41238.53

6658.77

6.19 <.0001** 2.31

1.38

3.69

0.14

0.04

3.55 0.0007**

KK = 19.89 KK = 16.54

Lampiran 16. Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan

nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas kebun karet pada

Percobaan 2

SK

db

Bobot kering tajuk

___________________________

Bobot kering bibit

____________________________

Nisbah tajuk akar

______________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat Galat

Total

17 36

53

157.81 26.11

183.92

9.28 0.73

12.80

<.0001** 249.88 52.15

302.03

14.70 1.45

10.15 <.0001**

1.22 2.77

3.99

0.07 0.08

0.93 0.5463tn

KK = 19.73 KK = 20.80 KK = 15.93

Lampiran 17. Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di

media tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2

SK

db

Kadar P

_________________________

Serapan P

___________________________

Infeksi akar

_________________________ Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat Total

17

36 53

0.56

0.26 0.82

0.03

0.01

4.52 <.0001** 5.83

1.37 7.20

0.34

0.38

8.99 <.0001** 23112.8

3 8102.00

31214.8

3

1359.58

225.06

6.04 <.0001**

KK = 19.27 KK = 21.39 KK = 22.71

Lampiran 18. Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah

daun di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2

SK

db

Tinggi bibit

_________________________

Diameter batang

___________________________

Jumlah daun

_________________________ Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat

Total

17

36

53

829.24

391.05

1220.29

92.14

19.55

4.71 0.0019** 625.33 69.48

57.33

682.66

24.24

2.87

<.0001** 19.47

13.33

32.80

2.16

0.67

3.24 0.0136*

KK = 9.40 KK = 7.47 KK = 12.01

Lampiran 19. Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media

tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2

SK

db Luas daun

__________________________________________ Bobot kering akar

_______________________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat Total

17

36 53

1888055.61

133060.59 2021116.19

209783.96

6653.03

31.53 <.0001** 5.47

2.60 8.07

0.61

0.13

4.68 0.0020**

KK = 9.72 KK = 17.86

Page 198: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

172

Lampiran 20. Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan

nisbah tajuk akar di media tanah gambut bekas hutan pada

Percobaan 2

SK

db

Bobot kering tajuk

___________________________

Bobot kering bibit

____________________________

Nisbah tajuk akar

______________________ Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat

Total

17

36

53

128.53

39.67

168.20

14.28

1.98

7.20 0.0001** 340.81

98.95

439.76

37.87

4.95

7.65 <.0001** 3.28

1.96

5.24

0.36

0.10

3.72 0.0069**

KK = 15.18 KK = 16.32 KK = 19.70

Lampiran 21. Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di

media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2

SK

db

Kadar P

_________________________

Serapan P

___________________________

Infeksi akar

_________________________

Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F

Isolat

Galat

Total

17

36

53

0.20

0.07

0.27

0.02

0.003

5.92 0.0005** 47.80

8.00

55.80

5.31

0.40

13.2

8

<.0001** 19745.3

3

2215.33 21960.6

6

2193.93

110.77

19.8

1

<.0001**

KK = 23.44 KK = 25.09 KK = 18.04

Lampiran 22. Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan bobot kering

bibit di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3

SK

db Tinggi bibit

__________________________________ Bobot kering bibit

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1 1

1

1 1

1

2455.04 205.01

127.90

3387.01 75.00

133.80

2455.04 205.01

127.90

3387.01 75.00

133.80

37.51 3.13

1.95

51.75 1.15

2.04

<.0001** 0.0958tn

0.1812tn

<.0001** 0.3003tn

0.1720tn

2702.69 13.06

38.58

3246.46 45.36

306.48

2702.69 13.06

38.58

3246.46 45.36

306.48

197.23 0.95

2.82

236.92 3.31

22.36

<.0001** 0.3435tn

0.1128tn

<.0001** 0.0476*

0.0002**

Lampiran 23. Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah

daun pecah lidi di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3

SK

db

Diameter batang __________________________________

Jumlah daun pecah lidi __________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1 1

1

1 1

1

2094.5 346.69

192.60

2633.44 545.40

80.50

2094.5 346.69

192.60

2633.44 545.40

80.50

216.18 35.78

19.88

271.80 56.29

8.31

<.0001** <.0001**

0.0004**

<.0001** <.0001**

0.0108*

5.40 0.33

0.27

7.35 0.08

0.82

5.40 0.33

0.27

7.35 0.08

0.82

9.97 0.62

0.49

13.57 0.15

1.51

0.0061** 0.4442tn

0.4930tn

0.0020** 0.7001tn

0.2372tn

Page 199: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

173

Lampiran 24. Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan

fosfatase asam di akar pada media tanah PMK bekas hutan

(Percobaan 3)

SK

db

Bobot kering akar

__________________________________

Fosfatase asam di akar

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1 1

1

1 1

1

58.54 4.32

0.15

114.47 3.77

19.90

58.54 4.32

0.15

114.47 3.77

19.90

39.42 2.91

0.10

77.08 2.54

13.40

<.0001** 0.1074tn

0.7556tn

<.0001** 0.1307tn

0.0021**

79752.90 5224.93

6089.50

133421.02 23704.74

6071.59

79752.90 5224.93

6089.50

133421.02 23704.74

6071.59

66.99 4.39

5.12

112.07 19.91

5.10

<.0001** 0.0524tn

0.0380*

<.0001** 0.0004**

0.0382*

Lampiran 25. Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar K dan kadar P pada

media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Kadar K __________________________________

Kadar P __________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1 Kubik dalam M1

1

1 1

1

1 1

6.77

0.85 0.06

20.18

0.22 0.00

6.77

0.85 0.06

20.18

0.22 0.00

35.16

4.42 0.30

104.80

1.19 0.00

<.0001**

0.0518tn 0.5940tn

<.0001**

0.2922tn 0.9857tn

0.09

0.003 0.002

0.35

0.0003 0.02

0.09

0.003 0.002

0.35

0.0003 0.02

32.60

0.89 0.85

121.49

0.12 6.52

<.0001**

0.3603tn 0.3692tn

<.0001**

0.7366tn 0.0213*

Lampiran 26. Sidik ragam uji ortogonal polinomial jumlah daun dan bobot kering

tajuk pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Jumlah daun __________________________________

Bobot kering tajuk __________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1

1 1

1

64.07

0.33

4.27

6.07 0.08

0.15

64.07

0.33

4.27

6.07 0.08

0.15

153.76

0.80

10.24

14.44 0.20

0.36

<.0001**

0.3844tn

0.0056**

0.0016** 0.6607tn

0.5569tn

1965.74

2.36

43.52

2141.73 22.97

170.14

1965.74

2.36

43.52

2141.73 22.97

170.14

195.14

0.23

4.32

212.62 2.28

16.89

<.0001**

0.6352tn

0.0541tn

<.0001** 0.1505tn

0.0008**

Lampiran 27. Sidik ragam uji ortogonal polinomial luas daun dan EPA pada

media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Luas daun

__________________________________

EPA

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

8830909.41

70.23

835697.26 11213023.3

4

896.66 895630.72

8830909.41

70.23

835697.26 11213023.3

4

896.66 895630.72

1699.87

0.01

160.86 2158.41

0.17

172.40

<.0001**

0.9089tn

<.0001** <.0001**

0.6833tn

<.0001**

3.97

0.30

0.17 26.22

1.93

1.53

3.97

0.30

0.17 26.22

1.93

1.53

60.13

4.61

2.59 397.07

29.23

23.12

<.0001**

0.0474*

0.1272tn <.0001**

<.0001**

0.0002

Page 200: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

174

Lampiran 28. Sidik ragam uji ortogonal polinomial fosfatase asam di tanah dan

serapan K pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Fosfatase asam di tanah

__________________________________

Serapan K

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1 1

1

1

1

1

270.16 11.18

14.26

1746.75

89.36

13.57

270.16 11.18

14.26

1746.75

89.36

13.57

72.12 2.98

3.81

466.30

23.85

3.62

<.0001** 0.1033tn

0.0687tn

<.0001**

0.0002**

0.0752tn

8.23 0.00

0.06

16.44

0.17

0.62

8.23 0.00

0.06

16.44

0.17

0.62

131.52 0.00

0.96

262.43

2.68

9.90

<.0001** 0.9819tn

0.3406tn

<.0001**

0.1209tn

0.0063**

Lampiran 29. Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan nisbah tajuk

akar pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Serapan P

__________________________________

Nisbah tajuk akar

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

0.064

0.0002

0.0001 0.17

0.001

0.001

0.064

0.0002

0.0001 0.17

0.001

0.001

68.98

0.21

0.18 186.88

1.58

1.18

<.0001**

0.6492tn

0.6748tn <.0001**

0.2263tn

0.2930tn

0.36

0.09

8.41 0.00

0.23

0.39

0.36

0.09

8.41 0.00

0.23

0.39

0.18

0.04

4.30 0.00

0.12

0.20

0.6749tn

0.8368tn

0.0545tn 0.9903tn

0.7353tn

0.6594tn

Lampiran 30. Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina

pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Glisina-betaina

__________________________________

prolina

__________________________________ Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1 1

1

1

1

0.67

3.83 15.13

25.42

2.50

2.41

0.67

3.83 15.13

25.42

2.50

2.41

0.02

0.10 0.39

0.66

0.07

0.06

0.8961tn

0.7561tn 0.5390tn

0.4277tn

0.8017tn

0.8054tn

62.26

0.08 4.38

136.88

16.93

0.01

62.26

0.08 4.38

136.88

16.93

0.01

13.08

0.02 0.92

28.76

3.56

0.00

0.0023**

0.8978tn 0.3514tn

<.0001**

0.0776tn

0.9708tn

Lampiran 31. Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada

media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

ABA __________________________________________________________________________

_

Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1

1

1

1

2060.33

0.04

0.55

2226.03

71.01

0.03

2060.33

0.04

0.55

2226.03

71.01

0.03

1055.74

0.02

0.28

1140.65

36.39

0.02

<.0001**

0.8842tn

0.6017tn

<.0001**

<.0001**

0.8956tn

Page 201: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

175

Lampiran 32. Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan jumlah daun

pecah lidi di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3

SK

db

Tinggi bibit

__________________________________

Jumlah daun pecah lidi

__________________________________ Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

3270.82

3.20

106.67 3152.30

29.14

0.99

3270.82

3.20

106.67 3152.30

29.14

0.99

62.96

0.06

2.05 60.68

0.56

0.02

<.0001**

0.8070tn

0.1711tn <.0001**

0.4647tn

0.8920tn

35.27

0.33

5.40 16.02

2.08

0.82

35.27

0.33

5.40 16.02

2.08

0.82

47.02

0.44

7.20 21.36

2.78

1.09

<.0001**

0.5145tn

0.0163* 0.0003**

0.1150tn

0.3122tn

Lampiran 33. Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah

daun di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3

SK

db

Diameter batang

__________________________________

Jumlah daun

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

2906.50

130.68

3.17 2074.46

0.33

3.55

2906.50

130.68

3.17 2074.46

0.33

3.55

135.22

6.08

0.15 96.51

0.02

0.17

<.0001**

0.0254*

0.7058tn <.0001**

0.9024tn

0.6897tn

40.02

0.08

4.82 25.35

0.75

0.15

40.02

0.08

4.82 25.35

0.75

0.15

21.34

0.04

2.57 13.52

0.40

0.08

0.0003**

0.8357tn

0.1285tn 0.0020**

0.5360tn

0.7809tn

Lampiran 34. Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan kadar K

pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Bobot kering akar

__________________________________

Kadar K

__________________________________ Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1 1

1

1

1

138.76

11.04 16.23

451.86

10.74

0.20

138.76

11.04 16.23

451.86

10.74

0.20

103.70

8.25 12.13

337.69

8.02

0.15

<.0001**

0.0111* 0.0031**

<.0001**

0.0120*

0.7059tn

1.71

0.00 0.00

14.59

1.03

0.05

1.71

00.0 0.00

14.59

1.03

0.05

7.52

0.00 0.00

64.31

4.54

0.24

0.0144*

0.9747tn 0.9912tn

<.0001**

0.0490*

0.6302tn

Lampiran 35. Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar P dan bobot kering tajuk

pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Kadar P

__________________________________

Bobot kering tajuk

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

0.44

0.01

0.00 0.35

0.008

0.03

0.44

0.01

0.00 0.35

0.008

0.03

102.93

3.10

0.01 80.42

1.92

7.21

<.0001**

0.0975tn

0.9252tn <.0001**

0.1853tn

0.0163*

6342.72

1.03

369.79 10653.31

67.05

90.51

6342.72

1.03

369.79 10653.31

67.05

90.51

469.52

0.08

27.37 788.61

4.96

6.70

<.0001**

0.7864tn

<.0001** <.0001**

0.0406*

0.0198*

Page 202: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

176

Lampiran 36. Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering bibit dan serapan

K pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Bobot kering bibit

__________________________________

Serapan K

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1 1

1

1

1

1

8357.75 5.33

540.94

15493.25

131.44

99.16

8357.75 5.33

540.94

15493.25

131.44

99.16

493.82 0.32

31.96

915.42

7.77

5.86

<.0001* 0.5823tn

<.0001**

<.0001**

0.0132**

0.0278

11.84 0.05

0.50

57.44

1.80

0.50

11.84 0.05

0.50

57.44

1.80

0.50

84.48 0.34

3.60

409.94

12.85

3.54

<.0001** 0.5695tn

0.0759tn

<.0001**

0.0025**

0.0781tn

Lampiran 37. Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan luas daun pada

media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Serapan P

_________________________________

Luas daun

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

0.43

0.02

0.004 1.22

0.02

0.003

0.43

0.02

0.004 1.22

0.02

0.003

126.42

7.16

1.14 358.71

5.13

0.95

<.0001**

0.0166*

0.3013tn <.0001**

0.0378*

0.3430tn

37600192.61

209777.61

1292741.37 58531714.38

620051.67

356829.61

37600192.6

1

209777.61 1292741.37

58531714.3

8 620051.67

356829.61

168.28

0.94

5.79 261.96

2.78

1.60

<.0001**

0.3470tn

0.0286* <.0001**

0.115tn

0.2244tn

Lampiran 38. Sidik ragam uji ortogonal polinomial nisbah tajuk akar dan EPA

pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Nisbah tajuk akar

__________________________________

EPA

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

8.05

1.69

0.16 0.00

0.14

0.13

8.05

1.69

0.16 0.00

0.14

0.13

22.10

4.65

0.43 0.00

0.40

0.35

0.0002**

0.0467*

0.5228tn 0.9602tn

0.5376tn

0.5633tn

3.82

0.35

0.04 6.03

0.004

0.32

3.82

0.35

0.04 6.03

0.004

0.32

148.16

13.50

1.56 233.86

0.17

12.58

<.0001**

0.0021**

0.2300tn <.0001**

0.6877tn

0.0027**

Lampiran 39. Sidik ragam uji ortogonal polinomial fosfatase asam di akar dan

fosfatase asam di tanah pada media tanah gambut bekas hutan

(Percobaan 3)

SK

db

Fosfatase asam di akar

__________________________________

Fosfatase asam di tanah

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1 Kubik dalam M1

1

1 1

1

1 1

53298.85

2193.86 2704.78

127481.53

101.12 21494.98

53298.85

2193.86 2704.78

127481.53

101.12 21494.98

40.98

1.69 2.08

98.01

0.08 16.53

<.0001**

0.2124tn 0.1686tn

<.0001**

0.7839tn 0.0009**

87.97

0.08 1.40

74.74

5.89 1.95

87.97

0.08 1.40

7.74

5.89 1.95

64.12

0.06 1.02

54.48

4.30 1.42

<.0001**

0.8081tn 0.3277tn

<.0001**

0.0547tn 0.2501tn

Page 203: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

177

Lampiran 40. Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina

pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

Glisina-betaina

__________________________________

prolina

__________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0

Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1 1

1

1

1

1

47.80 0.01

9.87

244.00

18.86

1.30

47.80 0.01

9.87

244.00

18.86

1.30

13.99 0.00

2.89

71.42

5.52

0.38

0.0018** 0.9651tn

0.1085tn

<.0001**

0.0320*

0.5453tn

881.52 398.03

79.62

1199.49

614.83

134.99

881.52 398.03

79.62

1199.49

614.83

134.99

136.62 61.69

12.34

185.89

95.29

20.92

<.0001** <.0001**

0.0029**

<.0001**

<.0001**

0.0003**

Lampiran 41. Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada

media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK

db

ABA

________________________________________________________________________

Kontras KT Fhit. Pr>F

Linear dalam M0

Kuadratik dalam M0

Kubik dalam M0 Linear dalam M1

Kuadratik dalam M1

Kubik dalam M1

1

1

1 1

1

1

1858.18

8.93

9.61 2259.34

0.35

1.99

1858.18

8.93

9.61 2259.34

0.35

1.99

1466.46

7.05

7.59 1783.06

0.28

1.57

<.0001**

0.0173*

0.0141* <.0001**

0.6065tn

0.2286tn

Lampiran 42. Sidik ragam kandungan prolina daun sebelum cekaman kekeringan

di media tanah PMK dan tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)

SK db JK KT Fhit Pr>F

Di tanah PMK bekas hutan

Perlakuan mikoriza 1 0.022338 0.02233820 1.80 0.1929tn

Galat 22 0.272424 0.01238293

Total 23 0.294763

Di tanah gambut bekas hutan

Perlakuan 1 0.211003 0.211003 4.09 0.0556tn

Galat 22 1.135975 0.051635

Total 23 1.346978

Page 204: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

178

Tabel Lampiran 43. Analisis tanah PMK bekas kebun karet sebelum percobaan

No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat

Penelitian Tanah (1983)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

Pasir (%)

Debu (%)

Liat (%)

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray

Ca (me/100 g)

Mg (me/100 g)

K (me/100 g)

Na (me/100 g)

KTK (me/100 g)

Kejenuhan Basa (%)

Al (me/100 g)

H (me/100 g)

Fe (me/100 g)

Cu (me/100 g)

Zn (me/100 g)

Mn (me/100 g)

9.17

12.51

78.32

4.39

2.13

0.18

1.00

3.38

1.15

1.13

0.61

18.03

34.87

1.66

0.29

37.10

6.88

15.16

30.30

Sangat masam

Sedang

Rendah

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Sangat tinggi

Sedang

Sedang

Rendah

Keterangan : *) dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah IPB

Page 205: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

179

Lampiran 44. Analisis tanah PMK bekas hutan sebelum percobaan

No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat

Penelitian Tanah (1983)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

Pasir (%)

Debu (%)

Liat (%)

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray

Ca (me/100 g)

Mg (me/100 g)

K (me/100 g)

Na (me/100 g)

KTK (me/100 g)

Kejenuhan Basa (%)

Al (me/100 g)

H (me/100 g)

Fe (me/100 g)

Cu (me/100 g)

Zn (me/100 g)

Mn (me/100 g)

10.88

14.72

74.40

4.89

2.05

0.16

4.00

2.72

0.88

1.28

0.43

15.45

34.32

5.57

0.36

38.24

7.16

19.08

38.80

Masam

Sedang

Rendah

Sangat rendah

Rendah

Rendah

Sangat tinggi

Sedang

Rendah

Rendah

Keterangan : *) dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah IPB

Page 206: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

180

Lampiran 45. Analisis tanah PMK bekas hutan setelah percobaan 3

No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat

Penelitian Tanah (1983)

Perlakuan M0C1

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.11

0.63

0.10

4.61

1.06

1.10

0.26

Sangat masam

Sangat rendah

Rendah

Sangat rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M0C2

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.06

0.65

0.06

3.72

1.17

1.32

0.38

Sangat masam

Sangat rendah

Sangat rendah

Sangat rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M0C3

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.14

0.15

0.09

5.16

0.97

1.83

0.13

Sangat masam

Sangat rendah

Sangat rendah

Sangat rendah

Tinggi

Perlakuan M0C4

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.55

0.47

0.10

9.88

0.76

0.88

0.29

Masam

Sangat rendah

Rendah

Sangat rendah

Tinggi

Page 207: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

181

Lampiran 45. Lanjutan

Perlakuan M1C1

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.10

0.49

0.08

12.70

1.48

1.33

0.10

Sangat masam

Sangat rendah

Sangat rendah

Rendah

Ssangat tinggi

Perlakuan M1C2

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.04

0.23

0.09

9.17

1.53

1.27

0.44

Sangat masam

Sangat rendah

Sangat rendah

Sangat rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M1C3

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

3.99

0.32

0.18

11.27

1.37

1.93

0.11

Sangat masam

Sangat rendah

Rendah

Rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M1C4

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.32

0.62

0.11

7.78

1.12

0.99

0.27

Sangat masam

Sangat rendah

Rendah

Sangat rendah

Sangat tinggi

Keterangan : *) Dianalisis di Laboratorium Tanah Universitas Jambi

Page 208: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

182

Lampiran 46. Analisis tanah gambut bekas hutan sebelum percobaan

No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat

Penelitian Tanah (1983)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

Pasir (%)

Debu (%)

Liat (%)

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I

Ca (me/100 g)

Mg (me/100 g)

K (me/100 g)

Na (me/100 g)

KTK (me/100 g)

Kejenuhan Basa (%)

Al (me/100 g)

H (me/100 g)

Fe (me/100 g)

Cu (me/100 g)

Zn (me/100 g)

Mn (me/100 g)

-

-

-

3.90

40.15

0.28

1.50

6.31

1.23

0.28

0.56

33.85

24.76

2.11

0.92

89.40

21.32

9.48

22.40

Sangat masam

Sangat tinggi

Sedang

Sangat rendah

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Tinggi

Rendah

Keterangan : *) dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah IPB

Page 209: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

183

Lampiran 47. Analisis tanah gambut bekas hutan setelah percobaan 3

No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat

Penelitian Tanah (1983)

Perlakuan M0C1

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.30

25.03

1.22

9.36

1.07

0.77

0.88

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Sangat rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M0C2

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.19

22.05

1.13

7.70

0.86

1.55

0.70

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Sangat rendah

Tinggi

Perlakuan M0C3

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.18

16.33

1.32

13.44

1.27

0.77

0.98

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M0C4

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.30

25.97

1.39

9.71

1.37

1.43

0.41

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Sangat rendah

Sangat tinggi

Page 210: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

184

Lampiran 47. Lanjutan

Perlakuan M1C1

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.61

18.79

1.28

7.13

1.17

0.72

0.40

Masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Sangat rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M1C2

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.32

26.42

1.40

11.99

1.78

0.99

0.47

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M1C3

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.33

24.30

1.38

11.17

1.47

0.94

0.72

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Rendah

Sangat tinggi

Perlakuan M1C4

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

pH H2O

C-organik

N-total

P Bray I (ppm)

K (me/100 g)

Al-dd (me/100 g)

H-dd (me/100 g)

4.42

21.20

1.34

9.18

1.73

0.99

0.52

Sangat masam

Sangat tinggi

Sangat tinggi

Sangat rendah

Sangat tinggi

Keterangan : *) Dianalisis di Laboratorium Tanah Universitas Jambi

Page 211: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

185

Lampiran 48. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas

hutan

Perlakuan Cekaman kekeringan

C1

C2

C3

C4

Uji

ortogonal

polinomial

Tinggi Bibit (cm)

M0 70.17 59.80 55.77 28.87 Linear**

M1 89.80 66.20 60.13 34.13 Linear**

Jumlah Daun

M0 10.00 9.33 5.67 4.33 Linear**

M1 10.33 9.67 9.33 8.33 Linear**

Jumlah Daun Pecah Lidi

M0 1.67 1.00 0.00 0.00 Linear**

M1 2.33 1.33 1.33 0.00 Linear**

Diameter Batang (mm)

M0 46.83 38.60 37.53 7.80 Kuadratik**

M1 54.50 50.10 43.80 12.43 Kuadratik**

Luas daun (cm2)

M0 2694.93 1460.41 1401.23 157.03 Linear**

M1 3221.37 1885.35 1753.81 383.21 Linear**

Bobot Kering Tajuk (g)

M0 38.35 24.38 18.04 2.30 Linear**

M1 43.91 27.99 26.15 4.69 Linear**

Bobot Kering Akar (g)

M0 6.30 5.73 3.45 0.48 Linear**

M1 10.53 6.59 7.28 1.09 Linear**

Nisbah Tajuk/Akar

M0 6.17 4.34 6.44 4.95 tn

M1 4.20 4.24 3.75 4.35 tn

Bobot Kering Bibit (g)

M0 44.65 30.107 21.495 2.78 Linear**

M1 54.44 34.579 33.427 5.79 Kuadratik*

Page 212: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

186

Lampiran 49. Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas

hutan

Perlakuan Mikoriza

Perlakuan Cekaman kekeringan

C1

C2

C3

C4

Uji

ortogonal

polinomial

Kadar P (%)

M0 0.73 0.49 0.32 0.21 Linear**

M1 0.89 0.78 0.49 0.48 Linear**

Serapan P (g/tan)

M0 0.21 0.13 0.07 0.01 Linear**

M1 0.35 0.20 0.12 0.02 Linear**

Kadar K (%)

M0 6.22 6.20 5.35 4.27 Linear**

M1 8.11 6.67 5.52 4.63 Linear**

Serapan K (g/tan)

M0 2.38 1.52 0.97 0.10 Linear**

M1 3.56 1.87 1.44 0.22 Linear**

Asam fosfatase akar (umol/g bb)

M0 442.02 370.54 358.06 203.12 Linear**

M1 513.41 467.75 433.79 210.35 Kuadratik**

Asam fosfatase tanah (umol/g bk)

M0 26.63 26.27 19.10 14.87 Linear**

M1 48.53 30.38 22.44 15.20 Kuadratik**

ABA (ng/g)

M0 10.26 22.49 33.63 45.62 Linear**

M1 16.91 24.13 36.45 53.41 Kuadratik**

Glisin-betain (umol/g bb)

M0 24.29 23.20 25.99 22.64 tn

M1 25.40 26.59 26.68 29.70 tn

Prolin (umol/g bb) Sebelum perlakuan

M0 0.346 -

M1 0.407 -

Prolin (umol/g bb) setelah perlakuan

M0 6.74 7.531 11.190 12.31 Linear**

M1 16.35 17.036 19.994 25.43 Linear**

EPA (g/L)

M0 1.89 1.48 1.29 0.24 Kuadratik*

M1 4.80 2.04 1.67 0.52 Kuadratik**

Infeksi Akar (%) 84.67 85.00 91.67 95.33 Kuadratik**

Page 213: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

187

Lampiran 50. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan

mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas

hutan

Perlakuan Mikoriza

Perlakuan Cekaman kekeringan

C1

C2

C3

C4

Uji

ortogonal

polinomial

Tinggi Bibit (cm)

M0 92.33 83.93 61.17 50.70 Linear** M1 102.27 85.17 69.90 59.03 Linear**

Diameter Batang (mm)

M0 62.53 56.13 40.83 21.23 Kuadratik*

M1 78.53 66.13 55.83 42.77 Linear**

Jumlah Daun

M0 12.33 12.00 8.67 8.00 Linear** M1 13.67 12.67 11.67 9.67 Linear**

Jumlah Daun Pecah Lidi

M0 4.67 4.00 0.67 0.67 Linear**

M1 4.67 4.00 3.67 1.33 Linear**

Luas Daun (cm2)

M0 5625.17 4364.62 1900.66 1168.99 Linear** M1 7610.34 4871.87 3359.20 1529.98 Linear**

Bobot Kering tajuk (g)

M0 71.76 60.55 25.09 15.04 Linear**

M1 108.08 81.24 61.96 25.67 Kuadratik*

Bobot Kering Akar (g)

M0 12.29 13.24 7.08 4.20 Kuadratik* M1 22.09 18.29 13.12 5.51 Kuadratik*

Nisbah tajuk/akar

M0 5.86 4.58 3.54 3.76 Kuadratik*

M1 4.89 4.48 4.75 4.78 tn

Bobot Kering Bibit (g)

M0 84.05 73.79 32.17 19.24 Linear*

M1 130.17 99.51 75.08 31.18 Kuadratik**

Page 214: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

188

Lampiran 51. Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza

dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan

Perlakuan Mikoriza

Perlakuan Cekaman kekeringan

C1

C2

C3

C4

Uji

ortogonal

polinomial

Kadar P (%)

M0 0.73 0.49 0.32 0.21 Linear**

M1 0.89 0.78 0.49 0.48 Linear**

Serapan P (g/tan)

M0 0.52 0.30 0.08 0.03 Linear**

M1 0.96 0.63 0.30 0.12 Linear**

Kadar K (%)

M0 4.11 3.78 3.45 3.10 Linear**

M1 6.40 4.70 3.90 3.38 Kuadratik*

Serapan K (g/tan)

M0 2.95 2.30 0.86 0.47 Linear**

M1 6.92 3.82 2.41 0.87 Kuadratik**

Asam fosfatase akar (umol/g bb)

M0 402.47 342.67 242.78 237.07 Linear**

M1 571.02 548.73 342.98 332.30 Linear**

Asam fosfatase tanah (umol/g bk)

M0 16.85 14.87 11.53 9.89 Linear**

M1 18.65 18.54 15.22 12.31 Linear**

ABA (ng/g)

M0 7.10 18.30 27.03 41.49 Kuadratik*

M1 7.57 20.23 31.41 44.75 Linear**

Glisin-betain (umol/g bb)

M0 24.32 24.53 28.75 28.86 Linear**

M1 22.55 23.48 28.40 34.35 Kuadratik*

Prolin Sebelum Perlakuan (umol/g bb)

M0 -

M1 0.509 -

Prolin Setelah perlakuan (umol/g bb)

M0 6.47 7.23 7.98 31.77 Kuadratik**

M1 8.24 8.87 8.81 38.07 Kuadratik**

EPA (g//L)

M0 3.14 2.19 1.84 1.57 Kuadratik**

M1 4.33 3.44 3.25 2.28 Linear**

Infeksi Akar (%) 91.00 92.67 93.00 95.67 Kuadratik**

Page 215: TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER

189