plugin studi ketersediaan dan serapan hara mikro serta hasil beberapa varietas kedelai pada tanah...
TRANSCRIPT
STUDI KETERSEDIAAN DAN SERAPAN HARA MIKRO SERTA HASILBEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT YANG
DIAMELIORASI ABU JANJANG KELAPA SAWIT
ARTIKEL
OLEH
INTAN SARI0921203004
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ANDALAS
2011
STUDY OF MICRONUTRIENT AVAILIBILITY AND UPTAKE AND SOYBEANVARIETIES RESULTS ON PEAT SOIL WAS APLICATED OIL PALM BUNCH ASH
Oleh
Intan Sari
0921203004
Supervised by Dr. Ir. Teguh Budi Prasetyo, MS. and Dr. Ir. Etti Swasti, MS
Abstract
Research of oil palm bunch ash as amelioran in increasing the micro nutrientsavailability and uptake and results of soybean varieties on peat soil was carried outfrom August 2010 until February 2011 at the home wire Islamic Indragiri University,Faculty of Agriculture Tembilahan, Riau Province. Soil and plant analysis performedat the soil Laboratory, Andalas University, Padang. The purpose of this study was todetermine the optimum dose of AJKS in improving micro-nutrient availability anduptake of Cu, Zn, Fe and Mn as well as the results Tanggamus, Slamet andAnjasmoro and to determine the interaction between AJKS dose and soybeanvarieties on peat soil which AJKS amelioran. This study uses a split plot design withmain plots: V1 = Tanggamus , V2 = Slamet V3 = Anjasmoro. Subplot are : A0 =Without AJKS, A1 = 300 kg/ha AJKS, A2 = 600 kg/ha AJKS and A3 = 900 kg / haAJKS with 3 replications. The results can be concluded that the granting of oil palmbunch ash (AJKS) increases soil pH and availability of Cu, Zn, Fe and Mn peat soiland there is interaction between dose AJKS and soybean varieties on uptake of Cu,Zn and Fe on the roots and canopy Tanggamus , Slamet and Anjasmoro, number ofpods, percentage of empty pods, yield/pot of dry beans and dry stover, while the mainfactor giving the dose AJKS and soybean varieties significantly affect Mn uptake inroots and canopy Tanggamus, Slamet and Anjasmoro, plant height and root ratio andcanopies. Provision of 900 kg / ha AJKS gives the highest yield of all the parameterstested in this study. Anjasmoro are susceptible varieties but the response to AJKSapplied because Anjasmoro obtain the highest seed weight and produce weight drystover more than Tanggamus and Slamet.
Keywords : Oil palm bunch ash, micro nutrient availability n uptake, soybean
variety, peat soils
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan terpenting setelah padi dan
jagung. Tanah gambut cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian mengingat
arealnya yang masih tersedia cukup luas yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut
BB Litbang SDLP (2008) dalam Agus dan Subiksa (2008), Indonesia memiliki lahan
gambut terluas di antara negara tropis yaitu sekitar 21 juta ha.
Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh di tanah
gambut. Salah satu faktor penghambat budidaya tanaman di tanah gambut adalah
rendahnya ketersediaan unsur hara mikro. Rendahnya kandungan unsur hara mikro
pada tanah gambut disebabkan karena unsur hara mikro berasal dari tanah mineral
sementara tanah gambut adalah tanah organik. Kandungan bahan organik yang tinggi
pada tanah gambut juga menyebabkan rendahnya ketersediaan hara mikro karena
dekomposisi bahan organik pada keadaan anaerob pada tanah gambut menghasilkan
asam-asam organik yang menurut Rachim (1995) menyebabkan hara mikro
membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia bagi
tanaman.
Penambahan unsur hara mikro dapat dilakukan dengan pemberian amelioran.
Abu janjang kelapa sawit () dapat digunakan sebagai salah satu amelioran di tanah
gambut karena mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap baik makro maupun
mikro, mampu meningkatkan pH tanah dan memiliki kejenuhan basa yang tinggi
dimana kandungan kationnya bisa mengusir senyawa beracun apabila
ketersediaannya mencukupi.
Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O, 7 % P2O5, 9 %
CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200 ppm
Fe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu (Bangka, 2009). Soepardi (1983)
menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan jumlah ketersediaan unsur hara P,
K, Ca dan Mg serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman.
Abu janjang kelapa sawit bisa berasal dari hasil limbah padat janjang kosong
kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di dalam incenerator di pabrik kelapa
sawit dan bisa juga dengan melakukan pembakaran secara manual. Limbah janjang
kosong merupakan limbah dengan volume yang paling banyak dari proses
pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik Kelapa Sawit yang menurut Surono
(2009) mencapai 21% dari TBS yang diolah.
Varietas kedelai yang biasa digunakan pada tanah gambut adalah varietas
yang biasa di tanam di lahan pasang surut bukan varietas spesifik lokasi tanah
gambut. Hal ini dikarenakan tanah gambut merupakan salah satu jenis tanah yang
terdapat di lahan pasang surut yang umumnya tergenang atau permukaan air tanahnya
dangkal. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji oleh Sagala
(2010) di lahan pasang surut dengan budidaya jenuh air (BJA) menghasilkan
berturut-turut 105; 96; 40 dan 42 buah polong/tanaman pada kedalaman muka air 20
cm di bawah permukaan tanah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Februari 2011,
bertempat di rumah kawat Fakultas Pertanian Universitas Islam Indragiri Tembilahan,
Kecamatan Tembilahan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Analisis
tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Andalas, Padang.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut, benih edelai
varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro. Rhizogin, Urea (45 % N), SP36 (36 %
P2O5), KCl (50 % K2O), dolomit. Alat yang digunakan adalah polybag, cangkul,
meteran, alat tulis dan peralatan laboratorium.
3.3. Rancangan Percobaan
Penelitian ini mengunakan rancangan petak terpisah. Percobaan terdiri dari
dari 2 seri dimana seri pertama (I) dipergunakan untuk analisis tanah setelah inkubasi
dan analisis jaringan tanaman pada saat fase vegetatif maksimum untuk melihat
ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut dan serapan hara Cu, Zn, Fe
dan Mn oleh beberapa varietas kedelai yang diameliorasi . Seri kedua (II)
dipergunakan untuk melihat pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai yang
diameliorasi .
Petak utama adalah 3 varietas kedelai (1 varietas toleran lahan pasang surut, 1
varietas toleran moderat lahan pasang surut dan 1 varietas peka lahan pasang surut)
yang terdiri dari :
V1 = varietas Tanggamus (toleran)
V2 = varietas Slamet (moderat)
V3 = varietas Anjasmoro (peka)
Anak petak adalah 4 dosis pemberian yang terdiri dari :
A0 = Tanpa perlakuan = 0 g / polybag
A1 = 300 kg /ha = 2,5 g / polybag
A2 = 600 kg /ha = 5,0 g / polybag
A3 = 900 kg /ha = 7,5 g / polybag
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji F. Apabila
memperlihatkan hasil berbeda nyata, dilanjutkan dengan DNRMT (Duncan’s New
Multiple Range Test). Penempatan masing–masing perlakuan dilakukan secara acak.
Denah penempatan satuan percobaan di rumah kawat disajikan pada Lampiran 4.
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Tanah
Tanah diambil secara bulk composite pada kedalaman 0-20 cm, kemudian
membersihkannya dari akar dan kotoran yang ada. Tanah dikeringanginkan sampai
kondisi lembab. Tanah diambil sebanyak 500 g untuk analisis tanah awal, kemudian
menimbang tanah sebanyak 10 kg atau 2,5 kg setara kering mutlak dan
memasukkannya ke dalam masing-masing polybag dengan penghitungannya dengan
rumus = (% kadar air tanah x berat setara kering mutlak) + berat setara kering mutlak
yaitu (300 % x 2,5 kg) + 2,5 kg = 10 kg
2. Pemberian Abu Janjang Kelapa sawit
Mencampur rata dengan tanah gambut yang dipakai sebagai media sesuai
perlakuan yaitu tanpa perlakuan , 300 kg/ha , 600 kg/ha dan 900 kg/ha yang
dikonversikan ke dalam polybag dengan berat tanah 2,5 kg setara berat kering. Tanah
kemudian diinkubasi selama 2 minggu. Analisis kandungan hara dapat dilihat pada
Lampiran 5.
3. Pemupukan
Pemupukan dasar dilakukan setelah tanah diinkubasi selama 2 minggu dengan
takaran 50 kg Urea, 100 kg SP36 dan 50 kg KCl (Deptan, 2006) dengan cara tugal di
samping tanaman. Pemberian dolomit sebesar 500 kg/ha ditujukan untuk penambahan
hara Ca dan Mg. Semua pupuk diberikan sekaligus pada saat tanam.
4. Penanaman
Penanaman benih kedelai dengan cara tugal sedalam 3 cm sebanyak 2 biji
perlubang. Sebelum ditanam, benih diinukolasi terlebih dahulu dengan cara
mencampurkan rhizogin dengan perbandingan 7,5 g inukolan untuk 1 kg benih
kedelai (Pitojo, 2003). Benih dikeringanginkan dan segera ditanam.
5. Pemeliharaan dan penjarangan
Pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma dan hama penyakit.
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari sampai kondisi tanah lembab atau sekitar
kapasitas lapang. Pengendalian gulma dilakukan secara manual 1 minggu sekali atau
melihat kondisi gulma di polybag. Pencegahan hama dilakukan dengan
menyemprotkan Ripcord 3 EC dengan konsentrasi 1-2 cc/liter sedangkan pencegahan
penyakit dilakukan dengan menyemprotkan Dithane M-35 dengan konsentrasi 2 g/l,
dilakukan setiap 2 minggu sekali sejak tanaman berumur 14 hari setelah tanam.
Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 7 – 14 hari setelah tanam sedangkan
penjarangan dilakukan pada umur 14 hari setelah tanam (Soeprapto, 2002) dengan
mempertahankan 1 batang tanaman/ polybag .
6. Pemanenan
Panen pertama dilakukan pada percobaan seri pertama (I) yaitu pada fase
vegetatif maksimum dimana tanaman berumur sekitar 30 hari setelah tanam
(tergantung varietasnya) yang ditandai dengan keluarnya primordia bunga pertama
untuk ditentukan serapan haranya. Panen kedua untuk pengamatan komponen hasil
tanaman dilakukan pada percobaan seri kedua (II) yaitu fase generatif saat umur
tanaman sekitar 90 hari setelah tanam atau pada saat tanaman telah menunjukkan
tanda-tanda matang panen yaitu 1) polong mengalami perubahan warna dari hijau
menjadi kecoklatan dan 95 % polong sudah berubah warna, 2) batang dan daun telah
kering dan kadar air sekitar 15-18 % (Adisarwanto dan Widianto, 1999).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ketersediaan Hara Mikro Cu, Zn, Fe dan Mn Pada Tanah Gambut yang
Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)
Dari Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10.) dapat dilihat bahwa pemberian
AJKS berpengaruh nyata terhadap ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn. Pengaruh
pemberian AJKS terhadap ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut
setelah inkubasi selama 2 minggu serta hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5 %
ditampilkan pada Tabel 5.
Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa hara Cu, Zn, Fe dan Mn meningkat ketersediaannya
dengan pemberian AJKS dibandingkan tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis
pemberian AJKS secara keseluruhan meningkatkan ketersediaan unsur hara. Cuprum
mengalami peningkatan ketersediaan sebesar 2,17-19,73 ppm, Zn sebesar 7,08-13,89
ppm, Fe sebesar 11,71-31,12 ppm dan Mn sebesar 2,70-6,55 ppm dibanding tanpa
perlakuan AJKS. Ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn tertinggi diperoleh pada
perlakuan 900 kg AJKS/ha yaitu berturut-turut sebesar 36,48 ppm, 48,55 ppm, 78,36
ppm dan 23,41 ppm.
Tabel 5. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS) Terhadap Cu-dd,Zn-dd, Fe-dd dan Mn-dd Pada Tanah Gambut Setelah Inkubasi Selama 2 Minggu
Dosis AJKS(Kg/ha)
Cu Zn Fe Mn
ppm
0300600900
16,75c18,92c26,64b36,48a
34,66c41,74b46,94a48,55a
47,24d58,95c66,12b78,36a
16,86c19,56b22,94a23,41a
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pad taraf 5 % menurut uji DNMRT.
Kriteria ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut belum
ada, sehingga dalam penelitian ini digunakan rujukan kriteria ketersediaan hara mikro
secara umum (mungkin untuk tanah mineral). Menurut Rosmarkam dan Yuwono
(2002), kadar Cu dinyatakan rendah apabila berada pada kisaran 15-25 ppm dan
sedang pada kisaran 25-75 ppm. Kadar Cu pada pemberian AJKS 600 kg/ha adalah
26,46 ppm sehingga dapat dinyatakan telah mulai memasuki kriteria sedang begitu
juga dengan pemberian AJKS 900 kg/ha. Kadar Zn pada dosis 900 kg/ha AJKS masih
berada dalam kriteria rendah (48,55 ppm), menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002),
kadar Zn pada kriteria rendah berkisar antara 20-50 ppm. Kadar Fe akibat pemberian
300 kg/ha AJKS sudah mencapai kriteria sedang (78,36 ppm), menurut Rosmarkam
dan Yuwono (2002) kadar Fe pada kisaran 50-250 ppm termasuk kriteria sedang.
Mangan tersedia pada Pemberian 900 kg/ha AJKS diperoleh sebesar 32,41ppm,
berkemungkinan masih termasuk rendah karena kadar Mn dalam tanah menurut
Rosmarkam dan Yuwono (2002) berkisar antara 20 ppm sampai 1000 ppm.
Ketersediaan Cu yang telah mencapai kriteria sedang pada dosis 600 kg/ha
AJKS diduga karena sumbangan pelepasan Cu dari khelat Cu pada tanah. Bahan
pengompleks Cu pada tanah sampel penelitian diduga mempunyai berat molekul
rendah sehingga kestabilan Cu menjadi lebih rendah. Menurut Stevenson (1984),
kestabilan senyawa khelat dipengaruhi berat molekul dan bahan pengompleksnya.
Ketersediaan Fe sudah mencapai kriteria sedang pada pemberian dosis 300
kg/ha AJKS, hal ini berkaitan dengan ketersediaan Fe pada tanah awal memang tidak
begitu rendah. Hal ini diduga disebabkan karena tanah gambut yang dicobakan
lokasinya berada tidak jauh dari tanah Aluvial yang mengandung sulfat masam.
Diduga terjadi penyusupan Fe melalui pengaruh air pasang surut.Menurut
Rosmarkam dan Yuwono (2002), di Indonesia, kadar Fe pada tanah pasang surut dan
tanah gambut bervariasi sedang sampai sangat tinggi.
Peningkatan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn disebabkan karena adanya
penambahan hara Cu, Zn, Fe dan Mn dari pemberian AJKS. Dari hasil analisis
kandungan hara, ternyata AJKS yang digunakan pada percobaan ini selain
mengandung hara makro juga mengandung Cu sebesar 8,97 ppm, Zn sebesar 71,9
ppm, Mn sebesar 53,1 ppm dan Fe sebesar 188,2 ppm (Lampiran 5.). Menurut
Buckman dan Brady (1982), kelebihan abu antara lain mengandung semua unsur hara
secara lengkap baik mikro maupun makro (kecuali N karena pembakaran abu yang
sempurna menghilangkan unsur N). Penambahan AJKS dapat meningkatkan aktifitas
asam-asam organik sehingga terjadi pelarutan mineral – mineral yang berasal dari
AJKS sehingga ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah meningkat.
Pemberian dan Peningkatan dosis AJKS meningkatkan pH tanah gambut
(Tabel 3.) Menurut Winarso (2005), pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat pada
ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo dan Cl)
menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk ketersediaan hara
mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5,0-7,0; 5,0-7,0; 4,0-6,5 dan 5,0-6.
Sopher and Baird (1976) menyatakan bahwa pada range pH 4,0-6,0, peningkatan pH
tanah berpengaruh kuat terhadap penurunan ketersediaan Zn, Fe dan Mn tetapi tidak
begitu kuat mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu. Nilai pH tertinggi akibat
pemberian AJKS yang diperoleh pada percobaan ini baru mencapai 4,13 sehingga
diduga belum begitu besar untuk mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu, Zn, Fe
dan Mn.
Krauskoff (1972) dalam Suryanto (1991) mengemukakan bahwa bentuk Cu
dalam tanah sangat tergantung pada pH tanah. Pada pH agak tinggi Cu berbentuk ion
kupri (Cu2+) dan tidak mengendap. Pada pH yang lebih tinggi bentuk Cu(OH)+ lebih
dominan dalam larutan tanah. Akan tetapi pada pH alkalis terjadi pengendapan Cu
seperti bentuk CuO, Cu2O atau Cu(OH)2. Sebaliknya pada pH yang sangat rendah
sering diendapkan oleh adanya H2S dan membentuk CuS atau Cu2S. Hasil penelitian
Syukur, Radjagukguk dan Roesmarkam (1985) dalam Suryanto (1991) menunjukkan
peningkatan pH dri 4,5 menjadi 6,7 dapat menurunkan kelarutan Cu dari 6 ppm
menjadi kurang dari 2 ppm. Reuther (1957) dalam Suryanto (1991) menjelaskan
bahwa tanah akan mengikat Cu dengan kuat pada pH 7-8 sebaliknya ikatan ini
semakin melemah dengan menurunnya pH. Tisdale dan Nelson (1975) melaporkan
bahwa Cu dapat ditukar menurun dengan naiknya pH.
Menurut Seatz dan Jurinak (1957) dalam Suryanto (1991) pada kisaran pH
5.5-7.0 ketersediaan Zn menurun. Kelarutan ini meningkat dengan makin rendahnya
pH dan menurun dengan makin tingginya pH. Sims dan Patrick (1978) dalam
Suryanto (1991) melaporkan bahwa kenaikan pH dari 6,0 menjadi 7,5 dapat
menurunkan kandungan Zn sebanyak 39 %.
Kelarutan Fe dan Mn juga dipengaruhi pH tanah. Kathyal dan Rumawa (tahun
tidak tercantum) menjelaskan bahwa kelarutan Fe sangat tergantung kepada pH tanah,
terjadi penurunan kelarutan Fe sebesar kelipatan 1000 per unit peningkatan pH.
Tanaka dan Yoshida (1970) dalam Roesmarkam menyatakan bahwa mulai pada pH
6,5 sampai reaksi netral dan alkalis dapat terjadi kekahatan mangan dan sebaliknya
bila pH tanah rendah kemungkinan akan terjadi keracunan. Pada pH netral sampai
alkalis pengendapan Mn terjadi berupa MnCO3, oksida dan hidroksida Mn2+. Bentuk
hidroksida unsur ini yang bervalensi besar menurut Buckman dan Brady (1982) tidak
dapat larut untuk mensuplai ion yang diperlukan tanaman.
Contoh reaksi yang menerangkan hubungan penurunan kelarutan unsur hara
mikro (kation) dengan peningkatan pH tanah adalah sebagai berikut:
Zn++ + 2OH Zn(OH)2
Larut tidak larut
Jika pH naik, bentuk ion dari kation hara mikro yang semula mudah larut diubah
menjadi hidroksida atau oksida yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh
tanaman.
4.3. Serapan Hara Cu, Zn, Fe dan Mn Pada Beberapa Varietas Kedelai PadaTanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)
4.3.1 Serapan Hara Cu
a. Cu Pada Akar
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11.) menunjukkan bahwa dosis AJKS
dan varietas berbeda nyata terhadap serapan Cu pada akar tanaman kedelai. Interaksi
dosis pemberian AJKS dan varietas tanaman kedelai juga memberikan pengaruh yang
berbeda nyata. Hasil analisis statistik yang telah diuji lanjut dengan DNMRT pada
taraf 5 % disajikan pada Tabel 6.
Dari Tabel 6. terlihat bahwa semua varietas menunjukkan peningkatan angka
serapan Cu akar dibanding tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis AJKS
berkorelasi positip terhadap peningkatan serapan Cu akar Tanggamus (1,09 µg-7,46
µg), Slamet (0,97 µg-7,62 µg) dan Anjasmoro (4,22 µg-6,99 µg).
Peningkatan Serapan Cu akar pada semua varietas pada semua level dosis
AJKS karena adanya penambahan sumbangan hara Cu pada larutan tanah oleh AJKS
sehingga meningkatkan ketersediaan Cu yang dapat diserap oleh akar yang
selanjutnya akan ditransportasi ke tajuk melalui pembuluh xylem. Tanah gambut
yang tidak diberi AJKS tidak mendapat tambahan hara Cu dari AJKS hanya dari hasil
dekomposisi bahan organik pembentuk tanah itu sendiri. Tanah gambut miskin akan
ketersediaan Cu karena menurut Nyakpa et al. (1988) unsur mikro Cu berasal dari
pelapukan batuan sementara tanah gambut berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman
dan hewan ribuan tahun yang lalu. Bahan induk cenderung lebih mempengaruhi
kandungan akan unsur hara mikro daripada kandungan unsur hara makro.
Selain itu pada tanah yang berkadar organik tinggi seperti gambut, sebagian
besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak
tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972 dalam Setiadi, 1996). Hal ini menerangkan
kenapa tanaman pada tanah gambut sering mengalami kekahatan Cu sehingga
penambahan Cu ke dalam tanah mutlak dilakukan.
Akar Anjasmoro memiliki nilai serapan Cu tertinggi pada perlakuan tanpa
pemberian AJKS (9,45 µg), pemberian 300 Kg/ha AJKS (13,67 µg) dan pemberian
900 kg/ha AJKS (16,44 µg) tetapi pada perlakuan 600 kg/ha AJKS (10,62 µg),
memperoleh nilai terendah dibanding Tanggamus dan Slamet. Slamet memperoleh
nilai serapan Cu pada akar terendah hampir pada semua perlakuan kecuali pada dosis
600 kg/ha (10,88µg) nilai terendah diperoleh oleh Anjasmoro (10,62 µg) tetapi
menurut analisis statistik nilai serapan Cu akar antara kedua varietas ini pada dosis
600 kg/ha AJKS tidak berbeda nyata.
Tanggamus menunjukkan respon intermediet (menengah) terhadap serapan
Cu akar baik pada perlakuan tanpa pemberian AJKS maupun peningkatan dosis
AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha, varietas ini memperoleh angka serapan Cu akar
tertinggi (13,49µg ). Pada perlakuan 900 kg/ha AJKS, ketiga varietas memperoleh
nilai yang tidak berbeda secara statistik tetapi secara angka Anjasmoro memperoleh
angka serapan Cu akar tertinggi.
Respon varietas yang berbeda yang terjadi pada dosis pemberian 600 kg/ha
AJKS terhadap serapan Cu akar diduga karena perbedaan toleransi ketiga varietas
terhadap serapan Cu akar. Pada dosis 600 kg/ha laju penyerapan Cu pada akar
Tanggamus mengalami peningkatan yang lebih besar (3,46 ppm) dibanding laju
penyerapan Cu pada level 300 kg/ha (1,09 ppm) dan level 900 kg/ha AJKS (2,91
satuan). Berbeda dengan Anjasmoro dan Slamet yang pada dosis 600 kg/ha AJKS
justru laju penyerapannya lebih rendah dibandingkan pada dosis 300 kg/ha dan 900
kg/ha. Menurut Marschner et.al. (1999), perbedaan toleransi varietas terhadap
ketersediaan Cu rendah berhubungan dengan perbedaan laju penyerapan Cu oleh akar
dan modifikasi ketersediaan Cu pada perbatasan tanah dengan akar oleh eksudat
akar.
Penurunan serapan Cu pada akar Anjasmoro pada dosis 600 kg/ha AJKS
diduga disebabkan pada level ini protein pembawa kation ini berada dalam keadaan
jenuh sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi sehingga protein pembawa lain
aktif dalam membawa kation ini ke dalam sel. Dosis 900 kg/ha AJKS diduga mampu
mengatasi kejenuhan protein pembawa dan mengaktifkan protein pembawa lain
sebagaimana menurut Lakitan (1993), protein pembawa menjadi jenuh pada
konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan konsentrasi larutan tidak lagi
mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini dapat di atasi jika konsentrasi
ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme yang lain yang berperan dalam
serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin melibatkan protein pembawa yang
lain.
b. Cu Pada Tajuk
Pengaruh Utama varietas kedelai, dosis AJKS serta interaksi antara varietas
kedelai dan dosis AJKS berbeda nyata terhadap serapan Cu pada tajuk tanaman
kedelai (Lampiran 11.). Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT
pada taraf 5 % disajikan pada Tabel 7.
Dari Tabel 6. dan 7. dapat dilihat bahwa peningkatan dosis AJKS cenderung
meningkatkan serapan Cu baik pada akar maupun tajuk tanaman semua varietas
(Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet). Besarnya peningkatan total serapan Cu oleh
tanaman adalah berkisar 21,27µg - 64,65µg. Peningkatan serapan hara Cu pada
Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet sejalan dengan semakin meningkatnya dosis
AJKS disebabkan adanya peningkatan ketersediaan hara Cu pada larutan tanah akibat
pemberian dan peningkatan dosis AJKS (Tabel 5.) Semakin tersedianya hara Cu pada
larutan tanah menyebabkan semakin banyak hara Cu yang tersedia untuk diserap oleh
akar tanaman dan diteruskan pada tajuk tanaman.
Menurut Mas’ud (1992) hara tembaga diserap akar tanaman dalam bentuk
kation Cu2+ melalui suatu proses aktif. Penyerapan Cu2+ akan meningkat dengan
meningkatnya kepekatan ion dalam larutan sampai 0,1 mM. Penyerapan Cu akan
berkurang jika larutan tanah banyak mengandung Al tetapi ion Zn dan Mn tidak
mempengaruhi penyerapan. Unsur Cu umumnya diserap melalui aliran massa, sedikit
melalui intersepsi akar dan tidak ada diserap melaui difusi (Barber et.al dalam Havlin
et al. 1999).
Anjasmoro memperoleh angka tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian
AJKS dan 300 kg/ha AJKS, sementara Tanggamus memperoleh angka tertinggi pada
dosis 600 kg/ha dan Slamet memperoleh angka tertinggi pada perlakuan 900 kg/ha
AJKS terhadap serapan Cu tajuk tanaman. Angka Serapan hara Cu tajuk yang rendah
pada umumnya ditemui pada Slamet pada semua level dosis kecuali pada dosis 900
kg/ha semua varietas menunjukkan respon yang sama. Perbedaan respon tanaman
terhadap serapan tajuk berkaitan dengan kemampuan akar dalam menyerap Cu pada
akar dan kemampuan tanaman dalam mengangkut hara dari akar ke tajuk masing-
masing varietas .
Umumnya serapan hara pada tajuk lebih tinggi dibandingkan serapan hara
pada akar. Hal ini berkaitan dengan fungsi Cu yang mempunyai peranan besar dalam
fotosintesis yaitu menurut Lakitan (1993) adalah sebagai plastosianin pada kloroplas
yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada proses fotosintesis. Titik kritis
defisiensi Cu pada bagian vegetatif tanaman biasanya berkisar 1-5 ppm tergantung
spesies tanaman, organ tanaman, tingkat pertumbuhan dan suplai Nitrogen
(Marschner, 1995). Kadar Cu < 10 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi
sedangkan > 30 ppm sudah berlebih atau bersifat toksik (Katyal dan Rhandawa, tahun
tidak tercantum). Kadar hara tertinggi pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro
berturut-turut diperoleh sebesar 8,34 ppm, 8,19 ppm dan 7,82 ppm. Dengan demikian
peningkatan kadar Cu pada tanaman dengan penambahan AJKS pada penelitian ini
masih berada dalam tingkat defisiensi. (Berat tajuk Tanggamus, Slamet dan
Anjasmoro berturut-turut 2,12 g, 2,24 g dan 2,31 g).
4.3.2 Serapan Zn
a. Zn pada Akar Tanaman
Pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi
keduanya berbeda nyata terhadap serapan hara Zn pada akar kedelai (Lampiran 11).
Hasil uji lanjut statistik dengan DNMRT pada taraf 5 % perlakuan dosis AJKS dan
varietas kedelai terhadap serapan Zn pada akar kedelai disajikan pada Tabel 8.
Dari Tabel 8. terlihat bahwa pemberian AJKS meningkatkan serapan Zn akar
Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro dibanding tanpa pemberian AJKS. Serapan Zn
akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro mengalami peningkatan sejalan peningkatan
dosis AJKS. Peningkatan serapan Zn akar pada semua varietas yang dicobakan
berkaitan dengan semakin tersedianya Zn pada larutan tanah akibat adanya
penambahan Zn dari kandungan AJKS (Tabel 5.). sehingga Zn yang dapat diserap
oleh akar juga semakin banyak. Menurut Marschner (1995) peningkatan konsentrasi
ion eksternal menunjukkan peningkatan konsentrasi ion di dalam eksudat akar.Angka
serapan Zn pada akar tertinggi diperoleh Anjasmoro pada dosis 300 kg/ha AJKS dan
900 kg/ha AJKS sedangkan pada perlakuan tanpa pemberian AJKS dan dosis 600
kg/ha serapan Zn tertinggi ditemui pada akar Tanggamus. Slamet umumnya
mempunyai angka serapan hara akar terendah pada semua level dosis AJKS
sementara Tanggamus berada pada level intermediet kecuali pada perlakuan tanpa
AJKS dan dosis 600 kg/ha AJKS. Perbedaan serapan Zn akar diantara varietas ini
diduga disebabkan perbedaan kepekaan varietas atas rendahnya ketersediaan Zn.
Varietas yang peka akan menyerap Zn lebih tinggi. Menurut Marschner (1999)
perbedaan tanaman dalam menyerap Zn mungkin disebabkan oleh perbedaan akar
tanaman dalam mengeksplorasi Zn pada larutan tanah.
b. Zn pada Tajuk
Analisis sidik ragam (lampiran 11.) memperlihatkan bahwa antara pengaruh
utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas kedelai serta interaksi keduanya
berpengaruh nyata terhadap serapan Zn pada tajuk kedelai. Hasil analisis statistik
yang telah diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada Tabel 9.
Dari Tabel 8. terlihat bahwa peningkatan serapan hara Zn pada semua akar varietas
kedelai yang dicobakan meningkat dengan semakin meningkatnya dosis AJKS tetapi
pada Tabel 9. terlihat bahwa pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro
peningkatan serapan Zn baru terlihat pada dosis 600 kg/ha dibanding tanpa pemberian
AJKS. Hal ini diduga disebabkan dosis AJKS yang dicobakan masih terlalu rendah
untuk mensuplai Zn untuk tajuk tanaman dan range dosis yang dicobakan masih kecil
sehingga peningkatan level dosis tidak begitu memperlihatkan perbedaan nyata
menurut statistik walaupun peningkatan dosis AJKS yang dicobakan telah
meningkatkan serapan akar. Berkemungkinan permintaan tajuk terhadap hara Zn
lebih tinggi dari kemampuan akar dalam memenuhinya karena kedelai merupakan
tanaman yang peka terhadap Zn rendah.
Pada dosis 900 kg/ha, serapan hara Zn oleh tajuk Slamet menurun
dibandingkan dosis 600 kg/ha. Penurunan serapan pada tajuk Slamet pada dosis 900
kg/ha memperlihatkan bahwa laju serapan Zn pada tajuk Slamet tidak meningkat
secara linear dengan peningkatan dosis AJKS dan serapan hara Zn pada akar. Laju
serapan bersifat asimptotik yaitu berlangsung lebih cepat dan tidak linear. Pada dosis
600 kg/ha AJKS laju serapan berlangsung lebih cepat (tinggi), diduga pada kondisi
ini protein pembawa berada pada kondisi jenuh. Menurut Lakitan (1993), protein
pembawa menjadi jenuh pada konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan
konsentrasi larutan tidak lagi mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini
dapat di atasi jika konsentrasi ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme
yang lain yang berperan dalam serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin
melibatkan protein pembawa yang lain. Peningkatan dosis 900 kg/ha AJKS diduga
belum cukup untuk mengatasi kejenuhan protein pembawa.
Tajuk Anjasmoro menyerap Zn lebih banyak dibanding tajuk Tanggamus dan
tajuk Slamet dimana tajuk Tanggamus menyerap Zn lebih besar dibanding Tajuk
Slamet pada semua level dosis. Setiap Spesies dan varietas menurut Marschner
(1995) mempunyai kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi Zn. Kedelai dan
jagung sangat peka terhadap defisiensi Zn. Tanaman yang peka terhadap Zn rendah
berusaha menyerap Zn lebih banyak sehingga meningkatkan kemampuan untuk
menyerap Zn, tetapi dibatasi oleh ketersediaan Zn dalam larutan tanah.
Jumlah dan laju serapan hara Zn pada tajuk lebih besar dibandingkan pada
akar. Seng lebih dibutuhkan pada tajuk (daun) dibandingkan akar tanaman karena
berperan dalam fotosintesis di daun. Hal ini berkaitan dengan fungsi Zn yang
menurut Lakitan (1993) berfungsi dalam pembentukan klorofil dan mencegah
kerusakan molekul klorofil. Titik kritis toksik pada daun tanaman adalah < 100 µg/g
berat kering (Ruano et al., 1988 dalam Marschner, 1995), menurut Mengel dan
Kirkby (1987) dalam Roesmarkam dan Yuwono (2002), kadar Zn dalam tanaman
berkisar antara 20 ppm -70 ppm. Kadar Zn tertinggi dalam tajuk Tanggamus, Slamet
dan Anjasmoro akibat pemberian AJKS dalam penelitian ini berturut-turut 8,03 µg/g
berat kering, 6,03 µg/g dan 10,83 µg/g. Harkat Zn dalam daun indikator kedelai 10-
20 ppm menurut Jones (1967) dalam Roesmarkam dan Yuwono (2002) termasuk
kategori rendah.
4.3.3 Serapan Hara Fe
a. Fe pada Akar
Dari hasil sidik ragam pada Lampiran 11. dapat diketahui bahwa antara
pengaruh utama dosis AJKS dan varietas serta interaksi keduanya memperlihatkan
hasil yang berbeda nyata terhadap serapan Fe pada akar tanaman kedelai. Analisis
statistik yang diuji dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 10.Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut uji DNMRT
(huruf besar dibaca secara horizontal dan huruf kecil secara vertikal).
Dari Tabel 10. terlihat bahwa terjadi peningkatan serapan Fe pada akar ketiga
varietas kedelai yang dicobakan akibat pemberian AJKS. Peningkatan serapan pada
akar Tanggamus berkisar 28,65-63,21 µg, pada akar Slamet berkisar 27,89µg-
62,34µg dan pada akar Anjasmoro berkisar 28,16µg -62,30µg dibandingkan tanpa
pemberian AJKS. Peningkatan serapan Fe akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro
ini disebabkan semakin tersedianya Fe pada larutan tanah akibat adanya penambahan
hara Fe yang dilepaskan oleh AJKS (Tabel 5.).
Ketiga varietas menunjukkan respon yang sama hampir pada semua level
dosis AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha dimana Anjasmoro menunjukkan respon
yang lebih tinggi. Anjasmoro mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam
menyerap unsur hara Fe dan memiliki respon yang lebih cepat terhadap pemberian
AJKS. Hal ini terlihat dari angka serapan hara yang lebih tinggi pada perlakuan tanpa
pemberian AJKS dan pada dosis AJKS 600 kg/ha sudah menunjukkan peningkatan
angka serapan hara Fe sementara Tanggamus dan Slamet baru memperlihatkan
peningkatan hara Fe pada dosis 900 kg/ha AJKS menurut analisis statistik.
b. Fe pada Tajuk
Dari interaksi dosis AJKS dan varietas terhadap serapan Fe akar (Tabel 10.)
dan Tajuk (Tabel 11.) terlihat bahwa serapan hara Fe meningkat dengan
meningkatnya dosis AJKS. Peningkatan serapan Fe pada akar dan tajuk tanaman
kedelai karena semakin meningkatnya ketersediaan hara Fe pada larutan tanah akibat
terlepasnya hara Fe dari AJKS dengan semakin meningkatnya aktifitas asam-asam
organik untuk berikatan dengan Fe yang ada dalam kandungan AJKS.
Meningkatnya serapan Fe dengan peningkatan dosis AJKS diduga karena
adanya penambahan hara Fe ke dalam larutan tanah sementara tanah gambut yang
tidak diberi AJKS hanya mengharapkan tambahan dari mineralisasi Fe hasil
dekomposisi bahan organik penyusun tanah gambut dan dari resapan air laut.
Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), Fe adalah elemen yang sukar
untuk dipahami sebab kadarnya didalam tanaman dan kadar ketersediannya di tanah
tidak selalu dapat dipercaya untuk mendiagnosa defisiensi Fe. Kadar Fe total pada
tanah umumnya tidak mengatur kadar nutrisi tanaman. Menurut Havlin et.al (1999)
interaksi kation logam dengan Fe dapat menyebabkan stress Fe. Penggunaan P yang
berlebihan, kadar Cu, Mn, Zn dan Mo yang tinggi mengganggu penyerapan dan
penggunaan Fe oleh tanaman.
Tajuk Anjasmoro menyerap Fe lebih besar dibandingkan tajuk Tanggamus
dan Slamet, sementara antara tajuk Tanggamus dan tajuk Slamet memiliki
kemampuan yang sama menurut analisis statistik. Hal ini berkaitan dengan respon
Anjasmoro yang lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet terhadap
pemberian AJKS dan kemampuan akar dalam mengeksplorasi Fe pada larutan tanah
yang lebih besar sehingga mampu memenuhi permintaan tajuk akan unsur Fe.
Titik kritis defisiensi Fe pada daun berkisar 50-150 µg Fe /g berat kering
sedangkan titik kritis toksik berkisar diatas 500 µg Fe/g berat kering (Marschner,
1995). Kadar Fe tertinggi pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro akibat
pemberian AJKS berturut-turut sebesar 62,89 ppm, 66,92 ppm dan 70,01 ppm.
Menurut Jones (1972) dalam Katyal dan Rhandawa (tahun tidak tercantum) kadar Fe
28-38 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi, kadar 44-60 ppm adalah normal.
Dengan demikian kadar Fe tertinggi pada percobaan ini sudah mencukupi kebutuhan
kedelai ketiga varietas yang dicobakan bahkan sedikit melebihi batas normal tetapi
belum sampai menyebabkan toksisitas.
Serapan hara Fe pada tajuk lebih besar dibandingkan serapan hara pada akar.
Hal ini berkaitan dengan fungsi Fe itu sendiri yang lebih berperan pada bagian atas
tanaman. Menurut Lakitan (1993), besi merupakan unsur hara essensial karena
merupakan bagian dari protein yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada fase
terang fotosintetis dan respirasi
4. Serapan Hara Mn
a. Mn pada Akar
Analisa sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa tidak ada
interaksi yang nyata antara pemberian AJKS dan varietas, tetapi pengaruh utama
pemberian AJKS dan pengaruh utama varietas masing-masing menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada akar tanaman kedelai. Hasil analisis
statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % disajikan pada Tabel 12.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn akar tanaman kedelai
yaitu sebesar 3,33-11,13µg dibandingkan tanpa perlakuan AJKS. Serapan Mn pada
akar tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian dosis 900 kg/ha AJKS. Akar
Slamet memiliki kemampuan menyerap Mn yang paling rendah dibandingkan
Tanggamus dan Anjasmoro dimana daya serap Mn akar Tanggamus dan Anjasmoro
tidak berbeda nyata menurut analisis statistik.
b. Mn pada Tajuk
Hasil sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa pengaruh tunggal
dosis AJKS dan pengaruh tunggal varietas kedelai berbeda nyata terhadap serapan
hara Mn pada tajuk kedelai tetapi tidak terjadi interaksi yang nyata antara kedua
faktor perlakuan. Hasil statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % dapat
dilihat pada Tabel 13.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn tajuk tanaman kedelai
yaitu sebesar (8,80-8,86 µg) dibandingkan tanpa perlakuan AJKS (18,02 µg), tetapi
dosis pemberian 600 kg/ha AJKS (26,28 µg) dan 300 kg/ha AJKS (26,82 µg) tidak
berbeda nyata dengan dosis pemberian 900 kg/ha AJKS secara analisis statistik.
Tidak terjadinya peningkatan serapan Mn dengan meningkatnya dosis AJKS sampai
900 kg/ha AJKS dikarenakan antagonisme antara Fe dan Mn.
Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), ketersediaan Fe yang
tinggi pada tanah dapat menyebabkan defisiensi Mn. Untuk pertumbuhan optimum
tanaman, ratio Fe:Mn pada media hara seharusnya berada diantara 1,5 dan 2,5. Nilai
diatas 2,5 menyebabkan defisiensi Mn sementara nilai di bawah 1,5 menyebabkan
toksisitas. Ratio Fe:Mn pada tanah setelah pemberian AJKS berkisar antara 3,35-
3,50, sehingga menyebabkan tanaman berada dalam kondisi defisiensi Mn.
Peningkatan dosis AJKS disertai penambahan pupuk Mn lewat daun mungkin dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi ketidakseimbangan atau antagonisme kedua pupuk
ini.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan hara Mn akar (Tabel 12.)
tetapi tidak meningkatkan serapan Mn Tajuk (Tabel 13.). Peningkatan serapan Mn
pada akar kedelai ini berkaitan dengan meningkatnya ketersediaan Mn pada larutan
tanah (Tabel 5.). Peningkatan hara Mn pada larutan tanah berasal dari sumbangan
hara Mn dari AJKS. Serapan hara Mn meningkat dengan meningkatnya ketersediaan
hara Mn dalam larutan tanah. Menurut Uren (1981) dalam Salisbury dan Ross (1995),
Mn terutama diserap dalam bentuk Mn2+ sesudah dilepaskan dari khelat atau
direduksi dari oksida valensi tinggi dipermukaan akar. Menurut Barber et al. dalam
Havlin et al.(1999) jumlah hara Mn yang diserap tanaman melalui pergerakan aliran
massa lebih besar daripada melalui intersepsi akar dan tidak ada yang diserap melalui
difusi. Ion Mn2+ dalam larutan tanah berpindah bersama aliran air ke akar akibat
transpirasi tanaman, intersepsi akar memperpendek jarak yang harus ditempuh unsur-
unsur hara untuk mendekati akar melalui aliran massa ini.
Akar Slamet memperoleh angka serapan Mn terendah dibandingkan akar
Tanggamus dan akar Anjasmoro, serapan hara Mn pada akar Tanggamus tidak
berbeda nyata dengan akar Anjasmoro menurut analisis statistik. Untuk serapan Mn
pada tajuk, Anjasmoro memiliki angka serapan hara tertinggi dibanding Tanggamus
dan Anjasmoro, antara varietas Tanggamus dan Slamet tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada tajuk.
Dilihat dari total serapan hara Mn oleh Anjasmoro (58,04 µg), Tanggamus
(47,35µg) dan Slamet (44,11µg), Slamet mempunyai serapan Mn terendah.
Rendahnya serapan hara Mn oleh Slamet diduga karena Slamet mempunyai toleransi
yang rendah pada tanah gambut dengan ketersediaan Mn rendah, walaupun varietas
ini tergolong toleransi moderat pada lahan pasang surut. Koesrini, Sabran dan Eddy
(1997) menduga Slamet belum mampu beradaptasi dengan baik pada lahan gambut
yang merupakan lahan basah dengan tingkat kemasaman yang tinggi. Varietas ini
memiliki toleransi terhadap tanah masam yang berada di lahan kering bukan di lahan
basah.
Anjasmoro memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memenuhi
kebutuhan hara Mn pada tajuk dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan Anjasmoro dalam memberikan energi kepada akar untuk
mengangkut air dan hara ke tajuk dan kemampuan yang lebih cepat dalam
memfungsikan Mn. Menurut Salisbury dan Ross (1995), ada hubungan antara fungsi
akar dan tajuk dalam penyerapan mineral (hara). Ada dua kendali dalam melihat hal
ini. Dalam pengertian “permintaan”, tajuk akan meningkatkan penyerapan garam
mineral oleh akar dengan secara cepat menggunakan garam mineral tersebut dalam
produk pertumbuhan (contohnya klorofil). Dalam hal “penawaran”, tajuk memasok
karbohidrat melalui floem yang digunakan akar untuk berespirasi menghasilkan ATP;
ATP ini membantu penyerapan garam mineral. Barangkali tajuk juga memasok akar
dengan beberapa hormon tertentu yang mempengaruhi penyerapan akar.
Mn menurut Lakitan (1993) berfungsi sebagai aktivator dari berbagai enzim,
selain itu juga berperan dalam menstimulasi pemecahan molekul air pada fase terang
fotosintesis. Mangan juga merupakan komponen struktural dari sistem membran
kloroplas. Hal ini menjelaskan bahwa Mn lebih berperan pada tajuk dibanding akar
sehingga serapan Mn pada tajuk lebih tinggi dibanding serapan pada akar.
Titik kritis defisiensi Mn berkisar 10 dan 20 µg /g berat kering pada daun yang
berkembang sempurna (Marschner, 1995), kedelai menunjukkan defisiensi pada
kadar Mn < 15 ppm (Katyal dan Rhandhawa, tahun tidak tercantum) dan titik kritis
toksik berada pada kadar 600 ppm (Marschner, 1995). Kadar Mn pada Tanggamus,
Slamet dan Anjasmoro berturut-turut adalah 9,99 ppm, 9,15 ppm dan 13,77 ppm.
Dengan demikian ketiga varietas yang dicobakan masih berada dalam keadaan
defisiensi Mn.
4.4. Respon Beberapa Varietas Kedelai Di Tanah Gambut yang Diameliorasi
Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)
4.4.1 Tinggi Tanaman
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12.) menunjukkan bahwa hanya pengaruh
utama dosis AJKS yang berbeda nyata terhadap serapan Mn pada tajuk kedelai,
pengaruh utama varietas dan interaksi tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik
yang diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada Tabel 14.
Dari Tabel 14. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS tidak diiringi
peningkatan tinggi tanaman baik varietas Anjasmoro, Tanggamus maupun Slamet
menurut analisis statistik tapi dari segi angka terdapat peningkatan tinggi tanaman.
Tinggi tanaman yang diperoleh dengan pemberian AJKS telah melebihi tinggi
tanaman yang dipaparkan dalam deskripsi tanaman (Lampiran 1., 2. dan 3.)
Peningkatan tinggi tanaman diduga disebabkan oleh meningkatnya status hara tanah
akibat semakin membaiknya pH tanah akibat pemberian AJKS (Tabel 4.) dibanding
dengan pH tanah awal dan tanpa perlakuan AJKS. Menurut Hardjowigeno (2001) pH
tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara baik makro maupun mikro
diserap oleh akar tanaman. Kecukupan unsur hara mempengaruhi pertumbuhan
tanaman salah satunya tinggi tanaman.
Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman dengan
peningkatan dosis AJKS berkaitan dengan serapan Zn tajuk pada ketiga varietas.
Peningkatan dosis AJKS umumnya tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata
terhadap peningkatan serapan Zn tajuk (Tabel 9.) sehingga diduga merupakan
penyebab tinggi tanaman tidak berbeda nyata juga. Valle (1976) dalam Salisbury dan
Ross (1995) menyatakan bahwa kekurangan Zn dapat menghambat pertumbuhan
batang karena Zn diperlukan untuk membuat hormon tumbuh indolasetat (auksin)
yang berguna untuk memacu pertumbuhan batang.
Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian AJKS 600 kg/ha
dengan peningkatan tinggi tanaman sebesar 17,67 cm dibandingkan tanpa perlakuan
AJKS (66,89 cm) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 300 kg/ha AJKS dan
perlakuan 900 kg/ha AJKS. Perlakuan varietas tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Tinggi tanaman yang sama pada ketiga varietas ini diduga karena kebutuhan hara
pada masa pertumbuhan vegetatif sama-sama telah terpenuhi, peningkatan dosis
AJKS tidak begitu mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman tetapi setelah
memasuki masa pertumbuhan generatif masing-masing varietas baru menunjukkan
respon yang berbeda. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan respon masing-masing
varietas terhadap jumlah polong (Tabel 16), persentase polong kosong (Tabel 17),
hasil/pot biji kering (Tabel 18.) dan bobot brangkasan kering (Tabel 19.).
Pertumbuhan vegetatif yang bagus tidak menjamin bahwa pertumbuhan generatif
akan bagus pula.
4.4.2 Ratio Akar dan Tajuk
Analisis sidik ragam pada Lampiran 12. menunjukkan bahwa pengaruh utama
dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi kedua faktor tidak berbeda
nyata terhadap ratio akar dan tajuk. Analisis tidak dilanjutkan dengan uji lanjut.
Menurut hasil analisis statistik, peningkatan dosis AJKS tidak mempengaruhi
ratio akar dan tajuk Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet tetapi secara angka terlihat
bahwa peningkatan dosis AJKS menurunkan Ratio akar dan tajuk. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan kemampuan tanaman
dalam mentranslokasikan unsur hara dari akar ke tajuk sehingga pertumbuhan tajuk
tanaman lebih besar. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kecuali beberapa spesies
tumbuhan gurun tertentu yang mempunyai sistem perakaran yang luar biasa besar,
kebanyakan tumbuhan mencurahkan sebagian besar biomassanya pada tajuk.
Penyerapan garam mineral sebagian dikendalikan oleh aktivitas tajuk. Dalam
pengertian permintaan, tajuk akan meningkatkan penyerapan garam mineral oleh akar
dengan secara cepat menggunakan garam mineral tersebut dalam produk
pertumbuhan misalnya protein, asam nukleat dan klorofil, sehingga pertumbuhan
tajuk lebih besar dari akar.
4.4.3 Jumlah Polong Kedelai
Analisis sidik ragam memperlihatkan adanya perbedaan nyata pengaruh
utama dosis AJKS, pengaruh utama varietas kedelai dan interaksi keduanya terhadap
jumlah polong beberapa varietas kedelai pada tanah gambut (Lampiran 12.). Hasil
analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % disajikan pada
Tabel 16.
Dari Tabel 16. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan jumlah
polong Varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro. Peningkatan jumlah polong
berkaitan dengan adanya tambahan hara dari AJKS. Dari analisis kandungan hara
diketahui bahwa AJKS mengandung hara makro dan mikro seperti K (24,58%), P
(0,02%), Ca (1,79%), Mg (1,5%), Cu (0,11 ppm), Zn (0,14 ppm), Fe (0,36 ppm) dan
Mn (0,14 ppm) sehingga dengan pemberian AJKS dapat menambah ketersediaan
unsur hara diatas untuk tanaman. Menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) Cu ikut
berperan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Apabila tanaman kekurangan
Cu maka sintesa protein akan terganggu sehingga pembungaan dan pembuahan
menjadi terganggu, sehingga pembentukan polong kedelai juga terganggu.
Jumlah polong tanaman kedelai tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg/ha
AJKS pada Anjasmoro (41,00 buah) sedangkan jumlah polong terendah diperoleh
pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada Anjasmoro (10,67 buah). Pada perlakuan
tanpa pemberian AJKS, jumlah polong Anjasmoro lebih sedikit dibanding
Tanggamus dan Slamet tetapi sejalan dengan peningkatan dosis AJKS dari 300 kg/ha
AJKS, 600 kg/ha AJKS sampai 900 kg/ha AJKS, jumlah polong Anjasmoro
meningkat lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Pada dosis 300 kg/ha,
Tanggamus sudah memperlihatkan peningkatan jumlah polong sedangkan Slamet
baru menampakkan perbedaan pada dosis 600 kg/ha AJKS terhadap perlakuan tanpa
AJKS.
Perbedaan jumlah polong diantara ketiga varietas ini diduga disebabkan
perbedaan laju proses fotosintesis selama fase reproduktif, Anjasmoro
memperlihatkan laju fotosintesis yang lebih tinggi. Pernyataan ini didukung dari hasil
pengamatan berat brangkasan kering Anjasmoro yang lebih tinggi dari Tanggamus
dan Slamet (Tabel 18.) Pertumbuhan bagian atas yang baik akan menunjang proses
fotosintesis selama periode pengisian biji. Gardner et al. (1991) menjelaskan bahwa
fotosintesis selama periode pengisisan biji biasanya menjadi sumber yang terpenting
untuk berat panen biji.
4.4.4. Persentase polong Kosong
Pengaruh utama dosis dan pengaruh utama varietas kedelai masing-masing
berbeda nyata terhadap persentase polong kosong, begitu pula interaksinya (Lampiran
12.). Pengaruh pemberian AJKS terhadap persentase polong kosong beberapa varietas
kedelai pada tanah gambut yang telah dianalisis secara statistik dan diuji lanjut
dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. memperlihatkan bahwa terdapat korelasi positip antara penambahan
AJKS dengan penurunan persentase polong kosong. Pada perlakuan tanpa pemberian
AJKS, 100 % polong Anjasmoro tidak berisi, tetapi dengan peningkatan dosis AJKS
terjadi penurunan polong kosong sebesar 55,45%-77,25%. Penurunan polong kosong
Tanggamus sudah terlihat pada dosis 300 kg/ha tetapi Slamet baru memperlihatkan
perbedaan dengan tanpa perlakuan AJKS pada dosis 600 kg/ha. Persentase polong
kosong tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada varietas
Anjasmoro yaitu sebesar 100 % sedangkan persentase jumlah polong terendah
diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu
sebesar 22,75 %.
Tingginya persentase polong kosong pada perlakuan tanpa pemberian AJKS
disebabkan karena rendahnya ketersediaan unsur hara mikro dan diduga adanya
asam-asam organik meracun yang dalam dosis tinggi bisa meracuni tanaman. Asam
organik yang tinggi diindikasikan dengan rendahnya pH tanah gambut. Vaughan,
Malcolm dan Ord (1985) dalam Prasetyo (1996) menyatakan bahwa pengaruh
fitotoksik asam-asam organik dari dekomposisi bahan organik terhadap tanaman
meliputi penundaan atau penghambatan pertunasan biji, pertumbuhan kerdil,
perusakan sistem perakaran, menghambat penyerapan hara, klorosis, layu dan
mematikan tanaman. Selain itu juga mengganggu proses metabolisme seperti
respirasi dan sintesis asam nukleat atau protein sementara pengisian polong
membutuhkan protein yang tinggi karena (Pitojo, 2003) biji kedelai mengandung
protein yang tinggi. Permasalahan kandungan asam organik yang tinggi menurut
Hanibal (1995) dapat juga dicegah dengan penggunaan AJKS karena mengandung
logam kation polivalen seperti Fe, Cu, Zn, dan Mn yang bisa membentuk khelat
dengan asam organik sehingga dapat mengurangi aktivitas dan keracunan asam
organik.
Selain itu pemberian AJKS juga dianggap dapat menambah ketersediaan hara
makro seperti K, P, Ca, Mg. Dari hasil analisis kandungan hara AJKS dalam
penelitian yang dilakukan oleh Hanibal, Sarman dan Gusniwati (2001) menunjukkan
bahwa AJKS mengandung unsur hara K berbentuk senyawa K2O (36,48 %), P2O5
(4,79 %), MgO (2,63 %), CaO (5,46 %), Mn (1230 ppm), Fe (3450) ppm, Cu (183
ppm), Br (125,43) ppm, Zn (28 ppm) dengan pH berkisar 11,9 – 12,0. Sementara itu
AJKS menurut Nainggolan (1992) juga mengandung SiO2 (3.33 %), CaO (5.85 %)
MgO (2.63 %), Al2O3 (4.71 %), Fe2O3) (18.34 %), SO3 (3.0 %), Na2O (1.8 %) dan
K2O (27.26 %). Panjaitan, Sugiono dan Sirait (1983) dalam penelitiannya melaporkan
bahwa AJKS mempunyai kandungan unsur hara Kalium yang tinggi, disamping
kandungan unsur hara lain seperti Fosfor dan Magnesium.
Unsur K sangat berperan dalam proses pembentukan polong dan polong
bernas pada tanaman kedelai. Semakin tinggi K maka pembentukan dan pengisian
polong semakin berjalan sempurna (Hanibal, 1995). Dengan demikian AJKS dapat
digunakan untuk meningkatkan jumlah polong bernas kedelai melalui sumbangan
haranya terutama K yang tinggi yang terkandung di dalam AJKS.
4.4.5. Hasil/ Pot biji kering
Dari analisis sidik ragam terlihat bahwa pengaruh utama dosis AJKS,
pengaruh utama varietas dan interaksinya berbeda nyata terhadap hasil/pot biji kering
kedelai (Lampiran 12. ) Hasil analisis statistik pengaruh pemberian AJKS terhadap
bobot biji kering beberapa varietas kedelai pada tanah gambut disajikan pada Tabel
18.
Dari Tabel 18. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan hasil/pot
biji kering kedelai. Peningkatan hasil/pot biji kering pada Tanggamus berkisar 1,07 g-
1,94 g, Slamet berkisar 0,09 g-0,49 g sedangkan Anjasmoro berkisar 1,28-3,48 g.
Peningkatan hasil/pot biji kering ini kalau dikonversi ke dalam hasil produksi
perhektar masih tergolong sangat rendah. Hal ini diduga bahwa dosis AJKS yang
diberikan belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kedelai baik
makro dan mikro. Rendahnya bobot biji berkaitan dengan jumlah polong yang rendah
dan tingginya persentase polong kosong.
Pemberian AJKS belum mampu mencapai pH tanah yang ideal untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman, padahal pH tanah yang ideal akan meningkatkan
status kesuburan tanah yaitu dengan peningkatan kelarutan unsur hara baik unsur hara
makro maupun mikro seperti Cu, Zn, Fe dan Mn. Hara Cu, Zn, Fe dan Mn juga
menentukan hasil/pot biji kering tanaman kedelai karena menurut Hardjowigeno
(2001) Zn berperan dalam pematangan biji dan merupakan katalis pembentukan
protein, Fe berperan dalam pembentukan klorofil dan merupakan penyusun enzim
dan protein, Cu berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein sementara Mn
berperan dalam fotosintesis. Sementara tanah belum mampu menyediakan unsur-
unsur ini sesuai dengan kebutuhan tanaman sebagaimana yang dinyatakan Sutanto
(2005) bahwa kemampuan tanah sebagai habitat tanaman untuk menghasilkan bahan
yang dapat dipanen sangat ditentukan oleh tingkat kesuburannya. Kesuburan tanah
(Dikti, 1991) adalah kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara dalam jumlah
yang berimbang untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.
Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa keseimbangan hara dalam tanah
merupakan faktor penting bagi kelancaran metabolisme yang erat hubungannya
dengan pertumbuhan tanaman dan produksi tanaman yang dihasilkan. Hal ini pada
akhirnya sangat menentukan besarnya bobot kering biji. Amelioran AJKS memiliki
kadar K yang tinggi, menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) umumnya
penyerapan K tinggi menyebabkan penyerapan unsur Ca, Mg dan Na turun. Unsur
yang mempunyai pengaruh saling berlawanan dan satu sama lain saling mengusir
disebut antagonis. Oleh karena itu perlu ketersediaan unsur berimbang optimal.
Sehingga selain AJKS perlu ditambahkan pupuk atau bahan amelioran lain yang
dapat memasok hara sesuai kebutuhan tanaman.
Hasil/pot biji kering tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha
AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 3,48 g sedangkan hasil/pot biji kering
terendah diperoleh pada perlakuan tanpa perlakuan AJKS pada varietas Anjasmoro
yaitu sebesar 0,00 g. Pada perlakuan tanpa pemberian AJKS, Anjasmoro tidak
menghasilkan biji kering karena semua polong yang dihasilkan pada perlakuan ini
tidak berisi. Hal ini diduga disebabkan karena Anjasmoro adalah kedelai yang peka
terhadap tanah gambut tetapi mempunyai respon yang lebih besar terhadap pemberian
AJKS dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Slamet memiliki respon yang rendah
terhadap peningkatan dosis AJKS, respon baru terlihat pada dosis 600 kg/ha. Hal ini
berkaitan dengan daya serap tanaman ini terhadap unsur hara mikro yang juga rendah.
Anjasmoro merupakan varietas yang peka pada tanah gambut tetapi dengan
pemberian AJKS, varietas ini ternyata memiliki respon dan efisiensi hara yang lebih
tinggi dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini dilihat dari kemampuannya dalam
menghasilkan hasil/pot biji kering dan bobot brangkasan kering yang lebih besar dari
Tanggamus dan Slamet. Hasil/pot biji kering yang masih rendah pada Anjasmoro
sebagai varietas terbaik dalam percobaan ini berkaitan dengan kurangnya nutrisi hara
untuk mendukung pengisian polong pada varietas ini. Jumlah polong yang lebih besar
dan persentase polong kosong yang kecil tidak sebanding dengan bobot biji kering
yang dihasilkan. Waktu matang panen yang dibutuhkan varietas ini (100 hari) lebih
lama dibanding deskripsi varietasnya (82,5-92,5 hari) dan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan Tanggamus (77 hari) dan Slamet (81 hari) sementara media
tanah di dalam polybag telah mengalami penurunan sebesar ± 10 cm. Hal ini
mengakibatkan tanaman kekurangan energi untuk pengisian polong sehingga polong
berisi tapi tidak bernas. Cepatnya penurunan tanah disebabkan karena gambut telah
kehilangan sebagian besar kandungan airnya seperti yang terjadi pada lahan gambut
dengan over drainase.
4.4.6 Bobot Brangkasan Kering
Dilihat dari sidik ragam (Lampiran 12.) terdapat perbedaan nyata antara dosis
AJKS dan Varietas kedelai terhadap bobot brangkasan kering varietas kedelai pada
tanah gambut. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5
% dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. memperlihatkan bahwa bobot brangkasan kering Tanggamus,
Slamet dan Anjasmoro meningkat sejalan dengan peningkatan dosis AJKS. Bobot
brangkasan kering yang meningkat dengan peningkatan dosis AJKS diduga karena
meningkatnya kemampuan akar tanaman dalam mentranslokasikan air dan unsur hara
melaui xylem ke tajuk sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk. Hal ini diduga
berhubungan dengan meningkatnya serapan hara pada akar dan tajuk dengan
peningkatan dosis AJKS.
Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg/ha AJKS
pada Anjasmoro yaitu sebesar 9,42 g sedangkan bobot brangkasan kering terendah
diperoleh pada perlakuan pemberian 300 kg/ha AJKS pada Slamet yaitu sebesar 1,79
g. Pada semua level dosis pemberian AJKS, Anjasmoro memperoleh bobot
brangkasan kering tertinggi dibanding Tanggamus dan Slamet. Perbedaan bobot
brangkasan diperoleh sebesar 3,99 g dibandingkan varietas Slamet dan 2,57 g
dibanding Tanggamus. Antara Tanggamus dan Slamet tidak berbeda nyata menurut
analisis statistik tapi secara angka, bobot brangkasan kering Tanggamus lebih tinggi
daripada Slamet.
Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro disusul
varietas Tanggamus dan Slamet sehingga diduga varietas Anjasmoro adalah varietas
yang adaptif pada tanah gambut yang masam dengan kemampuan menyuplai unsur
hara untuk tanaman yang rendah. Setiap tanaman mempunyai tanggapan yang
berbeda terhadap deraan lingkungan, Slamet dan Suyamto (1977) menyatakan bahwa
hal ini berkaitan dengan kemampuan dalam berkompetisi terhadap faktor tumbuh
yang dikendalikan oleh genotifnya. Daya adaptasi suatu varietas tanaman adalah
interaksi antara lingkungan dengan genotif. Daya adaptasi ini menyebabkan varietas
Anjasmoro dapat memperoleh faktor pertumbuhan seperti air, hara, cahaya dan
karbondioksida untuk menghasilkan biomassanya. Senyawa anorganik terutama air
dan karbondioksida serta unsur hara yang diserap akar akan memberikan kontribusi
terhadap pertambahan bobot kering.
Varietas Anjasmoro memiliki efisiensi hara terbaik dilihat dari bobot
keringnya. Bobot kering menggambarkan efisiensi tanaman dalam menggunakan
unsur hara. Menurut Marschner (1995) tanaman yang efisien didefinisikan sebagai
tanaman yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik, memproduksi bahan kering
yang lebih banyak dan mengembangkan gejala kekurangan hara yang lebih sedikit
daripada tanaman lain ketika ditanam pada tingkat unsur hara rendah atau kurang. Hal
ini juga dapat dilihat dari Tabel 18., dimana pada dosis 300 kg/ha, Tanggamus dan
Slamet belum mengalami peningkatan yang nyata dibandingkan tanpa perlakuan,
dengan dosis 600 kg/ha baru terjadi perbedaan berat kering sedangkan Anjasmoro
sudah memperlihatkan perbedaan yang nyata pada dosis 300 kg/ha dibanding tanpa
pemberian AJKS. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kondisi pemberian hara yang
sama, Anjasmoro lebih mampu mempergunakannya untuk menghasilkan biji kering
dan brangkasan kering yang lebih tinggi dibanding Tanggamus dan Anjasmoro.
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian “Studi Ketersediaan dan Serapan Hara Mikro Serta
Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu
Janjang Kelapa Sawit” dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian abu janjang kelapa sawit (AJKS) secara umum meningkatkan pH
tanah dan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah gambut dan terdapat
interaksi antara dosis AJKS dan varietas kedelai terhadap serapan Cu, Zn dan
Fe pada akar dan tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro, jumlah polong,
persentase polong kosong, hasil/pot biji kering dan brangkasan kering,
sedangkan pemberian faktor utama dosis AJKS dan varietas kedelai
berpengaruh nyata terhadap serapan Mn pada akar dan tajuk Tanggamus,
Slamet dan Anjasmoro, tinggi tanaman serta ratio akar dan tajuk
2. Pemberian 900 kg/ha AJKS umumnya memberikan hasil tertinggi terhadap
semua parameter yang dicobakan pada penelitian ini. Secara umum diantara
tiga varietas yang diuji, varietas Anjasmoro merupakan varietas yang peka
tetapi respon terhadap pemberian AJKS karena Anjasmoro memperoleh
hasil/pot biji kering paling tinggi yaitu sebesar 3,48 g dibanding Tanggamus
(2,57 g) dan Slamet (0,69 g) serta menghasilkan bobot brangkasan kering
yang lebih banyak yaitu sebesar 9,42 g dibanding Tanggamus (4,82 g) dan
Slamet (3,38 g).
Saran
Berdasarkan hasil yang telah disimpulkan, maka disarankan untuk :
1. memberikan abu janjang kelapa sawit dengan dosis sebesar 900 kg/ha dengan
menggunakan varietas Anjasmoro dalam upaya meningkatkan hasil kedelai
yang di tanam pada tanah gambut
2. Disarankan juga melakukan penelitian yang sama dengan dosis yang lebih
tinggi dan pengisian tanah yang lebih banyak ke dalam polybag
3. Melakukan penelitian yang sama di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto dan R. Widianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di LahanSawah, Lahan Kering dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. 75 hal.
Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian danAspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Bogor. 41 hal.
Amaru, Kharistya. 2000. Limbah Industri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian KelapaSawit. Medan. 15 hal.
Ambak, K., Abubakar and T. Tadano. 1992. The effect of Liming and MicronutrienApplication on the Growth of Crop Plants and Occurrence of Sterility inSouthern Thailand and Malaysia. 399-409. Dalam: Tropical Peatland.Prosiding Simposium; Kuching, Serawak 6-10 Mei 1991. Serawak. MalaysianAgricultural Research and Development Institute (MARDI) and Developmentof Agriculture Serawak.
Anonim. 2 Maret 2010. Industri Sawit Diminta Terapkan Zero Waste.http://economy.okezone.com/read/2010/03/02/320/308146/320/industri-sawit-diminta-terapkan-zero-waste. [28 April 2010].
Asril. 2001. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai yangDiinukolasi dengan Rhizobiumjaponicum pada Tanah Gambut Saprik yang Diberi Abu Janjang KelapaSawit. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang. 54 hal.
Atman, R. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumbar.Http://atmanroja.files.wordpress.2009.06/03.kedelaiindonesia.pdf. 2 hal. [28April 2010].
Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.2009. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 – 2009. Bogor. 72 hal.
Bangka, B. Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. 2010.Http://Budakbangka.blogspot.com/2005/pemanfaatan-limbah-kelapa-sawit. [28 April 2010].
Buckman, H.O dan N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Penerjemah: Soegiman.Terjemahan dari: Soil Science. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal.
Dai, J. 1989. Potensi Gambut Indonesia. Hal 352-359. Dalam: Tantangan, Prospekdan Pelestarian. Tanah gambut Untuk Perluasan Pertanian. Proseding Seminar:Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian Universitas IslamSumatera Utara.
Departemen Pertanian, 2006. Usaha Pengembangan Kedelai.http : // www. Deptan.go.id/infoeksekutif/tan/tp 2006/Lp kedelai, 2htm. [6Maret 2006].
Djoefrie, B. 1982. Substitusi Pupuk KCl dengan Limbah Kelapa Sawit UntukTanaman Cengkeh dan Kedelai. Jurnal Agrotropika Volume IV (2): 78: 15-17. Bogor.
Dikti. 1991. Kesuburan Tanah. 245 hal.
Fitter, A. H. dan K. M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. 421hal
Gardner, F. P., Pearce R. B., Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UIPress. Jakarta. 428 hal.
Hakim, N., M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., M. Nugroho., G. Saul., M.A. Diha., M.Hong., G. B. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.Lampung. 488 hal.
Halim, A dan G. Soepardi. 1987. Perbaikan Tanah Gambut Pedalaman denganPeningkatan Kejenuhan Basa dalam Budidaya Tanaman Kedelai. hal 272-276.Yokyakarta. Seminar Nasional Gambut I di Yogyakarta.
Hanibal. 1995. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit dan Pupuk PTerhadap Pertumbuhan Serta Hasil Kedelai pada Ultisol. [Tesis]. PPS Unand.Padang. 156 hal.
Hanibal, Sarman, Gusniwati. 2001. Pemanfaatan Abu Janjang Kelapa Sawit PadaLahan Kering dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Nodula Akar,Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glaycine max). Fakultas Pertanian.Universitas Jambi. Jambi.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian. SuatuPeluang dan Tantangan. Fakultas Pertanian IPB.Bogor. 173 hal.
-----------------------. 1989. Sifat-Sifat dan Potensi Tanah Gambut Sumatera UntukPengembangan Pertanian.Hal 43-70. Dalam: Tantangan, Prospek danPelestarian. Tanah Gambut Untuk Perluasan Pertanian. Proseding Seminar:Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian Universitas IslamSumatera Utara.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akamedika Pressindo. Jakarta. 284 hal.
Havlin J. L., J. D. Beaton., S. L. Tisdale dan W. L. Nelson. 1999. Soil Fertility andFertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Prentice Hall. NewJersey. 499 hal.
Hettari, R. 2005. Penetapan Dosis Unsur Mikro Cu pada Tanah Gambut yang DiberiKapur Terhadap Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L. Merril). [Skripsi].Fakultas Pertanian Unand. Padang. 78 hal.
Istina, I., N. Umar dan Dorlan. 2007. Pengaruh Limbah Abu Tankos Kelapa SawitTerhadap Hasil Beberapa Varietas Kedelai Unggul Baru di Lahan PMK.Buletin Inovasi Pertanian. Volume 1. nomor 2. Desembar 2007. 4 hal.
Katyal dan N. S. Randhawa. Tahun Tidak Tercantum. FAO Fertilizer and NutritionBulletin. Food and Agricultural Organization of United Nation. hal 82.
Kurniawan, A. 2011. Unsur Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai.http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:unsur-unsur-hara-tanaman&catid=47:artikelhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16351/4/Chapter%20II.pdf. [4 Maret2011].
Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisius. Yokyakarta. 92 hal.
Kuswandi, A. 2009. Unsur Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai.http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:unsur-unsur-hara-tanaman&catid=47:artikel[ 4 April 2009].
Koesrini., M. Sabran., dan W. Eddy. 1997. Adaptasi dan Toleransi 15 VarietasKedelai Di Lahan Pasang Surut Bergambut. Hal: 14-18. Prosiding: HasilPenelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. BalaiPenelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Palangkaraya.
Lahuddin. 1989. Pengaruh Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap B dan Zn- tersedia.Buletin I. Pertanian USU. Medan. 8 hal.
Lakitan, B. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta.203 hal.
Lamina. 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV. Simplex. Jakarta. 32 hal.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Politeknik PertanianTembilahan dengan Bappeda Kabupaten Indragiri Hilir. 2006. PenyusunanDetail Engineering Design (DED) Perkebunan Kelapa Di Kabupaten IndragiriHilir. 202 hal
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. Academic-Press. California.
Marwoto dan Suharsono. 2009. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian UlatGrayak (Spodopthera fabricius) pada Tanaman Kedelai. Http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3244083.pdf. [7 May 2010].
Mayerni, R. 2004. Pengaruh Limbah Pabrik Semen dan Efektif MikroorganismeTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rami (Boehmeria nivea)(L.)Gaud) Pada Tanah Gambut. Stigma Volume XII No.2, April-Juni 2004. 4hal.
Najiyati, S., L. Muslihat dan I. I. N Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan LahanGambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest andPeatlands in Indonesia. Wetland International. Indonesia ProgrammeandWildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. 9 hal.
Nelvia. 1997. Pemupukan Posphat Alam dan Amelioran Pada Tanah GambutTerhadap Ketersediaan dan Serapan P, K, Ca dan Mg oleh Tanaman Jagung.34-38. Dalam: Identifikasi Masalah Pupuk Nasional dan Standarisasi Mutuyang Efektif. Prosiding Seminar Nasional: Bandar Lampung, 22 Desember1997. Kerjasama Unila dan HITI.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yokyakrta.174 hal.
Panjaitan, A. Soegiono dan Sirait, H. 1983. Pengaruh Pemberian Abu Janjang KelapaSawit Terhadap Perubahan Kalium Tukar Tanah Pada Podzolik, Regosol danAluvial. Balai Penelitian Perkebunan Medan. Buletin. Vol. 14.No. 4. Medan.129 hal.
Pitojo, S. 2003. Benih Kedelai. Seri Penangkaran. Penerbit Kanisius. Yokyakarta. 17hal.
Prasetyo, T. B. 1996. Perilaku Asam-Asam Organik Meracun Pada Tanah GambutYang Diberi Garam Na dan Beberapa Unsur Mikro Dalam Kaitannya DenganHasil Padi. [Disertasi]. Progrm Pasca Sarjana IPB. Bogor. 187 hal.
Prasetiyono, J. dan Tasliah, 2003. Strategi Pendekatan Bioteknologi UntukPemuliaan Tanaman Toleran Keracunan Aluminium. Jurnal Ilmu PertanianVol.10 No.1: 85 hal.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Logam-Logam Polivalen Untuk MeningkatkanKetersediaan Phospat dan Produksi Jagung Pada Tanah Gambut. [Disertasi].PPS IPB. Bogor. 260 hal.
Rahmaneli. 2006. Pengolahan Minyak di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT. BumiPalma Lestari Persada Kecamatan Kempas Jaya Kabupaten Indragiri Hilir.Sawit. [Laporan Magang]. Fakultas Pertanian UNISI. Tembilahan. 72 Hal.
Ramadoni. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Macam Pupuk Kalium pada TanahGambut yang Dicampur Aluvial Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung(Zea mays, L.). [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.Padang. 78hal.
Rosmarkam, A dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.Yokyakarta. 224 hal.
Sabiham, S. 1993. Pemanfaatan Lumpur Daerah Rawa Pasang Surut sebagai SalahSatu Alternatif dalam Menurunkan Gas Methan dan Asam Phenol padaGambut Tebal. Hal 267-280. Di dalam S. Triutomo, B. Setiadi, B.Nurachman, D. Mulyono, E. Nursahid dan Kasiran (Eds.). Prosiding: SeminarNasional Gambut II. Jakarta, 14-15. Januari, 1993.
Sagala, D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai padaBerbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. [Thesis]. PascaSarjana IPB. Bogor. 163 hal.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. PerkembanganTumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Penerjemah; Diah R. Lukman danSumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. Institut Teknologi BandungPress. 342 hal.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. ResponKeracunan dan Toleransi Tanaman Terhadap Logam. Penerjemah; Diah R.Lukman dan Sumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. InstitutTeknologi Bandung Press. 342 hal.
Sarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Bandung. 196 hal.
Santoso, D., Suwarto. dan E. A., Sri. 1983. Penuntun Analisis Tanaman. PusatPenelitian Tanah. Bogor. 47 hal.
Setiadi, B. 1996. Gambut: Tantangan dan Peluang. Editor. Himpunan GambutIndonesia (HGI) Departemen Pekerjaan Umum. 120 hal.
Setyamidjaya, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan Simplex. Jakarta.
Slamet dan Suyamto. 1997. Tanggap Genotif Kedelai Terhadap Cara TanamTumpang Sari dengan Jagung Varietas Wisanggeni. [Abstrak Agronomi EdisiKhusus]. Balitkabi. Malang. 1 hal.
Sopher C. D. dan J. V.Braird 1976. Soils And Soil Management. Weston PublishingCompany INC. Reston. Virginia. 354 hal
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Institut PertanianBogor. 65 hal
Stevenson, F.J.. 1984. Humus Chemistry, Genesis, Composition and Reaction. JohnWiley and Sons Inc. New York, Chichester, Brisbone, Toronto, Singapore.495 hal.
Suprapto. 2002. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. 8 hal.
Supriyadi, S., Poeloengan, Z dan Soegiono. 1992. Pembuatan Pupuk Kalium DariAbu Janjang Sawit. Berita Perkebunan Medan. 77 hal
Suryanto, 1991. Pengaruh Tembaga dan Seng Terhadap Hasil Kedelai Pada Ultisolyang Dikapur. [Tesis]. PPS Unand. Padang. 125 hal.
Susianti. 2001. Pemanfaatan Abu Janjang Kelapa Sawit Sebagai Pupuk AlternatifKCl Pada Troposafrist dan Pengaruhnya Terhadap K Serta Produksi Jagung(Zea mays, L) [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.Padang. 65hal.
Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Konsep dan Kenyataan. Kanisius. 265hal.
Umami, I. M. 2010. Pengaruh Pemberian Abu Tandan Kosong Kelapa SawitTerhadap Kimia Tanah dan Produksi Varietas Padi dengan Berbagai TingkatToleransi pada Tanah Gambut. [Skripsi]. Fakultas Pertanian UniversitasAndalas. Padang. 74 hal.
Widjaya-Adhi, I. P. G. 1988. Physical and Chemical Characteristics of Peat Soil ofIndonesia. Hal 59-64. Dalam: The Third Meeting of The Comperative onProblem Soils on August 22-26 1988 at CRIFC. Bogor. IAARD Journ. 10 (3).
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. GavaMedia. 269 hal.