plugin studi ketersediaan dan serapan hara mikro serta hasil beberapa varietas kedelai pada tanah...

39
STUDI KETERSEDIAAN DAN SERAPAN HARA MIKRO SERTA HASIL BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT YANG DIAMELIORASI ABU JANJANG KELAPA SAWIT ARTIKEL OLEH INTAN SARI 0921203004 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2011

Upload: dedy-murtiawan

Post on 29-Jul-2015

134 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

STUDI KETERSEDIAAN DAN SERAPAN HARA MIKRO SERTA HASILBEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT YANG

DIAMELIORASI ABU JANJANG KELAPA SAWIT

ARTIKEL

OLEH

INTAN SARI0921203004

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ANDALAS

2011

Page 2: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

STUDY OF MICRONUTRIENT AVAILIBILITY AND UPTAKE AND SOYBEANVARIETIES RESULTS ON PEAT SOIL WAS APLICATED OIL PALM BUNCH ASH

Oleh

Intan Sari

0921203004

Supervised by Dr. Ir. Teguh Budi Prasetyo, MS. and Dr. Ir. Etti Swasti, MS

Abstract

Research of oil palm bunch ash as amelioran in increasing the micro nutrientsavailability and uptake and results of soybean varieties on peat soil was carried outfrom August 2010 until February 2011 at the home wire Islamic Indragiri University,Faculty of Agriculture Tembilahan, Riau Province. Soil and plant analysis performedat the soil Laboratory, Andalas University, Padang. The purpose of this study was todetermine the optimum dose of AJKS in improving micro-nutrient availability anduptake of Cu, Zn, Fe and Mn as well as the results Tanggamus, Slamet andAnjasmoro and to determine the interaction between AJKS dose and soybeanvarieties on peat soil which AJKS amelioran. This study uses a split plot design withmain plots: V1 = Tanggamus , V2 = Slamet V3 = Anjasmoro. Subplot are : A0 =Without AJKS, A1 = 300 kg/ha AJKS, A2 = 600 kg/ha AJKS and A3 = 900 kg / haAJKS with 3 replications. The results can be concluded that the granting of oil palmbunch ash (AJKS) increases soil pH and availability of Cu, Zn, Fe and Mn peat soiland there is interaction between dose AJKS and soybean varieties on uptake of Cu,Zn and Fe on the roots and canopy Tanggamus , Slamet and Anjasmoro, number ofpods, percentage of empty pods, yield/pot of dry beans and dry stover, while the mainfactor giving the dose AJKS and soybean varieties significantly affect Mn uptake inroots and canopy Tanggamus, Slamet and Anjasmoro, plant height and root ratio andcanopies. Provision of 900 kg / ha AJKS gives the highest yield of all the parameterstested in this study. Anjasmoro are susceptible varieties but the response to AJKSapplied because Anjasmoro obtain the highest seed weight and produce weight drystover more than Tanggamus and Slamet.

Keywords : Oil palm bunch ash, micro nutrient availability n uptake, soybean

variety, peat soils

Page 3: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan terpenting setelah padi dan

jagung. Tanah gambut cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian mengingat

arealnya yang masih tersedia cukup luas yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut

BB Litbang SDLP (2008) dalam Agus dan Subiksa (2008), Indonesia memiliki lahan

gambut terluas di antara negara tropis yaitu sekitar 21 juta ha.

Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh di tanah

gambut. Salah satu faktor penghambat budidaya tanaman di tanah gambut adalah

rendahnya ketersediaan unsur hara mikro. Rendahnya kandungan unsur hara mikro

pada tanah gambut disebabkan karena unsur hara mikro berasal dari tanah mineral

sementara tanah gambut adalah tanah organik. Kandungan bahan organik yang tinggi

pada tanah gambut juga menyebabkan rendahnya ketersediaan hara mikro karena

dekomposisi bahan organik pada keadaan anaerob pada tanah gambut menghasilkan

asam-asam organik yang menurut Rachim (1995) menyebabkan hara mikro

membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia bagi

tanaman.

Penambahan unsur hara mikro dapat dilakukan dengan pemberian amelioran.

Abu janjang kelapa sawit () dapat digunakan sebagai salah satu amelioran di tanah

gambut karena mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap baik makro maupun

mikro, mampu meningkatkan pH tanah dan memiliki kejenuhan basa yang tinggi

dimana kandungan kationnya bisa mengusir senyawa beracun apabila

ketersediaannya mencukupi.

Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O, 7 % P2O5, 9 %

CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200 ppm

Fe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu (Bangka, 2009). Soepardi (1983)

menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan jumlah ketersediaan unsur hara P,

K, Ca dan Mg serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman.

Abu janjang kelapa sawit bisa berasal dari hasil limbah padat janjang kosong

kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di dalam incenerator di pabrik kelapa

Page 4: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

sawit dan bisa juga dengan melakukan pembakaran secara manual. Limbah janjang

kosong merupakan limbah dengan volume yang paling banyak dari proses

pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik Kelapa Sawit yang menurut Surono

(2009) mencapai 21% dari TBS yang diolah.

Varietas kedelai yang biasa digunakan pada tanah gambut adalah varietas

yang biasa di tanam di lahan pasang surut bukan varietas spesifik lokasi tanah

gambut. Hal ini dikarenakan tanah gambut merupakan salah satu jenis tanah yang

terdapat di lahan pasang surut yang umumnya tergenang atau permukaan air tanahnya

dangkal. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji oleh Sagala

(2010) di lahan pasang surut dengan budidaya jenuh air (BJA) menghasilkan

berturut-turut 105; 96; 40 dan 42 buah polong/tanaman pada kedalaman muka air 20

cm di bawah permukaan tanah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Februari 2011,

bertempat di rumah kawat Fakultas Pertanian Universitas Islam Indragiri Tembilahan,

Kecamatan Tembilahan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Analisis

tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Andalas, Padang.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut, benih edelai

varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro. Rhizogin, Urea (45 % N), SP36 (36 %

P2O5), KCl (50 % K2O), dolomit. Alat yang digunakan adalah polybag, cangkul,

meteran, alat tulis dan peralatan laboratorium.

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini mengunakan rancangan petak terpisah. Percobaan terdiri dari

dari 2 seri dimana seri pertama (I) dipergunakan untuk analisis tanah setelah inkubasi

Page 5: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

dan analisis jaringan tanaman pada saat fase vegetatif maksimum untuk melihat

ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut dan serapan hara Cu, Zn, Fe

dan Mn oleh beberapa varietas kedelai yang diameliorasi . Seri kedua (II)

dipergunakan untuk melihat pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai yang

diameliorasi .

Petak utama adalah 3 varietas kedelai (1 varietas toleran lahan pasang surut, 1

varietas toleran moderat lahan pasang surut dan 1 varietas peka lahan pasang surut)

yang terdiri dari :

V1 = varietas Tanggamus (toleran)

V2 = varietas Slamet (moderat)

V3 = varietas Anjasmoro (peka)

Anak petak adalah 4 dosis pemberian yang terdiri dari :

A0 = Tanpa perlakuan = 0 g / polybag

A1 = 300 kg /ha = 2,5 g / polybag

A2 = 600 kg /ha = 5,0 g / polybag

A3 = 900 kg /ha = 7,5 g / polybag

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji F. Apabila

memperlihatkan hasil berbeda nyata, dilanjutkan dengan DNRMT (Duncan’s New

Multiple Range Test). Penempatan masing–masing perlakuan dilakukan secara acak.

Denah penempatan satuan percobaan di rumah kawat disajikan pada Lampiran 4.

Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Tanah

Tanah diambil secara bulk composite pada kedalaman 0-20 cm, kemudian

membersihkannya dari akar dan kotoran yang ada. Tanah dikeringanginkan sampai

kondisi lembab. Tanah diambil sebanyak 500 g untuk analisis tanah awal, kemudian

menimbang tanah sebanyak 10 kg atau 2,5 kg setara kering mutlak dan

memasukkannya ke dalam masing-masing polybag dengan penghitungannya dengan

rumus = (% kadar air tanah x berat setara kering mutlak) + berat setara kering mutlak

yaitu (300 % x 2,5 kg) + 2,5 kg = 10 kg

Page 6: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

2. Pemberian Abu Janjang Kelapa sawit

Mencampur rata dengan tanah gambut yang dipakai sebagai media sesuai

perlakuan yaitu tanpa perlakuan , 300 kg/ha , 600 kg/ha dan 900 kg/ha yang

dikonversikan ke dalam polybag dengan berat tanah 2,5 kg setara berat kering. Tanah

kemudian diinkubasi selama 2 minggu. Analisis kandungan hara dapat dilihat pada

Lampiran 5.

3. Pemupukan

Pemupukan dasar dilakukan setelah tanah diinkubasi selama 2 minggu dengan

takaran 50 kg Urea, 100 kg SP36 dan 50 kg KCl (Deptan, 2006) dengan cara tugal di

samping tanaman. Pemberian dolomit sebesar 500 kg/ha ditujukan untuk penambahan

hara Ca dan Mg. Semua pupuk diberikan sekaligus pada saat tanam.

4. Penanaman

Penanaman benih kedelai dengan cara tugal sedalam 3 cm sebanyak 2 biji

perlubang. Sebelum ditanam, benih diinukolasi terlebih dahulu dengan cara

mencampurkan rhizogin dengan perbandingan 7,5 g inukolan untuk 1 kg benih

kedelai (Pitojo, 2003). Benih dikeringanginkan dan segera ditanam.

5. Pemeliharaan dan penjarangan

Pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma dan hama penyakit.

Penyiraman dilakukan 2 kali sehari sampai kondisi tanah lembab atau sekitar

kapasitas lapang. Pengendalian gulma dilakukan secara manual 1 minggu sekali atau

melihat kondisi gulma di polybag. Pencegahan hama dilakukan dengan

menyemprotkan Ripcord 3 EC dengan konsentrasi 1-2 cc/liter sedangkan pencegahan

penyakit dilakukan dengan menyemprotkan Dithane M-35 dengan konsentrasi 2 g/l,

dilakukan setiap 2 minggu sekali sejak tanaman berumur 14 hari setelah tanam.

Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 7 – 14 hari setelah tanam sedangkan

penjarangan dilakukan pada umur 14 hari setelah tanam (Soeprapto, 2002) dengan

mempertahankan 1 batang tanaman/ polybag .

Page 7: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

6. Pemanenan

Panen pertama dilakukan pada percobaan seri pertama (I) yaitu pada fase

vegetatif maksimum dimana tanaman berumur sekitar 30 hari setelah tanam

(tergantung varietasnya) yang ditandai dengan keluarnya primordia bunga pertama

untuk ditentukan serapan haranya. Panen kedua untuk pengamatan komponen hasil

tanaman dilakukan pada percobaan seri kedua (II) yaitu fase generatif saat umur

tanaman sekitar 90 hari setelah tanam atau pada saat tanaman telah menunjukkan

tanda-tanda matang panen yaitu 1) polong mengalami perubahan warna dari hijau

menjadi kecoklatan dan 95 % polong sudah berubah warna, 2) batang dan daun telah

kering dan kadar air sekitar 15-18 % (Adisarwanto dan Widianto, 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Ketersediaan Hara Mikro Cu, Zn, Fe dan Mn Pada Tanah Gambut yang

Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)

Dari Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10.) dapat dilihat bahwa pemberian

AJKS berpengaruh nyata terhadap ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn. Pengaruh

pemberian AJKS terhadap ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut

setelah inkubasi selama 2 minggu serta hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5 %

ditampilkan pada Tabel 5.

Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa hara Cu, Zn, Fe dan Mn meningkat ketersediaannya

dengan pemberian AJKS dibandingkan tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis

pemberian AJKS secara keseluruhan meningkatkan ketersediaan unsur hara. Cuprum

mengalami peningkatan ketersediaan sebesar 2,17-19,73 ppm, Zn sebesar 7,08-13,89

ppm, Fe sebesar 11,71-31,12 ppm dan Mn sebesar 2,70-6,55 ppm dibanding tanpa

perlakuan AJKS. Ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn tertinggi diperoleh pada

perlakuan 900 kg AJKS/ha yaitu berturut-turut sebesar 36,48 ppm, 48,55 ppm, 78,36

ppm dan 23,41 ppm.

Page 8: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS) Terhadap Cu-dd,Zn-dd, Fe-dd dan Mn-dd Pada Tanah Gambut Setelah Inkubasi Selama 2 Minggu

Dosis AJKS(Kg/ha)

Cu Zn Fe Mn

ppm

0300600900

16,75c18,92c26,64b36,48a

34,66c41,74b46,94a48,55a

47,24d58,95c66,12b78,36a

16,86c19,56b22,94a23,41a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pad taraf 5 % menurut uji DNMRT.

Kriteria ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut belum

ada, sehingga dalam penelitian ini digunakan rujukan kriteria ketersediaan hara mikro

secara umum (mungkin untuk tanah mineral). Menurut Rosmarkam dan Yuwono

(2002), kadar Cu dinyatakan rendah apabila berada pada kisaran 15-25 ppm dan

sedang pada kisaran 25-75 ppm. Kadar Cu pada pemberian AJKS 600 kg/ha adalah

26,46 ppm sehingga dapat dinyatakan telah mulai memasuki kriteria sedang begitu

juga dengan pemberian AJKS 900 kg/ha. Kadar Zn pada dosis 900 kg/ha AJKS masih

berada dalam kriteria rendah (48,55 ppm), menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002),

kadar Zn pada kriteria rendah berkisar antara 20-50 ppm. Kadar Fe akibat pemberian

300 kg/ha AJKS sudah mencapai kriteria sedang (78,36 ppm), menurut Rosmarkam

dan Yuwono (2002) kadar Fe pada kisaran 50-250 ppm termasuk kriteria sedang.

Mangan tersedia pada Pemberian 900 kg/ha AJKS diperoleh sebesar 32,41ppm,

berkemungkinan masih termasuk rendah karena kadar Mn dalam tanah menurut

Rosmarkam dan Yuwono (2002) berkisar antara 20 ppm sampai 1000 ppm.

Ketersediaan Cu yang telah mencapai kriteria sedang pada dosis 600 kg/ha

AJKS diduga karena sumbangan pelepasan Cu dari khelat Cu pada tanah. Bahan

pengompleks Cu pada tanah sampel penelitian diduga mempunyai berat molekul

rendah sehingga kestabilan Cu menjadi lebih rendah. Menurut Stevenson (1984),

kestabilan senyawa khelat dipengaruhi berat molekul dan bahan pengompleksnya.

Page 9: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Ketersediaan Fe sudah mencapai kriteria sedang pada pemberian dosis 300

kg/ha AJKS, hal ini berkaitan dengan ketersediaan Fe pada tanah awal memang tidak

begitu rendah. Hal ini diduga disebabkan karena tanah gambut yang dicobakan

lokasinya berada tidak jauh dari tanah Aluvial yang mengandung sulfat masam.

Diduga terjadi penyusupan Fe melalui pengaruh air pasang surut.Menurut

Rosmarkam dan Yuwono (2002), di Indonesia, kadar Fe pada tanah pasang surut dan

tanah gambut bervariasi sedang sampai sangat tinggi.

Peningkatan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn disebabkan karena adanya

penambahan hara Cu, Zn, Fe dan Mn dari pemberian AJKS. Dari hasil analisis

kandungan hara, ternyata AJKS yang digunakan pada percobaan ini selain

mengandung hara makro juga mengandung Cu sebesar 8,97 ppm, Zn sebesar 71,9

ppm, Mn sebesar 53,1 ppm dan Fe sebesar 188,2 ppm (Lampiran 5.). Menurut

Buckman dan Brady (1982), kelebihan abu antara lain mengandung semua unsur hara

secara lengkap baik mikro maupun makro (kecuali N karena pembakaran abu yang

sempurna menghilangkan unsur N). Penambahan AJKS dapat meningkatkan aktifitas

asam-asam organik sehingga terjadi pelarutan mineral – mineral yang berasal dari

AJKS sehingga ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah meningkat.

Pemberian dan Peningkatan dosis AJKS meningkatkan pH tanah gambut

(Tabel 3.) Menurut Winarso (2005), pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat pada

ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo dan Cl)

menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk ketersediaan hara

mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5,0-7,0; 5,0-7,0; 4,0-6,5 dan 5,0-6.

Sopher and Baird (1976) menyatakan bahwa pada range pH 4,0-6,0, peningkatan pH

tanah berpengaruh kuat terhadap penurunan ketersediaan Zn, Fe dan Mn tetapi tidak

begitu kuat mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu. Nilai pH tertinggi akibat

pemberian AJKS yang diperoleh pada percobaan ini baru mencapai 4,13 sehingga

diduga belum begitu besar untuk mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu, Zn, Fe

dan Mn.

Krauskoff (1972) dalam Suryanto (1991) mengemukakan bahwa bentuk Cu

dalam tanah sangat tergantung pada pH tanah. Pada pH agak tinggi Cu berbentuk ion

Page 10: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

kupri (Cu2+) dan tidak mengendap. Pada pH yang lebih tinggi bentuk Cu(OH)+ lebih

dominan dalam larutan tanah. Akan tetapi pada pH alkalis terjadi pengendapan Cu

seperti bentuk CuO, Cu2O atau Cu(OH)2. Sebaliknya pada pH yang sangat rendah

sering diendapkan oleh adanya H2S dan membentuk CuS atau Cu2S. Hasil penelitian

Syukur, Radjagukguk dan Roesmarkam (1985) dalam Suryanto (1991) menunjukkan

peningkatan pH dri 4,5 menjadi 6,7 dapat menurunkan kelarutan Cu dari 6 ppm

menjadi kurang dari 2 ppm. Reuther (1957) dalam Suryanto (1991) menjelaskan

bahwa tanah akan mengikat Cu dengan kuat pada pH 7-8 sebaliknya ikatan ini

semakin melemah dengan menurunnya pH. Tisdale dan Nelson (1975) melaporkan

bahwa Cu dapat ditukar menurun dengan naiknya pH.

Menurut Seatz dan Jurinak (1957) dalam Suryanto (1991) pada kisaran pH

5.5-7.0 ketersediaan Zn menurun. Kelarutan ini meningkat dengan makin rendahnya

pH dan menurun dengan makin tingginya pH. Sims dan Patrick (1978) dalam

Suryanto (1991) melaporkan bahwa kenaikan pH dari 6,0 menjadi 7,5 dapat

menurunkan kandungan Zn sebanyak 39 %.

Kelarutan Fe dan Mn juga dipengaruhi pH tanah. Kathyal dan Rumawa (tahun

tidak tercantum) menjelaskan bahwa kelarutan Fe sangat tergantung kepada pH tanah,

terjadi penurunan kelarutan Fe sebesar kelipatan 1000 per unit peningkatan pH.

Tanaka dan Yoshida (1970) dalam Roesmarkam menyatakan bahwa mulai pada pH

6,5 sampai reaksi netral dan alkalis dapat terjadi kekahatan mangan dan sebaliknya

bila pH tanah rendah kemungkinan akan terjadi keracunan. Pada pH netral sampai

alkalis pengendapan Mn terjadi berupa MnCO3, oksida dan hidroksida Mn2+. Bentuk

hidroksida unsur ini yang bervalensi besar menurut Buckman dan Brady (1982) tidak

dapat larut untuk mensuplai ion yang diperlukan tanaman.

Contoh reaksi yang menerangkan hubungan penurunan kelarutan unsur hara

mikro (kation) dengan peningkatan pH tanah adalah sebagai berikut:

Zn++ + 2OH Zn(OH)2

Larut tidak larut

Page 11: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Jika pH naik, bentuk ion dari kation hara mikro yang semula mudah larut diubah

menjadi hidroksida atau oksida yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh

tanaman.

4.3. Serapan Hara Cu, Zn, Fe dan Mn Pada Beberapa Varietas Kedelai PadaTanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)

4.3.1 Serapan Hara Cu

a. Cu Pada Akar

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11.) menunjukkan bahwa dosis AJKS

dan varietas berbeda nyata terhadap serapan Cu pada akar tanaman kedelai. Interaksi

dosis pemberian AJKS dan varietas tanaman kedelai juga memberikan pengaruh yang

berbeda nyata. Hasil analisis statistik yang telah diuji lanjut dengan DNMRT pada

taraf 5 % disajikan pada Tabel 6.

Dari Tabel 6. terlihat bahwa semua varietas menunjukkan peningkatan angka

serapan Cu akar dibanding tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis AJKS

berkorelasi positip terhadap peningkatan serapan Cu akar Tanggamus (1,09 µg-7,46

µg), Slamet (0,97 µg-7,62 µg) dan Anjasmoro (4,22 µg-6,99 µg).

Peningkatan Serapan Cu akar pada semua varietas pada semua level dosis

AJKS karena adanya penambahan sumbangan hara Cu pada larutan tanah oleh AJKS

sehingga meningkatkan ketersediaan Cu yang dapat diserap oleh akar yang

selanjutnya akan ditransportasi ke tajuk melalui pembuluh xylem. Tanah gambut

yang tidak diberi AJKS tidak mendapat tambahan hara Cu dari AJKS hanya dari hasil

dekomposisi bahan organik pembentuk tanah itu sendiri. Tanah gambut miskin akan

ketersediaan Cu karena menurut Nyakpa et al. (1988) unsur mikro Cu berasal dari

pelapukan batuan sementara tanah gambut berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman

dan hewan ribuan tahun yang lalu. Bahan induk cenderung lebih mempengaruhi

kandungan akan unsur hara mikro daripada kandungan unsur hara makro.

Page 12: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Selain itu pada tanah yang berkadar organik tinggi seperti gambut, sebagian

besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak

tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972 dalam Setiadi, 1996). Hal ini menerangkan

kenapa tanaman pada tanah gambut sering mengalami kekahatan Cu sehingga

penambahan Cu ke dalam tanah mutlak dilakukan.

Akar Anjasmoro memiliki nilai serapan Cu tertinggi pada perlakuan tanpa

pemberian AJKS (9,45 µg), pemberian 300 Kg/ha AJKS (13,67 µg) dan pemberian

900 kg/ha AJKS (16,44 µg) tetapi pada perlakuan 600 kg/ha AJKS (10,62 µg),

memperoleh nilai terendah dibanding Tanggamus dan Slamet. Slamet memperoleh

nilai serapan Cu pada akar terendah hampir pada semua perlakuan kecuali pada dosis

600 kg/ha (10,88µg) nilai terendah diperoleh oleh Anjasmoro (10,62 µg) tetapi

menurut analisis statistik nilai serapan Cu akar antara kedua varietas ini pada dosis

600 kg/ha AJKS tidak berbeda nyata.

Tanggamus menunjukkan respon intermediet (menengah) terhadap serapan

Cu akar baik pada perlakuan tanpa pemberian AJKS maupun peningkatan dosis

AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha, varietas ini memperoleh angka serapan Cu akar

tertinggi (13,49µg ). Pada perlakuan 900 kg/ha AJKS, ketiga varietas memperoleh

nilai yang tidak berbeda secara statistik tetapi secara angka Anjasmoro memperoleh

angka serapan Cu akar tertinggi.

Respon varietas yang berbeda yang terjadi pada dosis pemberian 600 kg/ha

AJKS terhadap serapan Cu akar diduga karena perbedaan toleransi ketiga varietas

terhadap serapan Cu akar. Pada dosis 600 kg/ha laju penyerapan Cu pada akar

Tanggamus mengalami peningkatan yang lebih besar (3,46 ppm) dibanding laju

penyerapan Cu pada level 300 kg/ha (1,09 ppm) dan level 900 kg/ha AJKS (2,91

satuan). Berbeda dengan Anjasmoro dan Slamet yang pada dosis 600 kg/ha AJKS

justru laju penyerapannya lebih rendah dibandingkan pada dosis 300 kg/ha dan 900

kg/ha. Menurut Marschner et.al. (1999), perbedaan toleransi varietas terhadap

ketersediaan Cu rendah berhubungan dengan perbedaan laju penyerapan Cu oleh akar

Page 13: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

dan modifikasi ketersediaan Cu pada perbatasan tanah dengan akar oleh eksudat

akar.

Penurunan serapan Cu pada akar Anjasmoro pada dosis 600 kg/ha AJKS

diduga disebabkan pada level ini protein pembawa kation ini berada dalam keadaan

jenuh sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi sehingga protein pembawa lain

aktif dalam membawa kation ini ke dalam sel. Dosis 900 kg/ha AJKS diduga mampu

mengatasi kejenuhan protein pembawa dan mengaktifkan protein pembawa lain

sebagaimana menurut Lakitan (1993), protein pembawa menjadi jenuh pada

konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan konsentrasi larutan tidak lagi

mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini dapat di atasi jika konsentrasi

ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme yang lain yang berperan dalam

serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin melibatkan protein pembawa yang

lain.

b. Cu Pada Tajuk

Pengaruh Utama varietas kedelai, dosis AJKS serta interaksi antara varietas

kedelai dan dosis AJKS berbeda nyata terhadap serapan Cu pada tajuk tanaman

kedelai (Lampiran 11.). Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT

pada taraf 5 % disajikan pada Tabel 7.

Dari Tabel 6. dan 7. dapat dilihat bahwa peningkatan dosis AJKS cenderung

meningkatkan serapan Cu baik pada akar maupun tajuk tanaman semua varietas

(Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet). Besarnya peningkatan total serapan Cu oleh

tanaman adalah berkisar 21,27µg - 64,65µg. Peningkatan serapan hara Cu pada

Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet sejalan dengan semakin meningkatnya dosis

AJKS disebabkan adanya peningkatan ketersediaan hara Cu pada larutan tanah akibat

pemberian dan peningkatan dosis AJKS (Tabel 5.) Semakin tersedianya hara Cu pada

larutan tanah menyebabkan semakin banyak hara Cu yang tersedia untuk diserap oleh

akar tanaman dan diteruskan pada tajuk tanaman.

Menurut Mas’ud (1992) hara tembaga diserap akar tanaman dalam bentuk

kation Cu2+ melalui suatu proses aktif. Penyerapan Cu2+ akan meningkat dengan

Page 14: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

meningkatnya kepekatan ion dalam larutan sampai 0,1 mM. Penyerapan Cu akan

berkurang jika larutan tanah banyak mengandung Al tetapi ion Zn dan Mn tidak

mempengaruhi penyerapan. Unsur Cu umumnya diserap melalui aliran massa, sedikit

melalui intersepsi akar dan tidak ada diserap melaui difusi (Barber et.al dalam Havlin

et al. 1999).

Anjasmoro memperoleh angka tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian

AJKS dan 300 kg/ha AJKS, sementara Tanggamus memperoleh angka tertinggi pada

dosis 600 kg/ha dan Slamet memperoleh angka tertinggi pada perlakuan 900 kg/ha

AJKS terhadap serapan Cu tajuk tanaman. Angka Serapan hara Cu tajuk yang rendah

pada umumnya ditemui pada Slamet pada semua level dosis kecuali pada dosis 900

kg/ha semua varietas menunjukkan respon yang sama. Perbedaan respon tanaman

terhadap serapan tajuk berkaitan dengan kemampuan akar dalam menyerap Cu pada

akar dan kemampuan tanaman dalam mengangkut hara dari akar ke tajuk masing-

masing varietas .

Umumnya serapan hara pada tajuk lebih tinggi dibandingkan serapan hara

pada akar. Hal ini berkaitan dengan fungsi Cu yang mempunyai peranan besar dalam

fotosintesis yaitu menurut Lakitan (1993) adalah sebagai plastosianin pada kloroplas

yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada proses fotosintesis. Titik kritis

defisiensi Cu pada bagian vegetatif tanaman biasanya berkisar 1-5 ppm tergantung

spesies tanaman, organ tanaman, tingkat pertumbuhan dan suplai Nitrogen

(Marschner, 1995). Kadar Cu < 10 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi

sedangkan > 30 ppm sudah berlebih atau bersifat toksik (Katyal dan Rhandawa, tahun

tidak tercantum). Kadar hara tertinggi pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro

berturut-turut diperoleh sebesar 8,34 ppm, 8,19 ppm dan 7,82 ppm. Dengan demikian

peningkatan kadar Cu pada tanaman dengan penambahan AJKS pada penelitian ini

masih berada dalam tingkat defisiensi. (Berat tajuk Tanggamus, Slamet dan

Anjasmoro berturut-turut 2,12 g, 2,24 g dan 2,31 g).

Page 15: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

4.3.2 Serapan Zn

a. Zn pada Akar Tanaman

Pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi

keduanya berbeda nyata terhadap serapan hara Zn pada akar kedelai (Lampiran 11).

Hasil uji lanjut statistik dengan DNMRT pada taraf 5 % perlakuan dosis AJKS dan

varietas kedelai terhadap serapan Zn pada akar kedelai disajikan pada Tabel 8.

Dari Tabel 8. terlihat bahwa pemberian AJKS meningkatkan serapan Zn akar

Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro dibanding tanpa pemberian AJKS. Serapan Zn

akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro mengalami peningkatan sejalan peningkatan

dosis AJKS. Peningkatan serapan Zn akar pada semua varietas yang dicobakan

berkaitan dengan semakin tersedianya Zn pada larutan tanah akibat adanya

penambahan Zn dari kandungan AJKS (Tabel 5.). sehingga Zn yang dapat diserap

oleh akar juga semakin banyak. Menurut Marschner (1995) peningkatan konsentrasi

ion eksternal menunjukkan peningkatan konsentrasi ion di dalam eksudat akar.Angka

serapan Zn pada akar tertinggi diperoleh Anjasmoro pada dosis 300 kg/ha AJKS dan

900 kg/ha AJKS sedangkan pada perlakuan tanpa pemberian AJKS dan dosis 600

kg/ha serapan Zn tertinggi ditemui pada akar Tanggamus. Slamet umumnya

mempunyai angka serapan hara akar terendah pada semua level dosis AJKS

sementara Tanggamus berada pada level intermediet kecuali pada perlakuan tanpa

AJKS dan dosis 600 kg/ha AJKS. Perbedaan serapan Zn akar diantara varietas ini

diduga disebabkan perbedaan kepekaan varietas atas rendahnya ketersediaan Zn.

Varietas yang peka akan menyerap Zn lebih tinggi. Menurut Marschner (1999)

perbedaan tanaman dalam menyerap Zn mungkin disebabkan oleh perbedaan akar

tanaman dalam mengeksplorasi Zn pada larutan tanah.

b. Zn pada Tajuk

Analisis sidik ragam (lampiran 11.) memperlihatkan bahwa antara pengaruh

utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas kedelai serta interaksi keduanya

berpengaruh nyata terhadap serapan Zn pada tajuk kedelai. Hasil analisis statistik

yang telah diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada Tabel 9.

Page 16: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Dari Tabel 8. terlihat bahwa peningkatan serapan hara Zn pada semua akar varietas

kedelai yang dicobakan meningkat dengan semakin meningkatnya dosis AJKS tetapi

pada Tabel 9. terlihat bahwa pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro

peningkatan serapan Zn baru terlihat pada dosis 600 kg/ha dibanding tanpa pemberian

AJKS. Hal ini diduga disebabkan dosis AJKS yang dicobakan masih terlalu rendah

untuk mensuplai Zn untuk tajuk tanaman dan range dosis yang dicobakan masih kecil

sehingga peningkatan level dosis tidak begitu memperlihatkan perbedaan nyata

menurut statistik walaupun peningkatan dosis AJKS yang dicobakan telah

meningkatkan serapan akar. Berkemungkinan permintaan tajuk terhadap hara Zn

lebih tinggi dari kemampuan akar dalam memenuhinya karena kedelai merupakan

tanaman yang peka terhadap Zn rendah.

Pada dosis 900 kg/ha, serapan hara Zn oleh tajuk Slamet menurun

dibandingkan dosis 600 kg/ha. Penurunan serapan pada tajuk Slamet pada dosis 900

kg/ha memperlihatkan bahwa laju serapan Zn pada tajuk Slamet tidak meningkat

secara linear dengan peningkatan dosis AJKS dan serapan hara Zn pada akar. Laju

serapan bersifat asimptotik yaitu berlangsung lebih cepat dan tidak linear. Pada dosis

600 kg/ha AJKS laju serapan berlangsung lebih cepat (tinggi), diduga pada kondisi

ini protein pembawa berada pada kondisi jenuh. Menurut Lakitan (1993), protein

pembawa menjadi jenuh pada konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan

konsentrasi larutan tidak lagi mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini

dapat di atasi jika konsentrasi ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme

yang lain yang berperan dalam serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin

melibatkan protein pembawa yang lain. Peningkatan dosis 900 kg/ha AJKS diduga

belum cukup untuk mengatasi kejenuhan protein pembawa.

Tajuk Anjasmoro menyerap Zn lebih banyak dibanding tajuk Tanggamus dan

tajuk Slamet dimana tajuk Tanggamus menyerap Zn lebih besar dibanding Tajuk

Slamet pada semua level dosis. Setiap Spesies dan varietas menurut Marschner

(1995) mempunyai kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi Zn. Kedelai dan

jagung sangat peka terhadap defisiensi Zn. Tanaman yang peka terhadap Zn rendah

Page 17: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

berusaha menyerap Zn lebih banyak sehingga meningkatkan kemampuan untuk

menyerap Zn, tetapi dibatasi oleh ketersediaan Zn dalam larutan tanah.

Jumlah dan laju serapan hara Zn pada tajuk lebih besar dibandingkan pada

akar. Seng lebih dibutuhkan pada tajuk (daun) dibandingkan akar tanaman karena

berperan dalam fotosintesis di daun. Hal ini berkaitan dengan fungsi Zn yang

menurut Lakitan (1993) berfungsi dalam pembentukan klorofil dan mencegah

kerusakan molekul klorofil. Titik kritis toksik pada daun tanaman adalah < 100 µg/g

berat kering (Ruano et al., 1988 dalam Marschner, 1995), menurut Mengel dan

Kirkby (1987) dalam Roesmarkam dan Yuwono (2002), kadar Zn dalam tanaman

berkisar antara 20 ppm -70 ppm. Kadar Zn tertinggi dalam tajuk Tanggamus, Slamet

dan Anjasmoro akibat pemberian AJKS dalam penelitian ini berturut-turut 8,03 µg/g

berat kering, 6,03 µg/g dan 10,83 µg/g. Harkat Zn dalam daun indikator kedelai 10-

20 ppm menurut Jones (1967) dalam Roesmarkam dan Yuwono (2002) termasuk

kategori rendah.

4.3.3 Serapan Hara Fe

a. Fe pada Akar

Dari hasil sidik ragam pada Lampiran 11. dapat diketahui bahwa antara

pengaruh utama dosis AJKS dan varietas serta interaksi keduanya memperlihatkan

hasil yang berbeda nyata terhadap serapan Fe pada akar tanaman kedelai. Analisis

statistik yang diuji dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 10.Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut uji DNMRT

(huruf besar dibaca secara horizontal dan huruf kecil secara vertikal).

Dari Tabel 10. terlihat bahwa terjadi peningkatan serapan Fe pada akar ketiga

varietas kedelai yang dicobakan akibat pemberian AJKS. Peningkatan serapan pada

akar Tanggamus berkisar 28,65-63,21 µg, pada akar Slamet berkisar 27,89µg-

62,34µg dan pada akar Anjasmoro berkisar 28,16µg -62,30µg dibandingkan tanpa

pemberian AJKS. Peningkatan serapan Fe akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro

ini disebabkan semakin tersedianya Fe pada larutan tanah akibat adanya penambahan

hara Fe yang dilepaskan oleh AJKS (Tabel 5.).

Page 18: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Ketiga varietas menunjukkan respon yang sama hampir pada semua level

dosis AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha dimana Anjasmoro menunjukkan respon

yang lebih tinggi. Anjasmoro mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam

menyerap unsur hara Fe dan memiliki respon yang lebih cepat terhadap pemberian

AJKS. Hal ini terlihat dari angka serapan hara yang lebih tinggi pada perlakuan tanpa

pemberian AJKS dan pada dosis AJKS 600 kg/ha sudah menunjukkan peningkatan

angka serapan hara Fe sementara Tanggamus dan Slamet baru memperlihatkan

peningkatan hara Fe pada dosis 900 kg/ha AJKS menurut analisis statistik.

b. Fe pada Tajuk

Dari interaksi dosis AJKS dan varietas terhadap serapan Fe akar (Tabel 10.)

dan Tajuk (Tabel 11.) terlihat bahwa serapan hara Fe meningkat dengan

meningkatnya dosis AJKS. Peningkatan serapan Fe pada akar dan tajuk tanaman

kedelai karena semakin meningkatnya ketersediaan hara Fe pada larutan tanah akibat

terlepasnya hara Fe dari AJKS dengan semakin meningkatnya aktifitas asam-asam

organik untuk berikatan dengan Fe yang ada dalam kandungan AJKS.

Meningkatnya serapan Fe dengan peningkatan dosis AJKS diduga karena

adanya penambahan hara Fe ke dalam larutan tanah sementara tanah gambut yang

tidak diberi AJKS hanya mengharapkan tambahan dari mineralisasi Fe hasil

dekomposisi bahan organik penyusun tanah gambut dan dari resapan air laut.

Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), Fe adalah elemen yang sukar

untuk dipahami sebab kadarnya didalam tanaman dan kadar ketersediannya di tanah

tidak selalu dapat dipercaya untuk mendiagnosa defisiensi Fe. Kadar Fe total pada

tanah umumnya tidak mengatur kadar nutrisi tanaman. Menurut Havlin et.al (1999)

interaksi kation logam dengan Fe dapat menyebabkan stress Fe. Penggunaan P yang

berlebihan, kadar Cu, Mn, Zn dan Mo yang tinggi mengganggu penyerapan dan

penggunaan Fe oleh tanaman.

Tajuk Anjasmoro menyerap Fe lebih besar dibandingkan tajuk Tanggamus

dan Slamet, sementara antara tajuk Tanggamus dan tajuk Slamet memiliki

kemampuan yang sama menurut analisis statistik. Hal ini berkaitan dengan respon

Page 19: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Anjasmoro yang lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet terhadap

pemberian AJKS dan kemampuan akar dalam mengeksplorasi Fe pada larutan tanah

yang lebih besar sehingga mampu memenuhi permintaan tajuk akan unsur Fe.

Titik kritis defisiensi Fe pada daun berkisar 50-150 µg Fe /g berat kering

sedangkan titik kritis toksik berkisar diatas 500 µg Fe/g berat kering (Marschner,

1995). Kadar Fe tertinggi pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro akibat

pemberian AJKS berturut-turut sebesar 62,89 ppm, 66,92 ppm dan 70,01 ppm.

Menurut Jones (1972) dalam Katyal dan Rhandawa (tahun tidak tercantum) kadar Fe

28-38 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi, kadar 44-60 ppm adalah normal.

Dengan demikian kadar Fe tertinggi pada percobaan ini sudah mencukupi kebutuhan

kedelai ketiga varietas yang dicobakan bahkan sedikit melebihi batas normal tetapi

belum sampai menyebabkan toksisitas.

Serapan hara Fe pada tajuk lebih besar dibandingkan serapan hara pada akar.

Hal ini berkaitan dengan fungsi Fe itu sendiri yang lebih berperan pada bagian atas

tanaman. Menurut Lakitan (1993), besi merupakan unsur hara essensial karena

merupakan bagian dari protein yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada fase

terang fotosintetis dan respirasi

4. Serapan Hara Mn

a. Mn pada Akar

Analisa sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa tidak ada

interaksi yang nyata antara pemberian AJKS dan varietas, tetapi pengaruh utama

pemberian AJKS dan pengaruh utama varietas masing-masing menunjukkan

perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada akar tanaman kedelai. Hasil analisis

statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % disajikan pada Tabel 12.

Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn akar tanaman kedelai

yaitu sebesar 3,33-11,13µg dibandingkan tanpa perlakuan AJKS. Serapan Mn pada

akar tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian dosis 900 kg/ha AJKS. Akar

Slamet memiliki kemampuan menyerap Mn yang paling rendah dibandingkan

Tanggamus dan Anjasmoro dimana daya serap Mn akar Tanggamus dan Anjasmoro

tidak berbeda nyata menurut analisis statistik.

Page 20: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

b. Mn pada Tajuk

Hasil sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa pengaruh tunggal

dosis AJKS dan pengaruh tunggal varietas kedelai berbeda nyata terhadap serapan

hara Mn pada tajuk kedelai tetapi tidak terjadi interaksi yang nyata antara kedua

faktor perlakuan. Hasil statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % dapat

dilihat pada Tabel 13.

Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn tajuk tanaman kedelai

yaitu sebesar (8,80-8,86 µg) dibandingkan tanpa perlakuan AJKS (18,02 µg), tetapi

dosis pemberian 600 kg/ha AJKS (26,28 µg) dan 300 kg/ha AJKS (26,82 µg) tidak

berbeda nyata dengan dosis pemberian 900 kg/ha AJKS secara analisis statistik.

Tidak terjadinya peningkatan serapan Mn dengan meningkatnya dosis AJKS sampai

900 kg/ha AJKS dikarenakan antagonisme antara Fe dan Mn.

Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), ketersediaan Fe yang

tinggi pada tanah dapat menyebabkan defisiensi Mn. Untuk pertumbuhan optimum

tanaman, ratio Fe:Mn pada media hara seharusnya berada diantara 1,5 dan 2,5. Nilai

diatas 2,5 menyebabkan defisiensi Mn sementara nilai di bawah 1,5 menyebabkan

toksisitas. Ratio Fe:Mn pada tanah setelah pemberian AJKS berkisar antara 3,35-

3,50, sehingga menyebabkan tanaman berada dalam kondisi defisiensi Mn.

Peningkatan dosis AJKS disertai penambahan pupuk Mn lewat daun mungkin dapat

dipertimbangkan untuk mengatasi ketidakseimbangan atau antagonisme kedua pupuk

ini.

Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan hara Mn akar (Tabel 12.)

tetapi tidak meningkatkan serapan Mn Tajuk (Tabel 13.). Peningkatan serapan Mn

pada akar kedelai ini berkaitan dengan meningkatnya ketersediaan Mn pada larutan

tanah (Tabel 5.). Peningkatan hara Mn pada larutan tanah berasal dari sumbangan

hara Mn dari AJKS. Serapan hara Mn meningkat dengan meningkatnya ketersediaan

hara Mn dalam larutan tanah. Menurut Uren (1981) dalam Salisbury dan Ross (1995),

Mn terutama diserap dalam bentuk Mn2+ sesudah dilepaskan dari khelat atau

direduksi dari oksida valensi tinggi dipermukaan akar. Menurut Barber et al. dalam

Page 21: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Havlin et al.(1999) jumlah hara Mn yang diserap tanaman melalui pergerakan aliran

massa lebih besar daripada melalui intersepsi akar dan tidak ada yang diserap melalui

difusi. Ion Mn2+ dalam larutan tanah berpindah bersama aliran air ke akar akibat

transpirasi tanaman, intersepsi akar memperpendek jarak yang harus ditempuh unsur-

unsur hara untuk mendekati akar melalui aliran massa ini.

Akar Slamet memperoleh angka serapan Mn terendah dibandingkan akar

Tanggamus dan akar Anjasmoro, serapan hara Mn pada akar Tanggamus tidak

berbeda nyata dengan akar Anjasmoro menurut analisis statistik. Untuk serapan Mn

pada tajuk, Anjasmoro memiliki angka serapan hara tertinggi dibanding Tanggamus

dan Anjasmoro, antara varietas Tanggamus dan Slamet tidak memperlihatkan

perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada tajuk.

Dilihat dari total serapan hara Mn oleh Anjasmoro (58,04 µg), Tanggamus

(47,35µg) dan Slamet (44,11µg), Slamet mempunyai serapan Mn terendah.

Rendahnya serapan hara Mn oleh Slamet diduga karena Slamet mempunyai toleransi

yang rendah pada tanah gambut dengan ketersediaan Mn rendah, walaupun varietas

ini tergolong toleransi moderat pada lahan pasang surut. Koesrini, Sabran dan Eddy

(1997) menduga Slamet belum mampu beradaptasi dengan baik pada lahan gambut

yang merupakan lahan basah dengan tingkat kemasaman yang tinggi. Varietas ini

memiliki toleransi terhadap tanah masam yang berada di lahan kering bukan di lahan

basah.

Anjasmoro memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memenuhi

kebutuhan hara Mn pada tajuk dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini berkaitan

dengan kemampuan Anjasmoro dalam memberikan energi kepada akar untuk

mengangkut air dan hara ke tajuk dan kemampuan yang lebih cepat dalam

memfungsikan Mn. Menurut Salisbury dan Ross (1995), ada hubungan antara fungsi

akar dan tajuk dalam penyerapan mineral (hara). Ada dua kendali dalam melihat hal

ini. Dalam pengertian “permintaan”, tajuk akan meningkatkan penyerapan garam

mineral oleh akar dengan secara cepat menggunakan garam mineral tersebut dalam

produk pertumbuhan (contohnya klorofil). Dalam hal “penawaran”, tajuk memasok

karbohidrat melalui floem yang digunakan akar untuk berespirasi menghasilkan ATP;

Page 22: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

ATP ini membantu penyerapan garam mineral. Barangkali tajuk juga memasok akar

dengan beberapa hormon tertentu yang mempengaruhi penyerapan akar.

Mn menurut Lakitan (1993) berfungsi sebagai aktivator dari berbagai enzim,

selain itu juga berperan dalam menstimulasi pemecahan molekul air pada fase terang

fotosintesis. Mangan juga merupakan komponen struktural dari sistem membran

kloroplas. Hal ini menjelaskan bahwa Mn lebih berperan pada tajuk dibanding akar

sehingga serapan Mn pada tajuk lebih tinggi dibanding serapan pada akar.

Titik kritis defisiensi Mn berkisar 10 dan 20 µg /g berat kering pada daun yang

berkembang sempurna (Marschner, 1995), kedelai menunjukkan defisiensi pada

kadar Mn < 15 ppm (Katyal dan Rhandhawa, tahun tidak tercantum) dan titik kritis

toksik berada pada kadar 600 ppm (Marschner, 1995). Kadar Mn pada Tanggamus,

Slamet dan Anjasmoro berturut-turut adalah 9,99 ppm, 9,15 ppm dan 13,77 ppm.

Dengan demikian ketiga varietas yang dicobakan masih berada dalam keadaan

defisiensi Mn.

4.4. Respon Beberapa Varietas Kedelai Di Tanah Gambut yang Diameliorasi

Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)

4.4.1 Tinggi Tanaman

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12.) menunjukkan bahwa hanya pengaruh

utama dosis AJKS yang berbeda nyata terhadap serapan Mn pada tajuk kedelai,

pengaruh utama varietas dan interaksi tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik

yang diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada Tabel 14.

Dari Tabel 14. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS tidak diiringi

peningkatan tinggi tanaman baik varietas Anjasmoro, Tanggamus maupun Slamet

menurut analisis statistik tapi dari segi angka terdapat peningkatan tinggi tanaman.

Tinggi tanaman yang diperoleh dengan pemberian AJKS telah melebihi tinggi

tanaman yang dipaparkan dalam deskripsi tanaman (Lampiran 1., 2. dan 3.)

Peningkatan tinggi tanaman diduga disebabkan oleh meningkatnya status hara tanah

akibat semakin membaiknya pH tanah akibat pemberian AJKS (Tabel 4.) dibanding

dengan pH tanah awal dan tanpa perlakuan AJKS. Menurut Hardjowigeno (2001) pH

Page 23: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara baik makro maupun mikro

diserap oleh akar tanaman. Kecukupan unsur hara mempengaruhi pertumbuhan

tanaman salah satunya tinggi tanaman.

Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman dengan

peningkatan dosis AJKS berkaitan dengan serapan Zn tajuk pada ketiga varietas.

Peningkatan dosis AJKS umumnya tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata

terhadap peningkatan serapan Zn tajuk (Tabel 9.) sehingga diduga merupakan

penyebab tinggi tanaman tidak berbeda nyata juga. Valle (1976) dalam Salisbury dan

Ross (1995) menyatakan bahwa kekurangan Zn dapat menghambat pertumbuhan

batang karena Zn diperlukan untuk membuat hormon tumbuh indolasetat (auksin)

yang berguna untuk memacu pertumbuhan batang.

Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian AJKS 600 kg/ha

dengan peningkatan tinggi tanaman sebesar 17,67 cm dibandingkan tanpa perlakuan

AJKS (66,89 cm) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 300 kg/ha AJKS dan

perlakuan 900 kg/ha AJKS. Perlakuan varietas tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Tinggi tanaman yang sama pada ketiga varietas ini diduga karena kebutuhan hara

pada masa pertumbuhan vegetatif sama-sama telah terpenuhi, peningkatan dosis

AJKS tidak begitu mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman tetapi setelah

memasuki masa pertumbuhan generatif masing-masing varietas baru menunjukkan

respon yang berbeda. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan respon masing-masing

varietas terhadap jumlah polong (Tabel 16), persentase polong kosong (Tabel 17),

hasil/pot biji kering (Tabel 18.) dan bobot brangkasan kering (Tabel 19.).

Pertumbuhan vegetatif yang bagus tidak menjamin bahwa pertumbuhan generatif

akan bagus pula.

4.4.2 Ratio Akar dan Tajuk

Analisis sidik ragam pada Lampiran 12. menunjukkan bahwa pengaruh utama

dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi kedua faktor tidak berbeda

nyata terhadap ratio akar dan tajuk. Analisis tidak dilanjutkan dengan uji lanjut.

Page 24: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Menurut hasil analisis statistik, peningkatan dosis AJKS tidak mempengaruhi

ratio akar dan tajuk Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet tetapi secara angka terlihat

bahwa peningkatan dosis AJKS menurunkan Ratio akar dan tajuk. Hal ini

menunjukkan bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan kemampuan tanaman

dalam mentranslokasikan unsur hara dari akar ke tajuk sehingga pertumbuhan tajuk

tanaman lebih besar. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kecuali beberapa spesies

tumbuhan gurun tertentu yang mempunyai sistem perakaran yang luar biasa besar,

kebanyakan tumbuhan mencurahkan sebagian besar biomassanya pada tajuk.

Penyerapan garam mineral sebagian dikendalikan oleh aktivitas tajuk. Dalam

pengertian permintaan, tajuk akan meningkatkan penyerapan garam mineral oleh akar

dengan secara cepat menggunakan garam mineral tersebut dalam produk

pertumbuhan misalnya protein, asam nukleat dan klorofil, sehingga pertumbuhan

tajuk lebih besar dari akar.

4.4.3 Jumlah Polong Kedelai

Analisis sidik ragam memperlihatkan adanya perbedaan nyata pengaruh

utama dosis AJKS, pengaruh utama varietas kedelai dan interaksi keduanya terhadap

jumlah polong beberapa varietas kedelai pada tanah gambut (Lampiran 12.). Hasil

analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % disajikan pada

Tabel 16.

Dari Tabel 16. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan jumlah

polong Varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro. Peningkatan jumlah polong

berkaitan dengan adanya tambahan hara dari AJKS. Dari analisis kandungan hara

diketahui bahwa AJKS mengandung hara makro dan mikro seperti K (24,58%), P

(0,02%), Ca (1,79%), Mg (1,5%), Cu (0,11 ppm), Zn (0,14 ppm), Fe (0,36 ppm) dan

Mn (0,14 ppm) sehingga dengan pemberian AJKS dapat menambah ketersediaan

unsur hara diatas untuk tanaman. Menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) Cu ikut

berperan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Apabila tanaman kekurangan

Page 25: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Cu maka sintesa protein akan terganggu sehingga pembungaan dan pembuahan

menjadi terganggu, sehingga pembentukan polong kedelai juga terganggu.

Jumlah polong tanaman kedelai tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg/ha

AJKS pada Anjasmoro (41,00 buah) sedangkan jumlah polong terendah diperoleh

pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada Anjasmoro (10,67 buah). Pada perlakuan

tanpa pemberian AJKS, jumlah polong Anjasmoro lebih sedikit dibanding

Tanggamus dan Slamet tetapi sejalan dengan peningkatan dosis AJKS dari 300 kg/ha

AJKS, 600 kg/ha AJKS sampai 900 kg/ha AJKS, jumlah polong Anjasmoro

meningkat lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Pada dosis 300 kg/ha,

Tanggamus sudah memperlihatkan peningkatan jumlah polong sedangkan Slamet

baru menampakkan perbedaan pada dosis 600 kg/ha AJKS terhadap perlakuan tanpa

AJKS.

Perbedaan jumlah polong diantara ketiga varietas ini diduga disebabkan

perbedaan laju proses fotosintesis selama fase reproduktif, Anjasmoro

memperlihatkan laju fotosintesis yang lebih tinggi. Pernyataan ini didukung dari hasil

pengamatan berat brangkasan kering Anjasmoro yang lebih tinggi dari Tanggamus

dan Slamet (Tabel 18.) Pertumbuhan bagian atas yang baik akan menunjang proses

fotosintesis selama periode pengisian biji. Gardner et al. (1991) menjelaskan bahwa

fotosintesis selama periode pengisisan biji biasanya menjadi sumber yang terpenting

untuk berat panen biji.

4.4.4. Persentase polong Kosong

Pengaruh utama dosis dan pengaruh utama varietas kedelai masing-masing

berbeda nyata terhadap persentase polong kosong, begitu pula interaksinya (Lampiran

12.). Pengaruh pemberian AJKS terhadap persentase polong kosong beberapa varietas

kedelai pada tanah gambut yang telah dianalisis secara statistik dan diuji lanjut

dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. memperlihatkan bahwa terdapat korelasi positip antara penambahan

AJKS dengan penurunan persentase polong kosong. Pada perlakuan tanpa pemberian

AJKS, 100 % polong Anjasmoro tidak berisi, tetapi dengan peningkatan dosis AJKS

Page 26: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

terjadi penurunan polong kosong sebesar 55,45%-77,25%. Penurunan polong kosong

Tanggamus sudah terlihat pada dosis 300 kg/ha tetapi Slamet baru memperlihatkan

perbedaan dengan tanpa perlakuan AJKS pada dosis 600 kg/ha. Persentase polong

kosong tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada varietas

Anjasmoro yaitu sebesar 100 % sedangkan persentase jumlah polong terendah

diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu

sebesar 22,75 %.

Tingginya persentase polong kosong pada perlakuan tanpa pemberian AJKS

disebabkan karena rendahnya ketersediaan unsur hara mikro dan diduga adanya

asam-asam organik meracun yang dalam dosis tinggi bisa meracuni tanaman. Asam

organik yang tinggi diindikasikan dengan rendahnya pH tanah gambut. Vaughan,

Malcolm dan Ord (1985) dalam Prasetyo (1996) menyatakan bahwa pengaruh

fitotoksik asam-asam organik dari dekomposisi bahan organik terhadap tanaman

meliputi penundaan atau penghambatan pertunasan biji, pertumbuhan kerdil,

perusakan sistem perakaran, menghambat penyerapan hara, klorosis, layu dan

mematikan tanaman. Selain itu juga mengganggu proses metabolisme seperti

respirasi dan sintesis asam nukleat atau protein sementara pengisian polong

membutuhkan protein yang tinggi karena (Pitojo, 2003) biji kedelai mengandung

protein yang tinggi. Permasalahan kandungan asam organik yang tinggi menurut

Hanibal (1995) dapat juga dicegah dengan penggunaan AJKS karena mengandung

logam kation polivalen seperti Fe, Cu, Zn, dan Mn yang bisa membentuk khelat

dengan asam organik sehingga dapat mengurangi aktivitas dan keracunan asam

organik.

Selain itu pemberian AJKS juga dianggap dapat menambah ketersediaan hara

makro seperti K, P, Ca, Mg. Dari hasil analisis kandungan hara AJKS dalam

penelitian yang dilakukan oleh Hanibal, Sarman dan Gusniwati (2001) menunjukkan

bahwa AJKS mengandung unsur hara K berbentuk senyawa K2O (36,48 %), P2O5

(4,79 %), MgO (2,63 %), CaO (5,46 %), Mn (1230 ppm), Fe (3450) ppm, Cu (183

ppm), Br (125,43) ppm, Zn (28 ppm) dengan pH berkisar 11,9 – 12,0. Sementara itu

AJKS menurut Nainggolan (1992) juga mengandung SiO2 (3.33 %), CaO (5.85 %)

Page 27: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

MgO (2.63 %), Al2O3 (4.71 %), Fe2O3) (18.34 %), SO3 (3.0 %), Na2O (1.8 %) dan

K2O (27.26 %). Panjaitan, Sugiono dan Sirait (1983) dalam penelitiannya melaporkan

bahwa AJKS mempunyai kandungan unsur hara Kalium yang tinggi, disamping

kandungan unsur hara lain seperti Fosfor dan Magnesium.

Unsur K sangat berperan dalam proses pembentukan polong dan polong

bernas pada tanaman kedelai. Semakin tinggi K maka pembentukan dan pengisian

polong semakin berjalan sempurna (Hanibal, 1995). Dengan demikian AJKS dapat

digunakan untuk meningkatkan jumlah polong bernas kedelai melalui sumbangan

haranya terutama K yang tinggi yang terkandung di dalam AJKS.

4.4.5. Hasil/ Pot biji kering

Dari analisis sidik ragam terlihat bahwa pengaruh utama dosis AJKS,

pengaruh utama varietas dan interaksinya berbeda nyata terhadap hasil/pot biji kering

kedelai (Lampiran 12. ) Hasil analisis statistik pengaruh pemberian AJKS terhadap

bobot biji kering beberapa varietas kedelai pada tanah gambut disajikan pada Tabel

18.

Dari Tabel 18. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan hasil/pot

biji kering kedelai. Peningkatan hasil/pot biji kering pada Tanggamus berkisar 1,07 g-

1,94 g, Slamet berkisar 0,09 g-0,49 g sedangkan Anjasmoro berkisar 1,28-3,48 g.

Peningkatan hasil/pot biji kering ini kalau dikonversi ke dalam hasil produksi

perhektar masih tergolong sangat rendah. Hal ini diduga bahwa dosis AJKS yang

diberikan belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kedelai baik

makro dan mikro. Rendahnya bobot biji berkaitan dengan jumlah polong yang rendah

dan tingginya persentase polong kosong.

Pemberian AJKS belum mampu mencapai pH tanah yang ideal untuk

pertumbuhan dan produksi tanaman, padahal pH tanah yang ideal akan meningkatkan

status kesuburan tanah yaitu dengan peningkatan kelarutan unsur hara baik unsur hara

makro maupun mikro seperti Cu, Zn, Fe dan Mn. Hara Cu, Zn, Fe dan Mn juga

menentukan hasil/pot biji kering tanaman kedelai karena menurut Hardjowigeno

(2001) Zn berperan dalam pematangan biji dan merupakan katalis pembentukan

Page 28: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

protein, Fe berperan dalam pembentukan klorofil dan merupakan penyusun enzim

dan protein, Cu berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein sementara Mn

berperan dalam fotosintesis. Sementara tanah belum mampu menyediakan unsur-

unsur ini sesuai dengan kebutuhan tanaman sebagaimana yang dinyatakan Sutanto

(2005) bahwa kemampuan tanah sebagai habitat tanaman untuk menghasilkan bahan

yang dapat dipanen sangat ditentukan oleh tingkat kesuburannya. Kesuburan tanah

(Dikti, 1991) adalah kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara dalam jumlah

yang berimbang untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.

Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa keseimbangan hara dalam tanah

merupakan faktor penting bagi kelancaran metabolisme yang erat hubungannya

dengan pertumbuhan tanaman dan produksi tanaman yang dihasilkan. Hal ini pada

akhirnya sangat menentukan besarnya bobot kering biji. Amelioran AJKS memiliki

kadar K yang tinggi, menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) umumnya

penyerapan K tinggi menyebabkan penyerapan unsur Ca, Mg dan Na turun. Unsur

yang mempunyai pengaruh saling berlawanan dan satu sama lain saling mengusir

disebut antagonis. Oleh karena itu perlu ketersediaan unsur berimbang optimal.

Sehingga selain AJKS perlu ditambahkan pupuk atau bahan amelioran lain yang

dapat memasok hara sesuai kebutuhan tanaman.

Hasil/pot biji kering tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha

AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 3,48 g sedangkan hasil/pot biji kering

terendah diperoleh pada perlakuan tanpa perlakuan AJKS pada varietas Anjasmoro

yaitu sebesar 0,00 g. Pada perlakuan tanpa pemberian AJKS, Anjasmoro tidak

menghasilkan biji kering karena semua polong yang dihasilkan pada perlakuan ini

tidak berisi. Hal ini diduga disebabkan karena Anjasmoro adalah kedelai yang peka

terhadap tanah gambut tetapi mempunyai respon yang lebih besar terhadap pemberian

AJKS dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Slamet memiliki respon yang rendah

terhadap peningkatan dosis AJKS, respon baru terlihat pada dosis 600 kg/ha. Hal ini

berkaitan dengan daya serap tanaman ini terhadap unsur hara mikro yang juga rendah.

Page 29: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Anjasmoro merupakan varietas yang peka pada tanah gambut tetapi dengan

pemberian AJKS, varietas ini ternyata memiliki respon dan efisiensi hara yang lebih

tinggi dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini dilihat dari kemampuannya dalam

menghasilkan hasil/pot biji kering dan bobot brangkasan kering yang lebih besar dari

Tanggamus dan Slamet. Hasil/pot biji kering yang masih rendah pada Anjasmoro

sebagai varietas terbaik dalam percobaan ini berkaitan dengan kurangnya nutrisi hara

untuk mendukung pengisian polong pada varietas ini. Jumlah polong yang lebih besar

dan persentase polong kosong yang kecil tidak sebanding dengan bobot biji kering

yang dihasilkan. Waktu matang panen yang dibutuhkan varietas ini (100 hari) lebih

lama dibanding deskripsi varietasnya (82,5-92,5 hari) dan membutuhkan waktu yang

lebih lama dibandingkan Tanggamus (77 hari) dan Slamet (81 hari) sementara media

tanah di dalam polybag telah mengalami penurunan sebesar ± 10 cm. Hal ini

mengakibatkan tanaman kekurangan energi untuk pengisian polong sehingga polong

berisi tapi tidak bernas. Cepatnya penurunan tanah disebabkan karena gambut telah

kehilangan sebagian besar kandungan airnya seperti yang terjadi pada lahan gambut

dengan over drainase.

4.4.6 Bobot Brangkasan Kering

Dilihat dari sidik ragam (Lampiran 12.) terdapat perbedaan nyata antara dosis

AJKS dan Varietas kedelai terhadap bobot brangkasan kering varietas kedelai pada

tanah gambut. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5

% dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. memperlihatkan bahwa bobot brangkasan kering Tanggamus,

Slamet dan Anjasmoro meningkat sejalan dengan peningkatan dosis AJKS. Bobot

brangkasan kering yang meningkat dengan peningkatan dosis AJKS diduga karena

meningkatnya kemampuan akar tanaman dalam mentranslokasikan air dan unsur hara

melaui xylem ke tajuk sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk. Hal ini diduga

berhubungan dengan meningkatnya serapan hara pada akar dan tajuk dengan

peningkatan dosis AJKS.

Page 30: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg/ha AJKS

pada Anjasmoro yaitu sebesar 9,42 g sedangkan bobot brangkasan kering terendah

diperoleh pada perlakuan pemberian 300 kg/ha AJKS pada Slamet yaitu sebesar 1,79

g. Pada semua level dosis pemberian AJKS, Anjasmoro memperoleh bobot

brangkasan kering tertinggi dibanding Tanggamus dan Slamet. Perbedaan bobot

brangkasan diperoleh sebesar 3,99 g dibandingkan varietas Slamet dan 2,57 g

dibanding Tanggamus. Antara Tanggamus dan Slamet tidak berbeda nyata menurut

analisis statistik tapi secara angka, bobot brangkasan kering Tanggamus lebih tinggi

daripada Slamet.

Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro disusul

varietas Tanggamus dan Slamet sehingga diduga varietas Anjasmoro adalah varietas

yang adaptif pada tanah gambut yang masam dengan kemampuan menyuplai unsur

hara untuk tanaman yang rendah. Setiap tanaman mempunyai tanggapan yang

berbeda terhadap deraan lingkungan, Slamet dan Suyamto (1977) menyatakan bahwa

hal ini berkaitan dengan kemampuan dalam berkompetisi terhadap faktor tumbuh

yang dikendalikan oleh genotifnya. Daya adaptasi suatu varietas tanaman adalah

interaksi antara lingkungan dengan genotif. Daya adaptasi ini menyebabkan varietas

Anjasmoro dapat memperoleh faktor pertumbuhan seperti air, hara, cahaya dan

karbondioksida untuk menghasilkan biomassanya. Senyawa anorganik terutama air

dan karbondioksida serta unsur hara yang diserap akar akan memberikan kontribusi

terhadap pertambahan bobot kering.

Varietas Anjasmoro memiliki efisiensi hara terbaik dilihat dari bobot

keringnya. Bobot kering menggambarkan efisiensi tanaman dalam menggunakan

unsur hara. Menurut Marschner (1995) tanaman yang efisien didefinisikan sebagai

tanaman yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik, memproduksi bahan kering

yang lebih banyak dan mengembangkan gejala kekurangan hara yang lebih sedikit

daripada tanaman lain ketika ditanam pada tingkat unsur hara rendah atau kurang. Hal

ini juga dapat dilihat dari Tabel 18., dimana pada dosis 300 kg/ha, Tanggamus dan

Slamet belum mengalami peningkatan yang nyata dibandingkan tanpa perlakuan,

dengan dosis 600 kg/ha baru terjadi perbedaan berat kering sedangkan Anjasmoro

Page 31: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

sudah memperlihatkan perbedaan yang nyata pada dosis 300 kg/ha dibanding tanpa

pemberian AJKS. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kondisi pemberian hara yang

sama, Anjasmoro lebih mampu mempergunakannya untuk menghasilkan biji kering

dan brangkasan kering yang lebih tinggi dibanding Tanggamus dan Anjasmoro.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian “Studi Ketersediaan dan Serapan Hara Mikro Serta

Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu

Janjang Kelapa Sawit” dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian abu janjang kelapa sawit (AJKS) secara umum meningkatkan pH

tanah dan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah gambut dan terdapat

interaksi antara dosis AJKS dan varietas kedelai terhadap serapan Cu, Zn dan

Fe pada akar dan tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro, jumlah polong,

persentase polong kosong, hasil/pot biji kering dan brangkasan kering,

sedangkan pemberian faktor utama dosis AJKS dan varietas kedelai

berpengaruh nyata terhadap serapan Mn pada akar dan tajuk Tanggamus,

Slamet dan Anjasmoro, tinggi tanaman serta ratio akar dan tajuk

2. Pemberian 900 kg/ha AJKS umumnya memberikan hasil tertinggi terhadap

semua parameter yang dicobakan pada penelitian ini. Secara umum diantara

tiga varietas yang diuji, varietas Anjasmoro merupakan varietas yang peka

tetapi respon terhadap pemberian AJKS karena Anjasmoro memperoleh

hasil/pot biji kering paling tinggi yaitu sebesar 3,48 g dibanding Tanggamus

(2,57 g) dan Slamet (0,69 g) serta menghasilkan bobot brangkasan kering

Page 32: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

yang lebih banyak yaitu sebesar 9,42 g dibanding Tanggamus (4,82 g) dan

Slamet (3,38 g).

Saran

Berdasarkan hasil yang telah disimpulkan, maka disarankan untuk :

1. memberikan abu janjang kelapa sawit dengan dosis sebesar 900 kg/ha dengan

menggunakan varietas Anjasmoro dalam upaya meningkatkan hasil kedelai

yang di tanam pada tanah gambut

2. Disarankan juga melakukan penelitian yang sama dengan dosis yang lebih

tinggi dan pengisian tanah yang lebih banyak ke dalam polybag

3. Melakukan penelitian yang sama di lapangan.

Page 33: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto dan R. Widianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di LahanSawah, Lahan Kering dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. 75 hal.

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian danAspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Bogor. 41 hal.

Amaru, Kharistya. 2000. Limbah Industri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian KelapaSawit. Medan. 15 hal.

Ambak, K., Abubakar and T. Tadano. 1992. The effect of Liming and MicronutrienApplication on the Growth of Crop Plants and Occurrence of Sterility inSouthern Thailand and Malaysia. 399-409. Dalam: Tropical Peatland.Prosiding Simposium; Kuching, Serawak 6-10 Mei 1991. Serawak. MalaysianAgricultural Research and Development Institute (MARDI) and Developmentof Agriculture Serawak.

Anonim. 2 Maret 2010. Industri Sawit Diminta Terapkan Zero Waste.http://economy.okezone.com/read/2010/03/02/320/308146/320/industri-sawit-diminta-terapkan-zero-waste. [28 April 2010].

Asril. 2001. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai yangDiinukolasi dengan Rhizobiumjaponicum pada Tanah Gambut Saprik yang Diberi Abu Janjang KelapaSawit. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang. 54 hal.

Atman, R. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumbar.Http://atmanroja.files.wordpress.2009.06/03.kedelaiindonesia.pdf. 2 hal. [28April 2010].

Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.2009. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 – 2009. Bogor. 72 hal.

Bangka, B. Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. 2010.Http://Budakbangka.blogspot.com/2005/pemanfaatan-limbah-kelapa-sawit. [28 April 2010].

Buckman, H.O dan N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Penerjemah: Soegiman.Terjemahan dari: Soil Science. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal.

Dai, J. 1989. Potensi Gambut Indonesia. Hal 352-359. Dalam: Tantangan, Prospekdan Pelestarian. Tanah gambut Untuk Perluasan Pertanian. Proseding Seminar:Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian Universitas IslamSumatera Utara.

Page 34: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Departemen Pertanian, 2006. Usaha Pengembangan Kedelai.http : // www. Deptan.go.id/infoeksekutif/tan/tp 2006/Lp kedelai, 2htm. [6Maret 2006].

Djoefrie, B. 1982. Substitusi Pupuk KCl dengan Limbah Kelapa Sawit UntukTanaman Cengkeh dan Kedelai. Jurnal Agrotropika Volume IV (2): 78: 15-17. Bogor.

Dikti. 1991. Kesuburan Tanah. 245 hal.

Fitter, A. H. dan K. M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. 421hal

Gardner, F. P., Pearce R. B., Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UIPress. Jakarta. 428 hal.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., M. Nugroho., G. Saul., M.A. Diha., M.Hong., G. B. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.Lampung. 488 hal.

Halim, A dan G. Soepardi. 1987. Perbaikan Tanah Gambut Pedalaman denganPeningkatan Kejenuhan Basa dalam Budidaya Tanaman Kedelai. hal 272-276.Yokyakarta. Seminar Nasional Gambut I di Yogyakarta.

Hanibal. 1995. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit dan Pupuk PTerhadap Pertumbuhan Serta Hasil Kedelai pada Ultisol. [Tesis]. PPS Unand.Padang. 156 hal.

Hanibal, Sarman, Gusniwati. 2001. Pemanfaatan Abu Janjang Kelapa Sawit PadaLahan Kering dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Nodula Akar,Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glaycine max). Fakultas Pertanian.Universitas Jambi. Jambi.

Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian. SuatuPeluang dan Tantangan. Fakultas Pertanian IPB.Bogor. 173 hal.

-----------------------. 1989. Sifat-Sifat dan Potensi Tanah Gambut Sumatera UntukPengembangan Pertanian.Hal 43-70. Dalam: Tantangan, Prospek danPelestarian. Tanah Gambut Untuk Perluasan Pertanian. Proseding Seminar:Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian Universitas IslamSumatera Utara.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akamedika Pressindo. Jakarta. 284 hal.

Page 35: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Havlin J. L., J. D. Beaton., S. L. Tisdale dan W. L. Nelson. 1999. Soil Fertility andFertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Prentice Hall. NewJersey. 499 hal.

Hettari, R. 2005. Penetapan Dosis Unsur Mikro Cu pada Tanah Gambut yang DiberiKapur Terhadap Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L. Merril). [Skripsi].Fakultas Pertanian Unand. Padang. 78 hal.

Istina, I., N. Umar dan Dorlan. 2007. Pengaruh Limbah Abu Tankos Kelapa SawitTerhadap Hasil Beberapa Varietas Kedelai Unggul Baru di Lahan PMK.Buletin Inovasi Pertanian. Volume 1. nomor 2. Desembar 2007. 4 hal.

Katyal dan N. S. Randhawa. Tahun Tidak Tercantum. FAO Fertilizer and NutritionBulletin. Food and Agricultural Organization of United Nation. hal 82.

Kurniawan, A. 2011. Unsur Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai.http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:unsur-unsur-hara-tanaman&catid=47:artikelhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16351/4/Chapter%20II.pdf. [4 Maret2011].

Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisius. Yokyakarta. 92 hal.

Kuswandi, A. 2009. Unsur Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai.http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:unsur-unsur-hara-tanaman&catid=47:artikel[ 4 April 2009].

Koesrini., M. Sabran., dan W. Eddy. 1997. Adaptasi dan Toleransi 15 VarietasKedelai Di Lahan Pasang Surut Bergambut. Hal: 14-18. Prosiding: HasilPenelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. BalaiPenelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Palangkaraya.

Lahuddin. 1989. Pengaruh Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap B dan Zn- tersedia.Buletin I. Pertanian USU. Medan. 8 hal.

Lakitan, B. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta.203 hal.

Lamina. 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV. Simplex. Jakarta. 32 hal.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Politeknik PertanianTembilahan dengan Bappeda Kabupaten Indragiri Hilir. 2006. PenyusunanDetail Engineering Design (DED) Perkebunan Kelapa Di Kabupaten IndragiriHilir. 202 hal

Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. Academic-Press. California.

Page 36: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Marwoto dan Suharsono. 2009. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian UlatGrayak (Spodopthera fabricius) pada Tanaman Kedelai. Http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3244083.pdf. [7 May 2010].

Mayerni, R. 2004. Pengaruh Limbah Pabrik Semen dan Efektif MikroorganismeTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rami (Boehmeria nivea)(L.)Gaud) Pada Tanah Gambut. Stigma Volume XII No.2, April-Juni 2004. 4hal.

Najiyati, S., L. Muslihat dan I. I. N Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan LahanGambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest andPeatlands in Indonesia. Wetland International. Indonesia ProgrammeandWildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. 9 hal.

Nelvia. 1997. Pemupukan Posphat Alam dan Amelioran Pada Tanah GambutTerhadap Ketersediaan dan Serapan P, K, Ca dan Mg oleh Tanaman Jagung.34-38. Dalam: Identifikasi Masalah Pupuk Nasional dan Standarisasi Mutuyang Efektif. Prosiding Seminar Nasional: Bandar Lampung, 22 Desember1997. Kerjasama Unila dan HITI.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yokyakrta.174 hal.

Panjaitan, A. Soegiono dan Sirait, H. 1983. Pengaruh Pemberian Abu Janjang KelapaSawit Terhadap Perubahan Kalium Tukar Tanah Pada Podzolik, Regosol danAluvial. Balai Penelitian Perkebunan Medan. Buletin. Vol. 14.No. 4. Medan.129 hal.

Pitojo, S. 2003. Benih Kedelai. Seri Penangkaran. Penerbit Kanisius. Yokyakarta. 17hal.

Prasetyo, T. B. 1996. Perilaku Asam-Asam Organik Meracun Pada Tanah GambutYang Diberi Garam Na dan Beberapa Unsur Mikro Dalam Kaitannya DenganHasil Padi. [Disertasi]. Progrm Pasca Sarjana IPB. Bogor. 187 hal.

Prasetiyono, J. dan Tasliah, 2003. Strategi Pendekatan Bioteknologi UntukPemuliaan Tanaman Toleran Keracunan Aluminium. Jurnal Ilmu PertanianVol.10 No.1: 85 hal.

Rachim, A. 1995. Penggunaan Logam-Logam Polivalen Untuk MeningkatkanKetersediaan Phospat dan Produksi Jagung Pada Tanah Gambut. [Disertasi].PPS IPB. Bogor. 260 hal.

Rahmaneli. 2006. Pengolahan Minyak di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT. BumiPalma Lestari Persada Kecamatan Kempas Jaya Kabupaten Indragiri Hilir.Sawit. [Laporan Magang]. Fakultas Pertanian UNISI. Tembilahan. 72 Hal.

Page 37: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Ramadoni. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Macam Pupuk Kalium pada TanahGambut yang Dicampur Aluvial Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung(Zea mays, L.). [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.Padang. 78hal.

Rosmarkam, A dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.Yokyakarta. 224 hal.

Sabiham, S. 1993. Pemanfaatan Lumpur Daerah Rawa Pasang Surut sebagai SalahSatu Alternatif dalam Menurunkan Gas Methan dan Asam Phenol padaGambut Tebal. Hal 267-280. Di dalam S. Triutomo, B. Setiadi, B.Nurachman, D. Mulyono, E. Nursahid dan Kasiran (Eds.). Prosiding: SeminarNasional Gambut II. Jakarta, 14-15. Januari, 1993.

Sagala, D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai padaBerbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. [Thesis]. PascaSarjana IPB. Bogor. 163 hal.

Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. PerkembanganTumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Penerjemah; Diah R. Lukman danSumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. Institut Teknologi BandungPress. 342 hal.

Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. ResponKeracunan dan Toleransi Tanaman Terhadap Logam. Penerjemah; Diah R.Lukman dan Sumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. InstitutTeknologi Bandung Press. 342 hal.

Sarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Bandung. 196 hal.

Santoso, D., Suwarto. dan E. A., Sri. 1983. Penuntun Analisis Tanaman. PusatPenelitian Tanah. Bogor. 47 hal.

Setiadi, B. 1996. Gambut: Tantangan dan Peluang. Editor. Himpunan GambutIndonesia (HGI) Departemen Pekerjaan Umum. 120 hal.

Setyamidjaya, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan Simplex. Jakarta.

Slamet dan Suyamto. 1997. Tanggap Genotif Kedelai Terhadap Cara TanamTumpang Sari dengan Jagung Varietas Wisanggeni. [Abstrak Agronomi EdisiKhusus]. Balitkabi. Malang. 1 hal.

Sopher C. D. dan J. V.Braird 1976. Soils And Soil Management. Weston PublishingCompany INC. Reston. Virginia. 354 hal

Page 38: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Institut PertanianBogor. 65 hal

Stevenson, F.J.. 1984. Humus Chemistry, Genesis, Composition and Reaction. JohnWiley and Sons Inc. New York, Chichester, Brisbone, Toronto, Singapore.495 hal.

Suprapto. 2002. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. 8 hal.

Supriyadi, S., Poeloengan, Z dan Soegiono. 1992. Pembuatan Pupuk Kalium DariAbu Janjang Sawit. Berita Perkebunan Medan. 77 hal

Suryanto, 1991. Pengaruh Tembaga dan Seng Terhadap Hasil Kedelai Pada Ultisolyang Dikapur. [Tesis]. PPS Unand. Padang. 125 hal.

Susianti. 2001. Pemanfaatan Abu Janjang Kelapa Sawit Sebagai Pupuk AlternatifKCl Pada Troposafrist dan Pengaruhnya Terhadap K Serta Produksi Jagung(Zea mays, L) [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.Padang. 65hal.

Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Konsep dan Kenyataan. Kanisius. 265hal.

Umami, I. M. 2010. Pengaruh Pemberian Abu Tandan Kosong Kelapa SawitTerhadap Kimia Tanah dan Produksi Varietas Padi dengan Berbagai TingkatToleransi pada Tanah Gambut. [Skripsi]. Fakultas Pertanian UniversitasAndalas. Padang. 74 hal.

Widjaya-Adhi, I. P. G. 1988. Physical and Chemical Characteristics of Peat Soil ofIndonesia. Hal 59-64. Dalam: The Third Meeting of The Comperative onProblem Soils on August 22-26 1988 at CRIFC. Bogor. IAARD Journ. 10 (3).

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. GavaMedia. 269 hal.

Page 39: Plugin Studi Ketersediaan Dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit