tahu, pengetahuan, & cara memperolehnya

21
TAHU, PENGETAHUAN, DAN CARA MEMPEROLEHNYA 1 Oleh: Hilman Wahyudi A. PENGANTAR Secara antropologi filsafat atau yang lebih dikenal sebagai filsafat manusia, manusia digelari sebagai makhluk yang bertanya. Tidak seperti makhluk Tuhan lainnya, manusia adalah makhluk yang secara kodrati tidak hanya mampu bertanya tentang realitas eksternal di luar dirinya, melainkan juga mampu mempertanyakan (hakikat) dirinya sendiri. Terkait dengan kodratnya sebagai makhluk yang bertanya itu, tidaklah aneh kiranya jika (sebagian) manusia bertanya dan berupaya untuk menemukan jawaban tentang realitas yang dialaminya sehingga pada titik tertentu ia menemukan kepuasan. Namun ternyata, kepuasan tersebut bukanlah hal yang mampu mengakhiri lahirnya pertanyaan-pertanyaan lain sebagai kelanjutan dari apa yang telah ditemukan jawabannya pada waktu sebelumnya. Di antara tak terhitungnya jumlah pertanyaan yang selalu muncul dalam tiap generasi manusia adalah 1 Makalah ini dipresentasikan dalam kuliah tatap muka Filsafat Ilmu yang diampu oleh Nina Nurmila Ph.D di PPs S. 2 UIN Sunan Gunung Djati Bandung Konsentrasi Ilmu Pendidikan Islam pada hari Rabu, 19 September 2012. 1

Upload: hilman-wahyudi

Post on 07-Aug-2015

119 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Sistematika filsafat, definisi tahu dan pengetahuan, serta cara memperolehnya.

TRANSCRIPT

Page 1: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

TAHU, PENGETAHUAN, DAN CARA MEMPEROLEHNYA1

Oleh: Hilman Wahyudi

A. PENGANTAR

Secara antropologi filsafat atau yang lebih dikenal sebagai filsafat

manusia, manusia digelari sebagai makhluk yang bertanya. Tidak seperti makhluk

Tuhan lainnya, manusia adalah makhluk yang secara kodrati tidak hanya mampu

bertanya tentang realitas eksternal di luar dirinya, melainkan juga mampu

mempertanyakan (hakikat) dirinya sendiri.

Terkait dengan kodratnya sebagai makhluk yang bertanya itu, tidaklah

aneh kiranya jika (sebagian) manusia bertanya dan berupaya untuk menemukan

jawaban tentang realitas yang dialaminya sehingga pada titik tertentu ia

menemukan kepuasan. Namun ternyata, kepuasan tersebut bukanlah hal yang

mampu mengakhiri lahirnya pertanyaan-pertanyaan lain sebagai kelanjutan dari

apa yang telah ditemukan jawabannya pada waktu sebelumnya.

Di antara tak terhitungnya jumlah pertanyaan yang selalu muncul dalam

tiap generasi manusia adalah pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan kata

‘tahu’, ‘pengetahuan’, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Dalam

kerangka menemukan jawab atas ketiga hal di atas, penulis telah menelusuri

beberapa literatur filsafat yang terkait dengan ketiganya. Hasil penelusuran itu

akan penulis paparkan dalam pemaparan berikut ini.

B. TITIK TEMU ANTARA FILSAFAT DENGAN FILSAFAT ILMU

(SAINS)

Sebelum masuk pada pemaparan tentang “tahu, pegetahuan, dan cara

memperolehnya”, penulis pikir amat perlu untuk mengkaji secara sekilas

hubungan antara filsafat dan filsafat ilmu. Dengan demikian kita akan

1 Makalah ini dipresentasikan dalam kuliah tatap muka Filsafat Ilmu yang diampu oleh Nina Nurmila Ph.D di PPs S. 2 UIN Sunan Gunung Djati Bandung Konsentrasi Ilmu Pendidikan Islam pada hari Rabu, 19 September 2012.

1

Page 2: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

mendapatkan peta yang jelas tentang posisi ‘pengetahuan’ yang dikaji dalam

makalah ini.

Dalam kajian filsafat terdapat tiga masalah pokok yang terus berkembang.

Ketiga hal tersebut adalah masalah: ada, pengetahuan, dan nilai.2 Pertama, ‘ada’

adalah wilayah yang mengkaji hakikat sesuatu. Wilayah ‘ada’ ini terbagi menjadi

dua disiplin yakni: ontologi dan metafisika. Christian Wolff memberi demarkasi

antara ontologi dan metafisika secara tegas.3 Menurutnya ontologi bergulat di

wilayah ‘ada’ yang bersifat empirik; Sementara metafisika menggeluti ‘ada’ dari

aspek yang melampaui hal-hal empirik.

Kedua, wilayah pengetahuan. Wilayah ini memiliki empat disiplin filsafat,

yakni: epistemologi, filsafat ilmu pengetahuan (sains), metodologi, dan logika.

Epistemologi— para pakar filsafat, biasa menyebutnya sebagai teori

pengetahuan-- mengkaji hakikat pengetahuan dari empat segi, yaitu: sumber

pengetahuan, batasan pengetahuan, struktur pengetahuan, serta keabsahan

(validitas) pengetahuan. Filsafat sains merupakan cabang filsafat yang mengkaji

ilmu pengetahuan dari sisi ciri-ciri dan cara memperolehnya.4 Dengan pendapat

yang hampir sama, Irmayanti M. Budianto menyebutkan bahwa refleksi terhadap

filsafat ilmu pengetahuan adalah mengkaji secara kritis ciri dan cara kerja ilmu

pengetahuan. 5 Metodologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji metode-

metode yang digunakan dalam dunia ilmiah (scientific). Sedangkan, logika adalah

cabang filsafat yang mengkaji azas-azas berpikir secara lurus dan tertib.

2 Donny Gahral Adian. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju. hlm. 53 Ibid.4 Selain ciri-ciri dan cara memperolehnya, dewasa ini filsafat sains juga mengembangkan kajian ke wilayah aksiologis. Di antaranya mengkaji persoalan nilai sains (subjektif atau objektif) dan tanggung jawab moral ilmuwan. Hal terakhir ini telah menjadi bagian inhern dalam konsep pengembangan ilmu di masa kejayaan Islam, sebagai inspirasi kemajuan sains Barat positivistik. Pada saat dunia Barat mengembangkan sains positivstik mulai abad 18an, wilayah aksiologis ini menjadi persoalan yang terlepas dari konsep pengembagan sains. 5 Irmayanti M. Budianto. 2002. Realitas dan objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra. hlm. 21

2

Page 3: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

ADA

ETIKA

ESTETIKA

FILSAFAT ILMU

EPISTEMOLOGI

METODOLOGI

LOGIKA

ONTOLOGI METAFISIKA

NILAI

PENGE-TAHUAN

Ketiga, wilayah nilai. Wilayah ini memiliki dua disiplin filsafat yakni etika

yang merefleksikan nilai moral (baik-buruk) dan estetika yang merefleksikan

nilai-nilai estetis (indah-tidak indah).

Gambar 1.

Sistematika Filsafat

Pemaparan singkat di atas, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa

titik temu antara filsafat dan filsafat ilmu adalah pada wilayah pengetahuan, lebih

tepatnya pada titik epistemologi. Dikatakan demikian karena filsafat ilmu-- yang

mendalami ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan itu-- beririsan sangat erat dengan

keempat segi yang didalami oleh epistemologi.

Salah satu permasalahan epistemologi yang cukup merebut perhatian para

pakar filsafat ilmu adalah persoalan mendasar tentang tahu dan pengetahuan. Oleh

karenanya, tidak sedikit buku atau dokumen lainnya yang bertema epistemologi

dan filsafat ilmu memberi ruang penjelasan tentang pengetahuan.

C. PENGERTIAN ‘TAHU’

Berdasarkan penelusuran penulis, literatur yang memberikan definisi

‘tahu’ kemudian membedakannya dengan ‘pengetahuan’, sulit untuk ditemukan.

Kebanyakan, para penulis buku tentang epistemologi dan filsafat ilmu tidak

3

Page 4: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

membedakan definisi ‘tahu/ mengetahui’, dan ‘pengetahuan’. Hal seperti ini bisa

kita baca dalam karya A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua.6 Dalam karyanya

tersebut, mereka mengidentikkan ‘tahu’ dengan ‘pengetahuan’. Justru yang

menurut mereka perlu dibedakan secara tegas adalah persoalan pengetahuan

dengan keyakinan.

Pada salah satu bab dari buku karya Keraf dan Dua disebutkan tentang 4

jenis tahu, yaitu: tahu bahwa, tahu mengenai/ atas, tahu bagaimana, dan tahu

mengapa. Kategori ‘tahu mengapa’ ini, dianggap oleh penulisnya sebagai

pengetahuan yang paling mengagumkan karena dipandang sebagai jenis ‘tahu’

yang paling reflektif.

Di antara terbatasnya literatur yang menjelaskan definisi ‘tahu’ itu, penulis

beruntung memilki bahan ajar filsafat ilmu untuk mahasiswa S.1 PAI UIN

Bandung yang ditulis Tedi Priatna. Di sana dikemukakan bahwa yang dimaksud

dengan ‘tahu’ adalah keadaan seseorang memiliki arsip informasi dalam

memorinya (otak/ hatinya). ‘Tahu’ diartikan juga sebagai mengenal sesuatu

setelah mengamati atau menemukan dalam kenyataan.7 Sayangnya, di sana tidak

dicantumkan sumber pengambilan (referensi) definisi tersebut sehingga

menyulitkan penelusuran lebih lanjut.

Ada juga sebagian pendapat yang menyatakan bahwa tahu adalah mengerti

sesudah melihat.8 Selintas, pendapat tersebut nampak benar, namun jika dipikir

lagi lebih dalam, kita akan temukan kekeliruannya. Pendapat tersebut hanya

merujuk kata ‘tahu’ hanaya pada hal-hal yang inderawi. Padahal tahu-nya manusia

ini tidak terbatas pada hal yang inderawi saja. Manusia bisa tahu sesuatu tanpa

6 Sonny Keraf, A. dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.

7 Tedi Priatna. 2008. Filsafat Ilmu: Dasar untuk Penelitian (Hand out mata kuliah S.1 PAI UIN Bandung). Tidak dipublikasikan. Apabila kita sepakat dengan definsi ‘tahu’ yang disampaikan Tedi, hal yang harus dicermati dari definisi ‘tahu’ di sini adalah bahwa ‘kenyataan’ perlu dimaknai seluas-luasnya, tidak dibatasi pada wilayah rasional dan empirik saja. Sehingga tidak menutup pengetahuan di luar wilayah rasional empirik untuk masuk ke dalam kategori ‘tahu’ ini.

8 Definisi tahu seperti ini banyak dikutip di tulisan-tulisan yang tersebar di internet. Seperti dalam ’artikata.com’, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan banyak tulisan yang mengutip Notoatmojo.

4

Page 5: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

pernah melihat sesuatu itu terlebih dahulu. Misalnya, dengan manusia memikirkan

objek yang belum ada secara inderawi, manusia bisa tahu sesuatu bahkan

menjadikan hasil pikirannya itu sebagai sesuatu yang baru di dunia inderawi.

Contohnya, Dulu sebelum abad modern muncul, manusia tidak tahu apa yang

disebut sepeda baik dalam arti konsep maupun bentuk nyatanya. Namun setelah

pikiran manusia maju dan berkembang, manusia mampu berpikir tentang sepeda

bahkan mewujudkan pikirannya itu dalam bentuk sepeda yang kongkret. Jadi,

definisi tahu seperti yang diajukan artikata.com, KBBI, Notoatmojo adalah

definisi yang dangkal sekali, tidak koheren.

Persoalan kemudian adalah dari mana munculnya? Untuk menjawab

persoalan inirannya , Gazalba menyatakan bahwa tahu adalah hasil dari kenal,

sadar, insaf, mengerti, dan pandai.9 Dengan jalan itulah ‘tahu’ menjadi bagian dari

subjek-yang-tahu.

D. DEFINISI PENGETAHUAN

Jika pada bagian sebelumnya kita melihat perbedaan para ahli dalam

mendefinisikan ‘tahu’, pada bagian ini akan kita lihat perbedaan yang lebih

variatif lagi tentang ‘pengetahuan’. Pengetahuan yang sering dipergunakan orang

Indonesia dalam keseharian ternyata membawa persoalan besar jika akan

dipergunakan dalam wilayah kajian akademis. Dalam pemaknaannya, istilah ini

pada satu sisi dipengaruhi bahasa Arab, ‘ilmu. Di sisi lain dipengaruhi oleh bahasa

Inggris, knowledge.

Tetkala orang Indonesia yang dipengaruhi— baik sadar maupun tidak

sadar—oleh khazanah bahasa Arab saja, kata ‘ilmu seringkali merujuk kepada dua

pengertian pengetahuan, yakni: pertama pengertian pengetahuan dalam arti

seluruh jenis pengetahuan yang diketahui dan dikembangkan manusia (mistik,

filsafat, seni, sains). Kedua, ‘ilmu dalam arti pengertian pengetahuan khusus yang

rasional dan empirik (science/ sains). Jadi dalam benak orang Indonesia yang

terpengaruh oleh Bahasa Arab ini tidak ada pembedaan— bukan perbedaan—

9 Sidi Gazalba. 1992. Sistematika Filsafat. Cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 104

5

Page 6: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

penggunaan istilah bagi ilmu dalam arti luas dengan ilmu khusus yang di dunia

Barat dikenal dengan sebutan science.

Bagi kelompok orang yang dipengaruhi oleh khazanah bahasa Arab dan

Inggris sekaligus atau oleh khazanah Bahasa Inggris saja, biasanya mereka akan

merujuk langsung makna pengetahuan itu dari kata ‘knowledge’. Secara semantik,

knowledge ini bermakna pengetahuan dalam arti luas yang mencakup keseluruhan

jenis pengetahuan manusia. Term ini jelas membuat garis demarkasi dengan term

science, yang khusus menggambarkan pengetahuan dengan ciri rasional dan

empirik. Istilah science sendiri oleh kelompok ini seringkali diterjemahkan

sebagai ilmu pengetahuan, sebuah frasa yang dibuat untuk membedakan science

dari pengetahuan dalam arti luas. Untuk memudahkan pemahaman, tidak jarang

juga ‘science’ diterjemahkan juga ke dalam kata ‘sains’. Dalam khazanah yang

kedua inilah penulis membahas pengetahuan.

Dari beragam literatur epistemologi atau filsafat ilmu, penulis menemukan

perbedaan pandangan menarik tentang pengetahuan. Bukan hanya tentang

sumber, jenis, atau cara memperolehnya, perbedaan itu sudah dimulai ketika para

ahli memperbincangkan definisi pengetahuan. Pendefinisian term itu ada yang

bersifat amat sederhana tapi ditemukan juga yang rumit karena secara inhern

definisi tersebut sudah mengandaikan adanya hubungan subjek-objek dalam

pencapaiannya.

Ahmad Tafsir— baik dalam buku-bukunya maupun secara lisan di forum-

forum ilmiah-- merupakan pakar yang berpendapat secara tegas bahwa definisi

pengetahuan itu amat sederhana, yaitu segala sesuatu yang diketahui manusia,

titik.10 Pendapatnya ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Jujun S.

Suriasumantri, yang menyatakan bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya

merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu.11

10Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Rosdakarya.

11 Jujun S. Suriasumantri. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm. 104

6

Page 7: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

Pendefinisian semacam itu dilakukan juga oleh Tedi Priatna dengan

mengemukakan bahwa pengetahuan adalah segala hal yang kita ketahui tentang

suatu obyek tertentu.12

Pendefinisian secara sederhana namun agak berbeda dari pendapat A.

Tafsir diberikan oleh Gazalba. Ia mengartikan pengetahuan sebagai sebagai semua

milik atau isi pikiran.13 Namun pendefinisian yang cukup mengejutkan otak untuk

berpikir lebih keras adalah pendefinisian yang dilontarkan oleh Pranarka. Ia

berpendapat bahwa pengetahuan adalah suatu persatuan antara subjek dan objek:

dengan mengetahui, subjek menjadi manunggal dengan objek dan objek menjadi

manunggal dengan subjek. Kemanunggalan ini adalah kemanunggalan yang

sungguh mendalam; maka pengetahuan bukan sekedar pertemuan antara subjek

dengan objek, akan tetapi sungguh merupakan suatu persatuan. Ada terjadi suatu

intrinsic union dan bukan sekedar extrinsic union antara subjek dan objek.14

Lebih lanjut ia menyatakan: “Pengetahuan pada hakikatnya akan selalu

bersifat relasional, artinya berada di dalam kesehubungan antara subjek dan

objek, dan relasi ini bukanlah apa yang disebut relasi extrinsic, melainkan suatu

relasi intrinsic. Maka dari itu pengetahuan bukanlah sekedar suatu hubungan

yang iuxta positif antara subjek dan objek, bukan sekedar pertemuan antara subjek

dan objek.”15

Al-Ghazali (tt: 7-12) mengartikan pengetahuan sebagai hasil aktivitas

mengetahui, yakni: tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak

ada keraguan terhadapnya. Menurut al-Ghazalli, jiwa yang tidak ragu terhadap

apa yang diketahui menjadi syarat mutlak diterimanya pengetahuan.16

E. HAKIKAT REALITAS DAN PENGETAHUAN

12 Tedi Priatna. op.cit.13 Sidi Gazalba. op.cit.14 Pranarka, A.M.W.. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS. hlm. 36

15 Ibid.16 Cecep Sumarna. 2008. Filsafat Ilmu. Cet. Ke-3. Bandung: Mulia Press. hlm. 106

7

Page 8: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

Perbincangan mengenai definisi pengetahuan di atas merupakan gambaran

kecil saja dari perdebatan tentang tema besar hakikat pengetahuan. Perdebatan

tentang hakikat pengetahuan sebenarnya telah terjadi sejak kaum sophis17

meragukankan kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan dilanjutkan

dengan lahirnya zaman yunani klasik sekitar abad 500 SM. Pada masa itu terjadi

perdebatan seputar hakikat realitas yang berimplikasi pada perdebatan hakikat

pengetahuan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan didadarkan secara singkat

pandangan-pandangan tentang hakikat pengetahuan tersebut.

1. Idealisme

Idealisme berasal dari kata dasar ‘idea’.18 Faham filsafat yang dibangun oleh Plato

ini adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa ‘Yang nyata’ (the real) ada di

dunia idea. Apa pun yang tampak oleh alat indera alah semu, bayangan dari yang

ada di alam idea. Secara sederhana faham ini berpendapat bahwa semua entitas

yang berada di luar dunia idea bukanlah kenyataan hakiki. Dengan begitu, realitas

bagi Plato terdiri atas realitas sejati dan realitas tiruan.19

Berdasar pada pandangan ontologis aliran idealisme ini, kita bisa melihat

bahwa idealisme menganggap mustahil untuk mendapatkan pengetahuan yang

bersesuaian dengan kenyataan inderawi karena kenyataan semacam itu adalah hal

semu (palsu), yang tidak patut dijadikan sebagai fondasi pengetahuan dan

kebenaran.

17 Secara etimologis, sophis berarti orang bijaksana. Akan tetapi dalam perkembangannya kaum yang muncul sebelum zaman Yunani Klasik ini mendapatkan stigma yang buruk sebagai kaum relativis yang anarkis. Mereka tidak meyakini kebenaran tunggal. Bagi mereka kebenaran itu diukur oleh subjeknya, manusia. Maka kebenaran itu bersifat subjektif dan relatif. Cikal bakal pluralisme kebenaran nampaknya dimulai dari kaum ini. Karena menganggap bahwa manusia adalah tolak ukur kebenaran, maka sebagian pakar filsafat menganggap kaum sophis ini sebagai kaum humanis. 18 Idea di sini bukanlah ide atau gagasan dalam pikiran seperti yang kita fahami saat ini. Idea-nya Plato ini dilukiskan sebagai sebuah dunia khayal yang melampaui dunia fisik tempat segala hal yang berada di dunia ini berasal. Jadi, dunia idea berada ‘di atas’ atau di luar otak manusia akan tetapi hanya bisa diketahui/ dikenali melalui akal manusia dengan proses yang disebut proses anamnesis/ remembrance (pengingatan kembali). Bisa dikatakan, dunia idea ini merupakan blue print dari alam fisik beserta isinya.19 Lihat: Bagus Takwin. 2008. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra

8

Page 9: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

Pengetahuan bagi kaum idealis adalah proses-proses mental atau proses

psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu pengetahuan bagi seorang

idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang

realitas.20 Dianggap subjektif karena ditinjau dari sudut orang yang membuat

gambaran tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan menurut aliran ini tidak

menggambarkan kebenaran hakiki.

2. Realisme

Realisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa yang nyata adalah

yang segala hal yang real dalam arti terindera. Berbeda dengan idealisme, aliran

yang dikonstruk oleh Aristoteles— yang nota bene merupakan murid Plato

sendiri-- ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut

realisme adalah gambaran atau kopian yang sebenarnya dari apa yang ada dalam

alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam

akal adalah kopi dari hasil yang ada di luar akal. Hal ini tak ubahnya seperti

gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat

bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.21

Terkait dengan istilah ide, Aristoteles berbeda pendapat dengan gurunya.

Ia menyamakan ide dengan konsep dan gagasan. Jadi ide itu tidak berada di luar/

melampaui diri manusia, melainkan ada dalam diri manusia sendiri. Adapun

proses lahirnya ide ini bisa dideskripsikan sebagai berikut:

Gambar 2

Proses lahirnya lde menurut Realisme

Terkait dengan aliran-aliran yang berbicara tentang hakikat pengetahuan,

Pranarka menyebutkan tiga aliran besar yang satu sama lain berbeda. Pertama,

20 Amsal Bakhtiar. 2008. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 96

21 Ibid. hlm. 94

9

Objek Eksternal

Penginderaan

Ide (makna tentang

objek yang diindera)

Page 10: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

nominalisme. Aliran ini berpendapat bahwa hakikat pengetahuan adalah

pertemuan antara subjek dengan objek. Bagi kaum nominalis: di dalam pertemuan

itu terjadinya pengetahuan karena adanya objek, dan subjek hanyalah memberi

nama kepada objek-objek tersebut. Kedua, konseptualisme. Kelompok kedua ini

masih menganggap bahwa pengetahuan adalah pertemuan antara subjek dengan

objek. Perbedaannya dengan nominalis, kaum konseptualis menganggap bahwa

yang menentukan dalam pertemuan itu adalah konsep-konsep dari intelek

manusia. Ketiga, realisme-kritis atau realisme moderat. Kaum yang ketiga ini

sangat berbeda pandangan dengan nominalis dan konseptualis dalam memahami

pengetahuan. Realisme-kritis menganggap bahwa pengetahuan itu bukanlah

sekedar pertemuan antara subjek dengan objek, melainkan sebentuk persatuan

(kemanunggalan) antara subjek dengan objek.22

Pernyataan bahwa pengetahuan adalah persatuan antara subjek dan objek

ternyata tidak sederhana implikasinya. Ia harus membicarakan hubungan antara

subjek dan objek tersebut, dan di balik ini terkandung permasalahan antara

materialisme dan imaterialisme, dimensi material dan dimensi spiritual, induksi

ataukah deduksi, objektif ataukah subjektif, kriteria kebenaran dan masalah

kebenaran itu sendiri.23

F. CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN

Setelah pembicaraan tentang hakikat pengetahuan yang bersifat ontologis,

pada bagian ini akan dibicarakan beberapa pemikiran yang membicarakan cara

memperoleh pengetahuan. Ranah ini biasanya dikategorikan sebagai bagian dari

epistemologi.

Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan dengan memaksimalkan

potensi-potensi kemanusiaannya, baik itu yang rasio, penginderaan, maupun

potensi batiniahnya. Potensi-potensi kemanusiaan ini pada gilirannya akan

melahirkan variasi pengetahuan sesuai dengan karakter masing-masing setelah

22 Pranarka, A.M.W.. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS. hlm. 36-37.23 Ibid. Hlm. 37

10

Page 11: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

menggunakan prosedur dan teknik yang khas. Mengingat prosedur dan teknis

pemerolehan pengetahuan itu cukup banyak, maka pada bagian ini hanya akan

membahas cara memperoleh pengetahuan pada level filosofis saja.

1. Rasionalisme

Aliran ini beranggapan bahwa akal (rasio) adalah dasar kepastian

pengetahuan. Artinya, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui akal.

Rasionalisme tidak menafikan kegunaan alat indera dalam memperoleh

pengetahuan. Kegunaan indera bagi rasionalis adalah sebagai perangsang akal

dana memberikan bahan-bahan bagi akal untuk bekerja mengolah data yang

diterima indera. Akan tetapi keputusan tentang pengetahuan itu tetap ada pada

rasio, bukan pada indera.24 Menurut aliran ini, rasio memiliki kemampuan untuk

mengetahui struktur-struktur dasar alam dunia ini secara apriori.25

Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memeperoleh

pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari

kebenaran-kebebaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal

manusia. Pengalaman inderawi selalu dicurigai karena selalu berubah, tidak pasti

sehingga tidak memberi landasan yang kokoh bagi pengeahuan.26

2. Empirisisme

Empirisisme berakar dari kata ‘emepeiria’ yang berarti pengalaman. Aliran

in berlawanan secara diametral dengan rasionalisme dalam anggapannya tentang

sumber dan penjamin kebenaran pengetahuan. Empirisisme memandang bahwa

hanya pengalamanlah sumber pengetahuan manusia sekaligus penjamin kepastian

kebenaran pengetahuan. Karena sumber pengetahuan adalah pengalaman

inderawi, maka metode yang diajukan kaum ini adalah metode verifikasi-induktif.

Dalam perkembangannya di abad ke-20, empirisisme tidak hanya

menerima pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Empirisisme abad

itu memaknai pengalaman lebih luas lagi, dari yang awalnya hanya menerima

24 Amsal Bakhtiar. Op.cit. hlm. 10325 Donny Gahral Adian. Op.cit. hlm. 4326 Ibid. Hlm. 44

11

Page 12: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

pengalaman inderawi sebagai penjamin kebenaran pengetahuan menuju kepada

pemaknaan pengalaman yang berasal dari berbagai jenis peristiwa yang dialami

manusia sebagai makhluk yang bertubuh serta punya cipta, rasa, dan karsa dalam

interaksinya dengan objek-objek dalam lingkungan sekitarnya.27

3. Intuisionisme

Intuisionisme adalah aliran yang seringkali disandarkan kepada Henry

Bergson, seorang filsuf asal Perancis yang berpengaruh besar terutama pada abad

ke-20. Menurut Bergson intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara

langsung dan seketika. Baginya, intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang

tertinggi. Kemampuan ini mirip insting akan tetapi berbeda dalam hal kesadaran

dan kebebasannya. Bergson juga menyatakan bahwa intuisi adalah pengetahuan

langsung, mutlak, dan bukan pengetahuan yang nisbi (relatif).28 Analisa, atau

pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat

menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme

Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di

samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian, data yang

dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping

pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan.29

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman

inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme--

setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-- hanya mengatakan bahwa pengetahuan

yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang

nisbi-- yang meliputi sebagian saja-- yang diberikan oleh analisis.30

4. Iluminasionisme

27 Ibid. Hlm. 4928 Amsal Bakhtiar. op.cit. hlm 10729 http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi30 Ibid.

12

Page 13: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

Aliran ini mirip dengan aliran intuisionisme. Biasanya iluminasi

berkembang di kalangan ulama atau tokoh agama. Dala dunia Islam, aliran ini

biasa disebut dengan aliran ma’rifah yang berarti penegtahuan yang datang ari

Tuhan dengan jalan pencerahan atau penyinaran. Pengetahuan jenis ini akan

diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima

penegtahuan tersebut. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu

diperoleh dengan cara latihan (riyadhoh).31 Jadi, seperti halnya pengetahuan

intuitif, pengetahuan iluminatif ini didapatkan secara langsung melalui hati

(dzauq), bukan melalui rasio atau pun penginderaan.

5. Wahyu

Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan Allah kepada manusia

melalui perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan langsung dari

Tuhan tanpa upaya, tanpa susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk

memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta.

Tuhan mensucikan-nya. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya

pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran denganjalan wahyu.32

G. PENUTUP

Demikian hasil penelusuran penulis atas literatur mengenai hakikat tahu

dan pengetahuan serta cara memperolehnya. Dari penelurusuran tersebut penulis

menemukan bahwa dua kata yang sederhana, tahu dan pengetahuan, ternyata

menimbulkan implikasi konsep filosofis yang justru tidak sederhana. Berbicara

tentang pengetahuan secara filosofis ternyata akan mengantarkan kita pada

perdebatan tentang hakikat kenyataan, sumber pengetahuan, relasi subjek-objek

dalam pembentukan pengetahuan, deduksi dan induksi, standar keabsahan

pengetahuan sekaligus penjamin kebenarannya, dan implikasi lainnya yang tidak

terangkum dalam makalah singkat ini. Hal penting yang penulis simpulkan setelah

31 Amsal Bakhtiar. op.cit. hlm. 108 32 Ibid. hlm. 109-110

13

Page 14: Tahu, Pengetahuan, & Cara Memperolehnya

pemaparan makalah ini adalah bahwa pendefinisian tentang pengetahuan akan

sangat dipengaruhi oleh school of thought (madzhab) filosofisnya, baik pada

wilayah ontologis maupun epistemologis.

REFERENSI

1. A.M.W. Pranarka. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS.2. A. Sonny Keraf & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.

Yogyakarta: Kanisius.3. Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Pengetahuan. Bandung: Rosdakarya.4. Cecep Sumarna. 2008. Filsafat Ilmu. Cet. Ke-3. Bandung: Mulia Press.5. Donny Gahral Adian. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David

Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju.6. Irmayanti M. Budianto. 2002. Realitas dan objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara

Kerja Ilmiah. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.7. Jujun S. Suriasumantri. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.8. Sidi Gazalba. 1992. Sistematika Filsafat. Cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang.9. Tedi Priatna. 2008. Filsafat Ilmu: Dasar untuk Penelitian (Hand Out Mata Kuliah S.1

PAI UIN Bandung).10. http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi

14