tabel volume bab ii tinjauan pustaka

10
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Singkat Hutan Hujan Tropis Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa, dan alam lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses inilah yang disebut suksesi. Secara singkat suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas tumbuh-tumbuhan secara teratur mulai dari tingkat pionir sampai pada tingkat klimaks di suatu tempat tertentu. Macam-macam suksesi berdasarkan proses terjadinya terdapat dua macam suksesi yaitu (Soerianegara & Indrawan 2005) : 1. Suksesi primer (prisere) adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat tak bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil dan klimaks. Suksesi primer ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan primer. Hutan primer terbentuk dari daratan yang mengalami suksesi yang ideal berkembang mulai dengan masyarakat tumbuh-tumbuhan Cryptogamae (tingkat rendah), tumbuh- tumbuhan herba (terna), semak, perdu, dan pohon, hingga tercapai hutan klimaks. 2. Suksesi sekunder adalah suksesi yang terjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak, misalnya oleh kebakaran, perladangan, penebangan, penggembalaan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Suksesi sekunder ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan sekunder. Contohnya jika hutan hujan tropis mengalami kerusakan oleh alam atau manusia (penebangan atau perladangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Apabila keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka sesudah 1520

Upload: kevin-nelson

Post on 24-Oct-2015

78 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Singkat Hutan Hujan Tropis

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan

dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.

Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa, dan alam

lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem

ekologi atau ekosistem. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan

tumbuh secara dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur

melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi,

persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses

inilah yang disebut suksesi. Secara singkat suksesi adalah suatu proses perubahan

komunitas tumbuh-tumbuhan secara teratur mulai dari tingkat pionir sampai pada

tingkat klimaks di suatu tempat tertentu. Macam-macam suksesi berdasarkan

proses terjadinya terdapat dua macam suksesi yaitu (Soerianegara & Indrawan

2005) :

1. Suksesi primer (prisere) adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat tak

bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil dan klimaks. Suksesi

primer ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan primer. Hutan primer

terbentuk dari daratan yang mengalami suksesi yang ideal berkembang mulai

dengan masyarakat tumbuh-tumbuhan Cryptogamae (tingkat rendah), tumbuh-

tumbuhan herba (terna), semak, perdu, dan pohon, hingga tercapai hutan

klimaks.

2. Suksesi sekunder adalah suksesi yang terjadi apabila klimaks atau suksesi

yang normal terganggu atau dirusak, misalnya oleh kebakaran, perladangan,

penebangan, penggembalaan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Suksesi

sekunder ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan sekunder.

Contohnya jika hutan hujan tropis mengalami kerusakan oleh alam atau

manusia (penebangan atau perladangan) maka suksesi sekunder yang terjadi

biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Apabila keadaan

tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka sesudah 15–20

Page 2: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

5

tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun akan terjadi

hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.

Letak geografis Indonesia yang berada diantara benua-benua Asia dan

Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan adanya berbagai macam tipe-tipe

hutan, salah satunya hutan hujan tropis (tropical rain forest). Hutan hujan tropis di

Indonesia memiliki luas ± 89.000.000 ha, terutama terdapat di Sumatra,

Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Iklim selalu basah,

2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah,

3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada

tanah tinggi (s/d 4000 m dpl),

4. Dapat dibedakan menjadi tiga zone menurut ketinggiannya yaitu (Soerianegara

& Indrawan 2005) :

- Hutan hujan bawah 2-1000 m dpl, jenis kayu yang penting antara lain dari

genus famili Dipterocarpaceae yaitu Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops,

dan Vatica. Genus-genus lain antaralain Agathis, Altingia, Dialium,

Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompasia, dan Octomeles.

- Hutan hujan tengah 1000-3000 m dpl, jenis kayu yang umum terdiri dari

famili Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae,

Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain.

- Hutan hujan atas 3000-4000 m dpl, jenis kayu utama yaitu Coniferae

(Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia,

Quercus, dan lain-lain.

Hutan hujan tropis secara fisiognomi merupakan hutan yang sifatnya

menutupi kawasan, dengan keanekaragaman jenis yang paling kaya bila

dibandingkan dengan seluruh tipe vegetasi. Hutan hujan tropis juga merupakan

hutan tipe kanopi yang evergreen (pohon yang selalu berdaun hijau) dengan

ketinggian pohon maksimum rata-rata 30 m, pohon-pohon berasosiasi dengan

Herbs, Climbers, Epiphytes, Stranglers, Saprophytes, dan Parasites. Hutan hujan

tropis memilki peranan antaralain habitat utama untuk flora dan fauna, sumber

daya pembangunan ekonomi, pemeliharaan keseimbangan kondisi iklim lokal dan

Page 3: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

6

global, selain itu juga sebagai konservasi tanah, air, nutrisi, dan biodiversitas.

(Soerianegara & Indrawan 2005).

2.2 Deskripsi Singkat Famili Dipterocarpaceae

Menurut Heyne (1987) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri pohonnya

besar, tinggi, batangnya lurus, silinder, dan berbanir. Pohon dari famili

Dipterocarpaceae ini persebarannya banyak terdapat di Sumatra dan

Kalimantan. Pohon-pohon ini tumbuh mulai dari dataran rendah hingga tinggi di

pegunungan, namun juga banyak di rawa-rawa gambut. Tingginya biasanya 30-

40 m dan bagian batangnya yang bebas cabang biasanya 20-25 m panjangnya.

Batang-batangnya hampir selalu lurus, tetapi dekat pada tajuknya sering agak

bengkok.

Menurut Heyne (1987) untuk kualitas kekuatannya jenis-jenis pohon famili

Dipterocarpaceae ini dapat digolongkan kedalam kelas II, III, atau IV.

Sedangkan menurut kualitas keawetannya kedalam kelas III atau IV. Karena

banyak ditemukan dan bentuk batangnya yang baik serta mudah dikerjakan maka

kayu ini di Sumatra dan Kalimantan termasuk jenis-jenis yang paling banyak

digunakan. Jenis-jenis yang ringan, yang dapat lama bertahan terhadap bubuk

namun kurang terhadap pengaruh cuaca, oleh penduduk biasa dipakai untuk

papan, kasau pada bangunan rumah, dan untuk sampan. Sementara itu jenis-jenis

yang lebih berat, yang lebih kuat, dan lebih awet digunakan untuk gelegar, papan

lantai, dan bahkan papan geladak jembatan. Untuk di Eropa yang pada umumnya

menuntut syarat-syarat yang lebih berat, biasanya memakai Meranti Merah

hanya untuk maksud-maksud semi permanen, untuk dinding hias, dan terutama

untuk acuan pada bangunan beton, serta untuk perancah pada bangunan gedung.

Tetapi jenis-jenis yang lebih baik konon lambat laun dipakai juga untuk

pekerjaan permanen. Meranti adalah jenis kayu perdagangan yang terpenting

dari Sumatra dan Kalimantan, terutama di daerah-daerah yang ada kemugkinan

pengangkutan di air. Jumlah-jumlah besar diekspor dari Bengkalis, Kalimantan

Timur, dan Kalimantan Barat dengan tujuan Singapura, Cina, dan Australia.

Menurut Samingan (1973) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri umum

berbentuk pohon raksasa hingga tinggi 65 m, biasanya berbatang lurus, silindris

Page 4: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

7

setinggi 20-40 m. Kulit batang yang halus biasanya mengelupas dalam kepingan-

kepingan tipis yang lebar-lebar. Kayu gubal putih, putih kekuning-kuningan atau

coklat muda dan biasanya mengandung banyak sekali resin. Kayu gubal ini jelas

beda daripada kayu terasnya yang berwarna merah atau coklat kemerahan.

Untuk persebarannya menunjukkan bahwa Sumatra dan Kalimantan bersama-

sama dengan Semenanjung Malaya serta Filipina merupakan pusat daerah

Dipterocarpaceae.

Menurut Prawira dan Tantra (1973) Shorea leprosula Miq atau Meranti

Tembaga yang termasuk golongan Meranti Merah yang termasuk kedalam famili

Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini :

1. Habitus : Pohon tinggi mencapai 50 m, batang bebas cabang 30 m,

diameter mencapai 100 cm atau lebih, banir tinggi 3,5 m.

2. Batang : Kulit luar tebalnya kira-kira 5 mm, berwarna abu-abu atau

coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal.

Penampang berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning

muda. Kayu gubal tebalnya 1-8 cm, berwarna kuning muda sampai

kemerahan. Kayu teras berwarna coklat muda sampai merah, peralihannya

dari gubal keteras terjadi secara berangsur.

3. Daun : Rata, hampir menyerupai segiempat memanjang atau bulat telur

terbalik yang memanjang, pangkal daun membulat, ujung runcing, panjangnya

rata-rata 3-13 cm, lebar 3-6 cm, permukaan atas helaian daun mengkilat dan

permukaan bawah suram.

4. Buah : Berbentuk bulat telur, ujungnya agak lancip, berbulu halus

berwarna pucat, panjang 1-1,5 cm, diameter kira-kira 1 cm dan sayap-

sayapnya tipis.

5. Tumbuh : terdapat banyak di Sumatra dan Kalimantan dalam hutan primer

5-800 m dpl. Pada tanah liat dan berpasir yang selamanya tidak digenangi air,

kadang terdapat pula pada pinggir rawa, dan hidup berkelompok.

6. Penggunaan : Kayu mempunyai BJ 0,52 dengan kelas awet III-IV,

dipergunakan untuk bangunan rumah, perabot rumah tangga dan perahu.

Damarnya dipakai untuk menambal perahu dan lampu.

Page 5: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

8

Menurut Djamhuri, Hilwan, Istomo, dan Soerianegara (2002) famili

Dipterocarpaceae merupakan pohon raksasa, berdamar, kadang-kadang

berbanir, serta kulit batang mengelupas. Daun tunggal berseling, tetapi rata,

berdaun penumpu (besar dan tidak rontok), tulang daun ada yang berbentuk

tangga (Scalariform veination). Bunga biseksual, beraturan, tersusun dalam

malai, kelopak bunga ada lima helai, bebas atau bersatu di pangkal. Buah berbiji

satu, keras tidak pecah dan bersayap, sayap merupakan perkembangan dari

kelopak bunga. Famili ini mendominasi hutan hujan dataran rendah dan tersebar

di kawasan Tropika Asia (India, Srilangka, Myanmar, Malaysia, Filipina,

Indonesia, Cina Selatan, dan Papua Nugini), di Indonesia terbanyak di

Kalimantan dan Sumatra. Famili Dipterocarpaceae ini sudah tercatat 512 jenis

dalam 16 marga. Di Indonesia sendiri dijumpai sembilan marga, yaitu Shorea

(Shorea leprosula, shorea pinanga, shorea multiflora, shorea hopeifolia, shorea

polyandra, shorea leavifolia), Dryobalanops (Dryobalanops aromatic,

Dryobalanops lanceolata, dan Dryobalanops oblongifolia), Dipterocarpus

(Dipterocarpus cornutus, Dipterocarpus crinitus), Hopea (Hopea mengarawan,

hopea dryobalanoides), Anisoptera (Anisoptera marginata, Anisoptera costata),

Vatica (vatica rassak, Vatica wallichii), Parashorea, Upuna, dan Cotylelobium.

Manfaat yang dapat diperoleh dari famili Dipterocarpaceae antaralain sebagai

bahan konstruksi, plywood, damar.

Tabel 1 Penyebaran dan jumlah jenis pohon Dipterocarpaceae di Indonesia

Marga

Jumlah jenis (Number of species)

Wilayah penyebaran

Jawa Sumatra Kalimantan Sulawesi Maluku Bali Irian

1. Shorea Endemik

Non endemik

1 0

1

50 3

47

127 82

45

2 0

2

3 1

2

0 0

0

0 0

0

2. Hopea Endemik

Non endemik

1 0

1

14 3

11

42 22

20

2 1

1

2 0

2

1 0

1

13 11

2

3. Dryobalanops Endemik

Non endemik

0 0

0

2 0

2

7 5

2

0 0

0

0 0

0

0 0

0

0 0

0

4. Vatica Endemik

Non endemik

3 1

2

11 4

7

35 23

12

2 1

1

1 0

1

0 0

0

1 0

1

5. Catylelobium

Endemik

Non endemik

0

0

0

1

0

1

3

1

2

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0 6. Anisoptera

Endemik

Non endemik

1

0

1

4

0

4

5

2

3

1

0

1

1

0

1

0

0

0

1

0

1

Page 6: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

9

Lanjutan Tabel 1 Penyebaran dan jumlah jenis pohon Dipterocarpaceae di

Indonesia

Marga

Jumlah jenis (Number of species)

Wilayah penyebaran

Jawa Sumatra Kalimantan Sulawesi Maluku Bali Irian

7. Dipterocarpus

Endemik

Non endemik

4

1

3

25

1

24

41

15

26

0

0

0

0

0

0

2

0

2

0

0

0

8. Parashorea

Endemik

Non endemik

0

0

0

3

1

2

6

4

2

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

9. Upuna

Endemik

Non endemik

0

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Sumber : Dendrologi, 2002

2.3 Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala

Menurut Husch (1987) inventarisasi hutan adalah suatu usaha atau

kegiatan untuk menyajikan taksiran-taksiran kuantitas kayu di hutan menurut

suatu urutan klasifikasi seperti spesies, ukuran, dan kualitas. Menurut Simon

(1996) tujuan utama inventarisasi hutan adalah untuk mendapatkan data tentang

areal berhutan dan komposisi tegakannya. Kegiatan inventarisasi hutan dapat

dilaksanakan dengan pengindraan jauh, pengamatan langsung dilapangan, atau

gabungan dari keduanya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan

dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan,

pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam

(IUPHHK-HA) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan

Tanaman (IUPHHK-HT), diwajibkan menyusun Rencana Kerja Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) sepuluh tahunan yang disusun

berdasarkan inventarisasi hutan berkala sepuluh tahunan (Departemen

Kehutanan Republik Indonesia 2007b).

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 34/Menhut-II/2007 tentang

Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Pada Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi. Inventarisasi Hutan

Menyeluruh Berkala (IHMB) adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi

tentang kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock), yang dilaksanakan

secara berkala satu kali dalam sepuluh tahun pada seluruh petak di dalam

Page 7: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

10

kawasan hutan produksi setiap wilayah unit pengelolaan/unit managemen.

Tujuan dari IHMB tersebut antaralain (Departemen Kehutanan Republik

Indonesia 2007a) :

1. Untuk mengetahui kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock)

secara berkala.

2. Sebagai bahan penyusunan RKUPHHK dalam hutan alam dan atau

RKUPHHK dalam hutan tanaman atau KPH sepuluh tahunan.

3. Sebagai bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian sediaan

tegakan hutan di areal KPH dan atau IUPHHK.

Dalam kegiatan IHMB ini diperlukan alat bantu IHMB yang digunakan

untuk memperlancar kegiatan inventarisasi hutan, alat bantu ini terdiri dari :

1. Kurva tinggi yaitu kurva yang memberikan gambaran tentang hubungan

diameter dengan tinggi. Hubungan antara diameter dan tinggi dibentuk dengan

melalui pengukuran diameter dan tinggi sejumlah individu pohon, kemudian

menghubungkan keduanya dengan analisis regresi sehingga bisa dibentuk

sebuah persamaan kurva tinggi.

2. Tabel volume yaitu suatu tabel yang disusun untuk memperoleh taksiran

volume pohon melalui pengukuran diameter atau beberapa peubah lain penentu

volume pohon. Tabel volume yang digunakan adalah tabel volume lokal

maupun tabel volume standar.

3. Tabel berat pohon yaitu tabel yang menunjukkan hubungan antara diameter

dengan berat segar (fresh weight) pohon. Tabel berat ini penting

keberadaannya untuk menduga potensi kayu pulp dalam HTI pulp dan untuk

menduga biomassa serta banyaknya unsur karbon dalam hutan alam.

2.4 Volume Pohon

Menurut Husch (1963) volume pohon adalah ukuran tiga dimensi, yang

tergantung dari lbds (diameter setinggi dada atau diameter pangkal), tinggi atau

panjang batang, dan faktor bentuk batang.

Menurut Simon (1996) diameter merupakan salah satu parameter pohon

yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan

untuk keperluan pengelolaan. Diameter setinggi dada diukur pada 1,30 m (4,3

Page 8: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

11

feet) di atas pangkal batang (untuk pohon yang berdiri pada lereng, titik

pengukuran harus ditentukan pada bagian atas lereng). Simon (1996)

menyatakan bahwa terdapat beberapa macam tinggi pohon di dalam inventarisasi

hutan yaitu :

1. Tinggi total, yaitu tinggi dari pangkal pohon dipermukaan tanah sampai puncak

pohon,

2. Tinggi bebas cabang, yaitu tinggi pohon dari pangkal batang permukaan tanah

sampai cabang pertama untuk jenis daun lebar atau crown point untuk jenis

conifer, yang membentuk tajuk,

3. Tinggi batang komersial, yaitu tinggi batang yang pada saat itu laku dijual

dalam perdagangan, dan

4. Tinggi tunggak, yaitu tinggi pangkal pohon yang ditinggalkan pada waktu

penebangan.

Menurut Husch (1963), Penentuan volume suatu benda dapat dilakukan

dengan beberapa cara, antara lain :

1. Cara langsung, yaitu berdasarkan prinsip perpindahan cairan. Alat yang

digunakan disebut Xylometer. Penentuan volume dengan cara ini dilakukan

terhadap benda-benda yang bentuknya tidak beraturan,

2. Cara analitik, yaitu penentuan volume dilakukan dengan menggunakan rumus-

rumus volume. Cara ini dilakukan terhadap benda-benda yang bentuknya

beraturan, seperti segi banyak, prisma, piramida, prismoid, dan benda-benda

seperti kerucut, silinder, paraboloid, dan neiloid, dan

3. Cara grafik, yaitu cara ini dilakukan untuk penentuan volume berbagai benda

putar tanpa memandang ciri-ciri permukaannya.

Untuk menentukan volume dolok (sortimen kayu) sebagai bagian dari

volume kayu/pohon, telah dikembangkan rumus-rumus matematik (Spurs 1952;

Loetsch et al 1973) sebagai berikut :

Rumus Smalian : V = 0,5 x (B + b) x L

Rumus Huber : V = B1/2 x L

Rumus Brereton : V = {0,625 x x (D + d)2 x L}

Rumus Newton : V = {B + (B1/2 x 4) + b} x L x 1/6

Rumus Schiffel : V = {(0,16 x B) + (0,66 x B1/2) x L

Page 9: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

12

Dimana : V = Volume dolok (logs) atau batang pohon dalam m3

B = Luas bidang dasar pangkal batang dalam m2

b = Luas bidang dasar ujung batang pohon dalam m2

B1/2 = Luas bidang dasar bagian tengah batang pohon dalam m2

D = Diameter pangkal batang pohon dalam meter

d = Diameter ujung batang pohon dalam meter

L = Panjang batang pohon

Penentuan volume sortimen (batang pohon) dengan menggunakan rumus-

rumus diatas, jika makin pendek panjang batang (L) akan menghasilkan volume

yang lebih tepat, karena rumus-rumus diatas merupakan perhitungan volume yang

mendasarkan kepada bentuk benda teratur, yaitu bentuk silinder, sedangkan

bentuk pohon pada umumnya tidak teratur dan lebih kearah bentuk neiloid.

Berdasarkan volume sortimen-sortimen kayu yang diukur maka volume pohon

dapat diketahui, yaitu merupakan penjumlahan dari volume sortimennya.

Rumus Smalian mempunyai ketepatan yang lebih kecil dibandingkan

dengan rumus Huber dan rumus Newton. Namun demikian rumus Smallian

banyak digunakan karena cukup praktis dan mudah dalam penerapannya. Rumus

Newton memberikan ketelitian yang tinggi dibanding dengan rumus lainnya,

namun rumus ini memerlukan pengukuran kedua ujung batang dan tengah batang,

sehingga penggunaannya lebih terbatas dan kurang praktis untuk digunakan

dilapangan.

Menurut Spurr (1952) angka bentuk batang adalah rasio antar volume aktual

dengan volume silinder yang berdiameter dan tinggi sama dengan diameter

setinggi dada dan tinggi pangkal tajuk pohon tersebut.

Menurut Husch (1987) Tabel volume ini merupakan pernyataan sistematik

mengenai volume sebatang pohon menurut semua atau sebagian dimensi yang

ditentukan dari Dbh, tinggi, dan angka bentuk pohon. Tipe-tipe tabel volume

pohon terdiri dari :

1. Tabel volume lokal (local volume tables)

Tabel volume lokal menyajikan volume menurut dimensi pohon diameter

setinggi dada (Dbh). Tabel volume ini tidak memerlukan pengukuran tinggi

Page 10: Tabel Volume Bab II Tinjauan Pustaka

13

pohon, meskipun pada penyusunan aslinya tinggi tetap dihitung, tetapi

dihilangkan di dalam bentuk akhirnya. Istilah ”lokal” digunakan karena tabel-

tabel tipe ini hendaknya hanya dipergunakan untuk wilayah terbatas yang

merupakan asal hubungan tinggi dan diameter yang dimanfaatkan kedalam

tabelnya.

2. Tabel volume normal (general standard volume tables)

Tabel volume standar didasarkan kepada pengukuran diameter setinggi dada

(Dbh), maupun tinggi. Tinggi dapat berupa tinggi pohon total atau tinggi kayu

perdagangan. Tabel volume standar dapat disusun untuk individu spesies

maupun kelompok spesies dari berbagai wilayah-wilayah geografis.

3. Tabel volume kelas bentuk (form class volume tables)

Tabel volume kelas bentuk disiapkan untuk menunjukkan volume menurut

beberapa ukuran bentuk pohon disamping diameter setinggi dada (Dbh) dan

tinggi pohon. Tabel volume ini dapat dipakai bilamana saja bentuk suatu pohon

yang bersangkutan secara jelas ditunjukkan oleh karakteristik-karakteristik

bentuk yang telah dimasukan dalam penyusunan tabel-tabelnya, tanpa

memandang spesies atau tempat.

Menurut Spurr (1952) menyatakan bahwa untuk menentukan volume,

apabila pengukuran dilakukan hanya pada satu peubah, maka dipakai diameter

setinggi dada (Dbh), bila menggunakan dua peubah maka yang diukur adalah

diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon tersebut. Sedangkan bila

menggunakan tiga peubah selain mengukur diameter setinggi dada (Dbh) dan

tinggi pohon ditambahkan juga angka bentuk.

Penyusunan tabel volume pohon dimaksudkan untuk memperoleh taksiran

volume pohon melalui pengukuran satu atau beberapa peubah penentu volume

pohon serta untuk mempermudah kegiatan inventarisasi hutan dalam menduga

potensi tegakan. Meskipun demikian, untuk meningkatkan efisiensi dalam

penaksiran volume tegakan dengan tidak mengurangi ketelitian yang diharapkan,

diusahakan dalam penyusunan tabel volume pohon memperkecil jumlah peubah

bebas penentu volume pohon dan diberlakukan pada daerah setempat. Tabel yang

dimaksud adalah tabel volume pohon lokal atau tarif volume.