tabel volume bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Singkat Hutan Hujan Tropis
Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan
dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.
Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa, dan alam
lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem
ekologi atau ekosistem. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan
tumbuh secara dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur
melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi,
persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses
inilah yang disebut suksesi. Secara singkat suksesi adalah suatu proses perubahan
komunitas tumbuh-tumbuhan secara teratur mulai dari tingkat pionir sampai pada
tingkat klimaks di suatu tempat tertentu. Macam-macam suksesi berdasarkan
proses terjadinya terdapat dua macam suksesi yaitu (Soerianegara & Indrawan
2005) :
1. Suksesi primer (prisere) adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat tak
bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil dan klimaks. Suksesi
primer ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan primer. Hutan primer
terbentuk dari daratan yang mengalami suksesi yang ideal berkembang mulai
dengan masyarakat tumbuh-tumbuhan Cryptogamae (tingkat rendah), tumbuh-
tumbuhan herba (terna), semak, perdu, dan pohon, hingga tercapai hutan
klimaks.
2. Suksesi sekunder adalah suksesi yang terjadi apabila klimaks atau suksesi
yang normal terganggu atau dirusak, misalnya oleh kebakaran, perladangan,
penebangan, penggembalaan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Suksesi
sekunder ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan sekunder.
Contohnya jika hutan hujan tropis mengalami kerusakan oleh alam atau
manusia (penebangan atau perladangan) maka suksesi sekunder yang terjadi
biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Apabila keadaan
tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka sesudah 15–20
5
tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun akan terjadi
hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Letak geografis Indonesia yang berada diantara benua-benua Asia dan
Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan adanya berbagai macam tipe-tipe
hutan, salah satunya hutan hujan tropis (tropical rain forest). Hutan hujan tropis di
Indonesia memiliki luas ± 89.000.000 ha, terutama terdapat di Sumatra,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Iklim selalu basah,
2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah,
3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada
tanah tinggi (s/d 4000 m dpl),
4. Dapat dibedakan menjadi tiga zone menurut ketinggiannya yaitu (Soerianegara
& Indrawan 2005) :
- Hutan hujan bawah 2-1000 m dpl, jenis kayu yang penting antara lain dari
genus famili Dipterocarpaceae yaitu Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops,
dan Vatica. Genus-genus lain antaralain Agathis, Altingia, Dialium,
Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompasia, dan Octomeles.
- Hutan hujan tengah 1000-3000 m dpl, jenis kayu yang umum terdiri dari
famili Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae,
Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain.
- Hutan hujan atas 3000-4000 m dpl, jenis kayu utama yaitu Coniferae
(Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia,
Quercus, dan lain-lain.
Hutan hujan tropis secara fisiognomi merupakan hutan yang sifatnya
menutupi kawasan, dengan keanekaragaman jenis yang paling kaya bila
dibandingkan dengan seluruh tipe vegetasi. Hutan hujan tropis juga merupakan
hutan tipe kanopi yang evergreen (pohon yang selalu berdaun hijau) dengan
ketinggian pohon maksimum rata-rata 30 m, pohon-pohon berasosiasi dengan
Herbs, Climbers, Epiphytes, Stranglers, Saprophytes, dan Parasites. Hutan hujan
tropis memilki peranan antaralain habitat utama untuk flora dan fauna, sumber
daya pembangunan ekonomi, pemeliharaan keseimbangan kondisi iklim lokal dan
6
global, selain itu juga sebagai konservasi tanah, air, nutrisi, dan biodiversitas.
(Soerianegara & Indrawan 2005).
2.2 Deskripsi Singkat Famili Dipterocarpaceae
Menurut Heyne (1987) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri pohonnya
besar, tinggi, batangnya lurus, silinder, dan berbanir. Pohon dari famili
Dipterocarpaceae ini persebarannya banyak terdapat di Sumatra dan
Kalimantan. Pohon-pohon ini tumbuh mulai dari dataran rendah hingga tinggi di
pegunungan, namun juga banyak di rawa-rawa gambut. Tingginya biasanya 30-
40 m dan bagian batangnya yang bebas cabang biasanya 20-25 m panjangnya.
Batang-batangnya hampir selalu lurus, tetapi dekat pada tajuknya sering agak
bengkok.
Menurut Heyne (1987) untuk kualitas kekuatannya jenis-jenis pohon famili
Dipterocarpaceae ini dapat digolongkan kedalam kelas II, III, atau IV.
Sedangkan menurut kualitas keawetannya kedalam kelas III atau IV. Karena
banyak ditemukan dan bentuk batangnya yang baik serta mudah dikerjakan maka
kayu ini di Sumatra dan Kalimantan termasuk jenis-jenis yang paling banyak
digunakan. Jenis-jenis yang ringan, yang dapat lama bertahan terhadap bubuk
namun kurang terhadap pengaruh cuaca, oleh penduduk biasa dipakai untuk
papan, kasau pada bangunan rumah, dan untuk sampan. Sementara itu jenis-jenis
yang lebih berat, yang lebih kuat, dan lebih awet digunakan untuk gelegar, papan
lantai, dan bahkan papan geladak jembatan. Untuk di Eropa yang pada umumnya
menuntut syarat-syarat yang lebih berat, biasanya memakai Meranti Merah
hanya untuk maksud-maksud semi permanen, untuk dinding hias, dan terutama
untuk acuan pada bangunan beton, serta untuk perancah pada bangunan gedung.
Tetapi jenis-jenis yang lebih baik konon lambat laun dipakai juga untuk
pekerjaan permanen. Meranti adalah jenis kayu perdagangan yang terpenting
dari Sumatra dan Kalimantan, terutama di daerah-daerah yang ada kemugkinan
pengangkutan di air. Jumlah-jumlah besar diekspor dari Bengkalis, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat dengan tujuan Singapura, Cina, dan Australia.
Menurut Samingan (1973) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri umum
berbentuk pohon raksasa hingga tinggi 65 m, biasanya berbatang lurus, silindris
7
setinggi 20-40 m. Kulit batang yang halus biasanya mengelupas dalam kepingan-
kepingan tipis yang lebar-lebar. Kayu gubal putih, putih kekuning-kuningan atau
coklat muda dan biasanya mengandung banyak sekali resin. Kayu gubal ini jelas
beda daripada kayu terasnya yang berwarna merah atau coklat kemerahan.
Untuk persebarannya menunjukkan bahwa Sumatra dan Kalimantan bersama-
sama dengan Semenanjung Malaya serta Filipina merupakan pusat daerah
Dipterocarpaceae.
Menurut Prawira dan Tantra (1973) Shorea leprosula Miq atau Meranti
Tembaga yang termasuk golongan Meranti Merah yang termasuk kedalam famili
Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini :
1. Habitus : Pohon tinggi mencapai 50 m, batang bebas cabang 30 m,
diameter mencapai 100 cm atau lebih, banir tinggi 3,5 m.
2. Batang : Kulit luar tebalnya kira-kira 5 mm, berwarna abu-abu atau
coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal.
Penampang berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning
muda. Kayu gubal tebalnya 1-8 cm, berwarna kuning muda sampai
kemerahan. Kayu teras berwarna coklat muda sampai merah, peralihannya
dari gubal keteras terjadi secara berangsur.
3. Daun : Rata, hampir menyerupai segiempat memanjang atau bulat telur
terbalik yang memanjang, pangkal daun membulat, ujung runcing, panjangnya
rata-rata 3-13 cm, lebar 3-6 cm, permukaan atas helaian daun mengkilat dan
permukaan bawah suram.
4. Buah : Berbentuk bulat telur, ujungnya agak lancip, berbulu halus
berwarna pucat, panjang 1-1,5 cm, diameter kira-kira 1 cm dan sayap-
sayapnya tipis.
5. Tumbuh : terdapat banyak di Sumatra dan Kalimantan dalam hutan primer
5-800 m dpl. Pada tanah liat dan berpasir yang selamanya tidak digenangi air,
kadang terdapat pula pada pinggir rawa, dan hidup berkelompok.
6. Penggunaan : Kayu mempunyai BJ 0,52 dengan kelas awet III-IV,
dipergunakan untuk bangunan rumah, perabot rumah tangga dan perahu.
Damarnya dipakai untuk menambal perahu dan lampu.
8
Menurut Djamhuri, Hilwan, Istomo, dan Soerianegara (2002) famili
Dipterocarpaceae merupakan pohon raksasa, berdamar, kadang-kadang
berbanir, serta kulit batang mengelupas. Daun tunggal berseling, tetapi rata,
berdaun penumpu (besar dan tidak rontok), tulang daun ada yang berbentuk
tangga (Scalariform veination). Bunga biseksual, beraturan, tersusun dalam
malai, kelopak bunga ada lima helai, bebas atau bersatu di pangkal. Buah berbiji
satu, keras tidak pecah dan bersayap, sayap merupakan perkembangan dari
kelopak bunga. Famili ini mendominasi hutan hujan dataran rendah dan tersebar
di kawasan Tropika Asia (India, Srilangka, Myanmar, Malaysia, Filipina,
Indonesia, Cina Selatan, dan Papua Nugini), di Indonesia terbanyak di
Kalimantan dan Sumatra. Famili Dipterocarpaceae ini sudah tercatat 512 jenis
dalam 16 marga. Di Indonesia sendiri dijumpai sembilan marga, yaitu Shorea
(Shorea leprosula, shorea pinanga, shorea multiflora, shorea hopeifolia, shorea
polyandra, shorea leavifolia), Dryobalanops (Dryobalanops aromatic,
Dryobalanops lanceolata, dan Dryobalanops oblongifolia), Dipterocarpus
(Dipterocarpus cornutus, Dipterocarpus crinitus), Hopea (Hopea mengarawan,
hopea dryobalanoides), Anisoptera (Anisoptera marginata, Anisoptera costata),
Vatica (vatica rassak, Vatica wallichii), Parashorea, Upuna, dan Cotylelobium.
Manfaat yang dapat diperoleh dari famili Dipterocarpaceae antaralain sebagai
bahan konstruksi, plywood, damar.
Tabel 1 Penyebaran dan jumlah jenis pohon Dipterocarpaceae di Indonesia
Marga
Jumlah jenis (Number of species)
Wilayah penyebaran
Jawa Sumatra Kalimantan Sulawesi Maluku Bali Irian
1. Shorea Endemik
Non endemik
1 0
1
50 3
47
127 82
45
2 0
2
3 1
2
0 0
0
0 0
0
2. Hopea Endemik
Non endemik
1 0
1
14 3
11
42 22
20
2 1
1
2 0
2
1 0
1
13 11
2
3. Dryobalanops Endemik
Non endemik
0 0
0
2 0
2
7 5
2
0 0
0
0 0
0
0 0
0
0 0
0
4. Vatica Endemik
Non endemik
3 1
2
11 4
7
35 23
12
2 1
1
1 0
1
0 0
0
1 0
1
5. Catylelobium
Endemik
Non endemik
0
0
0
1
0
1
3
1
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 6. Anisoptera
Endemik
Non endemik
1
0
1
4
0
4
5
2
3
1
0
1
1
0
1
0
0
0
1
0
1
9
Lanjutan Tabel 1 Penyebaran dan jumlah jenis pohon Dipterocarpaceae di
Indonesia
Marga
Jumlah jenis (Number of species)
Wilayah penyebaran
Jawa Sumatra Kalimantan Sulawesi Maluku Bali Irian
7. Dipterocarpus
Endemik
Non endemik
4
1
3
25
1
24
41
15
26
0
0
0
0
0
0
2
0
2
0
0
0
8. Parashorea
Endemik
Non endemik
0
0
0
3
1
2
6
4
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9. Upuna
Endemik
Non endemik
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber : Dendrologi, 2002
2.3 Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala
Menurut Husch (1987) inventarisasi hutan adalah suatu usaha atau
kegiatan untuk menyajikan taksiran-taksiran kuantitas kayu di hutan menurut
suatu urutan klasifikasi seperti spesies, ukuran, dan kualitas. Menurut Simon
(1996) tujuan utama inventarisasi hutan adalah untuk mendapatkan data tentang
areal berhutan dan komposisi tegakannya. Kegiatan inventarisasi hutan dapat
dilaksanakan dengan pengindraan jauh, pengamatan langsung dilapangan, atau
gabungan dari keduanya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan,
pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam
(IUPHHK-HA) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT), diwajibkan menyusun Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) sepuluh tahunan yang disusun
berdasarkan inventarisasi hutan berkala sepuluh tahunan (Departemen
Kehutanan Republik Indonesia 2007b).
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 34/Menhut-II/2007 tentang
Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Pada Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi. Inventarisasi Hutan
Menyeluruh Berkala (IHMB) adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi
tentang kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock), yang dilaksanakan
secara berkala satu kali dalam sepuluh tahun pada seluruh petak di dalam
10
kawasan hutan produksi setiap wilayah unit pengelolaan/unit managemen.
Tujuan dari IHMB tersebut antaralain (Departemen Kehutanan Republik
Indonesia 2007a) :
1. Untuk mengetahui kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock)
secara berkala.
2. Sebagai bahan penyusunan RKUPHHK dalam hutan alam dan atau
RKUPHHK dalam hutan tanaman atau KPH sepuluh tahunan.
3. Sebagai bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian sediaan
tegakan hutan di areal KPH dan atau IUPHHK.
Dalam kegiatan IHMB ini diperlukan alat bantu IHMB yang digunakan
untuk memperlancar kegiatan inventarisasi hutan, alat bantu ini terdiri dari :
1. Kurva tinggi yaitu kurva yang memberikan gambaran tentang hubungan
diameter dengan tinggi. Hubungan antara diameter dan tinggi dibentuk dengan
melalui pengukuran diameter dan tinggi sejumlah individu pohon, kemudian
menghubungkan keduanya dengan analisis regresi sehingga bisa dibentuk
sebuah persamaan kurva tinggi.
2. Tabel volume yaitu suatu tabel yang disusun untuk memperoleh taksiran
volume pohon melalui pengukuran diameter atau beberapa peubah lain penentu
volume pohon. Tabel volume yang digunakan adalah tabel volume lokal
maupun tabel volume standar.
3. Tabel berat pohon yaitu tabel yang menunjukkan hubungan antara diameter
dengan berat segar (fresh weight) pohon. Tabel berat ini penting
keberadaannya untuk menduga potensi kayu pulp dalam HTI pulp dan untuk
menduga biomassa serta banyaknya unsur karbon dalam hutan alam.
2.4 Volume Pohon
Menurut Husch (1963) volume pohon adalah ukuran tiga dimensi, yang
tergantung dari lbds (diameter setinggi dada atau diameter pangkal), tinggi atau
panjang batang, dan faktor bentuk batang.
Menurut Simon (1996) diameter merupakan salah satu parameter pohon
yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan
untuk keperluan pengelolaan. Diameter setinggi dada diukur pada 1,30 m (4,3
11
feet) di atas pangkal batang (untuk pohon yang berdiri pada lereng, titik
pengukuran harus ditentukan pada bagian atas lereng). Simon (1996)
menyatakan bahwa terdapat beberapa macam tinggi pohon di dalam inventarisasi
hutan yaitu :
1. Tinggi total, yaitu tinggi dari pangkal pohon dipermukaan tanah sampai puncak
pohon,
2. Tinggi bebas cabang, yaitu tinggi pohon dari pangkal batang permukaan tanah
sampai cabang pertama untuk jenis daun lebar atau crown point untuk jenis
conifer, yang membentuk tajuk,
3. Tinggi batang komersial, yaitu tinggi batang yang pada saat itu laku dijual
dalam perdagangan, dan
4. Tinggi tunggak, yaitu tinggi pangkal pohon yang ditinggalkan pada waktu
penebangan.
Menurut Husch (1963), Penentuan volume suatu benda dapat dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain :
1. Cara langsung, yaitu berdasarkan prinsip perpindahan cairan. Alat yang
digunakan disebut Xylometer. Penentuan volume dengan cara ini dilakukan
terhadap benda-benda yang bentuknya tidak beraturan,
2. Cara analitik, yaitu penentuan volume dilakukan dengan menggunakan rumus-
rumus volume. Cara ini dilakukan terhadap benda-benda yang bentuknya
beraturan, seperti segi banyak, prisma, piramida, prismoid, dan benda-benda
seperti kerucut, silinder, paraboloid, dan neiloid, dan
3. Cara grafik, yaitu cara ini dilakukan untuk penentuan volume berbagai benda
putar tanpa memandang ciri-ciri permukaannya.
Untuk menentukan volume dolok (sortimen kayu) sebagai bagian dari
volume kayu/pohon, telah dikembangkan rumus-rumus matematik (Spurs 1952;
Loetsch et al 1973) sebagai berikut :
Rumus Smalian : V = 0,5 x (B + b) x L
Rumus Huber : V = B1/2 x L
Rumus Brereton : V = {0,625 x x (D + d)2 x L}
Rumus Newton : V = {B + (B1/2 x 4) + b} x L x 1/6
Rumus Schiffel : V = {(0,16 x B) + (0,66 x B1/2) x L
12
Dimana : V = Volume dolok (logs) atau batang pohon dalam m3
B = Luas bidang dasar pangkal batang dalam m2
b = Luas bidang dasar ujung batang pohon dalam m2
B1/2 = Luas bidang dasar bagian tengah batang pohon dalam m2
D = Diameter pangkal batang pohon dalam meter
d = Diameter ujung batang pohon dalam meter
L = Panjang batang pohon
Penentuan volume sortimen (batang pohon) dengan menggunakan rumus-
rumus diatas, jika makin pendek panjang batang (L) akan menghasilkan volume
yang lebih tepat, karena rumus-rumus diatas merupakan perhitungan volume yang
mendasarkan kepada bentuk benda teratur, yaitu bentuk silinder, sedangkan
bentuk pohon pada umumnya tidak teratur dan lebih kearah bentuk neiloid.
Berdasarkan volume sortimen-sortimen kayu yang diukur maka volume pohon
dapat diketahui, yaitu merupakan penjumlahan dari volume sortimennya.
Rumus Smalian mempunyai ketepatan yang lebih kecil dibandingkan
dengan rumus Huber dan rumus Newton. Namun demikian rumus Smallian
banyak digunakan karena cukup praktis dan mudah dalam penerapannya. Rumus
Newton memberikan ketelitian yang tinggi dibanding dengan rumus lainnya,
namun rumus ini memerlukan pengukuran kedua ujung batang dan tengah batang,
sehingga penggunaannya lebih terbatas dan kurang praktis untuk digunakan
dilapangan.
Menurut Spurr (1952) angka bentuk batang adalah rasio antar volume aktual
dengan volume silinder yang berdiameter dan tinggi sama dengan diameter
setinggi dada dan tinggi pangkal tajuk pohon tersebut.
Menurut Husch (1987) Tabel volume ini merupakan pernyataan sistematik
mengenai volume sebatang pohon menurut semua atau sebagian dimensi yang
ditentukan dari Dbh, tinggi, dan angka bentuk pohon. Tipe-tipe tabel volume
pohon terdiri dari :
1. Tabel volume lokal (local volume tables)
Tabel volume lokal menyajikan volume menurut dimensi pohon diameter
setinggi dada (Dbh). Tabel volume ini tidak memerlukan pengukuran tinggi
13
pohon, meskipun pada penyusunan aslinya tinggi tetap dihitung, tetapi
dihilangkan di dalam bentuk akhirnya. Istilah ”lokal” digunakan karena tabel-
tabel tipe ini hendaknya hanya dipergunakan untuk wilayah terbatas yang
merupakan asal hubungan tinggi dan diameter yang dimanfaatkan kedalam
tabelnya.
2. Tabel volume normal (general standard volume tables)
Tabel volume standar didasarkan kepada pengukuran diameter setinggi dada
(Dbh), maupun tinggi. Tinggi dapat berupa tinggi pohon total atau tinggi kayu
perdagangan. Tabel volume standar dapat disusun untuk individu spesies
maupun kelompok spesies dari berbagai wilayah-wilayah geografis.
3. Tabel volume kelas bentuk (form class volume tables)
Tabel volume kelas bentuk disiapkan untuk menunjukkan volume menurut
beberapa ukuran bentuk pohon disamping diameter setinggi dada (Dbh) dan
tinggi pohon. Tabel volume ini dapat dipakai bilamana saja bentuk suatu pohon
yang bersangkutan secara jelas ditunjukkan oleh karakteristik-karakteristik
bentuk yang telah dimasukan dalam penyusunan tabel-tabelnya, tanpa
memandang spesies atau tempat.
Menurut Spurr (1952) menyatakan bahwa untuk menentukan volume,
apabila pengukuran dilakukan hanya pada satu peubah, maka dipakai diameter
setinggi dada (Dbh), bila menggunakan dua peubah maka yang diukur adalah
diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon tersebut. Sedangkan bila
menggunakan tiga peubah selain mengukur diameter setinggi dada (Dbh) dan
tinggi pohon ditambahkan juga angka bentuk.
Penyusunan tabel volume pohon dimaksudkan untuk memperoleh taksiran
volume pohon melalui pengukuran satu atau beberapa peubah penentu volume
pohon serta untuk mempermudah kegiatan inventarisasi hutan dalam menduga
potensi tegakan. Meskipun demikian, untuk meningkatkan efisiensi dalam
penaksiran volume tegakan dengan tidak mengurangi ketelitian yang diharapkan,
diusahakan dalam penyusunan tabel volume pohon memperkecil jumlah peubah
bebas penentu volume pohon dan diberlakukan pada daerah setempat. Tabel yang
dimaksud adalah tabel volume pohon lokal atau tarif volume.