t1_312009058_bab i.pdf
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai,
contohnya adalah perubahan sosial budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan
yang mencolok berlangsung secara normal sebagai yang dikehendaki masyarakat,
dan perubahan sosial dan kebudayaan yang tidak dikehendaki merupakan gejala
abnormal atau gejala patologis. Gejala abnormal disebabkan oleh kekecewaan dan
penderitaan, gejala abnormal yang berkepanjangan maka akan menciptakan suatu
masalah social. Salah satu masalah social yang terjadi di masyarakat adalah
adanya perilaku patologis pada gelandangan.
Perilaku patologis yang dimaksud seperti tingginya angka kriminalitas,
kejahatan, kekerasan, perilaku menyimpang, dan gangguan kejiwaan. Gangguan
jiwa pada gelandangan adalah salah satu pelaku patologis masalah sosial yang
diakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial.
Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa merupakan penderita
gangguan jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan umum, dapat mengganggu
ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan. Fenomena sosial mengenai
gelandangan yang mengalami gangguan jiwa dapat ditemui secara langsung di
sepanjang jalan, trotoar, jembatan, di pasar ataupun di pusat pertokoan.
Gelandangan dengan gangguan jiwa hidup secara nomaden (berkeliaran di
lingkungan masyarakat) dan serta memiliki keterbelakangan mental (gangguan
2
jiwa) ini sangat merugikan masyarakat sekitar dan Pemerintah. Tekanan
kehidupan dan ketidaksiapan dalam perubahan sosial salah satu penyebab utama
terhadap pertambahan gangguan jiwa pada gelandangan gelandangan.
Seperti yang diketahui, bahwa didalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sudah diatur secara jelas mengenai
kesejahteraan tiap individunya, ini terimplementasi pada Pasal 27 ayat (2) dan
pasal 34. Dan peraturan mengenai gelandangan yang memiliki gangguan jiwa
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, menyebutkan :
1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan
dan perawatan difasilitas pelayanan kesehatan;
2) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan
pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi
penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum;
3) Pemerintah dan Pemerintah daerah bertanggung jawab atas
pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan
melibatkan peran serta aktif masyarakat;
4) Tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan
perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Pemerintah Kota Magelang tidak mempunyai Perda khusus yang dibuat
untuk menanggulangi gelandangan yang mengalami gangguan jiwa1. Akan tetapi
dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan
1 Wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Magelang, Bapak A. Arif S.K., SH
3
jiwa, Pemerintah Kota Magelang mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 1980
tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis dan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan,.
Dalam pelaksanaannya, penanggulangan gelandangan yang mengalami
gangguan jiwa di Kota Magelang dilakukan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 149 ayat (4) yang berbunyi “tanggung jawab Peme-
rintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk
masyarakat miskin” dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 Pasal 4 ayat (1)
dan (2) yang berbunyi:
(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus
berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk
Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan pasal tersebut Pemerintah Kota Magelang menunjuk pada
Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial dengan berkoordinasi dengan Satuan
Polisi Pamong Praja dan Dinas Kesehatan dalam menangani gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa. Dari ketiga lembaga tersebut yang memiliki peran
utama adalah Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial yaitu melaksanakan
perencanaan, pembinaan, pengendalian dan pengembangan peningkatan
pelayanan dibidang sosial, dalam penjaringan gelandangan Disnakertransos Kota
4
Magelang dibantu oleh Satpol PP dan dalam upaya penyembuhan gelandangan
yang mengalami gangguan jiwa Disnakertransos Kota Magelang berkoordinasi
dengan Dinas Kesehatan.
Banyaknya gelandangan di Kota Magelang dapat disebabkan karena
semakin berkembangnya Kota Magelang sehingga menarik para penduduk
wilayah sekitar Kota Magelang untuk datang ke kota Magelang. Akan tetapi
karena lapangan kerja yang ada di Kota Magelang tidak memadai, banyak
pendatang yang memilih menjadi pengemis. Tekanan ekonomi yang berada di
kota kadang membuat pengemis tidak kuat dalam menghadapi tekanan tersebut
sehingga menyebabkan mereka tertekan dan stress yang akhirnya mereka menjadi
gila.
Selain itu dengan adanya Rumah Sakit Jiwa di Kota Magelang ternyata
tidak juga mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis yang mengalami
gangguan jiwa. Hasil pra research penulis, bahwa gelandangan yang mengalami
gangguan jiwa di Kota Magelang menunjukan jumlah yang cukup banyak antara
lain di tempat yang ramai orang seperti di pasar raya, lapangan alun-alun kota
Magelang dan terminal Magelang.2
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana upaya Pemerintah
Kota Magelang dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan hal tersebut penulis memilih judul “Peran Disnakertransos Kota
Magelang Dalam Menangani Gelandangan yang Memiliki Gangguan Jiwa”.
2 Hasil observasi penulis pada tanggal 8 - 12 APRIL 2013 di Kota Magelang
5
Tabel Perbandingan Skripsi
ISI Ananto Ariwibowo
312009058
Y.E. Ari Andani
312850153
Judul Peran Dinas Sosial Kota Magelang
Dalam Melakukan Perlindungan
Gelandangan yang Memiliki
Gangguan Jiwa
Pelaksanaan penanggulangan
gelandangan dan pengemis oleh
dinas Kodya Dati II Salatiga
Rumusan masalah - Bagaimana upaya yang telah
dilakukan Pemerintah Kota
Magelang melalui Dinas
Sosial Kota Magelang untuk
mengatasi masalah sosial
gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa?
- Apa saja hambatan-
hambatan yang dihadapi
oleh Dinas Sosial Kota
Magelang dalam mengatasi
masalah sosial gelandangan
yang mengalami gangguan
jiwa
- Bagaimana pelaksanaan
penanggulangan pengemis
dan gelandangan telah
dilaksanakan oleh Dinas
Sosial Cabang Dinas
Kotamadya Salatiga ?
- Faktor – factor apakah
yang menyebabkan
pelaksanaan tersebut tidak
memperoleh hasil seperti
yang diharapkan ?
- Sejauh manakah
koordinasi antara Cabang
Dinas Sosial dengan
instansi terkait yang lain
dilaksanakan ?
Perbedaan Sudah dikaitkan dengan :
- Undang – Undang Nomor 36
tahun 2009 tentang
Belum dikaitkan dengan :
- Undang – Udang Nomer
23 tahun 2002 tentang
3 Skripsi, Y.E. Ari Andani, 31285015, Pelaksanaan penanggulangan gelandangan dan pengemis oleh
dinas Kodya Dati II Salatiga.
6
kesehatan.
Objek penelitian: gelandangan dan
pengemis yang sakit jiwa
Lokasi: Kota Magelang
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009
- Undang-Undang No. 11
Tahun 2009
- Peraturan Pemerintah No. 31
Tahun 1980
perlindungan anak.
Sudah dikaitkan :
- Keputusan Menteri Sosial
Republik Indonesia
Nomer 15 Tahun 1983
tentang organisasi dan tata
kerja departemen sosial.
Tujuan penelitian - Mengetahui upaya yang
telah dilakukan Dinas Sosial
Kota Magelang untuk
mengatasi masalah sosial
gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
- Mengetahui hambatan yang
dihadapi oleh Dinas Sosial
Kota Magelang untuk
mengatasi masalah sosial
gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
- Untuk menggambarkan
struktur organisasi
pelaksana
penanggulangan pengemis
dan gelandangan
- Ingin menggambarkan
kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh Dinas
Sosial Cabang Dinas
Kodya Salatiga
- Ingin memberikan
alternatif jalan keluarnya.
7
Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yuridis
empiris atau yuridis sosiologis, yaitu
penelitian yang mengkaji hukum
dalam realitas atau kenyataan di
dalam masyarakat. Dalam
melakukan penulisan hukum ini
Penulis melakukan penelitian dan
memperoleh informasi yang
berkaitan dengan materi penulisan
dari Pemerinta Daerah Kota
Magelang dan dinas sosial Kota
Magelang.
Unit amatan - Rumah Sakit Jiwa Kota
Magelang
- Dinsosnakertrans,
- Gelandangan yang mengalami
gangguan jiwa
Unit analisa Unit analisanya adalah bagaimana
program pemerintah dalam
menangani gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
8
B. Latar Belakang
Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong Negara yang sedang maju dan
belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak
masalah sosial yang ada sampai saat ini, gelandangan dan pengemis adalah
masalah yang perlu harus diperhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini
masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota yang sedang
berkembang, terutama seperti Magelang.
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial Pasal 1 ayat (1), menyatakan :
" Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri,sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.".
Gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah yang
menyangkut bidang kesejahteraan sosial yang berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009, penanggulangannya merupakan sebagian
dari tugas pokok Departemen Sosial. Berdasarkan data BPS jumlah gelandangan
terbanyak di Jawa Tengah berada di Kota Magelang4. Keberadaan gelandangan
dan pengemis (gepeng) di kota Magelang saat ini semakin banyak dan sulit diatur.
Mereka dapat ditemui di berbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan
tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka
4 Tempo Interaktif, Magelang Senin (28 / 6 / 2013)
9
menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu
pemandangan dan meresahkan masyarakat.
Oleh sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak
segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri,
keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Gelandangan di kota Magelang
semakin meresahkan dengan munculnya para gelandangan yang mengalami
gangguan jiwa. Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Magelang
tahun 2010 terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosal tersebut dalam
beberapa jenis, diantaranya termasuk penyandang psikotik atau penyandang tuna
laras.
Penyandang masalah sosial adalah seseorang, keluarga, atau masyarakat
yang karena hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya dan karena tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif
dengan lingkungannya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
(Jasmani, rohani, dan sosialnya secara memadai dan wajar)5. Sedangkan
penyandang tuna laras, yaitu orang-orang yang mengalami gangguan jiwa,
merupakan permasalahan yang spesifik. Pada umumnya mereka tidak dapat
disembuhkan seratus persen (100%). Suatu saat mereka dapat kambuh, atau
bahkan perilaku mereka masih menunjukkan tingkah laku “gila” dalam kehidupan
sehari-hari.
5 Dinsos, 2004
10
Mengatasi penyandang tuna laras penting terutama di saat kondisi krisis
ekonomi, dan kondisi yang semakin tidak menentu. Pengelolaan pembangunan
kesejahteraan sosial memang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab
pemerintah daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Akan tetapi tidak
kalah pentingnya juga keikutsertaan masyarakat melalui organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya, organisasi lainnya untuk ikut berpartisipasi
dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial.
Dalam mengatasi gelandangan dan pengemis peranan Disnakertransos
sangat penting. Peranan adalah suatu bagian dari tugas utama yang dilaksanakan
oleh seseorang sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Dalam hal ini peranan
Disnakertransos adalah sebagai pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial
seperti yang termuat dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng),
pemerintah Kota Magelang mengutus Disnakertransos untuk menanganani
gelandangan dengan berkoordinasi dengan Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk
merazia semua gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada di seluruh sudut
kota Magelang, untuk kemudian dijaring dan ditampung di Liponsos (lingkungan
pondok sosial) Dinas Sosial Magelang. Sedangkan untuk gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa ditampung di rumah sakit jiwa kota Magelang, dalam
hal ini Disnakertransos bekerjasama dengan Dinas Kesehatan. Hal ini bertujuan
untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk
memberikan penyadaran kepada mereka.
11
Berdasarkan wawancara dengan kepala Dinas Sosial Kota Magelang, Drs.
Ari Nugroho, M.Si , penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa
telah dilakukan mengacu pada Undang-Undang Kesejahteraan Sosial dan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hasil dari penanganan
gelandangan yang mengalami gangguan jiwa telah menunjukkan adanya
penurunan jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Jumlah
gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang berjumlah 21
orang pada tahun 2011, 14 orang pada tahun 2012, dan 10 orang pada tahun
20136.
Dari data tersebut dapat terlihat bahwa setiap tahunnya terdapat
penurunan jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya
penanganan dari Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang.
Namun dari hasil observasi masih terdapat gelandangan yang mengalami
gangguan jiwa yang berkeliaran di jalanan. Hal ini dapat disebabkan karena
pertama, tidak seluruhnya gelandangan yang mengalami gangguan jiwa terjaring
razia yang dilakukan oleh petugas, dan kedua adanya gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa menunjukkan sikap yang lebih baik pada saat
dilakukan rehabilitasi, akan tetapi pada saat dikembalikan kepada keluarga
mereka mengalami gangguan kembali dan pergi dari rumah yang pada akhirnya
menjadi gelandangan kembali.
6 Wawancara dengan Kepala Dinsos Kota Magelang, , Drs. Ari Nugroho, M.Si pada tanggal 12
Agustus 2013
12
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulangan
gelandangan dan pengemis. Pasal 2 menyebutkan bahwa :
“Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha
preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan
dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat
pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan
memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota
masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan
para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna
mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan
harkat martabat manusia”.
Hal tersebut diatas sesuai dengan Pasal 149 ayat (2) yang menyebutkan
bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan
pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita
gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
Berdasarkan bunyi pasal diatas menunjukan bahwa penanggulangan
gelandangan dan pengemis perlu diupayakan untuk mencegah meluasnya
pengaruh akibat gelandangan dan pengemis, termasuk di dalamnya adalah
gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini juga yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Kota Magelang dalam upaya melindungi gelandangan dan
pengemis yang mengalami gangguan jiwa agar mendapatkan perawatan dan
pelayanan kesehatan.
Dalam bidang sosial yang termasuk di dalamnya adalah masalah
gelandangan dan pengemis menjadi salah satu bagian dari tugas pokok dan fungsi
13
bidang sosial pada Disnakertransos yaitu dinyatakan bahwa Kepala Bidang Sosial
mempunyai tugas membantu Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Sosial dalam melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengendalian dan
pengembangan peningkatan pelayanan dibidang sosial. Untuk menyelenggarakan
tugas sebagaimana dimaksud di atas, Kepala Bidang Sosial mempunyai fungsi:
perencanaan penyusunan program dan kegiatan bidang sosial, pengkoordinasian
pelaksanaan program dan kegiatan bidang sosial, pelaksanaan kegiatan bidang
sosial dan pembinaan dan pengendalian program dan kegiatan bidang sosial.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana peran yang telah dilakukan Pemerintah Kota Magelang melalui
Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang untuk mengatasi
masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa?
2. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Dinas Tenaga Kerja
Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang dalam mengatasi masalah sosial
gelandangan yang mengalami gangguan jiwa
14
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Peran Dinas
Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial kota Magelang dalam melakukan
perlindungan gelandangan yang memiliki gangguan jiwa.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui upaya yang telah dilakukan Disnakertransos Kota
Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
2. Mengetahui hambatan yang dihadapi oleh Disnakertransos Kota
Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Kepentingan Akademis
Sebagai sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pengembangan sumber daya manusia dan dapat menjadi dasar penelitian
selanjutnya.
15
2. Bagi Instansi
1. Menjadi masukan informasi bagi Dinas terkait dalam meningkatkan
peranan terhadap masyarakat
2. Dapat digunakan sebagai salah satu penilaian untuk meningkatkan
kinerja instansi terkait.
3. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, karena dalam penelitian ini
bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan
mengenai peranan Disnakertransos Kota Magelang dalam mengatasi
penyandang masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin
tentang sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia, sifat-sifat,
karya manusia, keadaan, dan gejala-gejaka lainnya.7
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini mengungkapkan tentang peran Disnakertransos Kota
Magelang dalam mengatasi penyandang masalah sosial gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa merupakan penelitian yang spesifikasinya yuridis
7 Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Kajarta: UI Press. Hal. 43
16
sosiologis. Dikatakan yuridis sosiologis karena mengikuti pola penelitian
ilmu-ilmu sosial.8 Penelitian ini meneliti tentang peran Dinas Tenaga Kerja
Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang dalam menangani gelandangan
yang mengalami gangguan jiwa. Orientasi pengkajiannya menitikberatkan
pada aspek perlakuan norma-norma yakni penanganan gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
3. Bahan Hukum
a. Primer
Berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, Peraturan Perundang-
undangan pelaksanaannya terkait dengan pemerintah daerah, lingkungan
hidup dan perizinan.9 Data yang berupa keterangan-ketreangan yang
diperoleh secara langsung dari lapangan melalui wawancara dengan
pihak-pihak yang dipandang mengetahui objek yang diteliti. Dalam
penelitian ini digunakan bahan hokum primer yang berupa Undang-
Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan
Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan
dan Pengemis.
8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1998, Hal. 71
9 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20. Penerbit: Alumni
Bandung, 1994. Hal. 19 yang menyatakan perundang-undangan dan yurisprudensi menjadi bahan
hukum primer
17
b. Sekunder
Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari sumber
data sekunder yaitu yang berasal dari bahan-bahan pustaka, yang
meliputi dokumen-dokumen tertulis seperti data dari Disnakertransos
Kota Magelang.
c. Tersier
Berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder seperti yang berasal dari kamus, ensiklopedia, dan sebagainya
yang terkait dengan sistem hukum penanganan gelandangan yang
mengalami gangguan jiwa.
4. Tehnik Pengambilan Data
a. Studi Pustaka
Yaitu suatu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mempelajari data-data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
b. Wawancara
Yaitu suatu metode pengumpulan data primer yang dilakukan
melalui wawancara langsung dengan pihak Dinas Sosial yaitu Kepala
Dinas Sosial Kota Magelang, Bapak Imam Fatchi SH serta Pihak Rumah
Sakit Jiwa Kota Magelang.
18
5. Analisis Data
Mengingat data yang ada maka penelitian ini bersifat kualitatif . dimana
penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi
normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, serta menekankan
pada diskripsi secara alami. Pengambilan data dan penjaringan fenomena
yang dilakukan dari keadaan sewajarnya ini dikenal dengan sebutan ”
pengambilan data secara alami atau natural” atau sering juga disebut
penelitian kualitatif naturalisik.10
6. Unit Amatan
- UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulanan
Gelandangan dan Pengemis
- Dinsosnakertrans Kota Magelang
- Rumah Sakit Jiwa Kota Magelang
- Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang
7. Unit Analisis
Unit analisanya adalah bagaimana pelaksanaan Tugas pokok dan fungsi
Disnakertransos Pemerintah Kota Magelang dalam menanggulangi
gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa.
10
Tajul Arifin, Metode Penelitian Hukum, Bandung, CV Pustaka Setia, 2009 hlm. 101