syok kardiogenik
DESCRIPTION
kardiovaskularTRANSCRIPT
SYOK KARDIOGENIK Oleh: Dimas Satya Hendarta,S.Ked (2003), Haryanti Kartini H., S.Ked (2003) Medical Study Club (MiSC) Kardiovaskular fkuii.org Pendahuluan
Syok merupakan suatu keadaan kegawat daruratan yang ditandai dengan kegagalan
perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Dalam
keadaan berat terjadi kerusakan sel yang tak dapat dipulihkan kembali (syok irreversibel),
oleh karena itu penting untuk mengenali keadaan-keadaan tertentu yang dapat mengakibatkan
syok, gejala dini yang berguna untuk penegakan diagnosis yang cepat dan tepat untuk
selanjutnya dilakukan suatu penatalaksanaan yang sesuai.1,2,3
Salah satu bentuk syok yang amat berbahaya dan mengancam jiwa penderitanya
adalah syok kardiogenik. Pada syok kardiogenik ini terjadi suatu keadaan yang diakibatkan
oleh karena tidak cukupnya curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital tubuh
akibat disfungsi otot jantung. Hal ini merupakan suatu keadaan gawat yang membutuhkan
penanganan yang cepat dan tepat, bahkan dengan penanganan yang agresif pun angka
kematiannya tetap tinggi yaitu antara 80-90%. Penanganan yang cepat dan tepat pada
penderita syok kardiogenik ini mengambil peranan penting di dalam
pengelolaan/penatalaksanaan pasien guna menyelamatkan jiwanya dari ancaman
kematian.4,5,6
Syok kardiogenik ini paling sering disebabkan oleh karena infark jantung akut dan
kemungkinan terjadinya pada infark akut 5-10%. Syok merupakan komplikasi infark yang
paling ditakuti karena mempunyai mortalitas yang sangat tinggi. Walaupun akhir-akhir ini
angka kematian dapat diturunkan sampai 56% (GUSTO), syok kardiogenik masih merupakan
penyebab kematian yang terpenting pada pasien infark yang dirawat di rumah sakit.2,5
Definisi Syok kardiogenik merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan perfusi jaringan didalam penghantaran oksigen dan zat-zat gizi, serta pembuangan
sisa-sisa metabolit pada tingkat jaringan, yang terjadi karena penurunan/tidak cukupnya curah
jantung untuk mempertahankan alat-alat vital akibat dari disfungsi otot jantung terutama
ventrikel kiri, sehingga terjadi gangguan atau penurunan fungsi pompa jantung.1,4,5,7,8,9
Etiologi
Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium ventrikel
kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat
pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan.
Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam : 1. Gangguan ventrikular ejection a. Infark miokard akut b. Miokarditis akut
c. Komplikasi mekanik :
- Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris
- Ruptur septum interventrikulorum
- Ruptur free wall
- Aneurisma ventrikel kiri - Stenosis aorta yang berat - Kardiomiopati
- Kontusio miokard 2. Gangguan ventrikular filling a. Tamponade jantung
b. Stenosis mitral
c. Miksoma pada atrium kiri
d. Trombus ball valve pada atrium
e. Infark ventrikel kanan8 ,1 0
Patofisiologi Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan
gagal jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan kontraktilitas
jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema.5,11
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan
refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas untuk menambah curah
jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat sesuai dengan
hukum Starling melalui retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya kontraktilitas pada syok
kardiogenik akan memulai respon kompensatorik, yang meningkatkan beban akhir dan beban
awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteria
darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokardium justru buruk karena
meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan miokardium akan oksigen. Karena aliran
darah koroner tidak memadai, terbukti dengan adanya infark, maka ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium semakin meningkat. Gangguan
miokardium juga terjadi akibat iskemia dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran
setan dari kerusakan miokardium. Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri,
keadaan syok berkembang dengan cepat sampai akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat
yang mengganggu sistem organ- organ penting.5,9
Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi irreversibel.
Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain. Seperti telah diketahui,
miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada keadaan syok. Selain dari
bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannya terhadap oksigen, beberapa perubahan
lain juga terjadi. Karena metabolisme anaerobik dimulai pada keadaan syok, maka
miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi (adenosin
trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan makin terganggu. Hipoksia
dan asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong terjadinya kerusakan lebih
lanjut
dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga menggeser kurva fungsi ventrikel ke bawah dan ke kanan yang akan semakin menekan kontraktilitas.6,10
Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang mematikan
adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan edema intra-alveolar akan
mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah arteria. Atelektasis dan infeksi paru-
paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini memicu terjadinya syok paru-paru, yang sekarang
sering disebut sebagai sindrom distres pernafasan dewasa. Takipnea, dispnea, dan ronki basah
dapat ditemukan, demikian juga gejala-gejala yang dijelaskan sebelumnya sebagai
manifestasi gagal jantung ke belakang.3,7,8
Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih kurang
dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya menurunkan pula
keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik retensi natrium dan air, maka kadar
natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus,
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila hipotensi berat dan berkepanjangan, dapat
terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul gagal ginjal akut.1,5,10
Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan sel
dapat terlokalisir pada zona-zona nekrosis yang terisolasi, atau dapat berupa nekrosis hati
yang masif pada syok yang berat. Gangguan fungsi hati dapat nyata dan biasanya
bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati, glutamat- oksaloasetat transaminase
serum (SGOT), dan glutamat-piruvat transaminase serum (SGPT). Hipoksia hati juga
merupakan mekanisme etiologi yang mengawali komplikasi-komplikasi ini.2,4,13
Iskemia saluran cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis
hemorhagik dari usus besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi syok melalui
penimbunan cairan pada usus dan absorbsi bakteria dan endotoksin ke dalam sirkulasi.
Penurunan motilitas saluran cerna hampir selalu ditemukan pada keadaan syok.5,14Dalam
keadaan normal, aliran darah serebral biasanya menunjukan
autoregulasi yang baik, yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap
berkurangnya aliran darah atau iskemia. Namun, pengaturan aliran darah serebral ternyata
tidak mampu mempertahankan aliran dan perfusi yang memadai pada tekanan darah di bawah
60 mmHg. Selama hipotensi yang berat, gejala-gejala defisit neurologik dapat ditemukan.
Kelainan ini biasanya tidak berlangsung terus jika pasien pulih dari keadaan syok, kecuali
jika disertai dengan gangguan serebrovaskular.8,9
Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi pengumpulan komponen- komponen
selular intravaskular dari sistem hematologik, yang akan meningkatkan tahanan vaskular
perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular difus (DIC) dapat terjadi selama syok
berlangsung, yang akan memperburuk keadaan klinis.5,11
Diagnosis Kriteria untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan olehMyocardial Infarction Research Units of the National Heart, Lung, and Blood Institute. Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Tekanan arteria sistolik < 90 mmHg atau 30 sampai 60 mmHg di bawah batas bawah sebelumnya. 2. Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama : a. Keluaran kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam kemih b. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab c. Terganggunya fungsi mental 3. Indeks jantung < 2,1 L/(menit/m2) 4. Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan baji kapiler paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.5,9,15
Kriteria ini mencerminkan gagal jantung kiri yang berat dengan adanya gagal ke
depan dan ke belakang. Hipotensi sistolik dan adanya gangguan perfusi jaringan merupakan
ciri khas keadaan syok. Penurunan yang jelas pada indeks jantung sampai kurang dari 0,9
L/(menit/m2) dapat ditemukan pada syok kardiogenik yang jelas.5,16
Pada sebagian besar pasien syok kardiogenik, didapatkan sindrom klinis yang terdiri dari hipotensi seperti yang disebut di atas; tanda-tanda perfusi jaringan yang
buruk, yaitu oliguria (urin<30 ml/jam), sianosis, ekstremitas dingin, perubahan mental, serta
menetapnya syok setelah dilakukan koreksi terhadap faktor-faktor non miokardial yang turut
berperan memperburuk perfusi jaringan dan disfungsi miokard, yaitu hipovolemia, aritmia,
hipoksia, dan asidosis. Frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi biasanya > 100 x/menit bila
tidak ada blok AV. Sering kali didapatkan tanda-tanda bendungan paru dan bunyi jantung
yang sangat lemah walaupun bunyi jantung III sering kali dapat terdengar. Pasien dengan
disfungsi katup akut dapat memperlihatkan adanya bising akibat regurgitasi aorta atau mitral.
Pulsus paradoksus dapat terjadi akibat adanya tamponade jantung akut.5,8
Menurut Scheidt dan kawan-kawan (1973) kriteria syok kardiogenik dalam penelitian mereka adalah : 1. Tekanan sistolik arteri <80 mmHg (ditentukan dengan pengukuran intra
arteri).
2. Produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental.
3. Tekanan pengisian ventrikel kiri > 12 mmHg.
4. Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O, dianggap menyingkirkan kemungkinan hipovolemia.2,4
Keadaan ini disertai dengan manifestasi peningkatan katekolamin seperti pada
renjatan lain, yaitu: gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardia, dan lain- lain.2,7
Tiga komponen utama syok kardiogenik telah termasuk dalam definisi ini, yaitu
adanya: gangguan fungsi ventrikel, bukti kegagalan organ akibat berkurangnya perfusi
jaringan, tidak adanya hipovolemi atau sebab-sebab lainnya.8,15
Penatalaksanaan
Pemantauan invasif dari sistem kardiovaskuler umumnya dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang berkesinambungan mengenai tekanan darah dan tekanan
pengisian intrakardia. Pemasangan kateter Swan-Ganz biasanya dilakukan segera setelah
pasien masuk ke ruang perawatan intensif (ICU).2,18,19
Tindakan awal untuk menstabilkan sirkulasi mencakup pemberian obat-obat intravena yang meningkatkan kontraktilitas dan usaha untuk menurunkan beban awal
dan beban akhir, serta pemasangan pompa balon intra aorta. Penanganan yang tepat dan agresif perlu dilakukan dalam jam-jam pertama dari awitan keadaan syok.2,4
Obat-obat inotropik positif, seperti dobutamin dan amrinon, dipakai untuk
meningkatkan kontraktilitas. Beban awal diturunkan dengan menurunkan volume
intravaskular dengan diuretik dan redistribusi volume vaskular dengan venodilator, seperti
nitrogliserin. Nitrogliserin juga menimbulkan efek vasodilator pada sirkulasi koroner,
memperbaiki aliran darah koroner. PCWP, petunjuk klinis untuk LVEDP, dipakai untuk
menuntun pemberian diuretik dan vasodilator.4,20
Vasodilator arteria atau vasopresor dapat diberikan untuk mengurangi beban akhir atau
meningkatkan tekanan arteria. Tetapi kedua golongan obat ini harus diberikan secara hati-hati
pada syok kardiogenik. Vasodilator arteria, seperti natrium nitroprusid, menyebabkan dilatasi
otot polos dari sistem arteria, menurunkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel, dan dengan
demikian menurunkan curah jantung. Tetapi, tekanan arteria akan turun dan memperburuk
perfusi jaringan jika kenaikan dalam curah jantung tidak cukup besar untuk mengimbangi
turunnya tahanan perifer dengan vasodilatasi arteria (MAP = CO X TRP).5
Efek yang merugikan dari vasopresor timbul akibat perangsangan reseptor simpatik
alfa dan beta. Perangsangan alfa menimbulkan vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan
arteria dan tahanan terhadap ejeksi ventrikel. Efek perangsangan beta adalah meningkatnya
kontraktilitas. Peningkatan tekanan arteria dan perbaikan kontraktilitas akan menguntungkan
dalam batas-batas dimana sirkulasi menjadi stabil. Tetapi, kedua efek ini akan meningkatkan
kebutuhan oksigen secara bermakna, dan membahayakan miokardium dan terancam infark.
Obat-obat dengan aktifitas beta juga berpotensi aritmogenik, yang selanjutnya akan
mengganggu miokardium. Pemakaian vasopresor biasanya terbatas pada pasien-pasien
dengan hipotensi berat dimana tidak ada terapi lain yang dapat dipakai untuk meningkatkan
tekanan darahnya.4,8
Obat-obat vasopresor seperti epinefrin, norepinefrin (Levophed), dan dopamin,
merangsang baik reseptor alfa maupun beta dalam kekuatan yang berbeda- beda. Dopamin
adalah vasopresor pilihan untuk syok kardiogenik. Dalam dosis
rendah, dopamin juga memberikan efek vasodilator selektif pada anyaman pembuluh darah ginjal.17,21
Aritmia, hipoksia, dan asidosis dapat memperburuk keadaan syok. Pemberian obat-
obat antiaritmia dapat dilakukan. Pemulihan ke irama sinus umumnya dapat memperbaiki
curah jantung dan tekanan darah. Oksigenasi dapat dilakukan dengan pemberian oksigen
tambahan dan pemasangan alat bantu pernafasan jika diperlukan. Penanganan edema paru-
paru akut mencakup pengurangan beban awal dengan vasodilator dan diuretik seperti yang
telah dijelaskan, serta pemberian morfin sulfat. Perbaikan asidosis metabolik dilakukan
dengan menyesuaikan ventilasi atau dengan pemberian natrium bikarbonat.8,12
Segera dilakukan langkah-langkah konvensional diatas, digabung dengan pompa balon
itra-aorta, biasanya akan menstabilkan hemodinamik, sehingga memungkinkan pelaksanaan
kateterisasi jantung dan revaskularisasi darurat, atau jika perlu perbaikan kelainan mekanis
dalam keadaan yang lebih terkendali. Peranan terapi trombolitik dan angioplasti pada
pengobatan syok belakangan ini terus diselidiki. Pada beberapa pusat penyelidikan, terapi
trombolitik dilakukan pada jam- jam pertama dari infark untuk rekanalisasi pembuluh darah
yang terserang dan untuk menyelamatkan miokardium. Jika obat-obat trombolitik tidak
efektif untuk mencairkan bekuan, revaskularisasi miokardium baik dengan angioplasti
maupun bedah pintas arteria koroner dapat dipertimbangkan.4,9
Manfaat terapi trombolitik pada jam-jam pertama setelah infark tampaknya tidak
hanya menurunkan tingkat kematian syok kardiogenik tapi juga menurunkan insidensi syok.
Insidensi syok kardiogenik setelah infark miokardium telah turun dari sekitar 15% menjadi
5% dengan ditemukannya teknik-teknik yang lebih baru untuk menyelamatkan miokardium
dan untuk menahan perluasan infark.2,22. Peranan alat bantu jantung kiri dan penggantian
jantung dengan jantung buatan masih terus diselidiki untuk kasus-kasus syok yang refrakter
dengan tindakan- tindakan konvensional, termasuk pompa balon intra-aorta.5,8
Tahapan-tahapan di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah sebagai berikut: 1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.
2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat, bila tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi. 3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi. 4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PaO2 70-120 mmHg. a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah) minimal 60 mmHg
b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen inspirasi) maksimal dengan masker muka atau
PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah)
c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan
oksigenasi yang adekuat.
5. Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.
6. Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis.
7. Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi urine > 0,5 ml/kg BB/jam. 8. Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks. 9. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin. 10. Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per oral atau intra muskular : 3-4 x/hari. 11. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi: a. Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian digitalis. b. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus diatasi dengan pemberian sulfas atropin.
12. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok kardiogenik adalah
pemberian cairan yang adekuat secara parenteral (koreksi hipovolemia) dengan menggunakan pedoman dasar
PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP
Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai
cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk
menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik.
Caranya:
a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk mengatakan adanya
pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskuler harus
ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test
volume sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon,
berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-
tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak
berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak
meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200
ml dalam waktu 10 menit.
b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau tidak
melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau
meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus
dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala
klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan
paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg
(atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).
c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg (atau
nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit.
Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau CVP),
perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru.
d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan
menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi, maka
ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai
maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin
diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau
Isoproterenol drip jika disertai bradikardia.
- Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok kardiogenik
ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya
kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan
ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure,
maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan
tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin
dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin
diganti dengan dopamin.
- Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP) counterpulsation harus
dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan,
dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.
- Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka
pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan.
b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung < 2,5
liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada
pasien infark miokard akut, dimana “tim ballon” perlu digerakan dan sarana untuk
kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini
- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah
menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi, maka
ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai
maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin
diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau
Isoproterenol drip jika disertai bradikardia.
- Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok kardiogenik
ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya
kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan
ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure,
maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan
tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin
dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin
diganti dengan dopamin.
- Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP) counterpulsation harus
dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan,
dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.
- Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka
pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan.
b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung < 2,5
liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada
pasien infark miokard akut, dimana “tim ballon” perlu digerakan dan sarana untuk
kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini
- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah
sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin.
- Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi awal dengan
dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih
baik digunakan norepinefrin.
- Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik adalah dobutamin
yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin.
Dobutamin tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat.
c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan ventrikel
kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg,
LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap
kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon dengan terapi cairan.
- Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan pemberian cairan
secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau
tekanan atrium kana > 20 mmHg.
- Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin. - Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.
15. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah miokard
yang mengalami nekrosis, sehingga insiden sindrom syok kardiogenik akan berkurang.
Penelitian GUSTO I menunjukan angka mortalitas untuk 6 minggu follow up 58% pada
pasien syok kardiogenik yang mendapat terapi trombolisis dan aspirin serta heparin. Pada
GUSTO I TPA lebih baik dari streptokinase bila tidak ada syok dan insiden syok juga lebih
kecil, tetapi pada syok mortalitas pada streptokinase lebih rendah walaupun secara statistik tidak bermakna.
16. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini
dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif semata-mata maupun
terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA)
terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya gejala syok kardiogenik, pada
pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel disease. Kegagalan PTCA terutama
dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (> 70 tahun) dan riwayat infark sebelumnya. Data-
data menunjukan PTCA pada syok kardiogenik menurunkan angka kematian menjadi 46%
atau kurang. PTCA sebaiknya dikerjakan dengan support IABP. Semula PTCA dengan balon
saja untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat secepatnya pada kasus-kasus infark
menunjukan hasil lebih baik dari trombolisis. Akhir-akhir ini dengan pemasangan stent pada
kasus infark akut menunjukan hasil lebih baik dari angioplasti dengan memakai balon saja,
terutama untuk mencegah penyempitan kembali. Angka mortalitas didalam rumah sakit untuk
pasien infark akut yang dilakukan angioplasti primer 2-6%, tetapi pada infark akut dengan
syok kardiogenik yang dilakukan PTCA, angka kematian di rumah sakit masih tinggi,
menurut PAMI 39%, dan GUSTO 38%.
17. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok kardiogenik akibat
infark miokard dengan terapi medis telah mendorong dilakukannya tindakan bedah
revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis dan IABP.
Guyton menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass surgery (CABS/CABG) merupakan
terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada
kelompok oktogenarian. CABS juga dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan
dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya
kontraksi dari segmen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis.
Bedah revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian, pasien dengan
LVEDP > 24 mmHg
skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ sistemik yang
irreversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik, misalnya robeknya otot papilaris,
robeknya septum interventrikel, maka tindakan operasi akan efektif terutama bila
revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. Kumpulan data dari 370 pasien dari 22 studi
menunjukan CABG yang dilakukan pada pasien dengan infark jantung akut dan syok
kardiogenik mempunyai mortalitas sebesar 36%. CABG perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan penyempitan di banyak pembuluh darah (multivessel disease) dan bila PTCA tidak
berhasil.
18. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard
irreversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung.2,5,8,23,24
DAFTAR PUSTAKA 1. Rackley CE. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Edisi 3. EGC. Jakarta. 1995. Hal. 243-249
2. Trisnohadi HB. Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2000.
Hal: 11-16
3. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Binarupa Aksara. Jakarta. 2000. Hal: 47-57 4. Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2002. Hal: 90-93 5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. EGC. Jakarta. 1995. Hal: 593-606 6. Scwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2000. Hal: 37-45 7. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Petersdorf, Wilson. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol.1. 13th ed. EGC. Jakarta. 1999. Hal. 218-223
Mansjoer A, Savitri K, Setiowulan W, Wardhani WI. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1999. Hal: 613-618
9. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Kasper, Wilson. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam vol 3. edisi 13. EGC Jakarta. 2000. Hal: 1208-1213 10. Cheitlin MD, Mclory MB, Sokolow M. Clinical Crdiology. 6th ed. California: Prentise Hall International Inc. 1993. Hal. 210-215 11. Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. EGC. Jakarta. 389-391 12. Dudley HAF. Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11. Gadjah Mada University Press. 1992. Hal: 14-29 13. Mark AH. Shock Cardiogenic. http://www.emedicine.com/ articlel/ darurat. 14. Harvey, Kirklin KD, Nadas, Paul SB. Cardiac Surgery In Year Book of Cardiology. Year Book Publishers Inc. 35 East Wacker Drive. Chicago. 1976. Hal. 289-293 15. Keller S. Cardiogenic Shock.http://www.ehendrick.org. 16. Daley CL, Forsmark CE, Skach W. Penuntun Terapi Medis. Edisi 18. EGC.
Jakarta. 1996. Hal: 181-183
17. Nursebob. Cardiogenic Shock.http://www.idionline.org/article.
18. Bewes P, King M. Bedah Primer Trauma. EGC. Jakarta. 2001. Hal:18-24
19. Satri H. The Effect of Stress on Acute Myocardiac Infarct during Intensive Care. http://www.emedicine.com. 20. Anonim. Advanced Cardiac Life Support. American Heart Association. Emergency Cardiovascular Care Programs. 1997. Hal: 1-40 – 1-47 21. Sharma S. Cardiogenic Shock.http://www.emedicine.com/article. 22. Earl NS, Louis NK. Heart Disease. Michael Reese Hospital and Medical Center. Chicago. 1973. Hal. 125-127 23. Braun W. Heart Disease In Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Saunders. 1988. Hal. 568-577 24. Cheitlin MD, Mclory MB, Sokolow M. Coronary Heart Disease In Clinical Cardiology. 6th ed. California: Prentise Hall International Inc. 1993. Hal. 198-20