survei dan monitoring kucing liar (carnivora:felidae) di
TRANSCRIPT
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
439
SURVEI DAN MONITORING KUCING LIAR (Carnivora:Felidae) DI TAMAN
NASIONAL WAY KAMBAS, LAMPUNG, INDONESIA
1,2)
Agus Subagyo, 3)
Muhammad Yunus, 3)
Sumianto, 4)
Jatna Supriatna, 4)
Noviar
Andayani, 5)
Ani Mardiastuti, 4)
Luthfiralda Sjahfirdi, 4)
Yasman, dan 6)
Sunarto
1)
Jurusan Biologi Konservasi, Program Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia, 2)
PS Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan MIPA, FKIP, Universitas Jambi, 3)
Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS)- Sumatran Tiger Trust
(STT), 4)
Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia. 5)
Jurusan Konservasi Suberdaya Alam, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 6)
Koordinator Konservasi Gajah dan Harimau WWF Indonesia,
Kampus UI Depok, 16424 Jawa Barat, Indonesia,
Surel: [email protected]
ABSTRACT
Way Kambas National Park (WKNP) is one of conservation areas that support the lives
of wild cats in Sumatra. Illegal activities, the isolated site of the park, and the lack of
ecological knowledge of these species in their habitat have challenged the conservation
of the cats. The overarching objective of this study is to collect ecological data of the
wild cats in WKNP. We installed camera traps in an area of 480 km2 which is divided
into three blocks based on the dominant vegetation. We installed 20 cameras for 3-4
months at each sampling block. The total trap nights is 1481, producing 2,843 videos
consisting of 1,662 animal videos (58.46 %) and 1,176 non animal videos (41.54%).
Wild cat species caught on camera trap consisted of Sumatran tiger (n=18), clouded
leopard (n = 4), leopard cat (n=23) and marbled cat (n=1). Several potential prey species
for the wild cats include wild pig, sambar deer, pig-tailed macaque, long-tailed
macaque, lesser mouse deer, greater mouse deer, birds, squirrels and rodents. Relative
abundance indexes (per 100 trap nights) are 0,068 for marbled cat, 0,270 for clouded
leopard, 1,215 for Sumatran tiger and 1,553 for leopard cat. The main threats to the wild
cats in WKNP are poaching and forest fire.
Keyword: camera trap, survey, monitoring, wild cat, Way Kambas National Park
PENDAHULUAN
Di seluruh dunia terdapat sekitar 36 lebih jenis kucing liar (Macdonald et al,.
2010), tujuh jenis di antaranya terdapat di Sumatera (Nowell & Jackson, 1996; Sunquist
& Sunquist, 2002). Di Asia Tenggara, kucing liar mengalami penurunan populasi di
alam karena hilangnya habitat hutan dan lahan basah dan fragmentasi habitat (Nowell &
Jackson, 1996; Kinnaird et al., 2003; Gaveau et al., 2007). Kucing liar juga menjadi
target perburuan liar untuk diambil rambut dan bagian-bagian tubuh lainnya seperti
tulang, gigi, dan cakar (Nowell & Jackson, 1996).
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
440
Kucing liar berperan penting dalam menjaga persistensi keanekaragaman hayati
dan kestabilan ekosistem (Berger, 1999; Crooks, 1999; Miller et al., 2001). Predator
besar dan predator puncak seperti kucing liar, dapat menjadi spesies payung (umbrella
species), karena mereka memerlukan area yang luas untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya meliputi pakan, perlindungan dan ruang(Mangas et al., 2008). Jika populasi
predator besar sehat maka populasi satwa liar lain di dalam ekosistem diperkirakan juga
sehat. Dengan melindungi kucing liar, maka sejumlah besar spesies lain dapat turut
terlindungi (Povey & Spaulding, 2006).
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu kawasan
konservasi di Sumatera yang penting dalam upaya perlindungan kucing liar secara in
situ. Di TNWK dapat dijumpai harimau sumatera (Franklin et al., 1999) dan beberapa
jenis kucing seperti kucing emas dan kucing kepala datar (Bastoni & Apriawan, 1997).
Pada penelitian sebelumnya, Fraklin et al. (1999) memperkirakan populasi harimau
sumatera di TNWK mencapai 36 individu. Karena kombinasi berbagai faktor seperti
kebakaran, perburuan liar dan perambahan hutan, kepadatannya terus menurun dari 4,6
individu per 100 km2 pada tahun 1997 menjadi 2,6 individu per 100 km
2 pada tahun
2002 (Seidensticker, 2008).Informasi ekologi atau sejarah alami (natural history)enam
jenis kucing liar di TNWK masih belum banyak diketahui.
Pengamatan mamalia untuk mengetahui informasi ekologi di daerah tropis sulit
dilakukan karena banyak spesies yang bersifat elusif, sekretif, nokturnal atau
menghindari perjumpaan dengan manusia (Griffiths & Van Schaik, 1993), sehingga
sulit untuk melakukan estimasi populasi, menghitung kelimpahan relatif atau
mengetahui pola aktivitasnya (Silveira et al., 2003). Namun dengan berkembangannya
teknik perangkap kamera (camera trap), pengetahuan kita tentang keanekaragaman
spesies dan deteksi terhadap mamalia yang bersifat sekretif dan densitas rendah
meningkat (Azlan & Sharma, 2002; Azlan, 2003; Azlan et al., 2003; Kawanishi &
Sunquist, 2003). Sejumlah penelitian telah menggunakan teknik perangkap kamera
untuk menggali informasi ekologi kucing liar di habitat alaminya, seperti estimasi
populasi (Franklin et al., 1999; O’Brien et al., 2003; Wibisono et al., 2011; Sunarto et
al., 2013), karakteristik ekologi dan interaksi antar spesies kucing liar di Sumatera
bagian tengah (Sunarto, 2011) dan tumpang tindih pola aktivitas harian kucing liar di
Kerinci Seblat (Ridout dan Linkie, 2009).
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
441
Berbekal keberhasilan penggunaan teknik perangkap kamera di sejumlah
tempat, maka kami menggunakan teknik ini untuk melakukan survei dan monitoring
kucing liar di TNWK.Survei dan monitoring dilakukan untuk mengumpulkan data
distribusi, ekologi dan perilaku spesies kucing liar di habitatnya. Informasi ini penting
untuk mengevaluasi status konservasi dan menyusun strategi konservasi yang efektif
bagi kucing liar di habitat alaminya.Hasil penelitian yang disajikan dalam makalah ini
merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang sedang berjalan di TNWK.
Bahan dan Metode
Lokasi Studi. Taman Nasional Way Kambas (Gambar 1) seluas 130.000 ha
secara geografis terletak pada 4o37’-5
o16’ Lintang Selatan dan 105
o55’-105
o54’ Bujur
Timur. Berdasarkan klasifikasi iklim Smith dan Ferguson, kawasan TNWK termasuk
dalam tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 2500–3000 mm/tahun. Sebagian
besar kawasan TNWK berupa dataran yang landai. Rata-rata ketinggian di TNWK
hanya mencapai 50 m dpl. dengan titik tertinggi 52 m dpl., terletak dibagian tenggara
dan timur. Jenis tanah di TNWK terdiri dari asosiasi podzolik coklat-kuning dengan
podzolik merah-kuning, asosiasi aluvial-hidromorf dan glei humus lacustrin, aluvial
hidromorf marine, aluvial hidromorf sungai, dan regosol pasir coklat kelabu. Bahan
induk tanah adalah sedimen tufa asam, endapan lacustrin, endapan sungai, endapan
marine dan endapan pasir.
Tipe vegetasi di TNWK terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa,
dan hutan dataran rendah. Jenis pohon yang mendominasi stratum A terdiri dari jenis-
jenis Shorea ovalis, S. leprolusa, Dipterocarpus gracilis, Canarium littorale, C.
denticulatum, Horsfieldia glabra dan Albizia lebbeckiodes, sedangkan stratum B terdiri
dari jenis-jenis Mallothus subpeltattus, Eurycoma longifolia, Baccaurea racemosa dan
Antidesma spp (Soerianegara & Indrawan, 1988). Di Kawasan TNWK masih banyak
dijumpai rawa-rawa alami dengan vegetasi yang umum dijumpai adalah Melaleuca
leucadendron, Pandanus tectorius, Oncosperma tigilaria dan Gluta renghas.
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
442
Gambar 1. Lokasi penelitian dan desain pemasangan camera trap. Simbol
(●)merupakan stasiun pemasangan camera trap pada setiap kotak terpilih.
Terdapat 32 jenis mamalia termasuk di dalamnya satwa-satwa langka seperti
kucing emas (Pardofelis temincki), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatraensis), gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan
harimau Sumatera (Pantera tigris sumatrae) (Bastoni & Apriawan, 1997). Sedangkan
dari kelompok burung, kurang lebih terdapat 286 jenis burung diantaranya beberapa
jenis rangkong (Famili Bucerotidae), ayam hutan (Gallus gallus), itik serati (Cairina
I
III
II
16
km
2 km
2
k
m
Camera Trap
Taman
Nasional Way
Kambas
10 km
Taman Nasional Way Kambas
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
443
scutulata), pecuk ular (Anhinga melanogaster), kuntul (Egreta alba) dan beo (Gracula
religiosa).
Pemasangan camera trap. Sebanyak 20 unit perangkap kamera (tipe Bushnell
Trophy Cam XLT 119436 dan Bushnell Trophy Cam HD Max 119476)dipasang secara
sistematik pada tiga bloksampling seluas 480 km2.
. Pemilihan blok sampling
berdasarakan tipe vegetasi yang mendominasi yaitu hutan sekunder, semak-
belukar/campuran/alang-alang, hutan pantai/rawa. Pada setiap blok sampling dioverlay-
kan grid berukuran 2 km x 2 km, kemudian dipilih 20 sel (kotak imaginer) secara
berselang-seling dimulai dari sel pertama untuk pemasangan kamera (Gambar 1).
Kamera dipasang pada lokasi yang mempunyai peluang tertinggi untuk mendapatkan
video kucing liar dan satwa mangsanya seperti jalur lintasan satwa, jalan setapak, atau
jalan bekas loggingyang sudah tidak digunakan lagi (Sunarto 2011). Kamera diseting
pada mode video dengan durasi 30 detik dan jarak antar video 10 detik,dipasang pada
pohon setinggi 30-40 cm, sejauh 3-4 m dari titik tengah jalur aktif dimana diperkirakan
hewan akan lewat. Kemudiankamera diuji oleh anggota tim survei untuk memastikan
bahwa sistem pemicu kamera bekerja dengan baik. Kamera dioperasikan 24 jam per
hari selama empat bulan. Setidaknya setiap satu bulan foto diunduh, baterai diganti,
lensa dibersihkan dan kamera yang rusak diganti.
Pada setiap stasiun kamera, dicatat titik koordinat, ketinggian, tanda-tanda
kehadiran kucing liar, dan tipe gangguan. Jumlah hari aktif kamera (trap-night) pada
setiap stasiun dihitung dari waktu pemasangan sampai waktu pengambilan atau sampai
waktu dan tanggal yang tertera pada foto terakhir didapat (O’Brien et al., 2003).
Analisis data. Spesies hewan (mamalia) yang tertangkap perangkap kamera
didentifikasi dengan menggunakan buku panduan pengenalan jenis mamalia (Legakul
dan McNeely, 1989; Payne et al., 2000; van Strein, 1983)sedangkan identifikasi spesies
burung dengan menggunakan buku panduaan lapangan pengenalan jenis burung di
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
444
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (McKinnon et al., 2000). Spesies yang sulit
diidentifikasi sampai tingkat jenis, hanya diidentifikasi sampai tingkat famili atau
marga.
Laju keberhasilan jebakan (capture rate) spesies kucing liar dan mangsa
potensial dihitung dengan rumus CR = ni/∑TN , dimana CR adalah laju jebakan,
nijumlah video independen spesies ke-i dan ∑TN adalah trap night total. Sedangkan
indeks kelimpahan relatif denganrumusRAIi = n/∑TN x 100, dimana RAIi adalah
relative abundance indeks (indeks kelimpahan relatif per 100 trap night), niadalah
jumlah video independen spesies ke-i dan ∑TN adalah trap nighttotal (Kawanishi &
Sunquist, 2003; O’Brien et al., 2003).
Videoindependen adalah video yang terekam secara berurutan pada satu file
dalam satu memory card yang telah disaring berdasarkan waktu. Video dikatakan
independen apabila (1) video dari spesies yang berbeda atau individu yang berbeda pada
satu memory card, (2) video berurutan dari individu yang sama (spesies sama) pada satu
file video dengan rentang waktu lebih dari 30 menit atau video berurutan dari individu
yang berbeda apabila dapat dibedakan dengan jelas, dan (3) video dari individu yang
sama atau spesies yang sama yang tidak beurutan pada satu file memory card(Kelly,
2003; O’Brien et al., 2003). Spesies mangsa dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan
bobot tubuh, mengikuti kriteria yang dikemukakan oleh Davis et al. (2010) yaitu
mangsa berukuran kecil apabila bobot tubuh kurang dari 5 kg,berukuran sedang apabila
bobot tubuh antara 5-20 kg dan dan besar apabila bobot tubuh lebih dari 20 kg.
Perkiraan bobot tubuh rata-rata spesies mangsa potensial berdasarkan literatur.
HASIL DAN PEMBAHSAN
Hasil
Selama pemasangan kamera, sejumlah kamera mengalami kerusakan karena
faktor alam, dirusak/diganggu hewan, hilang dan dirusak manusia.Tidak berfungsinya
kamera karena rusak atau dicuri menyebabkan hari aktif kamera pada setiap stasiun
berbeda-beda. Sebagian data kucing liar atau hewan yang berpotensi tertangkap kamera
hilang karena kamera tidak bekerja dengan baik.Total hari aktif 20 unit perangkap
kamera yang dipasang di blok sampling I selama 4 bulan adalah 1481trap night.Video
yang dihasilkan berjumlah 2843 video terdiri dari video hewan 1662 video (58,46%)
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
445
dan video non hewan 1181 video (41,54%). Video kosong, vegetasi hutan atau sulit
diidentifikasi dikeluarkan dari analisis. Setelah dianalisis, total video hewan independen
berjumlah 1176atau 70,76% dari total video hewan.
Sebanyak 35 spesies hewan berhasil tertangkap perangkap kamera terdiri 27
spesies Mamalia (16 famili), 2 spesies Aves (2 famili), 1 spesies Reptilia (1 famili) dan
1 spesies Arthropoda ( 1 famili). Kelompok Mamalia mendominasi hasil video
perangkap kamera dibandingkan dengan kelompok Aves, Reptilia dan Arthropoda.
Spesies yang paling melimpah (RAI=22,012 per 100 trap night) dan ditemukan pada
semua lokasi perangkap kamera adalah kijang (Muntiacus muntjak), sedangkan
beberapa spesies kelimpahannya sangat kecil (RAI=0,068) antara lain cecah (Presbytis
melalophos), kucing batu (Pardofelis marmorota) dan biawak (Varanus salvator). Tabel
1 menunjukkan takson, jumlah total video, jumlah video independen, dan RAIimasing-
masing spesies hewan yang tertangkap perangkap kamera selama periode Mei-Agustus
2013.
Tabel 1. Kucing liar dan spesies lain hasil perangkap kamera di blok sampling I periode
trappingbulan Mei – Agustus 2013. ni = Jumlah video spesies ke-i, IVi= video
independen spesies ke-i, RAIi= relative abundance indeks spesies ke-i (IVi/TN*100 trap
night)
Kelas/Fami
li
Nama
Indonesia Nama Ilmiah N IV CR RAI
Mamalia
Cercopithec
idae Beruk Macaca nemestrina
174 141 0,095
2
9,521
Cecah Prebytis
melalophus
1 1 0,000
7
0,068
Monyet Macaca
fascicularis
143 93 0,062
8
6,280
Cervidae Kijang Muntiacus muntjak 414 326 0,220
1
22,01
2
Sambar Cervus unicolor
18 13 0,008
8
0,878
Felidae Harimau
Sumatera
Pathera tigris
sumatrae
18 18 0,012
2
1,215
Kucing batu Pardofelis
marmorota
1 1 0,000
7
0,068
Kucing
congkok
Prionailurus
bengalensis
23 23 0,015
5
1,553
Macan dahan Neofelis diardi 4 4 0,002
7
0,270
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
446
Hystricidae Landak Histryx brachyura 26 24 0,016
2
1,621
Manidae Trenggiling Manis javanica 1 1 0,000
7
0,068
Muridae Tupai Not identified 1 1 0,000
7
0,068
Mustelidae Berang-berang Aonyx cinerea 1 1 0,000
7
0,068
Garangan Jawa
Herpestes
javanicus
1 1 0,000
7
0,068
Proboscida
ae Gajah Sumatera
E. maximus
sumatranus
126 23 0,015
5
1,553
Sciuridae Tikus Not identified 4 4 0,002
7
0,270
Suidae Babi hutan Sus scrofa 197 140 0,094
5
9,453
Tapiridae Tapir Tapirus indicus 10 10 0,006
8
0,675
Traguliade Kancil Tragulus javanicus 19 19 0,012
8
1,283
Napu Tragulus napu
282 176 0,118
8
11,88
4
Tupaiidae Bajing tanah Tupaii sp. 1 1 0,000
7
0,068
Ursidae Beruang madu Helarctos
malayanus
16 15 0,010
1
1,013
Viverridae Musang air Cynogale bennettii 4 4 0,002
7
0,270
Musang belang Hemigalus
derbyanus
16 15 0,010
1
1,013
Musang merah Paguma larvata 18 18 0,012
2
1,215
Musang rase V. malaccensis 1 1 0,000
7
0,068
Tenggalong Viverra tangalunga 37 31 0,020
9
2,093
Total Mamalia 27 spp.
Aves
Columbidae Delimukan
zamrud Chalcophap indica
3 2 0,001
4
0,135
Tekukur biasa
Streptopelia
bitorquata
1 1 0,000
7
0,068
Phasianidae Ayam hutan Gallus gallus 18 17 0,011
5
1,148
Kuau raja Argusianus argus 2 2 0,001
4
0,135
Puyuh mahkota Rollulus rourloul 2 2 0,001
4
0,135
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
447
Sempidan biru Lophura ignita 68 42 0,028
4
2,836
Total Aves 6 spp.
Reptilia
Varanidae Biawak Varanus salvator 1 1 0,000
7
0,068
Total Reptilia 1 spp.
Arthropod
a
Papilionida
e Kupu-kupu Not identified 10 4
0,002
7
0,270
Total Artropoda 1 spp.
Total video (N) 1662 1176
Total trap night (TN) 1481
Jumlah total video kucing liar yang berhasil tertangkap perangkap kamera
adalah 46 video terdiri dari kucing congkok (n=23), harimau Sumatera (n=18), macan
dahan (n=4), dan kucing batu (n=1). Tiga spesies kucing lain yang penyebarannya
dilaporkan terdapat di Sumatera yaitu kucing emas (Pardofelis temincki), kucing kepala
datar (Prionailurus planicep) dan kucing ikan (Prionailurus viverrinus) belum di
dapatkan. Indeks kelimpahan relatif (per 100 trap night) kucing liar tertinggi pada
kucing congkok (1,553) diikuti harimau Sumatera (1,215), macan dahan (0,270) dan
kucing batu (0,068). Keempat spesies kucing liar tersebut (Gambar 2), tertangkap
kamera pada habitat hutan sekunder tua, hutan sekunder muda dan alang-alang.
Harimau Sumatera ditemukan pada 5 lokasi, kucing congkok 9 lokasi, macan dahan 2
lokasi dan kucing batu 1 lokasi (Tabel 2).
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
448
Tabel 2. Jumlah video, lokasi kamera, dan tipe habitat spesies kucing liar hasil survei
dan monitoring bulan Mei-Agustus 2013 di TNWK. HST (hutan sekunder tua), HSM
(hutan sekunder muda), ALL (alang-alang)
Nama Indonesia Nama Ilmiah Jumlah Video Lokasi Habitat
Harimau Sumatera Pathera tigris sumatrae
1 CAM-102 ALL
7 CAM-112 HSM
2 CAM-114 HSM
2 CAM-118 HSM
6 CAM-120 HST
Kucing congkok Prionailurus bengalensis
1 CAM-105 HST
1 CAM-106 HST
1 CAM-108 HST
1 CAM-109 HST
10 CAM-112 HSM
5 CAM-116 HSM
1 CAM-118 HSM
2 CAM-119 HSM
1 CAM-120 HST
Macan dahan Neofelis diardi 1 CAM-105 HST
3 CAM-106 HST
Kucing batu Pardofelis marmorota 1 CAM-101 HSM
Jumlah 46
Sejumlah hewan yang berpotensi menjadi mangsa kucing liar juga tertangkap
kamera dengan kelimpahan relatif bervariasi (Gambar 3), antara lain sambar (Cervus
uniclor), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), napu (Tragulus napu),
kancil (Tragulus javanicus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk
(Macaca nemestrina), sempidan biru (Lophura ignita), ayam hutan (Gallus gallus),
delimukan zamrud (Chalcophap indica), puyuh mahkota (Rollulus roulroul), tekukur
(Streptopelia bitorquata), spesies tikus dan tupai.
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
449
Gambar 2. Spesies kucing liar yang terekam perangkap kamera periode trapping Mei-
Agusutus 2013 di blok sampling I. (A). Harimau Sumatera, (B) macan dahan, (C)
kucing congkok dan (D) kucing batu (Foto: PKHS-STT, 2013)
Gambar 3. Grafik perbandingan kelimpahan relatif spesies mangsa dan kucing liar
di TNWK hasil perangkap kameradi blok sampling I (Mei-Agusutus 2013)
22.01
11.88
9.52 9.45
6.28
2.84 1.28 1.15 0.88 0.27 0.14 0.14 0.14 0.07 0.07 0.07 0.07
1.215 0.068
1.553 0.270
0123456789
1011121314151617181920212223
Ind
eks
Ke
limp
ahan
Re
lati
f (R
AI)
A B
C D
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
450
Gambar 4. Ancaman terhadap konservasi kucing liar di TNWK, (A,B) kucing batu yang
tertembak pemburu liar, (C) jerat, kemungkinan ditujukan untuk menangkap harimau,
(D) jerat-jerat yang berukuran lebih kecil (Foto: PKHS dan Agus Subagyo, 2013)
Selama pemasangan perangkap kamera, di dalam hutan masih dijumpai
kegiatan/aktivitas ilegal berupa pencurian ikan, perburuan liar (dengan senjata api)
maupun dengan memasang perangkap, pencurian burung, dan pencurian gaharu.
Aktivitas ilegal yang mengancam keberadaan kucing liar secara langsung adalah
perburuan liar. Pada bulan Agustus 2013, tim PKHS berhasil mengambil jerat sebanyak
kurang lebih 40 buah dan menemukan satu ekor kucing batu (Pardofelis marmorota)
yang tertembak oleh pemburu (Gambar 4). Pada survei terakhir di wilayah utara TNWK
ditemukan dua buah jerat, kemungkinan ditujukan untuk harimau (Gambar 4).
Pembahasan
Empat spesies kucing liar berhasil tertangkap kamera dalam penelitian ini.
Sunarto (2011) dalam penelitiannya di Sumatera tengah menemukan lima spesies, satu
spesies yang tidak ditemukan di TNWK adalah kucing emas. Dalam monitoring
A
B
C D
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
451
sebelumnya, Bastoni & Apriawan (1997) melaporkan keberadaan dua spesies lain yaitu
kucing kepala datar dan kucing emas di TNWK, namun dalam penelitian ini belum
didapatkan. Tidak tertangkapnya suatu spesies dalam perangkap kamera yang
sebelumnya dilaporkan terdapat di habitat tersebut bukan berarti spesies ini tidak ada.
Hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan dalam trapping effort (Azlan, 2009),
lebih menyukai habitat tertentu (Azlan & Engkamat, 2013), kepadatannya sangat
rendah, menghindari jalur aktif manusia (Sunarto, 2011) atau keterbatasan perangkap
kamera untuk mensurvei spesies yang bersifat arboreal (misalnya macan dahan dan
kucing batu) (Gray & Phan, 2011).
Kucing kepala datar (Prionailurus planiceps) merupakan spesies kucing liar
terkecil di Sumatra, ukuran tubuhnya antara 44,6-52,1 cm dengan berat antara 1,5-2,2
kg (Macdonald et al., 2010). Spesies ini ini termasuk dalam spesies yang terancam
punah (Hearn et al. 2008; Nowell, 2009). Sunarto (2011) dalam penelitiannya di
Sumatera bagian tengah juga tidak menemukan spesies kucing ini. Cheyne & Macdonal
(2011) dalam penelitiannya di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah,
memerlukan hari aktif sampai 3.498 trap night untuk mendapatkan foto kucing kepala
datar. Ukuran tubuhnya yang kecil, lebih menyukai habitat akuatik dan densitasnya
yang rendah menyebabkan peluang kucing pesek tertangkap kamera sangat rendah.
Faktor desain pemasangan kamera yang tidak difokuskan pada satu jenis spesies kucing
mungkin turut mempengaruhi keberhasilan mendapatkan foto/video kucing ini.
Sementara itu, kucing emas sejak ditemukan di TNWK pada tahun 1997
(Bastoni dan Apriawan, 1997), sampai saat ini belum ada laporan tertulis atau bukti
foto/video yang menunjukkan keberadaanya di TNWK. Letak TNWK di dataran rendah
(tertinggi 52 m dpl.) diperkirakan bukan merupakan habitat yang sesuai untuk kucing
emas sehingga kepadatannya sangat rendah. Meskipun dilaporkan kucing emas dapat
hidup di hutan dataran rendah (Nowell & Jackson, 1996) sampai dataran tinggi (Mishra
et al., 2006 dan Bashir et al., 2011) namun beberapa studi di Sumatera menunjukkan
kucing emas cenderung ditemukan di hutan perbukitan. Sunarto (2011) melaporkan
kucing emas ditemukan pada dua blok penelitian dengan ketinggian di atas 100 m
dpl(rata-rata 245,8 m dpl.). Sementara itu di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh kucing
emas sering tertangkap perangkap kamera (Yunus, 2013, komunikasi pribadi).
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
452
Jika diurutkan berdasarkan laju keberhasilan jebakan (trap success) dari spesies
kucing yang paling umum ditemukan sampai spesies kucing paling jarang ditemukan,
urutannya adalah: kucing congkok, harimau Sumatera, macan dahan dan kucing batu.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Sunarto (2011) di Sumatera bagian
tengah.Dibandingkan dengan tempat lain, kepadatan macan dahan di Sumatera lebih
rendah (Hearn et al., 2008; Hutajulu et al., 2008 dalam Sunarto, 2011), diperkirakan
karena macan dahan berkompetisi dengan harimau Sumatera (Sunarto, 2011).
Umumnya hasil penelitian di daratan Asia menunjukkan kepadatan macan dahan tinggi
ketika kepadatan kucing besar rendah (Grassman et al., 2005; Sanderson et al., 2009;
Cheyne & Macdonald, 2013). Ketika ada kucing besar, kepadatan macan dahan rendah
dan lebih aktif di malam hari (Lynam et al., 2013). Tidak adanya harimau di
Kalimantan, menyebabkan aktivitas macan dahan pada malam hari lebih rendah
(Nowell & Jackson, 1996), hasil penelitian terbaru Cheyne & Macdonald (2013) di
Kalimantan menunjukkan macan dahan cenderung bersifat diurnal.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sunarto (2011), Wibisono &
Mccarthy (2010) dan Cheyne & Macdonald (2013), kelimpahan kucing batu dalam
penelitian ini sangat rendah (n=1, RAI =0,066). Di Kalimantan dan Sumatera kucing
batu relatif jarang ditemukan,(Nowell & Jackson, 1996). Di seluruh daerah
penyebarannya lebih menyukai hutan perbukitan (Holden, 2001 dan Grassman Jr. et al.,
2005).Penelitian Sunarto (2011) di Sumatera tengah dan Wibisono & Mccarthy (2010)
di Bukit Barisan Selatan, menunjukkan kucing batu ditemukan pada daerah ketinggian
di atas 100 m dpl.
Kucing congkok (n=23, RAI=1,553) dan harimau Sumatra (n=18, RAI=1,215)
menempati posisi pertama dan kedua dalam hal kelimpahannya di TNWK. Hasil
tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sunarto (2011) di Sumatera tengah dimana
kucing congkok dan harimau Sumatera merupakan spesies kucing yang paling sering
terfoto. Di Kalimantan Tengah, kelimpahan relatif kucing congkok menempati posisi
kedua setelah macan dahan (Chene & Maccharty, 2013) sedangkan di Thailand, pada
urutan kedua setelah macan tutul (Panthera pardus), diikuti harimau (Lynam, 2013).
Kedua spesies kucing ini ditemukan pada habitat hutan sekunder muda, hutan sekunder
tua dan alang-alang, ditemukan pada 12 lokasi kamera dari 20 lokasi kamera yang
terpasang.
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
453
Kucing congkok merupakan spesies kucing yang paling umum dan tersebar luas
(Sanderson et al., 2008; Jinping, 2010), dapat hidup pada berbagai tipe habitat dan lebih
toleran terhadap daerah terganggu (Nowell & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist,
2002) bahkan dapat beradaptasi dengan baik di perkebunan sawit (Rajaratnam et al.,
2007). Jenis makanan yang mudah ditemukan dan melimpah pada berbagai jenis habitat
terutama dari famili Muridae memudahkan kucing ini hidup pada habitat yang
terganggu (Grassman Jr. et al., 2005; Rajaratnam et al., 2007). Menurut Ngoprasert et
al., 2013), ketersediaan mangsa berasosiasi dengan kompetitor potensial mempengaruhi
distribusi kucing liar. Kemampuan adaptasi dan keragaman jenis mangsa, berpengaruh
terhaadap kelimpahan relatif kedua spesies ini TNWK.
Meskipun harimau Sumatera termasuk spesies kucing yang masuk dalam daftar
spesies terancam punah IUCN (Nowell, 2009) kelimpahan relatif dibandingkan dengan
spesies kucing lain lebih tinggi. Hal ini mungkin disebabkan harimau Sumatera
merupakan spesies kucing dengan ukuran tubuh terbesar di Sumatera sehingga lebih
dominan daripada kucing liar lain yang berukuran sedang dan kecil. Kucing berukuran
lebih kecil yang mempunyai jenis makanan sama dengan harimau (misalnya macan
dahan) cenderung akan menempati relung berbeda dengan harimau Sumatera misalnya
dengan menggunakan daerah dengan ketinggian yang berbeda atau waktu beraktivitas
yang berbeda (Sunarto, 2011). Harimau Sumatera juga memiliki daerah jelajah yang
luas dibandingkan dengan kucing kecil lain, sehingga peluang terjebak dalam perangkap
kamera lebih tinggi dibanding spesies kucing lain. Menurut Franklin et al. (1999), luas
daerah jelajah harimau jantan di TNWK dapat mencapai 52 km2 sedangkan harimau
betina lebih kecil yaitu 27 km2.
Sebanyak 17 jenis spesies hewan yang berpotensi menjadi mangsa kucing liar
ditemukan, terdiri dari mangsa berukuran besar (kijang, babi hutan dan sambar),
berukuran sedang (beruk dancecah) dan berukuran kecil (napu,monyet, kancil sempidan
biru, ayam hutan, tikus, delimukan zamrud, kuau raja, puyuh mahkota, tupai, bajing
tanah dan tekukur). Spesies hewan mangsa ini merupakan spesies yang umum
ditemukan dalam penelitian sejenis di Sumatera (O’Brien et al., 2003; Hutajulu, 2007;
Sunarto, 2011) maupun daratan Asia (Giman et al., 2007; Gray & Phan, 2011; Kitamura
et al., 2010; Ngoprasert et al., 2012; Cheyne & Macdonald, 2013).
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
454
Babi hutan, dua spesies macaca, sambar dan kijang berpotensi menjadi mangsa
harimau. Dugaan ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Franklin et al.
(1999) selama kurun waktu 52 bulan. Berdasarkan analisis feses harimau yang
ditemukan di lapangan (n=120), Franklin et al. (1999) menunjukkan mangsa utama
harimau di TNWK adalah babi hutan (33,3%), dua spesies macaca (27,5%), sambar
(16,7%), kijang (15%), sisanya beruang madu (2,5%) dan tidak teridentifikasi (5,9%).
Sriyanto (2003), mengurutkan spesies mangsa harimau Sumatera di TNWK berdasarkan
sampel rambut yang terdapat di dalam feses (n=64) adalah: babi hutan (33,3%), monyet
(27,5%), sambar (19,7%), kijang (17%), beruang madu (1,6%), dan spesies lain (1,0 %).
Sementara itu di Thailand, Ngoprasert et al. (2012) melihat harimau berasosiasi dengan
habitat dimana ditemukan babi hutan, gaur dan sambar. Menurut Sunquist et al. (1999)
harimau sangat tergantung pada mangsa ungulata besar. Namun jika harimau hidup
berdampingan dengan predator yang memiliki ukuran tubuh hampir sama,
kelimpahannya tergantung pada kepadatan unguluta yang memiliki ukuran tubuh
berbeda-beda (Karanth & Sunquist, 1995; Karanth & Nichols, 1998). Harimau dan
macan dahan memilih mekanisme pemisahan relung ekologi strata secara vertikal untuk
menghindari persaingan akibat ukuran tubuh mangsa yang hampir sama (Sunarto,
2011). Kemampuan harimau memangsa beragam spesies dengan ukuran tubuh yang
berbeda-beda dapat menjamin kelangsungan hidupnya di alam. Namun apabila
keragaman dan kelimpahan spesies mangsa menurun, kelimpahan harimau juga
terancam.
Ketiga spesies mangsa tersebut bisa juga menjadi mangsa macan dahan dan atau
kucing yang berukuran hampir sama. Sejumlah mekanisme dikembangkan oleh spesies
kucing liar untuk menekan terjadinya kompetisi di Sumatera bagian tengah antara lain,
pemisahan waktu beraktivitas, pemilihan ukuran mangsa, pemisahan strata secara
vertikal, pemisahan habitat berdasarkan ketinggian (Sunarto, 2011). Ngoprasert et al.
(2012) menemukan macan dahan dan kucing congkok berasosiasi dengan habitat
dimana babi hutan dan kijang banyak ditemukan. Grassman(2009) melaporkan macan
dahan melakukan pemilihan mangsa yang beragam. Hasil analisis feses menunjukkan
macan dahan memangsa kukang (Nycticebus coucang), hog deer (Axis porcinus) dan
kijang (Muntiacus muntjak).
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
455
Spesies mangsa yang berukuran lebih kecil terutama dari kelas Aves bisa
menjadi mangsa kucing congkok dankucing batu.Umumnya mangsa kucing congkok
adalah burung, tikus dan ayam (Nowell & Jackson, 1996). Sedangkan informasi
mengenai perilaku, mangsa dan relung ekologi kucing batu sangat sedikit diketahui
(Nowell & Jackson, 1996). Kucing ini merupakan salah satu spesies kucing yang paling
jarang dan sulit dipelajari (Wibisono & Mccarthy, 2010).
KESIMPULAN
Empat spesies kucing liar berhasil tertangkap perangkap kamera di TNWK,
yaitu kucing congkok, harimau Sumatera, macan dahan dan kucing batu. Kucing
congkok paling sering tertangkap kamera (RAI=1,553), diikuti harimau Sumatera
(RAI=1,215), macan dahan (RAI=0,270 dan kucing batu (RAI=0,068). Sepuluh spesies
mangsa potensial yang paling berlimpah adalah kijang (RAI=22,012), napu
(RAI=11,884), beruk (RAI=9,521), babi hutan (RAI=9,453), monyet (RAI=6,280),
sempidan biru (RAI=2,836), kancil (RAI=1,283), ayam hutan (RAI=1,148), sambar
(RAI=0,878) dan tikus (RAI=0,270).
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Konservasi Harimau
Sumatera (PKHS) dan Sumatran Tiger Trust (STT) yang telah mendanai dan
memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Balai
Taman Nasional Way Kambas yang telah memberikan izin penelitian, demikian pula
kepada staf lapangan taman nasional dan PKHS yang telah membantu penulis di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Azlan, M. J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of Tropical
Biology and Conservation, 5:81-86
Azlan, M. J. and S.K.Sharma. 2002. First record of melanistic tapir in Peninsular
Malaysia. Journal of Wildlife and Parks 20:123
Azlan, M.J. 2003. The diversity and conservation of mustelids, viverrids and herpestids
in disturbed forest in Peninsular Malaysia. Small Carnivora Conservation 29:8-9
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
456
Azlan, M.J., L. Engkamat and Munan. 2003. Bornean bay cat photograph and sighting.
Cat News 39:2
Bashir, T., T. Bhattacharya & S. Sathyakumar. 2011. Notable observations on the
melanistic Asiatic Golden cat (Pardofelis temminckii) of Sikkim, India. NeBIO
2(1): 1-4
Bastoni & Apriawan. 1997. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan hujan
tropis dengan remote camera system (Trailmaster), hlm. 16-20. dalam Tilson,
R.L. (eds.). Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam Penyelamatan Harimau
Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatera.
Berger J. 1999. Anthropogenic extinction of top carnivores and interspecific animal
behaviour: implications of the rapid decoupling of a web involving wolves,
bears, moose, and ravens. Proceedings of the Royal Society of London
B.266:2261-2267.
Crooks K.R. & M.E. Soulé. 1999. Mesopredator release and avifaunal extinctions in a
fragmented system. Nature400:563-566.
D. Ngoprasert , A.J. Lynam, K.E. R. Sukmasuang, N. Tantipisanuh, W. Chutipong, R.
Steinmetz, K.E. Jenks, G.A.Gale, L.I. Grassman Jr, S. Kitamura, J. Howard, P.
Cutter , P. Cutter, P. Leimgruber, N. Songsasen and D. H. Reed. 2012.
Occurence of three felids across a network of protected areas in Thailand: prey,
intraguild, and habitat associations. Biotropica 0(0):1-8
Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, D.Siswomartono, J. Manangsang & R.L. Tilson. 1999.
Last of the Indonesian Tiger: a caude for optimism pp 130-147 in J.
Seidensticker, S.Cristie, & P. Jackson (eds). 1999. Riding the tiger: tiger
conservation in human-dominated lanscape. Cambridge University Press.
Cambridge, UK.
Gaveau, D. L. A., H. Wandonoc, & F. Setiabudid. 2007. Three decades of deforestation
in southwest Sumatra: have protected areas halted forest loss and logging, and
promoted re-growth? Biological Conservation 134(4): 495-504.
Giman, B., R. Stuebing, N. Megum, W.J. Mcshea and C.M. Stewart. 2007. A camera
trapping inventory for mammals in a mixed use planted forest in Sarawak.
Raffles Bulletin of Zoology. 55(1):209-215
Grassman Jr. L.I, M.E.Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005a. Ecology of three
sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central Thailand. Journal
of Mammalogy 86(1): 29-38.
Grassmann, L. 2009. Clouded Leopard: the living sabertooth. Cat News: 23-28
Gray, T.N.E and C. Phan. 2011. Habitat preferences and activity pattern of the larger
mammal community in Phnom Prich Wildlife Sanctuary, Cambodia. The Raffles
Bulletin of Zoology 59(2):311-318
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
457
Griffiths, M. & C. P. van Schaik, 1993. The impact of human traffic on the abundance
and activity patterns of Sumatran rain forest mammals. Conservation Biology ,
7(3): 623–626
Hearn, A., Sanderson, J., Ross, J., Wilting, A. & Sunarto, S. 2010. Prionailurus
planiceps. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:18 WIB.
Holden, J. 2001. Small cats in Kerinci Seblat National Park. Sumatra. Indonesia. Cat
News 35:11– 14.
Hutajulu, M.B. 2007. Studi karakteristik ekologi harimau Sumatera [Panthera
tigrissumaterae (Pockok 1929)] berdasarkan camera trap di landsekap Tesso
Nilo-Bukit Tigapuluh, Riau. Thesis. Program Pasca Sarjana FMIPA. Program
Studi Biologi Konservasi. Universitas Indonesia. Depok
Jinping, Yu. 2010. Leopar cat, Prionailurus bengalensisi. Cat News 5:26-29
Karanth, K. U., and J. D. Nichols. 1998. Estimation of tiger densities in India using
photographic captures and recaptures. Ecology 79: 2852-2862
Karanth, K.U. & M.E.Sunquist . 1995. Prey selection by tiger, leopard and dhole in
tropical forest. Journal of Animal Ecology 64:439-450
Kawanishi, K and M.E. Sunquist. 2003. Conservation status of tiger in Peninsular
Malaysia. Biological Conservation 120:329-344
Kelly, M.J., A.J. Noss, M.S. Dibitetti, L. Maffei, R.L. Arispe, A. Paviolo, C.D.
DeAngelo & Y. E. DiBlanco. 2003. Estimating puma densities from camera
trapping across three study site: Bolivia, Argentina and Belize. Journal of
Mammalogy 89(2):408-418
Kinnaird, M. F., Sanderson, E. W., O'Brien, S. J., Wibisono, H. T. & Woolmer G. 2003.
Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered
large mammals. Conservation Biology 17(1): 245–257.
Kitamura, S. S.T.Aree, S. Madsri and P. Poonswad. 2010. Mammals diversity and
conservation in a small isolated forest of southern Thailand. The Raffles Bulletin
of Zoology. 58(1):145-156.
Lekagul, B. & J.A. McNeely. 1988. Mammals of Thailand. Dharashunta Press.
Thailand.
Lynam, A.J., K.E. Jenks, N. Tantipisanuh, W. Chutipong, D. Ngoprasert, G.A.Gale, R.
Steinmetz, R. Sukmasuang, N. Bhumpakhan, L.I. Grassman Jr., P. Cutter, S.
Kitamura, D.H. Reed. M.C. Bakeer, W. McShea, N. Songsasen and P.
Leimgruber. 2013. Terrestrial activity pattern of wild cat from camera-trapping.
The Raffles Bulletin of Zoology. 61(1): 407-415
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
458
Macdonald, D.W., A.J. Loveride & K. Nowell. 2010. Dramatic Personae: an
introduction to the wild felids pp 3-58 in Macdonald and A.J. Loveridae (eds).
2010. Biology and Conservation of Wild Felids. Oxford University Press.
Oxford.
MacKinnon, J., K. Phillipps and B. van Ballen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jwa,
Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam).
Puslibang Biologi LIPI. Bogor.
Mangas, J.G., J. Lozano, S. Cabezas-Díaz, & E. Virgós. 2008. Thepriority value of
scrubland habitats for carnivore conservation in Mediterranean ecosystems.
Biodivers Conserv 17:43–51
Miller, B., D. Foreman, C.M. del Rio, R. Noss, M. Philips, R. Reading, M.E. Soule, J.
Terborgh & L. Wilcox. 2001. The importance of large carnivores to healthy
ecosystem. Endangered Species UPDATE 18(5): 202-210
Mishra, C., M.D. Madhusudan & A. Datta. 2006. Mammals of the high altitudes of
western Arunachal Pradesh, eastern Himalaya: an assessment of threats and
conservation needs. Oryx 40:29–35.
Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of Wild
Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group, Gland, Switzerland. pp xxiv + 383.
Nowell, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of threatened species. Cat News 51:32-33
O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden prey:
Sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape. Animal
Conservation 6:131-139
Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps and S.N. Kartikasari. 2000. Panduan lapangan
mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. The Sabah
Society dan Wildlife Conservation Society bekerjasama dengan WWF Malaysia.
Jakarta.
Povey, K & W. Spaulding. 2006. Wild Cat of Southeast Asia: An Educator’s Guide.
Point Defiance Zoo & Aquarium/WildAid. Thailand. pp. 108.
Ridout, M.S & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. Journal of Agricultural, Biological, and Environmental
Statistics 14:322-337
Sanderson, J., Sunarto, S., Wilting, A., Driscoll, C., Lorica, R., Ross, J., Hearn, A.,
Mujkherjee, S., Khan, J.A., Habib, B. & Grassman, L. 2008b. Prionailurus
bengalensis. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:27 WIB.
Sanderson, J.G. 2009. How the fishing cat came to occur in Sumatra ?. CATnews 50: 6 –
9
Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung
19-20 November 2013
459
Seidensticker, J. 2008. Wild cat and climate change. Cat News 48:28
Silveira, L., A.T.A. Jacomo and J.A.F.Diniz-Filho. 2003. Camera trap, line transect
cencus and track surveys: a comparative evaluation. Biological Conservation
114:351-355
Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1988. Ekologi hutan Indonesia. Laboraturium
Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Sriyanto. 2003. Kajian mangsa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock
1979) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Thesis. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sunarto, M.J. Kelly, S. Klenzendorf, M.R.Vaughan, Zulfahmi, M.B. Hutajulu and K.
Parakkasi. 2013. Threatened predator on the equator: multi-point abundance
estimates of the tiger Panthera tigris in central Sumatra. Oryx 47(2):211-220
Sunarto. 2011. Ecology and restoration of Sumatran tigers in forest and plantation
landscape. Dissertation. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute & State
University. Virginia.
Sunquist, M & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of Chicago
Press Ltd. London.
Sunquist, M. E. K.U. Karanth & F. Sunquist. 1999. Ecology, behaviour and resilience
of the tiger and its conservation needs. pp. 5–18 In J. Seidensticker, S. Christie
and P. Jackson (eds.). 1999. Riding the Tiger: Tiger Conservation in Human-
Dominated Landscapes. Cambridge University Press. Cambridge. UK. pp xv +
378.
van Strein, N.J. 1989. A field guide to the tracks of mammals of western Indonesia.
School of Environmental Conservation Management. Ciawi. Indonesia.
Wibisono, H.T. and J. Maccarthy. 2010. Melanistic marbled cat from Bukit Barisan
Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Cat News 52:9-10
Wibisono, H.T., M. Linkie, G.Guillera-Arroita, J.A. Smith, Sunarto, W.Pusparini,
Asriadi, P. Baroto, N. Brickle, Y. Dinata, E. Gemita, D. Gunaryadi, I.A. Haidir,
Herwansyah, I. Karina, D. Kiswayadi, D. Kristiantono, H. Kurniawan, J.J.
Lahoz-Monfort, N.Leader-Williams, T. Maddox, D.J.Martyr, Maryati, A.
Nugroho, K. Parakkasi, D. Priatna, E. Ramadiyanta, W.S. Ramono, G.V. Reddy,
E.J.J. Rood, D.Y. Saputra, A. Sarimudi, A. Salampessy, E. Septayuda, T.
Suhartono, A.Sumantri, Susilo, I. Tanjung, Tarmizi, K. Yulianto, M. Yunus,
Zulfahmi. 2011. Population status of a cryptic top predator: an island-wide
assesment of tiger in Sumatran rainforests. PloS ONE 6(11):1-6
Yunus, M. 2010. Hasil pemasangan perangkap kamera di Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh, Jambi-Riau. Personal communication.