studi tentang kesiapanrepository.iainambon.ac.id/502/3/2017 buku ''studi... ·...
TRANSCRIPT
ii
STUDI TENTANG KESIAPANPENGADILAN AGAMA AMBON KELAS IA TERHADAP PENYELESAIANSENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UU NO. 3 TAHUN 2006
TENTANGPengadilan Agama Pasca Penetapan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
Hasan, M. AgAkbar M. Shardi
ReviuwerDr. H. Sulaiman, M. Si,Dr. La Jamaa, MHIDr. Jufri Pattilouw, M. Si,
EditorSahir Tomia, S.Pd dan
Mursid Malawat,S.Sos.
Desain CoverSahir Tomia, S.PdMursid Malawat,S.Sos.
Ambon, 2016
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta Alam. Salawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat
serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Atas perkenan-Nya jualah buku
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA Terhadap
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Kewenangan Pengadilan Agama Pasca Penetapan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah
Pemikiran dan kesadaran mengenai perlunya diterapkan system perbankan
ah di Indonesia berjalan sejak lama. Lokakarya Ulama mengenai Bank dan
Bunga Bank di Cisarua pada tanggal 19 23 Agustus 1990 merekomendasikan
perlunya mendirikan Bank tanpa bunga. Harapan itu secara yurudis
mendapatkan respon melalui UU Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 72 tahun 1992. Dalam peraturan perundang-undangan belum disebut
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) termasuk para pengusaha muslim pada
tahun 1992 didirikanlah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Secara yuridis, baru di
era reformasi dengan UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai revisi dari UU Nomor 7
Tahun 1992, istilah pembiayaan berdasarkan syariat dan prinsip syariat belum
disebut secara tegas.
Upaya untuk melengkapi aturan-aturan hukum mengenai bank syariah
yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dengan mengeluarkan beberapa Surat
Keputusan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Perbankan tersebut sebagai landasan operasional bagi bank syariah, misalnya SK
Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah, dan SK Direksi BI N0. 32/36/KEP/DIR tanggal 12
Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam
rangka legalisasi kedua SK tersebut kemudian diganti dengan PBI No.
6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan
iv
prinsip syariah dan Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14
Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah.
Selang waktu 10 tahun kemudian perbankan syariah dilegalkan secara
ingtegral dengan diaturnya berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 tentag perbankan
syariah, yang mana seluruh aktifitas operasional perbankan syariah sudah
merujuk pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah tersebut namun
tetap di bwah kontrol Bank Indonesia, sebagai induk semua bank di Indonesia.
Perkembangan tersebut sebagai langka maju di satu sisi, namun di sisi lain
merupakan tantangan bersar yakni dalam proses penyelesaian sengketa jika ada
sengketa yang terjadi di antara pengelolah bank dan nasabah. Masuknya
sengeketa bidang perbankan syariah ke dalam kewenangan absolute lingkungan
peradilan agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mana sengketa
dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Hal ini antara lain dimaksudkan agar prinsip-prinsip syariah yang menjadi
landasan hukum bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan
secara optimal, konkrit dan seutuhnya.
Kaitannya dengan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan
Agama di Indonesia telah dilaksanakan, namun sesuai realitas di Pengadilan
Agama Ambon Kelas IA belum dilaksanakan seutuhnya dengan bukti bahwa
belum ada kasus yang diselesaikan dengan alasan tidak ada masyarakat yang
mengajukan permohonan untuk penyelesesaian sengketa perbankan syariah.
Penulis menyadari bahwa buku ini, masih jauh dari kesempurnaan,
olehnya itu penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada semua pihak
yang membantu; Dr. H. Sulaiman, M. Si (Kepala LPPM IAIN Ambon) Dr. La
Jamaa, MHI dan Dr. Jufri Pattilouw, M. Si (Reviuwer Peneliti), saudara Sahir
Tomia, S.Pd (Editor) dan Mursid Malawat,S.Sos, (Editor), Akbar M. Shardi, Wa
Jena (Istri) dan Anak-Anak; Alia, Ina, Ikhsan dan Faris, serta masih banyak pihak
v
yang tidak sempat disebutkan yang telah memberikan kontibusinya sampai buku
ini terselesaikan.
Akhirnya buku ini penulis dedikasikan kepada jurusan Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon, sekaligus sebagai
bahan rujukan dan pertimbangan bagi penulis-penulis selanjutnya terkait dengan
masalah tersebut.
Ambon, Nopember 2016
Penulis
Hasan, M. Ag
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1B. Perumusan Masalah .................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
BAB II. KAJIAN TEORI ........................................................................................... 9
A. Hasil Penelitian Terdahulu.......................................................................... 9B. Perbankan Syariah........................................................................................ 11C. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah........................................................................................ 29
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 47
A. Tipe Penelitian .............................................................................................. 47B. Lokasi Penelitian........................................................................................... 47C. Subjek Penelitian .......................................................................................... 47D. Penentuan Informan..................................................................................... 47E. Objek Penelitian............................................................................................ 48
F. Sumber Data Penelitian................................................................................ 48G. Cara Penetuan Sumber Data........................................................................ 48H. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................... 48I. Teknik Analisis Data .................................................................................... 49J. Jadwal Penelitian.......................................................................................... 50
BAB. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 51
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian........................................................... 51B. Hasil dan Pembahasan................................................................................. 61
BAB. V PENUTUP ................................................................................................... 80
A. Kesimpulan ................................................................................................... 80B. Saran .............................................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 82
DAFTAR ISTILAH................................................................................................... 87
INDEKS..................................................................................................................... 88
1
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memiliki kebutuhan dasar yang berupa kebutuhan
fisiologis, rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, rasa kasih sayang,
penghargaan dan aktualisasi diri serta kebutuhan akan pertumbuhan.
Setiap orang akan merasa senang apabila mendapat penghargaan atas
sesuatu yang dilakukannya. Sebalikanya dia akan merasa kecewa, marah
apabila harga dirinya tersinggung atau diremehkan. Apalagi jika ia merasa
mendapat perlakuan yang tidak wajar. Dengan demikian sudah menjadi
kodrat bahwa setiap orang ingin mendapat perlakuan dan penghargaan
dari pihak lain terutama perlakuan adil dan manusiawi. Terlebih jika
menghadapi masalah atau kesulitan sosial dalam bentuk sengketa. Oleh
karena itu ia membutuhkan bantuan dan pelayan dari suatu pihak yang
dapat menyelesaikan sengketanya yakni salah satunya pengadilan.1
Sejalan dengan itu, pembangunan ekonomi suatu Negara
memerlukan program yang terencana dan terarah serta membutuhkan
modal atau dana pembangunan yang tidak sedikit. Tidaklah
mengherankan apabila pemerintah dalam suatu negera terus menerus
melakukan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan
dan peningkatan kinerja bank sebagai lembaga keuangan dan lokomotif
pembangunan ekonomi. Lembaga keuangan bank mempunyai peranan
yang strategis dalam membangun suatu perekonomian negara.2
Bank merupakan lembaga perantara keuangan antara pihak-pihak
yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang membutuhkan dana,
serta berfungsi untuk memperlancar lalu lintas keuangan yang berpijak
pada falsafah kepercayaan Bank terdiri dari bank berdasarkan prinsip
1 Frank G. Goble, Mazhab Ketiga Psikologis Humanistik Abraham Maslow (Yogyakarta :
Kanisius, 1994), h. 692 Muhammad, Bank Syariah Problem dan Prospekk Perkembangan di Indonesia (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2005), h. 1
2
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
adalah mempertemukan dua pihak atau lebih yaitu pihak yang
membutuhkan dana (borrower) dan pihak yang mempunyai kelebihan dana
(saver).3
Bank sebagai financial intermediary atau lembaga perantara keuangan
harus melakukan mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana secara
seimbang, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Untuk
mencapai itu semua, maka harus ada kejelasan sistem operasional
perbankan. Bank adalah lembaga intermediasi keuangan yang
menghubungkan pihak yang kelebihan dana (surplus) dengan pihak yang
kekurangan dana (minus) dan menyediakan jasa-jasa keuangan bagi kedua
unit tersebut. Pada prinsipnya, bank menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannnya kepada masyarakat,
dengan misi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.4
Pemikiran dan kesadaran mengenai perlunya diterapkan sistem
dan Bunga Bank di Cisarua pada tanggal 19 23 Agustus 1990
merekomendasikan perlunya mendirikan Bank tanpa bunga. Harapan itu
secara yuridis mendapatkan respon melalui UU Nomor 7 Tahun 1992 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992. Dalam peraturan perundang-
butan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) termasuk para pengusaha muslim pada tahun 1992 didirikan Bank
Muamalat Indonesia (BMI). Secara yuridis, baru di era reformasi dengan
UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai revisi dari UU Nomor 7 Tahun 1992,
3 Krisna Wijaya, Reformasi Perbankan Nasional (Jakarta: Harian Kompas, 2000), h. 464 Afif Faisal,dkk, Strategi dan Opersional Bank (Bandung: Eresco, 1996), h. 12
3
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
istilah pembiayaan berdasarkan syariat dan prinsip syariat, disebut secara
tegas.5
Merujuk pada hal tersebut, kebutuhan masyarakat muslim Indonesia
akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip
ekonomi Islam, secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut eksistensi
bank Islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit,
Undang-Undang tersebut menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip
bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan, belum begitu tampak adanya
kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank Islam di Indonesia. Apa
diri, apa pula
landasan hukum operasionalnya dan kegiatan usaha apa saja yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank tersebut, sama sekali belum
ditegaskan dalam Undang-Undang tersebut.
Senada dengan hal tersebut. pada tahun 1998 disahkan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, pengaturan mengenai perbankan Islam
sudah lebih jelas dibandingkan sebelumnya. Undang-Undang tersebut
telah mengakui dengan tegas keberadaan bank syariah dalam sistem
perbankan nasional di samping bank konvensional. Hal ini dinyatakan
dalam Pasal 1 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang tersebut. Secara yuridis,
eksistensi dan legitimasi bank Syariah dalam tata hukum perbankan
nasional dapat dikatakan sudah lebih jelas dan pasti dibandingkan dengan
sebelumnya. Lebih-lebih setelah tertibnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, yang sekarang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3
Tahun 2004, yang memuat beberapa ketentuan secara spesifik berkaitan
5 Karnaen Perwataatmadja, Bank dan Suransi Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,
2005), h. 62
4
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
langsung dengan eksistensi dan pengembangan perbankan syariah di
Indonesia.6
Di dalam operasionalnya, para praktisi maupun para ahli perbankan
syariah tetap mengharapkan adanya Undang-Undang Perbankan secara
khusus yang mengatur tentang bank Syariah. Hal ini karena pengaturan
mengenai bank syariah dalam Undang-Undang Perbankan tersebut masih
belum cukup untuk menjadi landasan operasional bank syariah.7 Itulah
sebabnya bank syariah belum dapat beroperasi secara optimal sesuai
dengan prinsip syariah yang menjadi identitasnya.8
Upaya untuk melengkapi aturan-aturan hukum mengenai bank
syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dengan mengeluarkan
beberapa Surat Keputusan (SK), yang merupakan peraturan pelaksana dari
Undang-Undang Perbankan tersebut sebagai landasan operasional bagi
bank syariah. Di antara beberapa Surat Keputusan tersebut adalah SK
Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah, dan SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
dan PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat berdasarkan prinsip syariah.9
Sejalan dengan itu, masuknya sengeketa bidang perbankan syariah
kedalam kewenangan absolut lingkungan peradilan agama sebagaimana
6 Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang No.10 Tahun 1998, antara lain menyatakan bahwa BankUmum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan / atauberdasarkan prinsip syariah. Sedangkan Ayat (4) menyatakan bahwa Bank PerkreditanRakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan secara konvensional atau berdasarkanprinsip syariah.
7 Ahmad Buchori, Prospek Bank Syariah di Indonesia; Peluangdan Tantangan (Jakarta: Suara Ul
dialag, 2006), h. 1358 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. .xiv9 Cik Basir, Penyelesaian Sengkat Bank Syariah (Jakarta: Kencana 2008), h. 4
5
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mana sengketa ekonomi
, yang kemudian disusul
dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Hal ini antara lain dimaksudkan agar prinsip-prinsip syariah yang
menjadi landasan hukum bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya
dapat diterapkan secara optimal, konkrit dan seutuhnya.10
Namun secara realitasnya terdapat kontroversi tentang kewenangan
penyelesaian sengketa perbankan syariah di satu sisi sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang mana ah menjadi
wewenang peradilan agama. Namun di sisi lain dalam Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam pasal 55 Ayat (2)
disebutkan bahwa pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa sesuai
dengan isi akad adalah berupa upaya sebagai berikut; melalui
musyawarah, melalui mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan atau melalui
pengadilan dalam di lingkungan peradilan umum.11
Dengan demikian, apabila perkara perbankan syariah tersebut tetap
menjadi kewenangan peradilan umum, penyelesaiannya jelas tidak akan
mengacu pada prinsip-prinsip syariah yang menjadi dasar hukum bank
syariah, melainkan akan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku
secara umum yang belum tentu relevan dengan prinsip-prinsip syariah.
Sehingga prinsip-prinsip syariah yang menjadi dasar kegiatan usaha bank
syariah tersebut akan dapat ditegakkan secara kongkrit dan seutuhnya,
melainkan hanya bersifat konseptual dan parsial saja. Harapan kita agar
prinsip syariah tersebut dapat diterapkan dan ditegakkan secara kongkrit
dan seutuhnya dalam sistem operasional bank syariah, sejak terjadinya
10 Bank Syariah Antara Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.
21411 Penejelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
6
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
perjanjian antara bank tersebut dengan nasabahnya hingga berakhirnya
perjanjian tersebut, termasuk jika terjadi sengketa antara bank syariah
dengan pihak lain, maka dimasukkanlah sengketa bidang perbankan
syariah tesebut ke dalam kewenangan lingkungan Peradilan Agama.12
Dari apa yang digariskan dalam asas personalitas keislaman tersebut
dapat ditegaskan bahwa setiap orang Islam baik secara subjektif maupun
secara objektif berlaku (tunduk pada) hukum Islam. Secara subjek, artinya
menurut hukum setiap orang Islam sebagai subyek hukum tunduk kepada
hukum Islam, sehingga segala tindakannya harus dianggap dilakukan
menurut hukum Islam, dan jika tidak dilakukan menurut hukum Islam,
maka hal itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Sedangkan secara
objektif, artinya segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum orang
Islam sebagai objek hukum harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum
Islam, sehingga hukum Islam secara imperatif (otomatis) diberlakukan
terhadap dirinya, dan karena itu jika terjadi sengketa harus diselesaikan
menurut hukum Islam oleh hakim (pengadilan) Islam.13
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada dasarnya dengan
diberlakukannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang kewenagan
absolute pengadilan agama, maka secara otomatis sengketa ekonomi
syariah atau perbankan syariah harus diselesaiakan berdasarkan prinsip
jajaran peradilan
Kesadaran jajaran peradilan agama atas kekurangan itu mendorong mereka
untuk terus meningkatkan kemampuannya. Walau demikian Hakim
Pengadilan Agama yang berlatar belakang S
sudah mengambil mata kuliah Fiqih Muamalah sehingga basic keilmuan
12 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), h. 413 A. Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri : Penerapan
Asas Personalitas Keislaman Sebagai Dasar Penentuaan Kekuasaan Pengadilan Agama (Jakarta
: Varia Peradilan, 2000), h. 21
7
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
mereka mengenai azas-
Alasan lain, adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
93/PUU-X/2012, dapatlah disimpulkan bahwa secara otomatis kaitannya
dengan sengketa ekonomi syariah atau perbankan syarih dilaksanakan oleh
pengadilan agama, maka tidak ada alasan lain dari pelaku ekonomi syariah
untuk mengajukan sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah di
pengadilan agama.
Dengan demikian, maka penulis cenderung mengangkat
permasalahan umum dalam penelitian ini, yakni; bagaimana Studi Tentang
Kesiapan Pengadilan Agama klas IA Ambon Terhadap Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
Pasca Penetapan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
B. Perumusan Masalah
Merujuk dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis
cenderung mengangkat permasalahan umum, yakni;
1. Bagaimana kewenagan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa
perbankan menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
2. Bagaimana kesiapan Pengadilan Agama Ambon Terhadap penyelesaian
sengketa perbankan syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006 Pasca
Penetapan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini, berkisar pada
kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan
menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan kesiapan Pengadilan Agama
Ambon Terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut UU
No. 3 Tahun 2006 Pasca Penetapan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah
8
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan beberapa
tujuan, sebagai berikut;
a. Dapat mengeksplorasi secara mendalam tentang kewenangan
pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan
syariah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
b. Dapat mengeksplorasi kesiapan pengadilan agama Kelas IA Ambon
menyelesaikan sengketa perbankan syariah menurut UU No 3
Tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan.
2. Manfaat Penelitian
2.1 Manfaat Secara Teoritis
Adapaun manfaat penelitian secara teoritis dalam penelitian
ini, adalah agar memberi gambaran atau pedoman awal bagi
lembaga Peradilan Agama tentang bagaimana cara-cara dan proses
penelitian tentang p
di pengadilan agama ini dapat dijadikan sebagai pemenuhan salah
satu pencapaian penelitian dalam bidang penyelesaian sengketa
2.2 Manfaat Secara Metodologis
Dari penelitian dapat menambah khazanah keilmuan dalam
bidang penyelesaian sengketa Perbankan Syariah.
2.3 Manfaat Secara Praktis
Memberi informasi kepada masyarakat Indonesia pada
-cara
menyelesaikan sengketa Perbankan
agama dan memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum
khususnya yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa
9
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
BAB II
KAJIAN TEORI
A. HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian yang dilaksanakan oleh Rika Lianita dengan judul
Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di
Pengadilan Negeri Samarinda, menjelaskan bahwa Belum efektifnya
penanganan sengketa perbankan syariah dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang kemudian menjadi alasan Pengadilan Negeri Samarinda dapat
menerima sengketa perbankan syariah, Faktor Budaya Hukum dan
Kesadaran, Hukum Faktor Sumber Daya Manusia Hakim, Kurangnya
Hakim yang menguasai ekonomi syariah menjadi salah satu faktor
penghambat Pengadilan Agama Samarinda dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah.
Siti Nurhayati dalam penelitiannya dengan judul Eksistensi
Peradilan Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/puu-x/2012
Tentang Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, menjelaskan bahwa
Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional
memerlukan berbagai sarana pendukung seperti peraturan perundang-
undangan. Undang-undang terkait yang telah ditetapkan untuk
mendukung Perbankan Syariah ini adalah Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam undang-undang ini
dijelaskan bahwa lembaga peradilan agama dan peradilan umum diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Adanya 2
(dua) kewenangan dalam sengketa perbankan syariah ini ke dalam 2 (dua)
lembaga peradilan telah menimbulkan dualisme kewenangan. Berdasarkan
hal tersebut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 93/PUU-
X/2012 menegaskan bahwa penjelasan pasal 52 ayat (2) UU Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasan pasal tersebutlah
yang selama ini menjadi alasan kemunculan pilihan penyelesaian sengketa
10
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
(choice of forum). Konsekuensi konstitusionalnya, sejak adanya putusan
tersebut, maka lembaga dilingkungan Peradilan Agama menjadi satu-
satunya lembaga peradilan yang berwenang mengadili perkara sengketa
perbankan syariah.
Hasil Penelitian tentang Kewenangan Peradilan Agama Terhadap
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah, oleh Akhmad Nuzul Arifin
menjelaskan bahwa di era reformasi kesadaran dan semangat untuk
menerapkan lebih banyak lagi norma ajaran Islam melalui kekuasaan
(legislasi) semakin tumbuh. Pengadilan Agama sebagai salah satu aparat
penegak keadilan di Indonesia telah membuktikan hal itu, terutama setelah
penerapan sistem peradilan di Indonesia satu atap dalam wadah
Mahkamah Agung. Ternyata kewenangan Peradilan Agama pun ada
perubahan, dalam hal ini penanganan masalah ekonomi syariah menjadi
kewenangan Peradilan Agama. Tentunya para hakim pengadilan agama
diwajibkan mempelajari kaedah-kaedah tentang ekonomi syariah.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Oleh Wery Gusmansyah, menjelaskan bahwa
penyelesaian sengketa perbankan diselesaikan dengan dua cara, yakni;
Pertama, diselesaikan melalui perdamaian, atau apabila upaya damai tidak
berhasil; Kedua, diselesaikan melalui proses persidangan (litigasi) seperti
biasa sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Kedua
cara inilah yang harus ditempuh pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara di bidang ekonomi syariah umumnya dan bidang perbankan
syariah khususnya yang diajukan kepadanya. Penyelesaian sengketa
perbankan syariah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, penjelasan Pasal 55 Ayat (2) menyatakan
bahwa terdapat ada beberapa pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah, yaitu: melalui musyawarah, mediasi, arbitrase syariah
dan atau melalui peradilan umum. Namun disisi lain bahwa UU No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa kompetensi
11
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
peradilan agama adalah bertugas dan berwewenang untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaian sengketa perbankan syariah.
B. PERBANKAN SYARIAH
1. Pengertian Bank Syariah
Sebelum menguraikan pengertian bank syariah, maka perlu
dijelaskan pengertian bank secara umum, Bank berasal dari bahasa Italia
banca / banque (Perancis), yang berarti peti/lemari atau bangku yang
fungsinya sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti
emas, berlian dan uang, juga bank adalah sebuah tempat di mana uang
disimpan dan dipinjamkan.14
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Bank adalah badan usaha
di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di
masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang.15 Bank adalah salah satu badan
usaha, lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa.16
Pengertian bank yang dikemukakan oleh Lukman Dendawijaya,
bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga
perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana
dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund/surplus unit) kepada pihak
yang membutuhkan dana (deficit unit) dalam bentuk kredit dan bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.17 Sementara dalam Booklet Perbankan Indonesia edisi Maret
2006 dijelaskan pengertian Bank syariah adalah Syariah Bank Syariah
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit
14 M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam (Surakarta: MuhammadiyahUniversity Press, 2006), h. 13
15 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 10316 O.P.Simorangkir, Kamus Perbankan Inggris-Indonesia (Jakarta, PT Bina Aksara, 2002),
hal.10317 Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan (Cet. I; Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001), h.
25
12
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang
yang beroperasi disesuaikan prinsip-prinsip syariah.18
Sementara itu menurut Thomas Suyatno bank adalah bentuk dari
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-
jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang
lain, selain dari itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk
uang bank atau giral.19
Pengertian bank menurut C.S.T. Kansil pada hakikatnya adalah
semua badan usaha yang bertujuan untuk menyediakan jasa-jasa dalam
lalulintas pembayaran dan peredaran uang.20
Howard D Croose dan George H. Hempel mengartikan bank
sebagai suatu organisasi yang menggabungkan usaha manusia dan
sumber-sumber keuangan untuk melaksanakan fungsi bank dalam
rangka melayani kebutuhan masyarakat dan untuk memperoleh
keuntungan bagi pemilik bank.21
Menurut Heri Sudarsono, bank syariah adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Dengan kata lain,
bank Islam (bank syariah) adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu
lintas permbayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.22
Menurut Y. Sri Susilo mengemukakan pengertian bank syariah
adalah bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana
maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan
18 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta:
Ekonesia, 2003), h. 1819 Thomas Suyatno, et.al, Kelembagaan Perbankan (Jakarta: PT. Gramesia Pustaka, 1992), h. 120 C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1982),
h. 1021 Juli Irmayanto, et.al., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: Media Ekonomi
Publishing, 1998), h. 122 Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 1
13
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi
hasil.23
Juga pengertian bank syariah yang dikemukakan oleh Ahmad
Rodoni dan Abdul Hamid mengemukakan bahwa bank syariah adalah
bank yang dalam aktivitasnya, baik dalam penghimpunan dana
maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan
mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.24
Lain
beroperasi sesuai dengan prinsip-
yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-
Islam khusunya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.
Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah
praktek-praktek yang mengandung unsur riba, kemudian diganti dan
pembiayaan perdagangan.25
Sementara hal yang sama pengertian bank syariah menurut M.
ah
adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasinya
26
Sejalan dengan itu, dalam proses regulasi perbankan syariah di
Indonesia berdasarkan presure berbagai pendapat para ulama dengan
pertimbangan pemenuhan kebutuhan umat Islam di Indonesia, maka
bank Syariah diundangkan dalam UU. No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaiaman diungkap diberikan peluang untuk melakukan
operasional bank perkreditan rakyat yang berorientasi prinsip syariah.
Hal yang sama juga diungkap dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Penjelasan bank
23 Y. Sri Susilo. Dkk, Bank & Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Salemba Empat, 2000), h. 11024 Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakimi,
2008), h. 1425 Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 6126 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia I dan II (Jakarta: Bangkit, 1992), h. 1
14
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
syariah dalam UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan lebih cenderung memberikan pengertian sebagaiamana
dalam pasal 1 ayat 13, sebagai berikut;
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang
modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);27
Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
syariah, sudah dijelaskan secara rinci tentang pengertian perbankan
syariah, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1, sebagai berikut;
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.28
Berdasarkan dari uraian pengertian-pengertian tersebut di atas,
maka dapatlah disimpulkan bahwa bank syariah merupakan suatu
badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan
(financial iintermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang
berkelebihan dana (idle fund/surplus unit) kepada pihak yang
membutuhkan dana (deficit unit) dalam bentuk kredit dan bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,
27 Lihat pasal 1 ayat 13 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU. No. 7 Tahun 1992tentang Perbankan
28 Lihat pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah
15
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
tentunya disesuaikan dengan prinsip Islam yakni; pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah), dan atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak
bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna)
2. Dasar Hukum Bank Syariah
Dalam perkembangannya bank syariah telah berdiri semenjak
tahun 1992, dengan didirikannya bank Muamalah Indonesia. Namun
dari sisi legalitasnya dalam bentuk undang-undang maupun peraturan
pemerintah yang memberikan payung hukum terhadap proses
pelaksanaannya sekaligus sebagai rujukan, antara lain sebagai berikut;
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
16
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4420);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
Merujuk pada uraian tentang dasar tersebut di atas, maka
dapatlah disimpulkan bahwa perbankan syariah dalam pelaksanaannya
tentunya didukung oleh undang-undang yang saling terkait, mulai dari
Undang-Undang Dasar 1945 ssebagai azaz pelaksanaa seluruh undang-
undang di Indonesia, sehingga lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan syariah, sekaligus sebagai legitimasi hukum dalam
mengoperasionalkan perbankan syariah.
Hal tersebut, sebagaiman proses regulasi undang-undang
tentang perbankan syariah di Indonesia diwali dari kontroversi
pemeikiran ulama Indonesia tentang bunga bank, sehingga
dimasukkanlah dalam UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
kemudian diperbahuri dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mana
didalamnya telah dijelaskan proses pelaksanaan bank perkreditan
rakyat yang berorientasi syariah. Cikal bakal itulah kemudian untuk
mengakomudir kebutuhan umat Islam di Indonesia, maka
diterbitkannya UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Produk-Produk dan Sistem Operasional Bank Syariah
Dalam upaya pengembangan operasional bank syariah, menurut
Gemala Dewi dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat bank
konvensional dan bank syariah mempunyai perbedaan paradigma yang
sangat mendasar yaitu:
a. Tujuan masyarakat menyerahkan dananya pada bank konvensional
dimaksudkan untuk menabung dan mengamankan dananya dari
17
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
kemungkinan hal hal yang tidak diharapkan disamping
mengharapkan bunga dari dana yang disimpan tersebut.
b. Tujuan masyarakat menyalurkan dananya pada bank syariah adalah
untuk di investasikan dalam berbagai pembiayaan. Apabila
memperoleh laba akan dibagi sesuai nisbah bagi hasil, sedangkan
apabila menderita kerugian maka masyarakat ikut menanggung
kerugian tersebut. 29
Sejalan dengan itu, sistem perbankan Islam, seperti halnya aspek-
aspek lain dari pandangan hidup Islam, merupakan sarana pendukung
untuk mewujudkan tujuan dari sistem sosial dan ekonomi Islam.
Adapun beberapa tujuan dan fungsi penting yang diharapkan dari
sistem perbankan Islam sebagai berikut;
1. Kemakmuran ekonomi yang meluas dengan tingkat kerja yang
penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum (economic
well-being with full employment and optimum rate of economic growth);
2. Keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan
yang merata (socio-economic justice and equitable distribution of income
and wealth);
3. Stabilitas nilai uang untuk memungkinkan alat tukar tersebut
menjadi suatu unit perhitungan yang terpercaya, standar
pembayaran yang adil dan nilai simpan yang stabil (stability in the
value of money);
4. Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi
dengan cara-cara tertentu yang menjamin bahwa pihak-pihak yang
berkepentingan mendapatkan bagian pengembalian yang adil
(mobilisation of savings);
5. Pelayanan efektif atas semua jasa-jasa yang biasanya diharapkan
dari sistem perbankan (effective other services).30
29 Gemala Dewi, Aspek Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 10830 M. Umer Capra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press & Tazkia Cendekia,
2000), h. 2
18
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Bank syariah juga dapat menjalankan kegiatan usaha untuk
memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Adapun fungsi dan peran bank syariah, antara
lain sebagai;
1. Manajer investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah
dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi
2. Investor yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun
dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan
alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil
yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang disepakati antara bank
dan pemilik dana
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non
syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
4. Pengemban fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq,
shadaqah serta pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan
yang berlaku.31
Kaitannya dengan itu, dalam mengelola usahanya perbankan
syariah memiliki produk-produk dan sistem operasionalnya,
sebagaimana dituangkan dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah pasal 19 ayat (1), sebagai berikut;
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan Akad atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk nvestasi berupa Deposito,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
31 Suharto, dkk, Konsep, Produk Dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta:
Djambatan, 2001), h. 24
19
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad
mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad
salam, Akad atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau
tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah
dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak
ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
20
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun
untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad
wakalah;
p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang
perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.32
Merujuk pada poin-poin ayat yang tercantum dalam pasal 19 UU
No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan tersebut di atas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa produk-produk bank Syariah, secara umum
beroperasi dalam penghimpunan, pembiayaan dan jasa, yang terdiri
dari; mudharaba stishna, ijarah, hawalah, salam,
istishna, dan kafalah.
Dari produk-produk perbankan syariah tersebut yang masih
bersifat umum maka perlu dijelaskan, sehingga dapat dipahami.
Adapun penjelasnnya antara lain sebagai berikut;
1. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih di mana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal
kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.33
Sedangkan mudharabah yang dijelaskan dalam kodifikasi produk
perbankan syariah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik
dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan
32 Lihat pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah33 Brief Case Book,
(Jakarta: Renaisan, 2005), h. 45
21
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya.34
Adapun mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu :
a. Mudharabah Muthlaqah yaitu bentuk kerjasama antara shahibul
mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah yaitu bentuk kerjasama antara shahibul
mal dan mudharib yang cakupannya dibatasi dengan batasan jenis
usaha, waktu atau tempat usaha.35
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa di satu
sisi mudharabah muthlaqah merupakan bentuk kerjasama antara
shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis
sedangkan di sisi lain mudharabah muqayyadah yaitu bentuk
kerjasama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha
2. Musyarakah
Musyarakah adalah akad atau perjanjian kerjasama usaha
patungan antara dua pihak atau lebih modal untuk membiayai suatu
jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama atas dasar kesepakatan.36 Juga musyarakah
atau Syarikah adalah akad kerjasama usaha pitungan antara dua
pihak atau lebih atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu
jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.37
34 Direktorat Perbankan Syariah bank Indonesia, Kodifikasi produk perbankan syariah (Jakarta:Direktorat Perbankan Syariah bank Indonesia, 2008), h. 1
35 , ah dari Teori dan Praktek (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 9936 Ibid., h. 4237 Abdullah Saeed, (Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo
Revivalis, Alih Bahasa Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 77
22
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Secara garis besar Musyarakah dapat dibagi kepada Syarikah
Amlak dan Syarikah Uqud. Syarikah Amlak berarti eksistensinya
suatu perkongsian tidak perlu suatu kontrak membentuknya tetapi
terjadi dengan sendirinya. Sedangkan Syarikah Uqud berarti
perkongsian yang berbentuk karena suatu kontrak.38
Adapun pelaksanaan akad musyarakah dalam
pengoperasiannya pada bank syariah, sebagai berikut;
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha
dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang
untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai
mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai
dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan
review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat
oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati;
d. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang
jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para
pihak;
e. Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau
tagihan;
f. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
g. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas
dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas
jumlahnya;
38 Briefcase Book, Op. Cit., h. 43
23
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
h. Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah,
pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
i. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah
dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun
sekaligus pada akhir periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka
waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah;
j. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan;
k. dan Bank dan nasabah menanggung kerugian secara
proporsional menurut porsi modal masing-masing.39
3.
Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya. Wadiah ini ada dua macam yaitu pertama wadiah
yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima
titipan tidak diperkenakan menggunakan barang/uang yang
dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kehilangan barang/uang titipan yang bukan di akibatkan perbuatan
atau kelalaian penerima titipan. Kedua wadiah yad dhamanah adalah
akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan
atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan
barang/uang dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan barang/uang titipan.40
4. Salam
Pembelian dengan pembayaran dimuka atas hasil pertanian
dengan kriteria tertentu dari petani (nasabah) dan dijual kembali ke
39 Lihat PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam KegiatanPenghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
40 Gemala Dewi, Widyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia
(Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 47
24
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
pihak lain (nasabah ke 2) yang membutuhkan dengan jangka waktu
pengirirman yang ditetapkan bersama. Sebelum membeli hasil
pertanian dari nasabah pertama, bank terlebih dahulu telah
menawarkan kepada nasabah kedua untuk membeli hasil pertanian
dari nasabah pertama dalam ketetapan harga pembelian dan
penjualan yang disepakati bersama antara nasabah pertama dengan
nasabah kedua.41
Selanjutnya sistem operasional akad salam dalam perbankan
syariah, sebagai berikut;
a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan
transaksi Salam dengan nasabah;
b. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Salam;
c. Penyediaan dana oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan di
muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah Pembiayaan
atas dasar Akad Salam disepakati atau paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati; dan
d. Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam
bentuk pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam
bentuk piutang Bank.42
5. Ijarah
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang
dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak
pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan
atas objek sewa yang disewakan.43
Operasional ijarah dalam perbankan syariah dapat
diaplikasikan, sebagai berikut;
a. Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi
Ijarah dengan nasabah;
41 Euis Amalia, M Taufiqi dan Dwi Nuraini, Konsep dan Mekanisme Bank Syariah (Jakarta:
FSH UIN Syahid, 2007), h. 2942 PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan
Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya.43 Direktorat Perbankan Syariah bank Indonesia, Op. Cit., h. 12
25
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
b. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan
obyek sewa yang dipesan nasabah;
c. Pengembalian atas penyediaan dana Bank dapat dilakukan baik
dengan angsuran maupun sekaligus;
d. Pengembalian atas penyediaan dana Bank tidak dapat dilakukan
dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang;
dan
e. Dalam hal pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik,
selain Bank sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi
Ijarah dengan nasabah, juga bertindak sebagai pemberi janji
opsi pengalihan hak
penguasaan obyek sewa kepada nasabah sesuai kesepakatan.44
6. Istishna
Istishna merupakan pembiayaan atas dasar pesanan,
pembiayaan kontruksi/ manufaktur merupakan salah satu skim
pembiayaan bank syariah yang digunakan untuk kasus dimana
obyek atau barang yang diperjualbelikan belum ada. Kasus ini sering
kali ditemui pada proses pembangunan rumah atau gedung, usaha
konfeksi dan lain-lain.45
Selanjutnya sistem operasional akad istishna dalam perbankan
syariah, sebagai berikut;
a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan
b. Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam
bentuk pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam
bentuk piutang Bank.46
44 Lihat, PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank danPenggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya.
45 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim,
2003), h. 7346 Lihat Fatwa Dewa -MUI/IV/2000 tentang Jual Beli
Istishna
26
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
7. Kafalah
Kafalah merupakan transaksi penjaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung
(makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makful
).
Adapun sistem operasional kafalah dalam perbankan syariah,
sebagai berikut;
a. Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan
kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga;
b. Obyek penjaminan harus:
c. Merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan;
d. Jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya; dan
e. Tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan).
f. Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang disepakati di awal
serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap;
g. Bank dapat meminta jaminan berupa Cash Collateral atau bentuk
jaminan lainnya atas nilai penjaminan; dan
h. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada
pihak ketiga, maka bank melakukan pemenuhan kewajiban
nasabah kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan
sebagai Pembiayaan atas dasar Akad Qardh yang harus
diselesaikan oleh nasabah.47
4. Pengembangan Perbankan Syariah
Program pengembangan perbankan syariah selalu
mempertimbangkan kondisi-kondisi serta lingkungan yang
menyertainya. Oleh karena itu dalam pengembangan bank syariah
diterapkan sejumlah prinsip-prinsip pokok kebijakan pengembangan
yang antara lain sebagai berikut:
47 -MUI/VII/2004 tentang PembiayaanMulti Jasa
27
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
1. Pengembangan jaringan kantor perbankan syariah diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme pasar (market driven) yaitu interaksi
antara masyarakat yang membutuhkan jasa perbankan syariah
dengan investor atau lembaga perbankan yang menyediakan
pelayanan jasa perbankan syariah.
2. Peraturan dan pengembangan perbankan syariah dilaksanakan
dengan tidak menerapkan infant industry argument yaitu memberikan
perlakuan-perlakuan khusus.perlakuan yang sama antara bank
konvesiaonal dan bank syariah. Perbedaan pengaturan dan
ketentuan yang diharapkan pada perbankan syariah dilaksanakan
dalam rangka memenuhi prinsip syariah.
3. Pengembangan perbankan syariah baik dari sisi kelembagaan
maupun pengaturan dilaksanakan secara bertahap dan
berkelanjutan . berkaitan dengan hal ini, kita tidak dapat mengharap
satu kesempurnaan baik dari aspek operasional maupun dari aspek
syariah dari suatu sistem perbankan syariah yang baru berkembang.
4. Peraturan dan pengembangan perbankan syariah menerapkan
prinsip universalitas sesuai dengan nilai dasar Islam yaitu rahmat
bagi sekalian alam.
5. Mengingat bahwa perbankan syariah adalah sistem perbankan yang
mengedepankan moralitas dan etika, maka nikai-nilai yang menjadi
dasar dalam pengaturan dan pengembangan serta nilai-nilai yang
harus diterapkan dalam operasi perbankan adalah sidiq, istiqomah,
tabliq, amanah, fatonah. 48
Merujuk pada uraian tesebut bertujuan agar memberikan
perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong
perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh
keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa maslahat bagi
peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Untuk dapat mewujudkannya, maka paling tidak bank Syariah
harus mampu mempertimbangkan beberapa hal, sebagai berikut;
48 Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), h. 43
28
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
1. Bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang
ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa
menggunakan underlying transaksi di sektor riil sehingga
dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
2. Tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar)
sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji
ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro,
perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap
terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.
3. Sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan
syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak,
baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur
maupun pihak bank selaku pengelola dana. 49
Sejalan dengan itu, di tengah perkembangan industri perbankan
syariah yang pesat tersebut, perlu disadari masih adanya beberapa
tantangan yang harus diselesaikan agar perbankan syariah dapat
meningkatkan kualitas pertumbuhannya dan mempertahankan
akselerasinya secara berkesinambungan, sehingga dapat
memperhituungkan tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka
pendek (immediate) maupun jangka panjang.
Dengan demikian, bahwa perbankan syariah dalam
pengembangannya harus mampu memperhatikan beberapa faktor
penting, sekaligus tantangannya antara lain; perlunya kerangka hukum
yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara
komprehensif, kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat
nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam
serta pemenuhan gap sumber daya insani (SDI), baik secara
kuantitas maupun kualitas, inovasi pengembangan produk berbasis
kekhususan kebutuhan masyarakat, kelangsungan program sosialisasi
dan edukasi kepada masyarakat.
49 A. M Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam (Cet. I; Jakarta: PT. PPA Consultans, 2011),
h. 232
29
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
C. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah
1. Sekilas Sejarah Kewenangan Absolut Peradilan Agama
Hukum Islam merupakan bagian integral dari hukum positif
(tata hukum) diIndonesia. Pada masa raja-raja Islam, misalnya ketika
Sultan Agung berkuasa di Mataram, ia menjadikan hukum Islam
sebagai hukum resmi yang berlaku di seluruhKerajaan Mataram.50 Hal
ini telah berlaku sejak berdiri kerajaan-kerajaan Islam tersebutsampai
dengan terbentuknya VOC di Indonesia.51
Sejak Belanda berhasil membentuk VOC di Indonesia kemudian
berlanjut kepadabentuk penjajahan Indonesia, ada upaya-upaya
menjauhkan orang Islam dari ke-Islamanya. Cara yang dipandang
efektif untuk menjauhkan orang Islam dari ke-Islamannya adalah
menjauhkan orang Islam dari hukum Islam.52 Salah satu perwujudan
dari upaya itu adalah dicabutnya kekuasaan/kewenangan absolut
peradilan agama tentang penyelesaian sengketa berbagai bidang hukum
seperti hukum pidana, kewarisan, wakaf dan lain-lain, sehingga yang
tersisa hanyalah sekedar hukum keluarga/perkawinan.
Ketika Indonesia merdeka, kondisi marjinalisasi sebagian besar
hukum Islam darikekuasaan absolut peradilan agama tetap dilestarikan,
hal ini terjadi karena para ahlihukum Belanda telah berhasil meletakkan
dasar-dasar pemikiran kolonial Belanda dikalangan para ahli hukum
Indonesia sehingga telah terbentuk opini para ahli hukum Indonesia
tentang adanya dikhotomis hukum Islam dari tata hukum Indonesia,
dan badanperadilan agama diasumsikan sebagai subordinasi dari
peradilan umum, atau lebih ekstrimdisebutkan peradilan semu yang
bertempat di serambi-serambi mesjid.
50 ASA, , serial Media Dakwah, Jakarta, Agustus, 1989, h. 1551 VOC adalah sebuah badan serikat dagang para pedagang Belanda di Indonesia berdiri
tahun 1602 M, lihatTaufiq Hamimi, , dalam
Mimbar Hukum, No. 59 Thn. XIV, 2003, h. 1852 Sayuruddin Daulay, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Perspektif Politik Hukum
(AnalisaTerhadap Hukum Perkawinan), (Medan: UMSU Media, 2006), h. 5
30
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Identitas badan peradilan agama sebagai peradilan semu, baru
berakhir secara konstitusional sejak lahirnya UU.No. 14 Tahun 1970
Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan dipertegas lagi
dengan lahirnya UU. No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
secara yuridis formal telah memposisikan peradilan agama sejajar
dengan badan-badan peradilan lainnya, seperti peradilan umum,
peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer53, bahkan
kewenangan absolut peradilan agama tidak lagi terbatas menyelesaikan
sengketa perkawinan, tetapi telah merambah kepada penyelesaian
sengketa kewarisan, wasiat, hibah, dan shadaqah, dan lebih dari itu
kewenangan peradilan agama telah memasuki wilayah sengketa
-
Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Namun demikian ternyata ketentuan tersebut tidak bertahan
lama disebabkan oleh perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat
(umat Islam), menjadikan ia kehilangan nilai aplikatifnya, maka sejak
lahir UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU.No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, kalimat yang mengindikasikan pilihan
hukum tersebut telah dihapus, dengan demikian sengketa Perbankan
Syariah kini mutlak diselesaikan berdasarkan hukum Islam di
Pengadilan Agama.54
53 Satjipto Rahardjo, Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga dalam Amrullah et.al.(ed), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasioal diIndonesia (Jakarta: PP. IKAHA, 1994), h. 301
54 Syamsuhadi Irsyad, , makalah
dalam Acara Sosialisasi UU. No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang PeradilanAgama, Medan, Tanggal 22-23 Desember2006, hlm. 20
31
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
2. Kompetensi Pengadilan Agama Menyelesaikan Sengketa
Perbankan Syariah.
Keberadaan lembaga Peradilan Agama di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragama Islam
dalam melaksanakan ajaran agamanya yang berupa hukum Islam.
Dalam konsepsi ilmu fikih, masalah peradilan atau -qadla
merupakan kewajiban kolektif atau fardlu kifayah, yang disamakan
dengan fardlu kifayah lainnya, seperti mendirikan jama ah dan shalat
fi majalisil ilmi), menyelenggarakan kesejahteraan umum dan mencegah
kemungkaran (amar ma ruf nahi mungkar untuk mashalihul ammah) serta
mendirikan kepemimpinan umat atau bernegara (al imamah).55
Bila diperhatikan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 ternyata mengalami pergeseran atau perluasan asas
personalitas ke-Islaman, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, karena dalam penjelasan Pasal 49 huruf i
tersebut perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan diwajibkan
dengan prinsip syariah. Dengan kata lain yang menjadi subyek hukum
atau yang melaksanakan perbuatan atau kegiatan usaha tidak
diharuskan orang-orang yang beragama Islam semata, namun juga
diwajibkan dengan prinsip syariah. Sehingga dengan sendirinya orang-
orang yang menjadi subyek hukum, atau menjadi pihak-pihak yang
berperkara di pengadilan agama tidak saja orang-orang yang beragama
Islam, tetapi sudah termasuk non Islam, karena dalam melaksanakan
perbuatan atau kegiatan usaha menundukkan diri kepada hukum Islam,
yaitu perikatan atau akad syari'ah.
Kegalauan sempat muncul dimana Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menimbulkan persoalan baru
55 H. Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Peradilan Agama di Indonesia, (Laporan Hasil Simposium
Sejarah Peradilan Agama tanggal 8 s.d. 10 April 1982 di Hotel USSU Cisarua Bogor),Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, DepartemenAgama RI, 1982/1983.
32
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
sebab dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) mengatur apabila terjadi
persengketaan perbankan syariah, selain diselesaikan pengadilan
agama, juga dapat diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan
pengadilan umum56. Adanya dualisme pengaturan penyelesaian
sengketa perkara ekonomi syariah sehingga telah mereduksi
kompetensi peradilan agama menjadi sekadar alternatif forum pilihan
(choice of forum). Pengaturan tersebut bukan hanya disparitas dan
ketidakpastian hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan kekacauan
hukum.
Sebuah undang-undangan yang tidak mempunyai sinkronisasi
dan koneksitas satu dengan yang lainnya, dan saling bertentangan
sudah dipastikan akan menimbulkan disparitas hukuman antara satu
hakim dengan yang lainnya, meskipun waktu itu ada yang berpendapat
kompetensi penyelesaian perkara ekonomi syariah tidak perlu
diperdebatkan lagi, sebab ekonomi menganut prinsip kebebasan
berkontrak (freedom of contract )57, sehingga dalam penegakan hukum
yang bersengketa dapat saja memilih di mana mengajukan perkara, baik
melalui badan arbitrase, peradilan umum, ataupun peradilan agama.
Kemudian penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah tersebut telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor : 93/PUU-X/2012,
sehingga seluruh bentuk akad atau perikatan syariah yang diatur dalam
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jika terjadi sengketa
sudah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama. Oleh karenanya
pihak-pihak yang melakukan akad berdasarkan prinsip-prinsip syariah
telah tertutup untuk melakukan pilihan melalui pengadilan di luar
pengadilan agama58. Dengan kata lain bahwa pilihan hukum
56 Lihat Kitab Undang-Undang Ekonomi Syariah, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentangPerbankan Syariah, Fokus Media, Bandung, 2011, hlm. 101
57 Lihat, Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata58 Ahmad Mujtahidin, Op.,Cit., h. 20
33
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
dinyatakan dihapus dan menjadi kewenangan absolut pengadilan
agama.
Berdasarkan uarain tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
batas ruang lingkup serta jangkauan kewenangan mengadili Pengadilan
Agama di bidang perbankan syariah antara lain :
1. Dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah Pengadilan
Agama berwenang mengadili seluruh perkara perbankan syariah di
bidang perdata, kecuali yang secara tegas ditentukan lain oleh
undang - undang. Sementara dua bidang hukum lain yang mengatur
tentang aktivitas operasional perbankan syariah yakni hukum
pidana dan hukum tata negara merupakan kewenangan absolut
Peradilan Umum dan peradilan Tata Usaha Negara.Dengan adanya
asas personalitas ke-Islaman yang termuat dalam Undang - Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama maka setiap orang
Islam baik secara subjektif maupun secara objektif berlaku (tunduk
pada) hukum Islam. Secara subjektif, artinya menurut hukum setiap
orang Islam sebagai subjek hukum tunduk pada hukum Islam,
sehingga segala tindakannya harus dianggap menurut hukum Islam,
dan jika tidak dilakukan menurut hukum Islam, maka hal tersebut
dianggap sebagai suatu pelanggaran. Sedangkan secara objektif,
artinya segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum orang Islam
sebagai objek hukum harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum
Islam, sehingga hukum Islam secara imperatif (otomatis)
diberlakukan terhadap dirinya, dan karena itu jika terjadi sengketa
harus diselesaikan menurut hukum Islam oleh hakim (pengadilan)
Islam.
2. Termasuk dalam pengertian asas personalitas ke-Islaman maka,
semua badan hukum Islam yang ada dalam sistem hukum di
Indonesia termasuk dalam hal ini bank syariah. Terhadap semua
badan hukum Islam yang dimaksud baik mengenai status
hukumnya maupun mengenai perbuatan atau peristiwa hukum
yang menimpanya, juga mengenai hubungan hukum dengan orang
34
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
atau badan hukum lain serta hak milik badan hukum tersebut,
sepanjang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah, harus berlaku
(tunduk pada) hukum Islam dan manakala terjadi pelanggaran atau
sengketa, harus diselesaikan berdasarkan hukum Islam oleh hakim
(pengadilan) Islam.
3. Cakupan kewenangan absolut Pengadilan Agama juga mampu
menjangkau seluruh sengketa yang terjadi antara pihak bank dengan
nasabah yang non-Islam. Sebagaimana yang diketahui, pihak-pihak
yang bertransaksi atau yang menjadi mitra usaha di perbankan
syariah tidak hanya pihak yang beragama Islam saja, melainkan juga
yang non-Islam. Salah satu kelebihan dari Undang - Undang Nomor
3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang - Undang No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah adanya satu asas
penting yang baru diberlakukan yakni asas penundukan diri
terhadap hukum Islam. Asas ini terdapat dalam Pasal 49 undang-
yang dimaksud dengan
antara orang - orang yang beragama Islam 59 adalah termasuk orang
atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal - hal yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan
Pasal ini. Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa
pihak-pihak (person/badan hukum) yang dibenarkan berperkara di
Peradilan Agama tidak hanya terbatas pada mereka yang beragama
Islam saja, melainkan juga yang non-Islam baik terhadap sengketa
yang terjadi antara orang Islam dengan non-Islam bahkan antara
orang non-Islam dengan non-Islam sekalipun, sepanjang mereka
menundukkan diri terhadap hukum Islam. Dalam ekonomi syariah
yang menjadi ukuran seseorang menundukkan diri pada hukum
Islam atau tidak adalah akad yang dilakukannya, bilamana
59 Lihat pasal 49 Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang - UndangNo. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
35
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
transaksinya dilakukan dengan menggunakan akad syariah sudah
dapat dianggap menundukkan diri secara sukarela.
4. Pengadilan Agama tidak menjangkau penyelesaian sengketa atas
klausula arbitrase. Di saat para pihak melakukan perjanjian disertai
dengan klausula arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak
berwenang untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut apa lagi
hingga mengeluarkan putusan. Konsekuensi yuridis dari adanya
klausula arbitrase tersebut, apabila terjadi sengketa mengenai
perjanjian atau akad maka yang berwenang secara absolut untuk
menyelesaikan sengketa ialah badan arbitrase itu sendiri
sebagaimana yang telah dipilih dan diperjanjikan dalam akad,
sehingga para pihak tidak diperbolehkan mengajukan perselisihan
yang terjadi ke badan peradilan negara. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.60
Sebaliknya, badan peradilan negara termasuk Pengadilan Agama
tidak berwenang untuk mengadili perkara yang timbul dari suatu
perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase dan wajib
menolaknnya dengan menyatakan tidak berwenang mengadilinya
(niet ontvankelijk verklaard).61
3. Alasan Pengadilan Agama Lebih Berwenang Menyelesaikan
Perkara Perbankan Syariah.
Perlu difahami dengan penambahan kewenangan pengadilan
agama, diharapkan praktik-praktik hukum Islam yang selama ini sudah
berjalan di masyarakat harus mempunyai alasan-asalan yang kuat. Jika
di kemudian hari terjadi sengketa antara para pihak bisa dilakukan
penyelesaiannya melalui pengadilan agama sebagai pengadilan satu-
satunya diberi kewenangan untuk menyelesaikan. Ada dua alasan
60 Lihat pasal 11 ayat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase DanAlternatif Penyelesaian Sengketa
61 Abdul Mannan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan Baru PeradilanAgama, (Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani, 2011), h.
20-35
36
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
hanya pengadilan agama satu-satunya lembaga peradilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yaitu:
a. Alasan Historis.
Tanpa disadari kewenangan peradilan agama mengalami
dinamika dalam sejarah peradilan di negeri ini, kendati pun tidak
dihapuskan oleh penguasa (political will), paling tidak pada tataran
kompetensinya selalu dibatasi. Padahal kompetensi peradilan agama
pada dasarnya sangat erat dengan pelaksanaan hukum Islam sebagai
hukum yang hidup di masyarakat (living law). Kompetensi peradilan
agama di Indonesia, sesungguhnya sangat terkait erat dengan
persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generis-nya.
Itu pun tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan
hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga semata plus
nomena ini tidak bisa dipisahkan
dari persoalan politik penguasa. Karena latar belakang historis itu,
peradilan agama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan nikah,
talak, dan rujuk saja.
Meskipun akhirnya kebijakan regulasi dan politik hukum
dapat menempatkan posisi peradilan agama dalam sistem peradilan
nasional secara proporsional dan modern. Seiring waktu yang
berjalan pada akhirnya Undang-Undang Agama Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama telah berjalan selama 25 tahun dan
UU itu telah diubah pula dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang membawa perubahan besar dalam kompetensi peradilan
agama, diperluas dengan memasukan ekonomi syariah, sebagai
salah satu bidang kompetensinya. Pada tataran yang lebih luas,
perluasan kompetensi sebagaimana diatur dalam undang-undang
tersebut merupakan responsif terhadap perkembangan dan
kebutuhan hukum bagi umat Islam yang mayoritas di republik ini.
Demikian halnya jika dilihat dari sudut perspektif sosiologi hukum,
peradilan agama juga mengalami ekstensifikasi kewenangan,
37
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
mengingat perlunya kesinambungan yang simetris antara
perkembangan62 masyarakat dengan hukum, agar tidak ada jarak
antara persoalan (problem) dengan cara dan tempat penyelesaiannya
(solving). Sejarah pasang surut peradilan agama tidak hanya terbatas
mengenai perkara hukum keluarga saja, dengan adanya sistem
ekonomi syariah yang merambah kemana-mana, merupakan
momentum yang sangat tepat yang harus dimamfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk mengembangkan keberadaannya di tengah-
tengah masyarakat, sehingga publik pun tidak ragu jika
menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syariah melalui
pengadilan agama.
Masalah kewenangan absolut Pengadilan Agama yang justru
memungkinkan bagi pihak non muslim untuk berperkara di
Pengadilan Agama, dapat juga digunakan pengecualian
pemberlakuan asas personalitas ke-Islaman pada perkara perdata
tertentu yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Hal ini
karena antara kewenangan absolut dan kewenangan absolute
peradilan agama sama-sama mempunyai dasar hukum yang
seimbang pada satu Undang-undang yang sama, yaitu UU Nomor 3
Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Mengacu pada penjelasan pasal 49 ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa orang non muslim juga dapat berperkara di
Pengadilan Agama dalam perkara tertentu yang menjadi
kewenangan absolute Peradilan Agama dengan syarat yang
bersangkutan bersedia menundukkan diri dengan sukarela pada
hukum Islam. Kenyataan yang menyebutkan bahwa ekonomi
62 Ahmad Mujtahidin, Op. Cit., h. 20
38
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
mengembangkan nasabahnya pada orang-orang non muslim
akan paling banyak menarik orang non muslim berperkara di
Pengadilan Agama.
-undang No 3
Tahun 2006, maka yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
adalah transaksi yang menggunakan akad yang beradasarkan
menjelaskan bahwa ukuran personalitas ke Islaman dalam sengketa
h adalah akad yang mendasari sebuah transaksi,
menjadi hak peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim
hukum Islam, sehingga oleh karenanya UU Nomor 3 Tahun 2006
menentukan bahwa sengketanya harus diselesaikan di Pangadilan
Agama.63
Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa
pihak-pihak (person/badan hukum) yang dibenarkan berperkara di
Pengadilan Agama tidak hanya terbatas pada mereka yang
beragama Islam saja, melainkan juga non muslim. Dengan demikian,
jangkauan kewenangan lingkungan Peradilan Agama di semua
bidang yang disebutkan dalam pasal 49 berikut penjelasannya
tersebut, tidak hanya terbatas pada sengketa yang terjadi antara
orang-orang yang beragama Islam saja, melainkan juga meliputi
sengketa yang terjadi antara orang Islam dengan yang non muslim,
bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi antar sesama non
muslim sekalipun, sepanjang mereka itu menundukkan diri
terhadap hukum Islam dalam hal yang menjadi kewenangan
lingkungan Peradilan Agama tersebut.
63 Listyio Budi Santoso. Kewenangan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi(Semarang: Pusataka Undip 2009), h. 61
39
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa
ada semacam asas penundukan diri di Pengadilan Agama. Asas ini
berlaku pada orang non muslim yang dengan sukarela
menundukkan diri pada hukum Islam dalam perkara perdata
tertentu yang diatur oleh undang-undang, seperti kasus waris dan
memungkinkan non muslim berperkara di Pengadilan Agama. Asas
penundukan diri sama sekali tidak berarti mengganti asas
personalitas ke-Islaman karena kedua asas ini justru akan saling
mendukung dan melengkapi.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa asas personalitas
ke-Islaman memang harus ada di Pengadilan Agama, karena selain
sebagai ciri khas, asas personalitas ke-Islaman juga berfungsi untuk
mengetahui sampai di mana jangkauan kewenangan lingkungan
Peradilan Agama dalam mengadili sengketa di bidang perdata yang
diatur Undang-undang. Berdasarkan asas personalitas ke-Islaman
itu pula pembentuk Undang-Undang memandang perlu dan tepat
melimpahkan kekuasaan penyelesaian perkara ekonomi syariah
kepada Pengadilan Agama yang merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bertugas
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan hukum Islam.64
Namun demikian, agar tidak timbul kesan pertentangan
antara asas personalitas ke-Islaman dengan asas penundukan diri
terhadap hukum Islam di pengadilan agama, penulis juga
berpendapat bahwa harus ada sedikit penambahan pada hal-hal
yang timbul akibat adanya asas personalitas ke-Islaman. Rumusan
ini yang diamanatkan oleh pasal 49 Undang-Undang No 3 tahun
2006 berikut penjelasannya. Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka
"seluruh" nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah, bank konvensional yang membuka unit usaha syariah
64 Yahya Harahap. Kedudukan, Kewenangan, Dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), h. 25
40
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
ataupun lembaga ekonomi syari'ah lainnya dengan sendirinya
terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan
akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
b. Alasan Yuridis Formal.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menegaskan
ketika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip syariah menimbulkan sengketa, maka muara
penyelesaiannya melalui litigasi menjadi kompetensi peradilan
agama. Sedangkan penyelesaian melalui jalur non litigasi dapat
dilakukan melalui Basyarnas, dan alternatif penyelesaian sengketa
dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.
Meskipun awalnya muncul masalah baru ketika diundangkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
adanya pilihan hukum melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah,
hal itu terlihat dalam Pasal 55 Ayat (2) beserta penjelasannya itu
menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap kompetensi
peradilan agama dalam bidang perbankan syariah.
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 93/PUU-
X/2012 mengakhiri dualisme penyelesaian sengketa ekonomi
syariah antara peradilan agama dan peradilan umum, sehingga
pengadilan agama secara yuridis formal satu-satunya yang
berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
93/PUU-X/2012, dapatlah disimpulkan bahwa secara otomatis
kaitannya dengan sengketa ekonomi syariah atau perbankan syarih
dilaksanakan oleh pengadilan agama, maka tidak ada alasan lain
dari pelaku ekonomi syariah untuk mengajukan sengketa ekonomi
syariah atau perbankan syariah di pengadilan agama.
41
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
4. Kesiapan Hakim Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan
Perkara Perbankan Syariah.
Jika dilihat dari sisi perspektif hukum, ekonomi syariah yang
ang baru bagi
hakim pengadilan agama, karena pernah mempelajarinya di fakultas
syariah, akan tetapi ekonomi syariah dalam tataran aplikasinya dewasa
ini baik dalam skala domestik maupun global merupakan kegiatan
perekonomian yang relatif baru, dan dipandang bisa memberikan
harapan baru, karena sistem ekonomi sosialis, kapitalis, dan liberalis
gagal mensejahterakan manusia.
Di lingkungan peradilan agama ekonomi syariah tentunya juga
sesuatu yang baru, sebab selama ini kewenangannya berkutak hanya
bidang sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqa. Sehingga ada yang meragukan dan mempertanyakan
kapabilitas hakim pengadilan agama dalam menangani dan
menyelesaikan kewenangan perkara ekonomi syariah, saat dimana
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 telah diundangkan, ada suara-suara
miris untuk meminta agar dikoreksi dan ditunda pelaksanaannya,
karena dalam pembahasan di parlemen tidak dilakukan konsultasi
dengan pihak yang mempunyai otoritas mengatur perbankan maupun
dengan stakeholder ekonomi syariah.
Undang-undang ini peradilan agama diberi kewenangan
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, tentu merupakah langkah
politik hukum yang luar biasa dalam melengkapi kelembagaan hukum
untuk mewujudkan gerakan ekonomi syariah di Indonesia, sehingga
kini gerakannya telah mendapatkan respon positif dan mendapatkan
dukungan politik dari berbagai kalangan.Sebagai lembaga peradilan
negara yang tercantum dalam UUD 1945, sekaligus upaya
menghidupkan hukum Islam bagi pemeluknya, maka pengadilan
agama saat ini mau tidak mau dan tidak diragukan lagi telah siap dalam
42
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang diajukan ke pengadilan
agama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan dalam
beberapa unsur, sebagai berikut;
1. Sumber daya manusia pengadilan agama telah memenuhi
standarisasi keilmuanya karena sudah banyak yang memahami
permasalahan ekonomi syariah dimana hakim telah mengenyam
pendidikan setingkat doktor, magister dan sarjana di bidang hukum
dan ekonomi syariah bahkan ada yang professor. Namun demikian
tentunya tinggal pemolesan dengan cara meningkatkan wawasan
dan pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan serta bimbingan
teknis secara berkala bidang sengketa ekonomi syariah65
2. Dalam kontekstualnya pengadilan agama telah mempunyai hukum
materiil yang cukup established berkaitan dengan ekonomi syariah, di
malah, fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan saat ini
akan disahkannya Kitab Hukum Acara Ekonomi Syariah yang boleh
dikatakan sudah hampir final. Gedung kantor pengadilan agama
dan pengadilan tinggi agama di seluruh wilayah Indonesia sebagian
besar telak mengaplikasikan jaringan Teknologi Informasi dengan
basis internet atau website, sehingga memudahkan untuk
mengaksesnya dan mencari solusi-solusi yang mungkin muncul.
3. Di samping itu kehadiran sistem perbankan syariah di Indonesia
ternyata juga tidak hanya menuntut perubahan peraturan
perundang-undangan bidang perbankan syariah saja, tetapi
berimplikasi juga pada peraturan perundang-undangan yang
mengatur institusi lain misalnya lembaga peradilan.66
65 Ahmad Mujtahidin, Op. Cit., h. 2166 Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia (Bogor:
Ghalia, Indonesia, 2010), h. 16-17
43
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Selain tiga hal tersebut, ada beberapa unsur lain yang dapat
dijadikan pertimbangan pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan
syariah oleh pengadilan agama, sebagai berikut;
1. Secara sosiologis mendapat dukungan mayoritas penduduk
Indonesia, yaitu masyarakat muslim yang saat ini sedang
mempunyai semangat tinggi dalam menegakan nilai-nilai agama
yang mereka anut.67
2. Secara politis adanya dukungan kuat dari Pemerintah dan DPR telah
menyepakati perluasan kewenangan pengadilan agama yaitu
lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah suatu
keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan hukum yang
ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju
peradilan modern.68
3. Adanya dukungan dari otoritas perbankan (Bank Indonesia) dan
dukungan dari Lembaga Keuagan Islam di seluruh dunia.69
Di samping alasan tersebut di atas yang takala penting bahwa
gedung peradilan agama juga harus respentatif sehingga tampil asri,
apik, bersih, transparan, akuntabel, dan bisa memenuhi rasa keadilan
serta kebenaran. Memang butuh waktu untuk itu akan tetapi
bagaimanapun memang sudah menjadi tanggung jawab yang harus
dipikul di pundak aparatur peradilan agama. Tidak ada jalan lain
kecuali dengan cara inilah bahwa pengadilan agama akan mendapatkan
apresiasi positif dari berbagai elemen bangsa dan masyarakat sehingga
menaruh kepercayaannya kepada pengadilan agama sebagai pelaksana
hukum Islam di Indonesia.
Sejalan dengan itu, pasca amandemen Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor
67 Kernaen Perwataatmadja dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media, 2005), h. 29668 Ariyanto dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust Majalah Berita
Ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006, h. 7069 Abdul Manan, Hukum Perbankan Syariah, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Op.Cit.,
h. 3
44
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
3 Tahun 2006, hakim memiliki tugas baru yaitu perluasan kewenang
untuk menangani sengketa ekonomi syariah, tidak dibatasi hanya
bidang sengketa perbankan syariah namun termasuk bidang ekonomi
syariah lainnya, sebagaimana penjelasan Pasal 49 huruf i yaitu; lembaga
keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana
syariah, obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga
keuangan syariah dan bisnis syariah.70
Dampak perluasan kewenangan ini juga membawa konsekuensi
suatu tantangan tersendiri terutama bagi hakim. Pada akhirnya hakim
dituntut memahami dan menguasai hukum ekonomi syariah dan segala
perkara yang menjadi kompetensinya. Pengetahuan hakim tersebut
hakim dianggap
tahu seluruh hukum, dengan demikian hakim tidak dibenarkan
menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih bahwa hukumnya
tidak atau kurang jelas sehingga hakim bisa mengisi kekosongan
hukum. Oleh karenanya hakim harus menggali hukum Islam yang
sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Hal ini juga dapat diperhatikan bahwa pengembangan
(menafsirkan) hukum Islam tidak terlerpas dari pemikiran dan budaya
ahli hukum Islam dimana berada. Terlepas dari berbagai komentar
miring yang berkembang, kewenangan baru untuk menangani sengketa
di bidang ekonomi syariah merupakan tantangan yang harus dihadapi
oleh hakim. Oleh karenanya diperlukan kerja keras dan sungguh-
sungguh dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis
bidang ekonomi syariah.
Suatu keniscayaan sosok hakim selalu memperkaya pengetahuan
dan wawasannya serta mengasah intelegensinya, karena bagaimanapun
hakim harus mempertanggung-jawabkan apa yang telah menjadi
ijtihadnya sehingga putusanya harus dianggap benar adanya (res
judikata pro veriate habetur). Hubungan dengan itu, hakim dituntut untuk
lebih mendalami dan menguasai hukum ekonomi syariah. Tidak bisa
70 Ibid., h. 13
45
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
dipungkiri hakim pengadilan agama telah memiliki latar belakang
pendidikan hukum umum dan pendidikan hukum Islam akan tetapi
oleh karena selama ini, tidak menangani sengketa yang berkaitan
dengan sengketa perbankan syariah, tentu wawasan dan pengetahuan
yang dimiliki boleh dikatakan agak terbatas. Oleh sebab itu hakim wajib
meningkatkan pengetahuan dan wawasan hukum perbankan syariah
yang menjadi tugas pokoknya melalui simposium, seminar, diskusi,
pendidikan dan latihan, bimbingan teknis, bahkan jenjang pendidikan
yang lebih tinggi atau lebih spesipik ke bidang perbankan syariah.
Disamping itu hakim juga harus memiliki wawasan yang
memadai tentang lembaga keuangan ekonomi syariah, bahkan seorang
hakim juga perlu meningkatkan kepekaan dan sensitifitasnya bahwa
akan terjadi sengketa perbankan syariah di luar ketentuan penjelasan
Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut karena
hukum dan ekonomi itu dinamis atau berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman apalagi akan diberlakukan perdagangan bebas
sehingga tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah-masalah
baru di kemudian hari yang harus dicarikan penyelesaiannya melalui
pengadilan agama.
Bertitik tolak dari asumsi tersebut perbankan syariah adalah ilmu
dan sistem yang bersumber dari imperative wahyu Allah swt.untuk
keselamatan dan kesejahteraan ummat manusia. Paradigma, asumsi dan
teori-teorinya sangat kondusif bagi kebutuhan kelangsungan hidup
pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, secara potensial memiliki
peluang yang besar untuk menjadi alternatif sebagai solusi atas
kegagalan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis di masa yang datang.
Pesatnya perkembangan bisnis berbasis pada perbankan syariah
yang sejalan dengan perluasan kewenangan pengadilan agama untuk
menangani sengketa perbankan syariah, tentu akan memberi
konsekuensi tersendiri bagi pengadilan agama, sehingga harus memiliki
hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa
perbankan syariah, para hakim juga dituntut lebih responsif terhadap
perkembangan managemen peradilan yang lebih modern.
46
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Bahkan seorang hakim pengadilan agama dalam hal kesiapan
mengadili sengketa perbankan syariah akan dihadapan dengan
tantangan terbesar dalam menghadapi era turbulensi era yang penuh
dengan gejolak, sehingga perlu dilakukan reformasi PIKR yaitu power,
information, knowledge, reward.71 Power artikan dimana seorang hakim
dalam menghadapi sengketa perbankan syariah mampu mengambil
keputusan sesuai ruang lingkup kewenangannya, dan information yang
diperoleh hakim harus mengalir secara transparan dan horizontal
sehingga putusanya membawa rasa keadilan tanpa harus dihambat
sekat-sekat vertikal birokratis yang tidak perlu, sementara adanya
knowledge seorang hakim dapat menafsirkan sendiri setiap perkara yang
diterimanya melalui ijtihadnya jika belum ada ketentuan yang mengatur
tentang perkara tersebut sehingga tidak boleh menolak dengan dalih
hukum tidak mengaturnya, sedangkan reward bagi seorang hakim yang
memutus perkaranya tentu akan mendapat nilai positif bagi pencari
keadilan tentang kemampuan seorang hakim dalam menangani kasus
sengketa perbankan syariah dan yang terpenting mendapat nilai pahala
dua jika benar dan nilai satu jika salah dalam mengambil sebuah
keputusan.
Dengan berbagai macam variasi istilah ilmu hukum Islam dan
beragamnya istilah-istilah dalam bentuk bahasa Arab dalam hukum
perbankan syariah tidaklah berlebihan hanya hakim pengadilan
agamalah yang pantas menangani dan menyelesaikan sengketa
perbankan syariah tanpa harus menskreditkan hakim di luar pengadilan
agama, dan mana mungkin seorang hakim non muslim karena memang
dalam lingkungan peradilan umum tentu tidak semua hakimnya
beragama Islam, akan memberi fatwa hukum dalam bentuk putusan
pengadilan terhadap orang-orang Islam dan orang-orang yang
menundukan diri ke dalam hukum Islam, dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah.
71 Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Cet. III; Jakarta: Gema
Insani, 2007), h. 149
47
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Adapun jenis dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field
Research). Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif
analitis.72 Secara deskriptif, penelitian ini menggambarkan secara sistematik
mengenai landasan hukum dan pelaksanaan kewenangan pengadilan
.73
B. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian dilaksanakan di Pengadilan Agama
Ambon
C. Subjek Penelitian
Adapun subjek penlitian adalah peraturan perundang-undangan
dan putusan pengadilan terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan
berdasarkan realitas pada pengadilan agama Ambon Kelas IA.74
D. Penentuan Informan
Adapun penentuan informan dalam penelitian ini ada menggunakan
secara keseluruhan hakim di pengadilan Agama Ambon dikarekan hakim
dalam jumlah minimal.
72 Lexy J. Moleong Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : RemadjaRosdakarja, 1999), h.
19873 Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Perkembangannya (Cet. I; Jakarta:
Kencana, 2010), h. 3574 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990), h. 106
48
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
E. Objek Penelitian
Adapun objek dalam penelitian ini adalah semua hakim yang ada di
pengadilan Agama Ambon
F. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian terbagi menjadi 2 bagian antara lain,
sebagai berikut;
1. Data Primer dalam penelitian ini adalah berupa observasi/
pengamatan secara langsung kelapangan dan Interview /wawancara
yakni pengumpulan data wawancara dengan cara melakukan tanya
jawab secara langsung dengan informan yakni dengan hakim
Pengadilan agama Ambon.
2. Bahan hukum sekunder yang bersumber pada pendapat para ahli
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum isinya
tidak mengikat, seperti literatur hukum, makalah, kertas kerja, hasil
seminar, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif),
yuriprudensi Makhamah Agung RI yang telah dipublikasikan.
G. Cara Penetuan Sumber data
Adapun cara penentuan sumber data dalam penelitian dengan cara
penentuan secara keseluruhan yakni; informan; yang dimaksudkan
informan dalam penelitian adalah hakim pengadilan agama Ambon Kelas
IA.
H. Teknik Pengumpulan Data
Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengidentifikasi dan
mempelajari secara cermat mengenai berbagaim literatur/buku-buku yang
berkaitan dengan materi yang akandi teliti dan disingkronkan dengan data
observasi, dokumentasi dan wawancara dengan hakim pada Pengadilan
Agama Ambon.75
75 Koencoro Ninggrat, Metode Penelitian Masyarakat (Cet. II; Jakarta: Gramedia, 1981), h. 329.
49
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
I. Teknik Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan
(library research) Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan
dengan mengutip beberapa sumber dan mempelajari teori-teori para ahli
serta buku yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti.76
Metode analisis data ini, dimaksudkan setelah data yang telah
dihimpun, akan dianalisis secara kualitatif deskriptif yaitu suatu bentuk
analisis data dalam upaya mendapatkan jawaban terhadap permasalahan.
Langkah-langkah analisis data yang dilakukan terdiri dari:
a. Mengelompokkan data atau display data, yaitu mengumpulkan
beberapa bahan dan pertanyaan yang saling berkaitan.
b. Reduksi data yaitu dengan menganalisis data secara keseluruhan
kemudian memberikan penilaian sesuai dengan tema, untuk
mencari bagian-bagian yang saling terkait agar lebih sederhana.
c. Interpretasi data, yaitu menafsirkan dan mengelompokkan semua
data agar tidak terjadi tumpang tindih dan kerancuan karena
perbedaan-perbedaan.
Selanjuntya data yang telah diperoleh tersebut diolah dengan
menggunakan analisis berpikir sebagai berikut;
a. Deduktif, yaitu suatu cara atau jalan yang dipakai untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari
pertanyaan atau masalah yang bersifat umum kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
b. Induktif, yaitu suatu cara atau jalan yang digunakan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari
pernyataan atau masalah yang bersifat khusus kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat umum.
c. Komparatif, yaitu Penganalisaan data yang dilakukan berdasarkan
perbandingan antara data yang satu dengan data yang lain dari
76 M. Natsir, Metode Penelitian (Cet. IV; Jakarta: Galia Indonesia, 1988), h. 112
50
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
masalah yang serupa kemudian diambil suatu kesimpulan yang
akan digunakan sebagai pendapat yang baru. 77
J. Jadwal Penelitian
No
Uraian KegiatanTahun 2016
Mar April Mei Juni Juli Agust Sept OktA Pra Kegiatan
Observasi Awal
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
B. Pelaksanaan
Penyusunan Desain
Penelitian
Pengumpulan Data
Lapangan
Pengolahan Data
Penulisan Hasil
Penelitian
Seminar Hasil
Penelitian
Perbaikan Seminar
Hasil
C. PelaporanPenelitian
Deskripsi Peneliti
Hasil Penelitian
Dummy Buku
Executive Summary
Penggunaan Dana
77 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat (Cet. II; Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h. 57-58
dan 117
51
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sekilas Sejarah Berdirinya Peradilan Agama di Provinsi Maluku
Pada abad ke 15 dan 16, budaya Islam dan budaya Eropa sudah
masuk ke wilayah Maluku dan Maluku Utara, dengan struktur dan
sistem pemerintahan kerajaan Islam yang teratur, setiap Desa dikepalai
oleh seorang raja.
Pada tahun 1596, Belanda datang ke Indonesia dan memasuki
wilayah Maluku. Pada zaman penjajahan belanda, di Maluku sudah ada
badan yang melaksanakan tugas peradilan agama dengan istilah Hakim
yang merupakan bagian dari Peradilan Swapraja dan Adat.
Pada tahun 1951, dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951, maka dihapuslah sistem peradilan swapraja dan adat,
kecuali peradilan agama. Apabila ada sengketa yang berkaitan dengan
hakim-hakim yang telah ditunjuk di setiap kecamatan.
Pada tahun 1957, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45
tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan agama / mahkamah
hakim yang berada pada kantor urusan agama yang berada di setiap
kecamatan dinyatakan bubar. Kemudian untuk menindaklanjuti
Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1957, ditetapkan surat Keputusan
Menteri Agama tentang pembentukan Pengadilan Agama di setiap
kabupaten yang berada di provinsi Maluku yaitu:
1. Penetapan Menteri Agama Nomor 5 tahun 1958 tanggal 6 Maret
1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama Ambon, Ternate,
Morotai dan Soasiu.
52
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
2. Keputusan Menteri Agama Nomor 23 tahun 1960 tanggal 14
Nopember 1960 tentang pembentukan Pengadilan Agama Tual
Maluku Tenggara Barat.
3. Keputusan Menteri Agama Nomor : 87 tahun 1966 tanggal 3
Desember 1966 berdirinya Pengadilan Agama Masohi Maluku
tengah
4. Keputusan Menteri Agama Nomor 87 tahun 1966 tentang
pembentukan Pengadilan Agama Labuha.
Pada tahun 1982, dibentuk Pengadilan Tinggi Agama Cabang
Ambon melalui surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 95 tahun
1982 tanggal 28 Oktober 1982 yang berkedudukan di Ambon yang
wilayah hukumnya meliputi 7 Pengadilan Agama di 7 Kabupaten/Kota,
yaitu:
1. Pengadilan Agama Ambon, berada di Ibu Kota Provinsi Maluku.
2. Pengadilan Agama Tual, berada di Ibu Kota Kabupaten Maluku
Tenggara.
3. Pengadilan Agama Masohi, berada di Ibu Kota Kabupaten
Maluku Tengah.
4. Pengadilan Agama Ternate, berada di Ibu Kota Kabupaten
Maluku Utara.
5. Pengadilan Agama Soasiu, berada di Ibu Kota Kabupaten Soasio
Halmahera Tengah.
6. Pengadilan Agama Morotai, berada di Ibu Kota Kabupaten
Tobelo Halmahera Utara.
7. Pengadilan Agama Labuha, berada di Ibu Kota Kabupaten
Bacan.
Dalam era reformasi pada tahun 1998 dan dengan dibentuknya
peraturan tentang otonomi daerah (Undang-undang No.22 Tahun 1999),
maka terjadilah beberapa pemekaran daerah, baik itu Daerah Tk.I
Provinsi, Kabupaten maupun Kecamatan. Pada tahun 1999 dibentuklah
Kabupaten Maluku Utara menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara
dengan Undang-Undang No.46 tahun 1999.
53
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Pada tahun 2005, terbentuklah pengadilan Tinggi Agama Maluku
Utara yang mewilayahi 4 Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan Agama
Ternate, Pengadilan Agama Soasiu, Pengadilan Agama Labuha dan
Pengadilan Agama Morotai.
Dengan dibentuknya Pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara di
Ternate, maka secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Tinggi
Agama Ambon yang berada di Provinsi sampai saat ini Provinsi
Maluku yang dahulunya terdiri dari 1 (satu) Kotamadya dan 2 (dua)
Kabupaten, sehingga secara keseluruhan Provinsi Maluku sudah
mempunyai 9 Kabupaten dan 2 Kotamadya (Ambon dan Tual), antara
lain;
1. Kotamadya Ambon
2. Kotamadya Tual
3. Kabupaten Buru Ibu Kota Namlea.
4. Kabupaten Buru Selatan.
5. Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Ibu Kota Piru.
6. Kabupaten Seram Bagian Timur dengan Ibu Kota Bula.
7. Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan Ibu Kota Saumlaki.
8. Kabupaten Kepulauan Aru.
9. Kabupatan Maluku Barat Daya.
Berdasarkan sembilan wilayah kotamadya dan kabupaten yang
ada di Maluku, pengadilan agama hanya ada 3 Pengadilan Agama yang
mewilayahi, antara lain;
NO NAMAPENGADILAN
KLAS ALAMAT
1 PengadilanAgama Ambon
IA Jln. KH. Ahmad Dahlan Air Kuning BatuMerah. Telp. 0911-352469, Web : www.pa-Ambon.net. Email :[email protected]
2 PengadilanAgama Masohi
II Jln. Kuako No.4. Masohi, Telp. 0914-21149.Web : www.pa-masohi.go.id, Email :
3 PengadilanAgama Tual
II Jln. Baldu Wahadat Mangon Tual. Telp.0916-21243 Fax. 0916-23605.Web :www.pa-tual.net
54
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
2. Latar Belakang dan Proses Berdirinya Pengadilan Agama Ambon
Klas IA
Pengadilan Agama Ambon dibentuk berdasarkan penetapan
Menteri Agama RI Nomor : 5 Tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958.
Berdasarkan pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di luar Jawa dan
Madura, untuk merealisasikan peraturan pemerintah tersebut, Menteri
Agama RI mengeluarkan Keputusan No. 5 Tahun 1958 tanggal 6 Maret
1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, maka di kota
Ambon didirikan Pengadilan Agama Ambon / Makamah Syariah
Ambon dan wilayah yurisdiksinya termasuk Kabupaten Maluku
Tengah dan Kabupaten Maluku Tenggara karena di dua kabupaten
tersebut belum terbentuk Pengadilan Agama dan pada waktu itu
Pengadilan Agama Ambon berada dibawah wilayah Pengadilan Tinggi
Agama Ujung Pandang.
Pengadilan Agama Ambon ketika didirikan belum memliki
gedung kantor sendiri masih menumpang (ikut) berkantor di Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi Maluku di Air Salobar, kemudian
mengontrak rumah di Soabali Kota Ambon.
Pada tahun 1987 Pengadilan Agama Ambon memiliki kantor
sendiri dengan luas tanah dan bangunan 240 m2 bertempat di Jalan dr.
Kayadoe Kudamati Ambon, kemudian pindah ke Jalan Leo Watimena
Negeri Lama Passo, Kecamatan Teluk Ambon Baguala (Teluk Dalam)
tahun 1997 menempati gedung yang dibangun berdasarkan DIP tahun
1997 dengan luas tanah 1500 m2, dan luas bangunan 230 m2.
Perkembangan berikutnya eksistensi Pengadilan Agama Ambon
menjadi Pengadilan Agama Ambon Kelas I/A berdasarkan keputusan
Menteri Agama RI No. 75 tahun 1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang
Penetapan Kelas Pengadilan Agama Ambon.
Akibat terjadinya konflik sosial di Ambon dan Maluku tahun
1999 gedung kantor Pengadilan Agama Ambon dibakar kemudian
dibangun kembali oleh Pemerintah daerah Propinsi Maluku (Gubernur
55
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Dr. IR. H.M. Shaleh Latuconsina) namun kondisi tidak memungkinkan
lagi untuk berkantor ditempat ini, maka kegiatan Pengadilan Agama
Ambon pindah menumpang disebahagian gedung kantor Pengadilan
Tinggi Agama Ambon sampai tahun 2003, kemudian mengontrak
rumah di Tanah Rata Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota
Ambon dari tahun 2003 sampai tahun 2005.
Berdasarkan DIP tahun 2003, diadakan pengadaan tanah seluas
2.000 m2 di Jalan KH. Achmad Dahlan Air Kuning, Kota Ambon untuk
pembangunan gedung kantor Pengadilan Agama Ambon, selanjutnya
berdasarkan DIPA tahun 2005 dibangun gedung kantor Pengadilan
Agama Ambon dengan luas bangunan 1200 m2, maka sejak tahun 2005,
seluruh kegiatan Pengadilan Agama Ambon menempati gedung kantor
Pengadilan Agama Ambon di Jalan KH. Achmad Dahlan Air Kuning,
Batu Merah Ambon - 97128 Tlp. (0911) 352469.
Berdasarkan uraian tersebut, mulai berdirinya pengadilan
Agama Ambon Kelas IA sampai saat ini telah berganti pemimpinnya
atau ketua, sesuai tabel, sebagai berikut;
DAFTAR NAMA KETUA PENGADILAN AGAMA AMBON
DARI TAHUN 1958 SAMPAI TAHUN 2016
No N a m aPangkatTerakhir
PendidikanTerakhir
TahunMendudukiJabatan
1. KH. Salem Hatapayo 1958
2. A. Hamid Tuasikal Pengatur Tk. I(II/d)
SarjanaMuda
1972-1981
3. KH. Asyiri Penata Muda
Tk. I (III/b)
S.1 Syariah 1981-1985
4. Drs. Alimin Patawari Penata (III/c) S.1 Syariah 1985-1990
5. Drs. Noer Khalil Penata MudaTk.I (III/b)
S.1 Syariah 1990-1994
6. Drs. Umar Laisow Pembina(IV/a)
S.1 Syariah 1994-1998
7. Drs. MaskurLatuconsina
Pembina Tk. I(IV/b)
S.1 Syariah 1998-2003
8. Drs. H. Moh FasiholHasanuddin,SH.MH. (Pjs)
Penata (III/c) S.2 Hukum 2003-2004
56
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
9. Drs. Abd. RazakPellu,SH.MH.
Pembina Tk.I(V/b)
S.2 Hukum 2004-2005
10 Drs. H. Moh FasiholHasanuddin,SH.MH. (Pjs)
Penata (III/d) S.2 Hukum 2005-2006
11 Drs. MuhammadAlwi, MH.
Pembina Tk.I(IV/b)
S.2 Hukum 2006 s.d2012
12 Drs. H IlhamMusaddaq.SH.MH
PembinaUtama MadyaTk I.(IV/D)
S.2 Hukum 2013 -2014
13 Drs. H.Ediwarman,SH.MHI
PembinaUtama Madya
Tk.I (IV/D)
S.2 Hukum 2013sekarang
Sumber Data: data Pengadilan Agama Ambon Klas IA
3. Visi, Misi, Tujuan dan Rencana Strategis Pengadilan Agama
Ambon Klas IA
Pengadilan Agama Ambon Klas IA sebagai lembaga peradilan
yang melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di tingkat pertama
dalam wilayah Hukum Kota Ambon dan sekitarnya, sebagai berikut;
1. Visi
Terwujudnya Pengadilan Agama Ambon Klas IA yang mandiri,
berwibawa dan bermartabat dalam penegakan hukum dan
keadilan menuju supremasi hukum.
2. Misi
Berdasarkan visi Pengadilan Agama Ambon KLas IA maka
ditetapkan beberapa misi Pengadilan Agama Ambon Klas IA,
yaitu dengan mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan dengan melalui 3 (tiga) pilar utama :
a) Peningkatan pelayanan hukum dan keadilan kepada
masyarakat.
b) Peningkatan kualitas sumber daya aparatur peradilan.
c) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
Pengadilan Agama Ambon Klas IA sebagai lembaga peradilan
yang melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman (Yudikatif) dalam
57
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
wilayah hukum kota Ambon dan sekitarnya, berwenang mengadili
perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama Ambon Klas IA,
serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tingkat kinerja
aparatur Pengadilan Agama Ambon Klas IA.
Secara umum tugas dan wewenang pengadilan Agama
melaksanakan tugas pokok Sebagai kawal depan Mahkamah Agung
R.I., Pengadilan Tinggi Agama Ambon mempunyai tugas dan
kewenangan dibidang Teknis Yudisial dan Non Yudisial, sebagai
berikut;
1. Teknis Yudisial:
Tugas teknis yudisial tercantum dalam pasal 51 dan pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Adapun uraiannya; Pasal 51
Undang-
Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi
sebagai berikut;
a. Memberikan pelayanan teknis yudisial dan administrasi perkara
banding.
b. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat, tentang
Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta.
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.
d. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
pertama dan tingkat banding.
e. Memberikan pelayanan administrasi umum di lingkungan
Pengadilan Tinggi Agama Ambon dan Pengadilan Agama
sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Ambon.
Sedangkan pasal 51 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ayat
Ayat (2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang
58
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pasal 52 ayat (1) :
Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta.
2. Non Teknis Yudisial :
Adapun tugas pengadilan agama secara non teknis yudisial
diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
perubahan kedua Undang-Undang No 7 Tahun 1989, sebagai berikut;
a. Memberikan pelayanan teknis yudisial dan administrasi perkara
banding.
b. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat, tentang
Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta.
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera, Sekretaris dan Juru Sita di daerah hukumnya.
d. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
pertama dan tingkat banding.
e. Memberikan pelayanan administrasi umum di lingkungan
Pengadilan Tinggi Agama Ambon dan Pengadilan Agama
sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Ambon.
Ayat (2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Penyelenggaraan tugas pokok tersebut berkaitan erat dengan
tuntutan masyarakat akan kemandirian hukum dan keadilan,
penegakan supremasi hukum, proses peradilan yang cepat, sederhana
dan biaya ringan untuk semua lembaga peradilan termasuk Pengadilan
Agama Ambon Klas IA sehingga mengambil satu langkah fundamental
yang dijabarkan melalui perencanaan program kerja, baik program kerja
59
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
tahunan (1 tahun) maupun program kerja 5 tahunan, guna peningkatan
kondisi dan kinerja Pengadilan Agama Ambon Klas IA melalui rencana
strategis.
Rencana strategis Pengadilan Agama Ambon Klas IA yang
didasarkan atas perumusan visi dan misi Pengadilan Agama Ambon
Klas IA, yang dituangkan dalam tujuan dan sasaran, yang dijabarkan
dalam kebijakan dan program, sebagai berikut :
a. Tujuan
1. Meningkatnya pelayanan hukum pada masyarakat.
2. Meningkatnya tingkat pendidikan aparatur peradilan.
3. Meningkatnya moralitas dan integritas aparatur peradilan.
4. Meningkatnya kualitas administrasi perkara.
5. Meningkatnya kualitas administrasi kepegawaian, keuangan dan
umum.
6. Meningkatnya pembinaan dan pengawasan aparatur peradilan.
7. Meningkatnya persediaan sarana dan prasarana hukum.
4. Kondisi dan Struktur Pengadilan Agama Klas IA Ambon
Sumber daya manusia pada Pengadilan Agama Ambon Klas IA
yang merupakan aparat pelaksana atau pelayanan hukum masyarakat,
bahwa terwujudnya penyelenggaraan peradilan yang optimal dan
bermartabat sangat ditentukan oleh unsur pelaksana hukum, baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya.
Secara Secara kuantitatif Pengadilan Agama Ambon mempunyai
tenaga sumber daya sejumlah 53 orang terdiri dari :
No Jabatan Jumlah
1 Hakim 5 orang
2 Panitera / Panitera Pengganti 12 orang
3 Jurusita / Jurusita Pengganti 9 orang
4 Tenaga Struktural 4 orang
5 Staf Pelaksana (termasuk Cakim dan CPNS 20 orang
Sedangkan struktur organisasi pengadilan Agama Ambon Klas IA dapat
dilihat pada struktur organisasi, sebagai berikut;
60
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
61
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
B. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Berdasarkan observasi lapang dan hasil wawancara peneliti
lakukan di pengadilan Agama Klas I A Ambon, bahwa ada beberapa
faktor yang berhubungan dengan kesiapan pengadilan agama kelas IA
Ambon dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah, sebagai
berikut;
Secara garis besar hal pokok yang mempengaruhi sehingga
sampai saat ini di pengadilan agama kelas IA Ambon belum
menyelesaiakan atau belum ada pengaduan permasalahan sengketa
perbankan syariah, yakni; persoalan sumber daya manusia (hakim),
infrastruktur terkait dengan persidangan sengketa perbankan syariah
dan pengeahuan masyarakat tentang penyelesaian sengketa perbankan
syariah yang telah menjadi kewenagan pengadilan Agama berdasarkan
UU No. 3 Tahun 2006 tentang kewenangan pengadilan agama dan UU
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Merujuk pada tiga faktor tersebut, selanjunya peneliti
mengelolanya dengan menggunakan wawancara dengan hakim yang
ada di pengadilan Agama Kelas IA Ambon, berdasarkan instrumen
wawancara, sebagai berikut;
1. Sumber Daya Manuasi (HAKIM) Pengadilan Agama Ambon
Kelas IA
a. Hakim pengadilan Agama Ambon Kelas IA memiliki
kompotemnsi menyelesaikan sengketa perbankan syariah
Sesuai hasil wawancara dengan instrument bagian
pertama no. 1 tentang Hakim pengadilan Agama Ambon
memiliki kompotensi menyelesaikan sengketa perbankan syariah
dengan 5 hakim di Pengadilan Agama Kelas IA Ambon, cukup
bervariasi, sebagai berikut;
Hasil wawancara dengan Drs Dasri Akil, SH sebagai
berikut;
Pada dasarnya hakim di Pengadilan Agama Kelas IA
Ambon ini, telah memiliki kompotensi dalam
62
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
menyelesaiakan sengketa perbankan syariah berdasarkan
kompotensi secara pengalaman pribadi dalam
menyelesaikan kasus-kasus di pengadilan agama dengan
mempelajari kitab-kitab fiqhi baik itu secara klasik atau
kontemporer. Namun secara akademik misalnya hakim
belum memiliki gelar akademik secara spesifikasi
sebagaimana sekarang ini telah ada spesifikasi sarjana
ekonomi Islam atau Master pengkajian Islam dalam
bidang ekonomi Islam atau ekonomi syariah.78
Sejalan dengan hasil wawacara tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh H. Alimin A. Sanggo, SH, dalam wawancara,
sebagai berikut;
Pada dasarnya para hakim di Pengadilan Agama Kelas IA
Ambon ini, telah memiliki kompotensi dalam
menyelesaiakan sengketa perbankan syariah berdasarkan
kompotensi secara pengalaman pribadi dalam
menyelesaikan kasus-kasus di pengadilan agama, dengan
dasar bahwa setiap hakim pernah di tugaskan di daerah-
daerah lain di lingkup pengadilan agama se-Indonsia,
sehingga memiliki pengalaman kaitan dengan kasus
sengketa ekonomi syariah secara umum dan khususnya
kasus sengketa perbankan syariah.79
Juga menurut Drs. Salahuddin, SH.MH, berdasarkan hasil
wawacara sebagaimana dikemukakan, sebagai berikut;
Hakim di Pengadilan Agama Kelas IA Ambon ini, telah
memiliki kompotensi pribadi dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah berdasarkan pengalaman
yang dimiliki dalam menjalankan tugas sebagai hakim
yang mana dituntut untuk menguasai kaidah-kaidah fiqhi
dalam hal memutuskan suatu perkara. Oleh karenanya
maka ketika ada permasalahan yang diajukan ke
78 Drs Dasri Akil, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 201679 H. Alimin A. Sanggo, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 3 Agustus 2016
63
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
pengadilan agama kelas IA Ambon, secara otomatis dapat
diproses dan diselesaiakan dengan dasar-dasar dan
ketentuan undang-undang yang berlaku, misalnya telah
ada Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, Kompilasi Hukum Islam dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai rujukan.80
Selain pendapat tersebut berdasarkan hasil wawacara
sebagaimana dikemukakan oleh Drs. Abd. Razak Payapo dan
Dra. Nurhayati Latuconsina, sebagai berikut;
Hakim pengadilan agama pada dasarnya telah memiliki
dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang Islam karena hakim
di pengadilan agama rata-rata alumni pergurun tinggi
Islam yang memiliki besik ilmu keperdataan Islam,
sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak terlalu sulit.
Satu yang perlu diingat bahwa sengketa perbankan
syariah merupakan hal baru setelah ada aturan dan
pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia, namun
secara hakikatnya lembaga keuangan syariah atau
perbankan syariah telah ada mislanya dalam kontrak
dagang.81
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka
dapatlah disimpulkan bahwa Hakim pengadilan agama pada
dasarnya telah memiliki kompotensi dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah karena hakim pengadilan agama
rata-rata memiliki besik pendidikan Islam di satu sisi, di sisi lain
bahwa hakim pengadilan agama dalam menjalankan tugasnya
sebagai hakim dalam memutuskan suatu perkara selalu
berdasarkan kaidah-kaidah fiqhi selain aturan dan yurispunsi
sebelumnya.
80 Drs. Salahuddin, SH.MH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 2 Agustus 201681 Drs. Abd. Razak Payapo dan Dra. Nurhayati Latuconsina, Hakim Pengadilan Agama
Ambon Kelas IA,
64
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
b. Hakim pengadilan agama Ambon telah memiliki kemampuan
akademik dalam proses penyelesaian sengketa perbankan
Adapun kompotensi akademik hakim pengadilan agama
Kelas IA Ambon, yang dimiliki belum ada terkait dengan
spesifikasi ekonomi syariah, sebagaimana hasil wawancara,
sebagai berikut;
Hasil wawacara dengan Drs Dasri Akil, SH dan Dra.
Nurhayati Latuconsina, mengemukakan sebagai berikut;
Hakim pengadilan agama Kelas IA Ambon, belum
memiliki hakim yang memiliki kompotensi akademik
ekonomi syariah, sehingga dalam menyikapi hal tersebut
kementerian Hukum dan HAM mengadakan kursus
sertifikasi ekonomi syariah selain melanjutkan pendidikan
pada jenjang magister.82
Hal senada diungkapkan oleh H. Alimin A. Sanggo, SH,
dalam wawacara, sebagai berikut;
Bahwa ketika berbicara tentang kompotensi akademik
hakim pengadilan agama Kelas IA Ambon terkait dengan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan perbankan
syariah, belum ada dengan bukti bahwa belum ada hakim
yang memiliki gelar setingkat magister dalam bidang
ekonomi syariah. Namun dalam rangka menyikapi hal
tersebut maka kementerian Hukum dan HAM
mengadakan pendidikan khusus ekonomi syariah kepada
hakim pengadilan agama se Indonesia dan sampai saat ini
hakim pengadilan agama kelas IA Ambon belum ada yang
mengikuti pelatihan tersebut.83
Merujuk pada hasil wawancara tersebut, maka dapatlah
dipahami bahwa hakim pengadilan Agama Ambon Kelas IA, jika
ditinjau dari kemampuan akademiknya sesungghnya belum ada
82 Drs Dasri Akil, SH dan Dra. Nurhayati Latuconsina, Hakim Pengadilan Agama AmbonKelas IA,
83 H. Alimin A. Sanggo, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 3 Agustus 2016
65
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
dengan bukti bahwa rara-rata hakim masih strata satu dan jika
bergelar magister hanya sebagian saja dan belum ada hakim yang
memiliki sertifikat ekonomi syariah dari mahkamah agung.
c. Dalam rangka penyelesaian sengketa perbankan upaya apa
yang dilakukam oleh hakim pengadilan Agama Kelas IA
Ambon
Sesuai dengan instrument wawancara tentang upaya yang
dilakukam oleh hakim pengadilan Agama Kelas IA Ambon
dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah, sebagai
berikut;
Hal tersebut, Sebagaimana dikemukakan oleh Drs.
H.Ediwarman.SH.MHI, dalam hasil wawancara, sebagai berikut;
Upaya hakim pengadilan Agama Kelas IA Ambon dalam
rangka menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan
meyiapkan diri, sering berdiskusi dengan sesama hakim,
mempelajari aturan-aturan terkait dengan ekonomi
syariah mislanya; Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, Undang-Undang no 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah. Selain hal tersebut
sesungguhnya yang menjadi dasar pertimbangan hakim
pengadilan agama adalah kitab-kitab fiqhi baik itu kitab
klasik maupun kitab fikhi kontemporer, sehingga jika ada
masyarakat yang bekepentingan mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat
diselesaiakan di pengadilan agama kelas IA Ambon.84
Hal senada terkait upaya hakim pengadilan agama Kelas
IA Ambon, sebagaimana dikemukakan oleh Drs Dasri Akil, SH,
sebagai berikut;
Sesungguhnya kami hakim pengadilan agama sudah
menjadi kewajiban untuk mempelajari kitab-kitab fiqhi
baik itu kitab klasik maupun kitab fikhi kontemporer
84 Drs. H.Ediwarman.SH.MHI, Ketua Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 2016
66
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
dalam rangka menyelesaikan atau memutuskan perkara
secara umum baik itu kasus perceraian, kasus kewarisan
yang telah dikakukan, sehingga jika ada persoalan yang
diajukan terkait dengan sengketa perbankan syariah dapat
di selesaiakn dengan dasar telah ada aturan-aturan
tentang hal tersebut.85
Merujuk pada uaraian hasil wawancara tersebut di atas,
maka dapatlah disimpulkan bahwa jika ada kasus yang diajikan
di pengadilan agama Ambon kelas IA, maka upaya para hakim
untuk menambah pengetahuannya dalam rangka memutuskan
perkara dengan mempelajari kitab-kitab fiqhi baik klasik maupun
kontemporer, kompilasi hukum Islam, Undang-Undang no 21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah dan kompilasi hukum
ekonomi syariah serta putusan-putusan hakim pengadilan agama
wilayah lain di Indonesia.
d. Respon hakim pengadilan Agama kelas IA Ambon dalam
menyikapi kewenangan pengadilan agama dalam
penyelesaian sengketa pasca penetapan UU No 3 Tahun 2003
tentang kewenangan Absolut Pengadilan Agama dan UU No
21 Tahun 2008 tentang perbankan.
Sesuai dengan instrument wawancara tentang respon
hakim pengadilan Agama kelas IA Ambon dalam menyikapi
kewenagan pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa
pernakan syariah di kota Ambon, sebagaimana dikemukakan
oleh Syariah Drs Dasri Akil, SH, sebagai berikut;
Perluasan kewenangan pengadilan Agama tentang
hakim pengadilan Agama kelas IA Ambon lebih belajar
lagi baik dari buku, web resmi mahkamah agung, maupun
kemungkinan untuk kita berdiskusi tentang ekonomi
85 Drs Dasri Akil, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 2016
67
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
namun sampai saat ini belum ada yang berhasil untuk
mengikuti pelatihan tersebut.86
Kaitannya dengan, juga dikemukakan oleh H. Alimin A.
Sanggo, SH, dalam hasil wawancara, sebagai berikut;
Dengan ditetapkannya UU No 3 Tahun 2003 tentang
kewenagan Absolut Pengadilan Agama dan UU No 21
Tahun 2008 tentang perbakan Syariah, maka mau tidak
mau hakim pengadilan agama kelas IA Ambon harus
menyiapkan diri, baik itu secara akademik yakni berusaha
untuk melanjutkn pendidikan khusus tentang ekonomi
syariah maupun secara pribadi mempelajari kitab undang-
undang maupun kitab fikhi dan atau mengikuti
perkembangan penyelesaian perbankan syariah di
pengadilan agama di wilayah lain se Indonesia agar dapat
mengakses perkembangan tersebut sebagai bahan rujukan
dalam rangka proses penyelesaian hal tersebut.87
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka
dapatlah dipahami bahwa para hakim pengadilan Agama Kelas
IA Ambon dalam rangka menyelesaikan sengketa perbankan
syariah dengan meyiapkan diri dengan berbagai cara, sering
berdiskusi dengan sesama hakim, mempelajari aturan-aturan
terkait dengan ekonomi syariah mislanya; Kompilasi Hukum
Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Undang-Undang No
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan kitab-kitab fiqhi
baik itu kitab klasik maupun kitab fikhi kontemporer di satu sisi.
Di sisi lain hakim pengadilan agama Kelas IA Ambon berusaha
untuk mengikuti program yang dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung terkait pendidikan dan pelatihan ekonomi syariah, namun
86 Drs Drs Dasri Akil, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 201687 H. Alimin A. Sanggo, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 3 Agustus 2016
68
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
hakim pengadilan agama Kelas IA Ambon belum ada yang lulus
untuk mengikuti pendidikan tersebut.
2. Infrastruktur
a. Pasca penetapan UU No 3 Tahun 2003 dan UU No 21 Tahun
2008 tentang perbakan Syariah, apakah pengadilan agama
Ambon telah mempersiapkan infrastruktur dalam proses
penyelesaian sengketa perbankan syariah
Sesuai dengan instrument tentang infrastruktur
penyelesaian sengketa perbankan syariah pada pengadilan
agama kelas IA Ambon, sebagaimana dikemukakan oleh Drs.
Salahuddin, SH.MH, sebagai berikut;
Setiap Pengadilan Agama diwajibkan mempunyai Majelis
Khusus pemutus sengketa Ekonomi syariah atau
Ambon sampai saat ini belum ada, disebabkan sampai saat
ini belum ada satu kasus pun yang diajukan ke pengadilan
agama Kelas IA Ambon, sehingga walaupun itu telah
menjadi kewajiban akan tetapi tetap belum diadakan.88
Hal senada dikemukakan oleh Drs.
H.Ediwarman.SH.MHI dalam wawancara, sebagai berikut;
Dipengadilan agama Kelas IA Ambon smpai saat ini
belum ada infrastruktur yang disiapakan dalam rangka
meyelesaikan sengketa ekonomi syariah atau perbankan
syariah disebabkan belum ada yang mengajukan kasus
sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah di satu
sisi, di sisi lain faktor pengadilan agama sendiri yang
belum menyiapkan hal tersebut, walaupun sebenarnya
telah diamanatkan dalam Undang-Undang No 3 Tahun
2006 Tentang Kewenangan pengadilan Agama.89
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka
dapatlah dipahami bahwa sesuai amanat undang-undang no
88 Drs. Salahuddin, SH.MH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 2 Agustus 201689 Drs. H.Ediwarman.SH.MHI, Ketua Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 2016
69
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
3 tahun 2006 tentang kewennagan absolute pengadilan
agama, maka seharusnya setiap pengadilan agama
menyediakan infrastruktur dan majelis dalam rangka
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah atau sengketa
perbankan syariah, namun pada pengadilan agama Ambon
kelas IA belum ada.
b. Dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah,
apakah ada perbedaan dengan proses persidangan perceraian
Sesuai dengan instrument tentang perbedaan proses
penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan proses
persidangan perceraian, sebagaimana hasil wawancara yang
dikemukakan oleh Drs. Abd. Razak Payapo , sebagai berikut;
Tentunya proses penyelesaian sengketa perbankan syariah
memiki perbedaan dengan proses persidangan
penyelesaian perceraian, sehingga terkait dengan
penyelesaain sengketa ekonomi syariah atau sengketa
perbankan ayariah harus diadakan majelis khusus dan
diharuskan ada yang telah memiliki sertifikat pelatihan
oleh Mahkamah Agung. Pengadilan Agama Kelas IA
Ambon dalam hal ini belum memiliki hakim yang
memiliki setifikat pelatihan ekonomi syariah.90
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Dra. Nurhayati
Latuconsina dalam wawancara, sebagai berikut;
Dalam persidangan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah atau perbankan syariah dilakukan secara khusus
dan berbeda dengan persidangan kasus perceraian yang
mana dalam hal tersebut diharuskan memiliki majelis
khusus untuk menyelesaikannya dengan persyaratannya
hakim yang memahami dan mengerti sekaligus
diwajibkan memiliki sertifikat pelatihan ekonomi syariah,
90 Drs. Abd. Razak Payapo, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 4 Agustus 2016
70
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
selain harus memiliki kompotensi khusus terkait dengan
ekonomi syariah atau perbankan syariah.91
Sejalan dengan hasil wawancara tersebut, maka
dapatlah dipahami bahwa dalam rangka penyelesaian
sengketa perbankan syariah memiliki perbedaan dengan
persidangan kasus perceraian yang mana dalam hal tersebut
diharuskan memiliki majelis khusus untuk menyelesaikannya
dengan persyaratannya hakim yang memahami dan mengerti
sekaligus diwajibkan memiliki sertifikat pelatihan ekonomi
syariah, selain harus memiliki kompotensi khusus terkait
dengan ekonomi syariah atau perbankan syariah
c. Penyebab pengadilan agama kelas IA Ambon belum
mempersiapkan majelis persidangan ekonomi syariah atau
perbankan syariah.
Merujuk pada instrumen wawancara penyebab
pengadilan agama kelas IA Ambon belum mempersiapkan
majelis persidangan ekonomi syariah atau perbankan syariah,
maka dapat dijelaskan berdasarkan hasil wawancara dengan
hakim, Drs Dasri Akil, SH, sebagai berikut;
Sebab pengadilan agama kelas IA Ambon, belum ada
maelis khusus yang menyelesaian sengketa ekonomi
syariah atau perbankan syariah, dikarenakan sampai saat
ini belum ada kasus yang diajukan untuk diselesaikan di
asatu sisi, disisi lain sebenarnya hakim yang ada di
pengadilan agama Kelas IA Ambon belum memiliki
kompotensi akademik dan sertifikat pelatihan ekonomi
syariah atau gelar akademik spesikasi ekonomi syariah.92
Senada dengan hasil wawancara tersebut di atas,
dibenarkan oleh ketua pengadilan agama kelas IA Ambon,
91 Dra. Nurhayati Latuconsina, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
92 Drs Dasri Akil, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 2016
71
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Drs. H.Ediwarman.SH.MHI, sebagaimana hasil wawancara
sebagai berikut;
Sebenarnya pengadilan agama kelas IA Ambon, telah
merespon semua hal tersebut namun sampai saat ini
belum ada pengajuan dari masyararakat terkait dengan
sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah,
sehingga majelis hakim dan infrastrukturnya pun belum
disiapkan. Akan tetapi apapun alasannya pengadilan
agama kelas IA Ambon akan tetap mempersiapkan diri
dalam rangka menjalankan hal tersebut dengan bukti para
hakim dianjurkan untuk mengikuti tes seleksi peserta
pelatihan ekonomi syariah yang walaupun belum ada
yang lulus untuk mengkuti pelatihan tersebut.93
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapatlah
disimpulkan bahwa sebab-sebab majelis khusus meyelesaikan
sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah belum
diadakan baik itu infra strukturnya maupun majelis
hakimnya di pengadilan agama kelas IA Ambon karena tidak
adanya pengajuan kasus dari masyarakat dan belum ada
hakim pengadilan agama kelas IA Ambon yang memiliki
sertifikat ekonomi syariah dan belum ada hakim yang
memiliki kompotensi atau gelas akademik khusus ekonomi
syariah.
3. Pengetahuan Masyarakat
Sesuai dengan instrument pengetahuan masyarakat
tentang penyelesaian ekonomi syariah atau perbankan syariah
pada pengadilan agama kelas IA Ambon, sebagai berikut;
a. Pengetahuan masyarakat tentang penyelesaian perbankan
syariah sesuai UU No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan
pengadilan Agama.
93 Drs. H.Ediwarman.SH.MHI, Ketua Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 2016
72
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Berdasarkan instrument tersebut sebagaimana keterangan
yang dikemukakan oleh H. Alimin A. Sanggo, SH dalam
wawancara, sebagai berikut;
Sesungguhnya masyarakat belum mengetahui secara pasti
mengenai UU No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan
absolute pengadilan Agama, yang mana dijelaskan
didalamnya bahwa sengketa ekonomi syariah atau
perbankan syariah sudah menjadi kewenagan dari
pengadilan agama. Hal tersebut sebagaimana dapat
dibuktikan dengan msyarakat tidak mengajukan
permasalahan sengketa perbankan walaupun di Ambon
telah banyak beropersi perbankan syariah.94
Hal senada dikemukakan juga oleh Dra. Nurhayati
Latuconsina Dalam hasil wawancara, sebagai berikut;
Masyarakat kota Ambon secara garis besar mereka tidak
mengetahui tentang sengketa ekonomi syariah atau
sengketa perbankan syariah sudah menjadi kewenangan
pengadilan agama sejak diterbitkannya UU No 3 Tahun
2006 tentang kewenangan absolute pengadilan Agama,
maka dalam prakteknya sesungguhnya harus
dilaksanakan di pengadilan agama. Karena keterbatasan
pengetahuan masyarakat tersebut, sehingga amat UU No
3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolute pengadilan
Agama belum dijalan oleh pengadilan agama Ambon
kelas IA.95
Merujuk dari hasil wawancara tersebut di atas, maka
dapatlah disimpulkan bahwa masyarakat kota Ambon belum
mengetahui secara pasti mengenai UU No 3 Tahun 2006 tentang
kewenangan absolute pengadilan Agama, sehingga dalam
pelaksanaannya terkait dengan sengketa perbankan syariah
sampai saat belum ada yang diajukan dan diselesaiakn di
94 H. Alimin A. Sanggo, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 3 Agustus 201695 Dra. Nurhayati Latuconsina, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
73
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
pengadilan agama Ambon kelas IA. Hal tersebut merupakan
suatu realitas dan menjadi tanggungjawa pengadilan agama dan
instansi terkait untuk mensoasialisaikannya sehingga dapat
dimengerti dan diaplikasikan.
b. Jika ada sosialisasi yang dilkukakan oleh hakim pengadilan
agama Ambon, bagaimana pandangan masyarakat tentang
hal tersebut
Berdasarkan instrument tersebut sebagaimana keterangan
yang dikemukakan oleh Drs Dasri Akil, SH dalam wawancara,
sebagai berikut;
Mengenai upaya pengadilan agama mensosialisasikan UU
No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolute
pengadilan Agama, kepada masyarakat, seharusnya
pengadilan agama melaksanakannya namun karena
keterbatasan anggaran mengenaihal tersebut maka
pengadilan agama Ambon kelas IA tidak
melasksanakannya. Hal tersebut dengan alasan bahwa
kegiatan tersebut seharusnya dimasukkan dalam kegiatan
bimbingan teknis namun hal tersebut juga telah dihapus.96
Hal tersebut dibenarkan oleh Drs. Abd. Razak Payapo,
sebagaimana hasil wawancara, sebagai berikut;
Dalam hal mensosialisasikan perlusan kewenangan
pengadilan agama sesuai amant UU No 3 Tahun 2006
tentang kewenangan absolute pengadilan Agama di
pengadilan agama Ambon kelas IA, terasa tidak jalan
karena keterbatasan anggaran yang diberikan, apalagi
program-program penting yang seharusnya dilaksanakan
tidak lagi dilaksanakan, seperti program bimbingan teknis
dan kegiatan lain yang sekiranya dapat membantu
memberikan pemahaman dan pengertian kepada
masyakat kota Ambon telah ditiadakan.97
96 Drs Dasri Akil, SH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 201697 Drs. Abd. Razak Payapo, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 4 Agustus 2016
74
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Dari hasil wawncara tersebut di atas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa pengadilan agama Ambon kelas IA,
sebenarnya berupaya semaksimal mungkin dalam rangka
mensosialisasikan perlusan kewenangan pengadilan agama
sesuai amant UU No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolute
pengadilan Agama, namun dengan peniadaan program, seperti
bimbingan kepada masyarakat sehingga para hakim terasa
pesismis untuk melaksanakan hal tersebut.
c. Jika tetap ada masyarakat yang menyampaikan persoalan
terkait dengan sengketa perbankan syariah, apa yang
diupayakan oleh pengadilan agama untuk dapat
melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan instrument tersebut sebagaimana keterangan
yang dikemukakan oleh Drs. Salahuddin, SH.MH dalam
wawancara, sebagai berikut;
Pada dasarnya hakim pengadilan bersikap pasif, dalam
artian jika ada pengaduan dari masyarakat maka
diupayakan agar kasus tersebut untuk diselesaikan.
Namun jika tidak ada pengajuan kasus dari masyarakakat,
maka tidak ada jalan lain selain hakim hanya menunggu
di satu sisi, di sisi lain hakim tidak ada upaya lain untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat karena saat
ini tidak ada program untuk mensosialisasikan hal
tersebut kepada masyarakat.98
Selain hasil wawancara tersebut, juga sebagaimana
dijelaskan oleh ketua pengadilan agama Ambon kelas IA, Drs.
H.Ediwarman.SH.MHI mengemukakan dalam wawancara,
sebagai berikut;
Berkenaan dengan pengetahuan masyarakat terkait
dengan sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah
telah menjadi kewenangan pengadilan agama, namun
sampai saat ini masyarakat kota Ambon belum ada yang
98 Drs. Salahuddin, SH.MH, Hakim Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 2 Agustus 2016
75
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
mengajukan kasus terkait dengan sengketa perbankan
syariah mungkin disebabkan keterbatasan pengetahuan
tentang hal tersebut. Adapun upaya para hakim untuk
memberikan pengeahuan kepada masyarakat sangat
minimal, karena pada dasarnya tidak ada program untuk
untuk mensosialisasikan hal tersebut, karena hal tersebut
dapat dimasukkan dalam program bimbingan teknik
namun program tersebut pun telah dihapus.99
Merujuk pada uraian wawancara tersebut di atas, maka
dapatlah disimpulkan bahwa masih kurangnya pemahaman
masyarakat kota Ambon tentang sengketa perbankan syariah
telah menjadi kewenangan pengadilan agama. Hal tersebut
terjadi disebabkan kurangnya upaya pengadilan agama untuk
memberikan pemahaman terhadap masyarakat. Hal lain karena
pelaku usaha dalam bidang perbankan syariah kurang
mengalami kendala, atau boleh jadi bahwa penyelesaian sengketa
tersebut diselesaikan secara non litigasi berdasarkan isi perjanjian
yang telah disepakati sejak awal.
2. Pembahasan
Berdasarkan uraian hasil wawancara tersebut di atas, maka
berikut akan diuraikan pembahasan dalam bentuk analisis dalam tiga
komponen yakni; kompotensi Sumber daya hakim, infrastruktur
pengadilan agama Ambon kelas IA dan pemahaman masyarakat
terhadap kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaiakan
sengketa perbankan syariah, sebagai berikut;
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian penulis di
Pengadilan Agama Ambon Kelas IA yang menjadikan faktor hambatan
h atau perbankan syariah di
Pengadilan Agama Ambon Kelas IA, antara lain:
99 Drs. H.Ediwarman.SH.MHI, Ketua Pengadilan Agama Ambon Kelas IA,
Tanggal 1 Agustus 2016
76
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
1. Faktor Sumber Daya Manusia di Pengadilan Agama Ambon
Kelas IA
Berdasarkan factor Sumber Daya hakim di Pengadilan
Agama Ambon Kelas IA, sesungguhnya para hakim telah
melakukan perbaikan-perbaikan baik secara pribadi sebagai
hakim maupun secara kelembagaan pengadilan agama itu
sendiri, sebagaimana hasil wawancara dengan hakim pengadilan
Pengadilan Agama Ambon Kelas IA, hasil kesimpulannya bahwa
mereka berusaha mempelajari buku-buku atau referensi fiqhi
baik itu kalasik maupun kontemporer, mempelajari regulasi-
regulasi pendukung misalnya kompilasi hukum Islam KHI),
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan regulasi dalam
bentuk Undang-Undang no 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah serta regulasi lain yang dapat menopang pelaksanaan
tugasnya.
Di sisi lain, bahwa mahkamah agung yang menaungi
semua lembaga peradilan di Indonesia memfasilitasi para hakim
pengadilan agama di Indonesia dalam rangka perbaikan
kemampuan hakim secara akademi dengan diadakannya
pelatihan ekonomi syariah, selain itu ada program pendidikan
jenjang lanjutan dalam gelar ekonomi syariah.
Hal tersebut, sejalan dengan pesatnya perkembangan
bisnis berbasis pada ekonomi syariah yang sejalan dengan
perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani
sengketa ekonomi syariah, tentu akan memberi konsekuensi
tersendiri bagi pengadilan agama, sehingga harus memiliki
hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa
ekonomi syariah, para hakim juga dituntut lebih responsif
terhadap perkembangan managemen peradilan yang lebih
modern. Bahkan seorang hakim pengadilan agama dalam hal
kesiapan mengadili sengketa ekonomi syariah akan dihadapan
dengan tantangan terbesar dalam menghadapi era turbulensi era
yang penuh dengan gejolak, sehingga perlu dilakukan reformasi
PIKR yaitu power, information, knowledge, reward. Power artikan
dimana seorang hakim dalam menghadapi sengketa ekonomi
77
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
syariah mampu mengambil keputusan sesuai ruang lingkup
kewenangannya, dan information yang diperoleh hakim harus
mengalir secara transparan dan horizontal sehingga putusanya
membawa rasa keadilan tanpa harus dihambat sekat-sekat
vertikal birokratis yang tidak perlu, sementara adanya knowledge
seorang hakim dapat menafsirkan sendiri setiap perkara yang
diterimanya melalui ijtihadnya jika belum ada ketentuan yang
mengatur tentang perkara tersebut sehingga tidak boleh menolak
dengan dalih hukum tidak mengaturnya, sedangkan reward bagi
seorang hakim yang memutus perkaranya tentu akan mendapat
nilai positif bagi pencari keadilan tentang kemampuan seorang
hakim dalam menangani kasus sengketa ekonomi syariah dan
yang terpenting mendapat nilai pahala dua jika benar dan nilai
satu jika salah dalam mengambil sebuah keputusan.100
Dengan demikian, berdasarkan uarain di atas, maka
dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya untuk menangani
sengketa ekonomi syariah, tentu akan memberi konsekuensi
tersendiri bagi pengadilan agama, sehingga hakim di Pengadilan
Agama Ambon Kelas IA harus memiliki hakim-hakim khusus
yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syariah, para
hakim juga dituntut lebih responsif terhadap perkembangan
managemen peradilan yang lebih modern. Bahkan seorang
hakim pengadilan agama dalam hal kesiapan mengadili sengketa
ekonomi syariah akan dihadapan dengan tantangan terbesar
dalam menghadapi era turbulensi era yang penuh dengan
gejolak, sehingga perlu dilakukan reformasi PIKR yaitu power,
information, knowledge, reward
2. Infrastruktur Di Pengadilan Agama Ambon Kelas IA Terkait
Dengan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Sesuai amat UU No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan
absolute pengadilan Agama, bahwa dalam rangka penyelesaian
sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah, maka
diwajibkan kepada pengadilan agama di seluruh wilayah
100 Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Cet. III; Jakarta: Gema
Insani Press, 2007), h. 149
78
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Indonesia agar menyiapkan suatu majelis khusus yang akan
menangani kasus sengketa sengketa ekonomi syariah atau
perbankan syariah. Adapun persyaratannya diharuskan
angotanya telah ada anggota Majelis khusus yang pernah
mendapatkan dan atau mempunyai sertifikat pelatihan
Berdasarkan uraian tersebut, maka sesuai realitas hasil
wawancara dengan hakim di pengadilan agama Ambon kelas IA
belum ada dengan alasan di satu sisi sampai saat ini belum ada
pengajuan dari masyarakat terkait dengan sengketa ekonomi
syariaah atau sengketa perbankian syariah. Di sisi lain kurangnya
infrastruktur yang di siapkan di pengadilan agama Ambon Kelas
IA dan belum ada hakim yang mengikuti pelatihan sengketa
ekonomi syariah.
Dengan demikian, maka dapatlah disimpulkan bahawa di
pengadilan agama Ambon kelas IA, telah berupaya untuk
merespon dan menjalankan amat UU No 3 Tahun 2006 tentang
kewenangan absolute pengadilan Agama dengan berusaha untuk
mengikuti pelatihan dan pendaaan infrastruktur naming
terkendala dengan tidak adaya pengaduan dari masyarakat
terhadap hal tersebut.
3. Pemahaman masyarakat terhadap penyelesaian sengketa
perbankan syariah di PengadilanAgama Ambon Kelas IA
Secara umum, masyarakat belum mengetahui mekanisme
Agama. Hal ini berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat
sehingga diperlukan sosialisasi ke masyarakat tentang adanya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama dan hukum materiil lainnya yang mengatur kegiatan di
bidang keuangan ekono
yang beredar di kalangan masyarakat secara luas, bahwa jika
perkara atau sengketa diselesaikan melalui jalur pengadilan
(litigasi) akan membutuhkan uang atau dana, waktu yang tidak
sedikit.
79
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Kaitannya dengan itu, sesuai realitas berdasarkan hasil
wawancara denganhakim pengadilan agama Ambon kelas IA,
maka dikemuakkan secara umum yakni kurangnya pemahaman
masyarakat tentang UU No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan
absolute pengadilan Agama, bahwa sengketa ekonomi syariah
atau perbankan syariah menjadi kewenangan pengadilan agama
belum di ketahui oleh masyakat, sehingga berpengaruh kepada
pengaduan masyarakat.
Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi oleh
pengadilan agama Ambon kelas IA, dalam rangka menjalankan
amanat UU No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolute
pengadilan Agama tersebut kepada masyarakat kota Ambon
bahwa, kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknis terkait
dengan senketa perbankan syariah disebabkan oleh banyaknya
program bimbingan dan soaialisasi terhadap masyarakat.
Dengan demikian berdasarkan tiga factor utama yang
dikaji oleh peneliti terkait uraian-uraian hasil dan pembahasan
tersebut tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa
kendala atau hambatan yang dihadapi sekaligus menjadi
kelemahannya pengadilan agama Ambon kelas IA terkait dengan
perbankan syariah antara lain; keadaan kesiapan sumber daya
manusia para hakim masih kurang memadai, seringnya mutasi
hakim di lingkungan pengadilan agama, koleksi perpustakaan di
pengadilan agama secara kualitas maupun kwantitas belum
memadai, hukum materiil maupun formil yang mengatur
masyarakat berperkara di pengadilan khususnya pengadilan
agama karena membutukan biaya dan waktu yang banyak, serta
kurangnya sosialisasi berbagai ketentuan-ketentuan yang
masyarakat kota Ambon.
80
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan, maka peneliti dapatlah
menemukan beberapa kesimpulan yang signifikan terkait dengan penyelesaian
sengketa ekonomisyariah atau perbankan syariah, sebagai berikut;
1. Secara esensial pengadilan agama Ambon kelas IA, telah siap dalam
rangka menyelesaikan sengketa perbankan syariah terbukti hakim telah
meyiapkan diri dengan berbagai cara; sering berdiskusi dengan sesama
hakim, mempelajari aturan-aturan terkait dengan ekonomi syariah
misalnya; Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan kitab-
kitab fiqhi baik itu kitab klasik maupun kitab fikhi kontemporer di satu
sisi. Di sisi lain hakim pengadilan agama Kelas IA Ambon berusaha untuk
mengikuti program yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung terkait
pendidikan dan pelatihan ekonomi syariah namun belum ada yang lulus.
2. Sedangkan pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan syariah belum
dijalankan pengadilan agama Ambon kelas IA disebabkan; keadaan
kesiapan sumber daya manusia hakim masih kurang memadai, seringnya
mutasi hakim di lingkungan pengadilan agama, keengganan masyarakat
beperkara di pengadilan agama karena membutukan biaya dan waktu
yang banyak, serta kurangnya sosialisasi berbagai ketentuan-ketentuan
masyarakat kota Ambon.
B. Saran
Dengan hasil pemlitian tentang kesiapan pengadilan agama Ambon kelas
IA dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah, maka
penulis merekomendasikan bebrapa hal, sebagai berikut;
1. Dengan penelitian ini semoga dapat menambah khazanah pengetahuan
bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang mengangkat pokok permasalahan
tentang kesiapan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah atau perbankan syariah
81
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
2. Hasil penelitian ini, semoga menjadi bahan rujukan sekaligus masukan
terhadap pengadilan agama Ambon kelas IA dalam rangka menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah sekaligus mesespon
amat Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolute
pengadilan agama dan UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah
82
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
DAFTAR PUSTAKA
Amalia. Euis, M Taufiqi dan Dwi Nuraini, Konsep dan Mekanisme Bank Syariah,Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007
, Jakarta: Gema
Insani, 2001
----------------------------------, Bank Syariah Antara Teori Ke Praktek, Jakarta:
Gema Insani, 2005
Ariyanto dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust
Majalah Berita Ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April2006
Arto. A. Mukti, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri :Penerapan Asas Personalitas Keislaman Sebagai Dasar Penentuaan KekuasaanPengadilan Agama, Jakarta : Varia Peradilan, 2000
ASA, , serial Media Dakwah, Jakarta, Agustus, 1989
Aziz. M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia I dan II, Jakarta: Bangkit,1992
Basir. Cik, Penyelesaian Sengkat Bank Syariah, Jakarta: Kencana 2008
Brief Case Book, ,
Jakarta: Renaisan, 2005
Buchori. Ahmad, Prospek Bank Syariah di Indonesia; Peluangdan Tantangan,
Jakarta: Suara Ul dialag, 2006
Capra. M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press & Tazkia
Cendekia, 2000
Daulay. Sayuruddin, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Perspektif PolitikHukum (AnalisaTerhadap Hukum Perkawinan), Medan: UMSU Media, 2006
Dendawijaya. Lukman, Manajemen Perbankan, Cet. I; Jakarta : Ghalia Indonesia,2001
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Dewi. Gemala, Widyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam diIndonesia, Jakarta : Prenada Media, 2005
------------------, Aspek Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah diIndonesia, Jakarta: Kencana, 2006
Direktorat Perbankan Syariah bank Indonesia, Kodifikasi produk perbankansyariah, Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah bank Indonesia, 2008
Faisal. Afif,dkk, Strategi dan Opersional Bank, Bandung: Eresco, 1996
-MUI/IV/2000 tentang Jual BeliIstishna
140
83
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
-MUI/VII/2004 tentang PembiayaanMulti Jasa
Goble. Frank G, Mazhab Ketiga Psikologis Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta:
Kanisius, 1994
Hamimi. Taufiq, , dalam MimbarHukum, No. 59 Thn. XIV, 2003
Harahap. Yahya. Kedudukan, Kewenangan, Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: SinarGrafika, 2005
Irmayanto. Juli, et.al., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Media
Ekonomi Publishing, 1998
Irsyad. Syamsuhadi, ,makalah dalam Acara Sosialisasi UU. No.3 Tahun 2006 TentangPerubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 TentangPeradilanAgama, Medan, Tanggal 22-23 Desember 2006
Kansil. C.S.T., Pokok-Pokok Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramitha,1982
Karim. Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Cet. III;
Jakarta: Gema Insani, 2007
Kitab Undang-Undang Ekonomi Syariah, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentangPerbankan Syariah, Fokus Media, Bandung, 2011
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Koencoro, Metode Penelitian Masyarakat, Cet. II; Jakarta: Gramedia, 1981
Mannan. Abdul, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan
Baru Peradilan Agama, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islamdan Masyarakat Madani, 2011
Moleong. Lexy JMetode Penelitian Kualitatif, Bandung : RemadjaRosdakarja, 1999
Muhammad, Bank Syariah Problem dan Prospekk Perkembangan di Indonesia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005
---------------, Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: Ekonisia, 2004
Mujahidin. Ahmad, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia, Bogor: Ghalia, Indonesia, 2010
Natsir. M, Metode Penelitian, Cet. IV; Jakarta: Galia Indonesia, 1988
Noeh. Zaini Ahmad, Sejarah Peradilan Agama di Indonesia, (Laporan Hasil
Simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 8 s.d. 10 April 1982di Hotel USSU Cisarua Bogor), Bagian Proyek PembinaanAdministrasi Hukum dan Peradilan Agama, Departemen AgamaRI, 1982/1983.
84
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank danPenggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya.
PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam KegiatanPenghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa BankSyariah.
Perwataatmadja. Kernaen dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media, 2005
Rahardjo. Satjipto, Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga dalam Amrullah
et.al. (ed), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka PembangunanHukum Nasioal di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA, 1994
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: ZikrulHakimi, 20081
Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 61
Saeed. Abdullah, (Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank KaumNeo Revivalis, Alih Bahasa Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004
Saefuddi. A. M, Membumikan Ekonomi Islam, Cet. I; Jakarta: PT. PPA
Consultans, 2011
Santoso. Listyio Budi. Kewenangan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa, Semarang: Pusataka Undip 2009
Setyosari. Punaji, Metode Penelitian Pendidikan dan Perkembangannya, Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2010
Sholahuddin. M, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2006
Simorangki. O.P, Kamus Perbankan Inggris-Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, 2002
Sjahdeini. Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999
Soemitro. Ronny Hanitjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta :Ghalia Indonesia, 1990
Sri Susilo. Y, dkk, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat,
2000
Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003
-------------, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonesia, 2003
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Cet. II; Jakarta: Grafindo Persada,1997
Suharto, dkk, Konsep, Produk Dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta:
Djambatan, 2001
85
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Suyatno. Thomas, et.al, Kelembagaan Perbankan , Jakarta: PT. Gramesia
Pustaka, 1992
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang - UndangNo. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan AlternatifPenyelesaian Sengketa
Usman. Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2003
Wijaya. Krisna, Reformasi Perbankan Nasional, Jakarta: Harian Kompas, 2000
Zulkifli. Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: ZikrulHakim, 2003
86
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
DAFTAR ISTILAH
Borrower :
Pihak yang membutuhkan dana
Saver :
Pihak yang mempunyai kelebihan dana
Financial Intermediary :
Lembaga perantara keuangan
Surplus :
Kelebihan dana
Minus:
Kekurangan dana
Eksplisit :
Secara lengkap atau komprehensif
Litigasi :
Penyelesaian sengketa melalui proses persidangan
Musyawarah :
Sepakat untuk mufakat
Mediasi :
Perantara
Arbitrase Syariah :
Lembaga yang menangani sengketa ekonomi syariah
Idle Fund/Surplus Unit :
Menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana
Deficit Unit :
Pihak yang membutuhkan dana
Mudharabah :
Bagi hasil
Musyarakah :
Pembiayaan dengan penyertaan modal
Murabahah :
Prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan
Ijarah :
87
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
Sewa menyewa
ijarah wa iqtina :
Pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
Shahibul maal :
Pemilik dana
Mudharib :
Pengelola dana
Imperative :
Kewenangan
Sistem Peradilan Swapraja :
Sistem peradilan keliling
88
Studi Tentang Kesiapan Pengadilan Agama Ambon Kelas IA terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah menurut UU No. 3 Tahun 2006
INDEKS
Borrower, 2
Saver, 2
Eksplisit, 3
Litigasi,14,51, 92,95
Mediasi, 6, 14
Arbitrase syariah, 6,14
Mudharabah, 18,19,23,24,25,26,27,28
Musyarakah,18,19,25,26,28,29,30,
Murabahah,18,20,25
Ijarah,19,20,25,26,32,33
Shahibul maal, 27
Mudharib,27,28
Imperative,58
Absolut, 6,8,38,39,42,43,44,45,48,85,86,87,90,91,94,95,98
Kredit, 15,16,18,19,
Investasi,22,23,24,29
148