studi potensi daerah tertinggal

Download STUDI POTENSI DAERAH TERTINGGAL

If you can't read please download the document

Upload: hardiman-siagian

Post on 29-Oct-2015

198 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

STUDI POTENSI PENGEMBANGAN DAERAH TERTINGGAL DI 3 WILAYAH PERBATASAN RI

TRANSCRIPT

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 1

    BBBAAABBB III VVV

    IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI

    DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

    4.1. TELAAH KONDISI SOSIAL EKONOMI

    4.1.1. Desa Tes, Timor Tengah Utara

    Letak dan Keadaan Umum

    Desa Tes terletak di sebelah utara kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar

    25 km dari Kefamenanu ibukota kabupaten Timor Tengah Utara, di

    perbatasan dengan distrik Oecussi (Ambeno) Negara Timor Leste. Desa

    Tes berbatasan di sebelah Utara dengan Napan dan Timor Leste, sebelah

    Selatan dengan desa Buk, sebelah Timur dengan desa Sainoni dan

    sebelah Bara t dengan desa Napan dan Timor Leste.

    Secara administratif desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bikoni

    Utara, kecamatan yang baru dimekarkan dari Kecamatan Miomaffo Timur

    pada bulan Juli 2008. Salah satu alasan pemekaran Kecamatan Bikoni

    Utara adalah mendorong perkembangan wilayah tertinggal terutama

    desa -desa yang terletak di perbatasan dengan Timor Leste. Kecamatan

    Bikoni Utara terdiri dari 9 desa, yaitu desa Napan, Tes, Sainoni, Fainake,

    Haumeni, Baas, Banain A, Banain B, dan Banain C. Enam desa

    diantaranya termasuk desa yang berbatasan langsung dengan Timor

    Leste, yaitu Napan, Tes, Haumeni, Banain A, B dan C. Pos perbatasan

    utama terdapat di Desa Napan yang dilengkapi pos dan asrama TNI,

    polisi, dan imigrasi.

    Kondisi topografi desa Tes berbukit -bukit dengan ketinggian berkisar 400 -

    1200 m dpl. Seperti umumnya wilayah pulau Timor, desa Tes mengalami

    8 bulan kering (kemarau) dari bulan April November, dan bulan yang

    relatif basah dari bulan Desember hingga Maret.

    Demografi

    Desa Tes terdiri dari 6 RT, 3 RW yang dibagi dalam 3 dusun dengan

    jumlah penduduk menurut data monografi desa tahun 2007 sebanyak 609

    jiwa, laki - laki 295 orang, perempuan 314 orang, dengan jumlah rumah

    tangga 146. Struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia muda

    seperti dit unjukkan Tabel 4.1.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 2

    Tabel 4.1 . Struktur Penduduk Desa Tes Menurut Kelompok Umur

    Kelompok Umur (Tahun) Laki - laki Perempuan Jumlah

    0 - 5 38 33 71

    6 - 10 36 35 71

    11 - 15 30 32 62

    16 - 20 17 20 37

    21 - 25 26 22 48

    26 - 30 14 11 25

    31 - 35 16 18 34

    36 - 40 9 20 29

    41 - 45 18 22 40

    46 - 50 15 11 26

    51 - 55 14 7 21

    56 - 60 9 11 20

    61 - 65 13 13 26

    66 - 70 17 13 30

    >70 23 46 69

    Jumlah 295 314 609

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    Sementara dilihat dari tingkat pendidikan seperti ditunjukkan pa da Tabel

    4.2., kelihatan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi

    pendidikan (persekolahan) penduduk tergolong sangat rendah. Pada

    kelompok usia 7 -18 tahun, usia rata - rata SD - SLTA, 68 orang tidak

    pernah sekolah sementara yang sedang bersekolah hanya 37 orang.

    Secara umum tingkat partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki -

    laki.

    Tabel 4. 2 . Struktur Penduduk Menurut Pendidikan Desa Tes

    No. Pendidikan Laki -

    laki Perempuan Jumlah

    1. Usia 0 -6 Tahun belum sekolah 38 38 76

    2. Usia 7 -18 tahun tidak pernah sekolah 34 34 68

    3. Usia 7 -18 tahun sedang sekolah 16 21 37

    4. Usia 18 -56 tahun tidak pernah sekolah 30 55 85

    5. Usia 18 -56 tahun pernah sekolah tidak tamat SD 7 18 25

    6. Tamat SD 93 102 195

    7. Tamat SMP 32 56 88

    8. Tamat SMA 16 17 33

    9. Tamat Perguruan Tinggi 1 1 2

    Jumlah 267 342 609

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    Kondisi pendidikan menggambarkan juga kualitas angkatan kerja desa

    Tes. Dari total 468 orang yang tergolong usia produktif (usia 18 -56

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 3

    tahun) di desa Tes, 50 orang tidak memiliki kemampuan baca tulis (buta

    aksara), terdiri dari 32 laki - laki dan 18 perempuan. Sementara yang

    tidak tamat SD 98 orang, laki - laki 82 orang dan perempuan 16 orang.

    Sementara yang tamat SD 195 orang, terdiri dari laki - laki 93 orang,

    perempu an 102 oran g, dan yang tamat SMP laki - laki 32 dan perempuan

    56 orang.

    Tabel 4. 3 . Kualitas Angkatan Kerja (Usia Produktif: 18 -56 tahun) Desa Tes

    Kaulitas Angkatan Kerja Laki - laki Perempuan Jumlah

    Buta Aksara 32 18 50

    Tidak tamat SD 82 16 98

    Tamat SD 93 102 195

    Tamat SMP 32 56 88

    Tamat SLTA 18 17 35

    Tamat PT 1 1 2

    Jumlah 258 210 468

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    Dari data -data pada Tabel 4.3. kelihatan bahwa kualitas angkatan kerja

    perempuan lebih dari laki - laki. Dilihat dari tingkat buta aksara da n tidak

    tamat SD, laki - laki lebih tinggi dari perempuan. Sementara apabila dilihat

    dari tingkat partisipasi pendidikan (tamat sekolah) perempuan lebih tinggi

    dari laki - laki, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Hal ini menjadi

    catatan awal, bahwa dal am kondisi sosial budaya yang menempatkan

    laki - laki dalam posisi yang lebih tinggi, perempuan justru memiliki

    kecenderungan lebih berhasil dalam pendidikan dibandingkan laki - laki.

    Sarana dan Prasarana

    Transportasi

    Ketersediaan sarana transportasi di des a ini sangat terbatas. Prasarana

    penghubung seperti terminal belum ada. Pemilik angkutan (oplet) di desa

    hanya satu orang dan yang berprofesi sebagai tukang ojek hanya 2 orang

    (2 unit sepedamotor). Mobilitas penduduk tidak terlalu tinggi kecuali

    untuk an ak sekolah. Karena mere ka tidak terlalu tergantung dengan

    pasar, dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan bagi penduduk yang

    bekerja sebagai buruh di luar kota, biasanya tinggal sementara di kota

    tersebut.

    Untuk jalan penghubung antar kota dan antar desa sud ah memadai.

    Untuk menghubungkan desa Tes dengan kota Kefamenanu (ibukota

    kabupaten) yangberjarak 25 km , dan desa -desa lainnya yang berada satu

    jalur beroperasi secara regular oplet setiap setengah jam hingga 1 jam.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 4

    Oplet ini melewati desa Tes dengan rut e Kefamenanu Napan, yang

    berujung persis di depan pos perbatasan di Desa Napan.

    Tetapi di dalam desanya sendiri sangat sulit menjangkau bebrapa rumah

    karena ada di dalam desa. Misalnya untuk menjangkau sekolah Kecil sulit

    menggunakan sepeda motor hanya b isa di tempuh dengan jalan kaki.

    Sebagain besar kondisi jalan penghubung di dalam desa belum di

    perkeras atau diaspal. Jika musim penghujan biasanya di bulan oktober

    jalan menjadi becek dan sulit untuk dilalui.

    Air Bersih

    Ketersediaan air merupakan masala h yang sangat mendasar dan pelik di

    desa Tes. Sumber utama air bersih adalah mata air dan sumur gali. Pada

    musim kemarau, sumur gali kering dan penduduk harus berjalan cukup

    jauh ke sumber air yang tersedia yaitu mata air yang terdapat di 3 lokasi

    di sek itar lembah. Untuk menampung air hujan melalui bantuan dari LSM

    telah dibangun 2 embung yang tentunya tidak berfungsi pada saat musim

    kemarau.

    Jumlah prasarana air bersih sangat terbatas, dimana hanya terdapat 9

    sumur gali, 3 mata air dan 2 instalasi pi pa air yang menghubungkan mata

    air dengan penampungan -penampungan air yang lebih dekat dengan

    pemukiman penduduk. Sembilan buah sumur yang ada digunakan oleh 14

    rumah tangga, sementara mata air digunakan oleh sisanya.

    Tabel 4.4. Prasarana Air Bersih di Desa Tes

    No. Jenis Prasarana Jumlah Jumlah RMT pengguna

    1. Sumur gali 9 14

    2. Mata air 3 146

    3. Embung 2 (belum berfungsi)

    4. Pipa air 2 115

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    Listrik

    Sebagian penduduk telah menikmati listrik yang bersumber dari genset

    pembangkit yang penyediaanya dibantu oleh Departemen Sosial yang

    dapat dinikmati oleh sekitar 90 rumah tangga atau sekitar 60 persen dari

    jumlah rumah tangga yang ada. Listrik menyala dari jam 6 sore hingga

    jam 10 malam. Setiap rumah yang mendapatkan sam bungan listrik

    membayar iuran Rp 95.000 setiap bulannya. Pengelolaan genset dan

    penagihan iuran dilakukan oleh masyarakat melalui kesepakatan bersama.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 5

    Keadaan Sosial Ekonomi

    Aspek Sosial

    Apabila harus bersekolah anak -anak Desa Tes harus ke desa Napan

    dimana terdapat 1 buah sekolah tingkat SD (Sekolah Dasar), 1 buah

    sekolah untuk tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan belum ada

    untuk SLTA dan yang setingkat. Kedua desa harus saling berbagi fasilitas.

    Dengan ju mlah penduduk 609 dan anak usia sekolah da sar (6 -15 tahun)

    sebanyak 135 orang, sementara jarak dari Kantor Desa Tes ke Desa

    Napan sejauh 7 km. Bisa dibayangkan jarak yang harus ditempuh anak -

    anak ke sekolah dengan topografi yang berbukit. Semua lokasi sekolah

    ada di Desa Napan, sehingga pemerinta h Desa Tes berinisiatif untuk

    membangun Sekolah Dasar Kecil yang diperuntukkan khusus bagi siswa -

    siswa dari kelas 1 hingga kelas 3. Setelah naik kelas ke kelas 4, maka

    semua siswa dialihkan ke SDN Tes yang berlokasi di Desa Napan.

    Sebenarnya sekolah ini su dah berdiri sejak tahun 1930an oleh yayasan

    katholik (YAPESA) dan kemudian di buat bangunan baru tahun 1980an di

    desa Napan tetapi tetap menggunakan SD Tes.

    Menurut Bapak Markus yang menjadi Kepala Sekolah SD kecil Tes, setelah

    ditinggalkan misionaris, pe ngelolaan sekolah ini mengalami kemunduran.

    Bangunan fisik Sekolah di Napan (SD, SMP dan P endidikan Anak Usia

    Dini/PAUD ) sudah bagus dan terdapat ruangan yang cukup untuk

    menampung siswa dan kondusif untuk belajar. Sungguh ironis jika

    dibandingkan dengan k ondisi fisik sekolah yang ada di Desa Tes (SD

    Kecil).

    Gambar 4 - 1 . Kondisi Gedung SD Negeri Kecil di Desa Tes

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 6

    Gambar 4.1. menunjukkan kondisi yang sangat tidak kondusif untuk

    belajar. Bangunan yang tidak punya dinding dan berlantai tadah.

    Pembatas kel as hanya papan tulis. Dengan kondisi seperti ini apapun

    aktivitas dikelas sebelas bisa didengar oleh kelas lain. Sekolah Ke cil ini

    hanya memiliki 3 ruangan. Kelas satu dan kelas dua berbagi ruangan

    dengan sistem shift, kelas 1 masuk pagi hingga jam 10 WIT kemudian

    kelas itu digunakan kembali oleh siswa kelas 2 hingga jam 13. 00 WIT.

    Ruang guru hanya satu, ruang kepala sekolah berbagi dengan ruang guru

    relawan. Guru dengan status PNS hanya satu orang dibantu 3 orang

    relawan wanita, seorang dari relawan ini mengajar dengan membawa

    anaknya yang masih balita.

    Bapak Markus menuturkan seolah -olah pemerintah menutup mata akan

    realitas sosial yang ada di Desa Tes . Sekolah -sekolah yang ada sekarang

    tidak satu pun dari pemerintah, dan lebih mengandalkan bantuan dari

    LSM lokal yang didukung Fund Rising dari luar negeri. Untuk saat ini

    mereka berharap pada LSM PLAN untuk penyediaan infrastruktur

    bangunan dan lainnya. Di Tahun 2007, sekolah kecil ini mendapat

    bantuan untuk pengadaan buku, meja, papan tulis dan kapur. Ban tuan ini

    pun sangat terbatas.

    Tabel 4. 5 . Kebutuhan dan Permasalan Pendidikan di Desa Tes

    No Kebutuhan masyarakat

    Permasalahan Rekomendasi Keterangan

    1. Bangunan sekolah yang kondusif buat

    belajar

    Membutuhkan tenaga yang

    cukup besar. Belum ada lembaga atau keinginan

    pemerintah untuk membuat sekolah.

    Pembangunan fisik sekolah

    Saat ini sedang mengajukan

    proposal ke PLAN.

    Masyarakat bersedia

    memberi sumbangan waktu dan

    tenaga untuk membangun sekolah

    2. Tenaga pengajar Dinas pendidikan belum menyediakan tenaga pengajar

    yang berkualitas

    - Memperkuat status tenaga pengajar

    - menyediakan tenaga pengajar PNS

    Saat ini ada 3 orang tenaga relawan sebagai

    staf pengajar yang tidak diberi honor

    3, Sarana pendukung lainnya seperti

    buku, kapur

    Ketersediaan buku masih sa ngat

    terbatas. Hanya dimiliki oleh guru

    Tidak mendukung menumbuhkan minat baca

    Kerjasama antara dinas pendidikan

    dan LSM lokal untuk menyediakan buku -buku pelajaran

    Buku adalah media untuk

    mempercepat tansfer ilmu pengetahuan.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 7

    Sedangkan untuk SMP yang ada di Desa Napan baru berdiri tahun 2006

    artinya baru berjalan 2 tahun. Dan sekolah ini dinamakan sekolah satu

    atap karena masih lingkungan dengan SD. Belum ada pendidikan non

    formal di desa ini hanya saja LSM yang bekerja di sini banyak

    memberikan pelatihan -pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat,

    seperti kur sus singkat budidaya pertanian dan membuat tenunan kain.

    Antusias masyarakat untuk men yekolahkan anak -anaknya begitu tinggi.

    Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat untuk memperbaiki taraf

    hidup. Bap ak Donotus adalah seorang ayah yang mengkuliahkan anaknya

    hingga ke Kediri. Meskipun dari segi pembiayaan tersendat -sendat tetapi

    beliau menyakini sesatu yang dimulai d engan niat baik pasti akan diberi

    kemudahan. Beliau adalah potret orang tua yang menyad ari pentingnya

    pendidikan sebagain bagian dari masa depan anak -anaknya.

    Ketersediaan fasilitas di desa ini sangat rendah. Satu desa hanya memiliki

    satu orang bidan dengan ketersediaan obat -obatan yang sangat terbatas.

    Di desa ini banyak dukun yang tidak te rlatih untuk membantu

    menyembuhkan orang sakit dan persalinan. Menurut Martinus kepala desa

    di Desa Tes, pihak desa sudah m engeluarkan peraturan kepada warganya

    jika pada saat bersalin hanya dibantu oleh dukun yang tidak terlatih

    dikenakan sanksi anaknya tidak mendapat akta lahir dan didenda Rp.

    270.000. hal ini dilakukan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.

    Pada tahun 2007, desa mengirimkan seluruh dukun untuk memperoleh

    pelatihan tentang cara menangani persalinan yang baik. Dan hasil dari

    pelatihan ini adalah mereka memiliki sertifikat yang diakui untuk

    membantu persalinan. Dukun terlatih ini tetap diawasi oleh bidan

    tersebut.

    Fasilitas kesehatan yang lengkap ada di ibukota kabupaten yaitu di

    Kefamenanu yang berj arak 25 km dari d esa Tes. Di Kefamen anu tersedia

    puskesmas rujukan bagi orang -orang yang sakit parah. Di se kitar

    puskesmas ini terdapat 3 a potik yang berdekatan satu sama lain.

    Salah satu yang mengkhawatirkan adalah pola makan yang tidak

    seimbang yang menyebabkan kerawanan pangan , termasuk kurangnya

    asupan gizi non karbohidarat dan protein terutama bagi ibu dan anak.

    Gambaran tingkat kesejahteraan penduduk desa Tes tercermin juga dari

    kondisi tempat tinggal mereka. Dari 147 rumah yang ada, hanya 20

    rumah berlantai, sisanya 127 rumah berlan tai tanah. Rumah yang

    memiliki atap seng 65 rumah, sisanya beratap rumbia, illalang dan daun

    lontar.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 8

    Aspek Ekonomi

    Mata pencaharian utama masyarakat desa Tes adalah pe rtanian, dari 145

    RMT, 129 orang bermatapencaharian utama sebagai petani. Sementara

    sebagian lain bekerja sebagai PNS, membuka usaha warung dan

    mengerjakan kegiatan -kegiatan buruh dan keterampilan kayu dan tukang

    jahit.

    Tabel 4.6. Mata Pencaharian dan Usaha yang Ditekuni

    I. Mata Pencaharian Utama Jumlah KK

    Petani 129

    PNS 2

    Dukun ka mpung 2

    II. Usaha Perdagangan

    Warung 6

    III. Usaha Keterampilan

    Tukang kayu 9

    Tukang batu 23

    Tukang jahit 11

    Tukang gali sumur 1

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    Jenis pertanian yang diusahakan dalah pertanian lahan kering sesuai

    dengan keadaa n lahan dan iklim di wilayah tersebut. Tanaman semusim

    hanya dapat diuasahakan pada musim hujan, yang berlangsung singkat

    antara bulan November sampai bulan Februari . Sementara sepanjang

    musim kemarau penduduk bergantung kepada persediaan hasil panen

    dar i musim hujan. Tanaman yang disuahakan antara lain padi, jagung,

    umbi -umbian dan sayuran dimulai di awal musim hujan. Pola penyiapan

    dan pengolahan lahan pertanian masih menggunakan system tebas bakar.

    Pola ini digunakan didasari alasan biaya, waktu dan juga faktor kebiasaan

    yang telah berlangsung lama.

    Tabel 4.7. Jenis Tanaman yang Diusahakan dan Luas Lahan

    No. Tanaman yang Diusahakan

    Luas Lahan (Ha)

    Luas Rata -rata/ RMT (Ha)

    1. Padi 45 0.31

    2. Jagung 76 0.52

    3. Ubi -Ubian 10 0.07

    4. Buah -Buahan 5 0. 03

    5. Sayuran 1 0.01

    6. Kelapa 4 0.03

    7. Kopi 1 0.01

    8. Kemiri 50 0.34

    9. Jambu Mete 50 0.34

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 9

    Pada musim kemarau, untuk menutupi pengeluaran rumah tangga

    masyarakat mengandalkan hasil dari tanaman - tanaman perkebunan

    sepe rti kelapa, kemiri dan jambu mete serta ternak yang dikelola

    seadanya. Beberapa keluarga juga memungut buah asam yang banyak

    tumbuh di desa.

    Dilihat dari luas tanaman yang dikelola ( Tabel 4.7 .), dan jumlah ternak

    yang ada di didesa (Tabel 4.8 .) dibanding kan dengan jumlah RMT

    kelihatan bahwa produktivitas pertanian sangat rendah. Tanaman padi,

    misalnya, dari 45 Ha lahan yang dapat ditanami padi, diratakan dengan

    jumlah RMT, setiap rumah tangga hanya mengelola 0,31 Ha, yang

    ditanami hanya satu kali satu t ahun. Rata - rata luas tanaman jagung per

    RMT adalah 0,52 Ha. Sementara tanaman keras yang utama, yaitu jambu

    mete dan kemiri diusahakan rata - rata seluas 0,34 per RMT. Angka ini

    tentunya sangat rendah, belum lagi apabila mempertimbangkan

    penyebarannya.

    Ta bel 4.8. Populasi, Pemilik Ternak dan Rata - rata jumlah Ternak per RMT

    No. Jenis Ternak Pemilik Populasi Rata - rata/RMT

    1. Sapi 72 160 1.10

    2. Babi 75 125 0.86

    3. Kambing 41 76 0.52

    4. Kuda 2 2 0.01

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    .

    Gambar 4 - 1. Penyiapan Lahan Pertanian dengan Pola Tebas Baka r

    Sebaran kepemilikan lahan

    memiliki lahan pertanian. Sepuluh RMT memiliki lahan kurang dari 0,5

    Ha, 13 RMT memiliki lahan antara 0,5 -1 Ha, dan 122 orang memiliki lahan

    lebih dari 1 Ha. Indikator ini apabila dibandingkan dengan daerah intensif

    pertanian seperti pulau Jawa misalnya, akan menggambarkan tingkat

    kesejahteraan yang cukup baik. Namun dengan pola pertanian campuran

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 10

    lahan kering yang hanya dapat ditanami pada musim hujan, dan dengan

    topografi berbukit -bukit kepemilikan lahan kurang dari 1 Ha dapat

    dikatakan tidak memadai.

    Tabel 4.9. Kepemilikan Lahan Pertanian

    No. Kepemilikan Lahan Jumlah RMT

    1. Tidak memiliki lahan 0

    2. 1Ha 122

    Total 145

    Sumber : Profil Desa Tes 2008

    Gambaran ekonomi desa yang meliputi mata pencaharian, kepemilikan

    sumberdaya dan jenis - jenis komoditi yang diusahakan dengan berbagai

    karakteristik khas seperti iklim dan topografi, pola per tanian dan sosial

    budaya menghasilkan pola kehidupan (relasi sosial ekonomi) yang juga

    khas.

    Di desa ini tidak ada fasilitas apa pun yang menunjang kegiatan

    perekonomian mereka. Pasar hanya ada di Kefamenanu. Begitu juga

    dengan fasilitas seperti bank, kop erasi dan yang menjual sarana

    produksi pertanian. Setelah panen, mereka akan pergi ke Kefamenanu

    untuk menggiling padi. Hasil panen ini biasanya mereka simpan hingga

    panen berikutnya. Dan setiap rumahtangga pasti memiliki ternak selain

    untuk upacara adat juga untuk keperluan makan. Berdasarkan pola dan

    aktivitas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak terlalu

    tergantung terhadap pasar dan fasilitas yang lainnya.

    Karena h ampir semua penduduk ber mata pencaharian sebagai petani,

    selama musim kerin g dan menunggu panen biasanya penduduk dewasa

    laki - laki akan bermigrasi ke kota -kota terdekat seperti Atambua dan

    Kefamenanu untuk menca ri nafkah sebagai buruh kasar, sementara

    wanita akan tinggal dirumah untuk melakukan tugas domestik dan

    merawat ternak.

    Sistem pertanian disini sangat mengandalkan air hujan. Berbagai cara

    diupayakan agar masalah air dapat teratasi. Baru -baru ini beberapa warga

    desa mendapat pelatihan dari YABIKU tentang pengairan tetes (irigasi

    tetes) untuk menghemat penggunaan air dan me ngurangi penguapan.

    Dan juga pemanfaatan lahan disekitar saluran air permandian umum

    untuk digunakan menanam sayuran.

    Baru -baru ini telah diterapkan pemisahakan kawasan pertanian dan

    peternakan. Karena beberapa kasus menunjukkan hasil panen berkurang

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 11

    karena ternak yang dipeliharan di lepas di dekat sawah dan kebun hingga

    merusak tanaman. Adapun jenis - jenis ternak yang diusahakan penduduk

    adalah ayam, kambing, babi , kuda dan sapi. Menurut penduduk hampir

    setiap rumahtangga memilki ternak babi karena memang d igunakan

    untuk upacara adat. Sedangkan untuk penduduk yang memiliki sapi

    banyak digunakan sebagai tabungan untuk sekolah anak, dan juga untuk

    upacara adat dan hari besar keagamaan.

    Untuk bidang peternakan pada tahun 2007, ada bantuan kambing dari

    PLAN 20 ekor per kelompok yang dibina (semuanya berjumlah 6

    kelompok ) kemudian ada bantuan kambing lagi dari YABIKU per

    rumahtangga (jumlah kurang tahu). Tetapi diawal ada wabah penyakit

    kambing dan sebanyak 167 ekor kambing mati. Hingga saat ini belum

    diketah ui nama penyakit tersebut dan bagaimana cara mengatasinya.

    Budidaya ternak dilakukan dengan cara melepas di alam terbuka. Mereka

    belum pernah melakukan pengkandangan untuk ternak besar maupun

    ternak kecil. Termasuk babi mereka hanya menambatkan ke satu t iang,

    agar babi tersebut tidak pergi terlalu jauh.

    Dengan hadirkan LSM lokal dengan berbagai program yang dijalankan

    adalah penguatan sektor ekonomi rumahtangga. Mereka membuat dana

    bergulir yang dimanfaatkan untuk membuka usaha seperti

    mengembangkan pete rnakan mauapun pertanian. Selain itu, para ibu - ibu

    memiliki organisasi berbasis ekonomi seperti SPP (Simpan Pinjam

    Perempuan), UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Kegiatan ekonomi tersebut

    antara lain : Koperasi dagang, organisasi tenun ikat, kelompok

    petern akan, kelompok tani perempuan dan lain - lain.

    Kelembagaan Masyarakat Desa

    Kelembagaan petani cukup kuat karena sudah membentuk kelompok -

    kelompok sendiri. Kelompok ini digunakan untuk mengakses bantuan

    seperti bibit permodalan dan lebih mudah masuknya inova si. Karena

    memang sudah menjadi bagi pemerintaha n maupun donatur bahwa setiap

    bantuan hanya diberikan kepada kelompok yang sudah berdiri lebih dari

    setahun.

    Menurut Bapak Juventius Kabelen selaku camat menyatakan kesadaran

    untuk pembentukan kelompok merupa kan suatu langkah yang positif.

    Karena tetesan bantuan lebih mudah dilakukan. Posisi tawar -menawar

    bagi petana i/peternak dan penenun menjadi lebih tinggi. Aspek

    kelembagaan ini juga dibuat sebagai upaya preventif ketika musim

    paceklik karena sebagain kelom pok ini membuat simpan pinjam.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 12

    Kelembagaan adat di desa ini sangat kental dan mengintervensi hampir

    seluruh kegiatan sehari -hari. Bahkan bisa dikatakan secara administrasi

    sistem pemerintahan tertinggi di desa ada pada kepala desa akan tetapi

    secara teknis ditentukan oleh adat.

    terpilih boleh yang berasal dari penduduk pendatang. Menurut penduduk

    sikap yang ditamp ilkan dalam keseharian. Dan hanya orang -orang bijak

    yan g dipilih. Bijak dalam arti pin tar menempatkan diri, mampu menjadi

    hingga ke masalah keluarga dan juga mampu memimpin upacar a adat

    sudah turun temurun dilakukan.

    Di desa Tes terdapat beberapa fam an tara lain yang termasuk rumpun

    Dawan adalah Sikki, Kolo, dan Nule. Suku -suku ini memiliki tin gkatan

    tertentu di masyarakat. S uku Sikki adalah suku yang pertama kali tinggal

    di Desa Tes sehingga s uku ini adalah suku pemilik tanah luas/tuan tanah.

    Suku Kolo dan suku Nule adalah suku pendatang yang menikahi penduduk

    lokal. Selain rumpun Dawan ada beberapa suku yang mendiam i wilayah

    ini antara lain suku F lores , Batak dan pengungsin dari Timor Leste. D an

    kesemua suku hidup membaur dan harmonis.

    Sekarang ini yang menjadi tua adat adalah orang F lores. Tua adat ini

    juga menjadi pengambil keputusan akan pembangunan desa. Misalnya

    jika LSM dan masayarakat ingin memperbaiki sumur atau melakukan

    pendalam agar air lebih banyak maka harus konsultasi dahulu ke tua

    adat. Apabila tua adat tidak berkenan maka pembanguna n ini bisa

    dibatalkan.

    Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk, kekentalan adat saat

    ini kadang -kadang menghambat pengembangan sumber daya alam .

    Misalnya saja jika ingin memperbaiki sumber air agar pada musim kering

    mampu mencukupi kebutuhan air penduduk. Maka setiap rumahtangga

    diwajibkan membawa ternak kurban sebagai persembahan. Dan ini

    menyulitkan untuk masyarakat. Begitu pun seperti program yang telah

    dilakukan oleh PLAN dengan membuat Penambung Air Hujan (PAH) ini

    mewajibkan masyarakat membawa kurbanya. Jika ini tidak dipenuhi,

    masyarakat percaya pasti ada bencana karena alam tidak menerima.

    Pada saat wawancara saya menyempatkan untuk bert anya kepada ibu - ibu

    yang sedang mengambil air di sumur, men gapa sumur ini tidak

    diperdalam. Karena dengan keadaan yang dangkal air sudah banyak,

    mungkin jika diperdalam akan mampu memenuhi kebutuhan akan air di

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 13

    musim kering. Tetapi ibu - ibu menjawab lebih baik mereka berjalan ke

    bukit untuk mengambil air daripada harus memperbaiki sumur. Karena

    diwajibkan untuk membawa ternak kurban tiap rumahtangga sementara

    tahun ini panen mereka termasuk gagal. Jadi banyak yang menjual

    ternaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari. Upacaranya sendiri

    banyak menghabiskan biaya untuk melakukan ritual.

    Selain menghambat ada beberapa yang mendukung mempercepat

    pelaksanaan program. Dengan dilibatkan nya tua adat dalam program

    mampu memobilisasi masyarakat untuk sungguh -sunggu h melakukan

    program tersebut. Karena masyarakat ini sangat tunduk terhadap tua

    adat.

    Peran penting yang masih umum ditaati dan berpengaruh posiitif terhadap

    kehidupan masyarakat adalah pengaturan hutan larangan yang berfungsi

    sebagai wilayah tangkapan air. Walaupun kelihatan meranggas, tetapi

    kelihatan ada beberapa bagian dari perbukitan yang tetap terjaga dan

    lebih padat vegetasinya dibanding lahan di sekitarnya. Pengenaan denda

    dan sangsi adapt yang cukup bagi siapa yang mengambil, memungut dan

    menebang pohon atau hasil hutan lain menjaga mata air di desa tetap

    menyediakan air walaupun pada musim kemarau yang panjang.

    Hubungan Sosial dengan Timor Leste

    Masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di wilayah

    Timor Tengah Utara umumnya Suku D awan. Penduduk di bagian

    Indonesia dan dibagian Timor Leste di sepanjang perbatasan memiliki

    pada umumnya memiliki kaitan kekerabatan. Semenjak pemisahan diri

    menjadi negara sendiri, praktis ada hambatan mobilitas dan komunikasi

    masyarakat desa Tes dengan masyarakat di wilayah Timor Leste.

    Hubungan sosial, budaya dan ekonomi yang berlangsung normal tiba - tiba

    mengalami hambatan administrasi mengakibatkan adanya penyesuaian

    terhadap pola -pola hubungan antara ke dua wilayah.

    Setelah kemerdekaan Timor Lest e di sepanjang perbatasan dibangun

    check point sebagai pintu perlintasan dan pengawasan antara kedua

    negara. Masyarakat dari kedua negara apabila harus bepergian ke bagian

    lain harus melaporkan diri dan melengkapi diri dengan surat -surat yang

    diperlukan s ebagai bukti diri. Namun dengan system administrasi

    keimigrasian yang tidak fleksibel, kebutuhan dan kepentingan bepergian

    ke wilayah Timor Leste dan sebaliknya, baik untuk alasan sosial dan

    ekonomi tidak serta merta dapat terlaksana. Padahal kepentingan itu

    adakalanya sangat mendesak, semisal harus menghadiri upacara

    kematian kerabat, atau kelahiran sanak keluarga.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 14

    Pada tingkat tetua adat dan masyarakat di kedua wilayah yang memiliki

    hubungan kekerabatan dan adat akhirnya muncul semacam kesepakatan

    dan c ara -cara pertemuan di luar titik perlintasan yang resmi dan tidak

    membocorkannya kepada otoritas diperbatasan.

    Dampak lain dari pemisahan kedua wilayah adalah banyaknya pengungsi

    dari wilayah Timor Leste yang berlindung di wilayah Indonesia. Di desa

    Tes sendiri terdapat 39 RMT eks Timor Leste yang akhirnya memilih

    menjadi warga negara Indonesia. Mereka ini umumnya adalah

    masyarakat yang memiliki hubungan darah langsung dengan masyarakat

    di desa Tes.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 15

    4.1.2. Desa ( Kepulauan ) Marore , Kabupaten Kepulauan Sangih e

    Letak dan Keadaan Umum Lokasi

    Desa Marore meliputi dua pulau yaitu Pulau Marore dan Pulau Mamanuk,

    sebuah pulau yang tidak berpenghuni, yang sering menjadi tempat

    persinggahan sementara para nelayan pada musim mencari ikan. Desa ini

    terdiri dari 3 dusun dan satu anak kampung, yaitu pulau Mamanuk di

    atas. Sehingga dalam pembahasan mengenai desa Marore, selanjutnya

    pada bagian ini akan dipakai istilah pulau Marore yang mengacu pada

    pengertian yang sama dengan desa Marore .

    Berdasarkan Peraturan Presiden R I No. 78 tahun 2005 tgl 29/12/2005,

    gugusan pulau -pulau kecil terluar di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara

    yaitu Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Kawaluso. Gugusan pulau -

    pulau ini terletak di perairan Laut Sulawesi, dan Pulau Marore dengan

    koordinat ti tik terluar 040 0

    langsung dengan Pulau Balut, Philipina yang jarak tempuh dengan

    speedboat sekitar enam jam.

    Berkaitan dengan fungsi dan keberadaan pulau -pulau terluar ini, dibentuk

    Kecamatan Border Crossing Agre ment Marore yang kemudian pada 12

    Sebtember 2008 statusnya diresmikan menjadi kecamatan defenitif yang

    meliputi Desa Marore, Desa Kawio dan Desa Matutuang. Sebelum

    pemekaran, desa Matutuang adalah anak desa Marore, dan Desa Marore

    termasuk dalam wilayah ad ministrasi Kecamatan Tabukan Utara,

    Kabupaten Kepulauan Sangihe, Prov insi Sulawesi Utara. Luas desa

    sebelum pemekaran sekitar 3,16 km 2, yang mencakup pulau Marore 1,68

    km 2, pulau Mamanuk seluas 0,08 km 2 (8 ha) dan pulau Matutuang seluas

    1,40 km 2.

    Pulau Ma rore yang membujur dari barat daya ke arah timur laut

    didominasi daerah perbukitan dan daerah pantai yang datar hanya

    sebagian kecil saja dari pulau ini. Daerah perbukitan bergelombang

    dengan ketinggian antara 0 dpl sampai dengan 110 dpl. Daerah

    perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga,

    jambu mete, bambu dan sebagainya yang tidak dikelola dengan baik .

    Permukiman penduduk terbanyak berada di daerah pantai barat daya dan

    sedikit di pantai timur. Di bagian tengah permukiman barat daya te rdapat

    daerah rendah/rawa yang ditumbuhi pohon sagu. Hanya se bahagian

    kecil dari dataran di p ulau Marore yang digunakan sebagai lahan

    pemukiman dan berbagai fasilitas kantor dan rumah dinas dari instansi

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 16

    yang terkait dengan Border Crossing Agreement sert a berbagai fasilitas

    umum lainnya.

    Demografi

    Jumlah penduduk desa Marore berdasarkan data tahun 2007 (sebelum

    pemekaran dengan Matutuang) adalah 862 jiwa dengan 219 kepala

    keluarga, mencakup pulau Marore 562 jiwa yang terdiri atas 135 KK dan

    penduduk pulau Matutuang sejumlah 300 jiwa. Pada tahun 2006

    penduduk pulau Marore berjumlah 537 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk

    pulau yang cukup besar ini disebabkan kepulangan pe nduduk asal desa

    Marore yang tinggal di Filipina . Berdasarkan data tahun 2006, m ayor itas

    penduduk di pulau Marore adalah pemeluk agama Kristen Protestan, (525

    jiwa) Katolik 8 Jiwa dan Islam 1 jiwa. Penduduk di pulau Marore yang

    bermata pencaharian s ebagai petani/nelayan berkisar 8 0%, pegawai

    negeri sipil 10%, pengusaha 4% dan mata pencah arian lain - lain 6%.

    Tingkat pendidikan penduduk di pulau Marore sebagian besar lulusan SLTP

    dan hanya sebagian kecil lulusan SLTA dan Sarjana.

    Sarana dan Prasarana

    Sarana Pendukung Border Crossing Area (BCA)

    Sebagai pulau terluar yang merupakan Border Cro ssing Area (BCA) yang

    menangani para pelintas batas dari Indonesia ke Filipina dan sebaliknya ,

    pulau Marore dilengkapi dengan berbagai prasarana kantor pendukung.

    Prasarana kantor yang ada antara lain Kantor Kepala Kampung Marore,

    Kantor Camat BCA (menjad i Camat Defenitif), Kantor Border Crossing

    Philipina, Dinas Perhubungan & Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi dan Pos

    TNI -AL, KORAMIL, Kepolisian. Tugas dan fungsi instansi yang

    ditempatkan yang disebutkan diatas adalah untuk mengawasi lalu lintas

    manusia da n barang yang keluar dari dan masuk ke wilayah Republik

    Indonesia. Selain itu pemerintah juga membentuk satuan Hansip dan

    Wanra yang direkrut dari masyarakat setempat untuk memperkuat

    pelaksanaan fungsi Hankam di Pulau Marore.

    Aksesibilitas dan Sarana Tran sportasi

    Pulau Marore yang berjarak sekitar 206 mil (laut) dari Manado dan 75 mil

    dari Tahuna (Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe), dapat dicapai

    dengan kapal perintis (KM Daraki Nusa, KM Daya Sakti) dengan jadwal

    dua kali sebulan yang berangkat dari Bitu ng dengan rute Bitung ke

    Tahuna P. Lipang P. Kawaluso P. Matutuang P. Kawio P. Marore.

    Perjalanan ditempuh sekitar 20 jam yang tergantung dengan lamanya

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 17

    penurunan penumpang dan barang di setiap pulau. Alternatif lain adalah

    naik p esawat udara d ua kali seminggu dari Manado ke Tahuna atau naik

    kapal laut cepat setiap hari, kecuali Minggu, berangkat malam hari

    dengan lama perjalanan sekitar 12 jam, kemudian dari Tahuna

    perjalanan dilanjutkan dengan kapal perintis dari Bitung atau dengan

    kapal Fuso /panboat dengan kapasitas sekitar 15 - 50 orang dengan waktu

    tempuh sekitar 8 -9 jam. Pelayaran dapat dilakukan jika cuaca baik sekitar

    bulan April Agustus. Pada saat cuaca tidak bersahabat dan laut

    bergelombang besar, pelayaran hanya dapat dilakukan oleh kapal

    berbobot diatas 1.000 DWT.

    Gambar 4 - 3 : Alat Transportasi Masyarakat Di Marore

    Terdapat dermaga tempat berlabuh yang mempunyai kedalaman 8,75

    meter saat pasang tertinggi dan 6,30 meter saat surut terendah. Dermaga

    ini hanya bisa disingg ahi oleh kapal -kapal kecil dan kapal nelayan. Kapal

    yang cukup besar harus buang sauh sekitar 500 meter dari dermaga dan

    penumpang dan barang didiangkut dengan menggunakan perahu -perahu

    nelayan.

    Untuk menghubungkan lokasi - lokasi pemukiman terdapat j alan darat

    yang terdapat sepanjang 300 meter dengan bahan jalan beton cor, yang

    terdiri dari jalan di permukiman barat di tengah kampung dengan lebar

    3,50 meter, jalan lingkungan dengan lebar 2,5 meter dan jalan

    penghubung dari permukiman barat ke permukiman ti mur selebar 2,00

    meter. Kondisi jalan penghubung dari permukiman barat ke timur

    sebagian rusak berat karena tergerus oleh ombak dan sebagian lagi rusak

    sedang, yang harus ditanggulangi.

    Sarana - Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya

    Fasilita s umum dan sosial yang terdapat di pulau Marore terdiri dari

    fasilitas pendidikan berupa satu buah TK, satu buah SD Negeri Marore dan

    satu buah SLTP Negeri Tabukan Utara. Fasilitas kesehatan adalah berupa

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 18

    Puskesmas pembantu dengan satu orang tenaga medis. Keberadaan

    fasilitas kesehatan ini sangat minim karena persediaan obat -obatan

    sangat kurang, sehingga untuk kasus penyakit tertentu/berat

    pengobatannya harus dirujuk ke RSU di Kota Tahuna. Di Marore terdapat

    satu buah fasilitas peribadatan gereja. Sehubung an dengan ketersediaan

    fasilitas perdagangan, di pulau Marore terdapat empat buah kios

    penjualan yang menyediakan kebutuhan sehari -hari yang dikelola oleh

    KUD dan perorangan.

    Sumber Air dan Listrik

    Sumber air minum yaitu dari lima buah sumur dangkal yang t erletak di

    kaki bukit, satu mata air yang terletak di punggung bukit dan 21 unit

    tampungan air hujan. Sumur dangkal lainnya yang tersebar di

    permukiman tidak digunakan untuk air bersih karena kesadahannya tinggi

    sehingga tidak layak minum. Umumnya (sekit ar 75 % ) rumah tangga

    mempunyai sumur dangkal untuk MCK. Bentuk sumur dangkal bulat dan

    persegi. Kedalaman air di sumur berkisar antara 1,0 m sampai dengan 3,0

    m. Kedalaman muka air dari muka tanah sekitar 1,50 m.

    Sementara kebutuhan listrik pulau Marore dipenuhi oleh listrik PLN yang

    menggunakan genset pembangkit yang hanya dinyalakan pada malam

    hari dari jam 6 sore hingga jam 12 malam.

    Keadaan Sosial Ekonomi

    Aspek Sosial : Kesejahteraan

    Secara umum berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan

    pen duduk, kondisi sosial masyarakat pulau Marore dicirikan dengan

    kondisi keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial ekonomi seperti

    pendidikan, kesehatan, listrik, transportasi dan perdagangan. Tingkat

    kesejahateraan penduduk pulau Marore secara umum lebih rendah dari

    wilayah lain di Kabupaten Kepulauan Sangihe, terutama yang tinggal di

    wilayah pulau utama Pulau Sangihe. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh

    jumlah keluarga miskin yang mendapatkan bantuan program

    penanggulangan kemiskinan, seperti BLT dan ras kin dan jamkesmas,

    yaitu 60 keluarga dari 135 kepala keluarga di pulau Marore.

    Ketertinggalan dan kesenjangan pembangunan dengan wilayah lain

    tercermin juga dari keluhan masyarakat yang merasa ditelantarkan oleh

    Pemerintah Kabupaten Sangihe. Masyarakat Mar ore merasa pemerintah

    (Pemkab Sangihe) kurang berupaya meningkatkan derajat ekonomi di

    daerah perbatasan ini. Beberapa persoalan yang terungkap paling tidak

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 19

    dijadikan alasan dibalik keluhan dan kekecewaan masyarakat di pulau

    Marore. Usaha penjualan kerip ik maupun abon, sebenarnya dapat

    menunjang perekonomian di Marore, tetapi tidak ada upaya dan program

    membantu pengembangan dan pemasaran. Saluran telepon yang hingga

    kini dalam keadaan rusak dan hanya dibiarkan oleh Pemerintah Sangihe.

    Ketersediaan alat -alat penunjang pendidikan seperti buku, papan tulis dan

    kapur tidak sangat terbatas. Keterbatasan obat dan sarana lain di

    puskesmas pembantu sangat minim. Termasuk juga penanganan 3 orang

    penderita kusta yang ada di pulau Marore yang dilakukan seadanya o leh

    tenaga 3 perawat kesehatan yang ada.

    Mata Pencaharian

    Sebagian besar dari penduduk di pulau Marore bekerja sebagai nelayan.

    Hal ini didasarkan atas kondisi geografis wilayahnya yang merupakan

    daerah kepulauan. Namun demikian terdapat juga masyarakat y ang

    memiliki mata pencaharian sebagai petani. Nelayan merupakan pekerjaan

    yang utama bagi penduduk di Kampung Marore dalam membiayai

    kebutuhan keluarga dan kebutuhan pendidikan. Penangkapan ikan oleh

    para nelayan dilakukan oleh suatu tumah tangga sendiri d engan alat -alat

    yang disiapkan sendiri walaupun ada aktifitas -aktifitas penangkapan ikan

    yang dilakukan oleh kelompok -kelompok.

    Mata pencaharian sampingan penduduk Kampung Marore adalah

    berkebun dengan tanaman kelapa, cengkeh, mangga, jambu mete, dan

    bam bu yang umumnya ditanam di perbukitan, sementara lahan datar ada

    hanya ditanami dengan umbi -umbian. Di samping itu, ada pula usaha lain

    di bidang peternakan yaitu beternak ayam, kambing, babi, dan

    sebagainya, tetapi hanya sebagai hewan peliharaan saja.

    Walaupun penduduk memiliki mata pencaharian yang bervariasi seperti

    nelayan, petani, pegawai negeri, buruh, dan lain - lain. Namun demikian

    masyarakat Kampung Marore memiliki suatu kekhususan yakni

    masyarakatnya digolongkan masyarakat nelayan.

    Hubungan Sosial d engan Filipina

    Jauh sebelum perjanjian lintas batas antara pemerintah Indonesia dengan

    Filipina dan kemerdekaan yang dicapai oleh kedua negara, penduduk di

    kepulauan Sangihe dan Talaud menjalin hubungan dengan penduduk di

    Kepulauan Filipina bagian Selatan khususnya di Pulau Balut, Pulau

    saranggani, dan Pulau Mindanau. Hubungan ini dapat terjadi karena faktor

    geografis yakni jarak yang berdekatan antara beberapa pulau di

    perbatasan sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian selatan seperti

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 20

    antara Pulau Marore dengan Pulau Balut dan Saranggani, antara Pulau

    Mianggas dengan St.Agustin yang berjarak 40 mil. Sedangkan jarak

    Pulau Marore dan Miangas dengan ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe

    kurang lebih 3 -4 kali lebih jauh.

    Selain faktor geografis , hubungan lin tas batas antara kedua penduduk di

    daerah perbatasan Indonesia da n Filipina disebabkan kepentingan

    pemasaran hasil perikanan dan pertanian. Hasil pertanian khususnya

    kopra dijual ke Filipina bagian selatan melalui sistem barter dengan

    barang -barang keperlu an rumah tangga lainnya.

    Faktor lain, kondisi tanah pulau -pulau di wilayah ini terdiri atas tanah

    karang dan berbatu sehingga gersang dan kurang subur. Pada musim

    angin utara dan barat yang dibarengi dengan ombak besar dan arus yang

    deras, pada musim angin selatan yang diikuti dengan musim kemarau

    mengakibatkan penduduk di perbatasan terutama di pulau Miangas,

    Marore, dan Kawio mengalami kekurangan bahan makanan. Untuk

    mengatasi hal itu,mereka mengusahakan makanan dari luar.

    Akibat intensitas hubungan di wi layah perbatasan kedua negara

    berlangsung perkawinan antara penduduk warga negara Indonesia

    dengan penduduk warga negara Filipina yang berada di pulau -pulau

    perbatasan sehingga terjalin hubungan berdasarkan ikatan kekeluargaan.

    Sehingga umum terjadi s alin g berkunjung di tempat - tempat bersejarah

    seperti makam pahlawan dan nenek moyang serta leluhur mereka di

    kedua negara.

    Dari beberapa faktor yang melatarbelakangi saling berkunjungnya

    penduduk di wilayah Sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian Selatan,

    me ngakibatkan ada penduduk yang berasal dari Sangihe dan Talaud yang

    telah menetap baik secara tetap maupun musiman terutama di Pulau

    Balut dan Pulau Saranggani.

    Berdasarkan data tahun data tahun 1980, kurang lebih 40.000 WNI

    menetap di wilayah Mindanao, bel um termasuk pelintas batas musiman.

    Pada tahun 2005, diperkirakan sekitar 25.000 WNI menetap di wilayah

    tersebut, dan banyak dari mereka yang telah memiliki anak dan cucu hasil

    perkawinan dengan penduduk Mindanao dan pulau -pulau perbatasan.

    Ketergantungan Ekonomi dengan Filipina

    Perairan di sekitar Pulau Marore dan pulau -pulau sekitar merupakan

    perairan yang kaya akan berbagaijenis ikan dan hasil laut yang bernilai

    tinggi seperti cakalang, tuna, ikan batu, ikan bobara, kerapu, dan

    baronang. Namun Transaks i hasil perikanan nelayan di wilayah

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 21

    perbatasan sepenuhnya bergantung dengan penampung dari Filipina.

    sepenuhnya dikuasai Filipina. Tidak satupun pengusaha perikanan berasal

    dari Indonesia yang melirik hasil tanggapan ikan nelayan di Pulau Marore.

    Transak si penjualan ikan ini sudah berlangsung bertahun - tahun, sejak

    pulau Marore ditetapkan sebagai pulau BCA (Border Crossing Agremeent).

    Harga ditentukan oleh penampung, nelayan Filipina yang datang

    seminggu dua hingga tiga kali dengan membayar ikan segar sepe rti jenis

    ikan bobara, kerapu, dan baronang dengan harga paling tinggi per kg Rp

    6000 -8000. Umumnya nelayan Filipina itu berasal dari Filipina Selatan,

    Pulau Balut dan Batu Ganding. Sebab, jarak tempuh berlayar dari Filipina

    Selatan ke Pulau Marore 3 -4 ja m, sedangkan Marore ke Tahuna, Ibukota

    Kabupaten Kepulauan Sangihe bisa mencapai 8 -9 jam dengan perahu

    nelayan pamboat dalam keadaan cuaca yang baik.

    Kesulitan lain yang dialami nelayan di Marore tidak memiliki tempat

    penampung ikan hasil tangkapan, sekal ipun pemerintah Provinsi Sulawesi

    Utara telah berupaya membantu membangun gudang pendingin, tetapi,

    ikan yang disimpan dalam gudang tersebut tak bisa bertahan lama karena

    es dalam gudang itu cepat sekali mencair, paling lama daya tahannya 5

    jam. Sementara es yang dibawah oleh nelayan Filipina bisa bertahan

    sampai 15 jam, dan es itupun diberikan cuma -cuma kepada nelayan

    Marore.

    Menurut Dinas Perikanan Sulawesi Utara, besar kemungkinan para

    nelayan Filipina yang beroperasi membeli hasil tanggapan nelayan di

    Marore tidak dilengkapi izin. Karena, terhitung sejak Desember 2005 lalu

    hubungan kerjasama Filipina dan Indonesia sektor penangkapan ikan

    sudah berakhir.

    Namun permasalahannya apabila nelayan Filipina dilarang dalam kegiatan

    transaksi perikanan di Pulau M arore, dampak buruknya hasil tanggapan

    ikan oleh nelayan di Pulau Marore sulit dipasarkan. Sebab, selama ini para

    pengusaha perikanan Indonesia sendiri terkesan tak berminat membeli

    ikan di nelayan pulau itu. Sebab disamping jaraknya jauh, jumlahnyapun

    ter batas.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 22

    4.1.3. Desa Mapur , Kabupaten Bintan

    Letak dan Keadaan Umu Lokasi

    Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian di Kepulauan Riau adalah desa

    Mapur. Letaknya di gugusan luar kepulauan Bintan dan adanya

    keterbatasan sarana transportasi menjadi pertimban gan. Selain itu, dari

    data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

    kepulauan Riau, desa ini termasuk desa kategori desa tertinggal dan

    masuk juga dalam program Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan

    tertinggal tahun 2006, PNPM 2007/2008 dan dikategorikan sebagai

    pulau/desa perbatasan. Desa Mapur terletak di gugus luar Kepulauan

    Bintan yang berbatasan ke Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,

    ke Selatan berbatasan dengan Laut Kelong, sebelah Timur dengan Laut

    Cina Selatan, dan sebelah Barat dengan Laut Kawal. Desa ini merupakan

    gugus kepulauan yang terdiri dari 16 pulau dengan luas total daratan

    sekitar 44 km2 (4.400 Ha). Hanya dua diantara gugusan pulau ini dihuni

    oleh penduduk desa, yaitu Pulau Mapur dan Pulau Merapas.

    Pulau Mapur merup akan pulau terbesar mencakup lebih dari 95 % luas

    wilayah daratan Desa Mapur, pulau Merapas yang dihuni oleh 5 KK

    merupakan pulau memiliki luas hanya sepersepuluh luas pulau Mapur.

    Selebihnya adalah pulau -pulau kecil yang masing -masing seluas 100 m2

    hing ga 1 Ha.

    Tabel 4. 10 . Pulau -pulau di Kepulauan Desa Mapur

    No. Nama Pulau Keterangan

    1. P. Mapur Pusat pemukiman

    2. P. Merapas Berpenghuni (

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 23

    Demografi

    Wilayah Desa Mapur diba gi dalam 2 RW (Kampung Bebak dan kampung

    Nendyang), dan 6 RT. Berdasarkan data desa tahun 2007, jumlah

    penduduk desa Mapur sebanyak 802 orang, terdiri dari 414 orang laki - laki

    dan 388 orang dengan jumlah rumah tangga 180. Pada tahun 2008,

    jumlah penduduk desa Mapur mengalami peningkatan menjadi 846 orang,

    terdiri dari laki - laki 450 orang, perempuan 396 orang, dengan jumlah

    rumah tangga 211.

    Perkembangan jumlah penduduk ini, selain disebabkan oleh kelahiran,

    terutama akibat perpindahan penduduk ke desa Ma pur. Perpindahan

    penduduk terdiri dari penduduk Mapur yang pindah di luar desa kembali

    ke desa Mapur, penduduk pendatang dan juga adanya penduduk yang

    tidak terdata pada tahun sebelumnya, terutama penduduk yang

    bermukim sementara di luar desa. Mereka ini terutama penduduk yang

    bekerja dan sedang menempuh pendidikan di kota -kota di Pulau Bintan,

    seperti di Kijang, Tanjung Pinang dan kota lainnya.

    Tabel 4. 11 . Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Mapur Tahun 2007 -2008

    Tahun Laki - laki

    (jiwa)

    Perempuan

    (J iwa)

    Jumlah

    (Jiwa)

    Jumlah

    KK

    2007*) 414 388 802 180

    2008**) 450 396 846 211

    *) Keadaan Januari 2007 **) Keadaan April 2008

    Bila dilihat dari struktur usia , desa Mapur didominasi oleh penduduk usia

    muda. Penduduk yang berusia dibawah 10 tahun mencapai 28,37 persen

    dari seluruh penduduk, penduduk berusia10 -17 tahun mencapai 15,01

    persen, usia 18 -25 tahun 10,28 persen dan penduduk berusia 26 -40

    tahun mencakup 27,66 persen. Sementara penduduk yang berusia lebih

    dari 40 tahun hanya sekitar 18,68 persen da ri jumlah penduduk desa

    Mapur. Hal ini berarti ke depannya, akan terjadi pertumbuhan penduduk

    yang pesat di desa Mapur. Implikasinya, akan ada tekanan yang lebih

    besar pada daya dukung wilayah desa kepulauan ini.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 24

    Tabel 4. 12 . Struktur Penduduk Ber dasarkan Usia Desa Mapur

    No. Umur

    (Tahun)

    Laki - laki Perempuan Jumlah

    (Jiwa)

    Persentase

    (%)

    1. 0 - 9 132 108 240 28.37

    2. 10 - 17 62 65 127 15.01

    3. 18 - 25 43 44 87 10.28

    4. 26 - 40 133 101 234 27.66

    5. > 40 80 78 158 18.68

    Jumlah 450 396 846 100.0 0

    Sumber : Data Desa Mapur, 2008

    Salah satu karakteristik yang umum ditemui pada desa tertinggal adalah

    tingkat pen didikan yang rendah dari penduduknya. Hal ini juga ditemui di

    desa Mapur. Dari pendataan penduduk usia 18 -40 tahun, sekitar 79

    orang tidak sekolah, atau 24,61 persen dari kelompok usia 18 -40 tahun

    dan 9,34 persen dari jumlah penduduk desa, dan 39 orang diantaranya

    masih buta huruf. Sementara yang tidak tamat SD mencakup 13,08

    persen dari kelompok usia 18 -40 tahun dan 4,96 persen dari jumla h

    penduduk. Penduduk usia 18 -40 tahun yang tamat SD sebanyak 160

    orang (49,84 persen) atau 18,91 persen dari jumlah penduduk desa.

    Penduduk usia 18 -40 tahun yang tamat SMP 10 orang (3,12 persen), 1,18

    persen dari jumlah penduduk dan tamat SLTA 30 orang ( 9,35 persen)

    atau 3,55 persen dari jumlah penduduk.

    Tabel 4. 13 . Struktur Penduduk Perdasarkan Tingkat Pendidikan

    (Usia 18 -40 Tahun) Desa Mapur

    No. Tingkat Pendidikan Jumlah

    (Jiwa)

    (%) thd

    Usia 18 - 40

    Tahun

    (%) thd

    Jlh.

    Penduduk

    1. Tidak sekolah/Buta Hu ruf 79 24.61 9.34

    2. Tidak Tamat SD 42 13.08 4.96

    3. Tamat SD 160 49.84 18.91

    5. Tamat SLTP 10 3.12 1.18

    7. Tamat SLTA 30 9.35 3.55

    Jumlah Usia 18 -40 Tahun 321 100.00 37.94

    Sumber : Data Desa Mapur, 2008

    Layaknya wilayah kepulauan, mata pencaharian utama penduduk desa

    Mapur adalah sektor perikanan. Sebanyak 199 rumah tangga, 94,31

    persen, bekerja sebagai nelayan, 5 rumah tangga (3,32 persen) bekerja

    sebagai petani, 7 rumah tangga (3,32 persen) bermatapencaharian

    dagang, 4 RMT (1,90 persen) buruh/t ukang, sisanya 5 RMT (2,37 persen)

    merupakan PNS. Jumlah RMT terdata menurut mata pencaharian adalah

    220, atau 104,31 persen dari jumlah rumah tangga, 211 rumah tangga,

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 25

    hal ini sebagai menunjukkan adanya sumber mata pencaharian

    sampingan yang ditekuni ole h rumah tangga. Rumah tangga tangga

    petani dan pedagang umumnya juga melakukan kegiatan perikanan

    (nelayan).

    Tabel 4.1 4 . Struktur Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Desa Mapur

    No. Mata Pencaharian Jumlah (RMT) Persentase (%) thd

    Jumlah RMT

    1 Nelay an 199 94.31

    2 Petani 5 2.37

    3 Dagang 7 3.32

    4 Buruh/Tukang 4 1.90

    5 PNS 5 2.37

    6 Lain -Lain -

    Jumlah 220 104.27

    Sumber: Data Desa Mapur, 2008

    Desa Mapur dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Dari data tahun 2007,

    terdapat 9 kelompok etnis yang mendiami desa kepulauan ini, yaitu

    Melayu, Bugis, Flores, Buton, Jawa, Minang, Batak, Bawean dan Tionghoa.

    Mayoritas penduduk adalah etnis Melayu, mencakup 66,08 persen dari

    jumlah penduduk tahun 2007. Etnis kedua terbanyak adalah Bugis

    mencakup 12,29 persen dari penduduk desa, diikuti oleh Jawa, 7,21

    persen, Bawean 5,08 persen, Buton 3,55 persen, Flores 2,84 persen,

    Tionghoa, 1,54 persen dan Batak 0,35 persen.

    Tabel 4.1 5 . Struktur Penduduk Berdasarkan Etnis Desa Mapur

    No

    .

    Etnis Laki -Laki Perempua n Jumlah (Jiwa) Persentase

    1 Melayu 290 269 559 66.08

    2 Bugis 52 52 104 12.29

    3 Flores 19 5 24 2.84

    4 Buton 26 4 30 3.55

    5 Jawa 24 37 61 7.21

    6 Minang 5 4 9 1.06

    7 Batak 2 1 3 0.35

    8 Bawean 22 21 43 5.08

    9 Tionghoa 9 4 13 1.54

    Jumlah 449 397 84 6 100.00

    Sumber : Data Desa Mapur, 2008

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 26

    Sementara, dilihat dari agama yang dianut oleh penduduk desa, 97,63

    persen menganut agama Islam, 1,87 persen beragama Budha (etnis

    Tionghoa), dan 0,5 persen penganut Katholik. Secara umum, hubungan

    sosial diantara masyarakat dari berbagai etnis dan agama di desa ini

    cukup baik.

    Tabel 4. 16 . Struktur Penduduk Berdasarkan Agama Desa Mapur

    No. Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

    1. Islam 783 97.63

    2. Kristen Katolik 4 0.50

    3. Kristen Protestan - -

    4. Budha 15 1. 87

    5. Hindu - -

    802 100.00

    Sumber: Data desa Mapur, J anuari 2007

    Sarana dan Prasarana

    Aksesibilitas dan Sarana Transportasi

    Desa Mapur berjarak sekitar 16 mil laut dari Kijang, ibukota kecamatan

    Bintan Timur, yang merupakan pusat kegiatan administras i dan ekonomi

    terdekat. Tidak ada sarana transportasi rutin yang menghubungkan desa

    dengan Kijang atau dengan wilayah pulau -pulau sekitarnya. Untuk

    menuju desa, hanya dapat ditempuh dengan menumpang pompong

    (sejenis perahu bermotor kecil) yang kebetulan hendak menuju desa

    untuk membawa pedagang dan nelayan yang baru belanja atau menjual

    hasil tangkapan di Kijang. Kalau tidak harus dengan mencarter pompong

    dengan harga yang cukup mahal antara 500 -800 ribu pulang pergi. Dan

    apabila ombak sedang tinggi, ti dak ada perahu yang berani mengarungi

    laut menuju desa.

    Ketiadaan sarana transportasi yang rutin dan akibatnya, tingginya biaya

    transportasi, merupakan hambatan mobilitas penduduk desa Mapur. Hal

    ini mengakibatkan lebih mahalnya barang -barang kebutuhan masyarakat

    yang didatangkan dari luar desa.

    Bagi penduduk desa yang ingin bepergian ke Kijang, penduduk menyewa

    pompong secara berkelompok atau menumpang perahu yang sedang

    membawa ikan untuk dijual ke tauke di sekitar Kijang. Biasanya mereka

    dikenai ta rif antara Rp 20 -30 ribu sekali jalan. Berkaitan dengan

    keterbatasan sarana transportasi ini, penduduk mengusulkan kepada

    pemerintah kabupaten Bintan dan kepada PNPM penyediaan pompong.

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 27

    jalur tambatan perahu sepanjang 500 meter menjorok dari bibir pantai

    menuju gapura sebagai gerbang utama desa. Tetapi pada masing masing

    cluster

    sendiri - sendiri.

    Gambar 4 - 4 . Pemukiman Masyarakat Nelayan Desa Mapur

    Menjorok ke Pantai dengan Lajur Tambatan Perahu

    Sementara di dalam pulau utama, pulau Mapur, penduduk dengan cukup

    mudah menempuh dari satu sisi pulau ke sisi lainnya dengan berjalan

    kaki. Namun demikian terdapat juga 12 sepeda motor dan 40 sepeda di

    desa. Kedua jenis sarana ini dipakai juga sebagai sarana transportasi

    lanjutan di daratan pulau Bintan dengan menumpankannya pada perahu

    menuju Kijang.

    Sarana - Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya

    Sarana pendidikan yang ada di desa Mapur 1 SD Negeri, dan 1 SMP

    terbuka. Sebagian penduduk yang kemampuan ekonominya relatif lebih

    baik, memilih menyekolahkan anak setelah lulus SD ke Kijang, ibukota

    kecamatan Bintan Timur, yang berjarak sekitar 16 mil laut. Penduduk

    yang kur ang mampu akan menyekolahkan anaknya ke SMP terbuka yang

    ada di desa. Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA, tidak ada

    pilihan selain menyekolahkan anaknya ke Kijang. Anak yang sekolah di

    Kijang atau di kota sekitarnya harus menetap di lokasi seki tar sekolah,

    karena jarak dan tidak ada sarana transportasi yang rutin ke wilayah

    kepulauan Mapur.

    Sebagai pusat pelayanan kesehatan desa, terdapat 1 puskemas

    pembantu, yang baru berdiri kurang dari satu tahun yang kadang

  • Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

    Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

    Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

    HARDIMAN SIAGIAN IV - 28

    dikunjungi dokter PTT secara tidak teratur. Pelayanan kesehatan di desa

    pada dasarnya berpusat pada kehadiran seorang bidan desa dan poliklinik

    desa (polindes) yang melayani tidak hanya masalah kesehatan ibu dan

    anak tetapi juga masalah -masalah kesehatan lainnya. Sarana pelayanan

    kesehat an lain adalah pelayanan pos yandu yang dikelola oleh wanita

    desa sendiri dengan bimbingan dari bidan desa.

    Gambar 4 - 5 .

    Sarana Perdagangan

    Untuk mendapatkan kebutuhan barang sehari -hari, di desa terda pat 7

    warung yang menjual berbagai barang dari kebutuhan rumah tangga,

    bahan bakar bahkan air galon yang semuanya didatangkan dari Kijang.

    Sesekali datang juga pedagang keliling yang menjajakan berbagai

    keperluan seperti pakaian, peralatan dapur dan baran g lain. Dalam skala

    yang kecil terdapat 2 -3 orang nelayan yang cukup sejahtera yang

    bertindak sebagai tengkulak bagi hasil -hasil perikanan dari nelayan kecil.

    Kelembagaan Masyarakat Desa

    Kelembagaan Sosial Kemasyarakatan

    Kelembagaan sosial yang cukup kuat dalam kehidupan sosial masyarakat

    desa adalah pemerintahan desa. Selain itu terdapat Lembaga

    Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Badan Perwakilan desa yang

    menjadi bagian dari system pemerintahan desa. Secara umum tingkat

    partisipasi masyarakat desa da lam kegiatan sosial dan perencanaan

    pengembangan desa cukup tinggi. Dalam perencanaan dan pengambilan

    keputusan program desa dilakukan juga rapat yang melibatkan tidak