studi laboratorium pengaruh injeksi...
TRANSCRIPT
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 1
STUDI LABORATORIUM PENGARUH INJEKSI POLIMER CMC-AM TERHADAP
PEROLEHAN MINYAK
Oleh
Gabriela Crystina Parera *
Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar D.E.A. **
Sari
Injeksi larutan polimer merupakan salah satu metode enhanced oil recovery yang dapat meningkatkan faktor
perolehan minyak. Penambahan polimer akan mengurangi mobilitas air sehingga aliran air tidak akan
mendahului aliran minyak dan sweep efficiency akan meningkat. CMC-AM dipertimbangkan sebagai alternatif
polimer untuk injeksi karena terbuat dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia. Polimer ini berbahan dasar
akrilamida dan juga selulosa yang berasal dari limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS).
Studi laboratorium ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan reologi dan kinerja biopolimer CMC-AM
dalam meningkatkan faktor perolehan minyak dengan injeksi air serta polimer komersil berjenis HPAM.
Pengukuran reologi menunjukkan bahwa CMC-AM merupakan fluida Non-Newtonian. Untuk mencapai suatu
nilai viskositas tertentu, CMC-AM membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding HPAM. CMC-AM
juga menunjukkan ketahanan terhadap shear rate dan temperatur yang lebih baik baik daripada HPAM. Hasil
lain menunjukkan bahwa CMC-AM menunjukkan ketahanan yang lebih baik pada salinitas dibawah 20000
ppm. Aplikasi injeksi larutan polimer dipengaruhi oleh banyaknya channel, ukuran molekul polimer, dan ukuran
pori batuan. Untuk core set 1, RF dari proses injeksi air yang sangat rendah kemungkinan disebabkan oleh
saturasi air yang tinggi sehingga minyak sulit mengalir. Sementara RF dari core yang diinjeksi CMC-AM sangat
tinggi kemungkinan disebabkan oleh keberadaan channel yang tidak dapat disumbat oleh molekul polimer.
Untuk core set 3, RF dari core yang diinjeksi air lebih tinggi dibanding core yang diinjeksi polimer
kemungkinan juga disebabkan oleh adanya channel.
Kata Kunci : Polimer CMC-AM, Shear Rate, Viskositas, Faktor Perolehan
Abstract
Polymer injection is one of Enhanced Oil Recovery (EOR) methods which can increase recovery factor.
Polymer solution will decrease the water mobility so that the possibilities of water flow bypassing the oil flow
will be smaller. CMC-AM is considered as an alternative for polymer injection because it is made from material
which is widely available in Indonesia. Cellulose of the palm oil empty fruit bunch and acrylamide are used as
the polymer raw material.
The main purpose of the laboratory study is to investigate performance of biopolymer CMC-AM in improving
recovery factor by comparing its rheology and recovery factor (RF) results with water flooding and a widely
used polymer type, HPAM.
Rheology observation shows that CMC-AM behaves as non-Newtonian fluid. Compared with concentration of
HPAM solution, higher CMC-AM concentration is needed to reach certain viscosity value. Observation results
show that CMC-AM has better resistance towards temperature and shear rate than HPAM. CMC-AM also has
better resistance than HPAM at salinity below 20,000 ppm. Applicability of polymer flooding depends on
channels within the reservoir, size of polymer molecules, and pore size of the rock. From core set 1 analysis,
very low RF obtained from water injected core might be due to high water saturation which inhibits oil to flow.
While very high RF obtained from CMC-AM injected core might be caused by channels within the core that
couldn’t be plugged by polymer molecules. From core set 3 analysis, highest RF obtained by water injected core
might be caused by channels within the core.
Keywords : Polymer CMC-AM, Shear Rate, Viscosity, Recovery Factor
*)Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB
**)Pembimbing/Dosen Program Studi Teknik Perminyakan ITB
Gabriela Crystina Parera, 122060
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Teknologi dan metode yang dapat meningkatkan
perolehan minyak terus dikembangkan untuk
semakin meningkatkan produksi namun
biaya pengeluaran yang ekonomis. Injeksi larutan
polimer merupakan salah satu metode enhanced oil
recovery yang dapat meningkatkan faktor
perolehan minyak. Aplikasi dari injeksi polimer di
Indonesia saat ini masih bergantung pada
penggunaan bahan polimer buatan luar negeri.
Oleh karena itu dilakukan studi laboratorium untuk
pengembangan jenis polimer yang dapat diproduksi
di dalam negeri dan dengan bahan yang relatif
mudah didapat sehingga dapat menekan biaya
pengeluaran untuk proses injeksi.
1.2 Tujuan
Studi laboratorium ini bertujuan untuk meng
kinerja biopolimer CMC-AM dalam meningkatkan
faktor perolehan minyak dan perbandingannya
dengan injeksi air serta polimer pembanding yang
dijual secara komersil.
1.3 Pembatasan Masalah
Studi laboratorium ini meliputi pengukuran reologi
polimer pada berbagai salinitas dan konsentrasi
untuk mengetahui karakter polimer yang diuji,
namun hanya mengaplikasikan
konsentrasi masing-masing jenis polimer
proses injeksi satu dimensi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polimer CMC - AM
Polimer CMC – AM merupakan polimer yang diuji
reologi dan hasil perolehan minyaknya. Polimer ini
berbahan dasar akrilamida dan selulosa yang
berasal dari limbah tandan kosong kelapa sawit
(TKKS). Tahap awal proses pembuatan polimer ini
yaitu prosedur sintesis karboksimetil selulosa
(CMC) meliputi alkalinasi dan eterifikasi.
Selanjutnya dilakukan kopolimerisasi
CMC dengan poliakrilamida.
, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
dan metode yang dapat meningkatkan
terus dikembangkan untuk
semakin meningkatkan produksi namun dengan
Injeksi larutan
enhanced oil
yang dapat meningkatkan faktor
njeksi polimer di
Indonesia saat ini masih bergantung pada
penggunaan bahan polimer buatan luar negeri.
dilakukan studi laboratorium untuk
pengembangan jenis polimer yang dapat diproduksi
di dalam negeri dan dengan bahan yang relatif
didapat sehingga dapat menekan biaya
Studi laboratorium ini bertujuan untuk mengetahui
AM dalam meningkatkan
an perbandingannya
pembanding yang
meliputi pengukuran reologi
polimer pada berbagai salinitas dan konsentrasi
untuk mengetahui karakter polimer yang diuji,
satu nilai
masing jenis polimer pada
AM merupakan polimer yang diuji
reologi dan hasil perolehan minyaknya. Polimer ini
selulosa yang
berasal dari limbah tandan kosong kelapa sawit
. Tahap awal proses pembuatan polimer ini
yaitu prosedur sintesis karboksimetil selulosa
(CMC) meliputi alkalinasi dan eterifikasi.
Selanjutnya dilakukan kopolimerisasi graft antara
CMC memiliki kelebihan antara lain
terdegradasi akibat temperatur, salinitas, dan
rate yang tinggi. Selain itu polimer ini juga
ekonomis karena harganya yang relatif murah.
Kekurangannya, untuk mencapai viskositas
tinggi diperlukan larutan CMC dengan konsentrasi
yang besar.
Gambar 2.1 Struktur molekul CMC
Poliakrilamida banyak digunakan dalam proses
polymer flooding karena viskositas yang besar dan
harga yg relatif murah. Poliakrilamida dihidrolisis
untuk menghasilkan hydrolyzed partial
polyacrylamide (HPAM). Proses
meningkatkan nilai viskositas dan volume
hidrodinamiknya. Kelemahan HPAM adalah
mudah terdegradasi karena temperatur,
dan salinitas yang tinggi.
Gambar 2.2 Struktur molekul akrilamida
Gambar 2.3 Struktur molekul HPAM
Diharapkan penggunaan CMC yang berasal dari
TKKS dan akrilamida dalam pembuatan
CMC-AM akan menghasilkan polimer yang
memiliki ketahanan yang tinggi terhadap salinitas,
temperatur, dan shear rate, sekaligus memiliki nilai
keekonomian yang tinggi dan dapat mengatasi
permasalahan banyaknya limbah TKKS
2
CMC memiliki kelebihan antara lain tidak mudah
temperatur, salinitas, dan shear
Selain itu polimer ini juga
ekonomis karena harganya yang relatif murah.
untuk mencapai viskositas yang
tinggi diperlukan larutan CMC dengan konsentrasi
Struktur molekul CMC
Poliakrilamida banyak digunakan dalam proses
karena viskositas yang besar dan
harga yg relatif murah. Poliakrilamida dihidrolisis
hydrolyzed partial
(HPAM). Proses ini akan
skositas dan volume
hidrodinamiknya. Kelemahan HPAM adalah
adasi karena temperatur, shear rate,
Struktur molekul akrilamida
Struktur molekul HPAM
yang berasal dari
dan akrilamida dalam pembuatan polimer
AM akan menghasilkan polimer yang
memiliki ketahanan yang tinggi terhadap salinitas,
temperatur, dan shear rate, sekaligus memiliki nilai
keekonomian yang tinggi dan dapat mengatasi
TKKS.
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 3
2.2 Reologi
Reologi merupakan perilaku aliran dari suatu
material yang mendapatkan gaya tertentu. Larutan
polimer merupakan jenis fluida non-Newtonian.
Pada fluida jenis ini, shear rate tidak berhubungan
secara linear terhadap shear stress yang dialami.
Viskositas polimer akan menurun seiring dengan
kenaikan temperatur, salinitas, dan shear rate.
Gambar 2.4 Kurva hubunganshear rate–shear
stress
2.3 Injeksi Larutan Polimer
Injeksi larutan polimer ke dalam reservoir baik
untuk diaplikasikan pada reservoir heterogen. Profil
injeksi yang tidak stabil pada reservoir heterogen
disebabkan oleh adanya rekahan dan permeabilitas
yang bervariasi. Dengan penambahan polimer,
mobilitas air dapat dikontrol sehingga aliran air
yang seringkali mendahului aliran minyak akan
lebih berkurang. Molekul polimer yang berukuran
besar akan mampu menyumbat channel sehingga
efisiensi penyapuan maupun displacement akan
meningkat. Faktor perolehan minyak menjadi lebih
tinggi dibanding proses injeksi air tanpa polimer.
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam studi laboratorium
ini yaitu:
a. Core flood apparatus
b. Redwood viscometer
c. Fann VG viscometer
d. Neraca digital
e. Jangka sorong
f. PVC paralon
g. Pompa vakum
h. Pycnometer
i. Gelas kimia
j. Gelas ukur
k. Penjepit
l. Labu elemeyer dan sumbat
m. Labu elemeyer berisi kapur
n. Oven
3.2 Bahan
a. Pasir kwarsa 35-50 mesh
b. Semen bangunan
c. Air formasi lapangan X
d. Crude oil lapangan X
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
4.1 Pengukuran Properti Fluida
Densitas diukur dengan menggunakan picnometer
dengan persamaan berikut.
� � ������� ��� – ����� ��������
…..( 4.1 )
Viskositas diukur dengan menggunakan Redwood
Viscometer. Data salinitas brine diperoleh dari
Laboratorium Kualitas Air Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan (FTSL) ITB.
4.2 Pengukuran Reologi Polimer
Reologi polimer diukur dengan menggunakan Fann
VG viscometer pada suhu dan salinitas yang
bervariasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
ketahanan polimer terhadap salinitas dan
temperatur. Langkah-langkah pengukuran yaitu
sebagai berikut.
1. Larutan polimer berbagai konsentrasi dan
salinitas disiapkan untuk diukur
reologinya.
2. Pemanas dinyalakan hingga mencapai
temperatur yang diinginkan.
3. Masukkan polimer ke dalam cup.
4. Rotor dinyalakan dengan kecepatan
meningkat mulai dari RPM 100, 200, 300,
hingga 600. Masing-masing dial reading
dicatat.
5. Alat dimatikan beberapa saat.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0 500 1000 1500Shea
r S
tres
s (
dyn
e/cm
²)
Shear Rate (1/s)
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 4
6. Rotor dinyalakan dengan kecepatan
menurun mulai dari RPM 600, 300, 200,
hingga 100. Masing-masing dial reading
dicatat.
Perhitungan viskositas menggunakan persamaan
berikut.
�� � �.���� ���.��� � …………………..……….(4.2)
Keterangan:
µa = apparent viscosity (cP)
θN = dial reading at N RPM
N = kecepatan rotor (RPM)
�! � "#�� $ "%�� ………………..………(4.3)
Keterangan:
µp = plastic viscosity (cP)
θ600 = dial reading pada 600 RPM
θ300 = dial reading pada 300 RPM
4.3 Pembuatan Core Buatan
Karena tidak tersedianya core asli dari lapangan X,
maka dipakai core buatan dari campuran semen
sebanyak 20% berat dan pasir sebanyak 80% berat.
Core buatan yang digunakan adalah core dengan
porositas mendekati porositas reservoir lapangan X.
Langkah-langkah pembuatan core yaitu sebagai
berikut.
1. Pasir dibersihkan dan dikeringkan dengan
oven.
2. Cetakan core dari pipa paralon diameter 1
inch disiapkan.
3. Bagian dalam pipa dilapisi dengan grease.
4. Pasir dan semen dicampur sambil
ditambahkan air sedikit demi sedikit
hingga campuran menjadi sedikit basah.
5. Campuran dicetak ke dalam cetakan dari
pipa dengan cara dipadatkan.
6. Setelah dikeringkan selama 2 hari, core
dikeluarkan dari cetakan.
7. Ujung-ujung core diratakan kemudian
core dimasukkan ke dalam oven.
8. Dimensi core diukur dan ditimbang berat
keringnya.
Porositas dihitung dengan menggunakan
persamaan-persamaan berikut.
Ø � �� � �'(���)(� �'(� * 100 % …………….…...( 4.4)
.!/01 ���2�23 4 ��� ��
5� �� ………………...( 4.5)
.6789 � :�;<� =� …………...…………..... (4.6 )
4.4 Penjenuhan Core dengan Brine
Langkah-langkah penjenuhan core dengan brine
yaitu sebagai berikut.
1. Core dijenuhkan dengan brine lapangan X
selama kurang lebih 24 jam sambil
menggunakan pompa vakum.
2. Berat basah core dicatat.
4.5 Pendesakan Core dengan Minyak
Proses pendesakan berlangsung pada suhu 55°C
sesuai dengan data lapangan X. Minyak lapangan X
diinjeksikan ke dalam core menggunakan core
flood apparatus. Proses ini menggambarkan migrasi
minyak dalam reservoir. Saturasi brine yang tersisa
didalam core merupakan Saturation Water Connate
(Swc).
4.6 Injeksi Air dan Larutan Polimer
Pendesakan minyak oleh air dan larutan polimer
berlangsung secara satu dimensi. Prosedur injeksi
air dan larutan polimer yaitu sebagai berikut.
1. Injeksi air dilakukan terhadap core A, 1,
dan 5. Air diinjeksi dengan laju injeksi 0,5
– 0,6 ml/menit sebanyak 3 PV.
2. Injeksi larutan polimer Hybo 1000 ppm
dilakukan terhadap core D, 2, dan 7
sebanyak 0,5 PV dengan laju injeksi 0,5 –
0,6 ml/menit. Setelah itu dilanjutkan
dengan injeksi air sebanyak 3 PV dengan
laju injeksi 0,5 - 0,6 ml/menit.
3. Injeksi larutan polimer CMC – AM 5000
ppm dilakukan terhadap core D, 2, dan 7
sebanyak 0,5 PV dengan laju injeksi 0,5 –
0,6 ml/menit. Setelah itu dilanjutkan
dengan injeksi air sebanyak 3 PV dengan
laju injeksi 0,5 - 0,6 ml/menit.
4. Selama proses injeksi, digunakan
confining pressure di bagian samping core
sebesar 160 psi. Hal ini merepresentasikan
tekanan overburden di reservoir dan
menghindari adanya aliran kea rah luar
Gabriela Crystina Parera, 122060
core. Volume minyak yang tertampung
selama proses injeksi diukur sebagai
volume minyak yang terproduksi.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengamatan Reologi Polimer
Percobaan ini membandingkan reologi polimer
CMC-AM dengan polimer HPAM, serta
membandingkan recovery factor yang dihasilkan
keduanya dengan injeksi air. CMC
menggunakan perbandingan massa CMC dan AM
sebesar 1:4.
Fluida ρ (gr/ml)
Brine 0.997
Oil 0.915
Tabel 5.1Properti fluida pada temperatur 55°C
Pada pengukuran reologi, digunakan empat larutan,
yaitu CMC-AM dengan perbandingan
dan HPAM dengan konsentrasi 500, 1000, dan
1500 ppm. Pengukuran awal dimulai dari
kecepatan rotor yang rendah lalu meningkat hingga
kecepatan paling tinggi (RPM 600). Lalu untuk
pengukuran kedua dilakukan prosedur sebaliknya.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan
polimer terhadap shear rate yang tingg
pengamatan menunjukkan bahwa kedua polimer
memiliki nilai viskositas yang relatif tidak berubah
pada kedua pengukuran, Dapat disimpulkan bahwa
polimer tahan terhadap shear rate yang tinggi.
Gambar 5.1 Hubungan shear rate
viskositas CMC-AM 5000 ppm pada
ppm
0
5
10
15
20
0 500 1000Viskositas
(cP)Shear rate (1/s)
72 F 100 F 150 F
, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
core. Volume minyak yang tertampung
selama proses injeksi diukur sebagai
volume minyak yang terproduksi.
Percobaan ini membandingkan reologi polimer
AM dengan polimer HPAM, serta
yang dihasilkan
keduanya dengan injeksi air. CMC-AM
menggunakan perbandingan massa CMC dan AM
µ (cP)
0.523
15.092
Properti fluida pada temperatur 55°C
Pada pengukuran reologi, digunakan empat larutan,
dengan perbandingan 5000 ppm,
dan HPAM dengan konsentrasi 500, 1000, dan
Pengukuran awal dimulai dari
kecepatan rotor yang rendah lalu meningkat hingga
kecepatan paling tinggi (RPM 600). Lalu untuk
pengukuran kedua dilakukan prosedur sebaliknya.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan
polimer terhadap shear rate yang tinggi. Hasil
kedua polimer
memiliki nilai viskositas yang relatif tidak berubah
pada kedua pengukuran, Dapat disimpulkan bahwa
yang tinggi.
shear rate dengan
pada salinitas 0
Gambar 5.2 Hubungan shear rate
viskositas HPAM 500 ppm pada salinitas 0 ppm
Gambar 5.3 Hubungan shear rate
viskositas HPAM 1000 ppm pada salinitas 0 ppm
1500
192 F
0
2
4
6
8
10
12
0 500 1000
Viskositas
(cP)Shear rate (1/s)
72 F 100 F 150 F
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
0 500 1000Viskositas
(cP)Shear rate (1/s)
73 F 100 F 150 F
5
shear rate dengan
pada salinitas 0 ppm
shear rate dengan
pada salinitas 0 ppm
1000 1500
150 F 180 F
1000 1500
150 F 180 F
Gabriela Crystina Parera, 122060
Gambar 5.4 Hubungan shear rate
viskositas HPAM 1500 ppm salinitas 0 ppm
Gambar 5.5 Perbandingan viskositas polimer
terhadap shear rate pada salinitas 0 ppm
temperatur 150 °F
Kenaikan shear rate menyebabkan penurunan
viskositas pada kedua jenis polimer. Hal ini terjadi
karena gaya mekanik menyebabkan degradasi pada
polimer. Analisis pengaruh kenaikan shear rate
menunjukkan bahwa penurunan viskositas
AM lebih rendah dibanding HPAM. Dapat
disimpulkan bahwa CMC-AM memiliki ketahanan
yang lebih baik dari HPAM terhadap kenaikan
shear rate. Untuk HPAM, semakin tinggi
konsentrasi larutan, maka viskositas juga semakin
besar. Untuk mencapai nilai viskositas yang sama
dibutuhkan konsentrasi CMC-AM yang jauh lebih
besar dibanding HPAM.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 500 1000Viskositas
(cP) Shear rate (1/s)
73 F 100 F 150 F
0
5
10
15
20
25
30
0 500Viskositas
(cP)Shear rate (1/s)
CMC-AM 5000 ppm HPAM 1000 ppm
HPAM 500 ppm HPAM 1500 ppm
, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
shear rate dengan
viskositas HPAM 1500 ppm salinitas 0 ppm
Perbandingan viskositas polimer
pada salinitas 0 ppm,
Kenaikan shear rate menyebabkan penurunan
. Hal ini terjadi
degradasi pada
polimer. Analisis pengaruh kenaikan shear rate
enurunan viskositas CMC-
AM lebih rendah dibanding HPAM. Dapat
AM memiliki ketahanan
i HPAM terhadap kenaikan
Untuk HPAM, semakin tinggi
viskositas juga semakin
besar. Untuk mencapai nilai viskositas yang sama
AM yang jauh lebih
Gambar 5.6 Hubungan viskositas
temperatur CMC–AM 5000 ppm pada salinitas
ppm
Gambar 5.7 Hubungan viskositas dengan
temperatur HPAM 1000 ppm pada salinitas 0 ppm
Gambar 5.8 Perbandingan viskositas
RPM 600 (shear rate 1022,4 1/s) terhadap
temperatur pada salinitas 0 ppm
1500
180 F
1000
HPAM 1000 ppm
HPAM 1500 ppm
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 50 100Viskositas
(cP)Temperatur (F)
RPM 100 RPM 200
RPM 300 RPM 600
0
5
10
15
20
25
0 50 100Viskositas
(cP)Temperatur (F)
RPM 100 RPM 200
RPM 300 RPM 600
0
10
20
30
0 50 100Viskositas
(cP)Temperatur (F)
HPAM 1500 ppm HPAM 500 ppm
HPAM 1000 ppm CMC
6
iskositas dengan
ppm pada salinitas 0
Hubungan viskositas dengan
temperatur HPAM 1000 ppm pada salinitas 0 ppm
Perbandingan viskositas polimer di
1/s) terhadap
pada salinitas 0 ppm
150 200
RPM 200
RPM 600
150 200
RPM 200
RPM 600
150 200
HPAM 500 ppm
CMC-AM 5000 ppm
Gabriela Crystina Parera, 122060
Analisis pengaruh temperatur terhadap reologi
polimer menunjukkan bahwa kedua polimer
memiliki ketahanan yang tidak jauh berbeda dilihat
dari hasil pengukuran reologi. Kedua polimer
memiliki trend penurunan viskositas yang relatif
sama.
Gambar 5.9 Perbandingan viskositas polimer di
RPM 300 (shear rate 511,2 1/s) terhadap salinitas
Pengukuran reologi pada berbagai salinitas larutan
juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh
salinitas terhadap kedua polimer. Salinitas yang
digunakan pada studi ini yaitu NaCl. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada nilai
salinitas dibawah 20.000 ppm, CMC-AM memiliki
ketahanan yang jauh lebih baik dibanding HPAM,
terlihat dari nilai viskositasnya. Sementara HPAM
mengalami penurunan viskositas yang signifikan
pada salinitas yang rendah.
5.2 Pengamatan Hasil Core Flooding
Set Core Injeksi φ
1 A Air 3 PV 0.198
2 1 Air 3 PV 0.299
3 5 Air 3 PV 0.322
1 D HPAM 0,5 PV
+ air 3 PV
0.185
2 2 HPAM 0,5 PV
+ air 3 PV
0.313
3 7 HPAM 0,5 PV
+ air 3 PV
0.316
0
5
10
15
20
0 10000 20000 30000Viskositas
(cP)salinitas (ppm)
CMC-AM 5000 ppm, 74 F CMC-AM 5000 ppm, 180 F
HPAM 1000 ppm, 74 F HPAM 1000 ppm, 180 F
, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
Analisis pengaruh temperatur terhadap reologi
polimer menunjukkan bahwa kedua polimer
memiliki ketahanan yang tidak jauh berbeda dilihat
dari hasil pengukuran reologi. Kedua polimer
n viskositas yang relatif
Perbandingan viskositas polimer di
1/s) terhadap salinitas
Pengukuran reologi pada berbagai salinitas larutan
juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh
salinitas terhadap kedua polimer. Salinitas yang
digunakan pada studi ini yaitu NaCl. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada nilai
AM memiliki
ketahanan yang jauh lebih baik dibanding HPAM,
terlihat dari nilai viskositasnya. Sementara HPAM
mengalami penurunan viskositas yang signifikan
Swc RF
(%)
0.787 18.75
0.357 35.71
0.336 51.73
0.375 62.00
0.319 50.71
0.383 28.42
Set Core Injeksi φ
1 K CMC 0,5 PV +
air 3 PV
0.25
2 11 CMC 0,5 PV +
air 3 PV
0.3
3 9 CMC 0,5 PV +
air 3 PV
0.326
Tabel 5.1 Properti dan recovery factor
dihasilkan oleh core
Gambar 5.10 Perbandingan recovery factor
yang dihasilkan oleh core
Pada prosedur injeksi air dan larutan polimer ke
dalam core, akan dibandingkan RF yang dihasilkan
oleh injeksi air, HPAM 1000 ppm, dan CMC
5000 ppm. Secara teoritis, larutan polimer akan
mendorong minyak dan aliran air tidak akan
mendahului aliran minyak apabila rasio mobilitas
≤ 1. Namun dikarenakan tidak tersedianya data
permeabilitas, pemilihan konsentrasi polimer
menggunakan pendekatan viscosity r
menggunakan larutan polimer yang viskositasnya
tidak jauh berbeda dengan viskositas minyak,
diharapkan dapat meminimalkan terjadinya
channeling.
Pada proses produksi minyak di lapangan, produksi
akan dilakukan secara alami tanpa adanya injeksi
ke dalam reservoir. Proses injeksi air tidak
dilakukan sebelum injeksi larutan polimer seperti
pada aplikasi di lapangan. Hal ini dikarenakan studi
30000 40000
AM 5000 ppm, 180 F
HPAM 1000 ppm, 180 F
18.75%
35.71%
62.00%
50.71%
79.09%
50.47%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Set core 1 Set core 2
Injeksi air 3 PV
HPAM 0,5 PV diikuti air 3 PV
CMC-AM 0,5 PV diikuti air 3 PV
A
D
K
1
2
11
7
φ Swc RF
(%)
0.25 0.503 79.09
0.3 0.163 50.47
0.326 0.322 36.25
recovery factor (RF) yang
dihasilkan oleh core
recovery factor (RF)
yang dihasilkan oleh core
Pada prosedur injeksi air dan larutan polimer ke
dalam core, akan dibandingkan RF yang dihasilkan
oleh injeksi air, HPAM 1000 ppm, dan CMC-AM
Secara teoritis, larutan polimer akan
mendorong minyak dan aliran air tidak akan
mendahului aliran minyak apabila rasio mobilitas
tersedianya data
pemilihan konsentrasi polimer
viscosity ratio. Dengan
menggunakan larutan polimer yang viskositasnya
tidak jauh berbeda dengan viskositas minyak,
diharapkan dapat meminimalkan terjadinya
Pada proses produksi minyak di lapangan, produksi
akan dilakukan secara alami tanpa adanya injeksi
ke dalam reservoir. Proses injeksi air tidak
dilakukan sebelum injeksi larutan polimer seperti
pada aplikasi di lapangan. Hal ini dikarenakan studi
51.73%
28.42%
50.47%36.25%
Set core 3
HPAM 0,5 PV diikuti air 3 PV
AM 0,5 PV diikuti air 3 PV
5
7
9
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 8
ini bertujuan untuk mengetahui kinerja polimer
secara umum dan agar dapat membandingkan
secara setara dengan injeksi air. Dalam studi ini
injeksi polimer dapat dianggap sebagai proses
secondary oil recovery seperti injeksi air.
Prosedur pendesakan menggunakan 3 set core
buatan yang dikelompokkan berdasarkan kemiripan
nilai porositas. Semua core yang dibuat dengan
prosedur, kandungan semen, dan ukuran butir yang
sama.
Terdapat kesulitan pada saat pengamatan volume
fluida yang terproduksikan di dalam gelas ukur.
Minyak tidak langsung terpisah dan menempel di
dinding gelas ukur.berada di atas air. Hal ini
dikarenakan tegangan antarmuka yang tinggi.
Hasil percobaan menunjukkan untuk core set 3,
core yang diinjeksi oleh air (core 5) menghasilkan
RF yang paling tinggi dibanding core yang
diinjeksi. Hal ini diduga disebabkan core 5
memiliki banyak channel/gerowong sehingga
minyak lebih mudah terproduksi. Untuk core set 2
dan 3, polimer yang diinjeksi oleh CMC-AM dan
HPAM menghasilkan RF yang lebih tinggi
dibanding dengan water flooding. Pada set core 2,
RF dari core yang diinjeksi HPAM (core 2) sedikit
lebih tinggi dari CMC-AM. Pada set core 3, core
yang diinjeksi CMC-AM menghasilkan RF sangat
tinggi, mencapai 79%. Pada core set 1, core A yang
diinjeksi menghasilkan RF yang jauh lebih kecil
dari core lainnya, yaitu 18.75%. Hal ini diduga
disebabkan nilai Swc yang jauh lebih besar
dibanding core lain sehingga minyak menjadi lebih
sulit mengalir. Beberapa core terlebih dahulu
memproduksi air sebelum akhirnya
memproduksikan minyak. Hal ini disebabkan
polimer tidak mampu menyumbat channel di dalam
core sehingga terjadi breakthrough (aliran air
menembus lapisan minyak). Dapat dikatakan
bahwa banyaknya channel, ukuran pori, dan ukuran
molekul polimer di dalam core sangat
mempengaruhi nilai RF yang dihasilkan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pengukuran reologi menunjukkan bahwa
CMC-AM merupakan fluida non-
Newtonian yang viskositasnya menurun
seiring kenaikan shear rate.
2. Untuk mencapai suatu nilai viskositas,
CMC-AM membutuhkan konsentrasi yang
lebih tinggi dibanding HPAM.
3. CMC-AM menunjukkan ketahanan
terhadar shear rate yang lebih baik baik
daripada HPAM.
4. CMC-AM menunjukkan ketahanan
terhadap temperatur yang relatif sama
dengan HPAM.
5. CMC-AM menunjukkan ketahanan yang
lebih baik daripada HPAM pada salinitas
dibawah 20000 ppm.
6. Untuk core set 1, RF dari proses injeksi air
yang sangat rendah kemungkinan
disebabkan oleh saturasi air yang tinggi
sehingga minyak sulit mengalir.
Sementara RF dari core yang diinjeksi
CMC-AM sangat tinggi kemungkinan
disebabkan oleh keberadaan channel yang
tidak dapat disumbat oleh molekul
polimer. Untuk core set 3, RF dari core
yang diinjeksi air lebih tinggi dibanding
core yang diinjeksi polimer kemungkinan
juga disebabkan oleh adanya channel.
7. Perolehan minyak pada aplikasi injeksi
larutan polimer dipengaruhi oleh
banyaknya channel, ukuran polimer, dan
ukuran pori batuan.
5.2 Saran
1. Diperlukan percobaan core flooding
menggunakan CMC-AM dengan
konsentrasi dan salinitas brine yang
berbeda untuk analisis lebih lanjut.
2. Diperlukan penggunaan core yang bersifat
heterogen untuk mengetahui kinerja
polimer CMC-AM dalam meningkatkan
sweep efficiency.
3. Diperlukan pengukuran permeabilitas core
untuk memperkirakan shear rate dan
viskositas efektif polimer di dalam media
berpori saat proses core flooding
berlangsung.
4. Perlu dianalisis mengenai ada tidaknya
reaksi antara polimer dengan batuan
reservoir dan minyak.
5. Diperlukan analisis keekonomian lebih
lanjut untuk mengetahui peluang aplikasi
injeksi polimer CMC-AM di lapangan
minyak.
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 9
DAFTAR PUSTAKA
1. Asghari, K., and Nakutnyy, P. : “Experimental
Results of Polymer Flooding of Heavy Oil
Reservoirs”, University of Regina, 2008. Paper
2008-189 presented at the Canadian
International Petroleum Conference, Calgary,
Alberta, Canada, 17-19 June.
2. Dong, M., and Wang, J. : “A Laboratory Study
of Polymer Flooding for Improving Heavy Oil
Recovery”, University of Regina, 2007. Paper
2007-178 presented at the Petroleum Society’s
8th
Canadian International Petroleum
Conference, Calgary, Alberta, Canada, 12-15
June.
3. Forniciov, E., Mannhardt, K., and Novosad, J. :
“Polymer Flooding in Stratified Cores”,
Petroleum Recovery Institute, 1984. Paper 84-
35-42 presented at the 35th Annual Technical
Meeting of the Petroleum Society of CIM,
Calgary, Alberta, Canada, 10-13 June.
4. Permadi, A.K : “Diktat Teknik Reservoir I”,
Departemen Teknik Perminyakan ITB, 2004.
5. Siregar, S. : “Teknik Peningkatan Perolehan”,
DepartemenTeknik Perminyakan ITB, 2000.
6. Urbissinova, T.S., Trivedi, J., and Kuru, E. :
“Effect of Elasticity During Viscoelastic
Polymer Flooding : A Possible Mechanism of
Increasing the Sweep Efficiency”, University of
Alberta, 2010. Paper SPE 133471 presented at
the Western North America Regional Meeting,
Anaheim, California, 26-30 May.
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 10
Lampiran A Data Pengamatan dan Hasil Perhitungan Untuk Reologi Polimer
> � 1,704 B CDE
F � 5,077 B HIJK LMJHINO
µ � PQ B 100
Keterangan:
> � RSMJL LJTM U1 RV W
F � RSMJL XYLZM [H\NM Z]^V _ µ � J``JLMNT aIRZYRIT\ �ZD�
A.1 CMC-AM 5000 ppm, salinitas 0 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(rpm)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 19,0 1022,4 96,463 9,4350
300 12,0 511,2 60,924 11,9178
200 9,0 340,8 45,693 13,4076
100 6,0 170,4 30,462 17,8768
T = 100 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 13,0 1022,4 66,001 6,4555
300 7,5 511,2 38,077 7,4487
200 5,5 340,8 27,924 8,1935
100 3,5 170,4 17,770 10,4281
T = 150 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 9,5 1022,4 48,232 4,7175
300 5,5 511,2 27,924 5,4623
200 4,0 340,8 20,308 5,9589
100 2,5 170,4 12,693 7,4487
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 11
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 9,0 1022,4 45,693 4,4692
300 5,5 511,2 27,924 5,4623
200 4,0 340,8 20,308 5,9589
100 2,5 170,4 12,693 7,4487
A.2 CMC-AM 5000 ppm, salinitas 15.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 18,5 1022,4 93,925 9,1867
300 11,0 511,2 55,847 10,9247
200 8,0 340,8 40,616 11,9178
100 5,0 170,4 25,385 14,8973
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading γ (1/s) ζ(dyne/cm
2) µ (cP)
600 8,0 1022,4 40,616 3,9726
300 4,5 511,2 22,847 4,4692
200 3,5 340,8 17,770 5,2141
100 2,0 170,4 10,154 5,9589
A.3 CMC-AM 5000 ppm, salinitas 20.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 11,5 1022,4 58,386 5,7106
300 6,5 511,2 33,001 6,4555
200 5,0 340,8 25,385 7,4487
100 2,5 170,4 12,693 7,4487
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 4,5 1022,4 22,847 2,2346
300 2,5 511,2 12,693 2,4829
200 2,0 340,8 10,154 2,9795
100 1,0 170,4 5,077 2,9795
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 12
A.4 CMC-AM 5000 ppm, salinitas 25.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 13,5 1022,4 68,540 6,7038
300 7,0 511,2 35,539 6,9521
200 5,0 340,8 25,385 7,4487
100 3,0 170,4 15,231 8,9384
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 6,0 1022,4 30,462 2,9795
300 3,0 511,2 15,231 2,9795
200 2,5 340,8 12,693 3,7243
100 1,5 170,4 7,616 4,4692
A.5 CMC-AM 5000 ppm, salinitas 30.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 12,0 1022,4 60,924 5,9589
300 6,5 511,2 33,001 6,4555
200 5,0 340,8 25,385 7,4487
100 3,0 170,4 15,231 8,9384
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 4,5 1022,4 22,847 2,2346
300 2,5 511,2 12,693 2,4829
200 2,0 340,8 10,154 2,9795
100 1,0 170,4 5,077 2,9795
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 13
A.6 HPAM 500 ppm, salinitas 0 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 11,0 1022,4 55,847 5,4623
300 7,0 511,2 35,539 6,9521
200 5,5 340,8 27,924 8,1935
100 4,0 170,4 20,308 11,9178
T = 100 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 7,5 1022,4 38,078 3,7243
300 5,5 511,2 27,924 5,4623
200 4,5 340,8 22,847 6,7038
100 3,0 170,4 15,231 8,9384
T = 150 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading γ (1/s) ζ(dyne/cm
2) µ (cP)
600 6,0 1022,4 30,462 2,9795
300 4,0 511,2 20,308 3,9726
200 3,5 340,8 17,770 5,2141
100 2,5 170,4 12,693 7,4487
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 5,0 1022,4 25,3850 2,4829
300 3,5 511,2 17,7695 3,4760
200 3,0 340,8 15,2310 4,4692
100 2,0 170,4 10,1540 5,9589
A.7 HPAM 1000 ppm, salinitas 0 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 21,0 1022,4 106,617 10,4281
300 15,0 511,2 76,155 14,8973
200 11,0 340,8 55,847 16,3870
100 8,0 170,4 40,616 23,8357
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 14
T = 100 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 16,0 1022,4 81,232 7,9452
300 11,5 511,2 58,386 11,4213
200 9,5 340,8 48,232 14,1524
100 7,5 170,4 38,078 22,3460
T = 150 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading γ (1/s) ζ(dyne/cm
2) µ (cP)
600 12,5 1022,4 63,463 6,2072
300 9,5 511,2 48,232 9,4350
200 8,0 340,8 40,616 11,9178
100 6,0 170,4 30,462 17,8768
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 10,0 1022,4 50,770 4,9658
300 8,5 511,2 43,155 8,4418
200 7,5 340,8 38,078 11,1730
100 5,5 170,4 27,924 16,3870
A.8 HPAM 1000 ppm, salinitas 15.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 8,5 1022,4 43,155 4,2209
300 6,0 511,2 30,462 5,9589
200 5,5 340,8 27,924 8,1935
100 3,5 170,4 17,770 10,4281
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 4,5 1022,4 22,847 2,2346
300 3,0
511,2 15,231 2,9795
200 2,5 340,8 12,693 3,7243
100 2,0 170,4 10,154 5,9589
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 15
A.9 HPAM 1000 ppm, salinitas 20.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 8,5 1022,4 43,155 4,2209
300 6,0 511,2 30,462 5,9589
200 5,0 340,8 25,385 7,4487
100 3,5 170,4 17,770 10,4281
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 4,0 1022,4 20,308 1,9863
300 2,5 511,2 12,693 2,4829
200 2,0 340,8 10,154 2,9795
100 1,5 170,4 7,616 4,4692
A.10 HPAM 1000 ppm, salinitas 25.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 8,0 1022,4 40,616 3,9726
300 6,0 511,2 30,462 5,9589
200 5,0 340,8 25,385 7,4487
100 3,5 170,4 17,770 10,4281
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 4,5 1022,4 22,847 2,2346
300 3,0 511,2 15,231 2,9795
200 2,5 340,8 12,693 3,7243
100 1,5 170,4 7,616 4,4692
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 16
A.11 HPAM 1000 ppm, salinitas 30.000 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 7,5 1022,4 38,078 3,7243
300 6,0 511,2 30,462 5,9589
200 5,0 340,8 25,385 7,4487
100 3,0 170,4 15,231 8,9384
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 4,0 1022,4 20,308 1,9863
300 2,5 511,2 12,693 2,4829
200 2,0 340,8 10,154 2,9795
100 1,5 170,4 7,616 4,4692
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 17
A.12 HPAM 1500 ppm, salinitas 0 ppm
T = 72 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 33,0 1022,4 167,541 16,3870
300 23,0 511,2 116,771 22,8425
200 19,0 340,8 96,463 28,3049
100 12,5 170,4 63,463 37,2433
T = 100 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 27,0 1022,4 137,079 13,4076
300 19,0 511,2 96,463 18,8699
200 16,0 340,8 81,232 23,8357
100 12,0 170,4 60,924 35,7535
T = 150 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading γ (1/s) ζ(dyne/cm
2) µ (cP)
600 22,0 1022,4 111,694 10,9247
300 15,5 511,2 78,694 15,3939
200 12,5 340,8 63,463 18,6216
100 9,5 170,4 48,232 28,3049
T = 180 °F
Kecepatan rotor
(RPM)
Dial
reading
γ (1/s) ζ(dyne/cm2) µ (cP)
600 20,0 1022,4 101,540 9,9315
300 15,0 511,2 76,155 14,8973
200 13,0 340,8 66,001 19,3665
100 9,5 170,4 48,232 28,3049
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 18
Lampiran B Properti Core
Ø � �� � �'(���)(� �'(� * 100 %
.!/01 ���2�23 4 ��� ��
5� ��
.6789 � :�;<b =� )
Set Core Diameter
(cm)
Tinggi
(cm)
Berat
kering (gr)
Berat
basah (gr)
Volume
bulk (cc)
Volume
pori (cc)
Porositas
1 A 2.490 3.880 39.164 42.910 18.894 3.750 0.198
2 1 2.480 4.525 40.225 46.750 21.858 6.532 0.299
3 5 2.582 4.640 42.920 50.740 24.295 7.829 0.322
1 D 2.642 3.952 44.554 48.550 21.658 4.000 0.185
2 2 2.590 3.740 34.300 40.460 19.704 6.167 0.313
3 7 2.600 3.675 34.220 40.370 19.512 6.157 0.316
1 K 2.560 3.440 33.165 37.590 17.706 4.430 0.250
2 11 2.560 3.330 28.460 33.590 17.140 5.136 0.300
3 9 2.575 4.170 38.210 45.280 21.716 7.078 0.326
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011 19
Lampiran C Data Pengamatan dan Hasil Perhitungan Recovery Factor
RF = !ccde
OOIP = Volume minyak awal di dalam core
= Volume brine yang terdesak saat proses pendesakan oleh minyak (cc)
Np = Minyak yang terproduksi (cc)
RF = Faktor perolehan minyak
Set Core Fluida injeksi awal
(volume)
Fluida injeksi
akhir (volume)
OOIP (cc) Np (cc) RF (cc)
1 A Air 3 PV (11,25 cc) 0.8 0.15 0.1875
2 1 Air 3 PV (19,6 cc) 4.2 1.5 0.357143
3 5 Air 3 PV (23,49 cc) 5.2 2.69 0.517308
1 D HPAM 0,5 PV (2 cc) Air 3 PV (12 cc) 2.5 1.55 0.62
2 2 HPAM 0,5 PV (3,08 cc) Air 3 PV (18,5 cc) 4.2 2.13 0.507143
3 7 HPAM 0,5 PV (3,08 cc) Air 3 PV (18,47 cc) 3.8 1.08 0.284211
1 K CMC 0,5 PV (2,21 cc) Air 3 PV (13,29 cc) 2.2 1.74 0.790909
2 11 CMC 0,5 PV (2,57 cc) Air 3 PV (15,41 cc) 4.3 2.17 0.504651
3 9 CMC 0,5 PV (3,54 cc) Air 3 PV (21,23 cc) 4.8 1.74 0.3625