studi korelasi antara tingkat hafalan nazam...
TRANSCRIPT
STUDI KORELASI ANTARA TINGKAT HAFALAN
NAZAM ALFIYYAH DAN KEMAMPUAN
MEMAHAMI KITAB FIQH SANTRI TINGKAT
TSANAWIYAH DI PESANTREN AL-ITQON
GUGEN KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh:
MUHAMMAD AUFA
NIM: 073111477
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ABSTRAK
Muhammad Aufa (NIM. 073111477). Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan
Nazam Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat
Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang. Skripsi. Semarang:
Program Strata 1 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) bagaimana tingkat hafalan
nazam Alfiyyah (X) santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota
Semarang; 2) bagaimana kemampuan memahami kitab fiqh (Y) santri tingkat
tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang; 3) apakah terdapat korelasi
antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah (X) dan kemampuan memahami kitab fiqh
(Y) santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
Prosedur atau tahapan-tahapan dalam penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kuantitatif dengan teknik korelasional. Subjek penelitian sebanyak 44
responden, dan merupakan penelitian populasi. Dalam pengumpulan data
menggunakan metode tes, kemudian untuk menjaring data X digunakan instrumen
tes kecakapan (performance test) dengan lisan (oral), dan untuk menjaring data Y
digunakan tes tertulis (written test). Instrumen tes tertulis terlebih dahulu
diujicobakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.
Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis statistik deskriptif. Pengujian hipotesis penelitian menggunakan analisis
korelasi product-moment. Hasil penelitian dan pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa: (1) tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri tingkat tsanawiyah di Pesantren
Al-Itqon Gugen Kota Semarang termasuk dalam kategori “baik”. Hal ini terlihat
dari nilai rata-rata (mean) yang diperoleh, yaitu sebesar 73,7 yang berada pada
kelas interval 71,0 – 80,6; (2) kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat
tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang tergolong dalam kategori
“lebih dari cukup”. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata (mean) yang didapat,
yakni sebesar 66,0 yang berada pada kelas interval 60,1 – 71,0; (3) terdapat
korelasi yang signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota
Semarang, karena pada kenyataannya nilai rhitung (koefisien korelasi) yang
diperoleh, yaitu 0,70038, lebih besar dari rtabel, baik pada taraf signifikansi (α) 5%
(rhitung > rtabel = 0,700 > 0,304) maupun (α) 1% ( rhitung > rtabel = 0,700 > 0,393),
kemudian tidak negatifnya koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan adanya
korelasi sejajar yang searah (positif) antara variabel X dan variabel Y. Jadi,
apabila tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri itu naik, maka kemampuannya
memahami kitab fiqh cenderung naik. Koefisien determinasi (KD = rxy2 x 100)
sebesar 49,05; ini berarti bahwa 49,05% kemampuan memahami kitab fiqh
(variabel Y) turut ditentukan oleh tingkat hafalan nazam Alfiyyah (variabel X).
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi
dan masukan bagi mahasiswa, tenaga pengajar, tenaga pendidik, khususnya di
lingkungan pesantren, dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, terutama dalam mengoptimalkan
hafalan sebagai sebuah metode pembelajaran.
ii
NOTA PEMBIMBING
NOTA DINAS Semarang, 21 Maret 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat
Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang
Nama : Muhammad Aufa
NIM : 073111477
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang untuk diujikan dalam Sidang
Munaqasyah.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Pembimbing,
Nasirudin, M.Ag.
NIP. 19691012 199603 1002
iii
PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan
bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi
satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 21 Maret 2011
Deklarator,
Muhammad Aufa
NIM. 073111477
iv
KEMENTERIAN AGAMA R.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang
Telp. 024-7601295 Fax. 7615387
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan:
Judul : Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah dan
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat
Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang
Nama : Muhammad Aufa
NIM : 073111477
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, 26 Maret 2011
Ketua, Sekretaris,
Dr. Hj. Sukasih, M.Pd. Dr. H. Raharjo, M.Ed.St. NIP. 19570202 199203 1003 NIP. 19651123 199103 1003
Penguji I, Penguji II,
Dra. Muntholi’ah, M.Pd. Dr. Hamdani Mu’in, M.Ag. NIP. 19670319 199303 2001 NIP. 19720405 199903 1001
Pembimbing,
Nasirudin, M.Ag.
NIP. 19691012 199603 1002
v
MOTTO
: قال اخلليل بن أمحد ". ا ي ا ال ـ ـو ـ ـو ال ـــو ا ــو ال ـ ت "
1
Al-Khalil bin Ahmad 2 berkata:
“Tidak aku dengar suatu (pelajaran) kecuali aku tulis ia,
dan ia tidak aku tulis kecuali aku menghafalnya,
dan tidaklah aku menghafalnya kecuali ber(buah) manfaat untukku”.
1 Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha>, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 213. 2 Al-Khali>l bin Ah}mad Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Fara>hi>diy al-Azdiy; seorang ulama ahli
nahwu, ialah orang pertama yang menguraikan ilmu ‘aru>d} (kaidah-kaidah wazn syair Arab) dan
menyusun kitab “al-„Ain” tentang bahasa; dia juga termasuk ahli zuhd. Imam al-Khalil ialah guru
dari Imam Sibawaih. Lihat: Abu Thahir al-Muqri‟, Akhba>r al-Nah}wiyyi>n, (Al-Maktabah al-
Syamilah, http://www.alwarraq.com), hlm. 5.
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Guru-guru penulis, khususnya di Pesantren Al-Itqon; KH. Ahmad Haris
Shodaqoh, KH. Ubaidullah, S.H., dan K. Sholahuddin Shodaqoh.
2. Ummah dan Abah tercinta, Inayah Shodaqoh dan Afwan AA, “Maafkan
Ananda, karena baru sekarang dapat menyusun skripsi sampai purna”. Juga
untuk kakak dan adik-adik penulis, kak Muhamad Adib, S.Ag., Muhammad
Akhlish, dan Afrihati Muzanni.
3. Ayah dan ibu mertua. Terkhusus untuk ibu dari dua „matahari‟ penulis, Dwi
Arisanti, A.Md. dengan dua puteranya, Muhammad Azka Fuady dan
Muhammad Arsyil Widad.
4. Dua sahabat penulis di kelas B yang telah „mendahului‟ penulis, Bu Kalimah
dan Yi Sulaiman, “terima kasih saat-saat diskusi dan canda tawanya”.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Segala puji mutlak milik Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang
menciptakan manusia dan menganugerahinya dengan hati dan akal. Shalawat dan
salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad Saw, pembawa syari‟at
Islam yang mencakup seluruh sendi kehidupan manusia, sehingga berdirilah
lembaga-lembaga pendidikan yang mendalami syari‟at dengan semua ilmu yang
dicakupnya. Juga terlimpah kepada para sahabat dan pengikutnya yang setia.
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan dengan terselesaikannya skripsi
“Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah dan Kemampuan
Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen
Kota Semarang”, sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Islam dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam.
Dalam proses penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan arahan,
bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis
berkewajiban mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada
yang terhormat:
1. Dr. Suja‟i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang beserta staf-stafnya. Juga kepada the former dean, Prof. Dr. H.
Ibnu Hadjar, M.Ed. beserta staf-stafnya saat itu.
2. Ahmad Muthohar, M.Ag., Ketua Jurusan PAI dan Ketua Program Kualifikasi
S.1 Guru R.A. dan Madrasah Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
3. Nasirudin, M.Ag. selaku dosen pembimbing, yang dengan ikhlas meluangkan
waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyusun skripsi.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah mendapat tugas untuk mengajar dan
membimbing para mahasiswa kualifikasi. Ilmu dan karakteristik mengajar
masing-masing telah menjadi masukan dan inspirasi bagi penulis dalam
menjalankan tugas sebagai guru, semoga bermanfaat.
viii
5. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon, KH. A. Haris Shodaqoh, dan segenap
pengurus pondok yang telah berkenan memberikan izin kepada penulis untuk
melakukan riset penelitian di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
6. Kepala Madrasah Aliyah Al-Wathoniyyah, Ustadz M. Sholeh, S.Pd.I., juga
Kepala Madrasah Tsanawiyyah Al-Wathoniyyah, almarhum Nuruddin, S.Ag.
(w. 2010) dan penggantinya Bapak Kasno. Terima kasih atas maklum,
dukungan, dan motivasinya kepada penulis untuk menyelesaikan studinya.
7. Semua pihak yang sedia membantu proses penulisan skripsi ini, khususnya
Lurah Pondok Pesantren Al-Itqon dan Ro‟is Madrasah Diniyyah Al-Itqon
Gugen Kota Semarang, para santri Al-Itqon, khususnya di tingkat tsanawiyah,
juga kepada semua yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Atas segala bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memohon
kepada Allah Yang Maha Pemurah, semoga kebaikannya mendapat balasan yang
sebaik-baiknya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, meskipun dengan kemampuan maksimal penulis. Untuk itu kritik dan
saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Kesalahan adalah hal lazim yang ada dalam diri manusia, dan kebenaran mutlak
milik Allah Swt semata.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Semarang, 21 Maret 2011
Penulis,
Muhammad Aufa
NIM. 073111477
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………. i
ABSTRAK ……………..……………………………………………………………………. ii
NOTA PEMBIMBING …………………………………………………………………… iii
PERNYATAAN ……………………………………………………………………………. iv
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………………… v
MOTTO ……………………………………………………………………………………… vi
PERSEMBAHAN …….……………………………………………………………………. vii
KATA PENGANTAR …..………………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI …..……………………………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL ….………………………………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………… xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………… 6
C. Pembatasan Masalah ……………………………………………………… 7
D. Perumusan Masalah ……………………………………………………… 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………… 11
BAB II : HAFALAN NAZAM ALFIYYAH DAN KEMAMPUAN
MEMAHAMI KITAB FIQH
A. Hafalan Nazam Alfiyyah ………………………………………………… 12
1. Teori tentang Hafalan (Memori) ………………………………...… 12
2. Hafalan sebagai Metode Pembelajaran ………………………..… 14
3. Nazam Alfiyyah ……………………………….……………………… 16
4. Evaluasi Metode Pembelajaran Hafalan ………………………… 18
B. Memahami Kitab Fiqh ……………………………….…………...……… 19
1. Teori tentang Pemahaman ……………………………….…………. 19
2. Kitab Fiqh …..………………………….……………………………… 21
x
3. Evaluasi Kemampuan Memahami Kitab Fiqh …..……………… 26
C. Kajian Pustaka …………………………….….……….…………………… 27
D. Pengajuan Hipotesis ……………………………….……………………… 31
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis Metode Penelitian ……………………………….……….…….…… 34
B. Tujuan Penelitian …………………………………………….…………… 35
C. Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………….…………… 35
1. Waktu penelitian ………….….………………….………………….… 35
2. Lokasi Penelitian …………….………………….……………………. 35
3. Sejarah Singkat Pesantren Al-Itqon ………………………………. 36
D. Variabel dan Indikator Penelitian ……………………………….…..… 38
1. Variabel X ……………………………….……….…….……….……… 38
2. Variabel Y ……………………………….……….…….……….……… 39
E. Populasi dan Sampel ……………………………….……….…….………. 40
F. Teknik Pengumpulan Data …..……………….……………………….…. 40
G. Teknik Analisis Data ……………………………….……….…….….…… 46
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Hasil Penelitian …………………………………………. 49
1. Data Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah …………………………… 52
2. Data Kemampuan Memahami Kitab Fiqh ….……………….…… 61
B. Pengujian Hipotesis ………………………………….……………………. 67
C. Pembahasan Hasil Penelitian ………………………………….………… 72
D. Keterbatasan Penelitian ……………………..………….………………… 76
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………….………………………………… 78
B. Saran-saran ……………………………….………………………………… 79
C. Penutup ……………………………….……………………………………… 79
DAFTAR PUSTAKA ……………………………….……………………………………… 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………….……………………………….. 84
xi
DAFTAR TABEL
TABEL 1 : Kitab Fiqh yang Banyak Beredar di Pesantren ….……………….…… 24
TABEL 2 : Indikator Variabel X ….……………….…………………………………… 42
TABEL 3 : Indikator Variabel Y ….……………….…………………………………… 44
TABEL 4 : Daftar Santri Tingkat Tsanawiyah Madrasah Diniyyah
Al-Itqon Tahun Dirasah 1431-1423 H ….……………….………….… 50
TABEL 5 : Data Kuantitatif Variabel X Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah …. 53
TABEL 6 : Tabel Kerja Standar Deviasi Data X …………………………………… 56
TABEL 7 : Tabel Kategori Nilai Interval Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah … 60
TABEL 8 : Tabel Distribusi Frekuensi Relatif Tingkat Hafalan Nazam
Alfiyyah ………..……………………………………………….…………… 60
TABEL 9 : Data Kuantitatif Variabel Y Kemampuan Memahami Kitab
Fiqh …………………………………………….……………………………… 61
TABEL 10 : Tabel Kerja Standar Deviasi Data Y …………………………………… 63
TABEL 11 : Tabel Kategori Nilai Interval Kemampuan Memahami Kitab
Fiqh …………………………………………….……………………………… 66
TABEL 12 : Tabel Distribusi Frekuensi Relatif Kemampuan Memahami
Kitab Fiqh ……………………………………….…………………………… 66
TABEL 13 : Tabel Kerja Analisis Korelasi Product-Moment Antara
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah (X) dan Kemampuan
Memahami Kitab Fiqh (Y) ………………………………………….…… 68
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1 : Histogram Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah ……………………… 61
GAMBAR 2 : Histogram Kemampuan Memahami Kitab Fiqh …………………… 67
xii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : Surat penunjukan pembimbing skripsi.
LAMPIRAN 2 : Surat mohon izin riset.
LAMPIRAN 3 : Surat keterangan melaksanakan penelitian.
LAMPIRAN 4 : Struktur Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Itqon
Periode 1431 – 1434 H.
LAMPIRAN 5 : Surat perizinan riset penelitian dan daftar santri tingkat
tsanawiyyah tahun dirasah 1431/1432 H (3 lembar).
LAMPIRAN 6 : Surat pemberitahuan aturan umum (3 lembar)
LAMPIRAN 7 : Penyusunan instrumen tes tingkat hafalan nazam
Alfiyyah (7 halaman).
LAMPIRAN 8 : Penyusunan instrumen tes memahami kitab fiqh
(14 halaman).
LAMPIRAN 9 : Instrumen penelitian tes performa dengan lisan
(6 halaman).
LAMPIRAN 10 : Instrumen tes penelitian Variabel Y (9 halaman).
LAMPIRAN 11 : Pedoman Wawancara dan Rekap Hasil Wawancara 1
s.d. 4. (11 halaman)
LAMPIRAN 12 : Piagam melaksanakan KKN Angkatan ke-55 (1 lembar)
LAMPIRAN 13 : Daftar riwayat pendidikan penulis.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (w.
1419 M),1 eksistensi pesantren terus berlanjut dari masa ke masa. Sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai karakteristik tersendiri, pesantren
merupakan aktualisasi dari tiga sistem budaya besar yaitu Arab (Islam), India
(Hindu) dan budaya asli Indonesia.2 Menurut Nurcholis Madjid, dilihat dari segi
historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga
keaslian (indigenous) Indonesia. Lembaga yang serupa dengan pesantren sudah
terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, Islam kemudian meneruskan dan
mengislamkan.3 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pesantren bukan
berasal dari tradisi Indonesia murni, atau tradisi Islam an sich, atau Hindu saja,
tetapi merupakan perpaduan dari ketiganya.
Di antara karakteristik pesantren – yang menjadikannya berbeda dengan
lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya yang ada saat ini – adalah dalam
metode pembelajarannya yang konvensional. Pada umumnya, metodologi
pembelajaran yang dianut pesantren berkisar pada varian-varian seperti sorogan,
bandongan/wetonan, halaqah, dan hafalan.4
1 Sebagaimana ditegaskan oleh Alwi Shihab, Sunan Gresik merupakan orang pertama yang
membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya, agar para
santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. I, hlm. 23. 2 Mahfud Junaedi, “Mewujudkan Pondok Pesantren Inovatif - Integratif - Futuristik”, Jurnal
Pondok Pesantren Mihrab, II, 4, Desember, 2008, hlm. 27. 3 Nurcholis Madjid, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam Bilik-
bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), e-book diunduh dari
http://www.4shared.com/get/MxFW-VC7/Bilik-bilik_Pesantren_-_Nur_Ch.html, tanggal 6-1-2011. 4 Sorogan merupakan metode pembelajaran individual. Dalam aplikasinya, metode ini
terbagi menjadi dua cara, yaitu: pertama, bagi santri pemula, mereka mendatangi seorang ustadz atau
kyai yang akan membacakan kitab tertentu; kedua, bagi santri senior, mereka mendatangi seorang
ustadz atau kyai supaya sang ustadz atau kyai tersebut mendengarkan sekaligus memberikan koreksi
terhadap bacaan kitab mereka. Adapun bandongan atau wetonan adalah metode pembelajaran
kolektif, di mana santri secara bersama-sama mendengarkan ustadz atau kyai yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa Arab tertentu. Istilah weton berasal dari
bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pembelajaran model ini dilakukan pada
waktu-waktu tertentu, biasanya sesudah mengerjakan sholat fardhu. Sedangkan halaqah berarti
1
Hafalan sebagai sebuah metode belajar sudah lazim digunakan oleh umat
Islam sejak masa klasik hingga sekarang. Namun perlu ditegaskan bahwa
metode hafalan dalam pendidikan Islam dimaksudkan untuk menunjang dan
membantu pemahaman. Hal ini sebagaimana tanggapan Muhammad „Athiyyah
al-Abrasyi terhadap pandangan yang menuduh bahwa umat Islam hanya
mementingkan hafalan material dan menelantarkan pemahaman:
فهل ب د ىذا يسـطيع دع أن يدعي أن ادلسلمت ا وا ي نون حب ظ ادلادة يهملون فهمها؟ احلق أن طريقة الـ ليم يف التبية اإلسال ية عني ب هم ادلادة عنايـها باحل ظ
5 . مل هتمل ال هم الـأ ل الـ كت فيها طلقاMaka setelah (penjelasan) ini, apakah seseorang mampu untuk menuduh
bahwa orang-orang Islam itu hanya memperhatikan pada hafalan materi
dan mengabaikan pemahamannya? Yang sebenarnya adalah bahwasanya
metode pembelajaran dalam pendidikan Islam itu memperhatikan pada
pemahaman materi seperti perhatiannya pada hafalan, tidak mutlak
mengabaikan pemahaman, perenungan, dan pemikiran pada materi itu.
Dengan demikian penerapan metode hafalan tidak hanya menekankan
pada tekstual belaka, tetapi harus juga melibatkan atau menyentuh ranah yang
lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan
kemampuan intelektual sebatas ingatan (retention; remembering) tetapi juga
sampai kepada pemahaman, analisis, dan evaluasi. 6
Hubungan antara hafalan dan pemahaman sebagaimana penjelasan di
atas mempunyai kemiripan dengan enam kategori proses kognitif dalam
taksonomi Benjamin S. Bloom. Mengenai taksonomi Bloom ini Mary Forehand
mengatakan:
The taxonomy is hierarchical; [in that] each level is subsumed by the
higher levels. In other words, a student functioning at the 'application'
lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz dalam satu
tempat. Dalam prakteknya, halaqah dikategorikan sebagai diskusi untuk memahami isi kitab. Lihat:
HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas
dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 16 dan 95. 5 Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha>, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 214. 6 HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), op. cit., hlm. 97 – 98.
2
level has also mastered the material at the 'knowledge' and
'comprehension' levels.7
Taksonomi (klasifikasi) itu hirarkis, [dalam arti bahwa] setiap tingkat
dicakup oleh tingkat yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kemampuan
siswa pada tingkat „aplikasi‟ berarti telah menguasai materi pada tingkat
„mengingat‟ dan „memahami‟.
Dari penjelasan Mary Forehand ini dapat dipahami bahwa hubungan
antar level dalam taksonomi Bloom adalah bersifat hirarkis. Ini berarti bahwa
setiap level dalam domain kognitif merupakan urutan tingkatan, misalnya siswa
yang berada pada level „pemahaman‟ berarti telah menguasai materi di level
„ingatan‟.
Dalam revisi taksonomi Bloom oleh Lorin W. Anderson dan David R.
Krathwohl, semakin terlihat jelas hubungan antara kategori-kategori yang
terdapat dalam dimensi proses kognitif. Apabila seorang guru mengajar dan
mengases siswa supaya mereka mempelajari suatu materi pelajaran dan
mengingatnya selama sekian lama, berarti fokus guru itu mengarah pada satu
kategori proses kognitif, yaitu remembering (mengingat). Namun apabila sang
guru ingin memperluas fokus, yakni mengembangkan pembelajaran untuk
menumbuhkan dan mengases pembelajaran yang bermakna (meaningful
learning), maka harus mengembangkan proses-proses kognitif yang melampaui
„mengingat‟. Kategori proses kognitif yang paling dekat dengan meretensi
adalah „mengingat‟, sedangkan lima kategori lainnya merupakan proses-proses
kognitif yang dipakai untuk mentransfer.8
Pengetahuan „mengingat‟ penting sebagai bekal untuk belajar yang
bermakna dan menyelesaikan masalah karena pengetahuan tersebut dipakai
7 Mary Forehand, “Bloom's Taxonomy: Original and Revised”, dalam Michael Orey (ed.),
Emerging Perspectives on Learning, Teaching and Technology, http://www.coe.uga.edu/epltt/bloom.
htm, 10 Februari 2006, hlm. 2. 8 Fokus pembelajaran yang bermakna sesuai dengan pandangan bahwa belajar adalah
mengkonstruksi pengetahuan, yang di dalamnya siswa berusaha memahami pengalaman-pengalaman
mereka. Dalam pembelajaran konstruktif ini, siswa melakukan proses kognitif secara aktif, yakni
memperhatikan informasi relevan yang datang, menata informasi ini di otak menjadi gambaran yang
koheren (berhubungan), dan memadukan informasi tersebut dengan pengetahuan yang telah tersimpan
di otak. Lihat: Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), Kerangka Landasan untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, terjemahan dari A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom‟s Taxonomy of Educational
Objectives oleh Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 98 – 99.
3
dalam tugas-tugas yang lebih kompleks.9 Dengan kata lain, hafalan atau
pengetahuan mengingat (remembering) belum cukup untuk mengantarkan siswa
mencapai tujuan pendidikan, tetapi harus dikembangkan sampai pada memahami
(understanding), mengaplikasikan (applying), menganalisis (analyzing),
mengevaluasi (evaluating), dan mencipta (creating).
Berangkat dari pendapat Athiyyah yang memadukan hafalan dengan
pemahaman, maka santri yang hafalannya baik seharusnya mempunyai
pemahaman yang baik, karena menghafal sebuah materi berarti juga harus
memahami materi itu. Dan berdasarkan pada sifat hirarkis Taksonomi Bloom,
maka orang yang kemampuan „memahami‟-nya itu baik semestinya mempunyai
kemampuan „mengingat‟ yang baik pula, karena untuk „memahami‟ harus
mempunyai bekal berupa pengetahuan „mengingat‟ terlebih dahulu.
Kemudian untuk mendorong kemampuan menghafal siswa atau dalam
hal ini adalah santri, maka beberapa pondok pesantren menjadikan muh}a>faz}ah
(setoran hafalan) sebagai salah satu metode pembelajaran di dalamnya.
Hafalan atau tah}fi>z}, sebagai sebuah metode pembelajaran yang ada di
pesantren pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang bersifat naz}m
(syair), bukan nas\ar (prosa). Kebanyakan pesantren tradisional menetapkan kitab
kaidah bahasa Arab atau kitab Nahwu yang berbentuk nazam sebagai bahan
hafalannya,10
di samping ayat-ayat Al-Qur‟an, kitab Hadis, dan tas}ri>f.
Alfiyyah Ibnu Malik merupakan kitab yang sering digunakan sebagai
referensi dalam ilmu Nahwu. Kitab ini disebut nazam Alfiyyah, yang dalam arti
bahasanya “seribuan”, karena memuat kumpulan bait syair tentang kaidah tata
bahasa Arab yang jumlahnya kurang lebih seribu bait syair, yakni seribu dua
nazam. Pendekatan nazam atau syair dalam menjelaskan persoalan tata bahasa
Arab yang digunakan Alfiyyah, menjadikan pembelajaran kitab ini di banyak
pesantren di Indonesia menggunakan metode hafalan. Artinya, santri diharuskan
menghafalkan nazam-nazam Alfiyyah tersebut sebagai bagian dari kurikulum
pesantren, bahkan hafalan ini ada yang dijadikan sebagai salah satu kriteria
9 Ibid., hlm. 103.
10 HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), op. cit., hlm. 17.
4
kenaikan kelas atau kelulusan santri. Salah satu pesantren yang menerapkan
hafalan nazam Alfiyyah adalah Pesantren Al-Itqon yang terletak di Desa Gugen
Kelurahan Tlogosari Wetan Kecamatan Pedurungan Kota Semarang.
Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu yang populer di pesantren. Ilmu
terpenting dalam khazanah keilmuan tradisional ini,11
referensinya meng-
gunakan literatur khas pesantren, yakni Kitab Kuning.12
Di antara ciri kitab
kuning yang dipergunakan di pesantren ialah beraksara Arab gundul (huruf Arab
tanpa harakat atau syakal). Keadaannya yang gundul itu pada sisi lain ternyata
merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran kitab-kitab
gundul itu keberhasilannya antara lain ditentukan oleh kemampuan membuka
kegundulan itu dengan menemukan harakat-harakat yang benar, dan mengucap-
kannya secara fasih.13
Kemampuan santri dalam memahami kitab fiqh dengan literatur kitab
kuning sedikit banyak berhubungan dengan penguasaannya terhadap ilmu
Nahwu. Dan di antara kitab yang membahas persoalan kaidah tata bahasa Arab
adalah kitab Alfiyyah, yang mana metode pembelajaran kitab ini antara lain
menggunakan hafalan. Namun tidak semua yang dapat menghafal nazam
Alfiyyah dengan baik berarti telah memahami gramatika bahasa Arab, sehingga
ia mampu memahami kitab kuning fiqh. Walaupun juga santri yang mempunyai
kecerdasan lebih dan mampu memahami kitab fiqh, biasanya ia dapat
menghafalkan nazam Alfiyyah dengan tuntas dan baik.
11
Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. VII, hlm. 20. 12
Sebagaimana pendapat Zamakhsyari Dhofier, bahwa terdapat lima elemen dasar dalam
tradisi pesantren, yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning), dan kyai.
Sistem pendidikan tradisional pesantren, yang biasanya dianggap sangat “statis” dalam mengikuti
sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik ke dalam bahasa daerah
(bahasa Jawa), dalam kenyataannya tidak hanya sekedar membicarakan bentuk (form) dengan
melupakan isi (content) ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab tersebut. Para kyai atau guru sebagai
pembaca dan penerjemah kitab tersebut, bukanlah sekedar membaca teks, tetapi juga memberikan
pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa dari teks. Lihat:
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 44 dan 51. 13
Rohadi Abdul Fatah, dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan (dari Tradisional,
Modern, hingga Post Modern), (Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2008), Cet. II, hlm. 22 – 23.
5
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menduga bahwa terdapat
hubungan korelatif antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan santri
dalam memahami kitab fiqh, termasuk santri di pesantren Al-Itqon Gugen Kota
Semarang. Untuk membuktikan hal tersebut, penulis mengadakan penelitian
secara langsung dalam sebuah skripsi dengan judul “Studi Korelasi Antara
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri
Tingkat Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang”.
B. Identifikasi Masalah
Benjamin S. Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga domain
(ranah, kawasan), yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Istilah lain yang juga
menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya
seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu: cipta, rasa, dan karsa.
Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.14
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan
subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku
yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks.15
Hasil belajar
berupa hafalan (pengetahuan; knowledge; remembering) merupakan tingkat
paling sederhana di bawah pemahaman (comprehension; understanding).
Untuk mencapai tujuan pendidikan tidak cukup hanya dengan hasil
belajar berupa hafalan, tetapi harus dilanjutkan dan dikembangkan pada tingkat
hasil belajar di atasnya. Hal ini sebagaimana pendapat Athiyyah al-Abrasyi
bahwa hafalan dalam pendidikan Islam dimaksudkan untuk menunjang
pemahaman.16
Dengan demikian sudah seharusnya orang yang mempunyai
ingatan yang baik juga mampu memahami dengan baik, begitu juga sebaliknya.
Namun kenyataan yang ada terkadang tidak sebagaimana mestinya,
setidaknya hal ini dijumpai di lembaga pendidikan yang menjadikan hafalan
sebagai syarat untuk kenaikan kelas atau kelulusan. Sebagai contoh santri yang
tidak mampu menghafal sejumlah nazam Alfiyyah yang ditugaskan tidak dapat
14
“Taksonomi Bloom”, Wapedia, http://wapedia.mobi/id/Taksonomi_Bloom, diakses 17
Juni 2009. 15
Ibid. 16
Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi, loc. cit.
6
naik kelas walaupun dalam mata pelajaran lain yang tidak menekankan pada
hafalan, misalnya fiqh, ia mampu.
Terlepas dari apakah ketimpangan itu terletak pada penerapan metode
hafalan yang seharusnya tidak sebatas pada retensi tekstual belaka ataukah
karena faktor lain, merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut
tentang hubungan antara hafalan dan pemahaman.
Dari permasalahan di atas muncul pertanyaan dalam diri penulis, apakah
ada hubungan antara hafalan dan pemahaman? lebih spesifik terkait dengan apa
yang terjadi di beberapa pesantren di Indonesia. Dalam skripsi ini, penulis
mempertanyakan hubungan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh.
C. Pembatasan Masalah
Oleh karena masalah hafalan dan pemahaman cukup luas dalam dunia
pendidikan, maka penulis perlu membatasi masalah tersebut dalam lembaga
pendidikan pesantren saja. Dalam hal ini, hafalan yang dimaksud adalah hafalan
nazam Alfiyyah, karena nazam kitab ini banyak digunakan oleh pesantren
sebagai materi pembelajaran dengan metode hafalan. Sedangkan untuk objek
penelitian tentang pemahaman dibatasi pada pemahaman kitab fiqh, karena
disiplin ilmu ini hampir dipastikan ada di setiap pesantren, di mana pesantren
sendiri merupakan tempat untuk mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu agama
Islam, sebagai upaya mewujudkan manusia yang tafaqquh fi al-dῑn. 17
Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, maka judul yang dipilih
oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan
Nazam Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat
Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang”
Kemudian agar tidak terjadi salah pemahaman dan perbedaan penafsiran
dalam judul penelitian ini, maka beberapa istilah yang digunakan perlu diberikan
penegasan pengertiannya. Istilah-istilah yang perlu ditegaskan sebagai berikut:
17
Rohadi Abdul Fatah, dkk., op. cit., hlm. 24.
7
1. Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
Di antara arti „tingkat‟ adalah tinggi rendah martabat (kedudukan,
jabatan, kemajuan, peradaban, dsb); pangkat; derajat; taraf; kelas.18
Kata taraf
sendiri berarti tingkatan; derajat; mutu (dalam arti tinggi rendahnya, baik
buruknya, dsb).19
Tigkat di sini bukan semata-mata melihat kuantitas murni
dari keseluruhan nazam Alfiyyah, yakni 1002 nazam. Tetapi dalam penelitian
ini banyaknya nazam yang harus dihafalkan santri telah ditentukan oleh
penulis sebagai peneliti sebanyak 400 nazam, di samping juga melihat
kualitas performa hafalannya.
Hafalan adalah sesuatu yang dihafalkan; hasil menghafal.20
Hafalan di
sini terkait dengan metode hafalan yang ada di pesantren, di mana santri
membacakan hasil menghafalnya di depan guru atau seorang penguji.
Nazam berarti sajak (syair); karangan.21
Nazam berasal dari Bahasa
Arab al-naz}m yang menurut Al-Jurjany pengertiannya adalah:
تأليف الكلمات اجلمل تت ة ادل اين ـناس ة الد ت : يف ا صطالح (الن م) 22 . على سب ا يقـضيو ال قل
Nazam menurut istilah adalah rangkaian kata-kata atau kalimat-kalimat
yang runtut maknanya, bersesuaian penunjukan artinya, menurut
penangkapan akal.
Alfiyyah maksudnya adalah kitab Alfiyyah Ibnu Malik yang disusun
oleh Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin bin Abdillah bin Malik Al-
Andalusy (w. 672 H).23
Alfiyyah merupakan kata yang dinisbatkan kepada
kata alf (seribu), yang berarti “mengenai atau bersifat seribu”.24
Kitab karya
Ibnu Malik itu dinamai Alfiyyah karena terdiri dari nazam-nazam yang
jumlahnya seribuan, tepatnya 1002 nazam.
18
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Ed. 3, Cet. 2,
hlm. 1197. 19
Ibid., hlm. 1143. 20
Ibid., hlm. 381. 21
Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 999. 22
Aly bin Muhammad al-Jurjany, Kita>b al-Ta’rifa>t, (Surabaya: Al-Haramain, 1421), hlm. 239. 23
Baha`uddin Abdullah bin „Aqil, Syarh} Ibn ‘Aqi>l, Vol. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), hlm. 5. 24
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Cet. 14, hlm. 34.
8
Jadi yang dimaksud tingkat hafalan nazam Alfiyyah adalah mutu,
yaitu banyak sedikitnya nazam yang telah dihafal (yang diukur atau dinilai
perbandingannya dengan jumlah keseluruhan nazam yang harus dihafalkan
oleh santri, bukan keseluruhan 1002 nazam Alfiyyah); dan kualitas performa
dalam menghafalkan nazam-nazam kitab Alfiyyah Ibnu Malik itu.
2. Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Kemampuan adalah kesanggupan; kecakapan; kekuatan. Kemampuan
dari kata dasar “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan
sesuatu atau berarti dapat.25
Memahami artinya mengerti benar; mengetahui benar akan sesuatu.26
Paham yang dalam bahasa Arab adalah al-fahm mempunyai arti:
27 . تصور ادل ت ن ل ظ ادلخاطب: ال هم
Faham berarti mendeskripsikan makna atau arti dari lafaz (baik lisan
maupun tulisan) orang yang berucap (orang pertama).
Seorang siswa atau santri dikatakan memahami bila ia dapat
mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan ataupun grafis, yang disampaikan melalui pengajaran, buku, atau
layar komputer.28
Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu ialah sekelompok hukum tentang
amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.29
Penambahan kata „kitab‟ (buku) yang berasal dari bahasa Arab di depannya
dimaksudkan oleh penulis bahwa buku fiqh yang dikehendaki adalah kitab
yang menggunakan huruf Arab. Lebih khusus lagi, kitab fiqh yang digunakan
di pesantren lokasi penelitian untuk tingkat tsanawiyah, yaitu kitab Fath} al-
Qari>b al-Muji>b. Dipilihnya kitab ini mengingat Fath} al-Qari>b menjadi standar
25
Hasan Alwi, op. cit., hlm. 707. 26
Ibid., hlm. 811. 27
Aly bin Muhammad al-Jurjany, op. cit., hlm. 165. 28
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), op. cit., hlm. 105. 29
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung: Alma‟arif, 1997), Cet. 4, hlm. 15.
9
kitab bagi pesantren di Indonesia, bahkan di beberapa pesantren, kitab
tersebut menjadi tolok ukur santri dalam penguasaan kitab kuning/klasik.30
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan kemampuan memahami
kitab fiqh dalam judul penelitian ini adalah kecakapan santri untuk
mengkonstruksi dan menjelaskan makna lafaz-lafaz yang terdapat dalam
kitab fiqh Fath} al-Qari>b al-Muji>b.
3. Santri Tingkat Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang
Dalam buku Sejarah Madrasah, santri ditafsirkan sebagai orang yang
menggali ilmu agama secara serius. Pesantren berarti tempat tinggal para
santri.31
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan
“kyai”.32
Al-Itqon adalah nama sebuah lembaga pendidikan pondok pesantren
yang menjadi lokasi penelitian, terletak di Jl. KH. Abdurrosyid Desa Gugen
Kelurahan Tlogosari Wetan Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Dalam
judul hanya dituliskan Gugen Kota Semarang karena pesantren ini sering
hanya disebut “Pondok Mbugen” yang merujuk pada nama desa Gugen.
Tingkat tsanawiyah dimaksudkan untuk membatasi subjek penelitian
ini pada santri yang sedang mengkaji dan menghafalkan Alfiyyah Ibnu Malik,
di mana pembelajaran kitab ini dimulai pada jenjang tsanawiyah (menengah)
madrasah diniyyah Al-Itqon, yakni sebuah lembaga madrasah yang dikelola
oleh Pondok Pesantren Al-Itqon.
D. Perumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam
skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri tingkat tsanawiyah di
Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang?
30
“Resensi Fathul Qorib”, http://pesantren-qotrunnada.com/index.php?view=article&catid
=37:coretan-santri&id=52:resensi-qfathul-qoribq&format=pdf, diakses 19 Januari 2011. 31
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan,
Dinamika, dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 72 – 73. 32
Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 44.
10
2. Bagaimana kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di
Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang?
3. Adakah korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen
Kota Semarang?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan dari
penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri tingkat
tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
2. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan memahami kitab fiqh santri
tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
3. Untuk menyelidiki korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-
Itqon Gugen Kota Semarang.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang
hubungan antara tingkat hafalan dan kemampuan memahami, dalam hal ini
adalah tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh.
Penulis berharap bahwa informasi dari penelitian ini dapat bermanfaat:
1. Bagi siswa atau santri yang hanya memfokuskan pada hafalan tekstual atau
retensi belaka dapat termotivasi untuk mengembangkannya sampai kepada
pemahaman dan tingkat kemampuan belajar di atasnya.
2. Bagi pemerhati dan praktisi pendidikan Islam, khususnya pesantren, dalam
mengembangkan penerapan metode hafalan agar sesuai dengan konsep
metode hafalan dalam pendidikan Islam.
3. Bagi pengurus lembaga pendidikan, khususnya pesantren, dalam memilih dan
menetapkan kurikulum agar disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai.
11
BAB II
HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
DAN KEMAMPUAN MEMAHAMI KITAB FIQH
A. Hafalan Nazam Alfiyyah
1. Teori tentang Hafalan (Memori)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hafalan diartikan sebagai
sesuatu yang dihafalkan atau hasil menghafal.1 Hafalan merupakan bentuk
derivasi dari „hafal‟. Hafal berasal dari kata Arab al-h}ifz} yang mempunyai
pengertian:
2. احل ظ ض ط الصور ادلدر ة أ ىو تأ د ادل قول اسـحكا و يف ال قلHafal adalah menguasai naskah-naskah
3 yang dipahami, atau kuat dan
menjadi kokohnya sesuatu yang dipikirkan (diingat) di dalam akal.
Hasil menghafal berarti kemampuan mengingat kembali apa yang
dihafalkan. Menghafal jika dikaitkan dengan proses mengingat kembali
dalam Taksonomi Bloom termasuk di dalam ranah kognitif level dasar, yakni
pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dalam pengertian ini melibatkan
proses mengingat kembali hal-hal yang spesifik dan universal, mengingat
kembali metode dan proses, atau mengingat kembali pola, struktur, atau
seting. Mengingat kembali ini lebih daripada sekedar membawa materi secara
tepat ke dalam pikiran. Tujuan pengetahuan dalam hal ini menekankan pada
sebagian besar proses mengingat (proses psikologis).4 Dalam revisi
1 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Ed. 3, Cet. 2,
hlm. 381. 2 Muhammad „Abd al-Ra`uf al-Munawy, Al-Tawqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta’a>ri>f, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1410 H), hlm. 285. 3 Naskah-naskah digunakan untuk arti al-s}uwar, ada beberapa pilihan arti untuk kata ini, di
antaranya: gambar; bentuk; sifat; macam; cara; salinan sesuai dengan aslinya. Lihat: Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. 14, hlm.
802. 4 Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), Kerangka Landasan untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, terjemahan dari A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom‟s Taxonomy of Educational
Objectives oleh Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 406.
12
taksonomi Bloom oleh Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl tujuan
pengetahuan ini semakin dipertegas dengan mengganti term knowledge
(pengetahuan) dengan term remembering (mengingat). Jika tujuan sebuah
pembelajaran adalah menumbuhkan kemampuan untuk meretensi materi
pelajaran sama seperti materi yang diajarkan, maka kategori proses kognitif
yang tepat adalah „mengingat‟ (remembering).5
Mengingat sesuatu yang telah dipelajari adalah aspek pembelajaran
yang amat penting, sementara melupakan apa yang telah dipelajari seringkali
menjadi masalah. Tetapi, para teoretisi pembelajaran cenderung beranggapan
bahwa mengingat dan lupa adalah hal yang lumrah. Meskipun demikian,
dalam penjelasan tentang memori (ingatan) ini terdapat dua pendekatan teori
pembelajaran, yaitu pendekatan koneksionis dan pendekatan kognitif. 6
Seorang psikolog koneksionis, Benton J. Underwood, dalam bidang
pembelajaran verbal mempertanyakan persoalan mengapa seseorang lupa.
Bila sesuatu dia ingat, mengapa hal itu tidak dia ingat selamanya? Dari
berbagai penjelasan yang ada, yang paling berpengaruh adalah interpretasi
penimpaan atau interferensi (interference), bahwa seseorang lupa karena
penjagaan atau retensi (retention) dia atas item tertentu ditimpa oleh item lain
yang dia pelajari yang serupa dengan item tertentu tersebut. Jika seseorang
melupakan sesuatu karena interferensi dari hal lain yang dia pelajari
sesudahnya, maka efek ini dikenal sebagai interferensi retroaktif (retroactive
interference). Akan tetapi, jika interferensi itu berasal dari materi lain yang
5 Ibid., hlm. 99.
6 Dalam teori belajar Koneksionisme Edward Lee Thorndike (1874-1949) mengemukakan 3
hukum pokok dalam belajar: a) law of readiness (hukum persiapan), kuat tidaknya koneksi antara
stimulus (S) yang diberikan dan Respon (R) yang diharapkan tergantung kesiapan individu; b) law of
exercise (hukum latihan), koneksi antara R-S akan semakin kuat jika sering dilatih; dan c) law of
effect (hukum akibat), koneksi antara R-S menjadi lebih kuat jika diikuti dengan akibat (keadaan)
yang memuaskan. Sedangkan yang termasuk teori belajar Kognitif di antaranya ialah teori Gestalt
Max Wertheimer (1880-1943). Gestalt artinya „pola‟; „bentuk‟; atau „konfigurasi‟. Pandangan kaum
Gestalt antara lain: a) Pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dari satu keseluruhan. Orang yang
belajar perlu mengamati stimulus dalam „keseluruhan‟ yang terorganisir, bukan dalam bagian-bagian
yang terpisah. b) Belajar ialah suatu proses mendapatkan „insight‟, yaitu pengamatan atau pemahaman
terhadap hubungan antara bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan (dalam situasi
problematik). Lihat: Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2009), hlm. 67 dan 76.
13
justru dipelajari sebelumnya, maka dikenal sebagai interferensi aktif (active
interference). 7
Adapun versi paling terkenal dari pendekatan kognitif mengenai
memori adalah yang dikemukakan oleh Richard C. Atkinson dan Richard M.
Shiffrin. Mereka berpendapat bahwa memori terdiri atas tiga tempat atau
wadah penyimpanan (stores). Yang pertama adalah „register sensori‟ (sensory
register), bahwa semua informasi yang tiba melalui indera diregistrasi atau
dicatat di register sensori itu. Register sensori menyimpan informasi dalam
waktu yang amat singkat. Kedua adalah tempat menyimpan informasi dalam
waktu yang lebih lama, dan tidak selalu dalam bentuk aslinya yang disebut
„penyimpanan jangka pendek‟ (short term store), atau memori jangka pendek
(short term memory) atau memori kerja (working memory). Pengulangan
(rehearsal) merupakan cara yang bagus untuk mempertahankan agar suatu
item tetap berada dalam memori kerja. Yang Ketiga adalah „penyimpanan
jangka panjang‟ (long term store). Penyimpanan ini memiliki kapasitas tidak
terbatas dan tidak ada hal yang hilang darinya, bila seseorang melupakan
sesuatu yang pernah ada di dalam wadah jangka panjang, hal itu karena dia
tidak bisa menemukannya di dalam sana, sesuatu itu tersedia untuk ditemukan
jika ia bisa memilih strategi pencarian yang tepat untuk memanggilnya
kembali. Ketika sebuah item dipanggil kembali dari penyimpanan jangka
panjang, item tersebut masuk ke dalam penyimpanan jangka pendek, itulah
mengapa yang tersebut terakhir ini dinamakan sebagai memori kerja.8
2. Hafalan sebagai Metode Pembelajaran
Hafalan sebagai metode belajar individual (al-t}ari>qah fi al-ta’allum
fardiyyah) sudah ada sejak masa klasik. Banyak ulama Islam yang begitu
memperhatikan dan menjaga hafalan al-Qur‟an dan hadis-hadis Nabi Saw.
Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, bahwa Ibnu
Khalkan menyebutkan dalam kitabnya Wafiyya>t al-A’ya>n beberapa ulama
7 Winfred F. Hill, Theories of Learning: Teori-teori Pembelajaran, terjemahan dari
Learning: A Survey of Psychological Interpretations oleh M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, 2010),
Cet. III, hlm. 278 – 281. 8 Ibid., hlm. 283 – 287.
14
yang memiliki ingatan bagus, misalnya Imam Ahmad bin Hanbal telah
menghafal satu juta hadis, Imam al-Bukhari ketika masih kecil sudah
menghafal hampir lima belas ribu hadis,9 dan masih banyak ulama lainnya.
Jika diteliti secara seksama, perhatian dan penjagaan terhadap ingatan
ini mempunyai pengaruh dan peranan yang besar dalam masa permulaan
Islam. Pada saat munculnya Islam, waktu itu mayoritas orang Arab adalah
ummy (belum bisa membaca dan menulis), sehingga mereka berpegang dan
sangat bergantung kepada ingatan mereka dalam menjaga ayat-ayat al-
Qur‟an, hadis-hadis Nabi, ajaran-ajaran agama, kaidah-kaidah Islam, syair-
syair, dan kisah-kisah Arab.
Perlu digaris-bawahi, bahwa ulama Islam di samping memberikan
perhatian terhadap hafalan dan ingatan, mereka juga memperhatikan terhadap
pemikiran, penjelasan, analisis, dan pemahaman komprehensif atas materi
yang dihafalkan. Mereka menjadikan hafalan sebagai perantara (media;
wasi>lah) bukan sebagai tujuan akhir, hal ini dikarenakan pada awal masa
Islam belum banyak orang yang terampil membaca dan menulis.10
Para pendidik Islam banyak yang menganjurkan murid-muridnya
untuk menghafalkan materi yang telah diajarkan. Anjuran ini menunjukkan
bahwa hafalan tidak saja menjadi metode belajar individual, tetapi juga
menjadi metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru.
Metode hafalan dalam pendidikan pesantren pada umumnya
diterapkan untuk menghafal kitab-kitab tertentu, biasanya yang bersifat naz}m
(syair), bukan nas\r (prosa), misalnya nazam Alfiyyah Ibnu Malik. Metode
hafalan juga sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur‟an dan Hadis, yang
biasa disebut metode Tah}fi>z} al-Qur’a>n. Dalam pembelajaran Alfiyyah
menggunakan metode hafalan, santri diberi tugas untuk menghafal sejumlah
nazam (bait) dari kitab Alfiyyah, dan setelah beberapa hari baru setoran
(membacakannya) di depan gurunya. Dalam pengembangan metode hafalan
ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual dengan
9 Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha>, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 212 – 213. 10
Ibid., hlm. 214.
15
berbagai variasinya, tetapi harus juga melibatkan atau menyentuh ranah yang
lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan
kemampuan intelektual sebatas ingatan (retensi) tetapi juga sampai kepada
pemahaman, analisis, dan evaluasi.11
3. Nazam Alfiyyah
Nazam berarti sajak (syair); karangan.12
Nazam berasal dari Bahasa
Arab al-naz}m yang oleh Al-Jurjany didefinisikan sebagai berikut:
تأليف الكلمات اجلمل تت ة ادل اين ـناس ة الد ت : يف ا صطالح (الن م) 13 . على سب ا يقـضيو ال قل
Nazam menurut istilah adalah rangkaian kata-kata atau kalimat-kalimat
yang runtut maknanya, bersesuaian penunjukan artinya, menurut
penangkapan akal.
Alfiyyah merupakan kata yang dinisbatkan kepada kata alf (seribu),
yang berarti “mengenai atau bersifat seribu”.14
Dalam penelitian ini, Alfiyyah
yang dimaksud adalah kitab Alfiyyah Ibnu Malik. Kitab karya Ibnu Malik ini
dinamai Alfiyyah karena terdiri dari nazam-nazam yang jumlahnya seribuan,
tepatnya 1002 nazam.
Imam Ibnu Malik al-Andalusy lahir pada tahun 597 H di Kota Al-
Jayyan yang merupakan bagian dari wilayah Andalusia Spanyol. Beliau
bernama Muhammad bin Abdillah bin Malik, dan mendapat julukan (laqab)
“Jamaluddin” dan kunyah “Abu Abdillah”. Nama beliau yang terkenal adalah
Ibnu Malik, dengan menisbatkan nasab pada kakeknya, hal ini dikarenakan
ta`addub (beretika) dengan Rasulullah Saw, karena nama beliau dengan
Rasulullah Saw sama, begitu pula nama ayahnya, selain itu karena nama
kakeknya lebih terkenal dibanding nama ayahnya.15
11
HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 97 – 98. 12
Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 999. 13
Aly bin Muhammad al-Jurjany, Kita>b al-Ta’rifa>t, (Surabaya: Al-Haramain, 1421), hlm. 239. 14
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 34. 15
M. Sholihuddin Shofwan, Maqashid An-Nahwiyyah: Pengantar Memahami Alfiyyah, Juz
Awal, (Jombang: Darul Hikmah, 2005), Cet. II, hlm. 7.
16
Alfiyyah Ibnu Malik merupakan kitab yang berisi kaidah-kaidah
nahwu (gramatika Arab) dan sharaf (morfologi Arab). Kitab ini memuat 1002
nazam yang menjelaskan persoalan tata bahasa Arab dengan pendekatan
nazam yang mudah dihafal. Kitab Alfiyyah berisi kaidah nahwu, dalam arti
kitab ini menjelaskan semua kaidah yang berkaitan dengan keadaan akhirnya
kalimah (kata) dari segi i’ra>b dan mabny-nya, juga menjelaskan keadaan
kalimah ketika tidak di-tarki>b, yang berupa i’la>l, idgha>m, pembuangan dan
pergantian huruf, dan lainnya dari kaidah-kaidah sharaf.16
Para ulama memberi julukan ilmu sharaf dengan “Umm al-‘Ulu>m ”
(ibunya ilmu), dan ilmu nahwu dengan “Abu al-‘Ulu>m ” (ayahnya ilmu),
karena keduanya digunakan untuk memahami semua ilmu berbahasa Arab
yang bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ada satu
maqa>lah yang mengatakan: “Barangsiapa yang tabah}h}ur (menguasai secara
mendetail dan mendalam layaknya lautan) terhadap ilmu sharaf dan ilmu
nahwu, maka orang itu akan (mampu) tabah}h}ur dengan semua ilmu”, andil
yang diberikan oleh kedua ilmu itu dalam memahami ilmu-ilmu yang lain
diibaratkan seorang ibu dan ayah dalam melahirkan anak-anaknya.17
Moch. Anwar, salah seorang penerjemah Matan Alfiyyah dalam kata
pengantarnya menjelaskan tentang hukum mempelajari ilmu nahwu dan
sharaf. Dia mengutip sebuah kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
. ا يـــمم الوااب ال بو فـهو ااب Sesuatu hal di mana suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya,
maka sesuatu hal tersebut wajib pula.
Berdasarkan kaidah itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa mempelajari
nahwu dan sharaf hukumnya wajib. Hal ini dikarenakan bahwa ajaran Islam
itu sumber pokoknya dari al-Qur‟an dan Hadis. Kedua sumber itu berbahasa
Arab, oleh karenanya setiap umat Islam yang bermaksud mempelajari ajaran
Islam dari kedua sumber tersebut, berkewajiban pula mempelajari sampai
mengerti dan menguasai bahasa Arab dengan segala tata bahasanya, seperti:
16
Ibid., hlm. 4 – 5. 17
Ibid., hlm. iii.
17
ilmu nahwu dan sharaf, serta kesusasteraannya yaitu: ma’a>ny, baya>n, dan
badi>’. Dan sebelum mempelajari semua tata bahasa dan sastera Arab itu,
terlebih dahulu harus mempelajari ilmu nahwu dan sharaf, karena dengan
keduanya pemahaman dasar bahasa Arab mengenai bentuk kata dan
kedudukannya dalam kalimat dapat diketahui.18
4. Evaluasi Metode Pembelajaran Hafalan
Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam melakukan evaluasi,
yaitu pengukuran, asesmen, dan evaluasi. Menurut Griffin dan Nix,
sebagaimana dijelaskan oleh Djemari Mardapi, bahwa pengukuran, asesmen,
dan evaluasi adalah hirarki. Pengukuran membandingkan hasil pengamatan
dengan kriteria, asesmen menjelaskan dan menafsirkan hasil pengukuran,
sedang evaluasi adalah penetapan nilai atau implikasi suatu perilaku, bisa
berupa perilaku individu atau lembaga. Sifat yang hirarkis ini menunjukkan
bahwa setiap kegiatan evaluasi melibatkan pengukuran dan asesmen.19
Dalam artikel “Bahan Presentasi Performance Tes” yang ditulis oleh
Iding Tarsidi, dijelaskan bahwa pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan
mengkuantifikasikan atribut dari objek, orang atau kejadian menurut skala
tertentu sehingga dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain, atau
membandingkan sesuatu atas dasar ukuran tertentu. Hasil pengukuran itu
berupa angka yang diperoleh dari pengujian (tes). Pengukuran dalam
pendidikan merupakan pengukuran psikologis, yang bersifat tidak langsung
dengan obyek anak didik yang diukur.20
Iding Tarsidi juga mengutip pendapat Norman E. Gronlund, bahwa
evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat
keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai siswa.
Sedangkan menurut Sajekti Rusi, evaluasi merupakan proses menilai sesuatu,
18
Moch. Anwar, Tarjamah Matan Alfiyah, (Bandung: Alma‟arif, 1996), hlm. 5 – 6. 19
Djemari Mardapi, Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, (Jogjakarta: Mitra
Cendikia Offset, 2008), hlm. 1 – 2. 20
Iding Tarsidi, “Bahan Presentasi Performance Tes”, diunduh dari http://file.upi.edu/
Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/196601041993011%20-%20IDING
%20TARSIDI/MAKALAH%20PERFORMANCE%20TEST.pdf, hlm. 1.
18
yang mencakup deskripsi tingkah laku siswa baik secara kuantitatif
(pengukuran) maupun kualitatif (penilaian).21
Metode pembelajaran hafalan terkait dengan proses mengingat.
Mengingat (remembering) merupakan kategori pertama dari enam kategori
proses kognitif Benjamin S. Bloom. Tujuan pembelajaran kategori ini adalah
menumbuhkan kemampuan untuk meretensi materi pelajaran sama seperti
materi yang diajarkan. Dalam kategori ini menghafal merupakan proses
mengingat kembali (recalling), di mana dalam prosesnya siswa mencari
informasi di memori jangka panjang (long term memory) dan membawa
informasi tersebut ke memori kerja (working memory) untuk diproses.22
Dengan demikian tujuan dari metode pembelajaran hafalan adalah
menumbuhkan kemampuan untuk meretensi. Oleh karenanya, evaluasi yang
tepat untuk hafalan adalah dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada
siswa, yang dijawab secara lisan dalam komunikasi langsung. Tes semacam
ini dikenal dengan tes lisan (oral test).23
Pengajaran kitab Alfiyyah di lembaga pendidikan pesantren pada
umumnya menggunakan metode hafalan. Para santri menghafalkan kaidah-
kaidah nahwu dan sharaf tersebut secara individual, lalu mu„allim atau ustadz
mengevaluasi hafalan mereka di depan kelas. Evaluasi sumatif 24
untuk
mengetahui keberhasilan santri dalam menghafal Alfiyyah umumnya
menggunakan tes lisan yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya di akhir semester yang biasa dikenal dengan Muh}a>faz}ah Kubra>.
B. Memahami Kitab Fiqh
1. Teori tentang Pemahaman
Memahami artinya mengerti benar; mengetahui benar akan sesuatu. 25
Paham yang dalam bahasa Arab adalah al-fahm mempunyai arti:
21
Ibid., hlm. 2. 22
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), op. cit., hlm. 99 dan 104. 23
Iding Tarsidi, op. cit., hlm. 6. 24
Evaluasi sumatif bertujuan untuk menetapkan keberhasilan peserta didik. Nilai yang
dicapai peserta didik ditetapkan lulus atau belum. Lihat: Djemari Mardapi, op. cit., hlm. 11. 25
Hasan Alwi, op. cit., hlm. 811.
19
26 . تصور ادل ت ن ل ظ ادلخاطب: ال هم
Paham berarti mendeskripsikan makna atau arti dari lafaz (baik lisan
maupun tulisan) orang yang berucap.
Pemahaman dalam taksonomi Bloom diistilahkan dengan komprehensi
(comprehension). Komprehensi merupakan tingkat memahami yang paling
rendah, seperti orang yang mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan
dapat menggunakan materi atau ide yang sedang dikomunikasikan tanpa
menghubungkannya dengan materi lain atau tanpa melihat implikasinya.27
Yang termasuk dalam kategori pemahaman adalah:
a. Penerjemahan: komprehensi yang teliti dan akurat untuk memparafrasa-
kan atau menciptakan komunikasi dari satu bahasa atau bentuk
komunikasi ke bahasa atau bentuk komunikasi lainnya. Penerjemahan
dinilai berdasarkan kesetiaan dan akurasinya, yakni sejauh mana materi
dalam bahasa asalnya tetap terpelihara walaupun bahasanya berubah.
b. Penafsiran: penjelasan atau rangkuman atas suatu komunikasi. Jika
penerjemahan melibatkan pengubahan bagian ke bagian komunikasi
secara objektif, penafsiran melibatkan penataan ulang, pengaturan ulang,
atau pandangan baru tentang sesuatu.
c. Ekstrapolasi: meluaskan kecenderungan atau tren melampaui datanya
untuk mengetahui implikasi, konsekuensi, akibat, pengaruh, dan
seterusnya yang sesuai dengan kondisi-kondisi yang dideskripsikan dalam
komunikasi awalnya.28
Term comprehension diubah menjadi understanding dalam revisi
taksonomi pendidikan Bloom oleh Anderson dan Krathwohl. Pengubahan ini
bertujuan untuk meminimalkan pengaburan makna suatu term (istilah). Term
baru ini juga merevisi proses-proses kognitif yang terdapat di dalam versi
sebelumnya, dalam hal istilah yang digunakan dan perubahan urutannya.
Secara sederhana understanding dijelaskan sebagai berikut:
26
Aly bin Muhammad al-Jurjany, op. cit., hlm. 165. 27
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), op. cit., hlm. 411. 28
Ibid., hlm. 411 – 412.
20
Understanding: Constructing meaning from oral, written, and graphic
messages through interpreting, exemplifying, classifying, summarizing,
inferring, comparing, and explaining.29
Memahami: Mengkonstruksi makna dari pesan-pesan (yang berupa)
lisan, tulisan, atau grafis melalui menafsirkan, mencontohkan, meng-
klasifikasikan, merangkum, membandingkan, dan menjelaskan.
Siswa dikatakan „memahami‟ bila mereka dapat mengkonstruksi
makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan,
ataupun grafis. Siswa memahami ketika mereka menghubungkan
pengetahuan „baru‟ dan pengetahuan „lama‟ mereka. Lebih tepatnya,
pengetahuan yang baru masuk dipadukan dengan skema-skema dan
kerangka-kerangka kognitif yang telah ada. Lantaran konsep-konsep di otak
seumpama blok-blok bangunan yang di dalamnya berisi skema-skema dan
kerangka-kerangka kognitif, maka Pengetahuan Konseptual (Conceptual
Knowledge) 30
menjadi dasar untuk „memahami‟. Proses-proses kognitif
dalam kategori understanding ini meliputi: interpreting (menafsirkan),
exemplifying (mencontohkan), classifying (mengklasifikasikan), summarizing
(merangkum), inferring (menyimpulkan), comparing (membandingkan), dan
explaining (menjelaskan). 31
2. Kitab Fiqh
Fiqh menurut bahasa berarti al-fahm (paham). Menurut istilah, oleh
Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Jurhuzy fiqh didefinisikan sebagai berikut:
29
Mary Forehand, “Bloom's Taxonomy: Original and Revised”, dalam Michael Orey (ed.),
Emerging Perspectives on Learning, Teaching and Technology, http://www.coe.uga.edu/epltt/bloom.
htm, 10 Februari 2006, hlm. 3. 30
Di dalam revisi taksonomi Bloom, Anderson dan Krathwohl menjadikan pengetahuan
(knowledge) sebagai sebuah dimensi tersendiri di samping dimensi proses kognitif. Pengetahuan
dalam revisi ini dikategorikan menjadi empat, yaitu: Pengetahuan Faktual, yakni pengetahuan tentang
elemen-elemen yang terpisah dan mempunyai ciri-ciri tersendiri; “potongan-potongan informasi”.
Pengetahuan Konseptual adalah pengetahuan tentang “bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih
kompleks dan terorganisasi”, pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori,
prinsip dan generalisasi, juga tentang teori, model, dan struktur. Pengetahuan Prosedural adalah
“pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu”. Pengetahuan Metakognitif adalah
“pengetahuan mengenai kognisi secara umum, kesadaran akan dan pengetahuan mengenai kognisi diri
sendiri”. Lihat: Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), op. cit., hlm. 39 – 42. 31
Ibid., hlm. 105 – 106.
21
32 .اا كام اللرعية ال ملية المكـس ة ن أصل صالل
Fiqh adalah hukum-hukum syari‟at yang berhubungan dengan amal
perbuatan yang diambil dari dalil terperinci.
Fiqh termasuk salah satu ilmu yang besar manfaatnya, fiqh adalah
dasar dalam bertakwa (asa>s al-taqwa> ). Dengan fiqh dapat diketahui sahihnya
ibadah lahiriah, sehingga penting untuk dipelajari, baik oleh orang-orang
kha>s}s} yang mempunyai pengetahuan mendalam maupun oleh orang awam.
Demikian ini sebagaimana dijelaskan dalam nazam Al-Fara>’id al-Bahiyyah :
سيما ال قو أساس الــالقوى ○ بـ د فال ـلم ع ــيم الـجد ى 33 ذ ىــو للخصــوص ال مـــوم ○ فـهـو أىـــمم سـائـــر الـ ـلـــــــــــــــــــــــوم
Wa ba‟du, ilmu itu besar manfaatnya, terlebih ilmu Fiqh yang merupakan
dasar bertakwa. Fiqh adalah yang terpenting dari beberapa ilmu, karena
fiqh (dipelajari) oleh orang-orang khusus dan juga orang-orang umum.
Fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu yang populer di pesantren. Oleh
Martin van Bruinessen, fiqh dianggap sebagai ilmu terpenting dalam
khazanah keilmuan tradisional.34
Hampir dapat dipastikan bahwa dalam
kurikulum pesantren tradisional terdapat kajian ilmu fiqh, dan ilmu ini
mendapat perhatian yang lebih dari pada yang lain. Namun, pengetahuan fiqh
di pesantren ini masih dianggap sebatas tekstual oleh para pembaharu. Kaum
modernis mempertanyakan relevansinya, kaum puritan menyatakan bahwa
fiqh banyak mengandung bid‟ah. Fiqh tradisional di Indonesia menuntut
sikap taqli>d pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam
madzhab fiqh ortodoks abad pertengahan, madzhab Syafi‟i. Ajaran-ajaran ini
dipelajari melalui berbagai karya yang bersifat ulasan (syarh}) dan ulasan atas
ulasan (h}a>syiyah) atas karya-karya abad pertengahan, yang –dalam
32
Abu al-Faidl Muhammad Yasin bin „Isa al-Fadany, Al-Fawa>’id al-Janiyyah, H}a>syiyah al-Mawa>hib al-Saniyyah Syarh} al-Fara>’id al-Bahiyyah, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 38 – 39.
33 Ibid., hlm. 61 – 63.
34 Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. VII, hlm. 20.
22
pandangan kaum pembaharu– menjadi tabir penghalang antara masa sekarang
dan masa Nabi Saw.35
Kitab secara bahasa artinya buku.36
Dalam dunia pesantren, kata kitab
biasanya merujuk kepada literatur khas pesantren, yakni kitab kuning. Kitab
kuning disebut juga al-kutub al-qadi>mah, karena kitab-kitab tersebut dikarang
lebih dari seratus tahun yang lalu. Ada juga yang menyebutkannya dengan al-
kutub al-s}afra>’ atau “kitab kuning”, karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di
atas kertas berwarna kuning, sesuai kertas yang tersedia waktu itu.37
Kitab
kuning juga disebut dengan kitab gundul, karena menggunakan huruf Arab
tanpa harakat atau syakal.38
Saat ini, meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan
pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam
pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab kuning atau kitab-kitab Islam
klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama
pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam
tradisional. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat
digolongkan ke dalam delapan kelompok, yaitu: 1) nahwu (syntax) dan sharaf
(morfologi); 2) fiqh; 3) ushul fiqh; 4) hadis; 5) tafsir; 6) tauhid; 7) tashawuf
dan etika; dan 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Kesemuanya itu dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: kitab-
kitab dasar, kitab-kitab menengah, dan kitab-kitab besar.39
Marten van Bruinessen pernah melakukan pengamatan terhadap kitab-
kitab fiqh yang banyak beredar di pesantren. Ia melakukannya dengan cara
mengunjungi toko-toko kitab kuning yang bertebaran di Nusantara dan
dengan mengunjungi pesantren-pesantren. Berdasarkan pengamatan Marten,
kitab fiqh yang banyak beredar di pesantren dapat dilihat dalam tabel berikut:
35
Ibid. 36
Hasan Alwi, op. cit., hlm. 573. Al-Kita>b bentuk mufrod dari al-kutub. Ahmad Warson
Munawwir, op. cit., hlm. 1187. 37
Rohadi Abdul Fatah, dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan (dari Tradisional,
Modern, hingga Post Modern), (Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2008), Cet. II, hlm. 22. 38
HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), op. cit., hlm. 37. 39
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982), hlm. 50 – 51.
23
Tabel 1
Kitab Fiqh yang Banyak Beredar di Pesantren 40
No Daerah
Sum
ater
a
Kal
sel
Jabar
Jate
ng
Jati
m
Jumlah Tingkat
Jumlah Pesantren 4 3 9 12 18 46
1 Fath} al-Mu’i>n 2 1 7 6 16 32 Aliyah
2 I’a>nah al-T}a>libi>n 2 2 0 0 0 4 Ts
3 Taqri>b li Aby Syuja’ 2 1 4 7 9 23 Aliyah
4 Fath} al- Qari>b al-Muji>b 2 1 4 7 9 23 Ts/Aliyah
5 Kifa>yah al-Akhya>r 1 0 6 4 7 18 Ts/Aliyah
6 Al-Baiju>riy 1 0 1 0 1 3
7 Al-Iqna>’ 0 1 1 0 5 7
8 Minha>j al-T}a>libi>n 2 0 2 0 1 5 Aliyah
9 Minha>j al-T}ulla>b 0 0 0 0 1 1
10 Fath} al-Wahha>b 0 1 5 4 10 20 Aliyah
11 Al-Mah}alli 4 1 1 2 1 9 Aliyah
12 Minha>j al-Qawi>m 0 0 2 2 3 7
13 Safi>nah al-Naja>h 1 0 6 7 7 21 Ts
14 Kasyi>fah al-Saja> 0 0 1 0 3 4
15 Sullam al-Tawfi>q 0 1 5 2 13 21 Ts
16 Tah}ri>r 0 1 2 1 5 9 Aliyah
17 Riya>d} al-Badi>’ah 0 0 2 1 2 6
18 Sullam al-Muna>ja>t 0 0 2 1 2 5
19 ‘Uqu>d al-Lujain 0 0 1 1 2 4 Ts
20 Sitti>n 0 1 2 0 0 3
21 Al-Muhaz\z\ab 0 0 0 1 2 3
22 Bugyah al-Mustarsyidi>n 0 0 1 0 2 3
23 Al-Maba>di’ al-Fiqhiyyah 0 0 1 2 5 8 Ts
24 Fiqh al-Wa>dih} 0 0 0 1 3 4 Ts
25 Sabi>l al-Muhtadi>n 0 1 0 0 0 1 Ts
Sumber: Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, hlm. 29.
Keterangan: “Ts” singkatan dari “Tsanawiyah”
40
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999),
Cet. III, hlm. 29.
24
Menurut penjelasan Abdurrahman Wahid, dalam cabang ilmu fiqh, di
pesantren-pesantren tetap diajarkan kitab-kitab fiqh yang mendalam dengan
penguasaan alat-alat bantu yang mengagumkan, seperti terlihat dari pengajian
kitab fiqh Al-Muhaz\z\ab, Fath} al-Wahha>b, Qulyu>by wa ‘Umairah, bahkan
Bijurain yang merupakan komentar fiqh yang sangat dalam. Lebih jauh dari
itu, diajarkan pula penggunaan referensi fiqh yang berukuran raksasa seperti
Majmu‟, yang merupakan komentar atas kitab Al-Muhaz\z\ab. Penggunaan
kitab-kitab fiqh ini dilakukan dalam rangka untuk menjaga kualitas fiqh di
pesantren, sehingga tercapai standarisasi dalam penggunaan kitab dasar fiqh,
yaitu Taqri>b yang terkenal itu.41
Kitab Taqri>b atau Gha>yah al-Ikhtis}a>r adalah karya Imam Abu Thayib,
Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Ashfahani, yang dikenal dengan julukan
Imam Abi Syuja‟. Kitab ini merupakan kitab mukhtas}ar, yaitu singkat namun
padat isi, dalam arti redaksi kalimatnya pendek, tapi kandungan arti dan
maknanya luas.42
Sebagaimana kitab-kitab mukhtas}ar lainnya, kitab Taqri>b
juga terdapat kitab syarahnya, di antara kitab syarah yang sudah biasa
digunakan di pesantren yaitu kitab Fath} al-Qari>b al-Muji>b.
Kitab Fath} al-Qari>b adalah salah satu karya monumental ulama
muta‟akhirin dari kalangan Syafi‟iyyah, yakni Syaikh Syamsuddin Abu
„Abdillah, Muhammad bin Qasim al-Ghuzziy, yang menjadi standar kitab
bagi pesantren di Indonesia. Bahkan di beberapa pesantren, kitab tersebut
menjadi tolok ukur santri dalam penguasaan kitab kuning/klasik. Sebuah
Kitab kecil yang banyak sekali memiliki keunggulan dibanding kitab-kitab
lain dan diajarkan hampir di semua madrasah/pesantren tradisional yang
bermadzhab Syafi‟i.
Di dalamnya mengupas permasalahan ‘ubu>diyyah sampai masalah
mu‟amalah dengan sangat lugas, berorientasi pada perbadingan pendapat
ulama mujtahid madzhab dari kalangan Syafi‟iyyah (Imam Al-Nawawi dan
41
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS,
2010), Cet. III, hlm. 227 – 228. 42
Muhammad bin Qasim al-Ghuzziy, Fath} al-Qari>b al-Muji>b, (tt.p.: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 3.
25
Imam Al-Rofi‟i) dan ulama muta‟akhirin (Imam Ibnu Hajar al-Haitamy dan
Imam Ar-Ramly). Ada hal yang menarik dari kitab kecil ini, karena kitab ini
termasuk salah satu kitab fiqh yang banyak disyarahi/dikomentari oleh ulama-
ulama setelahnya, seperti al-Tawsyi>h} karya Imam Nawawi al-Bantany,
H}a>syiyah al-Ba>ju>ry, al-Iqna>’, Al-Bujairamy dan masih banyak lainnya.43
3. Evaluasi Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Kemampuan memahami kitab fiqh diartikan sebagai kecakapan santri
untuk mendeskripsikan atau menjelaskan makna lafaz-lafaz yang terdapat
dalam kitab Fiqh. Dalam penelitian ini kitab yang digunakan adalah kitab
Fath} al-Qari>b al-Muji>b.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori pemahaman (understanding)
Taksonomi Bloom yang direvisi, terdapat tujuh proses kognitif dalam
kategori “memahami” ini, yaitu: menafsirkan, mencontohkan, mengklasifika-
sikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan.
Anderson dan Krathwohl dalam buku revisinya itu menjelaskan format
asesmen yang tepat untuk mengukur kemampuan setiap proses kognitif.
Untuk empat proses kognitif yang pertama, format asesmennya menggunakan
bentuk tes yang dapat berupa jawaban singkat atau pilihan ganda. Sedangkan
untuk asesmen “menyimpulkan” terdapat tiga tes, yaitu: tes melengkapi, tes
analogi, dan tes pengecualian. Untuk mengases proses kognitif
“membandingkan” digunakan pemetaan. Sedangkan tugas-tugas penalaran,
penyelesaian masalah, desain ulang, dan prediksi dapat digunakan untuk
mengases kemampuan siswa dalam “menjelaskan”.44
Siswa dikatakan “memahami” bila mereka dapat mengkonstruksi
makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan,
ataupun grafis. Konstruksi secara bahasa berarti susunan dan hubungan kata
dalam kalimat atau kelompok kata. Dalam hal mengkonstruksi makna ini,
pada pembelajaran kitab kuning yang dilaksanakan di pesantren sudah lazim
menggunakan makna gandul (ta’li>qa>t) sebelum menjelaskan isi atau maksud
43
“Resensi Fathul Qorib”, http://pesantren-qotrunnada.com/index.php?view=article&catid
=37:coretan-santri&id=52:resensi-qfathul-qoribq&format=pdf, diunduh 19 Januari 2011. 44
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (eds.), op. cit., hlm. 106 – 115.
26
dari materi yang dikaji. Makna gandul ini, di samping untuk mengetahui arti
atau makna setiap kata dari materi yang sedang dikaji, juga untuk mengetahui
kedudukan kata dalam kalimat, misalnya di pesantren Jawa jika kata itu
menjadi mubtada‟ diberi makna utawi dan ditandai dengan simbol huruf mim
fā‟il dengan makna ,(خ) ‟menjadi khabar dengan iku simbolnya huruf kha ,(م)
sopo tandanya huruf fa‟ (ف), dan makna-makna lainnya dengan simbol-
simbol yang menunjukkan kedudukan kata itu dalam kalimat.
C. Kajian Pustaka
Di dalam buku Al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha, bab Metode-
metode Umum dalam Belajar (al-T}uruq al-‘A<mmah fi> al-Tadri>s), Muhammad
Athiyyah al-Abrasyi menjelaskan bahwa belajar dengan hafalan (al-ta’allum bi al-
h}ifz} wa al-istiz}ha>r 45) merupakan sebuah metode pembelajaran yang biasa atau
lazim digunakan oleh orang-orang terdahulu (pada masa Klasik) maupun
sekarang. Al-Khalil bin Ahmad berkata:
46". ا ي ا ـ ـو ـ ـو ـو ا ـو ت"
“Aku tidaklah mendengar sesuatu kecuali aku menulisnya, dan aku tidak
menulisnya kecuali aku menghafalnya, dan tidaklah aku menghafal
sesuatu kecuali bermanfaat untukku”
Perkataan ini menunjukkan bahwa metode hafalan itu terkait dengan
pemahaman, karena tidak mungkin apa yang dihafalkan itu berbuah manfaat
kecuali dengan memahaminya dengan baik. Atau dengan kata lain, untuk
membantu mengingat apa yang telah dipahami, para pelajar berusaha untuk
menghafalkannya, baik proses menghafal itu dilakukan setelah mereka
memahami materinya atau pun sebelumnya, dalam arti menghafal terlebih
dahulu baru kemudian berusaha untuk memahami.
Metode hafalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya
dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, kitab yang bersifat nazam (syair),
45
Istiz}ha>r dari kata kerja istaz}hara yang berarti “meletakkan sesuatu di belakang untuk
memeliharanya”, arti ini sama dengan hafalan. Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta:
PT. Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1990), hlm. 250. 46
Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi, op. cit., hlm. 213.
27
bukan nas\r (prosa); dan itu pun pada umumnya terbatas pada ilmu kaidah
bahasa Arab, misalnya nazam Alfiyyah Ibnu Malik.47
Berlandaskan bahwa hafalan Alfiyyah merupakan salah satu metode
pembelajaran yang ada dan masih digunakan di pesantren-pesantren, maka
muncullah penelitian ini, yakni penelitian korelasi antara tingkat hafalan nazam
Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh. Fiqh dipilih oleh penulis
mengingat fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling diminati dan
sangat populer di berbagai pesantren Indonesia, khususnya Jawa. Fiqh
merupakan piranti pokok yang mengatur secara mendetail perilaku kehidupan
umat selama dua puluh empat jam setiap harinya.48
Penulis menyadari bahwa sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan
di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang, begitu juga penelitian ini bukanlah
satu-satunya penelitian yang membahas tentang hafalan nazam Alfiyyah,
ataupun pemahaman kitab fiqh. Oleh karenanya, untuk menghindari
pengulangan hasil temuan yang membahas permasalahan yang sama dari
peneliti-peneliti sebelumnya, maka penulis perlu memaparkan beberapa
penelitian relevan yang pernah dilakukan sebagai berikut:
Pertama, dari segi lokasi penelitian, memang pernah dilakukan beberapa
penelitian di lokasi yang sama, yakni di Pondok Pesantren Al-Itqon Desa Gugen
Kelurahan Tlogosari Wetan Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Namun
fokus penelitian-penelitian itu berbeda dengan penelitian ini. Salah satunya
adalah penelitian Muhsinin (3603031), dengan skripsi yang berjudul “Studi
Implementasi Pemberian Hadiah dan Hukuman Pendidikan Pesantren (Studi
Kasus Pondok Pesantren Al-Itqon Gugen Tlogosari Semarang)”, tahun 2006
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Dia memilih pesantren Al-Itqon
sebagai lokasi penelitian, karena di lembaga ini diterapkan reward dan
punishment yang menjadi objek kajiannya.
Hasil penelitian Muhsinin menunjukkan bahwa; hadiah dalam pendidikan
Islam merupakan pendidikan represif yang diberikan kepada siswa atau peserta
47
HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), op. cit., hlm. 17 dan 97. 48
Iksan, “Tradisi Pemakaian Kitab Kuning dalam Pembelajaran Fiqih pada MTs Berbasis
Pesantren di Jawa Timur”, Tesis, (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009), hlm. 51-52.
28
didik setelah mengerjakan kegiatan positif dan bertujuan agar dia lebih giat
untuk belajar mencapai prestasi yang lebih baik serta dengan harapan dapat
memotivasi teman-temannya yang belum berprestasi. Sedangkan hukuman
dalam pendidikan Islam merupakan tindakan yang dilakukan dengan sadar oleh
pendidik sebagai peringatan kepadanya atas pelanggaran yang dibuatnya sesuai
dengan prinsip dan nilai-nilai keislaman, yang bertujuan sebagai tuntunan.
Implementasi hadiah dan hukuman pada pendidikan Pondok Pesanten Al-Itqon
ternyata sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai keislaman. Artinya,
diberlakukannya hadiah bertujuan memberikan penghargaan dan motivasi
kepada para santri agar senantiasa melakukan perilaku positif. Sedangkan
hukuman yang diberikan kepada para santri yang melanggar, orientasinya tetap
kepada tindakan edukatif yang bertujuan sebagai tuntunan dan perbaikan.
Namun ada beberapa kritik terhadap hukuman yang diberlakukan di Pondok
Pesantren Al-Itqon, yakni tentang hukuman bersifat fisik yang dijalankan tanpa
kesepakatan pengurus pesantren, hukuman ini dilakukan hanya untuk
menjatuhkan martabat oleh teman-teman sekamarnya saja.49
Kedua, tentang hafalan nazam Alfiyyah, Abdul Gafur Muhlis
(D02205019), mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, tahun 2009 dengan judul skripsi:
للطالب ال ربية قراءة الكـب اءة تنمية ىف تط يقها اال ية م حت يظ طريقة" 50". بنكالن غاليس الكرا ة فـتاصلان ور السل ى مب هد اإلسال ى
“Metode Menghafal Nazam Alfiyyah Ibnu Malik dan Penerapannya dalam
Mengembangkan Kemampuan Membaca Kitab-kitab Bahasa Arab bagi
Santri di Pondok Pesantren Nurul Karomah Paterongan Galis Bangkalan”.
Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui penerapan menghafal nazam Alfiyyah di pesantren Nurul Karomah
49
Muhsinin, “Studi Implementasi Pemberian Hadiah dan Hukuman Pendidikan Pesantren
(Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Itqon Gugen Tlogosari Semarang)”, Skripsi, (Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006). 50
Abdul Gafur Muhlis, “T}ari>qah Tah}fi>z} Naz}m al-Alfiyyah wa Tat}bi>quha> fi> Tanmiyah
Kafa>’ah Qira>’ah al-Kutub al-‘Arabiyyah li al-T}ulla>b bi Ma’had al-Isla>my al-Salafy Nu>r al-Kara>mah
Paterongan Galis Bankala>n”, Skripsi, (Surabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2009).
29
Paterongan Galis Bangkalan; dan efektivitas penerapannya terhadap kemampuan
membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Walaupun objek penelitian skripsi ini
sama dengan penelitian yang dilakukan penulis, namun metodologinya berbeda,
yakni kualitatif dan kuantitatif. Pokok permasalahan dalam penelitian penulis
adalah menyelidiki korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh, bukan deskripsi kualitatif tentang efektivitas
penerapan metode menghafal nazam Alfiyyah terhadap kemampuan membaca
kitab-kitab berbahasa Arab.
Dalam skripsinya ini, untuk mendapatkan data-data yang berhubungan
dengan pembahasan, Abdul Gafur menggunakan lima metode, yaitu: observasi,
interview, tes, angket, dan dokumentasi. Setelah mendapatkan data-datanya,
kemudian ia menganalisa sesuai dengan jenis datanya. Dari analisis tersebut,
Abdul Gafur menyimpulkan bahwa : (1) penerapan hafalan nazam Alfiyyah bagi
santri di Pondok Pesantren Nurul Karomah Paterongan Galis Bangkalan sangat
efektif dan baik, (2) kemampuan membaca bagi santri di Pondok tersebut juga
baik dilihat dari tes baca yang telah di lakukan olehnya, (3) kemampuan
membaca bagi santri dengan metode menghafal nazam Alfiyyah Ibnu Malik
sangat efektif dan baik.
Ketiga, mengenai kitab fiqh, sebuah tesis “Tradisi Pemakaian Kitab
Kuning dalam Pembelajaran Fiqih pada MTs Berbasis Pesantren di Jawa
Timur”, 2006, yang ditulis oleh Iksan (F0640711), program pascasarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya, membahas tentang kitab kuning, khususnya fiqh, akan
tetapi aspek yang diteliti bukan pada kemampuan memahaminya.
Beberapa kesimpulan dari tesis ini antara lain: 1) Kitab kuning fiqh yang
dipelajari di madrasah tsanawiyah berbasis pesantren di Jawa Timur adalah
Maba>di’ al-Fiqhiyyah III, Taqri>b, Fath} al-Qari>b, Fath} al-Mu’i>n, Tah}ri>r, dan
Minha>j al-T}ulla>b, kesemuanya adalah kitab kuning fiqh bermadzhab Sya>fi’iy.
Dari penelitian ini didapati dua karakter kitab kuning yang digunakan dalam
pembelajaran fiqh. Pertama, kitab kuning berkategori dasar; Maba>di’ al-
Fiqhiyyah, Taqri>b, dan Fath} al-Qari>b. Kedua, kitab kuning fiqh berkategori
lanjutan; Fath} al-Mu’i>n, Tah}ri>r, dan Minha>j al-T}ulla>b.
30
2) Ada dua tipologi motif pemakaian kitab kuning fiqh, yaitu because-motive
dan in-order-to-motive. Pertama, dari because-motive yang terungkap didapati
bahwa penggunaan kitab kuning fiqh di madrasah berbasis pesantren didasarkan
atas keinginan untuk melestarikan tradisi keilmuan yang sudah establish di
pesantren dan dianggap sebagai tradisi yang baik dan layak untuk dipertahankan
berdasar kaidah “Al-Muh}a>faz}ah ‘ala al-qadi>m al-s}a>lih wa al-akhz\u bi al-jadi>d al-
as}lah”. Bahkan kitab kuning menurut mereka adalah ciri dari madrasah berbasis
pesantren itu sendiri dan tidak terpisahkan. Sedangkan dalam in-order-to-motive
yang ingin dicapai dengan pemakaian kitab kuning dalam pembelajaran fiqh
adalah untuk mengenalkan kitab kuning pada para santri, memberikan santri
kemampuan untuk menggali hukum Islam secara mandiri dan sebagai usaha
untuk menjadikan anak didik sebagai seorang muslim yang tafaqquh fi al-di>n.
3) Secara garis besar metode yang dipakai dalam pembelajaran fiqh dengan
menggunakan kitab kuning fiqh adalah penggabungan antar metode pembelaja-
ran kitab kuning yang ada di pesantren-pesantren, yaitu bandongan/wetonan,
sorogan, dan hafalan.51
Dari beberapa penelitian di atas, penulis menganggap bahwa penelitian
ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan pokok pembahasan tentang korelasi antara
tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh santri
tingkat tsanawiyah, yang dalam hal ini mengambil lokasi penelitian di Pesantren
Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
D. Pengajuan Hipotesis
Penelitian berbentuk korelasi (correlations studies) termasuk penelitian
berhipotesis. Hipotesis diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang
terkumpul.52
51
Iksan, op. cit. 52
Hipotesis berasal dari kata “hypo” yang artinya “di bawah” dan “thesa” yang artinya
“kebenaran”. Jadi hipotesis merupakan teori sementara yang dibuat oleh peneliti, yang kebenarannya
masih perlu diuji (di bawah kebenaran). Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet. XIII, hlm. 71.
31
Taksonomi pendidikan Benjamin S. Bloom maupun revisinya bersifat
hirarkis, ini berarti bahwa kategori proses kognitif “mengingat” (remembering)
merupakan dasar bagi kategori-kategori selanjutnya, termasuk “memahami”
(understanding). Artinya belajar tidak hanya berhenti pada “mengingat” saja,
tetapi harus ditindak-lanjuti dengan “memahami” sampai “mencipta”, dan siswa
yang telah berada pada tingkat kemampuan belajar “memahami” berarti telah
menguasai tingkat kemampuan belajar sebelumnya, yakni “mengingat”. Hal ini
sebagaimana penjelasan Athiyyah al-Abrasyi tentang metode menghafal dalam
pendidikan Islam, bahwa menghafal itu tidak terbatas pada tekstual belaka,
tetapi menjadi penunjang dan media untuk mencapai pemahaman, dengan kata
lain, hafalan harus dipadukan dengan pemahaman. Penjelasan tersebut
menunjukkan adanya hubungan erat antara hafalan dan pemahaman, dalam arti
hafalan seharusnya diikuti dengan pemahaman, dan dalam proses memahami
harus didasari dengan kemampuan mengingat.
Di pesantren-pesantren Indonesia, metode menghafal biasanya diterapkan
untuk materi pelajaran yang bersifat nazam, misalnya nazam Alfiyyah Ibnu
Malik. Santri diberi tugas untuk menghafal sejumlah nazam Alfiyyah, kemudian
diadakan evaluasi untuk mengetahui tingkat hafalannya.
Fiqh merupakan cabang ilmu yang populer di pesantren, di mana
referensinya biasanya menggunakan kitab kuning yang merupakan ciri dari
pesantren. Kitab kuning disebut juga dengan kitab gundul, karena menggunakan
huruf Arab tanpa harakat atau syakal. Di antara kitab fiqh yang banyak dijadikan
sebagai referensi dalam pembelajaran fiqh di pesantren adalah kitab Fath} al-
Qari>b. Pemahaman santri terhadap kitab fiqh ini menjadi tolok ukur santri dalam
penguasaan kitab klasik.
Keberhasilan pembelajaran kitab fiqh antara lain ditentukan oleh
kemampuan membuka kegundulan itu dengan menemukan harakat-harakat yang
benar. Dengan mengetahui kedudukan (tarki>b) masing-masing kata dan
perubahan (tas}ri>f ) kata itu, seorang santri akan mampu memahami isi kitab fiqh,
dengan cara menerjemahkan secara benar sesuai konstruksi kata dalam kalimat,
serta menjelaskan maksud dari kitab fiqh itu. Sedangkan untuk mempunyai
32
kemampuan membuka kegundulan kitab kuning, diperlukan penguasaan
terhadap ilmu nahwu dan sharaf, yang mana keduanya menjadi kajian dalam
nazam-nazam Alfiyyah Ibnu Malik.
Berdasarkan pendapat „Athiyyah al-Abrasyi bahwa menghafal dalam
konsep pendidikan Islam itu terpadu dengan pemahaman, maka diprediksikan
bahwa santri yang tingkat hafalan Alfiyyahnya baik akan mempunyai
pemahaman ilmu nahwu dan sharaf yang baik pula, sehingga dengan ilmu itu ia
mampu memahami kitab-kitab gundul termasuk kitab-kitab fiqh.
Demikian juga, berdasarkan penjelasan Mary Forehand bahwa taksonomi
Bloom itu bersifat hirarkis, apabila seorang santri mampu memahami kitab fiqh
dengan baik, berarti ia mempunyai kemampuan untuk mengingat istilah-istilah
atau elemen-elemen yang terkait dengan fiqh. Jika ia mampu mengingat istilah-
istilah yang terkait dengan fiqh, besar kemungkinannya ia juga mempunyai
kemampuan mengingat akan hal-hal yang lain dengan baik, seperti menghafal
nazam-nazam Alfiyyah.
Dengan demikian terdapat hubungan antara tingkat hafalan nazam
Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh, walaupun hubungan yang ada
bukan hubungan secara langsung, sebagaimana hubungan sebab-akibat, maupun
pengaruh-dipengaruhi. Hubungan antara dua variabel inilah yang akan dicari
koefisien korelasinya, sehingga dapat dibuktikan ada tidaknya korelasi antar
keduanya, dan jika ada apakah hubungan itu signifikan atau tidak.
Dari penjelasan di atas, hipotesis penulis dalam penelitian ini adalah
terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh santri, yang dalam hal ini santri tingkat
tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang. Artinya jika tingkat
hafalan nazam Alfiyyah santri baik maka kemampuannya memahami kitab fiqh
berkecenderungan baik, demikian juga sebaliknya, jika tingkat hafalannya buruk
maka kemampuan memahami kitab fiqh cenderung buruk. 53
53
Namun perlu diketahui dan diingat bahwa korelasi tidak selalu menunjuk pada hubungan
sebab-akibat. Aji Sofanudin, Metodologi Penelitian Ilmu Tarbiyah, (Semarang: Lakmus Indonesia,
2009), hlm. 61.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan prosedur atau tahapan-tahapan dalam
melakukan suatu penelitian, atau dengan kata lain, metode penelitian adalah
cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data.1 Metode
penelitian merupakan hal yang sangat penting bagi seorang peneliti, karena
ketepatan dalam menggunakan suatu metode akan dapat menghasilkan data yang
tepat pula, sehingga penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dalam bentuk skripsi.2
Dari judul skripsi “Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam
Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat Tsanawiyah di
Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang”, menunjukkan bahwa metode
penelitian yang digunakan adalah kuantitatif korelasional. Disebut penelitian
kuantitatif di antaranya dilihat dari jenis datanya yang berbentuk bilangan
(angka) atau yang disebut sebagai data kuantitatif. Termasuk korelasional karena
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua
variabel. Hubungan variasi dalam sebuah variabel dengan variabel yang lain
diketahui dengan teknik korelasional.3
Dalam pengumpulan data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
metode tes, berupa tes kecakapan lisan untuk menjaring data tingkat hafalan
nazam Alfiyyah, dan tes tertulis untuk menjaring data kemampuan memahami
kitab fiqh. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik analisis
korelasional menggunakan rumus korelasi product moment, di mana besarnya
atau tingginya hubungan antara dua variabel itu dinyatakan dalam bentuk
koefisien korelasi.
1 Aji Sofanudin, Metodologi Penelitian Ilmu Tarbiyah, (Semarang: Lakmus Indonesia,
2009), hlm. 35. 2 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Rike Sarasing, 1989), hlm. 11.
3 Aji Sofanudin, op. cit., hlm. 30 dan 61.
34
35
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya
sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai dilaksanakan.4 Dan tujuan
penelitian ini secara umum adalah untuk memperoleh gambaran tentang
hubungan antara variabel-variabel yang diteliti yaitu variabel X dan variabel Y.
Sehubungan dengan penelitian tentang korelasi antara tingkat hafalan
nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah
di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang, maka yang menjadi fokus atau
tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri tingkat
tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
2. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan memahami kitab fiqh santri
tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
3. Untuk menyelidiki korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-
Itqon Gugen Kota Semarang.
C. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian skripsi “Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam
Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat Tsanawiyah
di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang” dilaksanakan pada tanggal 1
Februari 2011 sampai dengan tanggal 7 Maret 2011.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini bertempat di Pondok Pesantren Al-Itqon yang beralamat
di Jalan KH. Abdurrosyid Gugen RT.09 RW.03 Kelurahan Tlogosari Wetan
Kecamatan Pedurungan Kota Semarang.
Berdasarkan Piagam Penyelenggara Pondok Pesantren yang
dikeluarkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia Kota Semarang
4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), Cet. XIII, hlm. 58.
36
tanggal 28 Juni 2005 dengan nomor: Kd.11.33/5/PP.00.7/3843/2005, identitas
pesantren Al-Itqon adalah sebagai berikut:
Nama Pondok Pesantren : Al-Itqon
Tahun Berdiri : 1374 H / 1953 M
Alamat: Jalan / Kampung : Jl. KH. Abdul Rosyid Gugen
Desa / Kelurahan : Tlogosari Wetan
Kecamatan : Pedurungan
Kab. / Kota : Kota Semarang
Provinsi : Jawa Tengah
Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP): 512337412066
Pesantren Al-Itqon sampai saat penulisan skripsi ini masih tetap eksis
dan tetap mendapat respon positif dari masyarakat. Respon positif ini dapat
terlihat dari banyaknya jumlah peserta pengajian tafsir Al-Qur‟an yang
diadakan setiap hari Ahad pagi, juga dari data jumlah santri tahun 1432 H
tercatat bahwa jumlah santri yang mukim ada 386 orang. Pesantren Al-Itqon
merupakan lembaga pendidikan yang menjadi cikal bakal berdirinya Yayasan
Al-Wathoniyyah. Yang pada perkembangan-nya yayasan ini tidak hanya
mengadakan pendidikan pesantren, tapi juga mengadakan langkah-langkah
konkret dalam bidang pendidikan Islam lainnya dengan mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan klasikal atau madrasah, baik madrasah diniyyah maupun
madrasah umum, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat menengah atas,
sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat. Berbagai hal itulah yang
menjadi alasan penulis memilih pesantren Al-Itqon sebagai lokasi penelitian.
3. Sejarah Singkat Pesantren Al-Itqon
Secara historis, pesantren Al-Itqon sudah berdiri sejak tahun 1926 M
di desa Gugen, di mana pada zaman Belanda desa ini mulanya merupakan
sebuah kepatihan bernama Singosari, yang didirikan oleh KH. Abdurrosyid
yang berasal dari desa Batursari Sayung Demak. Meskipun belum punya
nama, pondok pesantren ini sudah eksis dalam kegiatan pendidikan agama,
yaitu penyelenggaraan pengajian kitab-kitab kuning dan pengajian tasawuf
yang beraliran Naqsyabandiyah, namun yang paling menonjol pada waktu itu
37
adalah yang kedua. Kebanyakan santri yang mukim di pondok pesantren ini
berasal dari kota Banjarmasin.
Pada periode selanjutnya sekitar tahun 1953, pondok pesantren diasuh
oleh KH. Shodaqoh Hasan. Beliau ini merupakan menantu dari KH.
Abdurrosyid yang berasal dari Poncol Salatiga. Pada tahun 1944 M beliau
resmi dinikahkan dengan Nyai Hikmah putri dari KH. Abdurrosyid dan Nyai
Khoiriyyah, selanjutnya beliau menetap di desa Gugen.
Pondok pesantren yang belum punya nama ini, dari istikharah KH.
Shodaqoh Hasan kemudian diberi nama “Al-Irsyad”, dengan harapan pondok
pesantren ini akan menjadi petunjuk dan kendaraan umat menjadi manusia
yang mampu menjadi wong sing rumongso dadi wong, lan wong sing ngerti
sejatine wong, lan bakal bali marang keuwongane, tur ngerti sejatine
pengerane wong (orang yang sadar akan kemanusiaannya, dan orang yang
memahami hakikat kemanusiaannya, dan akan kembali kepada kemanusiaan-
nya, juga yang mengetahui Tuhan manusia dengan sebenarnya).
KH. Shodaqoh Hasan pada tahun 1978 sampai 1980 M dipercaya
umat menjadi Ro‟is Syuriyah cabang Kodya Semarang Nahdhatul Ulama
(NU), sebuah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang politik dan
masyarakat pada saat itu. Beliau wafat pada tahun 1988 M.
Dengan kepergian KH. Shodaqoh Hasan, Pondok Pesantren Al-Irsyad
mengalami alih generasi kepemimpinan dari KH. Shodaqoh Hasan kepada
putra beliau KH. Ahmad Haris Shodaqoh. Dan pada era inilah pondok
pesantren Al-Irsyad diganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Itqon, dan
juga diadakan takhas}s}us} (spesifikasi) terhadap kurikulum di pondok, yaitu
mengacu pada pelestarian nilai-nilai pendidikan dan pengajaran ulama salaf
di mana dengan kitab kuning sebagai referensi utama dalam mengkaji nilai-
nilai yang ada dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadis.5
Demikian sekilas tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-
Itqon Kota Semarang, yang sampai sekarang ini banyak mengalami
5 Muhsinin, “Studi Implementasi Pemberian Hadiah dan Hukuman Pendidikan Pesantren
(Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Itqon Gugen Tlogosari Semarang)”, Skripsi, (Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 36 – 37.
38
perubahan dan perkembangan pada setiap kurun waktu, baik yang berkaitan
dengan pembangunan fisik maupun kebijakan sistem pendidikan yang
diterapkan.
D. Variabel dan Indikator Penelitian
Sesuatu dinamai variabel dikarenakan secara kuantitatif atau kualitatif ia
dapat bervariasi.6 Menurut Suharsimi Arikunto, variabel adalah objek penelitian
atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.7 Dalam sebuah penelitian,
paling tidak harus memuat dua variabel yaitu variabel pengaruh atau bebas
(independent variable) dan variabel terpengaruh atau terikat (dependent
variable). Namun dalam penelitian korelasional, sebagaimana penelitian yang
penulis lakukan, sebenarnya tidak dikenal istilah variabel bebas dan variabel
tergantung. Hal ini karena tujuan dalam riset korelasi adalah untuk menemukan
ada tidaknya hubungan antara variabel-variabel yang diteliti, dan apabila ada,
berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu,8 bukan
mencari hubungan sebab-akibat seperti dalam penelitian kausal komparatif. Oleh
karenanya, dalam penghitungan penelitian korelasional biasanya menggunakan
simbol X untuk variabel pertama dan Y untuk variabel kedua.
Kemudian memahami dan menganalisis atau mengidentifikasikan sebuah
variabel menjadi variabel yang lebih kecil (sub-variabel) merupakan syarat
mutlak dalam penelitian. Memecah-mecah variabel menjadi sub-variabel ini juga
disebut kategorisasi, yakni memecah variabel menjadi kategori-kategori data
yang harus dikumpulkan. Kategori-kategori inilah yang diartikan sebagai
indikator variabel.9
1. Variabel X
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel X adalah tingkat hafalan
nazam Alfiyyah santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota
Semarang. Disebut variabel X karena yang akan diselediki hubungannya,
6 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. VII, hlm. 59.
7 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 118.
8 Ibid., hlm. 270.
9 Ibid., hlm. 121.
39
dalam arti variabel lainnya akan ditentukan tingkat korelasinya dengan
variabel ini.
Yang dimaksud tingkat hafalan nazam Alfiyyah dalam penelitian ini
adalah tingkat kuantitasnya, dalam arti banyak sedikitnya jumlah nazam yang
telah dihafal oleh santri diukur atau dinilai perbandingannya dengan jumlah
nazam yang telah ditentukan oleh penguji untuk dihafalkan, bukan jumlah
keseluruhan nazam Alfiyyah, yakni 1002 nazam. Kualitas dalam menghafal
nazam-nazam itu juga dipertimbangkan, mengingat tidak semua nazam itu
dapat diucapkan oleh subjek penelitian dengan ingatan yang sempurna.
Dengan demikian sub-variabel atau indikator dari variabel X dalam penelitian
ini dapat ditentukan sebagai berikut:
1) Jumlah nazam yang berhasil dihafalkan.
2) Kualitas setiap nazam yang berhasil dihafalkan.
2. Variabel Y
Sedangkan variabel Y dalam penelitian ini adalah kemampuan
memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen
Kota Semarang. Disebut variabel Y karena merupakan variabel yang diukur
hubungannya dengan variabel lain, kemunculannya akan diselidiki apakah
mempunyai korelasi dengan variabel lain.
Kemampuan memahami kitab fiqh diartikan sebagai kecakapan santri
untuk mendeskripsikan atau menjelaskan makna lafaz-lafaz yang terdapat
dalam kitab Fiqh, yang dalam hal ini kitab yang digunakan adalah kitab Fath}
al-Qari>b al-Muji>b. Adapun yang menjadi indikator variabel (Y) ini adalah
sebagai berikut:
1) Dapat menentukan bacaan setiap kata (mufrada>t) dengan benar sesuai
kaidah bahasa Arab.
2) Dapat menyebutkan arti (makna) yang dikehendaki sesuai semantis.10
3) Dapat menjelaskan isi atau maksud dari teks dalam kitab fiqh.
10
Semantis berarti berhubungan dengan ilmu tentang makna dalam bahasa. Hasan Alwi,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Ed. 3, Cet. 2, hlm. 1025.
40
E. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.11
Subjek penelitian yang
disebut populasi itu merupakan kumpulan dari individu dengan kualitas serta
ciri-ciri yang ditetapkan.12
Sedangkan sampel adalah sebagian atau wakil
populasi yang diteliti.13
Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam
penelitian adalah semua santri pesantren Al-Itqon yang menghafalkan nazam
Alfiyyah Ibnu Malik di lembaga madrasah tingkat tsanawiyah pesantren.
Adapun lembaga madrasah yang dimaksud adalah madrasah yang dikelola oleh
pesantren, yaitu Madrasah Diniyyah Al-Itqon.
Adapun santri yang memenuhi kriteria populasi dalam penelitian ini ada
44 santri, jumlah ini didapat dari keterangan pengurus madrasah diniyyah Al-
Itqon tentang nama-nama santri yang menghafalkan nazam Alfiyyah Ibnu Malik.
Oleh karena jumlah populasi yang ada kurang dari 100, maka semuanya diambil
sebagai subjek penelitian, sehingga penelitian ini merupakan penelitian
populasi.14
Dengan demikian tidak diperlukan lagi teknik sampling sebagaimana
dalam penelitian sampel.
F. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah sejumlah informasi yang dapat memberikan gambaran
tentang suatu keadaan atau masalah, baik yang berupa angka-angka (golongan)
maupun yang berbentuk kategori.15
Yang dimaksud dengan teknik pengumpulan
data ialah cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Penelitian ini
merupakan penelitian korelasional yang dimaksudkan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel.16
Pendekatan yang
digunakan adalah penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang menitik-beratkan
pada pengumpulan data yang dikuantifikasikan.
11
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 130. 12
Subana, dkk., Statistik Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), Cet. II, hlm. 24. 13
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 131. 14
Ibid., hlm. 134. 15
Subana, dkk., op. cit., hlm. 19. 16
Aji Sofanudin, op. cit., hlm. 61.
41
Data yang akan diungkap dalam sebuah penelitian dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu: fakta, pendapat, dan kemampuan.17
Oleh karenanya
dari segi jenisnya, data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data kemampuan, yakni tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh. Tingkat hafalan nazam Alfiyyah diketahui dari
kemampuan menghafal santri.
Kemudian untuk memperoleh data-data yang diperlukan, penulis
menggunakan sebuah metode utama, yaitu metode tes. Tes digunakan untuk
mengukur ada atau tidaknya serta besarnya kemampuan objek yang diteliti. Jika
yang dikenai tes adalah manusia, maka instrumen yang berupa tes dapat
digunakan untuk mengukur kemampuan dasar dan pencapaian atau prestasi.18
Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan
jawaban, atau sejumlah pernyataan yang harus diberikan tanggapan, dengan
tujuan mengukur tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu
dari orang yang dikenai tes. Tes juga merupakan salah satu cara untuk menaksir
besarnya tingkat kemampuan manusia secara tidak langsung, yaitu melalui
respons seseorang terhadap sejumlah stimulus atau pertanyaan.19
Adapun penjelasan mengenai metode-metode yang digunakan dalam
pengumpulan data-data penelitian yang diperlukan sebagai berikut:
1. Metode Tes sebagai Metode Utama
Disebut sebagai metode utama, karena metode tes dalam penelitian ini
digunakan untuk menjaring data-data utama yang menjadi objek penelitian,
yaitu data variabel X dan data variabel Y. Adapun bentuk tes yang digunakan
sebagai berikut:
a. Tes kecakapan (performance test)
Tes performa merupakan bentuk tes yang menuntut jawaban dalam
bentuk perilaku, tindakan/perbuatan, unjuk kerja atau keterampilan
17
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 223. 18
Ibid. 19
Djemari Mardapi, Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, (Jogjakarta: Mitra
Cendikia Offset, 2008), hlm. 67.
42
melakukan tugas-tugas tertentu.20
Jika kecakapan yang diukur adalah
pengucapan, maka jawaban yang dituntut dilakukan dengan lisan. Tes
dengan jawaban secara lisan dalam komunikasi langsung untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan juga disebut tes lisan (oral test). Santri bertindak
dan mendemonstrasikan sesuai dengan apa yang diperintahkan atau
ditanyakan, dalam hal ini mengucapkan nazam-nazam Alfiyyah dalam
jumlah yang telah ditentukan. Tes kecakapan dengan lisan ini digunakan
untuk mengetahui tingkat hafalan nazam Alfiyyah 21
yang menjadi variabel
X dalam penelitian ini.
Kemudian agar pengukuran dari variabel X ini dapat dilakukan
secara jelas dan objektif, maka indikator-indikator yang telah ditentukan
dipecah lagi menjadi sub-indikator sebagaimana tabel berikut:
Tabel 2
Indikator Variabel X
Variabel X Indikator Sub-indikator
1 2 3
Tingkat
hafalan nazam
Alfiyyah.
1. Jumlah nazam
yang berhasil
dihafalkan.
- Santri mampu mengucapkan
nazam Alfiyyah sejumlah 400
nazam.
2. Kualitas setiap
nazam yang
berhasil
dihafalkan.
- Santri mampu mengucapkan
nazam Alfiyyah dengan lancar,
dalam arti tanpa diingatkan.
- Santri mampu mengucapkan
nazam Alfiyyah dengan bunyi
yang benar.
- Santri mampu mengucapkan
nazam Alfiyyah dengan
pasangan sat}r (baris) yang
cocok dalam setiap nazamnya.
20
Iding Tarsidi, “Bahan Presentasi Performance Tes”, diunduh dari http://file.upi.edu/
Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/196601041993011%20-%20IDING
%20TARSIDI/MAKALAH%20PERFORMANCE%20TEST.pdf, hlm. 6. 21
Dilihat dari tujuan tes kecakapan dalam penelitian ini, yakni untuk mengetahui tingkat
hafalan nazam Alfiyyah santri, maka tes kecakapan ini termasuk “Maximum Performance Test”, yaitu
mengukur seluruh kemampuan siswa dan seberapa baik dapat melakukannya. Pertanyaan (tugas) yang
diberikan harus jelas struktur dan tujuannya, serta arah jawaban yang dikehendakinya. Di sini ada
jawaban betul dan salah, misalnya: tes kemampuan/bakat, dan tes hasil belajar. Ibid., hlm. 5.
43
Instrumen tes kecakapan dengan lisan yang disusun merupakan
penjabaran dari tabel indikator di atas.22
Penentuan jumlah nazam yang
berhasil dihafalkan oleh santri dikategorikan menjadi 4, dengan kriteria-
kriteria performa hafalan sebagai berikut:
1) Kategori Baik Sekali (A)
Kriterianya adalah jika pengucapan nazamnya: a) secara lancar,
dalam arti tidak dituntun atau diingatkan; b) benar bunyi huruf dan
harakatnya; dan c) cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
2) Kategori Baik (B)
Kriteria performa hafalan yang termasuk kategori baik jika
pengucapan nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti dituntun atau
diingatkan; b) benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok pasangan
sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
3) Kategori Cukup (C)
Kriteria performa hafalan yang termasuk kategori cukup jika
pengucapan nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti dituntun atau
diingatkan; b) tidak benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok
pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
4) Kategori Kurang (D)
Kriteria performa hafalan yang termasuk kategori kurang jika
pengucapan nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti dituntun atau
diingatkan; b) tidak benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) tidak
cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
b. Tes tertulis (written test)
Tes tertulis dilaksanakan dengan jalan mengajukan lembaran
pertanyaan/soal tes kepada santri, dan jawabannya dilakukan secara
tertulis. Tes ini digunakan untuk mengetahui kemampuan memahami kitab
fiqh (variabel Y). Dalam hal ini penulis menggunakan bentuk tes pilihan
ganda, mengingat bentuk tes ini dapat dinilai secara obyektif.
22
Proses penyusunan, waktu pelaksanaan, dan instrumen tes kecakapan dengan lisan yang
digunakan, penjelasannya dapat dilihat dalam lampiran 7 dan 9 di bagian akhir skripsi ini.
44
Penjabaran dari indikator-indikator variabel Y yang digunakan oleh
penulis untuk merakit butir-butir soal instrumen tes adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Indikator Variabel Y
Variabel Y Indikator Sub-indikator
1 2 3
Kemampuan
memahami
kitab fiqh.
1. Dapat menen-
tukan bacaan
setiap kata
(mufrada>t) dengan benar
sesuai kaidah
bahasa Arab.
- Santri mampu menentukan
i‟rab (bacaan akhir kata) dari
teks kitab fiqh sesuai kaidah
nahwu.
- Santri mampu menentukan
kedudukan (tarkib) kata atau
frase sesuai kaidah nahwu.
- Santri mampu mengaitkan
bunyi makna gandul (ta’li>qa>t) dengan tarkib sesuai kaidah
nahwu.
2. Dapat menye-
butkan arti
(makna) yang
dikehendaki
sesuai semantis.
- Santri mampu menyebutkan
arti (makna) dari teks kitab
fiqh dengan tepat.
- Santri mampu menyebutkan
tas}ri>f (perubahan bentuk kata)
dari teks kitab fiqh sesuai
kaidah shorof.
- Santri mampu menentukan
perubahan arti disebabkan
perubahan kata dengan benar.
3. Dapat menjelas-
kan isi atau
maksud dari teks
dalam kitab fiqh.
- Santri mampu menerjemahkan
kalimat dari teks kitab fiqh
dengan benar.
- Santri mampu menyimpulkan
isi/ kandungan dari teks kitab
fiqh dengan benar.
- Santri mampu menjelaskan
penerapan hukum fiqh dalam
kehidupan sehari-hari.
- Santri mampu menentukan
hukum suatu masalah sesuai
kaidah fiqh.
45
Butir-butir soal instrumen tes sebelum digunakan untuk menjaring
data variabel Y terlebih dahulu diujicobakan untuk mengetahui validitas
dan reliabilitasnya. Penjelasan proses penyusunan, pelaksanaan, serta
lembar soal instrumen tes variabel Y yang digunakan terlampir di lampiran
8 dan 10, di mana jumlah butir soalnya adalah 40 soal pilihan ganda.
2. Metode Bantu
Metode bantu digunakan untuk memperoleh data-data awal yang
diperlukan dan data-data yang sifatnya melengkapi dalam pelaporan
penelitian, di antaranya ialah:
a. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan cara mengumpulkan data melalui
peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip, termasuk juga buku-buku tentang
pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan
dengan masalah penelitian.23
Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data-data mengenai
landasan teori, informasi-informasi tentang lokasi penelitian, serta data
mengenai jumlah dan identitas santri yang menjadi subjek penelitian.
b. Wawancara
Wawancara (interview) atau kuesioner lisan adalah sebuah dialog
yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh
informasi dari terwawancara (interviewee). Oleh seorang peneliti interviu
digunakan untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data
latar belakang seseorang, perhatian, atau sikapnya terhadap sesuatu.24
Metode ini digunakan untuk mencari data tentang hal-hal spesifik
yang menjadikan beberapa subjek penelitian berbeda dengan mayoritas
lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian yang diperoleh.
Penulis juga menginterviu beberapa pengurus maupun ustadz untuk
mencari gambaran jelas mengenai penerapan metode hafalan di madrasah
diniyyah Al-Itqon, terkait dengan hasil penelitian.
23
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 181. 24
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 155.
46
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diintegrasikan. Proses ini menggunakan statistik,
di mana salah satu fungsi statistik adalah menyederhanakan data yang kompleks
menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk dipahami.25
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
analisis terhadap data tersebut melalui beberapa tahapan yaitu:
1. Analisis Statistik Deskriptif
Pada tahap ini data yang diperoleh dari hasil tes kecakapan berupa
jumlah nazam yang dihafal masing-masing santri dimasukkan dalam tabel
untuk dikuantifikasikan dalam skala skor 100. Penskoran untuk setiap nazam
menggunakan skala Likert yang menggunakan 4 pilihan, biasanya skor
tertingginya 4 dan terendah 1.26
Namun untuk tujuan memudahkan dalam
penghitungan dan penulisan angka, penentuan skor dalam tes hafalan ini
ditentukan sebagai berikut:
- Nazam dengan performa hafalan baik sekali : 1
- Nazam dengan performa hafalan baik : 0,75
- Nazam dengan performa hafalan cukup : 0,5
- Nazam dengan performa hafalan kurang : 0,25
Dengan demikian, jika jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah
sebanyak 400 nazam, maka skor maksimumnya adalah 400. Sehingga
penghitungan nilai akhir skor tingkat hafalan nazam Alfiyyah dengan skala
skor 100 adalah sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑘𝑜𝑟
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 × 100 = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐻𝑎𝑓𝑎𝑙𝑎𝑛
Adapun sistem penskoran untuk 40 soal tes pilihan ganda
menggunakan skala 100, sehingga setiap item soal yang dijawab dengan
benar diberi skor 2,5. Nilai akhir skor kemampuan memahami kitab fiqh
adalah jumlah skor seluruh butir soal yang dijawab dengan benar.
25
Subana, dkk., op. cit., hlm. 13. 26
Djemari Mardapi, op. cit., hlm. 121.
47
Kemudian masing-masing dari data variabel X dan data variabel Y
dianalisis menggunakan teknik analisis statistik deskriptif, dengan melakukan
perhitungan terhadap harga rata-rata hitung (mean), standar deviasi, juga
mengetahui nilai tertinggi maupun terendah dari setiap variabel penelitian.
Hasil perhitungan tersebut kemudian dideskripsikan dalam tabel distribusi
frekuensi dan divisualisasikan dalam histogram.
2. Analisis Uji Hipotesis
Data-data yang sudah terkumpul dalam bentuk kuantitatif itu
kemudian dianalisis uji hipotesis dengan menggunakan rumus statistik
korelasi product moment untuk mencari harga koefisien korelasi. Teknik
korelasi ini diterapkan mengingat data-data dari dua variabel yang
dikorelasikan berjenis data kontinu dan berupa data interval.27
Rumus
korelasi product moment yang dimaksud adalah sebagai berikut: 28
𝑟𝑥𝑦 =𝑁 𝑋𝑌− 𝑋 𝑌
𝑁 𝑋2 − 𝑋 2 𝑁 𝑌2 − 𝑌 2
Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 : Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
𝑋 : Variabel bebas (tingkat hafalan nazam Alfiyyah)
𝑌 : Variabel terikat (kemampuan memahami kitab fiqh)
𝑋𝑌 : Perkalian antara variabel X dan variabel Y
𝑁 : Jumlah populasi
Σ : Sigma atau jumlah skor
3. Uji Signifikansi
Dari analisis uji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi
product moment dapat diketahui koefisien korelasi antara variabel X dan
variabel Y (nilai r hitung atau nilai rxy ). Setelah diketahui hasilnya, maka
koefisien korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
27
Subana, dkk., op. cit., hlm. 141. 28
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 275.
48
memahami kitab fiqh tersebut diinterpretasikan dengan nilai rtabel (tabel harga
kritik dari r Pearson)
29 pada taraf signifikansi (α) 5% dan 1% sebagai berikut:
1) Jika r hitung > r tabel (nilai r antara variabel X dan variabel Y lebih besar
daripada nilai r dalam tabel Pearson), maka H0 ditolak dan H1 (hipotesis
yang diajukan) diterima, artinya terdapat korelasi signifikan antara tingkat
hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh.
2) Jika r hitung < r tabel (nilai r antara variabel X dan variabel Y lebih kecil
daripada nilai r dalam tabel Pearson), maka H0 diterima dan H1 (hipotesis
yang diajukan) ditolak, artinya tidak terdapat korelasi signifikan antara
tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh.
29
Tabel harga kritik (table of critical values) dari koefisien korelasi product moment
(Pearson) dengan taraf signifikansi 5% dan 1% lihat: Subana, dkk., op. cit., hlm. 220; Suharsimi
Arikunto, op. cit., hlm. 359.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dikemukakan hasil penelitian mengenai korelasi antara tingkat
hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat
tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang. Data-data hasil penelitian
akan dideskripsikan dengan menggunakan analisis statistik atau kuantitatif, yaitu
teknik analisis yang didasarkan pada deskripsi dan pembahasan data hasil penelitian
yang mencakup: a) Deskripsi data hasil penelitian; b) Pengujian hipotesis; c)
Pembahasan hasil penelitian; dan d) Keterbatasan penelitian.
A. Deskripsi Data Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Itqon, dengan subjek
penelitiannya adalah seluruh santri Al-Itqon Gugen Kota Semarang yang hafal
nazam Alfiyyah. Di pesantren ini hafalan nazam Alfiyyah menjadi salah satu
kurikulum yang menyatu dengan pembelajaran ilmu Nahwu, bahkan termasuk
salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam kenaikan tingkatan.1 Mata pelajaran
Alfiyyah Ibnu Malik diajarkan mulai dari kelas 1 tingkat tsanawiyyah sampai di
kelas terakhir tingkat ini. Dengan demikian, santri yang menjadi subjek dalam
penelitian ini di samping hafal nazam Alfiyyah, juga tercatat sebagai siswa
madrasah diniyyah Al-Itqon, yang pada tahun pelajaran (dira>sah) 1431-1432
Hijriyah ini jumlahnya ada 44 santri. Oleh karena jumlah populasi kurang dari
100, maka semuanya diambil sebagai subjek penelitian, sehingga penelitian ini
merupakan penelitian populasi.2
Berdasarkan data daftar santri tingkat tsanawiyyah dari pengurus
Madrasah Diniyyah Al-Itqon, identitas empat puluh empat santri yang menjadi
subjek dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1. Nomor urut dalam tabel
ini digunakan sebagai ganti dari nama subjek dalam penyajian data selanjutnya.
1 Hal ini sebagaimana tercantum dalam surat pemberitahuan kepada wali murid yang di
antaranya berisi tentang “Aturan-aturan Umum Madin Al-Itqon Tahun Dirasah 1431-1432 H”. 2 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), Cet. XIII, hlm. 134.
49
50
Tabel 4
Daftar Santri Tingkat Tsanawiyah Madrasah Diniyyah Al-Itqon
Tahun Dirasah 1431-1423 H
No Nama Tempat Tanggal
Lahir Alamat
Nama Orangtua
Ayah Ibu
1 ABDUL KHAMID Demak, 03
Maret 1992 Jati , 02/02, Jetaksari,
Sayung, Demak, 59563 Khumaidi Mas'udah
2 ABDUSSOMAD Demak, 03 Juli
1990
Jatidempel, 03/01,
Jetaksari, Sayung,
Demak, 59563 Matsiam Suminah
3 AFIF NUR
ROSYID
Kendal, 18 Mei
1991
Nglorok, 05/03,
Campurejo, Boja,
Kendal, 51381 Saroni Ngatiem
4 KISWANTO Batang, 17 Mei
1996
Kasinga, 03/01,
Botolambat, Kandeman,
Batang Sutardi (alm) Kaspiyah
5 ARSYADANAL
HAQ
Kendal, 02
September 1990 Padatan, 03/02, Lanji,
Patebon, Kendal, 51351 Nur Kholidin Nur Faizun
6 ERI NUR ERVIAN Semarang, 12
Agustus 1993
Kalikangkung, 05/04,
Samugarut, Ngaliyan,
Semarang, 50151 Rohimin Sutini
7 FATHUL MU‟IN Cirebon, 18
April 1994
Setu kulon, 07/03, Setu
kulon, Pleret, Cirebon,
45154
Burhanuddin
(alm) Kapsah
8 IMAMUDDIN Demak, 15 April
1993 Dempel, 02/02, Kalisari,
Sayung, Demak, 59563 Munawar Isturiyah
9 KHOIRUL
UMAM
Kendal, 20
Oktober 1993
Kauman, 03/09, Krajan
kulon, Kaliwungu,
Kendal, 51372
A. Munib
Abu Khoir
(alm)
Sa'idah
Khumai-
dullah
10 LUTFIL HUDA Demak, 06 Juni
1994
Sriwulan, 02/01,
Sriwulan, Sayung,
Demak, 59563 Subakir Qomariyah
11 M. FAISOL AMIN Kaliwungu, 14
Agustus 1992
Jl. Boja 39, 02/03,
Kranggan IV, Kaliwu-
ngu, Kendal, 51372
Muslim
Fauzan Siti Arafah
12 M. FARID
CHANIFUDDIN
Semarang, 02
Juli 1992
Kebonmanis, 01/03,
Mangunsari, Gunung-
pati, Semarang, 50229
Muchlis
Supardi
Siti
Sofiatun
13 M. IQBAL
ROSYID
Demak, 12
Februari 1993
Sriwulan, 05/01,
Sriwulan, Sayung,
Demak, 59563 Abdul Aziz Zulaikah
14 M. NASRUDDIN Demak, 03 April
1994
Waru, 07/03, Waru,
Mranggen, Demak,
59567 Asrori
Siti
Kumayah
15 M. NUR HUDA Semarang, 18
Maret 1993 Kudu, 02/03, Penggaron
Lor, Genuk, Semarang Santoso Sarmini
16 M. TAUFIQ Semarang, 30
Maret 1992
Bangkongsari, 06/03,
Tugurejo, Tugu,
Semarang, 56251 Junadi Amin
51
No Nama Tempat Tanggal
Lahir Alamat
Nama Orangtua
Ayah Ibu
17 MUSTHOFA Kendal, 04
Oktober 1990
Sembung, 01/02,
Blorok, Brangsong ,
Kendal, 51371 Supiyono Umiatun
18 NURUL ULUM Demak, 22
Januari 1990 Patar , 02/06, Sidorejo,
Sayung , Demak, 59563 Muslimin Juminah
19 RIYAN ARI
HIDAYAT
Purwokerto, 22
Januari 1994
Jogoprono, Sadeng,
Gunungpati, Semarang,
50229 Badawi A.
Munawaro
h
20 SAMSUL ARIFIN Demak, 11
Nopember 1991
Perbalan, 02/06,
Ngepreh, Sayung ,
Demak, 59563
Abdul
Muchid
Siti
Aminah
(alm)
21 M. ABDUL LATIF Demak, 15
Agustus 1992
Wringinjajar, 02/01,
Delik, Mranggen,
Demak, 59567 M. Sokeh Musyarofah
22 ARDI NUGROHO Semarang, 15
Juni 1992
Argo Timur No. 13,
Argo Timur, Mranggen,
Demak, 59567 Junaidi Khorotun
23 ARIF WIDODO Semarang, 01
Oktober 1992
Sidodrajat, 03/03,
Tlogosari, Pedurungan,
Semarang, 50197 Nursalim Ngatinah
24 M. IN'AMUL
WAFI
Kendal, 26
September 1994
Kauman lor, 01/04,
Sekopek, Kaliwungu,
Kendal, 51372 Qamari Sri Kunyati
25 SOFHAL JAMIL Semarang, 18
Juli 1990
Tambak, 02/02,
Bandarharjo, Bandar-
harjo, Semarang Yaskun (alm) Musriatun
26 A. SHOLEKHAN Demak, 04 Juni
1992 Kalisari, 05/04, Kalisari,
Sayung, Demak, 59563 Khasan Asmah
27 ALAMUL HUDA Semarang, 01
Oktober 1991
Gedong, 04/03,
Mangunharjo,
Tembalang, Semarang Maksun Jumiatun
28 KHOIRUL ULUM Demak, 12 Juli
1991
Paulan, 04/05, Krajan
Bongo, Bonang, Demak,
59552 Muslih Masriah
29 M. ARI
SETIAWAN
Demak, 18
Maret 1993 Kalisari, 05/04, Kalisari,
Sayung, Demak, 59563 Khazen Endang
30 MOCHAMMAD
NUR KHOLIS
Kab. Semarang,
24 Juli 1988
Poncoruso, 05/02,
Poncoruso, Bawen,
Semarang, 50661 Dimyati Rif'atun
31 M. SHODIQ Demak, 05
Januari 1989
Jatidempel, 03/01,
Jetaksari, Sayung,
Demak, 59563 Khamrun Sumiyatun
32
MUHAMMAD
SARIFUDIN
GHOZALI
Demak, 01
Agustus 1992
Wringinjajar, 01/01,
Delik, Mranggen,
Demak, 59567 M. Romli Alfiyah
33 MUHAMMAD
TARIF AZIZ -
Waru, 07/02, Waru,
Mranggen, Demak Juned -
34 SUHARTONO Demak, 08
Januari 1990 Dombo, 04/03, Dombo,
Sayung , Demak, 59563
M.
Mudhakirin Zubaidah
52
No Nama Tempat Tanggal
Lahir Alamat
Nama Orangtua
Ayah Ibu
35 TAJUDIN BAHAR Semarang, 09
April 1993
Banjardowo, 02/02,
Banjardowo, Genuk,
Semarang, 50117 Masud Fatmawati
36 A. JUNAIDI Demak, 05 Juli
1991
Menco, 05/08, Barahan
wetan, Wedung, Demak,
59554 Turmudzi Nafisah
37 A. MU'TASIM Demak, 19 Juni
1988
Tembilunan, 03/11,
Sumberjo, Bonang,
Demak, 59552 Ridwan Maesaroh
38 A. SIDIQ Semarang, 26
Nopember 1989
Polaman, 03/07,
Polaman, Mijen,
Semarang, 50217
M. Khozin
A. R. Siti Istiyah
39 AGUS ULIL
ABSHOR
Kab. Semarang,
17 Agustus 1990
Mejing, 01/07, Duren,
Bandungan, Semarang,
50651 M. Khadziq
Siti
Muhajaroh
40 MIFATHUZ-
ZAMAN
Grobogan, 31
Januari 1990
Putat, 03/06, Putat-
nganten, Karangrayung,
Grobogan
Abdul
Ghofur
Siti
Musyawa-
rah
41 NUR FAIZIN Demak, 29 Juni
1987
Manggian, 01/03,
Kalisari, Sayung ,
Demak, 59563 Muchibin Fatonah
42 NURUL IRFAN Demak, 08
Oktober 1989
Kauman, 01/03,
Gebang, Bonang,
Demak, 59552 Su'udi Mu'awanah
43 M. TAMAMI Rumbia, 27
Desember 1979
Umbul Batu, 05/01, Bu-
miharjo, Rumbia, Lam-
pung Tengah, 34157 Mubin Unasifah
44 WAFAUL FALAH Demak, 21 April
1992
Kauman, 01/03,
Gebang, Bonang,
Demak, 59552 Su'udi Mu'awanah
Sumber: Surat Keterangan dari Madrasah Diniyyah Al-Itqon
1. Data Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
Data tingkat hafalan nazam Alfiyyah (variabel X) dalam penelitian ini
diperoleh dengan menggunakan metode tes, berupa tes kecakapan dengan
lisan. Dalam melakukan kegiatan pengumpulan data, penulis mewakilkan
kepada usta>z\ pengampu pelajaran Alfiyyah ibnu Malik di madrasah diniyyah
Al-Itqon untuk melaksanakan tes terhadap subjek penelitian.3
Data awal hasil tes berupa jumlah nazam yang dihafal oleh santri yang
mencakup jumlah nazam dengan kategori performa hafalan baik sekali,
kategori baik, kategori cukup, dan kategori kurang kemudian diolah dan
3 Dalam penelitian kuantitatif memungkinkan peneliti untuk mewakilkan kepada orang lain
dalam kegiatan pengumpulan datanya. Ibid., hlm. 13.
53
dikuantifikasikan oleh penulis sehingga menjadi data berupa nilai dengan
skala skor 100. Penskoran untuk masing-masing nazam sesuai dengan
kategorinya ini bertujuan untuk mengukur tingkat hafalan nazam Alfiyyah
santri, baik dari segi kuantitas maupun kualitas performa hafalannya. Karena
tidak semua santri dapat menghafal seluruh nazam Alfiyyah yang berjumlah
1002 nazam, maka jumlah nazam yang menjadi materi tes ditentukan
sebanyak 400 nazam. Sehingga dalam perhitungan nilai akhir (Skor Hafalan)
dengan skala skor 100 adalah sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑘𝑜𝑟
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 × 100 = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐻𝑎𝑓𝑎𝑙𝑎𝑛
Kuantifikasi data tingkat hafalan nazam Alfiyyah dapat dilihat dalam
tabel berikut ini:
Tabel 5
Data Kuantitatif Variabel X
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
Pesantren : AL-ITQON
Alamat : Jl. KH. Abdurrosyid Gugen Tlogosari Wetan
Pedurungan Kota Semarang
Jumlah Subjek Penelitian : 44 Santri
Jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah 400 (empat ratus) nazam.
No Nomor
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performa
Jumlah
Skor
(A+B+C+D)
Nilai
Hafalan
(Skala 100)
Skor X
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
Baik Sekali
(Skor 1)
Jml Skor
D Jml
Skor C
Jml Skor
B Jml
Skor A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 01 241 2 0,50 4 2,00 6 4,50 229 229 236,00 59,0
2 02 254 3 0,75 4 2,00 7 5,25 240 240 248,00 62,0
3 03 241 2 0,50 5 2,50 6 4,50 228 228 235,50 58,9
4 04 266 3 1,50 6 4,50 257 257 263,00 65,8
5 05 173 1 0,25 2 1,00 9 6,75 161 161 169,00 42,3
6 06 297 5 3,75 292 292 295,75 73,9
7 07 277 4 2,00 6 4,50 267 267 273,50 68,4
54
No Nomor
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performa
Jumlah
Skor
(A+B+C+D)
Nilai
Hafalan
(Skala 100)
Skor X
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
Baik Sekali
(Skor 1)
Jml Skor
D Jml
Skor C
Jml Skor
B Jml
Skor A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
8 08 277 5 3,75 272 272 275,75 68,9
9 09 315 315 315 315,00 78,8
10 10 266 3 0,75 8 4,00 11 8,25 244 244 257,00 64,3
11 11 285 3 2,25 282 282 284,25 71,1
12 12 297 4 2,00 5 3,75 288 288 293,75 73,4
13 13 266 2 0,50 5 2,50 8 6,00 251 251 260,00 65,0
14 14 277 3 1,50 6 4,50 268 268 274,00 68,5
15 15 315 315 315 315,00 78,8
16 16 321 321 321 321,00 80,3
17 17 266 4 2,00 7 5,25 255 255 262,25 65,6
18 18 315 4 2,00 6 4,50 305 305 311,50 77,9
19 19 315 5 2,50 7 5,25 303 303 310,75 77,7
20 20 297 4 2,00 6 4,50 287 287 293,50 73,4
21 21 302 302 302 302,00 75,5
22 22 302 2 0,50 6 3,00 15 11,25 279 279 293,75 73,4
23 23 254 3 2,25 251 251 253,25 63,3
24 24 355 355 355 355,00 88,8
25 25 400 3 1,50 3 2,25 394 394 397,75 99,4
26 26 355 2 0,50 7 3,50 13 9,75 333 333 346,75 86,7
27 27 302 9 4,50 9 6,75 284 284 295,25 73,8
28 28 302 2 0,50 7 3,50 15 11,25 278 278 293,25 73,3
29 29 355 6 3,00 7 5,25 342 342 350,25 87,6
30 30 302 3 0,75 6 3,00 15 11,25 278 278 293,00 73,3
31 31 302 8 4,00 12 9,00 282 282 295,00 73,8
32 32 302 3 0,75 7 3,50 14 10,50 278 278 292,75 73,2
33 33 355 3 1,50 4 3,00 348 348 352,50 88,1
34 34 355 4 2,00 8 6,00 343 343 351,00 87,8
35 35 302 3 0,75 7 3,50 9 6,75 283 283 294,00 73,5
36 36 355 5 2,50 8 6,00 342 342 350,50 87,6
37 37 302 5 2,50 6 4,50 291 291 298,00 74,5
38 38 224 2 0,50 8 4,00 13 9,75 201 201 215,25 53,8
39 39 400 3 1,50 6 4,50 391 391 397,00 99,3
40 40 400 3 1,50 4 3,00 393 393 397,50 99,4
55
No Nomor
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performa
Jumlah
Skor
(A+B+C+D)
Nilai
Hafalan
(Skala 100)
Skor X
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
Baik Sekali
(Skor 1)
Jml Skor
D Jml
Skor C
Jml Skor
B Jml
Skor A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
41 41 196 4 2,00 12 9,00 180 180 191,00 47,8
42 42 400 3 1,50 2 1,50 395 395 398,00 99,5
43 43 196 2 0,50 6 3,00 9 6,75 179 179 189,25 47,3
44 44 277 5 2,50 7 5,25 265 265 272,75 68,2
Jumlah ( 𝑋 ) 3242,9
Sumber: Hasil tes kecakapan dengan lisan untuk hafalan nazam Alfiyyah
Dari perolehan skor variabel X di atas dapat diketahui:
a. Skor tertinggi = 99,5
b. Skor terendah = 42,3
c. Nilai rata-rata (Mean)
Nilai rata-rata (mean) merupakan salah satu dari beberapa macam
ukuran pemusatan data. Ukuran pemusatan data adalah nilai tunggal dari
data yang dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan singkat
tentang pusat data, yang juga mewakili seluruh data.4
Rata-rata hitung atau nilai rata-rata dari data tunggal dapat
diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh nilai dan membaginya
dengan banyaknya data. Dari data variabel X di atas diketahui bahwa
jumlah seluruh nilainya adalah 3242,9 maka nilai rata-ratanya adalah:
𝑋 = 𝑋
𝑛
Keterangan:
𝑋 : Rata-rata skor X (baca: X bar)
𝑋 : Jumlah seluruh data X (3242,9)
𝑛 : Banyaknya data (44)
Perhitungannya adalah:
𝑋 =3242,9
44
4 Subana, dkk., Statistik Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), Cet. II, hlm. 63.
56
𝑋 = 73,702
Jadi nilai rata-rata (mean) dari variabel X atau tingkat hafalan
nazam Alfiyyah adalah 73,7.
d. Standar deviasi
Untuk menginterpretasikan data secara keseluruhan, selain nilai
rata-rata, juga harus disertakan ukuran lainnya yang disebut ukuran
variabilitas (ukuran penyebaran). Ukuran variabilitas adalah suatu ukuran
yang menyatakan seberapa besar nilai-nilai data berbeda atau bervariasi
dengan nilai ukuran pusatnya, atau seberapa besar penyimpangan nilai-
nilai data dengan nilai pusatnya.
Untuk mengukur variabilitas data di antaranya menggunakan
standar deviasi (simpangan standar). Standar deviasi merupakan ukuran
penyebaran data yang dianggap paling baik, karena memiliki kebaikan
secara matematis untuk pengukuran penyebaran.5
Untuk mencari standar deviasi digunakan rumus:
𝑆𝑋 = 𝑆𝑋2
Keterangan:
𝑆𝑋 : Standar deviasi data X
𝑆𝑋2 : Variasi data X
Rumus Variasi untuk data X adalah sebagai berikut:
𝑆𝑋2 =
𝑋𝑖 − 𝑋 2
𝑛
Kemudian untuk menghitung standar deviasi diperlukan tabel:
Tabel 6
Tabel Kerja Standar Deviasi Data X
𝒏 𝑿𝒊 𝑿𝒊 − 𝑿 𝑿𝒊 −𝑿 𝟐
01 59,0 -14,7 216 ,156823
02 62,0 -11,7 136 ,943187
03 58,9 -14,8 219 ,107278
5 Ibid., hlm. 87.
57
𝒏 𝑿𝒊 𝑿𝒊 − 𝑿 𝑿𝒊 −𝑿 𝟐
04 65,8 -7,9 62 ,445914
05 42,3 -31,4 986 ,102732
06 73,9 0,2 0 ,039096
07 68,4 -5,3 28 ,114096
08 68,9 -4,8 23 ,061823
09 78,8 5,1 25 ,986823
10 64,3 -9,4 88 ,402732
11 71,1 -2,6 6 ,771823
12 73,4 -0,3 0 ,091369
13 65,0 -8,7 75 ,729551
14 68,5 -5,2 27 ,063642
15 78,8 5,1 25 ,986823
16 80,3 6,6 43 ,530005
17 65,6 -8,1 65 ,646823
18 77,9 4,2 17 ,620914
19 77,7 4,0 15 ,981823
20 73,4 -0,3 0 ,091369
21 75,5 1,8 3 ,231823
22 73,4 -0,3 0 ,091369
23 63,3 -10,4 108 ,207278
24 88,8 15,1 227 ,941369
25 99,4 25,7 660 ,373187
26 86,7 13,0 168 ,940914
27 73,8 0,1 0 ,009551
28 73,3 -0,4 0 ,161823
29 87,6 13,9 193 ,146823
30 73,3 -0,4 0 ,161823
31 73,8 0,1 0 ,009551
32 73,2 -0,5 0 ,252278
33 88,1 14,4 207 ,294551
34 87,8 14,1 198 ,745914
35 73,5 -0,2 0 ,040914
36 87,6 13,9 193 ,146823
37 74,5 0,8 0 ,636369
38 53,8 -19,9 396 ,100460
39 99,3 25,6 655 ,243642
58
𝒏 𝑿𝒊 𝑿𝒊 − 𝑿 𝑿𝒊 −𝑿 𝟐
40 99,4 25,7 660 ,373187
41 47,8 -25,9 670 ,927732
42 99,5 25,8 665 ,522732
43 47,3 -26,4 697 ,080005
44 68,2 -5,5 30 ,275005
𝑿 73,702
𝑿𝒊 −𝑿 𝟐 7802 ,789769
Perhitungan standar deviasi dari variabel X sebagai berikut:
𝑆𝑋2 =
𝑋𝑖 −𝑋 2
𝑛
𝑆𝑋2 =
7802,789769
44
𝑆𝑋2 = 177,3361311
𝑆𝑋 = 𝑆𝑋2
𝑆𝑋 = 177,3361311
𝑆𝑋 = 13,31676128
Jadi standar deviasi atau simpangan standar yang menunjukkan
variabilitas dari data tingkat hafalan nazam Alfiyyah adalah 13,32.
e. Tabel distribusi frekuensi
Agar data dari variabel X atau variabel tingkat hafalan nazam
Alfiyyah itu dapat tersusun secara sistematis sehingga mudah untuk
dibaca, maka data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Membuat distribusi frekuensi berarti mendistribusikan semua data
dalam beberapa kelas atau interval, selanjutnya menentukan banyaknya
individu yang masuk ke dalam kelas tertentu yang disebut frekuensi kelas.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat tabel
distribusi frekuensi adalah sebagai berikut:
1) Jangkauan (range)
59
Daerah jangkauan data (range) adalah selisih data terbesar dengan
data terkecil, yang dinotasikan dengan: 𝑅 = 𝑋𝑚𝑎𝑥 − 𝑋𝑚𝑖𝑛
Jika diketahui bahwa skor tertinggi dari data variabel X adalah 99,5
dan skor terendahnya 42,3 maka daerah jangkauannya adalah:
𝑅 = 99,5 − 42,3 𝑅 = 57,2
2) Banyaknya kelas
Dalam menentukan banyaknya kelas, ada suatu aturan yang diberikan
oleh H. A. Struges, yang selanjutnya disebut Aturan Struges yaitu:
𝐾 = 1 + 3,3 log 𝑛
Jika diketahui bahwa n (banyaknya data) adalah 44, maka banyaknya
kelas (K) yang ditentukan adalah:
𝐾 = 1 + 3,3 log 44
𝐾 = 1 + 3,3 (1,6435) 𝐾 = 1 + 5,42 𝐾 = 6,42
𝐾 = 6,42 (dibulatkan menjadi 6), Jadi banyaknya kelas adalah 6.
3) Interval kelas
Interval kelas atau panjang kelas (P) adalah selisih data terbesar
dengan data terkecil (R) dibagi dengan banyaknya kelas (K). Interval
kelas ditentukan dengan rumus:
𝑃 =𝑅
𝐾
Jika diketahui R = 57,2 dan K = 6, maka interval kelasnya adalah:
𝑃 =57,2
6 𝑃 = 9,53
Agar mencakup semua data, maka interval kelasnya diambil 9,6.
Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa dalam tabel distribusi
frekuensi dari variabel X terdapat 6 kelas dengan panjang kelas 9,6
sehingga yang menjadi kelas interval terendah adalah 41,9 – 51,5 dan
kelas interval tertinggi adalah 90,4 – 100,0. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel kategori nilai interval dan tabel distribusi frekuensi
relatif berikut ini:
60
Tabel 7
Tabel Kategori Nilai Interval
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
No Nilai Interval Kategori
1 90,4 – 100 Istimewa
2 80,7 – 90,3 Baik Sekali
3 71,0 – 80,6 Baik
4 61,3 – 70,9 Lebih dari Cukup
5 51,6 – 61,2 Cukup
6 41,9 – 51,5 Hampir Cukup
Tabel 8
Tabel Distribusi Frekuensi Relatif
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
No Nilai Interval Frekuensi
( f )
Frekuensi Relatif
(%)
1 90,4 – 100 4 9,1%
2 80,7 – 90,3 6 13,6%
3 71,0 – 80,6 18 41,0%
4 61,3 – 70,9 10 22,7%
5 51,6 – 61,2 3 6,8%
6 41,9 – 51,5 3 6,8%
Jumlah 44 100%
Sumber: Data Kuantitatif Variabel X Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
f. Histogram
Berdasarkan data distribusi frekuensi tingkat hafalan nazam
Alfiyyah santri tingkat tsanawiyyah di Pesantren Al-Itqon Kota Semarang
di atas, maka visualisasi data dalam bentuk histogram seperti berikut:
61
Gambar 1
Sumber: Tabel Distribusi Frekuensi Relatif Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
2. Data Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Data kemampuan memahami kitab fiqh yang merupakan variabel Y
juga diperoleh dengan menggunakan metode tes, berupa tes tertulis (written
test). Bentuk tes yang penulis gunakan adalah pilihan ganda dengan jumlah
butir soal sebanyak 40. Sistem penskorannya menggunakan skala 100,
sehingga setiap item soal yang dijawab dengan benar diberi skor 2,5. Nilai
akhir skor kemampuan memahami kitab fiqh adalah jumlah skor seluruh butir
soal yang dijawab dengan benar.
Adapun hasil tes dari 44 santri dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 9
Data Kuantitatif Variabel Y
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Nomor
Subjek
Jumlah
Benar
Nilai
(Skor Y)
Nomor
Subjek
Jumlah
Benar
Nilai
(Skor Y)
01 24 60,0 24 30 75,0
02 23 57,5 25 32 80,0
03 21 52,5 26 25 62,5
04 26 65,0 27 25 62,5
05 19 47,5 28 25 62,5
06 29 72,5 29 27 67,5
3 3
10
18
6
4
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
41,9 - 51,5 51,6 - 61,2 61,3 - 70,9 71,0 - 80,6 80,7 - 90,3 90,4 - 100
Fre
ku
ensi
Nilai Interval
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
62
Nomor
Subjek
Jumlah
Benar
Nilai
(Skor Y)
Nomor
Subjek
Jumlah
Benar
Nilai
(Skor Y)
07 22 55,0 30 26 65,0
08 24 60,0 31 26 65,0
09 34 85,0 32 25 62,5
10 18 45,0 33 26 65,0
11 30 75,0 34 26 65,0
12 27 67,5 35 23 57,5
13 29 72,5 36 32 80,0
14 28 70,0 37 28 70,0
15 35 87,5 38 11 27,5
16 37 92,5 39 30 75,0
17 25 62,5 40 32 80,0
18 27 67,5 41 20 50,0
19 26 65,0 42 36 90,0
20 26 65,0 43 20 50,0
21 30 75,0 44 25 62,5
22 23 57,5 Jumlah ( 𝑋 ) 2902,5
23 28 70,0
Sumber: Hasil tes tertulis kemampuan memahami kitab fiqh.
Dari perolehan skor variabel Y di atas dapat diketahui:
a. Skor tertinggi = 92,5
b. Skor terendah = 27,5
c. Nilai rata-rata (Mean)
Dari data variabel Y di atas diketahui bahwa jumlah seluruh
nilainya adalah 2902,5 maka nilai rata-ratanya adalah:
𝑌 = 𝑌
𝑛
Keterangan:
𝑌 : Rata-rata skor Y (baca: Y bar)
𝑌 : Jumlah seluruh data Y (2902,5)
𝑛 : Banyaknya data (44)
Perhitungannya adalah:
𝑌 =2902,5
44
𝑌 = 65,966
63
Jadi nilai rata-rata (mean) sebagai ukuran pemusatan dari hasil tes
kemampuan memahami kitab fiqh (variabel Y) adalah 66,0.
d. Standar deviasi
Rumus untuk mencari standar deviasi yang merupakan ukuran
variabilitas (penyebaran) data dari variabel Y adalah:
𝑆𝑌 = 𝑆𝑌2
Keterangan:
𝑆𝑌 : Standar deviasi data Y
𝑆𝑌2 : Variasi data Y
Rumus Variasi untuk data Y adalah sebagai berikut:
𝑆𝑌2 =
𝑌𝑖 − 𝑌 2
𝑛
Kemudian untuk menghitung standar deviasi diperlukan tabel:
Tabel 10
Tabel Kerja Standar Deviasi Data Y
𝒏 𝒀𝒊 𝒀𝒊 − 𝒀 𝒀𝒊 −𝒀 𝟐
01 60,0 -5,97 35,592071
02 57,5 -8,47 71,671617
03 52,5 -13,47 181,330708
04 65,0 -0,97 0,932980
05 47,5 -18,47 340,989799
06 72,5 6,53 42,694344
07 55,0 -10,97 120,251162
08 60,0 -5,97 35,592071
09 85,0 19,03 362,296617
10 45,0 -20,97 439,569344
11 75,0 9,03 81,614799
12 67,5 1,53 2,353435
13 72,5 6,53 42,694344
14 70,0 4,03 16,273889
15 87,5 21,53 463,717071
16 92,5 26,53 704,057980
17 62,5 -3,47 12,012526
64
𝒏 𝒀𝒊 𝒀𝒊 − 𝒀 𝒀𝒊 −𝒀 𝟐
18 67,5 1,53 2,353435
19 65,0 -0,97 0,932980
20 65,0 -0,97 0,932980
21 75,0 9,03 81,614799
22 57,5 -8,47 71,671617
23 70,0 4,03 16,273889
24 75,0 9,03 81,614799
25 80,0 14,03 196,955708
26 62,5 -3,47 12,012526
27 62,5 -3,47 12,012526
28 62,5 -3,47 12,012526
29 67,5 1,53 2,353435
30 65,0 -0,97 0,932980
31 65,0 -0,97 0,932980
32 62,5 -3,47 12,012526
33 65,0 -0,97 0,932980
34 65,0 -0,97 0,932980
35 57,5 -8,47 71,671617
36 80,0 14,03 196,955708
37 70,0 4,03 16,273889
38 27,5 -38,47 1479,626162
39 75,0 9,03 81,614799
40 80,0 14,03 196,955708
41 50,0 -15,97 254,910253
42 90,0 24,03 577,637526
43 50,0 -15,97 254,910253
44 62,5 -3,47 12,012526
𝒀 65,966
𝒀𝒊 −𝒀 𝟐 6602,698864
Perhitungan standar deviasi dari variabel Y sebagai berikut:
𝑆𝑌2 =
𝑌𝑖 − 𝑌 2
𝑛
𝑆𝑌2 =
6602,698864
44
65
𝑆𝑌2 = 150,0613378
𝑆𝑌 = 𝑆𝑌2
𝑆𝑌 = 150,0613378
𝑆𝑌 = 12,24995256
Jadi standar deviasi atau simpangan standar yang menunjukkan
variabilitas dari data kemampuan memahami kitab fiqh adalah 12,25.
e. Tabel distribusi frekuensi
Untuk membuat tabel distribusi frekuensi dari data variabel Y
perlu menentukan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1) Jangkauan (range)
Notasi untuk melihat daerah jangkauan (range) adalah:
𝑅 = 𝑌𝑚𝑎𝑥 − 𝑌𝑚𝑖𝑛
Diketahui bahwa skor tertinggi dari data variabel Y adalah 92,5 dan
skor terendahnya 27,5 maka daerah jangkauannya adalah:
𝑅 = 92,5 − 27,5 𝑅 = 65
2) Banyaknya kelas
Diketahui bahwa n (banyaknya data) adalah 44, maka banyaknya
kelas (K) yang ditentukan adalah:
𝐾 = 1 + 3,3 log 44
𝐾 = 1 + 3,3 (1,6435) 𝐾 = 1 + 5,42 𝐾 = 6,42
𝐾 = 6,42 (dibulatkan menjadi 6), Jadi banyaknya kelas adalah 6.
3) Interval kelas
Interval kelas ditentukan dengan rumus:
𝑃 =𝑅
𝐾
Jika diketahui R (Jangkauan) = 65 dan K (Banyak Kelas) = 6, maka P
(Interval Kelas) adalah:
𝑃 =65
6 𝑃 = 10,83
Agar mencakup semua data, maka interval kelasnya diambil 10,9.
66
Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa dalam tabel distribusi
frekuensi dari variabel Y terdapat 6 kelas dengan panjang kelas 10,9
sehingga yang menjadi kelas interval terendah adalah 27,1 – 38,0 dan
kelas interval tertinggi adalah 82,1 – 93,0. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel kategori nilai interval dan tabel distribusi frekuensi
relatif berikut ini:
Tabel 11
Tabel Kategori Nilai Interval
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
No Nilai Interval Kategori
1 82,1 – 93,0 Baik Sekali
2 71,1 – 82,0 Baik
3 60,1 – 71,0 Lebih dari Cukup
4 49,1 – 60,0 Cukup
5 38,1 – 49,0 Hampir Cukup
6 27,1 – 38,0 Kurang
Tabel 12
Tabel Distribusi Frekuensi Relatif
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
No Nilai Interval Frekuensi
( f )
Frekuensi Relatif
(%)
1 82,1 – 93,0 4 9.0%
2 71,1 – 82,0 9 20.5%
3 60,1 – 71,0 19 43.2%
4 49,1 – 60,0 9 20.5%
5 38,1 – 49,0 2 4.5%
6 27,1 – 38,0 1 2.3%
Jumlah 44 100%
Sumber: Data Kuantitatif Variabel Y Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
67
f. Histogram
Berdasarkan data distribusi frekuensi kemampuan memahami
kitab fiqh santri tingkat tsanawiyyah di Pesantren Al-Itqon Kota
Semarang di atas, maka visualisasi data dalam bentuk histogram seperti
berikut:
Gambar 2
Sumber: Tabel Distribusi Frekuensi Relatif Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
B. Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis merupakan analisis yang dilakukan untuk membuktikan
diterima atau ditolaknya hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Dalam uji
hipotesis ini, suatu hipotesis akan diuji secara empirik untuk menentukan
korelasi antara variabel X (tingkat hafalan nazam Alfiyyah) dan variabel Y
(kemampuan memahami kitab fiqh).
Adapun guna mempermudah dalam perhitungan korelasi maka perlu
dibuat tabel kerja terlebih dahulu. Tabel kerja untuk analisis korelasi product
moment adalah sebagai berikut:
1 2
9
19
9
4
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
27,1 - 38,0 38,1 - 49,0 49,1 - 60,0 60,1 - 71,0 71,1 - 82,0 82,1 - 93,0
Fre
kuen
si
Nilai Interval
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
68
Tabel 13
Tabel Kerja Analisis Korelasi Product Moment
Antara Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah (X) dan
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh (Y)
Nomor
Subjek X Y X
2 Y
2 XY
01 59,0 60,0 3481,00 3600,00 3540,00
02 62,0 57,5 3844,00 3306,25 3565,00
03 58,9 52,5 3469,21 2756,25 3092,25
04 65,8 65,0 4329,64 4225,00 4277,00
05 42,3 47,5 1789,29 2256,25 2009,25
06 73,9 72,5 5461,21 5256,25 5357,75
07 68,4 55,0 4678,56 3025,00 3762,00
08 68,9 60,0 4747,21 3600,00 4134,00
09 78,8 85,0 6209,44 7225,00 6698,00
10 64,3 45,0 4134,49 2025,00 2893,50
11 71,1 75,0 5055,21 5625,00 5332,50
12 73,4 67,5 5387,56 4556,25 4954,50
13 65,0 72,5 4225,00 5256,25 4712,50
14 68,5 70,0 4692,25 4900,00 4795,00
15 78,8 87,5 6209,44 7656,25 6895,00
16 80,3 92,5 6448,09 8556,25 7427,75
17 65,6 62,5 4303,36 3906,25 4100,00
18 77,9 67,5 6068,41 4556,25 5258,25
19 77,7 65,0 6037,29 4225,00 5050,50
20 73,4 65,0 5387,56 4225,00 4771,00
21 75,5 75,0 5700,25 5625,00 5662,50
22 73,4 57,5 5387,56 3306,25 4220,50
23 63,3 70,0 4006,89 4900,00 4431,00
24 88,8 75,0 7885,44 5625,00 6660,00
25 99,4 80,0 9880,36 6400,00 7952,00
26 86,7 62,5 7516,89 3906,25 5418,75
27 73,8 62,5 5446,44 3906,25 4612,50
28 73,3 62,5 5372,89 3906,25 4581,25
29 87,6 67,5 7673,76 4556,25 5913,00
30 73,3 65,0 5372,89 4225,00 4764,50
31 73,8 65,0 5446,44 4225,00 4797,00
69
Nomor
Subjek X Y X
2 Y
2 XY
32 73,2 62,5 5358,24 3906,25 4575,00
33 88,1 65,0 7761,61 4225,00 5726,50
34 87,8 65,0 7708,84 4225,00 5707,00
35 73,5 57,5 5402,25 3306,25 4226,25
36 87,6 80,0 7673,76 6400,00 7008,00
37 74,5 70,0 5550,25 4900,00 5215,00
38 53,8 27,5 2894,44 756,25 1479,50
39 99,3 75,0 9860,49 5625,00 7447,50
40 99,4 80,0 9880,36 6400,00 7952,00
41 47,8 50,0 2284,84 2500,00 2390,00
42 99,5 90,0 9900,25 8100,00 8955,00
43 47,3 50,0 2237,29 2500,00 2365,00
44 68,2 62,5 4651,24 3906,25 4262,50
∑ ∑X ∑Y ∑X
2 ∑Y
2 ∑XY
3242,9 2902,5 246811,89 198068,75 218948,00
Keterangan:
𝑋 : Skor variabel X (tingkat hafalan nazam Alfiyyah)
𝑌 : Skor variabel Y (kemampuan memahami kitab fiqh)
𝑋2 : Skor X kuadrat
𝑌2 : Skor Y kuadrat
𝑋𝑌 : Hasil kali skor X dengan skor Y
Untuk mengetahui bagaimana hubungan (korelasi) antara tingkat hafalan
nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah
di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang, maka dicari indeks koefisien
korelasi melalui perhitungan menggunakan rumus korelasi product moment
sebagai berikut:
𝑟𝑥𝑦 =𝑁 𝑋𝑌− 𝑋 𝑌
𝑁 𝑋2 − 𝑋 2 𝑁 𝑌2 − 𝑌 2
Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 : Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
70
𝑋 : Variabel X (tingkat hafalan nazam Alfiyyah)
𝑌 : Variabel Y (kemampuan memahami kitab fiqh)
𝑋𝑌 : Perkalian variabel X dengan variabel Y
𝑁 : Jumlah populasi
Σ : Sigma atau jumlah seluruh skor
Berdasarkan tabel kerja di atas dapat diketahui:
𝑁 = 44 𝑋2 = 246811,89
𝑋 = 3242,9 𝑌2 = 198068,75
𝑌 = 2902,5 𝑋𝑌 = 218948
Kemudian data-data itu dimasukkan ke dalam rumus korelasi product
moment sebagai berikut:
𝑟𝑥𝑦 =𝑁 𝑋𝑌− 𝑋 𝑌
𝑁 𝑋2 − 𝑋 2 𝑁 𝑌2 − 𝑌 2
𝑟𝑥𝑦 =44 218948 − (3242,9)(2902,5)
44 246811,89 − (3242,9)2 44 198068,75 − (2902,5)2
𝑟𝑥𝑦 =9633712 − 9412517,25
10859723,16 − 10516400,41 8715025 − 8424506,25
𝑟𝑥𝑦 =221194,75
343322,75 290518,75
𝑟𝑥𝑦 =221194,75
99741696177
𝑟𝑥𝑦 =221194,75
315819,0877
𝑟𝑥𝑦 = 0,700384361
Jadi indeks koefisien korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyyah di Pesantren Al-
Itqon Gugen Kota Semarang adalah 0,700.
Adapun hasil penghitungan koefisien korelasi antara variabel X dan
varibel Y dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows® adalah
sebagai berikut:
71
Correlations
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah
Pearson Correlation 1 .700**
Sig. (2-tailed) .000
N 44 44
Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Pearson Correlation .700** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 44 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Output di atas menunjukkan korelasi antara Tingkat Hafalan Nazam
Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh adalah 0,700 dengan tingkat
signifikansi 0,01 (α = 1%). Karena Sig.=0,000 < 0,01 maka H0 ditolak. Jadi, ada
hubungan yang signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri dengan
kemampuannya memahami kitab fiqh.
Hipotesis yang diajukan (H1) dalam penelitian ini adalah terdapat
korelasi yang signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh santri, yang dalam hal ini santri tingkat tsanawiyah di
Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang.
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi
(angka korelasi) antara variabel X dan variabel Y adalah rxy = 0,700. Kemudian
nilai rxy tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel (tabel harga kritik dari r
Pearson), baik pada taraf signifikansi (α) 5% atau 1%. Apabila nilai rxy atau
rhitung sama dengan atau lebih besar dari nilai rtabel , maka hasilnya signifikan,
dalam arti H0 ditolak dan H1 (hipotesis yang diajukan) diterima. Tetapi apabila
hasilnya sebaliknya ( rhitung lebih kecil dari rtabel ) maka hipotesis yang diajukan
tidak diterima atau ditolak.
Nilai rtabel itu sama dengan r(α)(db) pada tabel baku r product-moment.
Derajat kebebasan (db) adalah N dikurangi nr (banyak variabel yang
dikorelasikan), jika N = 44, nr = 2, maka db = 44 – 2 = 42.
Sementara dari daftar tabel harga kritik dari r product-moment pada taraf
signifikansi 5% dan derajat kebebasan 42 diperoleh harga rtabel = r(5%)(42) = 0,304
72
dan pada taraf signifikansi 1% diperoleh rtabel = r(1%)(42) = 0,393. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hipotesis yang penulis ajukan, yaitu terdapat korelasi yang
signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami
kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang
diterima, karena pada kenyataannya nilai rhitung lebih besar dari rtabel, baik pada
taraf signifikansi 5% (0,700 > 0,304) maupun 1% (0,700 > 0,393).
Tidak negatifnya koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan adanya
korelasi sejajar yang searah (positif) antara variabel X dan variabel Y. Jadi,
apabila tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri itu mengalami pertambahan
(naik), hal ini akan diikuti pula oleh pertambahan kemampuan santri dalam
memahami kitab fiqh. Besarnya angka korelasi yang didapat (0,700) berada di
antara interval 0,600 sampai dengan 0,800, sehingga dapat diinterpretasikan
bahwa tingkat korelasi antar dua variabel itu tergolong cukup.6
Adapun berapa persen kontribusi variabel X terhadap variabel Y dapat
diketahui dengan menghitung Koefisien Determinasi. Koefisien determinasi
adalah kuadrat dari koefisien korelasi yang dikalikan dengan 100. Penghitungan
koefisien determinasi sebagai berikut:7
𝐾𝐷 = 𝑟𝑥𝑦2 × 100 𝐾𝐷 = 0,700382 × 100
𝐾𝐷 = 0,4905 × 100
𝐾𝐷 = 49,05
Ini berarti 49,05% variabel Y (kemampuan memahami kitab fiqh) turut
ditentukan oleh variabel X (tingkat hafalan nazam Alfiyyah), sedangkan sisanya,
yaitu 50,95% ditentukan oleh variabel lainnya yang tidak diteliti dalam laporan
penelitian ini.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat korelasi cukup tinggi antara
tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh, dalam
penelitian ini didasarkan pada hasil perhitungan statistik. Dan perlu diketahui
6 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 276. Lihat tabel interpretasi nilai r yang dikutip oleh
Suharsimi Arikunto dari buku “Metodologi Research 3” tulisan Sutrisno Hadi. 7 Subana, dkk., op. cit., hlm. 145.
73
dan diingat bahwa penelitian deskriptif kuantitatif dengan teknik korelasional
tidak selalu menunjuk pada hubungan sebab akibat sebagaimana dalam
penelitian kausal komparatif, juga tidak menunjuk pada besarnya pengaruh
seperti dalam penelitian regresi. Oleh karenanya, perlu dibahas lebih lanjut hal-
hal yang dapat memberikan penjelasan terkait dengan hasil penelitian ini.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terkait dengan
signifikannya korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh santri di Pesantren Al-Itqon, yaitu: Pertama, apa hubungan
logis antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab
fiqh. Kedua, bagaimana penerapan metode hafalan di Pesantren Al-Itqon. Dan
yang ketiga, hal-hal spesifik apa yang menjadikan beberapa subjek penelitian
berbeda dengan mayoritas lainnya, yakni tingkat hafalannya rendah tetapi
kemampuannya memahami fiqh baik, atau sebaliknya.
1. Hubungan logis antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh.
Kitab fiqh yang digunakan di pesantren menggunakan referensi kitab
kuning, yang disebut juga dengan kitab gundul, karena menggunakan huruf
Arab tanpa harakat atau syakal. Keberhasilan pembelajaran kitab fiqh antara
lain ditentukan oleh kemampuan membuka kegundulan itu dengan
menemukan harakat-harakat yang benar, dengan mengetahui kedudukan
(tarki>b) masing-masing kata dan perubahan (tas}ri>f ) kata itu, sehingga seorang
santri mampu memahami isi kitab fiqh dengan cara menerjemahkan secara
benar sesuai konteks kata dalam kalimat, serta menjelaskan maksud dari kitab
fiqh itu. Sedangkan untuk mempunyai kemampuan membuka kegundulan
kitab kuning, diperlukan penguasaan terhadap ilmu nahwu dan sharaf, yang
mana keduanya dipelajari dalam nazam Alfiyyah Ibnu Malik.
Berdasarkan pendapat „Athiyyah al-Abrasyi bahwa menghafal dalam
konsep pendidikan Islam itu terpadu dengan pemahaman, maka diprediksikan
bahwa santri yang tingkat hafalan Alfiyyahnya baik akan mempunyai
pemahaman ilmu nahwu dan sharaf yang baik pula, sehingga dengan ilmu itu
ia mampu memahami kitab-kitab gundul termasuk kitab-kitab fiqh.
74
Demikian juga, berdasarkan penjelasan Mary Forehand bahwa
taksonomi Bloom itu bersifat hirarkis, yang mana hal ini menunjukkan bahwa
jika seseorang telah berada pada tingkat kemampuan belajar „memahami‟
(understanding) berarti ia telah menguasai tingkat kemampuan belajar
sebelumnya, yakni „mengingat‟ (remembering). Jadi apabila seorang santri
mampu memahami kitab fiqh, berarti ia mempunyai kemampuan untuk
mengingat istilah-istilah yang terkait dengan fiqh. Jika ia mampu mengingat
istilah yang terkait dengan fiqh, besar kemungkinannya ia juga mempunyai
kemampuan mengingat nazam-nazam Alfiyyah dengan baik.
Dengan demikian terdapat hubungan antara tingkat hafalan nazam
Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh, dan hal ini telah teruji
dengan hasil penelitian korelasi antara dua variabel itu di Pesantren Al-Itqon.
Penelitian korelasi tidak selalu menunjuk pada hubungan sebab-akibat,
sebagaimana dalam penelitian kausal komparatif, maupun pada hubungan
pengaruh-dipengaruhi, sebagaimana penelitian dengan teknik regresi.
2. Penerapan metode hafalan di Pesantren Al-Itqon.
Hafalan di Pesantren Al-Itqon tidak hanya diterapkan pada nazam
Alfiyyah saja, tetapi juga ada hafalan surat-surat tertentu dalam Al-Qur‟an,
Matn al-A>jurru>miyyah, al-‘Imrit}y, dan Jawhar al-Maknu>n.
Penerapan metode hafalan dalam pembelajaran Alfiyyah di Pesantren
Al-Itqon pada dasarnya dimaksudkan agar santri dapat terus menjaga kaidah-
kaidah nahwu yang terdapat dalam Alfiyyah dengan menghafalkan nazam-
nazamnya, atau memotivasi santri untuk memahami kaidah-kaidah nahwu
setelah santri menghafalkan nazam-nazamnya. Dengan memahami kaidah-
kaidah nahwu, santri diharapkan mampu memahami kitab-kitab kuning,
termasuk juga kitab fiqh.8
Adapun pelaksanaan evaluasi hafalan nazam Alfiyyah di Pesantren
Al-Itqon berdasarkan informasi dari beberapa guru pengampu Alfiyyah di
Madrasah Diniyyah Al-Itqon adalah sebagai berikut:
8 Hasil wawancara dengan Kepala Madrasah Diniyyah Al-Itqon (M. Arif Fauzan Tamim)
pada tanggal 28 Maret 2011.
75
a. Menurut waktu pelaksanaannya: 1) Evaluasi pada akhir bab, evaluasi ini
biasanya dilaksanakan di kelas oleh guru masing-masing setelah materi
dalam satu atau dua bab selesai. 2) Evaluasi pada akhir semester (Imtih}a>n),
evaluasi yang dilaksanakan di akhir setiap semester serentak di semua
kelas, di mana hari-hari pelaksanaannya disebut dengan Muh}a>faz}ah Kubra>,
dan nilai yang dihasilkan dicantumkan dalam rapor. 3) Ada juga setor
hafalan yang waktunya mingguan, artinya dalam seminggu santri
diharuskan menghafalkan nazam sejumlah yang ditentukan.
b. Menurut cara menghafalkannya: 1) Hafalan secara tekstual. Santri
mengucapkan nazam-nazam yang dihafal di depan guru, banyak sedikitnya
nazam yang berhasil dihafalkan menjadi acuan dalam penilaian. 2) Hafalan
tekstual dengan tes pemahaman. Di samping menghafalkan, santri juga
dituntut untuk mampu menjelaskan beberapa nazam yang ditanyakan oleh
guru, pemahaman atas nazam tertentu inilah yang menjadi pertimbangan
dalam penilaian di samping kuantitas nazam yang berhasil dihafalkan.9
3. Hal-hal spesifik yang menjadikan beberapa subjek penelitian berbeda dengan
mayoritas lainnya, yakni tingkat hafalannya rendah tetapi kemampuannya
memahami fiqh baik, atau sebaliknya.
Dari informasi yang didapat penulis, beberapa alasan santri kenapa
tingkat hafalan Alfiyyahnya baik tetapi kurang baik dalam memahami kitab
fiqh antara lain:
a. Hafalannya bersifat retensi tekstual saja, dalam arti hasil menghafalnya
hanya berorientasi pada pemenuhan kewajiban menghafalkan nazam-
nazam dalam jumlah tertentu.
b. Belum mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah nahwu dalam simbol-
simbol yang digunakan dalam makna gandul. Ketika ustadz membacakan
makna gandul, santri hanya terfokus pada penulisan makna saja, tidak
melihat keterkaitan kata sebagaimana yang ditunjukkan oleh simbol makna
gandul dari sang ustadz.
9 Hasil wawancara dengan Ustadz pengampu Alfiyyah di Madrasah Diniyyah Al-Itqon pada
tanggal 29 Maret 2011.
76
c. Memandang antara Alfiyyah dan fiqh sebagai dua disiplin ilmu yang
terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Pemahaman masing-masing tergantung
pada penjelasan ustadz yang mengajarkannya.10
Adapun beberapa alasan santri kenapa tingkat hafalan Alfiyyahnya
kurang baik tetapi kemampuannya memahami kitab fiqh baik, antara lain:
a. Tidak begitu menganggap penting hafalan.
b. Sudah mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah nahwu dalam simbol-
simbol makna gandul, namun kemampuan itu tidak didapatkan dari
Alfiyyah, tetapi dari kitab-kitab nahwu yang dipelajari sebelumnya.
c. Banyak membaca buku-buku fiqh dalam bahasa Indonesia atau kitab fiqh
yang sudah dalam bentuk terjemahan.
d. Faktor guru, dalam arti penjelasan ustadz fiqh lebih mudah dipahami dari
pada ustadz pengampu Alfiyyah.11
D. Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian hampir dapat dipastikan memiliki keterbatasan, apalagi
penelitian dalam bentuk skripsi, yang biasanya dilakukan oleh peneliti pemula.
Demikian juga, penulis menyadari betul bahwa dalam penelitian ini masih
terdapat beberapa keterbatasan, antara lain:
1. Keterbatasan waktu pelaksanaan penelitian. Hal ini menyebabkan data yang
diperoleh penulis kurang begitu valid. Data variabel Y misalnya, yakni
kemampuan memahami kitab fiqh, sebenarnya akan lebih tinggi
validitasnya jika disertakan juga metode pengumpulan data berupa tes lisan
(oral test) di samping tes tertulis (written test). Namun karena terbatasnya
waktu, data itu hanya diperoleh dari tes tertulis saja. Walaupun begitu,
dalam menyusun instrumen tes tertulis yang digunakan, sudah semaksimal
kemampuan penulis.
2. Subjek dalam penelitian ini terbatas pada santri di Pesantren Al-Itqon
Gugen Kota Semarang. Waktunya pun terbatas pada Tahun Dirasah 1431-
10
Hasil wawancara dengan santri yang tingkat hafalan Alfiyyah tergolong baik, namun hasil
kemampuan memahami fiqh kurang baik pada tanggal 30 Maret 2011. 11
Hasil wawancara dengan santri yang tingkat hafalan Alfiyyah tergolong kurang baik,
namun hasil kemampuan memahami fiqh baik pada tanggal 31 Maret 2011.
77
1432 H. Sehingga hasil penelitian, yakni adanya korelasi antara tingkat
hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan memahami kitab fiqh, hanya
berlaku untuk subjek, waktu, dan lokasi penelitian tertentu saja.
3. Kesiapan responden dalam menjawab tes yang diberikan bervariasi, dalam
arti ada yang mengerjakan tes itu dengan sungguh-sungguh, ada pula yang
sebaliknya. Sehingga hasil tes yang diperoleh tidak seratus persen
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Namun, penulis cenderung
meyakini bahwa sebagian besar responden telah menjawab tes sesuai
dengan kemampuan sebenarnya masing-masing.
Meskipun demikian hasil penelitian ini yang menyatakan terdapat
korelasi yang signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan kemampuan
memahami kitab fiqh dapat dijadikan sebagai acuan awal bagi penelitian
selanjutnya. Dan penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai rujukan bagi santri
atau siswa, ustadz/guru, dan para praktisi pendidikan, khususnya pendidikan di
lingkungan pesantren, bahwa salah satu faktor yang ikut berkontribusi dalam
kemampuan memahami kitab fiqh adalah tingkat hafalan nazam Alfiyyah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah tahap demi tahap dalam penelitian skripsi “Studi Korelasi Antara
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah dan Kemampuan Memahami Kitab Fiqh Santri
Tingkat Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang” telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-
Itqon Gugen Kota Semarang termasuk dalam kategori “baik”. Hal ini terlihat
dari nilai rata-rata (mean) yang diperoleh, yaitu sebesar 73,7 yang berada
pada kelas interval 71,0 – 80,6.
2. Kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-
Itqon Gugen Kota Semarang tergolong dalam kategori “lebih dari cukup”.
Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata (mean) yang didapat, yakni sebesar
66,0 yang berada pada kelas interval 60,1 – 71,0.
3. Terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh santri tingkat tsanawiyah di Pesantren Al-
Itqon Gugen Kota Semarang. Karena pada kenyataannya nilai rhitung
(koefisien korelasi) yang diperoleh, yaitu 0,70038, lebih besar dari rtabel, baik
pada taraf signifikansi 5% (rhitung > rtabel = 0,700 > 0,304) maupun 1% ( rhitung
> rtabel = 0,700 > 0,393). Kemudian tidak negatifnya koefisien korelasi yang
diperoleh menunjukkan adanya korelasi sejajar yang searah (positif) antara
variabel X dan variabel Y. Jadi, apabila tingkat hafalan nazam Alfiyyah santri
itu naik, akan diikuti pula oleh naiknya kemampuan memahami kitab fiqh.
Koefisien determinasi (KD = rxy2 x 100) sebesar 49,05; ini berarti bahwa
49,05% kemampuan memahami kitab fiqh (variabel Y) turut ditentukan oleh
tingkat hafalan nazam Alfiyyah (variabel X).
78
79
B. Saran-saran
Berdasarkan pada hasil penelitian, ada beberapa saran yang dapat
dikemukakan menyangkut korelasi antara tingkat hafalan nazam Alfiyyah dan
kemampuan memahami kitab fiqh.
1. Objek dalam penelitian ini sangat terbatas pada tingkat hafalan nazam
Alfiyyah saja, belum menyentuh kepada tingkat atau kemampuan hafalan
manusia secara mutlak. Begitu juga terbatasnya kemampuan memahami
hanya pada kitab fiqh saja, tidak menyentuh pemahaman secara umum.
Dalam hal ini, penulis menyarankan kepada para peneliti untuk mengadakan
penelitian lanjut tentang hubungan hafalan dan pemahaman yang lebih luas
objeknya, dalam arti apakah orang yang mempunyai kemampuan menghafal
tinggi juga memiliki kemampuan memahami dengan baik.
2. Kepada para santri atau siswa yang sedang menghafalkan sebuah materi
pelajaran hendaknya tidak melupakan pada aspek pemahamannya. Hal ini
agar hafalan itu tidak hanya menekankan pada hafalan tekstual belaka, tetapi
juga melibatkan atau menyentuh ranah yang lebih tinggi dari kemampuan
belajar. Hafalan harus dipandang sebagai basis untuk mencapai kemampuan
intelektual yang lebih tinggi.
3. Kepada para ustadz atau pendidik agar kreatif dalam menggunakan hafalan
sebagai metode pembelajaran, agar supaya tujuan hafalan dapat terarah
sebagaimana dalam konsep pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
Athiyyah al-Abrasyi, yakni keterpaduan antara hafalan dan pemahaman. Oleh
karenanya perlu dipikirkan bagaimana cara mengevaluasi hafalan agar anak
didik menyadari bahwa menghafal sebuah materi berarti juga memahami
materi itu, bukan sekedar hafal tanpa paham.
C. Penutup
Puji syukur al-h}amd li-Alla>h penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Karena berkat
rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis memiliki kemampuan
untuk menyelesaikan tahap demi tahap skripsi ini.
80
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses pelaksanaan skripsi ini dari awal hingga akhir. Semoga
bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang membahagiakan dan
diterima sebagai amal saleh di hadapan Allah Swt.
Namun demikian, meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, penulis
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt tempat memohon dan tempat
berlindung, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi
penulis, dan umumnya bagi para pembaca, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, Rohadi, dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan (dari Tradisional,
Modern, hingga Post Modern), Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2008, Cet. II.
Abrasyi al-, Muhammad „Athiyyah, Al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha>, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Ed. 3,
Cet. 2.
Anderson, Lorin W. dan Krathwohl, David R. (eds.), Kerangka Landasan untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan
Bloom, terjemahan dari A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assessing: A Revision of Bloom‟s Taxonomy of Educational Objectives
oleh Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Anwar, Moch., Tarjamah Matan Alfiyah, Bandung: Alma‟arif, 1996.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 2006, Cet. XIII.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Cet. VII.
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru,
Yogyakarta: LKiS, 2009, Cet. VII.
_____________ , Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999,
Cet. III.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan,
Dinamika, dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2004.
Fadany al-, Abu al-Faidl Muhammad Yasin bin „Isa, Al-Fawa>’id al-Janiyyah, H}a>syiyah al-Mawa>hib al-Saniyyah Syarh} al-Fara>’id al-Bahiyyah, Juz 1,
Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Forehand, Mary, “Bloom's Taxonomy: Original and Revised”, dalam Michael Orey
(ed.), Emerging Perspectives on Learning, Teaching and Technology,
http://www.coe.uga.edu/epltt/bloom.htm, 10 Februari 2006.
Ghuzziy al-, Muhammad bin Qasim, Fath} al-Qari>b al-Muji>b, tt.p.: Da>r Ih}ya>’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Haedari, HM. Amin dan Hanif, Abdullah (eds.), Masa Depan Pesantren Dalam
Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD
Press, 2004.
81
82
Hill, Winfred F., Theories of Learning: Teori-teori Pembelajaran, terjemahan dari
Learning: A Survey of Psychological Interpretations oleh M. Khozim,
Bandung: Nusa Media, 2010, Cet. III.
Ibn „Aqil, Baha`uddin Abdullah, Syarh} Ibn ‘Aqi>l, Vol. I, Beirut: Dar al-Fikr, 2003.
Iksan, “Tradisi Pemakaian Kitab Kuning dalam Pembelajaran Fiqih pada MTs
Berbasis Pesantren di Jawa Timur”, Tesis, Surabaya: Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009.
Junaedi, Mahfud, “Mewujudkan Pondok Pesantren Inovatif - Integratif - Futuristik”,
Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, II, 4, Desember, 2008.
Jurjany al-, Aly bin Muhammad, Kita>b al-Ta’rifa>t, Surabaya: Al-Haramain, 1421 H.
Madjid, Nurcholis, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam
Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1997), e-book diunduh dari http://www.4shared.com/get/MxFW-VC7/
Bilik -bilik_Pesantren_-_Nur_Ch.html
Mardapi, Djemari, Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, Jogjakarta: Mitra
Cendikia Offset, 2008.
Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Rike Sarasing, 1989.
Muhlis, Abdul Gafur, “T}ari>qah Tah}fi>z} Naz}m al-Alfiyyah wa Tat}bi>quha> fi> Tanmiyah
Kafa>’ah Qira>’ah al-Kutub al-‘Arabiyyah li al-T}ulla>b bi Ma’had al-Isla>my
al-Salafy Nu>r al-Kara>mah Paterongan Galis Bankala>n”, Skripsi, Surabaya:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2009.
Muhsinin, “Studi Implementasi Pemberian Hadiah dan Hukuman Pendidikan
Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Itqon Gugen Tlogosari
Semarang)”, Skripsi, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab - Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, Cet. 14.
Munawy al-, Muhammad „Abd al-Ra`uf, Al-Tawqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta’a>ri>f, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H.
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 2009.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 2002, Cet. I.
Shofwan, M. Sholihuddin, Maqashid An-Nahwiyyah: Pengantar Memahami
Alfiyyah, Juz Awal, Jombang: Darul Hikmah, 2005, Cet. II.
Sofanudin, Aji, Metodologi Penelitian Ilmu Tarbiyah, Semarang: Lakmus Indonesia,
2009.
Subana, dkk., Statistik Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2005, Cet. II.
Sugono, Dendy, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
83
Tarsidi, Iding, “Bahan Presentasi Performance Tes”, diunduh dari http://file.upi.edu/
Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/19660
1041993011%20-%20IDING%20TARSIDI/MAKALAH%20
PERFORMANCE%20TEST.pdf
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta:
LKiS, 2010, Cet. III.
Yahya, Mukhtar dan Rahman, Fatchur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
Bandung: Alma‟arif, 1997, Cet. 4.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzurriyyah, 1990.
“Resensi Fathul Qorib”, http://pesantren-qotrunnada.com/index.php?view=article
&catid=37:coretan-santri&id=52:resensi-qfathul-qoribq&format=pdf
“Taksonomi Bloom”, Wapedia, http://wapedia.mobi/id/Taksonomi_Bloom
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat penunjukan pembimbing skripsi.
Lampiran 2 : Surat mohon izin riset.
Lampiran 3 : Surat keterangan melaksanakan penelitian.
Lampiran 4 : Struktur Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Itqon.
Lampiran 5 : Surat perizinan riset penelitian dan daftar santri tingkat tsanawiyyah
tahun dirasah 1431/1432 H
Lampiran 6 : Surat pemberitahuan aturan umum.
PENYUSUNAN INSTRUMEN TES
TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
A. Spesifikasi Tes
Spesifikasi tes berisi tentang uraian yang menunjukkan keseluruhan
karakteristik yang harus dimiliki suatu tes. Penyusunan spesifikasi tes mencakup
kegiatan: (a) menentukan tujuan tes, (b) menyusun kisi-kisi tes, (c) memilih
bentuk tes, dan (d) menentukan panjang tes.1
1. Tujuan Tes
Ditinjau dari tujuannya, maka macam tes tingkat hafalan nazam
Alfiyyah merupakan tes formatif. Tes formatif bertujuan untuk memperoleh
masukan tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran.2
Dalam hal ini, proses menghafal nazam Alfiyyah sudah dilaksanakan dalam
pembelajaran santri di pesantren atau madrasah, kemudian peneliti ingin
mengetahui hasil menghafal atau tingkat hafalan yang dicapai oleh santri.
Dalam kaitannya dengan data yang diperlukan dalam penelitian
“Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah dan Kemampuan
Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon
Gugen Kota Semarang”, maka tujuan tes tingkat hafalan nazam Alfiyyah
adalah untuk mengetahui tingkat hafalan santri dalam menghafal nazam
Alfiyyah Ibnu Malik.
2. Kisi-kisi Tes
Kisi-kisi merupakan tabel matrik yang berisi spesifikasi soal-soal
yang kan dibuat. Kisi-kisi merupakan acuan bagi penyusun soal, sehingga
siapapun yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat
kesulitannya relatif sama.3
Adapun kisi-kisi tes tingkat hafalan nazam Alfiyyah untuk santri di
pesantren Al-Itqon Gugen Kota Semarang adalah sebagai berikut:
1 Djemari Mardapi, Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, (Jogjakarta: Mitra
Cendikia Offset, 2008), hlm. 88. 2 Ibid., hlm. 69.
3 Ibid., hlm. 90.
Lampiran 7 : Penyusunan instrumen tes tingkat hafalan nazam Alfiyyah.
2
KISI-KISI TES TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
Jenis Lembaga Pendidikan : PONDOK PESANTREN AL-ITQON
Mata Pelajaran : ALFIYYAH IBNU MALIK
Waktu Pelaksanaan Tes : Februari 2011
Tujuan tes:
Mengetahui tingkat hafalan santri dalam menghafal nazam Alfiyyah Ibnu Malik.
No Variabel Sub Variabel Materi Indikator Bentuk
Tes
1 2 3 4 5 6
1 Hafalan
nazam
Alfiyyah
Ibnu Malik
Menghafalkan
nazam Alfiyyah
sesuai jumlah
yang ditentukan
Nazam-
Alfiyyah
Ibnu
Malik
- Santri mampu
mengucapkan nazam
Alfiyyah sejumlah 400
nazam.
Tes
Keca-
kapan dengan Lisan
Mengucapkan /
melafalkan
nazam Alfiyyah
dengan
performa yang
baik
Nazam-
Alfiyyah
Ibnu
Malik
- Santri mampu
mengucapkan nazam
Alfiyyah dengan lancar,
dalam arti tanpa
diingatkan.
- Santri mampu
mengucapkan nazam
Alfiyyah dengan bunyi
yang benar.
- Santri mampu
mengucapkan nazam
Alfiyyah dengan pasangan
sat}r (baris) yang cocok
dalam setiap nazamnya.
3. Bentuk Tes
Bentuk tes yang digunakan di lembaga pendidikan dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu tes objektif dan tes non objektif. Objektif
dilihat dari sistem penskorannya, siapa saja yang memeriksa lembar jawaban
tes akan menghasilkan skor yang sama. Tes yang non objektif adalah yang
sistem penskorannya dipengaruhi oleh pemberi skor, atau dipengaruhi oleh
subjektivitas pemberi skor.4
4 Ibid., hlm. 69 – 70.
3
Kemudian pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes,
jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa hasil tes, cakupan
materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan.5
Dengan mempertimbangkan tujuan dari tes tingkat hafalan nazam
Alfiyyah dan penjabaran indikator pencapaian sebagaimana terdapat dalam
kisi-kisi tes, maka bentuk tesnya adalah Tes Performa (Performance Test)
dengan lisan (oral test).
4. Panjang Tes
Panjang tes ditentukan berdasarkan pada cakup materi ujian dan
kelelahan peserta tes. Untuk tes performa waktu yang digunakan tidak
dibatasi dalam rentang waktu yang ditentukan. Dalam tes hafalan nazam
Alfiyyah, dalam satu menit nazam yang dapat diucapkan oleh testee yang
berhasil menghafalnya berkisar antara 10 sampai 15 nazam.
B. Penulisan Soal Tes
Penulisan soal merupakan langkah menjabarkan indikator menjadi
pertanyaan-pertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan perincian pada kisi-
kisi yang telah dibuat.6 Dalam hal ini, soal diungkapkan melalui lisan oleh
penguji dengan mengacu pada rumusan soal yang dibuat.
Berdasarkan kisi-kisi tes tingkat hafalan nazam Alfiyyah, maka rumusan
butir-butir soalnya adalah sebagai berikut:
1. Hafalkan nazam Alfiyyah Ibnu Malik dengan jumlah nazam sebanyak 400!
2. Hafalkan nazam-nazam Alfiyyah Ibnu Malik dengan kriteria performa
pengucapan sebagai berikut!
a. Lancar, dalam arti tanpa diingatkan.
b. Tepat bunyi huruf dan harakatnya.
c. Cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
C. Pelaksanaan Tes
Pelaksanaan tes lisan ini dilakukan oleh masing-masing Ustadz
pengampu mata pelajaran Alfiyyah Ibnu Malik. Waktu pelaksanaannya pada
5 Ibid., hlm. 91.
6 Ibid., hlm. 93.
4
saat Imtih}a>n Awwal (Ulangan Semester I) yang dimulai pada hari Ahad, 3
Rabi‟ul Awwal 1432 H / 6 Februari 2011 M sampai dengan Kamis 7 Rabi‟ul
Awwal 1432 H / 10 Februari 2011 M.
D. Teknik Penskoran
Hasil pengukuran baik melalui tes maupun nontes menghasilkan data
kuantitatif yang berupa skor. Skor ini kemudian ditafsirkan sehingga menjadi
nilai, yaitu rendah, menengah, atau tinggi. Tinggi rendahnya nilai ini selalu
dikaitkan dengan acuan penilaian.7 Dalam hal ini, acuan penilaian yang
digunakan adalah acuan norma. Tes acuan norma berasumsi bahwa kemampuan
orang itu berbeda dan dapat digambarkan menurut distribusi normal, perbedaan
ini ditunjukkan oleh hasil pengukuran.
Kemudian untuk menentukan skor masing-masing testee diperlukan
teknik penskoran. Adapun teknik penskoran tes tingkat hafalan nazam Alfiyyah
dijabarkan sebagai berikut:
Jumlah skor nazam yang dihafal santri dari jumlah nazam yang harus
dihafalkan –di mana dalam penelitian ini jumlah hafalannya ditentukan sebanyak
400 nazam– dikuantifikasikan dalam skala skor 100. Penskoran untuk setiap
nazam menggunakan skala Likert yang menggunakan 4 pilihan, biasanya skor
tertinggi adalah 4 dan terendah 1. Namun untuk tujuan memudahkan dalam
penghitungan, perincian skor dalam tes hafalan ini ditentukan sebagai berikut:
- Nazam dengan performa hafalan baik sekali : 1
- Nazam dengan performa hafalan baik : 0,75
- Nazam dengan performa hafalan cukup : 0,5
- Nazam dengan performa hafalan kurang : 0,25
Dengan demikian, jika jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah
sebanyak 400 nazam, maka skor maksimumnya adalah 400. Sehingga
penghitungan nilai akhir skor tingkat hafalan nazam Alfiyyah dengan skala skor
100 adalah sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑘𝑜𝑟
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 × 100 = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐻𝑎𝑓𝑎𝑙𝑎𝑛
7 Ibid., hlm. 127.
5
Adapun kriteria performa hafalan nazam Alfiyyah berdasarkan
kategorinya adalah sebagai berikut:
1. Kategori Baik Sekali (A)
Performa hafalan yang termasuk kategori baik sekali jika pengucapan
nazamnya: a) secara lancar, dalam arti tidak dituntun/diingatkan; b) benar
bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap
nazamnya.
2. Kategori Baik (B)
Performa hafalan yang termasuk kategori baik jika pengucapan
nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti dituntun/diingatkan; b) benar
bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap
nazamnya.
3. Kategori Cukup (C)
Performa hafalan yang termasuk kategori cukup jika pengucapan
nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti dituntun/diingatkan; b) tidak
benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok pasangan sat}r (baris) dalam
setiap nazamnya.
4. Kategori Kurang (D)
Performa hafalan yang termasuk kategori kurang jika pengucapan
nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti dituntun/diingatkan; b) tidak
benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) tidak cocok pasangan sat}r (baris)
dalam setiap nazamnya.
Kemudian untuk memudahkan penskoran dibuat Lembar Penilaian Tes
Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah yang dipegang oleh penguji, formatnya
sebagai berikut:
6
LEMBAR PENILAIAN
TES TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
Kelas : ………………………………
Hari/Tanggal Tes : ………………………………
Penguji : ………………………………
Jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah 400 (empat ratus) nazam.
No Nama
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performanya
Turus Baik
Sekali (Skor 1)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
1 2 3 4 5 6 7
1
2
3
4
5
dst.
Keterangan:
- Kolom 4 – 6, diisi dengan tanda turus dan jumlah akhirnya, misalnya:
= 13.
- Kolom 7 didapatkan dari jumlah nazam yang dihafal (kolom 3) dikurangi
jumlah nazam yang kurang, cukup, dan baik (jumlah kolom 4, 5, dan 6).
Semarang, ………………
Penguji,
Nama dan Tanda Tangan
Kemudian data itu diolah oleh peneliti sehingga menjadi data kuantitatif
untuk variabel tingkat hafalan nazam Alfiyyah ke dalam transkrip skor hafalan
nazam Alfiyyah. Formatnya sebagai berikut:
7
DATA KUANTITATIF
TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
Pesantren : AL-ITQON
Alamat : Jl. KH. Abdurrosyid Gugen Tlogosari Wetan Pedurungan
Semarang
Jumlah Subjek Penelitian : 44 Santri
Jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah 400 (empat ratus) nazam.
No Nomor
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori
Performanya Jumlah
Skor (A+B+C+D)
Nilai
Hafalan
(Skala 100)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
Baik Sekali
(Skor 1)
Jml Skor
D Jml Skor
C Jml Skor
B Jml Skor
A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1
2
3
4
5
dst.
Demikian penjelasan tentang teknik pengumpulan data untuk variabel X atau
tingkat hafalan nazam Alfiyyah.
Demak, 3 Februari 2011
Penyusun,
Muhammad Aufa
NIM: 073111477
PENYUSUNAN INSTRUMEN TES
KEMAMPUAN MEMAHAMI KITAB FIQH
A. Spesifikasi Tes
Spesifikasi tes berisi tentang uraian yang menunjukkan keseluruhan
karakteristik yang harus dimiliki suatu tes. Penyusunan spesifikasi tes mencakup
kegiatan: (a) menentukan tujuan tes, (b) menyusun kisi-kisi tes, (c) memilih
bentuk tes, dan (d) menentukan panjang tes.1
1. Tujuan Tes
Ditinjau dari tujuannya, maka macam tes kemampuan memahami
kitab fiqh merupakan tes formatif. Tes formatif bertujuan untuk memperoleh
masukan tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran.2
Dalam hal ini, pembelajaran kitab fiqh sudah dilaksanakan di pesantren atau
madrasah, kemudian peneliti ingin mengetahui hasil belajar santri dalam
memahami kitab fiqh.
Dalam kaitannya dengan data yang diperlukan dalam penelitian
“Studi Korelasi Antara Tingkat Hafalan Nazam Alfiyyah dan Kemampuan
Memahami Kitab Fiqh Santri Tingkat Tsanawiyah di Pesantren Al-Itqon
Gugen Kota Semarang”, maka tujuan tes kemampuan memahami kitab fiqh
adalah untuk mengetahui kemampuan santri dalam memahami kitab fiqh.
Materi tes dari kitab fiqh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kitab Fath} al-Qari>b al-Muji>b, karya Syaikh Syamsuddin Abu „Abdillah,
Muhammad bin Qasim al-Ghuzziy.
2. Kisi-kisi Tes
Kisi-kisi merupakan tabel matrik yang berisi spesifikasi soal-soal
yang kan dibuat. Kisi-kisi merupakan acuan bagi penyusun soal, sehingga
siapapun yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat
kesulitannya relatif sama.3
1 Djemari Mardapi, Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, (Jogjakarta: Mitra
Cendikia Offset, 2008), hlm. 88. 2 Ibid., hlm. 69.
3 Ibid., hlm. 90.
Lampiran 8 : Penyusunan instrumen tes memahami kitab fiqh.
2
Adapun kisi-kisi tes memahami kitab fiqh untuk santri di pesantren
Al-Itqon Gugen Kota Semarang adalah sebagai berikut:
KISI-KISI TES KEMAMPUAN MEMAHAMI KITAB FIQH
Jenis Lembaga Pendidikan : Pondok Pesantren Al-Itqon
Mata Pelajaran : Kitab Fath} al-Qari>b al-Muji>b
Waktu Pelaksanaan Tes : Maret 2011
Tujuan tes:
Mengetahui kemampuan santri dalam memahami kitab fiqh.
No Variabel Sub Variabel Materi
Pokok Indikator
Jml
Soal
No
Soal
1 2 3 4 5 6 7
1 Memahami
kitab Fiqh
Menentukan
bacaan
setiap kata
(mufrada>t) dengan
benar sesuai
kaidah
bahasa
Arab.
Teks kitab
Fath} al-Qari>b al-Muji>b
(Lihat
Keterangan)
- Santri mampu
menentukan i‟rab
(bacaan akhir kata)
dari teks kitab fiqh
sesuai kaidah
nahwu.
- Santri mampu
menentukan
kedudukan (tarkib)
kata atau frase
sesuai kaidah
nahwu.
- Santri mampu
mengaitkan bunyi
makna gandul
(ta’li>qa>t) dengan
tarkib sesuai kaidah
nahwu.
3
3
4
1, 13,
25
2, 12,
37
3, 14,
30, 38
Menyebutka
n arti
(makna)
yang
dikehendaki
sesuai
semantis.
Teks kitab
Fath} al-Qari>b al-Muji>b
- Santri mampu
menyebutkan arti
(makna) dari teks
kitab fiqh dengan
tepat.
- Santri mampu
menyebutkan tas}ri>f (perubahan bentuk
kata) dari teks kitab
fiqh sesuai kaidah
shorof.
4
3
4, 15,
24, 31
5, 16,
26
3
No Variabel Sub Variabel Materi
Pokok Indikator
Jml
Soal
No
Soal
1 2 3 4 5 6 7
- Santri mampu
menentukan
perubahan arti
disebabkan
perubahan kata
dengan benar.
3 6, 17,
39
Menjelaska
n isi atau
maksud dari
teks dalam
kitab fiqh
Teks kitab
Fath} al-Qari>b al-Muji>b
- Santri mampu
menerjemahkan
kalimat dari teks
kitab fiqh dengan
benar.
- Santri mampu
menyimpulkan isi/
kandungan dari teks
kitab fiqh dengan
benar.
- Santri mampu
menjelaskan
penerapan hukum
fiqh dalam
kehidupan sehari-
hari.
- Santri mampu
menentukan hukum
suatu masalah sesuai
kaidah fiqh.
5
5
5
5
7, 18,
19, 28,
32
8, 11,
22, 23,
40
9, 20,
27, 29,
35
10, 21,
33, 34,
36
Jumlah Soal 40
Keterangan Materi Pokok:
(a) Materi soal no. 1 s.d. 8. Pasal tentang Najis dan Cara Menghilangkannya, hlm. 24.4
رعا ل عت رم تنا ذلا على اإلطالق الة ا خـيار ع سهولة . النجاسة لغة الليء ادلسـقذرالـمييز حلر ـها سـقذارىا لضررىا يف بدن أ عقل دخل يف اإلطالق قليل النجاسة ثتىا خرج با خـيار الضر رة فإهنا ت يح تنا ل النجاسة بسهولة الـمييز أ ل الد د ادلي يف
.انب أ فا هة ضلو ذلك خرج بقولو حلر ـها يـة اآلد ي ب دم ا سـقذار ادلت ضلوه
4 Muhammad bin Qasim al-Ghuzzi, Fath} al-Qari>b al-Muji>b, (Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 2003), hlm. 24.
4
(b) Materi soal no. 9 s.d. 12. Pasal tentang Najis dan Cara Menghilangkannya, hlm. 24 – 25.
ي ية غسل النجاسة ن ا لاىدة بال ت ىي ادلسماة بال ينية تكون بز ال عينها زلا لة ط م النجاسة ضر أ لون أ ريح عسر ز الو مل بقي لون أ ريح فإن ط م أ ز ال أ صافها ن
هبا ادلـنجس على ادلاء اري يضر ن ا النجاسة غت لاىدة ىي ادلسماة باحلكمية فيك ي
. لو رة ا دة
(c) Materi soal no. 13 s.d. 20. Bab Hukum-hukum Sholat, hlm. 28.
رعا ما قال الراف ي أقوال أف ال ــحة بالـك ت ىي لغة الدعاء ﴾ ـاب أ كام الصالة ﴿ (مخس) يف ب ض النسخ الصلوات ادل ر ضات ( الصالة ادل ر ضة)سلــمة بالـسليم بلرائط سلصوصة
(ال هر) جيب ل نها بأ ل الوق اوبا وس ا ىل أن ي قى ن الوق ا يس ها فيضيق ين ذ (اللمس)أي يل ( أ ل قـها ز ال) ي بذلك اهنا ظاىرة سط النهار : قال النو ي. أي صالتو
عن سط السماء بالن ر لن س اا ر بل دلا ي هر لنا ي رف ذلك ادليل بـحول ال ل ىل اهة ذا صار ظل ل )أي ق ال هر ( آخره)ادللرق ب د تناىي قصره الذي ىو غاية ارت اع اللمس
. ال ل لغة الست تقول أ ا يف ظل فالن أي سته( ظل الز ال)أي غت ( يء ثلو ب د(d) Materi soal no. 21. Pasal Beberapa Hal yang Membatalkan Sholat, hlm. 37.
.عمدا فإن ل ها الريح فستىا يف احلال مل ت طل صالت ( ا كلاف ال ورة)(e) Materi soal no. 22 s.d. 26. Pasal Mustahiq Zakat, hlm. 56 – 57.
الذين ذ رىم ا ت اىل يف ـابو ال زيز يف قولو ت اىل تدفع الز اة ىل ااصناف الثما ية: (فصل)﴿
﴾ (60: اآلية: سورة الـوبة) اخل ىو ظاىر غت عن اللرح رفة ااصنافادلذ ورة فال قت يف الز اة ىو الذي ال لو سب يقع وق ا ن ااـو أ ا فقت ال رايا فهو ن قد بيده ادلسكت ن قدر على ال أ سب يقع ل نهما وق ا ن ايـو يك يو
. من حيـاج ىل علرة دراىم عنده س ة(f) Materi soal no. 27. Pasal Mustahiq Zakat, hlm. 57.
.فإن فقد ا لهم الز اة ىت يواد ا لهم أ ب ضهم(g) Materi soal no. 28 s.d. 30. Pasal Hukum-hukum Khiyar, hlm. 71.
بت ضاء ال يع فسخو أي يث ذلما خيار اجمللس ( ادلـ اي ان باخليار )يف أ كام اخليار: (فصل)أي دة عدم ت رقهما عرفا أي ينقطع خيار اجمللس ا بـ رق ( ا مل يـ رقا)يف أ واع ال يع السلم
ادلـ اي ت ب دهنما عن رللس ال قد أ بأن خيـار ادلـ اي ان لز م ال قد فلو اخـار أ دمها لز م ال قد
5
أي ادلـ اي ت ذا ا دمها ذا ( ذلما) مل خيت اآلخر فورا سقط قو ن اخليار بقي احلق لآلخر حتسب ن ال قد ن الـ رق فلو ( ىل ثالثة أيام)يف أ واع ال يع (أن يلتطا اخليار) افقو اآلخر
زاد اخليار على الثالثة بطل ال قد لو ان ادل يع شلا ي سد يف ادلدة ادللتطة بطل ال قد(h) Materi soal no. 31 dan 32. Pasal Bagian-bagian yang Ditentukan, hlm. 98.
يزاد (يف ـاب ا ت اىل سـة) يف ب ض النسخ ال ر ض ادلذ ورة ( ال ر ض ادلقدرة): (فصل)النصف الربع الثمن الثلثان الثلث ) السـة ىي . عليها ينقص نها ل ارض ال ول
.( السدس(i) Materi soal no. 33 dan 34. Bab Hukum-hukum Nikah, hlm. 102.
يف ادلدا اة ( ىل ادلواضع اليت حيـاج ليها) ر الط يب ن ااان ية ( اخلا س الن ر للمدا اة فيجوز). ىت دا اة ال رج يكون ذلك حبضور زلرم أ ز ج أ سيد أن تكون ىناك ا رأة ت اجلها
عليها فين ر اللاىد فراها عند هادتو بز اىا أ دهتا فإن ت مد الن ر ( السادس الن ر لللهادة) .لغت اللهادة فسق ردت هادتو
(j) Materi soal no. 35. Pasal Wanita-wanita Muhrim, hlm. 104.
س ع ) يف ب ض النسخ أرب ة علر (بالنص أربع علرة)أي ارم كا هن ( ار ات: فصل)أ ا ادلخلوقة ن اء زىن خص فـحل لو على (بالنسب ىن اام ن عل ال ن ن س ل
ااصح لكن ع الكراىة سواء ا ادلزين هبا طا عة أ أ ا ادلرأة فال حيل ذلا لدىا ن الزىن ( ال مة) قيقة أ بواسطة خالة ااب أ اام ( اخلالة) قيقة ا أ اب أ ام ( ااخ )
بنات ( بن ااخ ) بنات أ ده ن ذ ر أ ثى ( بن ااخ) قيقة أ بواسطة مة ااب أ دىا ن ذ ر أ ثى
(k) Materi soal no. 36.
Buku Terjemah Fathul Qarib; Pengantar Fiqih Imam Syafi‟i, Bagian Kedua, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 14 - 15, tentang Hukum Nikah.
(l) Materi soal no. 37 s.d. 40. Bab Hukum-hukum Makanan yang Halal dan Selainnya, hlm.
146.
قد عرف .(الك د الطحال) مها (د ان ال ن)لنا (السمك اجلراد ) مها ( لنا يــان ال ن)أ دىا ا يؤ ل فذبيحـو يــو : ن الم ادلصنف ىنا فيما س ق أن احليوان على ثالثة أقسام
.سواء الثاين ا يؤ ل فال حيل بالـذ ية اللرعية الثالث ا حتل يــو السمك اجلراد
6
3. Bentuk Tes
Bentuk tes yang digunakan di lembaga pendidikan dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu tes objektif dan tes non objektif. Objektif
dilihat dari sistem penskorannya, siapa saja yang memeriksa lembar jawaban
tes akan menghasilkan skor yang sama. Tes yang non objektif adalah yang
sistem penskorannya dipengaruhi oleh pemberi skor, atau dipengaruhi oleh
subjektivitas pemberi skor.5
Kemudian pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes,
jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa hasil tes, cakupan
materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan.6
Dengan mempertimbangkan tujuan dari tes memahami kitab fiqh dan
penjabaran indikator pencapaian sebagaimana terdapat dalam kisi-kisi tes,
serta waktu yang tersedia untuk memeriksa hasil tes, peneliti menggunakan
bentuk tes pilihan ganda.
4. Panjang Tes
Panjang tes ditentukan berdasarkan pada cakupan materi ujian dan
kelelahan peserta tes. Tes tertulis ini berbentuk pilihan ganda dengan jumlah
soal 40 butir, dan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan tes ini dibatasi
selama 90 menit.
B. Penulisan Soal Tes
Penulisan soal merupakan langkah menjabarkan indikator menjadi
pertanyaan-pertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan perincian pada kisi-
kisi yang telah dibuat.7
Berdasarkan kisi-kisi tes kemampuan memahami kitab fiqh, maka
rumusan butir-butir soalnya adalah sebagai berikut:
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 1 s.d. 8 berikut ini!
رعا ل عت رم تنا ذلا على اإلطالق الة . النجاسة لغة الليء ادلسـقذرا خـيار ع سهولة الـمييز حلر ـها سـقذارىا لضررىا يف بدن أ عقل
5 Djemari Mardapi, op. cit., hlm. 69 – 70.
6 Ibid., hlm. 91.
7 Ibid., hlm. 93.
7
دخل يف اإلطالق قليل النجاسة ثتىا خرج با خـيار الضر رة فإهنا ت يح تنا ل النجاسة بسهولة الـمييز أ ل الد د ادلي يف انب أ فا هة ضلو ذلك خرج بقولو
. حلر ـها يـة اآلد ي ب دم ا سـقذار ادلت ضلوه
3. Nunnya lafaz عت dari ل عت dibaca ….
a. d}ammah tanwi>n c. fath}ah tanwi>n
b. fath}ah d. kasrah tanwi>n
4. Dalam kalimat النجاسة لغة الليء ادلسـقذر , yang berkedudukan sebagai
predikat atau khabar adalah ….
a. النجاسة c. الليء b. لغة d. ادلسـقذر
5. Dalam memberikan makna gandul untuk فليل النجاسةق , ditulis tanda ف
sebagai simbol dari “opo” yang juga menunjukkan kedudukan (tarkib) kata
itu sebagai ….
a. Fa>’il dan harus dibaca Rafa’ c. Fi’il dan harus dibaca Rafa’
b. Fa>’il dan harus dibaca Nas}ab d. Maf’u>l dan harus dibaca Nas}ab
(Draft butir-butir soal seterusnya sampai dengan nomor 40 telah direvisi dan
dilampirkan di lampiran Instrumen Tes Penelitian Variabel Y)
C. Telaah Soal Tes
Setelah soal tes ditulis kemudian dilakukan telaah atas butir-butir soal tes
untuk perbaikan. Dalam hal ini, pembuat soal meminta kepada Dosen
Pembimbing dan Ustadz Bazro Jamhar Ni‟am (pengampu fan Fath} al-Qari>b di
madrasah diniyyah Al-Itqon) untuk menelaah soal ini, baik dari segi tata bahasa
maupun substansinya. Telaah soal ini bertujuan untuk memperoleh instrumen
yang memiliki validitas logis. Dikatakan validitas logis karena validitas ini
diperoleh dengan suatu usaha hati-hati melalui cara-cara yang benar sehingga
menurut logika akan dicapai suatu tingkat validitas yang dikehendaki.8
8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), Cet. XIII, hlm. 169.
8
D. Uji-coba Tes
Sebelum soal digunakan dalam tes yang sesungguhnya, dilaksanakan uji
coba tes dalam rangka memperbaiki kualitas soal tes, juga sebagai sarana untuk
memperoleh data empirik tentang tingkat kebaikan soal yang telah disusun
(validitas empiris). Uji coba dilaksanakan pada Sabtu, 26 Februari 2011, dengan
jumlah responden 20 orang. Dari uji coba ini di antaranya dapat diketahui
reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran, pola jawaban, efektivitas pengecoh, dan
daya beda dari soal yang telah disusun. Dalam mengolah jawaban uji coba ini
pembuat soal menggunakan program ITEMAN 9 untuk menganalisis butir soal.
E. Analisis Butir Soal
Setelah uji coba dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis butir soal.
Hasil analisis antara lain dapat diketahui tingkat kesukaran butir soal, daya
pembeda, dan efektivitas pengecoh.10
Langkah selanjutnya adalah perbaikan dan perakitan atas butir-butir soal
yang masih belum baik. Butir soal yang baik jika mempunyai daya beda 0,30;
tingkat kesulitan antara 0,30 s.d. 0,80; dan distribusi jawaban minimum 5% pada
pengecoh (distractor). Item soal yang belum memenuhi kriteria tersebut
kemudian dilakukan perbaikan. Soal yang sudah diperbaiki kemudian ditulis
dalam instrumen tes penelitian.
F. Pelaksanaan Tes
Tes dilaksanakan pada Senin, 28 Februari 2011. Seluruh subjek
penelitian dikumpulkan oleh pengurus madrasah untuk mengerjakan tes ini di
kelas masing-masing, yakni dari pukul 20.00 – 21.30 WIB hari Senin malam
Selasa, dengan pengawasan langsung oleh peneliti dan ustadz yang mengajar
pada saat itu.
9 ITEMAN (MicroCAT) dikembangkan oleh Assessment Systems Corporation mulai 1982,
1984, 1986, 1988, 1993; mulai dari versi 2.00 – 3.50. Alamatnya Assessment Systems Corporation,
2233 University Avenue, Suite 400, St Paul, Minesota 55114, United States of America. Program ini
dipergunakan untuk: 1) menganalisis data file (format ASCII) (Notepad) melalui manual entri data
atau dari mesin scanner, 2) menskor dan menganalisis data soal bentuk PG dan skala likert untuk
30.000 siswa dan 250 butir soal, 3) menganalisis tes yang teridiri dari 10 skala (subtes) dan
memberikan informasi tentang validitas butir dan reliabilitas tes. 10
Hasil analisis butir menggunakan ITEMAN terlampir.
9
G. Penskoran
Hasil pengukuran baik melalui tes maupun nontes menghasilkan data
kuantitatif yang berupa skor. Skor ini kemudian ditafsirkan sehingga menjadi
nilai, yaitu rendah, menengah, atau tinggi. Tinggi rendahnya nilai ini selalu
dikaitkan dengan acuan penilaian.11
Dalam hal ini, acuan penilaian yang
digunakan adalah acuan norma. Tes acuan norma berasumsi bahwa kemampuan
orang itu berbeda dan dapat digambarkan menurut distribusi normal, perbedaan
ini ditunjukkan oleh hasil pengukuran.
Instrumen tes ini terdiri dari 40 butir soal pilihan ganda, penilaian yamg
digunakan adalah skala 100, oleh karenanya skor untuk masing-masing item soal
adalah 2,5. Nilai akhir testee didapat dari mengalikan jumlah jawaban betul
dengan skor item soal (2,5).
Demikian penjelasan tentang teknik pengumpulan data untuk variabel Y atau
kemampuan memahami kitab fiqh.
Demak, 20 Februari 2011
Penyusun,
Muhammad Aufa
NIM: 073111477
11
Djemari Mardapi, op. cit., hlm. 127.
10
ITEM & TEST ANALYSIS PROGRAM
>>> ************************************************************** <<<
Item analysis for data from file Ujicoba.txt
Item Statistics Alternative Statistics
----------------------- -----------------------------------
Seq. Scale Prop. Point Prop. Point
No. -Item Correct Biser. Biser. Alt. Endorsing Biser. Biser. Key
---- ----- ------- ------ ------ ----- --------- ------ ------ ---
1 0-1 0.900 0.358 0.209 A 0.050 -0.033 -0.015
B 0.050 -0.576 -0.272
C 0.000 -9.000 -9.000
D 0.900 0.358 0.209 *
Other 0.000 -9.000 -9.000
2 0-2 0.750 0.723 0.531 A 0.000 -9.000 -9.000
B 0.150 -0.668 -0.436
C 0.750 0.723 0.531 *
D 0.100 -0.421 -0.247
Other 0.000 -9.000 -9.000
3 0-3 0.950 0.033 0.015 A 0.950 0.033 0.015 *
B 0.000 -9.000 -9.000
C 0.050 -0.033 -0.015
D 0.000 -9.000 -9.000
Other 0.000 -9.000 -9.000
4 0-4 0.900 0.677 0.396 A 0.900 0.677 0.396 *
B 0.000 -9.000 -9.000
C 0.050 -0.576 -0.272
D 0.050 -0.576 -0.272
Other 0.000 -9.000 -9.000
5 0-5 0.400 0.801 0.631 A 0.600 -0.801 -0.631
B 0.400 0.801 0.631 *
C 0.000 -9.000 -9.000
D 0.000 -9.000 -9.000
Other 0.000 -9.000 -9.000
6 0-6 0.350 -0.003 -0.002 A 0.300 0.200 0.152 ?
B 0.350 -0.003 -0.002 *
CHECK THE KEY C 0.000 -9.000 -9.000
B was specified, A works better D 0.350 -0.185 -0.143
Other 0.000 -9.000 -9.000
TK=Tingkat Kesulitan; Tingkat
Pencapaian (Proportion Correct)
DB=Daya Beda
Distribusi Jawaban
Kunci Jawaban
Lampiran : Hasil analisis butir soal dengan ITEMAN
11
7 0-7 0.250 -0.441 -0.323 A 0.300 -0.155 -0.117
B 0.200 0.192 0.134
CHECK THE KEY C 0.250 -0.441 -0.323 *
C was specified, D works better D 0.250 0.441 0.323 ?
Other 0.000 -9.000 -9.000
8 0-8 0.800 0.408 0.286 A 0.000 -9.000 -9.000
B 0.200 -0.408 -0.286
C 0.800 0.408 0.286 *
D 0.000 -9.000 -9.000
Other 0.000 -9.000 -9.000
(Hasil analisis butir soal dengan ITEMAN nomor soal seterusnya, yaitu nomor soal 9 s/d
38 sengaja dihilangkan untuk efisiensi halaman, rangkuman telaah hasil analisis butir tes
ada di bagian akhir lampiran ini).
39 0-39 0.450 0.518 0.412 A 0.250 -0.194 -0.142
B 0.100 -0.421 -0.247
C 0.200 -0.248 -0.174
D 0.450 0.518 0.412 *
Other 0.000 -9.000 -9.000
40 0-40 0.650 0.487 0.378 A 0.100 -0.613 -0.359
B 0.050 0.293 0.139
C 0.650 0.487 0.378 *
D 0.150 -0.235 -0.154
Other 0.050 -0.467 -0.221
There were 20 examinees in the data file.
Scale Statistics
Scale: 0
N of Items 40
N of Examinees 20
Mean 27.300 Median 27.000
Variance 19.910 Alpha 0.688
Std. Dev. 4.462 SEM 2.491
Skew 0.146 Mean P 0.683
Kurtosis -0.845 Mean Item-Tot. 0.277
Minimum 19.000 Mean Biserial 0.412
Maximum 35.000
Dari tabel tersebut memberikan gambaran statistik sebagai berikut :
a. N of item = 40
Artinya bahwa jumlah butir soal dalam tes yang dianalisa ada 40 butir
12
b. N of examinees = 20
Adalah jumlah peserta tes yang digunakan dalam analisis sebanyak 20 orang, artinya
seluruh peserta dapat dianalisa.
c. Mean = 27,300
Skor rata-rata dari peserta tes tersebut adalah 27,300
d. Variance = 19,910
Adalah variasi dari distribusi skor peserta tes yang memberikan gambaran tentang
sebaran skor peserta tes yakni sebesar 19,910
e. Std. Dev. = 4,462
Adalah deviasi standar dari distribusi skor peserta tes = 4,462 (merupakan akar dari
variance)
f. Skew = 0,146
Adalah kemiringan distribusi skor peserta tes yang memberikan gambaran tentang
bentuk distribusi skor peserta tes. Karena + (positif) maka menunjukkan bahwa
sebagian skor berada pada bagian bawah skor rata-rata dari distribusi skor
g. Kurtosis = - 0,845
Artinya bahwa puncak distribusi skor yang menggambarkan kelandaian distribusi
skor dibanding dengan distribusi normal. Karena negatif (-) menunjukkan bahwa
distribusi skor lebih landai (merata) dari distribusi normal.
h. Minimum = 19,000
Adalah skor terendah yang diperoleh peserta tes sebesar 19
i. Maximum = 35,00
Adalah skor tertinggi yang diperoleh peserta tes sebesar 35
j. Median = 27,00
Adalah skor tengah hasil tes, dimana 50% skor berada pada atau lebih rendah dari
skor tersebut
k. Alpha = 0,688
Adalah koefisien reliabilitas alpha yang merupakan homogenitas tes.
Harga koefisien alpha ini jika dikonsultasikan dengan tabel r Product-Moment
dengan jumlah N=20, yakni untuk rt(5%) = 0,444 dan rt(1%) = 0,561 12
ternyata lebih
besar (0,688 > 0,444 juga 0,688 > 0,561). Hal ini menunjukkan bahwa soal tes ini
reliabel.
l. SEM = 2,491
Adalah kesalahan pengukuran standar. SEM merupakan estimit dari deviasi standar
kesalahan dalam pengukuran skor tes.
m. Mean P = 0,683
Yakni rata-rata tingkat kesukaran semua butir soal. Dalam klasikal dihitung dengan
cara mencari rata-rata proporsi peserrta tes yang menjawab benar untuk semua butir
soal dalam tes.
n. Mean Item-Tot. = 0,277
Adalah nilai rata-rata indeks daya beda dari semua soal dalam tes, yang diperoleh
dengan menghitung nilai rata-rata point biserial dari semua soal dalam tes.
o. Mean-Biserial = 0,412
Adalah juga nilai rata-rata indeks daya beda yang diperoleh dengan mengitung nilai
rata-rata korelasi biserial dari semua butir soal dalam tes.
12
Lihat tabel harga kritik dari r Product-Moment di: Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 359.
13
TELAAH HASIL ANALISIS BUTIR TES
Variabel Y: Kemampuan Memahami Kitab Fiqh
Dari hasil analisis butir soal program ITEMAN terhadap hasil jawaban uji coba pada
20 responden tanggal 26 Februari 2011, kriteria per item butir soalnya dapat dilihat
dalam tabel berikut:
No
Item
Daya beda
0,30
Tingkat Kesulitan
0,30 s.d. 0,80
Distribusi Jawaban
Minimum 5% pada
Pengecoh
1 X
2
3 X X
4 X
5
6 X
7 X X
8
9
10 X
11 X
12
13 X
14 X
15
16 X
17 X
18 X
19
20
21 X
22 X
23 X
24
14
No
Item
Daya beda
0,30
Tingkat Kesulitan
0,30 s.d. 0,80
Distribusi Jawaban
Minimum 5% pada
Pengecoh
25 X
26
27 X
28 X X
29
30 X
31
32 X
33 X X
34
35
36 X
37 X
38 X
39
40
Keterangan:
Perbaikan item soal berdasarkan tanda X pada kolom.
INSTRUMEN PENELITIAN
TES PERFORMA DENGAN LISAN
A. Pengantar
1. Instrumen tes ini dibuat dalam rangka mengadakan penelitian untuk
mendapatkan data yang valid berkaitan dengan penulisan skripsi kami.
2. Instrumen ini berupa LEMBAR PENILAIAN tes tingkat hafalan nazam
Alfiyyah yang diberikan kepada penguji.
3. Materi hafalan dalam tes ini ditentukan sebanyak 400 nazam.
4. Pengisian tes tidak akan berpengaruh terhadap prestasi belajar santri dan
hasil hafalan santri akan terjaga kerahasiaannya.
5. Atas bantuannya kami mengucapkan banyak terima kasih.
B. Petunjuk Pengisian
1. Kolom “Jumlah Nazam yang Dihafal” (kolom 3) diisi dengan angka jumlah
capaian hafalan santri.
2. Isilah pada kolom-kolom “Turus” yaitu kolom “Kurang” (kolom 4), “Cukup”
(kolom 5), “Baik” (kolom 6) dengan batang-batang turus yang menunjukkan
jumlah nazam yang diucapkan sesuai kategori performanya! Contoh tanda turus:
= 23
3. Untuk kategori “Baik Sekali” diisi dengan angka, yang didapat dari angka
pada kolom 3 (Jumlah Nazam yang Dihafal) dikurangi jumlah keseluruhan
dari kolom 4, kolom 5, dan kolom 6 (Kategori “Kurang”, “Cukup”, dan
“Baik”).
4. Adapun kriteria performa hafalan nazam Alfiyyah berdasarkan kategorinya
adalah sebagai berikut:
a. Kategori Baik Sekali (A)
Jika pengucapan hafalan nazamnya: a) secara lancar, dalam arti tidak
dituntun/diingatkan; b) benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok
pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
b. Kategori Baik (B)
Jika pengucapan hafalan nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti
dituntun/diingatkan; b) benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c) cocok
pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
c. Kategori Cukup (C)
Jika pengucapan hafalan nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti
dituntun/diingatkan; b) tidak benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c)
cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
d. Kategori Kurang (D)
Jika pengucapan hafalan nazamnya: a) secara tidak lancar, dalam arti
dituntun/diingatkan; b) tidak benar bunyi huruf dan harakatnya; dan c)
tidak cocok pasangan sat}r (baris) dalam setiap nazamnya.
Lampiran 9 : Instrumen penelitian tes performa dengan lisan.
2
LEMBAR PENILAIAN
TES TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
Kelas : 1 Tsanawiyyah Madrasah Diniyyah Al-Itqon
Hari/Tanggal Tes : Senin, 4 Rabi‟ul Awwal 1432 H / 7 Februari 2011 M
Penguji : Ustadz Muhammad Muhsin
Jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah 400 (empat ratus) nazam.
No Nama
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performanya
Turus Baik
Sekali (Skor 1)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
1 2 3 4 5 6 7
1 ABDUL KHAMID
2 ABDUSSOMAD
3 AFIF NUR ROSYID
4 KISWANTO
5 ARSYADANAL HAQ
6 ERI NUR ERVIAN
7 FATHUL MU‟IN
8 IMAMUDDIN
9 KHOIRUL UMAM
10 LUTFIL HUDA
11 M. FAISOL AMIN
3
No Nama
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performanya
Turus Baik
Sekali (Skor 1)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
1 2 3 4 5 6 7
12 M. FARID
CHANIFUDDIN
13 M. IQBAL ROSYID
14 M. NASRUDDIN
15 M. NUR HUDA
16 M. TAUFIQ
17 MUSTHOFA
18 NURUL ULUM
19 RIYAN ARI HIDAYAT
20 SAMSUL ARIFIN
Keterangan:
- Kolom 4 – 6, diisi dengan tanda turus dan jumlah akhirnya, misalnya:
= 23.
- Kolom 7 didapatkan dari jumlah nazam yang dihafal (kolom 3) dikurangi
jumlah nazam yang “kurang”, “cukup”, dan “baik” (jumlah kolom 4, 5, dan 6).
Semarang, 7 Februari 2011
Penguji,
Muhammad Muhsin
4
LEMBAR PENILAIAN
TES TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
Kelas : 2 Tsanawiyyah Madrasah Diniyyah Al-Itqon
Hari/Tanggal Tes : Selasa, 5 Rabi‟ul Awwal 1432 H / 8 Februari 2011 M
Penguji : Ustadz Ahmad Tahrir Al-Hafiz
Jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah 400 (empat ratus) nazam.
No Nama
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performanya
Turus Baik
Sekali (Skor 1)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
1 2 3 4 5 6 7
1 M. ABDUL LATIF
2 ARDI NUGROHO
3 ARIF WIDODO
4 M. IN'AMUL WAFI
5 SOFHAL JAMIL
6 A. SHOLEKHAN
7 ALAMUL HUDA
8 KHOIRUL ULUM
9 M. ARI SETIAWAN
10 MOCHAMMAD NUR
KHOLIS
11 M. SHODIQ
5
No Nama
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performanya
Turus Baik
Sekali (Skor 1)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
1 2 3 4 5 6 7
12 MUHAMMAD
SARIFUDIN GHOZALI
13 MUHAMMAD TARIF
AZIZ
14 SUHARTONO
15 TAJUDIN BAHAR
Keterangan:
- Kolom 4 – 6, diisi dengan tanda turus dan jumlah akhirnya, misalnya:
= 23.
- Kolom 7 didapatkan dari jumlah nazam yang dihafal (kolom 3) dikurangi
jumlah nazam yang “kurang”, “cukup”, dan “baik” (jumlah kolom 4, 5, dan 6).
Semarang, 8 Februari 2011
Penguji,
Ahmad Tahrir Al-Hafiz
6
LEMBAR PENILAIAN
TES TINGKAT HAFALAN NAZAM ALFIYYAH
Kelas : 3 Tsanawiyyah Madrasah Diniyyah Al-Itqon
Hari/Tanggal Tes : Rabu, 6 Rabi‟ul Awwal 1432 H / 9 Februari 2011 M
Penguji : Ustadz A. Basyaruddin Miftah
Jumlah nazam yang harus dihafalkan adalah 400 (empat ratus) nazam.
No Nama
Subjek
Jumlah
Nazam
yang
Dihafal
Jumlah Nazam Menurut Kategori Performanya
Turus Baik
Sekali (Skor 1)
Kurang (Skor 0,25)
Cukup (Skor 0, 5)
Baik (Skor 0,75)
1 2 3 4 5 6 7
1 A. JUNAIDI
2 A. MU'TASIM
3 A. SIDIQ
4 AGUS ULIL ABSHOR
5 MIFATHUZZAMAN
6 NUR FAIZIN
7 NURUL IRFAN
8 M. TAMAMI
9 WAFAUL FALAH
Semarang, 9 Februari 2011
Penguji,
A. Basyaruddin Miftah
INSTRUMEN TES PENELITIAN
A. Pengantar
1. Instrumen tes ini dibuat dalam rangka mengadakan penelitian untuk
mendapatkan data yang valid berkaitan dengan penulisan skripsi kami.
2. Pengisian tes tidak akan berpengaruh terhadap prestasi belajar Anda dan
hasil jawaban Anda akan terjaga kerahasiaannya.
3. Atas bantuannya kami mengucapkan banyak terima kasih.
B. Petunjuk Pengisian
1. Pilihlah salah satu jawaban yang tersedia yang paling tepat menurut Anda
dengan cara memberi tanda silang (X) pada salah satu huruf a, b, c, atau d di
lembar jawaban yang disediakan!
2. Isilah identitas diri Anda!
Nama : ……………………………………………………
3. Waktu pengisian tes adalah 90 menit.
C. Daftar Pertanyaan
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 1 s.d. 8 berikut ini!
رعا ل عت رم تنا ذلا على اإلطالق الة . النجاسة لغة الليء ادلسـقذرا خـيار ع سهولة الـمييز حلر ـها سـقذارىا لضررىا يف بدن أ عقل دخل يف اإلطالق قليل النجاسة ثتىا خرج با خـيار الضر رة فإهنا ت يح تنا ل
النجاسة بسهولة الـمييز أ ل الد د ادلي يف انب أ فا هة ضلو ذلك خرج بقولو . حلر ـها يـة اآلد ي ب دم ا سـقذار ادلت ضلوه
1. Nunnya lafaz عت dari ل عت dibaca ….
a. d}ammah tanwi>n c. kasrah
b. fath}ah d. kasrah tanwi>n
2. Dalam kalimat النجاسة لغة الليء ادلسـقذر , yang berkedudukan sebagai
predikat atau khabar adalah ….
a. لغة الليئ c. الليء b. لغة d. ادلسـقذر
Lampiran 10 : Instrumen tes penelitian Variabel Y.
2
3. Dalam memberikan makna gandul untuk فليل النجاسةق , ditulis tanda ف
sebagai simbol dari “opo” yang juga menunjukkan kedudukan (tarkib) kata
itu sebagai ….
a. Fa>’il dan harus dibaca Rafa’
b. Na>’ib al-fa>’il dan harus dibaca Rafa’ c. Fi’l dan harus dibaca Rafa’ d. Fa>’il ‘A>qil dan harus dibaca Rafa’
4. Najis secara bahasa berarti ….
a. sesuatu yang menjijikkan c. sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur
b. kotoran-kotoran d. kotoran yang membatalkan sholat
5. Kata ت يح dalam kalimat فإهنا ت يح تنا ل النجاسة , bentuk fi’l mad}i-nya adalah
….
a. باح c. بـيح أ
b. أباح d. بـيح 6. Arti yang tepat untuk kata المســقذر yang mengikuti wazan ســ ل adalah
….
a. yang kotor c. yang dianggap bahaya
b. yang dianggap kotor d. merasa jijik
.… terjemahannya yang benar adalah يـة اآلد ي" حلر ـها" خرج بقولو .7
a. disimpulkan dengan ucapannya “bukan karena segi haramnya” mencakup
mayat manusia
b. ucapannya “bukan karena segi haramnya” mengeluarkan mayat bayi Adam
c. dengan ucapannya “bukan karena segi haramnya” terkecualikan mayat
manusia
d. dengan ucapannya “bukan karena segi kemuliaannya” dikecualikanlah
bani Adam
8. Berdasarkan teks di atas, berikut ini pernyataan yang benar adalah ….
a. Menyantap buah yang di dalamnya terdapat bangkai ulat namun tidak
terlihat hukumnya makruh
b. Najis menurut pengertian syara‟ adalah sesuatu yang menjijikkan
c. Diperbolehkan memakan bangkai yang najis dalam keadaan terpaksa
d. Air mani dianggap benda suci, walaupun sebenarnya najis karena
menjijikkan
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 9 s.d. 12 berikut ini!
ي ية غسل النجاسة ن ا لاىدة بال ت ىي ادلسماة بال ينية تكون بز ال ط م النجاسة ضر أ بقي لون أ ريح فإن ط م أ عينها زلا لة ز ال أ صافها ن
3
لون أ ريح عسر ز الو مل يضر ن ا النجاسة غت لاىدة ىي ادلسماة . لو رة ا دة هبا ادلـنجس على ادلاء اري باحلكمية فيك ي
9. Lantai keramik Amir terkena air kencing adiknya yang baru berumur 3 tahun,
namun air kencing itu telah kering tanpa bekas dan bau setelah ditinggal pergi
oleh Amir beberapa jam. Cara paling sederhana untuk menyucikan lantai itu
adalah ….
a. lantai itu dipel kemudian dialiri dengan air mutlak sebanyak satu kali
b. cukup dipercikkan air mutlak pada lantai yang terkena air kencing itu
c. dihilangkan dahulu benda najisnya baru dialiri dengan air mutlak
d. cukup dialiri satu kali dengan air mutlak pada lantai yang terkena najis
10. Pakaian yang terkena darah, setelah dicuci beberapa kali ternyata warna
darahnya masih membekas. Maka hukum sholat dengan memakai pakaian itu
adalah ….
a. sah, karena warna darah yang masih melekat itu termasuk najis yang
bersifat baru
b. tidak sah, karena masih adanya bekas warna darah menunjukkan bahwa
pakaian itu masih mutanajjis
c. sah, karena bekas warna najis yang sulit dilenyapkan itu tidak mengapa
dan pakaian itu dinilai sudah suci
d. tidak sah, karena jika bekas najis itu sulit dilenyapkan harus disucikan
dulu sampai benar-benar hilang warna, rasa, dan baunya
11. Dari teks di atas dapat diketahui bahwa najis yang terlihat bentuk atau
bendanya disebut najis ….
a. mutawassit}ah c. ‘ainiyyah
b. mughallaz}ah d. h}ukmiyyah
12. Dalam kalimat ن ا النجاسة غت لاىدة , yang menjadi اسم ان adalah
kata … dan dii‟rabi ….
a. رفع ,النجاسة c. رفع ,غت لاىدة
b. صب ,النجاسة d. صب ,غت لاىدة
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 13 s.d. 20 berikut ini!
رعا ما قال الراف ي أقوال أف ال ىي لغة الدعاء ﴾ كتاب أحكام الصالة ﴿ يف ب ض النسخ ( الصالة ادل ر ضة) ــحة بالـك ت سلــمة بالـسليم بلرائط سلصوصة
جيب ل نها بأ ل الوق اوبا وس ا ىل أن ي قى ن (مخس)الصلوات ادل ر ضات ي بذلك اهنا : قال النو ي. أي صالتو (ال هر) الوق ا يس ها فيضيق ين ذ
عن سط السماء بالن ر (اللمس)أي يل ( أ ل قـها ز ال)ظاىرة سط النهار
4
لن س اا ر بل دلا ي هر لنا ي رف ذلك ادليل بـحول ال ل ىل اهة ادللرق ب د تناىي ذا صار ظل ل يء )أي ق ال هر ( آخره)قصره الذي ىو غاية ارت اع اللمس
. ال ل لغة الست تقول أ ا يف ظل فالن أي سته( ظل الز ال)أي غت ( ثلو ب د13. Lafaz الصالة dari مخس الصالة ادل ر ضة menjadi Subjek dan dibaca …
dengan ‘ala>mah (tanda) i’ra>b ….
a. Rafa’, d}ammah c. Ma’rifah, alif la>m
b. Nas}ab, fath}ah d. Jarr, kasrah
14. Dalam kalimat اوبا وس ا مط جيب ل نها بأ ل الوق , simbol makna ط menunjukkan kedudukan kata itu sebagai … dan bunyi makna gandulnya ….
a. Maf’u>l ma’ah, “sartane” c. Maf’u>l mut}laq, “kelawan”
b. Maf’u>l bih, “ing” d. Maf’u>l li ajlih, “kerana arahe”
15. Arti yang sama untuk kata ز ال adalah ….
a. condongnya c. terbenamnya
b. hilangnya d. terbitnya
16. Kata ــحة dalam kalimat أقوال أف ال ــحة بالـك ت , bentuknya adalah ….
a. اسم فاعل c. اسم كان b. صدر يمي d. اسم ول
artinya “yang diluaskan/dilapangkan”, sedangkan kata yang tepat untuk وسال ا .17
arti “yang luas” adalah ….
a. وسوعة c. تـوسيع b. اس ة d. سالع
terjemahan yang , أقوال أف ال ــحة بالـك ت سلــمة بالـسليم بلرائط سلصوصة .18
benar adalah ….
a. Ritual-ritual dan bacaan-bacaan yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam dengan syarat-syarat tertentu
b. Ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu
c. Ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang membuka pahala besar
(takbi>r) dan menyebabkan keselamatan (tasli>m) dengan cara-cara tertentu
d. Kalimat-kalimat dzikir dan serangkaian ritual yang diawali dengan
Allahu Akbar dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu
ظل الز ال ذا صار ظل ل يء ثلو ب د .19 , maksudnya adalah ….
a. Ketika bayang-bayang suatu benda sepadan bendanya (sama dengan
bendanya) bukan bayang-bayang ketika matahari tergelincir (ke barat)
b. Ketika bayang-bayang suatu benda lebih panjang daripada bendanya
bukan bayang-bayang ketika matahari tergelincir (ke barat)
5
c. Ketika bayang-bayang suatu benda hampir sama dengan bendanya bukan
bayang-bayang ketika matahari tergelincir (ke barat)
d. Ketika bayang-bayang suatu benda sepadan bendanya (sama dengan
bendanya) bukan bayang-bayang ketika matahari terbit (dari timur)
20. Sesuai jadwal waktu sholat pada hari itu waktu Ashar dimulai jam 15.05
WIB, jam menunjukkan pukul 14.55 WIB padahal Ali Baba belum
melakukan sholat Dzuhur, maka kewajiban sholat Dzuhur bagi Ali Baba pada
waktu itu merupakan kewajiban yang bersifat ….
a. وسال ة c. راىة
b. ضيـالقة d. فـرض عت 21. Azka Fua‟dy sedang menjalankan ibadah sholat, ketika raka‟at kedua adiknya
yang masih kecil menarik sarung yang dipakainya sehingga auratnya terbuka,
namun buru-buru Azka menutupi auratnya kembali. Sholat Azka hukumnya
….
a. batal c. sah tetapi wajib mengulang sholatnya
b. sah d. sah tetapi disunnahkan sujud sahwi
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 22 s.d. 26 berikut ini!
الذين ذ رىم ا ت اىل يف ـابو ال زيز يف تدفع الز اة ىل ااصناف الثما ية: (فصل) ﴿قولو ت اىل
﴾ (60: اآلية: سورة الـوبة) اخل ىوظاىر غت عن اللرح رفة ااصناف ادلذ ورة فال قت يف الز اة ىو الذي ال لو سب يقع وق ا ن ااـو أ ا فقت ال رايا فهو ن قد بيده ادلسكت ن
من حيـاج ىل قدر على ال أ سب يقع ل نهما وق ا ن ايـو يك يو .علرة دراىم عنده س ة
22. Perbedaan orang fakir dan orang miskin adalah ….
a. keduanya sama-sama mempunyai pekerjaan, namun pekerjaan orang
fakir tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, sedangkan si miskin
dapat mencukupinya
b. Orang miskin tidak mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, sedangkan orang fakir mempunyai pekerjaan namun tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Orang miskin mempunyai beban keluarga yang cukup banyak, sedangkan
fakir walaupun tidak dapat memenuhi kebutuhannya namun tidak
terbebani keluarga
6
d. Orang fakir tidak mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya,
sedangkan orang miskin mempunyai pekerjaan namun tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
23. Yang bukan termasuk mustah}iq al-zaka>h adalah ….
a. Orang yang diberi tugas untuk menarik dan menyalurkan zakat
b. Orang yang baru masuk Islam, yang imannya masih lemah
c. Orang yang berjuang di jalan Allah, yang tidak digaji setiap bulannya
d. Orang yang bepergian jauh untuk menghindari tanggung jawabnya
24. Arti dalam surat At-Taubah ayat 60 adalah ….
a. sedekah-sedekah c. zakat-zakat
b. infaq-infaq d. sumbangan wajib
25. Kata الز اة dalam kalimat تدفع الز اة ىل ااصناف الثما ية , dibaca ….
a. d}ammah menjadi fa>’il c. fath}ah menjadi maf’u>l bih
b. d}ammah menjadi na>’ib al-fa>’il d. kasrah menjadi mud}a>f ilaih
26. Kata أصناف adalah bentuk jamak dari kata tunggal ….
a. صنف c. صنف b. صنالف d. ف صن
Jika suatu saat . فإن فقد ا لهم الز اة ىت يواد ا لهم أ ب ضهم .27
ternyata tidak ditemukan satu pun dari mustah}iq al-zaka>h, maka zakat itu ….
a. digunakan untuk membangun fasilitas umum
b. diberikan semuanya kepada ‘a>mil zakat
c. dikembangkan dengan cara digunakan sebagai modal usaha untuk umat
d. dijaga/disimpan oleh yang berwenang sampai ditemukan mustah}iqnya
بت ضاء ال يع فسخو ( ادلـ اي ان باخليار) .28 Yang dimaksud dengan hak khiya>r
adalah ….
a. hak calon suami dan calon isteri untuk memilih di antara melangsungkan
akad nikah atau menggagalkannya
b. hak penjual dan pembeli untuk memilih harga yang cocok ketika tawar
menawar dalam akad jual beli
c. hak perempuan untuk tidak dipaksa menikah, atau hak perempuan untuk
memilih di antara menikah atau tidak
d. hak penjual dan pembeli untuk memilih di antara melangsungkan jual
beli atau menggagalkannya
ينقطع خيار اجمللس ا بـ رق ادلـ اي ت ب دهنما عن رللس ال قد أ بأن خيـار .29 ادلـ اي ان لز م ال قد فلو اخـار أ دمها لز م ال قد مل خيت اآلخر فورا سقط قو
ن اخليار بقي احلق لآلخر
Dari teks di atas dapat diketahui bahwa hak khiyar majlis menjadi gugur
karena sebab-sebab berikut, kecuali ….
7
a. penjual memberi waktu khiyar selama tiga hari kepada pembeli
b. penjual dan pembeli telah berpisah dari tempat akad
c. penjual telah menetapkan untuk melangsungkan akad jual-beli
d. pembeli telah menetapkan untuk melangsungkan akad jual-beli
Pernyataan yang benar terkait dengan ; ىل ثالثة أيام اخليارمفأن يلتطا مذلماخ .30
simbol-simbol makna gandul dalam kalimat itu adalah ….
a. Lafaz ذلما menjadi khabar dari mubtada’ yang dibuang
b. Lafaz أن يلتطا menjadi mubtada' mu'akhkhar
c. Lafaz اخليار dibaca dlammah karena menjadi maf’ūl bih
d. Lafaz أن يلتطا dibaca nas}ab karena diawali أن lit-ta’ki>d
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 31 dan 32 berikut ini!
يف ـاب ا ت اىل ) يف ب ض النسخ ال ر ض ادلذ ورة ( ال ر ض ادلقدرة): (فصل)النصف الربع ) السـة ىي . يزاد عليها ينقص نها ل ارض ال ول (سـة
.( الثمن الثلثان الثلث السدس31. Yang tidak termasuk furu>d} al-muqaddarah (bagian-bagian yang ditentukan)
dalam warisan adalah ….
a. 1/6 c.
2/3
b. 1/2 d.
3/4
32. Disebutkan dalam teks di atas bahwa furu>d} al-muqaddarah yang disebutkan
dalam Kitab Allah ada 6 (enam), tiada tambahan maupun pengurangan.
Kemudian setelahnya ditulis ل ارض ال ول , terjemahan untuk kalimat
tersebut adalah ….
a. kecuali karena ada masalah baru (yang menghalangi) seperti untuk
kebutuhan haul
b. kecuali karena ada orang yang baru muncul misalnya banyaknya jumlah
keluarga
c. kecuali karena ada masalah baru (yang menghalangi) misalnya
kekacauan keluarga
d. kecuali karena ada masalah baru (yang menghalangi) misalnya wasiat
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 33 dan 34 berikut ini!
ىل ادلواضع اليت حيـاج ) ر الط يب ن ااان ية ( اخلا س الن ر للمدا اة فيجوز)يف ادلدا اة ىت دا اة ال رج يكون ذلك حبضور زلرم أ ز ج أ سيد أن ( ليها
8
عليها فين ر اللاىد فراها عند ( السادس الن ر لللهادة)تكون ىناك ا رأة ت اجلها . هادتو بز اىا أ دهتا فإن ت مد الن ر لغت اللهادة فسق ردت هادتو
33. Dalam persidangan masalah zina, seorang saksi ahli menyatakan bahwa ia
dapat membedakan perempuan yang masih perawan atau tidak dengan cara
memeriksa farji perempuan itu. Jika saksi itu laki-laki, bagaimana hukumnya
melihat farji perempuan ini?
a. Sunnah c. Haram
b. Boleh d. Makruh
34. Mbok Darmi (50 tahun) terkena penyakit kanker rahim, putranya kemudian
mencari dokter spesialis wanita untuk mengobati penyakit ibunya, namun
tidak dijumpai. Dokter yang ada adalah laki-laki, padahal untuk
mengobatinya si dokter harus melihat kemaluan Mbok Darmi. Bagaimana
hukum dokter yang laki-laki itu melihat kemaluan wanita?
a. Boleh, karena Mbok Darmi sudah tua dan tidak dikhawatirkan
mengundang syahwat, sehingga dihukumi seperti anak kecil.
b. Boleh, dengan syarat waktu pemeriksaan dihadiri oleh muhrim atau
suami wanita itu.
c. Tidak boleh, karena melihat aurat ajanabiyyah hukumnya haram.
d. Tidak boleh, karena si dokter dapat memerintahkan asisten wanitanya
untuk memeriksa.
35. Berikut adalah wanita-wanita yang haram dinikahi karena faktor nasab,
kecuali ….
a. Ibu mertua c. Saudara perempuan seayah
b. Nenek dari jalur ibu d. Ibu
36. Syamson seorang laki-laki yang dorongan nafsu birahinya terlalu kuat, dan
dirinya sadar bahwa pertahanan dirinya untuk menghindari perbuatan keji
(berzina) begitu lemah, seandainya dia tidak segera menikah dikhawatirkan
akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan, namun persiapan biaya dan
lain-lain dalam perkawinan jauh dari sempurna tetapi masih cukup.
Bagaimana hukum menikah bagi orang seperti Syamson ini?
a. Sunnah c. Wajib puasa
b. Wajib d. Sunnah puasa
Perhatikan teks yang menjadi materi soal no. 37 s.d. 40 berikut ini!
الك د ) مها (د ان ال ن)لنا (السمك اجلراد ) مها ( لنا يــان ال ن): قد عرف ن الم ادلصنف ىنا فيما س ق أن احليوان على ثالثة أقسام.( الطحال
أ دىا ا يؤ ل فذبيحـو يــو سواء الثاين ا يؤ ل فال حيل بالـذ ية اللرعية . الثالث ا حتل يــو السمك اجلراد
9
Lafaz ; قد عرف ن الم ادلصنف ىنا فيما س ق أن احليوان على ثالثة أقسام .37
-Yang menjadi na>’ib al .(kata kerja pasif) ت رلهول dibentuk menjadi عرف
fa>’il dalam kalimat itu adalah ….
a. الم ادلصنف c. أن احليوان على ثالثة أقسام b. ن d. ثالثة أقسام
makna gandulnya berbunyi: “lan temen-temen dikaweruhi”, dari قد عرف .38
makna itu dapat diketahui bahwa fungsi kata قد adalah ….
a. للـكثت c. للـقليل b. للزيادة d. للـأ يد
39. Artian yang tepat dari kata الـذ ية adalah ….
a. menyembelih c. sembelihan
b. alat menyembelih d. penyembelihan
40. Yang bukan merupakan kandungan teks di atas adalah ….
a. Bangkai ikan dan belalang hukumnya halal dimakan
b. Ada darah yang halal dimakan yaitu hati dan limpa
c. Berkurban hukumnya sunnah mu‟akkadah
d. Hewan-hewan terbagi menjadi 3 bagian
PEDOMAN WAWANCARA
A. Kepala Madrasah sebagai Interviewee.
Tujuan: Menggali informasi tentang penerapan metode hafalan dan kurikulum.
Pedoman wawancara:
1. Di madrasah ini metode hafalan diterapkan pada fan (mata pelajaran) apa
saja?
2. Sebagaimana termuat dalam aturan umum madrasah ini, hampir di semua
kelas, fan nahwu yang berbentuk nazam menjadi materi yang harus
dihafalkan. Sebenarnya tujuan pembelajaran apa yang hendak dicapai?
3. Tercapai tidaknya tujuan pembelajaran di antaranya dapat diketahui dengan
menggunakan evaluasi. Bagaimana evaluasi atau penilaian hafalan nazam
nahwu ini sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan tercapai?
4. Kurikulum yang ditetapkan terdiri dari beberapa mata pelajaran, apakah
antara mapel satu dengan yang lain mempunyai hubungan? Mohon
dijelaskan?
B. Ustaz Pengampu Alfiyyah sebagai Interviewee.
Tujuan: Menggali informasi tentang penerapan pembelajaran Alfiyyah.
Pedoman wawancara:
1. Bagaimana Ustadz melaksanakan pembelajaran Alfiyyah?
2. Seperti yang saya ketahui, santri diharuskan menghafalkan nazam-nazam
Alfiyyah. Tujuannya untuk apa, mengingat pemahaman sepertinya lebih
penting dari pada hafalan?
3. Untuk mengetahui tujuan itu tercapai, bagaimana evaluasi yang Ustadz
lakukan?
4. Adakah santri yang tidak dapat memenuhi atau melaksanakan evaluasi itu?
Jika ada, bagaimana tindak lanjutnya?
C. Santri sebagai Interviewee.
1. Santri yang tingkat hafalan Alfiyyah tergolong baik, namun hasil kemampuan
memahami fiqh kurang baik.
Lampiran 11 : Pedoman Wawancara dan Rekap Hasil Wawancara ke-1 sampai
dengan ke-4.
2
Tujuan: Menggali informasi tentang hal-hal spesifik yang menjadi faktor
penyebab tingkat hafalan Alfiyyah tergolong baik, namun hasil
kemampuan memahami fiqh kurang baik.
Pedoman wawancara:
a. Fiqh di madrasah ini menggunakan referensi kitab kuning, yang dalam
tradisi pesantren biasanya diajarkan dengan makna gandul terlebih dahulu
baru dijelaskan isinya. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembelajaran
fiqh di madrasah ini sesuai dengan yang Anda alami?
b. Apakah anda dalam memahami kitab fiqh terbantu dengan teknik makna
gandul ? Kenapa demikian?
c. Hasil hafalan nazam Alfiyyah Anda tergolong baik, apakah hasil ini
menunjukkan bahwa penguasaan Anda terhadap ilmu nahwu juga baik,
sehingga mudah memahami kitab fiqh? Kenapa demikian?
2. Santri yang tingkat hafalan Alfiyyah tergolong kurang baik, namun hasil
kemampuan memahami fiqh baik.
Tujuan: Menggali informasi tentang hal-hal spesifik yang menjadi faktor
penyebab tingkat hafalan Alfiyyah tergolong kurang baik, namun
hasil kemampuan memahami fiqh baik.
Pedoman wawancara:
a. Fiqh di madrasah ini menggunakan referensi kitab kuning, yang dalam
tradisi pesantren biasanya diajarkan dengan makna gandul terlebih dahulu
baru dijelaskan isinya. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembelajaran
fiqh di madrasah ini sesuai dengan yang Anda alami?
b. Apakah anda dalam memahami kitab fiqh terbantu dengan teknik makna
gandul ? Kenapa demikian?
c. Kemampuan Anda memahami kitab fiqh tergolong baik, apakah hal ini
menunjukkan bahwa Anda juga memahami kaidah-kaidah nahwu dalam
Alfiyyah, dan Anda menghafal dengan baik nazam-nazamnya? Kenapa
demikian?
3
REKAP HASIL WAWANCARA 1
Waktu wawancara : Senin, 28 Maret 2011
Terwawancara : Kepala Madrasah Diniyyah Al-Itqon (Ustadz M. Arif Fauzan
Tamim)
1. Di madrasah ini metode hafalan diterapkan pada fan (mata pelajaran) apa
saja?
Tanggapan:
Kalau secara umum, semua santri (pondok pesantren) Al-Itqon diharuskan
menghafal surat-surat tertentu, misalnya Al-Mulk, yang setoran hafalannya
langsung kepada Mbah Yai (KH. A. Haris Shodaqoh). Kalau (santri yang belajar)
di madrasah, fan yang dihafalkan adalah nahwu, untuk (tingkat) ibtida‟iyyah
(matan) Jurrumiyyah dan (nazam) „Imrithy, tsanawiyyah Alfiyyah, dan aliyahnya
sudah (fan) Balaghah (yaitu nazam) Jawharul Maknun.
2. Sebagaimana termuat dalam aturan umum madrasah ini, hampir di semua
kelas, fan nahwu yang berbentuk nazam menjadi materi yang harus
dihafalkan. Sebenarnya tujuan pembelajaran apa yang hendak dicapai?
Tanggapan:
Santri memang diharuskan hafal nazam-nazam „Imrithy atau Alfiyyah sebagai
syarat dalam kenaikan tingkatan, ya ndak sekaligus harus hafal semua, tapi
disesuaikan dengan kelas masing-masing.
Tujuannya ya agar santri dapat terus mengingat kaidah-kaidah nahwu (yang
dipelajarinya) dengan menghafal nazamnya. Atau setidaknya dengan hafalan
(nazam Imrithy atau Alfiyyah) itu sedikit banyak dapat memotivasi santri untuk
memahami kaidah-kaidah nahwu. Hal ini karena kitab-kitab yang menjadi rujukan
dalam kurikulum di madrasah menggunakan kitab berbahasa Arab, yang untuk
memahaminya pasti butuh penguasaan nahwu di samping sharaf. Sharaf atau
tashrifannya dihafalkan juga di Ibtida‟iyyah.
4
3. Tercapai tidaknya tujuan pembelajaran di antaranya dapat diketahui
dengan menggunakan evaluasi. Bagaimana evaluasi atau penilaian hafalan
nazam nahwu ini sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan tercapai?
Tanggapan:
Memang idealnya dalam mengevaluasi hafalan tidak hanya setor (jumlah) nazam
(yang dihafal) saja, tapi santri dites juga untuk menjelaskan beberapa nazam yang
dihafalnya. Namun hal ini diserahkan kepada pengampu nahwu, dan aturan yang
ada hanya melihat pada jumlah nazam yang dihafal. Kan kelamaan waktunya
kalau ngetes hafalan 500 nazam misalnya, ditambah harus menjelaskan satu
persatu?! Jadi ya dalam hal ini, teknik evaluasi sepenuhnya diserahkan pada guru
pengampu.
4. Kurikulum yang ditetapkan terdiri dari beberapa mata pelajaran, apakah
antara mapel satu dengan yang lain mempunyai hubungan? Mohon
dijelaskan?
Tanggapan:
Ya, jelas ada hubungannya. Misalnya pelajaran hadis ditunjang dengan musthalah
hadis, fiqh dengan ushul fiqh, ada nahwu juga ada sharaf, tafsir juga ilmu tafsir.
Jadi, fiqh misalnya, santri tidak hanya diberikan informasi tentang hukum-hukum
yang sudah jadi saja, tapi juga dapat mengetahui proses penetapan hukum-hukum
itu, oleh karenanya diajarkan juga ushul fiqh.
Kalau hubungan lintas mapel, misalnya hubungan nahwu dengan yang lain?
Kalau nahwu ya tadi, kitab yang digunakan itu kan berbahasa Arab, dan untuk
memahami bahasa Arab perlu mengetahui kaidah-kaidahnya, maka diajarkan
nahwu dan sharaf, dan di Aliyyah sudah balaghah. Oleh karena itulah nahwu
disebut ilmu alat, ya karena merupakan alat untuk memahami ilmu-ilmu
(berbahasa Arab) lainnya.
5
REKAP HASIL WAWANCARA 2
Waktu wawancara : Selasa, 29 Maret 2011
Terwawancara : Pengampu Alfiyyah (B: Ustadz Basyaruddin Miftah, dan T:
Ustadz Tahrir al-Hafiz) secara terpisah.
1. Bagaimana Ustadz melaksanakan pembelajaran Alfiyyah?
Tanggapan:
B: Kitab yang digunakan itu taqriran Alfiyyah. Dalam mengajar memberi
makna nazam dan taqriran-nya terlebih dahulu, kemudian menjelaskan
maksud setiap nazam berikut taqriran-nya, pendalaman diambilkan dari kitab
syarh}, kalau saya menggunakan Syarh Ibnu ‘Aqi>l dan santri saya anjurkan
mempunyai kitab itu, karena kalau pas materinya mudah, saya hanya maknani
(memberi makna gandul), anak-anak saya suruh musyawarah dengan merujuk
pada kitab syarh}-nya.
T: Nggih niku, kulo ma‟nani terus kulo terangke, terkadang nggih musyawarah.
(Ya itu, saya memberi makna kemudian saya menjelaskannya, terkadang juga
dengan musyawarah).
2. Seperti yang saya ketahui, santri diharuskan menghafalkan nazam-nazam
Alfiyyah. Tujuannya untuk apa, mengingat pemahaman sepertinya lebih
penting dari pada hafalan?
Tanggapan:
B: Hafalan itu dimaksudkan agar santri dapat menjaga apa yang dipelajari
dengan mengingat nazamnya. Jadi, bukannya yang penting hafal tanpa
memahami, tapi hafalan itu digunakan sebagai sarana untuk mengingat apa
yang telah dipahaminya.
T: Ndak nggih, pemahaman lebih penting?! Nek cara kulo kok, mboten wonten
sing luwih penting, karo-karone penting kabeh. Paham nahwu tenan mestine
apal kaidahe, utawa sak ora-orane tahu apal. Dene apal tanpa paham iku
kurang sampurna, tapi nggih tetep ana manfa‟ate, sapa ngerti sesuk-sesuk
dadi paham merga apalane. Apalan niku wajib, kangge sing paham napa sing
6
mboten. Sing paham saged tambah paham, sing mboten nggih mugi-mugi
saged kebuka‟ kaleh apalane.
(Apa betul, pemahaman lebih penting?! Menurut saya, tidak ada yang lebih
penting, kedua-duanya itu penting semua. Yang memahami betul nahwu
semestinya hafal kaidahnya (nazam Alfiyyah yang dimaksud), atau
setidaknya pernah hafal. Adapun hafal tanpa memahami itu kurang sempurna,
tetapi masih ada manfaatnya, siapa tahu selanjutnya ia menjadi paham karena
hafalannya. Hafalan itu harus, baik yang mampu memahami atau yang tidak.
Yang paham dapat semakin paham, yang tidak semoga dengan hafalannya
dapat terbuka untuk memahami)
3. Untuk mengetahui tujuan itu tercapai, bagaimana evaluasi yang Ustadz
lakukan?
Tanggapan:
B: Kalau evaluasi yang saya terapkan, santri menghafalkan nazam kepada saya,
dan antara yang faham dengan yang tidak di antaranya dapat dilihat dari
lancar tidaknya hafalan. Katakanlah, waktu menghafal santri lupa, kemudian
saya tidak langsung memberi tahu bait selanjutnya, tapi saya suruh ia untuk
menerjemahkan nazam terakhir yang ia lupa lanjutannya, kalau santri itu
paham kemungkinan besar ia mengingat kembali nazam selanjutnya.
Jadi, evaluasinya tidak sekedar setor nazam saat Muhafazah Kubra saja, saya
juga mempertimbangkan pemahamannya. Santri yang lancar semua, masih
saya tes untuk menjelaskan barang tiga atau empat nazam. Untuk pemahaman
biasanya saya lakukan di akhir setiap satu atau dua bab, tergantung banyak
sedikitnya jumlah nazam pada bab itu.
T: Evaluasi pripun maksude? (Evaluasi apa maksudnya?)
Evaluasi yang saya maksud, bagaimana Ustadz menilai atau
menentukan nilai hafalan untuk santri?
Nggih niku tho, santri setoran Alfiyyah wektu Muhafazah Kubra, sing
diapalke pirang nazam, nek santri apal kabeh nilaine sanga, tergantung
pirang nazam sing iso diapalke. Kanggo mbantu santri ben do apal kabeh,
7
kulo nerapke setor apalan mingguan, paling ora santri kudu apal 20 nazam
saben minggune.
(Ya itu, santri menghafal nazam Alfiyyah pada saat ujian waktu Muhafazah
Kubra, jumlah nazam yang dihafalkan berapa, jika santri dapat menghafalnya
semua nilainya sembilan, tergantung berapa nazam yang dapat dihafal. Untuk
membantu agar santri dapat hafal semua, saya menerapkan hafalan mingguan,
setidaknya santri harus hafal 20 nazam setiap minggunya).
4. Adakah santri yang tidak dapat memenuhi atau melaksanakan evaluasi itu?
Jika ada, bagaimana tindak lanjutnya?
Tanggapan:
B: Ada tetapi hanya beberapa, tindak lanjutnya dengan menyuruh santri
mengulang hafalannya sampai lancar dan memberi tugas untuk menjelaskan
maksud beberapa nazam yang saya tentukan, terutama nazam-nazam yang
berisi tentang kaidah-kaidah yang penting.
T: Nggih wonten, kemampuane wong kan beda-beda. Tindak lanjute nggih sing
durung apal tenan dikon mbaleni apalane.
(Ya ada, kemampuan manusia itu berbeda-beda. Tindak lanjutnya, yang
belum hafal betul disuruh untuk mengulang hafalannya.
Cekap semanten Ustadz, matur suwun wekdalipun.
He he, kulo niku remen ngagem basa Jawa, mergi ma‟na gandul niku nggih
ngagem basa Jawa, bocah-bocah santri ben luwih ngerti maksude ma‟na
gandul, kaya “utawi”, “iki”, “iku”, lan sak pinunggalane.
8
REKAP HASIL WAWANCARA 3
Waktu wawancara : Rabu, 30 Maret 2011
Terwawancara : Santri yang tingkat hafalan Alfiyyah tergolong baik, namun
hasil kemampuan memahami fiqh kurang baik (Subjek
penelitian nomor 26, 29, 33, dan 35)
1. Fiqh di madrasah ini menggunakan referensi kitab kuning, yang dalam
tradisi pesantren biasanya diajarkan dengan makna gandul terlebih dahulu
baru dijelaskan isinya. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembelajaran
fiqh di madrasah ini sesuai dengan yang Anda alami?
Tanggapan:
26: Temen-temen (siswa-siswa) masuk kelas, terus lalaran (membaca bersama-
sama dengan keras) Alfiyyah sambil „nunggu guru rawuh (datang). Setelah
datang, temen-temen diam, guru ma‟nani lalu menjelaskan. Sudah …
29: Pak guru mula-mula membacakan makna gandul kitab fiqh, kemudian beliau
menjelaskan sejelas-jelasnya, terkadang juga kita disuruh musyawarah sendiri
setelah ma‟nani.
33: Benar seperti itu, guru memberi makna gandul dulu, kemudian dijelaskan
maksudnya. Terkadang setelah ma‟nani guru menyuruh siswa untuk
membacanya (makna gandul yang dibacakannya) lagi.
35: Kitab Fath} al-Qari>b dibacakan maknanya, biasanya per fas}al, kemudian
ustadz memberi penjelasan dan membuka tanya jawab. Terkadang kami
diberi tugas musyawarah, ketua musyawarahnya ditunjuk oleh ustadz.
2. Apakah anda dalam memahami kitab fiqh terbantu dengan teknik makna
gandul ? Kenapa demikian?
Tanggapan:
26: Kalau terbantu mungkin ya, tapi sedikit sekali. Saya pahamnya (kitab fiqh)
setelah guru menjelaskan, sebelum itu fokusnya pada „nulis makna gandul.
29: Ya, paling aku tahu kalau utawi ma‟naninya pakai mim, iku pakai kha‟, ing
dengan mim fa‟, dan seterusnya. Utawi itu kan mim berarti jadi mubatada‟,
9
kalau ngga‟ salah sebagai subjek dalam bahasa Indonesia, yang lainnya tahu
tanda maknanya, tapi banyak yang ngga‟ tahu singkatan dari apa, mikir nulis
maknanya saja aku masih banyak yang ketinggalan, apalagi mikir kata itu
tarkib-nya jadi apa.
33: Jelas terbantu, kenapa? ya karena makna gandul kan menunjukkan arti kata-
kata dari kitab fiqh, sehingga tidak perlu buka kamus.
35: Jika hanya dari makna gandul, pemahamannya kurang, karena bahasa Arab
harus diterjemahkan dulu ke bahasa Indonesia, dan paham tidaknya
tergantung yang menerjemahkan.
3. Hasil hafalan nazam Alfiyyah Anda tergolong baik, apakah hasil ini
menunjukkan bahwa penguasaan Anda terhadap ilmu nahwu juga baik,
sehingga mudah memahami kitab fiqh? Kenapa demikian?
Tanggapan:
26: Tidak juga, hafalan Alfiyyah itu untuk setoran hafalan, paham fiqhnya dari
penjelasan guru fiqh.
29: Kalau penguasaan ilmu nahwu, lumayan lah, nilai nahwuku dalam rapor kan
8. Tapi mudahnya memahami kitab fiqh, aku rasa itu tergantung penjelasan
guru. Antara Alfiyyah dan fiqh itu kan ilmunya sendiri-sendiri, kecuali fiqh
dengan ushul fiqh itu ada hubungannya.
33: Menguasai ilmu nahwu bukan dari hasil hafalan, tapi dari penjelasan Alfiyyah
yang diberikan guru. Saya kira, orang yang hafal tidak mesti faham.
35: Untuk hafal sampai ngelotok, perlu melalar terus nazam Alfiyyah yang telah
dihafal, minimal seminggu dua kali, nah… nanti lisan akan terbiasa sendiri,
hingga dengan ngantuk-ngantuk pun tetap hafal. Kalau paham fiqh ya dari
belajar fiqh secara serius, atau dengan banyak diskusi dalam bahtsul masa‟il.
10
REKAP HASIL WAWANCARA 4
Waktu wawancara : Kamis, 31 Maret 2011
Terwawancara : Santri yang tingkat hafalan Alfiyyah tergolong kurang baik,
namun hasil kemampuan memahami fiqh baik (Subjek
penelitian nomor 09, 15, dan 23).
1. Fiqh di madrasah ini menggunakan referensi kitab kuning, yang dalam
tradisi pesantren biasanya diajarkan dengan makna gandul terlebih dahulu
baru dijelaskan isinya. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembelajaran
fiqh di madrasah ini sesuai dengan yang Anda alami?
09: Ustadz membacakan makna kitab fiqh secara bandongan, siswa-siswa
ngabsahi (menulis makna gandul di kitabnya). Setelah selesai, ustadz
menjelaskan maksud pelajaran fiqh itu, terkadang kita-kita langsung disuruh
untuk menerjemahkan dan ustadz memberikan koreksi jika ada terjemahan
yang salah, atau kalau ustadz ada keperluan, kita disuruh untuk musyawarah.
15: Pak guru memberi makna secara jelas, hingga sering satu lafaz maknanya
dibaca berulang-ulang, biasanya pada lafaz yang memang perlu dimaknani.
Kemudian biasanya beliau memberi penjelasan, namun terkadang menyuruh
musyawarah, terkadang juga menyuruh siswanya sorogan makna yang telah
dibacakannya.
23: Guru maknani, lalu menjelaskan, membuka tanya jawab, terkadang habis itu
menanyai siswa tentang pelajaran yang baru saja diterangkan.
2. Apakah anda dalam memahami kitab fiqh terbantu dengan teknik makna
gandul ? Kenapa demikian?
09: Jelas sangat terbantu sekali, karena makna itu kan menunjukkan arti, juga
menunjukkan tarkib lafaz dalam kalimat, sehingga untuk memahami menjadi
lebih mudah.
15: Materi fiqh menurut buku-buku fiqh yang pernah aku baca, urutannya
biasanya sama atau mirip dengan kitab-kitab kuning, seperti Fath} al-Qari>b
yang sedang aku pelajari. Pengetahuan (yang saya peroleh) dari buku-buku
11
fiqh yang ku baca itulah yang ikut andil dalam memahami fiqh, baru makna
gandul dari pak guru, tapi itu menurutku Pak, sesuai yang aku alami.
23: Kebetulan guru fiqh di kelas saya, penjelasannya mudah saya cerna, berbeda
dengan guru yang lain, dalam memberi makna pun beliau jelaskan maksud-
maksud-(simbol-simbol makna)-nya, sehingga otomatis makna gandul dalam
pelajaran (fiqh) ini membantu pemahaman saya. Tapi, mungkin karena saya
masih bodoh, makna dari guru yang lain biasa-biasa saja, ngga‟ begitu
berpengaruh dalam pemahaman, ya itu, mungkin karena cepet banget
maknaninya, sehingga saya sering ketinggalan nulis maknanya.
3. Kemampuan Anda memahami kitab fiqh tergolong baik, apakah hal ini
menunjukkan bahwa Anda juga memahami kaidah-kaidah nahwu dalam
Alfiyyah, dan Anda menghafal dengan baik nazam-nazamnya? Kenapa
demikian?
09: Kalau faham kaidah nahwu, dasar-dasarnya sudah saya peroleh dari ‘Imrit}y,
dan pendalamannya di Alfiyyah, tapi faham kan tidak harus hafal?! ‘Imrit}y
memang saya hafalkan, tapi Alfiyyah saya sudah awang-awangen, sudah
terlalu banyak mikir pelajaran di madrasah umum, tapi yang penting saya
sudah faham isinya walaupun nazamnya belum hafal.
15: Tidak, dari dulu aku memang agak lemah di ilmu nahwu, tapi kalau fiqh
kayaknya aku lebih mengerti, karena suka mungkin. Ya „gitu, intinya kalau
aku disuruh menghafalkan nazam Alfiyyah, ya sebisanya saja.
23: Seperti yang saya katakan tadi, saya mudah faham fiqh karena mudahnya
mencerna penjelasan guru fiqh. Kalau masalah hafal, saya kurang kuat untuk
ngiling-ngiling (mengingat) nazam yang jumlahnya banyak, Imrit}y saja saya
ngga‟ hafal semua, apalagi Alfiyyah yang jumlah nazamnya 4 x lipat.
Lampiran 12 : Piagam melaksanakan KKN Angkatan ke-55.
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
IDENTITAS PENULIS:
Nama : MUHAMMAD AUFA
NIM : 073111477
Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 14 Oktober 1977
Alamat : PR. Patah Blok A/20 RT.13 RW.03 Desa Sriwulan
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak 59563
RIWAYAT PENDIDIKAN:
A. Pendidikan Formal:
1. MI Nahdlotus Subban Purwosari Sayung Lulus tahun 1990
2. MTs Nahdlatusy Syubban Sayung Lulus tahun 1993
3. MA Nahdlatusy Syubban Sayung Demak Lulus tahun 1996
4. IAIN Walisongo Semarang Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
Angkatan 1996/1997 (tidak diselesaikan).
5. IAIN Walisongo Semarang Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah Angkatan
2007/2008.
B. Pendidikan Non-formal:
1. Madin Ula Nahdlatusy Syubban Sayung Demak Lulus tahun 1990
2. Madin Wustho Nahdlatusy Syubban Sayung Demak Lulus tahun 1993
3. Madin Tsanawiyyah Al-Wathoniyyah Gugen Semarang Lulus tahun 1995
4. Madin Aliyyah Al-Wathoniyyah Gugen Semarang Lulus tahun 1998
5. Pondok Pesantren Al-Itqon Gugen Semarang 1996 – 2005
Demikian daftar riwayat hidup penulis dibuat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 21 Maret 2011
Penulis,
Muhammad Aufa
NIM. 073111477