studi komparatif antara pendapat imam syafi’i...
TRANSCRIPT
STUDI KOMPARATIF ANTARA PENDAPAT IMAM SYAFI’I
DENGAN YUSUF AL-QARDAWI TENTANG
PENGERTIAN FI SABILILLAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
MISBAHUL FUADI NIM : 052311027
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
MOTTO
خير اوروحة اهللا سبيل في لغدوة : صل اهللا عليه وسلم النّبي قال
فيها وما الدنيا من
(الحديث)
“Sesungguhnya pergi di jalan Allah di waktu pagi dan pergi di waktu petang adalah lebih
baik dari pada dunia seisinya”
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak
berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Desember 2009 Deklarator, Misbahul Fuadi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, hanya dengan pertolongan Allah penulis panjatkan
kehadirat-Nya atas segala limpahan rahmat dan nikmat yang telah dikaruniakan
kepada penulis. Sholawat dan Salam kita panjatkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Semoga kita selalu mendapatkan pertolongan, petunjuk, dan perlindungan-
Nya.
Keinginan penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini
sempat mengalami kendala ketika waktu untuk bisa menyelesaikannya dalam satu
semester sangatlah sempit. Selain itu penulis harus membagi antara konsentrasi
kegiatan dan penulisan.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih atas partisipasi dalam berbagai pihak yang telah membantu penulis
menyelesaikan penulisan skripsi ini :
1. Bapak Prof. DR. H. Abdul Djamil, M.A pengemban Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag selaku Dekan fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. Moh. Solek, M.A yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Nur Fatoni, M. Ag selaku dosen pembimbing kedua yang senantiasa
dengan sabar mendidik dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen, karyawan, dan civitas akademika Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang yang telah berpartisipasi memberikan support terhadap
penulis.
6. Ayahanda tercinta yang selalu mendo’akan dan mengharapkan kiprah penulis,
penyemangat moral dan spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Wa bilkhusus almarhumah Ibunda
Hj. Mubarohah yang setiap saat senantiasa penulis rasakan kehadirannya
menemani dalam kebahagiaan dan kesusahan, terutama saat-saat akhir
menyelesaikan skripsi ini. Seolah menyeru dan menginstruksikan maju terus
dan terus menuntut ilmu meneruskan perjuangan para ulama dan menegakkan
agama, menuntut ilmu adalah tidak mengenal umur. Saudara-saudara yang
memberikan motifasi penulis untuk dapat merubah pola kehidupan yang
selama ini dijalani.
7. Seluruh personil Resimen Mahasiswa (Korp Mahasiswa Bela Negara) Satuan
906 khususnya yudha 29 dan teman-teman bolo-bolo alumni Asrama
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang memberikan pernak-pernik
perjalanan hidup akademi penulis, dan semangatnya untuk menyelesaikan
tugas akhir.
Semoga Allah membalas semua amal baik mereka dengan balasan yang
lebih dan menempatkan mereka pada derajat yang mulia di mata Allah dan
mahluk-Nya.
Apabila isi skripsi ini baik dan bermanfaat, hanyalah semata-mata karena
pertolongan dan petunjuk Allah. Sedangkan apabila skripsi ini kurang layak
menjadi sebuah karya ilmiah, hanyalah semata-mata ketidakmampuan menulisnya
dengan baik, semoga pembaca memakluminya dan Allah mengampuninya.
Pada akhirnya, penulis mengakui bahwa skripsi ini banyak kekurangan
yang menonjol dalam penulisan ini, yaitu menghindari terlalu tebalnya skripsi,
dan contoh-contoh pengertian Fi Sabilillah yang tidak cukup rinci dan beraneka
macam untuk berfungsi sebagai argumen, berarti butuh waktu yang lebih lama
lagi untuk dapat menyelesaikan tulisan ini.
Karya ini jauh dari kesempurnaan yang idealnya diharapkan, maka dari
itu, saran yang membangun dan masukan yang positif demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi sangat penulis harapkan. Semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca dan kita semua, Amin.
Semarang, 14 Desember 2009
Penulis
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati dan penuh kebahagiaan, skripsi ini penulis
persembahkan kepada mereka, orang yang telah membuat hidup ini lebih berarti.
1. Bapak Prof. DR. H. Abdul Djamil, M.A orang nomor satu di IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag pemangku jabatan Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang.
3. Ibu Dra. Nuna Mustikawati Dewi sebagai dosen Wali Studi penulis.
4. Bapak Drs. Moh. Solek, M.A selaku dosen pembimbing satu dalam penulisan
ini, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Nur Fatoni, M. Ag selaku dosen pembimbing kedua yang senantiasa
dengan sabar mendidik dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen, staf karyawan dan civitas akademika Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang yang telah berpartisipasi memberikan support terhadap
penulis. Bapak Karyadi yang selalu membuatkan surat-surat keterangan aktif
kuliah disaat penilis butuhkan untuk mengurus dana PT. Taspen.
7. Kepala Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tercinta,
Ahmad Furqon, Lc,. M.A yang telah banyak meluangkan waktu untuk dapat
mengajarkan kepada penulis tentang tata cara penulisan kode buku dan
memberikan masukan terhadap permasalahan yang dihadapi dalam
menyelesaikan tugas kepada penulis. bapak Afif Noor S. Ag, SH, M.Hum
yang menemani penulis menulis kode-kode buku, dan seluruh Staf
Perpustakaan Fakultas Syari’ah yang penyabar, semoga dalam pelayanannya
yang bijaksana dan arif Perpustakaan Fakultas Syari’ah semakin terdepan.
Semoga hal ini dapat berlanjut tanpa akhir dan semoga pula Allah
meningkatkan derajat dan membalas amal sholihnya.
8. Mas Tedi Kholiluddin, M. Si yang senantiasa membantu penulis untuk
berdiskusi tentang segala hal dan selalu mengarahkan tentang cara pandang
berfikir penulis.
9. Ayahanda tercinta yang selalu mendo’akan dan mengharapkan kiprah penulis,
penyemangat moral dan spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Wa bilkhusus almarhumah Ibunda
Hj. Mubarohah yang setiap saat senantiasa penulis rasakan kehadirannya
menemani dalam kebahagiaan dan kesusahan, terutama saat-saat akhir
menyelesaikan skripsi ini. Seolah menyeru dan menginstruksikan maju terus
dan terus menuntut ilmu meneruskan perjuangan para ulama dan menegakkan
agama, menuntut ilmu adalah tidak mengenal umur. Saudara-saudara dan
adik-adikku, (mida yang manutan, nawaf yang bergedul) yang memberikan
motifasi penulis untuk dapat merubah pola kehidupan yang selama ini dijalani.
10. Bapak Mugiarto Saputro beserta Ibu Rochmiati dan segenap keluarga yang
senantiasa membuat penulis semakin terbiasa dengan kesabaran dan kebesaran
hati menghadapi seseorang yang pemarah dan nyebelke serta terima kasih juga
atas pinjaman komputernya.
11. Ust. Ahmad Sholihun sebagai guru ngaji dari kecil hingga kini, selalu
mengajarkan tentang apa yang tidak diketahui oleh penulis.
12. Segenap Staf Perpustakaan Institut IAIN Walisongo Semarang. Bapak Ibnu
Surowo dan Ibu Siti Khodtijah, S. Ag yang senantiasa memberi semangat
kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya.
13. Mayor INF Erwin, S.E mantan Komandan Kompi Dodik Bela Negara Rindam
IV Diponegoro. Walaupun sekarang berada di ujung Maluku, tetapi masih
selalu berkomunikasi dan memberi semangat serta arahan kepada penulis.
14. Seluruh personil Resimen Mahasiswa (Korp Mahasiswa Bela Negara) Satuan
906 ”Sapu Jagad” IAIN Walisongo Semarang khususnya yudha 29,
Komandan Fathkuri, Wadan Fathkurahman, PAM Saefudin, Humas Nely,
Diklat Atta, Log Indah, Tri Aini, Prov Deni, Masat Sarjito, Pers Mahmudah,
dan Suwarno yang selalu memberi semangat, arti persaudaraan, dan motifasi
kepada penulis.
15. Teman-teman seperjuangan Diksar Menwa yudha 29. Rifqi (Sat 901), terima
kasih atas jaketnya, Dhama Peni Lasari (Sat 904) yang senantiasa memberi
motifasi dan meluangkan sedikit waktu untuk berdebat dan diskusi dengan
penulis hingga kini.
16. Bolo-bolo alumni Asrama Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Kiepley,
Idros, Agus pecinta PS, Luthfi raja tidur, Benidur, Kuat, Qowi, Ubed, Farid,
Zuddin yang selalu ngorok, Mas Habib yang penyabar, Sukron atlet volly, dan
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
17. Segenap konco-konco sepaket MUA’05, Mr. Rochim, Mr. Udien, Mr. Romli,
Mr. Zackhi, Mr. Munif Ibnu, Mr. Tino sebagai comting andalan, Memey,
Cahya, Eni, Sofie, Ana, Ulil, Tiwox, Anis, Ellies, dll.
18. Keluarga Pak Lurah, keluarga Ibu Barokah, dan keluarga Pak Sabar, serta
teman-teman Team KKN posko 33 di desa Randusari, kecamatan Rowosari,
kabupaten Kendal. Mister Sukron, pak Birin, bu Aka, bu Is, dan mbak
Memey.
19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan yang telah berjasa dalam hidup
penulis.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Misbahul Fuadi
Tempat/ Tanggal lahir : Kendal, 11 Oktober 1986
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gubugsari RT. 03 RW. 05 Pegandon Kendal
51357.
Riwayat Pendidikan :
- SD Gubugsari I, lulus tahun 1999
- Madrasah Tsanawiyah NU 06 Sunan
Abinawa Pegandon, lulus tahun 2002
- Madrasah Aliyah Negeri Kendal, lulus
tahun 2005
- Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang 2005-2009
Demikianlah riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 14 Desember 2009
Hormat saya,
Misbahul Fuadi
BIODATA
Nama : Misbahul Fuadi
Tempat/tanggal lahir : Kendal, 11 Oktober 1986
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Nama orang tua : - Ayah : H. M. Djamnun
- Ibu : Hj. Mubarohah
Alamat : Gubugsari RT. 03 RW. 05 Pegandon Kendal
51357
vi
ABSTRAKS
Mustahik zakat dalam Al-Qur’an telah jelas disebutkan bahwa jumlahnya
adalah 8 golongan. Salah satunya adalah Fi Sabilillah. Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi dalam pendapatnya yang mengatakan tentang pengertian Fi Sabilillah keduanya terlihat berbeda. Imam Syafi’I yang merupakan salah satu ulama besar Mazhab 4 mengatakan Fi Sabilillah adalah perang, sedangkan Yusuf Al-Qardawi merupakan ulama kontemporer mengatakan Fi Sabilillah bukan hanya terbatas pada perang, akan tetapi segala perbuatan yang bertujuan untuk kepentingan Islam. Dalam hal ini banyak orang yang masih memperdebatkan tentang makna Fi Sabilillah. Oleh karena itu, hal ini merupakan permasalahan yang sangat penting untuk dikaji.
Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dn Yusuf Al-Qardawi menimbulkan suatu permasalahan. Dalam hal ini kita bisa mengetahui bagaiman pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah? Dan metode istinbath hukum seperti apa yang digunakan keduanya?
Kerangka metodologi yang dipakai adalah kepustakaan dengan metode deskriptif, yaitu menguraikan atau menggambarkan pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-Qardawi secara mendalam. Lalu mengkomparasikan kedua pendapat tersebut dengan metode komparatif, yaitu metode perbandingan, dengan memperbandingkan pendapat Imam Syafi’I dengan pendapat Yusuf Al-Qardawi. Dan juga dengan analisis kualitatif, yaitu dengan menggunakan pemikiran logis atau menganalisa dengan logika sehingga bisa menghasilkan kesimpulan yang valid.
Kesimpulannya, pengertian Fi Sabilillah menurut Imam Syafi’i adalah pada makna orang dan alat, sedangkan Yusuf Al-Qardawi memaknainya dengan penekanan pada kemaslahatan umat. Metode Imam Syafi’i menggunakan Hadis bukan Qiyas dan tidak memakai Istihsan, sedangkan Yusuf Al-Qardawi menggunakan Qiyas dan memakai Istihsan.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
NOTA PEMBIMBING ........................................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... iv
HALAMAN DEKLARASI .................................................................................. v
HALAMAN ABSTRAK ...................................................................................... vi
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan Skripsi............................................................. 5
D. Telaah Pustaka................................................................................ 5
E. Metode Penelitian.......................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan................................................................. 10
BAB II BIOGRAFI .......................................................................................... 12
A. Biografi Imam Syafi'i ...................................................................... 12
1. Nasab Imam Syafi’i ................................................................. 12
2. Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i .............................. 15
3. Guru-guru Imam Syafi’i .......................................................... 18
4. Murid-murid Imam Syafi’i ...................................................... 20
5. Pemikiran dan Karya Imam Syafi'I ......................................... 22
B. Biografi Yusuf Al-Qardawi ........................................................... 25
1. Pendidikan Yusuf Al-Qardawi ................................................ 25
2. Pemikiran Dan Karya Yusuf Al-Qardawi ............................... 29
xv
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI'I DAN YUSUF AL-QARDAWI
TENTANG PENGERTIAN FI SABILILLAH ................................... 31
A. Pendapat Imam Syafi'I Tentang Pengertian Fi Sabilillah ............. 34
B. Metode Istinbath Imam Syafi'I Dalam Merumuskan Pengertian Fi
Sabilillah........................................................................................ 34
C. Pendapat Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah..... 36
D. Metode Istinbath Yusuf Al-Qardawi Dalam Merumuskan
Pengertian Fi Sabilillah ................................................................ 39
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PENDAPAT IMAM SYAFI'I DENGAN
YUSUF AL-QARDAWI TENTANG PENGERTIAN FI
SABILILLAH ...................................................................................... 42
A. Analisis Komparatif Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Dengan
Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah.................... 42
B. Analisis Komparatif Terhadap Istinbath Hukum Imam Syafi’i
Dengan Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah ...... 45
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 53
A. Kesimpulan ..................................................................................... 53
B. Saran-saran ...................................................................................... 53
C. Penutup ........................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ibadah merupakan pondasi bagi umat beragama, bukan hanya Islam.
Dalam tata hukum Islam, ibadah merupakan sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Ibadah didalam ajaran Islam sangat bermacam-macam,
ada Rukun iman, Rukun Islam, dll. Itu adalah dasar dalam mengenal Tuhan.
Zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mampu dan
merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Diwajibkannya zakat adalah
untuk kebaikan manusia dan sarana untuk mensucikan, menjaga harta serta
sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Allah berfirman,
خذ من أمواهلم صدقة تطهرهم وتزكّيهم ا وصلّ عليهم إنّ صال تك سكن ﴾١٠٣﴿هلم واللّه مسيع عليم
“Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.(QS At-Taubah : 103)1
Dengan demikian, zakat merupakan sarana untuk mensucikan diri dari
sifat bakhil dan kikir. Juga merupakan ujian bagi orang kaya agar
mendekatkan diri kepada Allah dengan sedikit harta yang dicintainya.2
1 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, Semarang : PT. Kumudasmoro
Grafindo, 1994, hlm. 297.
2 Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006, hlm. 245.
2
Didalam zakat terdapat persoalan-persoalan yang belum memperoleh
perhatian dan penggarapan yang semestinya dari para Ulama, misalnya dalam
masalah fungsinya, kedudukannya dalam system moneter ekonomi, ataupun
mengenai ashnaf dalam pembagian zakat.
Dalam kondisi sekarang memang tidak jauh seperti pada zaman
dahulu. Pada masa dahulu pembagian akan zakat sudah jelas diatur dalam Al-
Qur’an mengenai ashnaf zakat. Oleh sebab itu pembagian pada waktu itu
sudah sangat tepat.
Masalah ketentuan tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an secara
ringkas, bahkan lebih ringkas lagi seperti halnya sholat, maka secara khusus
Al-Qur’an memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu
diberikan.
Golongan yang berhak menerima zakat telah ditetapkan oleh Allah
SWT dalam surat At-Taubah : 60
إنما الصدقات للفقراء واملساكن والعاملني عليها واملؤلّفة قلوم ويف الرقاب والغارمني ويف سبيل اللّه وابن السبيل فريضة من اللّه واللّه عليم حكيم
﴿٦٠﴾
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”.3
Dalam ayat diatas dijelaskan salah satu ashnaf penerima zakat adalah
3 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 296.
3
untuk jalan Allah atau sering disebut Fi Sabalillah. keumuman makna
"Sabalillah" diluar ayat itu sangat luas dan banyak sekali cakupannya. Tidak
terbatas pada penetapan ashnaf saja. karenanya sama sekali tidak sejalan
dengan pembatasan delapan ashnaf yang berhak menerima zakat sebagaimana
termaktub dalam ayat 60 surat At-Taubah. 4
Selain dalam surat At-Taubah tadi, Fi Sabiillah juga terdapat
diantaranya dalam surat An-nisa’ : 167, surat Al-Anfaal : 36, surat : Luqman :
6 dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang menjadi rujukan dalam penuusan
skripsi ini adalah surat At –Taubah : 60. dalam ayat itu makna Fi Sabiillah
diartikan dengan “di jalan Allah”, atau dengan nama lain adalah jihad di jalan
Allah. Dengan kata lain Fi Sabiillah dalam al-Qur’an adalah untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin. Disini jelas diterangkan bahwa makna
itu mengandung arti jihad untuk peperangan dalam membela agama Allah.
Akan tetapi para ulama sekarang masih banyak yang memperdebatkan
tentang pengertian itu. Karana dizaman modern ini khususnya Indonesia
sudah tidak ada lagi yang namanya perang. Lantas, kemanakah bagian Fi
Sabiillah? Menurut Imam Syafi’I, Fi Sabiillah adalah orang yang secara
sukarela berperang karana Alah dan tidak mendapat gaji dari pemerintah
setempat, orang-orang ini berhak mendapatkan zakat walaupun kaya.
Pengertian yang dijabarkan Imam syafi’I mengenai Fi Sabiillah tidak
lepas dari yang namanya perang untuk membela Islam. Menurutnya Fi
Sabiillah memang artinya demikian. Oleh karena itu pendapatnya sangatlah
4 Yusuf Al-Qardawi, Fatwa-Fartwa Mutakhir, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 372.
4
sempit bila direlevansikan pada masa sekarang. Di zaman sekarang sudah
tidak ada lagi perang.
Banyak hadist-hadist shahih berasa dari Rasulullah SAW dan para
sahabatnya yang menunjukkan, bahwa yang dimaksud “Sabiillah” adalah
jihad.5 Dalam hadist riwayat Imam Bukhori dan Muslim disebutkan :
خير اوروحة اهللا سبيل في لغدوة : وسلم عليه اهللا صل النّبي قالفيها وما الدنيا من
“Sesungguhnya pergi pada waktu pagi atau petang untuk Sabiillah (berjihad) lebih baik dari pada dunia seisinya”6
Pendapat lain dari Yusuf Al-Qardawi, pendapat ini bisa dikatakan
pendapat yang paling mutakhir. Menurutnya Fi Sabilillah bukan hanya orang
yang berperang, akan tetapi segala sesuatu yang bertujuan untuk kemajuan
agama Islam bisa dikatakan Fi Sabiillah, seperti : membangun pusat-pusat
dakwah Islam, menerbitkan surat kabar Islami, membantu juru dakwah,
membantu pembangunan masjid, dll.7
Dengan membandingkan antara pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-
Qardawi pengertian Fi Sabiillah. Disini penulis akan membahas yang lebih
mendalam, pendapat mana yang lebih kuat dengan relevansinya dimasa
sekarang. Karena masalah ini merupakan hal yang layak dan aktual untuk
dikaji.
5 Yusuf Al-Qardawi, ibid, hlm. 373. 6 Hasby Asy Shiddiqy, Mutiara Hadis 6, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putera, 2003, hlm.
71. 7 Ibid, hlm. 382.
5
B. RUMUSAN MASALAH
Setelah penulis memaparkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah :
1. Apa pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi
Sabalillah?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Iman Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi
tentang pengertian Fi Sabalillah?
C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan, adapun tujuannya antara
lain :
1. Untuk mendeskripsikan pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi
tentang pengertian Fi Sabalillah.
2. Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan dalam mendukung
pendapat keduanya.
D. TELAAH PUSTAKA
Kajian ini mempergunakan semua kesempatan untuk mencari
kepustakaan diperpustakaan atau tempat lain.8 Tentang mustahik zakat secara
umum memang telah banyak dikaji, namun sepanjang pengetahuan penulis
belum ada yang membahas mengenai Fi Sabilillah dalam konteks
perbandingan pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi. Adapun skripsi
yang telah mempresentasikan berhubungan dengan skripsi penulis antara lain:
8 Consuelo G. Sevilla, dkk, Pengertian Metode Penelitian, Jakarta : UI-Press, 1993, hlm. 32.
6
Skripsi mahasiswa yang bernama Muhammad Rofiq Anwar dengan
NIM 2199195 yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang
Penyamarataan Dalam Pendistribusian Zakat Kepada Mustahiq”.9
Menjelaskan bahwa zakat itu harus dibagikan merata kepada mustahiq.
Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Pendapat Dr. Sahal
Mahfudz Tentang Zakat Al-Fitr Untuk Membangun Masjid.”10 yang ditulis
oleh Zaimatul Khasanah (2199046). Dalam skripsi ini dijelaskan tentang
kebolehan memberi zakat untuk kepentingan agama dengan metode
kontekstual. Sedangkan permasalahan yang akan penulis kaji adalah masalah
Fi Sabalillah, jadi jelas berbeda dengan karya tersebut.
Judul diatas juga mempunyai relevansi dengan buku-buku dan kitab-
kitab yang didalamnya memuat tentang zakat serta berkaitan dengan ashnaf
zakat, seperti :
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah dijelaskan juga tentang Fi
Sabalillah, pengertian dan contoh-contohnya dizaman sekarang.11 Akan tetapi
yang disebutkan dalam buku ini kurang begitu detail mengenai pembahasan
yang dikaji oleh penulis.
Pendapat Imam syafi’I dalam kitab Al-Umm juga menerangkan
mengenai Fi Sabiillah. Yaitu orang-orang yang secara sukarela berperang
9 Muhammad, Rofiq, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penyamarataan Dalam
Pendistribusian Zakat Kepada Mustahiq, Skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah Semarang : Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2004, hlm 83.
10 Zaimatul Khasanah, Studi Analisis Terhadap Pendapat Dr. Sahal Mahfudz Tentang Zakat Al-Fitr Untuk Membangun Masjid, Skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah Semarang : Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2006, hlm. 55.
11 Lebih lanjut baca : Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundit Aksara, 2006, jilid I, hlm. 573.
7
karena Allah dan tidak mendapatkan gaji dari pemerintah setempat, orang
orang ini berhak mendapatkan zakat walaupun kaya.
Sedangkan pendapat Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya Hukum Zakat
menjelaskan Fi Sabiillah adalah jalan yang menyampaikan pada ridha Allah,
baik aqidah maupun perbuatan. Dalam buku ini dibahas secara detail
mengenai Fi Sabiillah, bahkan lengkap juga mengenai pendapat-pendapat
para Ulama serta contohnya di masa sekarang.12
Sejauh ini belum ada penelitian secara spesifik yang membahas
pemikiran Iman Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengetian Fi
Sabalillah, sehingga permasalahan tersebut perlu diteliti karana hal tersebut
merupakan hal yang aktual.
E. METODE PENELITIAN
1. JENIS PENELITIAN
Skripsi ini dalam penelitiannya menggunakan jenis penelitian library
research dengan dua sumber data, yaitu :
a. Sumber data primer adalah data yang diambil langsung dari tangan
pertama.13 Kitab Al-Umm dan kitab Fiqhuz Zakat merupakan sumber
utama dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari karya asli seorang
12 Lebih lanjut baca : Yusuf Al-Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : PT. Mitra Kerjaya
Indonesia, 2004, hlm. 610. 13 Robert R. Mayer & Ernest Greicn wood, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Jakarta
CV. Rajawali, cet I, 1984, hlm. 361. 14 Ibid 15 Muhammad Nazim, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 405 16 Ibid, hlm. 63 17 Tatang M Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995,
hlm. 13. Analisis kualitatif menggunakan pemikiran logis, analisa dengan logika dengan induksi, analogi, komparasi, dan sejenisnya.
8
tokoh secara langsung disebut data asli.
b. Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber-sumber
lain,14 artinya data yang ditulis oleh orang lain tentang pandangan
Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi sehingga tidak bersifat asli
karena diperoleh dari tangan kedua atau ketiga, serta buku-buku dan
tulisan pendukung yang bertemakan fi sabilillah. Selanjutnya dengan
demikian data ini disebut data tidak asli.
2. METODE ANALISIS DATA
Analisis data adalah kepustakaan dan merupakan bagian yang amat
penting dalam metode ilmiah, karena dengan menganalisis data tersebut
dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah
penelitian.15 Setelah data tersebut terkumpul selanjutnya disusun secara
sistematis dan dianalisis. Untuk dapat menghasilkan kesimpulan yang
yang benar dan valid, maka metode analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif,16 dengan analisis kualitatif,17
penulis mendeskripsikan pandangan Imam syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi
dengan analisis secara mendalam. Sehingga diperoleh gambaran pemikiran
Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah
dengan jelas. Untuk memperoleh deskripsinya penulis juga
mengkomparasikannya dengan pendapat ulama yang lain.
Adapun langkah-langkah yang digunakan penulis adalah sebagai
9
berikut :
Pertama, penulis mengartikan pokok-pokok masalah dengan cara
membaca kitab-kitab, buku-buku, karya imam-imam mujtahid melalui
sebuah pembahasan deskriptif yang pembahasannya melalui deskriptif
komparatif. Karena membandingkan dua pendapat Imam Syafi’i dengan
Yusuf Al-Qardawi.
Kedua, setelah data tersebut diatas dapat disajikan secara menyeluruh,
maka penulis mencoba membahas dan menganalisa secara keseluruhan.
Sehingga pada titik final penulis menyimpulkan pendapat mana yang
paling kuat dasar hukumnya dengan alasan-alasan yang melatar
belakanginya.
3. METODE KOMPARATIF
Adalah metode menganalisa data-data tertentu yang berkaitan dengan
situasi atau faktor-faktor yang diselidiki dan membandingkan faktor satu
dengan factor lainnya.18 Dalam studi komparatif ini, memang sangat sulit
untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar
pembanding,19 dengan persepsi tentang pengetahun hokum, khususnya
hokum zakat yang penulis gunakan didalam melakukan pengkajian dan
perbandingan terhadap berbagai pendapat Ulama-ulama Islam mengenai
permasalahan yang terkandung didalam pengertian Fi Sabilillah. Penulis
mengetengahkan pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi serta
18 Ibid, hlm. 135. 19 Opcit, hlm. 68.
10
beberapa pendapat lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan
dalam pembahasan skripsi ini. Sudah barang tentu perbedaan tersebut
dilakukan untuk mengkaji argumentasi-argumentasi dari jumlah pendapat
yang ditinjau dari segi relevansinya dengan dasar Al-Qur’an dan Al-Hadist
dari segi rasionya.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Antara Pendapat
Imam Syafi’i Dengan Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah”
tersusun atas lima bab. Adapun penyusunannya sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian,
sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini memberikan gambaran umum profil Imam Syafi’I dan
Yusuf Al-Qardhawi.
BAB III : Pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-Qardawi, dilengkapi
dengan metode istinbath keduanya dalam merumuskan
pengertian Fi Sabilillah.
BAB VI : Membahas analisis komparatif terhadap pendapat Imam Syafi’I
dengan YusufAl-Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah.
Masih dalam bab ini, memaparkan pula analisis komparatif
metode istinbath hukum Imam Syafi’I dengan Yusuf Al-
Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah.
BAB V : Akhir perjalanan penulisan skripsi. Memuat kesimpulan, saran-
11
saran, dan penutup
12
BAB II
BIOGRAFI
A. Biografi Imam Syafi'i
1. Nasab Imam Syafi’i
Imam Syafi’i ialah Imam yang ketiga menurut susunan tarikh
kelahiran. Dia adalah pendukung terhadap Ilmu Hadis dan
pembaharu dalam agama (Mujadid) dalam abad kedua Hijriah.1 Ia
juga Ulama Mujtahid (ahli ijtihad) di bidang fiqih dan salah satu dari
empat Imam Mazhab yang terkenal dalam Islam.
Imam Syafi’I dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut
Tengah pada bulan Rajab tahun 150 H/767 M.2 Menurut suatu
riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah.3
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin
Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Al-Saib bin Ubaid bin Abdul Yazid
bin Hasyim bin Abdul Al-Muthalib bin Abdul Manaf.4 Kata Syafi’i
dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin Al-
Saib. Ayahnya bernama Idris bin Abbas, sedangkan ibunya bernama
Fatimah binti Abdullah bin Al-Hasan bin Husain bin Ali bin Abi
1 Ahmad Asy-Syurbasi, “Al-Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Huda, Sejarah Dan Biografi
Imam Empat Mazhab, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, hlm. 193. 2 Basri Iba Asyghary, Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hlm. 159. 3 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997, hlm. 120. 4 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.
13
Tholib.5 Dengan demikian ibu Imam Syafi’i adalah cucu dari
Sayyidina Ali bin Abi Tholib, menantu Nabi Muhammad SAW.6
Dengan demikian, kedua orang tua beliau berasal dari bangsawan
Arab Quraisy.7
Dengan pertalian tersebut diatas, Imam Syafi’I menganggap
dirinya dari orang dekat kepada Rasulullah SAW. Bahkan beliau dari
keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama dengan Rasulullah
SAW di zaman jahiliyah dan Islam. Mereka bersama dengan
Rasulullah SAW juga semasa orang Quraisy mengasingkan
Rasulullah SAW mereka bersama turut menanggung penderitaan
bersama-sama Rasulullah SAW.8
Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang
miskin dan yang dihalau dari negerinya, mereka hidup di dalam
perkampungan orang Zaman.9 Meskipun dibesarkan dalam keadaan
yatim dan dalam keluarga yang miskin, hal ini tidak menjadikannya
merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, dia bahkan sangat giat
mempelajari Hadis dari Ulama-ulama Hadis yang banyak terdapat di
Makkah.10 Dia terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik,
belulang, pelepah tamar dan tulang unta untuk ditulis di atasnya.
5 Moh. Yassir Abn Mutholib, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta : Pustaka Azzam, 2004,
hlm. 3. 6 Huzaimah Tahido Yanggo, Ibid, hlm. 121. 7 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993, hlm. 327. 8 Ahmad Asy-Syurbasi, Opcit, hlm. 142 9 Sabil Huda, Opcit, hlm. 142. 10 Masykur A.B, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : lentera basritama, 2000, hlm. 29.
14
Kadangkala dia pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang banyak
meminta kertas untuk menulis pelajarannya.11
Sejarah Islam mengatakan Imam Syafi’i hidup pada masa-
masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut
kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari
Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-
orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka
bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-
orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai
sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang
mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam
Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka
berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan
secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya
merasakan kehidupan yang sangat sulit.12
Pada suatu ketika Imam Syafi’i mengalami sakit yang sangat
parah. Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau
menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah.
Segenap murid-murid Imam Syafi’i diantaranya : Al-Muzany dan
11 Ahmad Asy-Syurbasi, Opcit, hlm. 143. 12http://www.assunnahqatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=519&Ite
mid=144, di akses tanggal 9 Desember 2009.
15
Rabi Al-Jizi sering kali datang kerumah Imam Syafi’i untuk
melayaninya selama sakit.13 Kemudian pada suatu hari, dia berwasiat
kepada Rabi Al-Jizi : ”Apabila aku mati, hendaklah kamu segera
datang memberitahukan kepada wali negeri Mesir, dan mintalah
kepadanya supaya ia memandikan aku”.
Imam Syafi’i sudah merasa bahwa dirinya akan kembali ke
Rahmatullah, akhirnya dengan tenang dia menghembuskan nafasnya
yang terakhir sesudah sholat Isya’ malam jum’at bulan Rajab tahun
204 H/819 M di usianya yang ke 54 tahun dengan disaksikan
muridnya Rabi Al-Jizi.14
2. Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dalam riwayatnya seperti yang telah diuraikan
diatas bahwa ia dilahirkan dalam keadaan yatim, hingga dalam usia
dua tahun, ia dibawa ibunya pindah ke negeri Hijaz (persisnya ke
kota Makkah). Sungguhpun ia dalam keadaan yatim dan miskin,
namun dengan dorongan ibunya tercinta dan dengan dukungan
kecerdasannya yang mengagumkan, maka dalam usia sembilan tahun
sudah dapat menghafal kitab suci Al-Qur’an 30 juz diluar kepala,
dibawah bimbingan guru besar Imam Ismail bin Qasthanthin.15
Begitu tamat belajar Al-Qur’an Imam Syafi’i oleh ibunya
dimasukkan ke lembaga pendidikan lain yang berada di dalam
Masjidil Haram, agar dapat membaca Al-Qur’an lebih baik termasuk
13 Hilaluddin MS, Riwayat Ulama Besar Imam Syafi’i, Surabaya : Apollo, 1996, hlm. 69. 14 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Opcit, hlm. 97. 15 Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 7.
16
tajwid dan tafsirnya. Dalam usia 13 tahun, dia sudah mampu
membaca Al-Qur’an dengan tartil dan baik, sudah dapat
menghafalnya, bahkan memahami apa yang dibacanya sebatas
kesanggupan soerang anak yang baru berusia 13 tahun.16
Imam Syafi’i setelah dapat menghafal seluruh isi Al-Qur’an
dengan lancar, dia berangkat ke dusun Baduwy Banu Huzail untuk
mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih. Disana selama
bertahun-tahun dia mendalami bahasa, kesusastraan dan adat istiadat
arab yang asli. Bahkan ketekunan dan kesanggupannya, kemudian
dikenal sangat ahli dalam bahasa arab dan kesusastraannya, mahir
dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat arab yang asli.17
Sepulangnya dari dusun Baduwy Banu Huzail, dia kembali
ke Makkah untuk berguru kepada Imam Muslim bin Kholid Az-
Zanniy tentang ilmu fiqih dan ushul fiqh serta ilmu hadis berguru
kepada Imam sufyan bin Uyainah,18 sampai memperoleh ijazah dan
berhak mengajar serta memberi fatwa.
Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam
belajar. Ini terbukti, pada usia 10 tahun Ia sudah hafal kitab Al-
Muwatto karya Imam Malik. Oleh karena itu, setelah berumur 15
tahun, oleh para gurunya ia diberi izin untuk mengajar dan memberi
fatwa kepada khalayak ramai. Imam Syafi’ipun tidak keberatan
16 H. MH Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Bandung : Pustaka
Hidayah, 2000, hlm. 383. 17 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ibid, hlm. 329. 18 Hilaluddin MS, Ibid
17
menduduki jabatan guru besar dan mufti di dalam Masjidil Haram di
Makkah. Tetapi walaupun demikian dia tetap belajar ilmu
pengetahuan di Makkah.19 Adapun gelar yang disandang Imam
Syafi’i adalah Nashirul Hadits (pembela hadits). Dia mendapat gelar
ini karena dikenal sebagai pembela hadits Rasulullah, dan
komitmennya untuk mengikuti Sunnah Rasul.20
Imam Syafi’i setelah menghafal isi kitab Al-Muwatto, dia
sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik,
sekaligus ingin memperdalam ilmu fiqih yang amat diminatinya.
Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Makkah, dia berangkat
ke Madinah, tempat Imam Malik. Setibanya di Madinah, Imam
Syafi’i sholat di Masjid Nabi SAW dan menziarahi makamnya Nabi
SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Ia sangat dikasihi oleh
gurunya dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktikan isi kitab
Al-Muwatto kepada murud-murid Imam Malik.21
Kesimpulan dari uraian diatas, bahwa Imam Syafi’i
mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan
adab. Di samping pengetahuan hadis yang ia peroleh dari beberapa
negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqih meliputi
Fiqih Ashab Al-Ra’yi di irak dan Fiqih Al-Hadis di Hijaz.
19 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 4. 20 http://www.gp-ansor.org/hikmah/mengenal-kebesaran-imam-asysyafiirahimahullah.html,
di akses tanggal 9 Desember 2009. 21 H. MH Al-Hamid Al-Husaini, Ibid
18
3. Guru-guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i sejak masih kecil adalah seorang yang memang
mempunyai sifat ”pecinta ilmu pengetahuan”, maka sebab itu
bagaimanapun keadaanya, tidak segan dan tidak jenuh dalam
menuntut ilmu pengetahuan. Kepada orang-orang yang
dipandangnya mempunyai pengetahuan dan keahlian tentang ilmu,
diapun sangat rajin dalam mempelajari ilmu yang sedang
dituntutnya.22
Diantara Guru-Guru utama yang membina kepada Imam
Syafi’i antara lain :
1) Ketika berada di Makkah :
a) Muslim bin Kholid (guru bidang fiqih)
b) Sufyan bin Uyainah (guru bidang hadis dan tafsir)
c) Ismail bin Qashthanthin (guru bidang Al-Qur’an)
d) Ibrahim bin Sa’id23
e) Sa’id bin Al-Kudah
f) Daud bin Abdurrahman Al-Attar
g) Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud24
2) Ketika berada di Madinah :
a) Malik bin Anas R.A
b) Ibrahim bin Saad Al-Ansari
22 Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 72. 23 Ibid 24 Ahmad Asy-Syurbasi, Lokcit, hlm. 149.
19
c) Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi
d) Ibrahim bin Yahya Al-Asami
e) Muhammad Said bin Abi Fudaik
f) Abdullah bin Nafi Al-Shani25
3) Ketika berada di Irak :
a) Abu Yusuf
b) Muhammad bin Al-Hasan
c) Waki’ bin Jarrah26
d) Abu usamah
e) Hammad bin Usammah
f) Ismail bin Ulaiyah
g) Abdul Wahab bin Ulaiyah27
4) Ketika berada di Yaman :
a) Yahya bin Hasan
b) Muththarif bin mizan
c) Hisyam bin Yusuf
d) Umar bin Abi Maslamah Al-Auza’i28
5) Di antara yang lain lagi :
a) Ibrahim bin Muhammad
b) Fudhail bin Lyadi
c) Muhammad bin Syafi’i29
25 Ahmad Asy-Syurbasi, 4 Mutiara Zaman, Jakarta : Pustaka Qalami, 2003, hlm. 135. 26 Hilaluddin MS, Lokcit. 27 Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 1997, hlm. 487. 28 Ibid
20
4. Murid-murid Imam Syafi’i
Guru-guru Imam Syafi’i amatlah banyak, maka tidak kurang
pula penuntut ilmu atau murid-muridnya, diantaranya ialah :
1) Abu Bakar Al-Humaidi
2) Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas
3) Abu Bakar Muhammad bin Idris
4) Musa bin Abi Al-Jarud.30
Murid-muridnya yang keluaran Bagdad, adalah :
1) Al-hasan Al-Sabah Al-Za’farani
2) Al-Husain bin Ali Al-Karabisi
3) Abu Thur Al-Kulbi
4) Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari.31
Murid-muridnya yang keluaran Irak, yaitu :
1) Ahmad bin Hambal
2) Dawud bin Al-Zahiri
3) Abu Tsaur Al-Bagdadi
4) Abu ja’far At-Thabari.32
Murid-muridnya yang keluaran Mesir, adalah :
1) Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi
2) Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi
3) Abdullah bin Zuber Al-Humaidi
29 Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 73. 30 Ahmad Asy-Syurbasi, Lokcit, hlm. 151. 31 Ibid. 32 Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1976, hlm. 68.
21
4) Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzany
5) Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Jizi
6) Harmalah bin Yahya At-Tujubi
7) Yunus Abdil A’la
8) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim
9) Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakim
10) Abu Bakar Al-Humaidi
11) Abdul Aziz bin Umar
12) Abu Usman Muhammad bin Syafi’i
13) Abu Hanifah Al-Asnawi33
Para murid Imam Syafi’I dari kalangan perempuan tercatat
antara lain saudara perempuan Al-Muzani. Mereka adalah para
cendikiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah
besar bukunya, baik dalam fiqih maupun lainnya.34
Di antara para muridnya yang termasyhur sekali adalah
Ahmad bin Hambal, yang mana beliau talah memberi jawaban
kepada pertanyaan tentang Imam Syafi’i dengan katanya : ”Allah
Ta’ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami
melalui Imam Syafi’i. Kami telah mempelajari pendapat para kaum
dan kami telah mennyalin kitab-kitab mereka, tetapi apabila Imam
Syafi’i datang kami belajar kepadanya, kami dapati bahwa Imam
33 Sirajuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah,
2004, hlm. 180-181. 34 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, “Fath Al-Mubin Di Tabaqat Al-Usuliyyin”, terj. Husein
Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta : LPKSM, 2001, Cet 1, hlm. 95.
22
Syafi’i lebih alim dari orang-orang lain. Kami senantiasa mengikuti
Imam syafi’i malam dan siang. Apa yang kami dapati darinya adalah
kesemuaannya baik, mudah-mudahan Allah melimpahkan
rahmatNya atas beliau”.35
5. Pemikiran dan Karya Imam Syafi'I
Aliran keagamaan Imam Syafi’i, sama dengan Imam Mazhab
lainnya dari Imam-imam Mazhab Empat : Abu Hanifah, Malik bin
Anas, dan Ahmad bin Hambal adalah termasuk golongan Ahlu Al-
Sunnah Wa Al-Jama’ah. Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah dalam
bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu Al-Hadis
dan aliran Ahlu Al-Ra’yu. Imam Syafi’i termasuk Ahlu Al-Hadis.
Meskipun termasuk golongan sebagai seorang yang beraliran Ahlu
Al-Hadis, namun pengetahuannya tentang fiqih Ahlu Al-Ra’yu tentu
akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan
hukum.36
Imam Syafi’i mempunyai dua pemikiran yang dikenal dengan
nama Qaul Al-Qadim dan Qaul Al-Jadid. Qaul Al-Qadim terdapat
dalam kitabnya Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Sedangkan Qaul
Al-Jadid terdapat dalam kitab Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.37
Pada saat Imam Syafi’i penyampaikan pendapatnya di
Makkah. Apakah itu Qaul Al-Qodim atau Qaul Al-Jadid? Apabila
ditelusuri dari sejarah perjalanan Imam Syafi’i tersebut, dapat
35 Ahmad Asy-Syurbasi, Opcit, hlm. 152. 36 Huzaimah Tahido Yanggo, Opcit, hlm. 124. 37 Ibid.
23
diperkirakan bahwa pendapatnya yang disampaikan di Makkah itu
adalah Qaul Al-Qodim, meskipun pada saat itu Qaul Al-Qodimnya
belum didiktekan kepada murid-muridnya (Ulama Irak).38
Adapun mengenai karya-karya yang ditulis oleh Imam Syafi’i
cukup banyak dalam bentuk kitab maupun risalah, menurut Abu
Bakar Al-Baihaqy dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an. Al-Qadhi
Imam Abu Hasan bin Muhammad Al-Mazuzy mengatakan bahwa
Imam Syafi’i menyusun 133 buah kitab tentang tafsir, fiqih, adab,
dan lain-lain.39
Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah
menjadi dua bagian :
a) Ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, seperti :
1) Al-Umm
2) Al-Risalah
(Riwayat Al-Buwaiti dan dilanjutkan oleh Rabi bin Sulaiman)
b) Ditulis oleh murid-muridnya, seperti :
1) Mukhtasyar oleh Al-Muzanni
2) Mukhtasyar oleh Al-Buwaiti
(Keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i, yaitu :
Al-Imla’ dan Al-Amaly).40
38 Ibid, hlm. 126 39 Huzaimah Tahido Yanggo, Ibid, hlm. 133. 40 Hasby Ash-Shiddieqy, Opcit, hlm. 134.
24
Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri,
didektekan kepada murid-muridnya, maupun dinisbatkan kepadanya,
antara lain sebagai berikut :
a) Kitab Al-Risalah, tentang Ushul Fiqih (riwayat Rabi).41
b) Kitab Al-Umm, sebuah kitab fiqih yang didalamnya dihubungkan
pula sejumlah kitab sebagai berikut :
1) Kitab ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila
2) Kitab Khila Ali wa Ibn Mas’ud.42
3) Kitab Ikhtilaf Malik Wa Al-Syafi’i
4) Kitab Jama’i Al-Ilmi
5) Kitab Al-Rada ‘Ala Muhammad Ibn Al-Hasan
6) Kitab Siyar Al-Auza’iy
7) Kitab Ikhtilaf Al-Hadis
8) Kitab Ibthalu Al-Istihsan
c) Kitab Al-Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab
Al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
d) Kitab Al-Imla’
e) Kitab Al-Amaly
f) Harmalah (didektekan kepada muridnya yang bernama Harmalah
bin Yahya)
g) Mukhtasar Al-Muzainy (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i)
41 Kitab Al-Risalah adalah kitab yang pertama dikarang Imam Syafi’I pada usia muda belia.
Kitab ini ditulis atas permintaan Abdul Rahman bin Mahdy di Makkah. 42 Sebuah kitab yang menghimpun permasalahan yang diperselisihkan antara Ali dengan
Ibn Mas’ud dan antara Imam Syafi’i dengan Abi Hanifah.
25
h) Mukhtasar Al-Buwaity (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i)
i) Kitab Ikhtilaf Al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-
hadis Nabi SAW).43
Karangan diatas adalah hanya sebagian saja yang telah
tercatat, Di samping itu juga ada beberapa risalah dan karangan-
karangan Imam Syafi’i, baik yang dikarang langsung atau tidak
langsung. Tetapi belum pernah dicetak atau belum pernah dicetak
kembali.44
Demikianlah beberapa sumber yang disebutkan di atas yang
dapat digunakan untuk mempelajari kembali pokok-pokok pikiran
Imam Syafi’I sebagai salah seorang Imam Mazhab yang terkemuka
di dunia Islam dan sebagai Mazhab yang banyak dianut oleh bangsa
Indonesia yang beragama Islam.
B. Biografi Yusuf Al-Qardawi
1. Pendidikan Yusuf Al-Qardawi
Yusuf Al-Qardawi lahir di desa Shaf Al-Turab, Mesir bagian
barat, pada tanggal 9 September 1926 M. ketika berusia 2 tahun,
ayahnya meninggal dunia. Ia diasuh oleh pamannya dan mendapat
perhatian yang cukup besar dari pamannya, sehingga ia
menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri. Yusuf Al-Qardawi
43 Huzaimah Tahido Yanggo, Opcit, hlm. 31. 44 H Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta : Erlangga, 1991, hlm. 96.
26
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang taat
beragama. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf Al-Qardawi.45
Ketika masih berusia 5 tahun, ia dididik menghafal Al-
Qur’an secara intensif oleh pamannya, dan pada usia 10 tahun ia
sudah menghafal seluruhnya dengan fasih. Karena kefasihannya,
ditambah kemerduan suaranya, ia sering diminta menjadi Imam.46
Pendidikan tingkat dasar ia tempuh memalui ibtida’iyyah dan
tsanawiyyah di Ma’had Thomtho’ Mesir.47 Kecerdasannya mulai
terlihat ketika ia menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar dengan predikat terbaik yang diraihnya pada
tahun 1952/1953. kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke
jurusan bahasa arab selama 2 tahun. Di jurusan inilah ia lulus dengan
peringkat pertama diantara 500 mahasiswa. Lalu melanjutkan
studinya ke lembaga tinggi riset dan penelitian masalah-masalah
Islam dan perkemmbangannya selama 3 tahun.
Pada tahun 1960, dia memasuki pasca sarjana (Dirasah Al-
Ulya) di Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir. Di Fakultas ini, ia
memilih jurusan Tafsir Hadis atau jurusan Akidah Filsafat.48 Setelah
itu melanjutkan studinya ke program Doctor dan menulis disertasi
yang berjudul ”Fiqhuz Zakat” yang selesai dalam 2 tahun.
45 Abdul Azia Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve,
1996, hlm. 1448. 46 Ibid. 47 Yusuf Al-Qardawi, Syaikh Muhammad Ghazali Yang Saya Kenal, Jakarta : Rabbadi Pers,
1999, hlm. 7. 48 Abdul Azia Dahlan, Opcit, hlm. 1448.
27
Pada tahun 1977, ia ditugaskan memimpin pendirian dan
sekaligus menjadi Dekan l Fakultas Syari’ah dan Studi Islam di
Universitas Qatar hingga akhir tahun 1989/1990. madrasah itulah
yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syari’ah Qatar, yang
kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar dengan beberapa
fakultas. Akhirnya dia kembali mengerjakan tugas rutinnya di Pusat
Riset Sunnah dan Sirah Nabi setelah ditugaskan oleh pemerintah
Qatar untuk menjadi dosen tamu di Aljazair tahun 1990/1991.
Aktivitasnya dalam pengabdian kepada Islam tidak terbatas
pada satu sisi atau medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan
sangat luas serta melebar ke banyak bidang dan sisi yaitu : dalam
bidang ilmu poengetahuan fiqih dan fatwa, dakwah dan pengarahan,
seminar dan muktamar, kunjungan dan ceramah bidang ekonomi
Islam, amal sosial (dalam kebangkitan umat), pergerakan dan ijtihad.
Dan apa yang sangat membantu aktivitas dakwahnya adalah
keterlibatannya dalam gerakan ”Ikhwanul Muslimin”.
Pada perjalanan dakwahnya, ia telah banyak mengalami
rintangan, tantangan, dan tekanan keras, bahkan harus dipenjara
beberapa kali sejak berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah
Umum pada masa pemerintah Raja Faruq tahun 1948. Yusuf Al-
Qardawi juga pernah dipenjarakan pada masa revolusi bulan Januari
tahun 1954, kemudian pada bulan November ditahun yang sama
dipenjarakan selama 20 bulan sejak tahun 1968-1970. Ia ditahan
28
penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan
Ikhwanul Muslimin (Organisasi yang didirikan oleh Syaikh Hasan
Al-Banna 1906-1949), pada tahun 1928 yang bergerak dalam bidang
dakwah, kemudian bergerak dalam bidang politik.49
Dia pernah dipenjara pada tahun 1956 selama kurang lebih 2
bulan di sebuah penjara militer kelas satu di Thomtho’ bersama
teman-temannya pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin. Untuk
mengatasi agar tidak dipenjara lagi karena beberapa artikel yang
ditulisnya, ia disarankan oleh salah satu dari gurunya agar
menggunakan nama samaran yaitu Yusuf Abdullah sebagai ganti
nama ”Qardawi”.50
Jabatan-jabatan yang pernah disandang olehnya sebagai
bentuk pengabdian terhadap Islam, diantaranya adalah :
a) Di lingkungan akademis, Yusuf Al-Qardawi adalah sebagai
Profesor dan Dekan Fakultas Syari’ah di Studi Islam di
Universitas Qatar.
b) Direktur sekaligus pendiri Pusat Kajian Dan Sirah di Universitas
Qatar.
c) Anggota Majlis Pengembangan Dakwah Islamiyah di Afrika.
d) Anggota pendiri Yayasan Kebajikan Islam Internasional.51
49 Ishom Talimah, “Al-Qardawi Tiggihan”, Terj. Samson Rahman, Manhaj Fiqh Yusuf Al-
Qardawi, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet I, hlm. 128-135. 50 Yusuf Al-Qardawi, Opcit, hlm. 14. 51 Yusuf Al-Qardawi, “Al-Fatwa Al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, Masalah-
Masalah Islam Kontemporer, Jakarta : Najah Press, 1994, hlm. 61.
29
Sebagai seorang tokoh intelektual termasuk aktivitas Yusuf
Al-Qardawi sangat baik dalam bidang akademis ataupun non
akademis seperti : khutbah, ceramah, menulis artikel, mengikuti
muktamar-muktamar di Negara Islam maupun di luar Negara Islam,
melakukan riset dan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan
dakwah Islam
2. Pemikiran Dan Karya Yusuf Al-Qardawi
Yusuf Al-Qardawi Sebagai soerang ilmuan dan da’I, dia juga
aktif menulis berbagai artikel keagamaan di berbagai media cetak.
Dia juga aktif melakukan penelitian tentang Islam di berbagai dunia
Islam maupun diluar Islam. Dalam kapasitasnya sebagai seorang
kontemporer, dia banyak menulis buku dan berbagai masalah
pengetahuan Islam. Diantara karya-karyanya yang sudah popular di
kalangan perguruan tinggi dan pesantren ialah :52
a) Al-Halal Wal Al-Haram Fi Islam (tentang masalah yang halal
dan yang haram dalam Islam).
b) Fiquz Zakat (berbagai masalaqh zakat dan hukumnya)
c) Al-Ibadah Fi Al-Islam (hal ihwal ibadah dalam Islam)
d) Musykilat Al-Faqr Wa Kaifa ‘Alajah Al-Islam (membahas
perbedaan paham sebagian golongan dalam Islam dan cara yang
ditempuh Islam untuk menyelesaikannya)
e) An-Nas Wa Al-Haqq (tentang manusia dan kebenaran)
52 Ibid.
30
f) Al-Iman Wa Al-Hayah (mengenai keimanan dan kehidupan)
g) Al-Hulul Al-Mustawadah (paham hulul <Tuhan mengambil
tempat pada diri manusia> yang di impor dari non muslim)
h) Al-Hill Al-Islam (kebebasan Islam)
i) Syari’ah Al-Islamiyah Khuluduha Wa Salihuha Li Fathiq Li Kuli
Zaman Wa Makan (mengenai syariat Islam, elastisitas dan
kesesuaiannya dalam penerapannya pada setiap masa dan tempat)
j) Asar Al-Fikrat Hukm Al-Islami (dasar pemikiran hokum Islam)
k) Al-Ijtihad Fi Syari’ah Al-Islamiyyah (ijtihad dalam Islam)
l) Fiqh As-Siyam (fiqih puasa).
Karya-karya diatas adalah karya dari Yusuf Al-Qardawi yang
terdiri berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu, masih banyak
lagi karya-karyanya yang lain.
31
BAB III
PENDAPAT IMAM SYAFI'I DAN YUSUF AL-QARDAWI
TENTANG PENGERTIAN FI SABILILLAH
A. Pendapat Imam Syafi'I Tentang Pengertian Fi Sabilillah
Imam Syafi’I dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan :
ويعطى من سهم سبيل اهللا جّل وعّز من عزا من جيران وغنيا وال يعطى منه غيرهم االان يحتاج الّصدقة فقيرا آان ا
الي الدفع عنهم فيعطاه من دفع عنهم المشرآين
“Diberikan dari bagian sabilillah, orang yang berperang yang termasuk dekat dengan harta yang dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka fakir atau kaya. Tidak diberikan yang lain dari orang tersebut, kecuali memberi buat orang yang menghalangi kaum musyrik”.1
Dalam hal ini Imam Syafi’i menerangkan bahwa Sabilillah adalah
orang-orang yang berperang untuk mempertahankan diri (Islam) dari
serangan orang-orang musyrik. Orang-orang ini berhak mendapatkan
bagian zakat daan mensyaratkan orang yang dekat dengan harta
zakat, karena menurut pendapatnya tidak boleh memindahkan zakat
ke tempat lain dimana harta itu berada.
Jadi, Sabilillah menurutnya adalah sukarelawan yang
berperang untuk kepentingan Islam dan tidak mendapatkan gaji dari
baitul maal di daerah tersebut. Mereka berhak mendapatkan bagian
1 Al-Imam Asy-Syafi’i R.A, Al-Umm (Kitab Induk), Jakarta : CV Faizan, 1981, hlm. 6.
32
zakat yang diperuntukkan untuk Sabilillah. Karena tidak lain
sabilillah merupakan hal yang berhubungan dengan perang.
لعدو بموضع شاط التناله ان يكون فيهاا: قال شافعى الجيوش اال بموء نة ويكون العدو باءزاء قوم من اهل
الصَّدقات فاعان عليهم اهل الّصدقات اما بنية فاري ان يقوى بسهم سبيل اهللا من الّصدقات
“Imam Syafi’i berkata : Bahwa ada padanya musuh pada tempat yang jauh, yang tidak bisa tercapai oleh tentara kepadanya, selain dengan perbelanjaan. Dan musuh itu berada, berbetulan dengan kaum yang berhak atas zakat. Maka ditolong oleh orang-orang yang memberi zakat kepada mereka. Adakalanya dengan niat. Maka saya berpendapat, supaya dikuatkan dengan bagian zakat dari sabilillah”.2
Oleh karena itu, dia menguatkan makna Sabilillah tidak lain
adalah perang untuk jalan Allah. Dan orang yang menerima zakat
bukanlah seorang tentara yang sudah mendapatkan gaji dari
pemerintah, melainkan seseorang yang tidak mendapatkan gaji tetapi
ia mau untuk berperang demi menegakkan agama Allah.
Fi Sabilillah menurut Imam Syafi’I adalah tidak lain hanya
perang.
3وسهم سبيل اهللا في الكراع والسالح في ثغرالمسلمين
”Dan bagian Sabilillah mengenai kuda dan senjata pada benteng orang muslimin”.
Sabilillah yang digambarkan dalam pengertian diatas menyangkut
kuda dan senjata. Selain ada orang-orang ada juga kuda yang terlibat
2 Al-Imam Asy-Syafi’i R.A, Opcit, hlm. 37. 3 Imam Syafi’I R.A, Al-Umm I, Damaskus : Darul Fikru, 1986, hlm. 97.
33
didalamnya. Akan tetapi kuda yang dimaksud adalah sebagai alat
bukan digambarkan sebagai Sabilillah yang menerima zakat.
Sabilillah yang menerima zakat tidak lain adalah mengenai orang-
orang yang berperang menggunakan kuda dan senjata seperti yang
diterangkan dalam pengertian diatas.
Pendapat yang lain adalah :
4 ويعطي الغزاة الحمولة والرحل والسالح والنفقة والكسوة
”Orang-orang yang berperang diberikan ongkos pengangkutan, kendaraan, senjata, pembelanjaan, dan pakaian”.
Imam Syafi’i tidak lain mengartikan Fi Sabilillah adalah
perang menggunakan senjata, karena pada waktu itu masih banyak
terjadi pemberontakan dari kaum musyrikin terhadap orang Islam
yang mengakibatkan peperangan dengan senjata. Pengangkutan,
kendaraan, pembelanjaan, dan pakaian juga masuk dalam kategori
perang, sebab hal tersebut memang dibutuhkan untuk perang.
Orang-orang yang diberi bagian dari zakat tersebut bisa
digunakan untuk ongkos pengangkutan, senjata, pembelanjaan, dan
pakaian. Hal itulah yang merupakan bagian dari Fi Sabilillah yang
diberikan kepada orang-orang dalam kategori Fi Sabilillah.
4 Ibid. hlm. 81.
34
B. Metode Istinbath Imam Syafi'I Dalam Merumuskan Pengertian
Fi Sabilillah
Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan suatu masalah, dia
selalu memakai hadis karena dia adalah seorang yang sangat
menjunjung tinggi nilai hadis sebagai penjelas sesuatu masalah yang
tidak ada dalam Al-Qur’an.
Di kabarkan oleh Malik dari Zaid bin Aslam, dari ’Atha’ bin
Yassar, bahwa Rasullullah SAW bersabda :
اّن رسول : اخبرنا مالك عن زيد بن اسلم عن عطاء ابن يسارالتحل الّصدقة اال لغاز في : اهللا صلي اهللا عليه وسلم، قال
سبيل اهللا او لعامل عليها او لغارم اولرجل استراها بماله اولرجل له جار مسكين
”Tidak halal zakat, selain bagi orang yang berperang pada jalan Allah (sabilillah) atau bagi amil zakat atau bagi orang yang berhutang atau bagi orang yang membeli dirinya dengan hartanya (budak mukatab) atau bagi orang yang mempunyai tetangga miskin”.5
Dari hadis tersebut kita tahu bahwa harta zakat tidak
diperbolehkan untuk golongan orang-orang kaya kecuali mereka
adalah orang yang berperang di jalan Allah, amil, dan sebagainya.
Karena selain dari yang disebutkan pada Surat At-Taubah : 60, orang
kayapun berhak atas zakat dengan ketentuan-ketentuan tertentu
seperti yang ada pada hadis di atas.
Kandungan makna yang pertama disebutkan dalam hadis itu
juga adalah orang yang berperang pada jalan Allah. Hal ini
5 Al-Imam Asy-Syafi’i R.A, Opcit, hlm. 7
35
dimasukkan pada pengertian Sabilillah, karena tidak lain pengertian
dari Sabilillah kecuali untuk keperluan yang ditujukan untuk jalan
Allah.
Dasar inilah yang dipakai Imam Syafi’i dalam menerangkan
istinbath hukumnya tentang pendapatnya mengenai pengertian Fi
Sabilillah. Dalam menafsirkan makna ini dia bisa dikatakan sejalan
dengan Imam Malik, dalam hal, yang pertama : Mensyaratkan
mujahid sukarelawan yang berperang itu tidak mendapat gaji atau
bagian yang tetap dari kas Negara, yang pada waktu itu disebut baitul
mal. Kedua : mereka tidak memperbolehkan golongan ini diberi
bagian dari zakat melebihi bagian yang diserahkan pada sasaran lain.
Imam syafi’I memandang kedudukan Hadis sebagai penjelas
dari nash Al-Qur’an. Karenanya, dia lebih sering memakai Hadis.
Imam Syafi’I pernah berkata : “Barang siapa yang menuntut ilmu
pengetahuan dengan tidak ada alasan dari hadis Nabi, seperti
seperti seseorang yang buta pada malam hari, ia membawa seberkas
kayu dan didalamnya terdapat seekor ular berbisa yang akan
memagutnya, padahal dia tidak mengetahuinya”.6
6 Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 65.
36
األصل قران وسنة فإن لم يكن فقياس عليهما
”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an dan
Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al-
Qur’an dan Sunnah”.7
Dalam pokok pola pikir Imam Syafi’i diatas, ini jelas bahwa dia
hanya memakai Al-Qur’an dan Hadis apabila sudah ada dalam Al-
Qur’an ataupun Hadis mengenai permasalahan yang dibahas.
Apabila tidak ada baru dia mengqiyaskannya.
Metode istinbath Imam Syafi’i tidak lain adalah dari hadis
Nabi SAW, dimana hadis diatas menggambarkan yang disebut
bahwa Fi Sabilillah adalah berperang. Selain dari hadis tersebut,
masih banyak lagi hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Fi
Sabilillah adalah perang, akan tetapi hanya hadis diataslah yang
digunakan Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm mengenai Fi
Sabilillah.
C. Pendapat Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah
Yusuf Al-Qardawi dalam kitabnya Fiqhuz Zakat
menerangkan bahwa :
الطريق الموصل الى مرضاته اعتقاد اوعمال: سبيل اهللا “Sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah, baik akidah maupun perbuatan”.8
7 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997, hlm. 127. 8 Yusuf Al-Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004, hlm. 610
37
Yusuf Al-Qardawi menjelaskan bahwa Sabilillah adalah adalah jalan
yang menyampaikan pada ridha Allah dan tidak terbatas hanya
kepada perang saja. Hal ini lebih luas dari pendapat Imam Syafi’i
yang mengartikan bahwa sabilillah adalah perang. Yusuf Al-Qardawi
dalam menjelaskan pendapatnya selangkah lebih maju. Bisa dilihat
dari pendapat yang dikemukakannya di bawah ini :
فان من اعظم الجهاد انشاء مدرسة اسالمية خالصة، تعلم ابناء المسلمين وتحصنهم من معاول التخريب الفكريِ
والحلقي ”Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran islam yang murni, mendidik anak-anak kaum muslimin dan memeliharanya dari pecangkokan kehancuran fikiran dah ahlak”.9
Pendapat dari Yusuf Al-Qardawi lebih cocok dengan apa
yang terjadi sekarang. Dia mengatakan Sabilillah yang paling utama
adalah mendirikan madrasah, mendidik kaum muslimin untuk
belajar. Hal ini sangatlah tepat dimana sekarang sudah tidak ada lagi
yang namanya perang khususnya di Indonesia.
Hadis-hadis Nabi SAW banyak sekali mengemukakan
tentang Fi Sabilillah. Dan tak soerangpun yang mengartikan
Sabilillah kecuali dengan jihad.10 Alasan ini cukup kuat, dimana para
Jumhur Ulamapun menyatakan maksud sabilillah pada ayat sasaran
zakat adalah jihad.
9 Ibid, hlm 635. 10 Ibid, hlm. 632.
38
Sesungguhnya jihad itu kadangkala bisa dilakukan dengan
tulisan dan ucapan sebagaimana pula bisa dilakukan dengan pedang
dan pisau. Kadangkala juga dilakukan dalam bidang pemikiran,
pendidikan, sosial, ekonomi, politik, sebagaimana dilakukan dengan
kekuatan bala tentara. Seluruh jihad ini membutuhkan bantuan dan
dorongan materi. Yang paling penting, terwujudnya syarat utama
pada semuanya itu, yaitu hendaknya sabilillah itu dimaksudkan
untuk membela dan menegakan kalimat Islam di muka bumi ini.11
Kemana bagian Fi Sabilillah sekarang? Diapun
mengungkapkan zakat untuk Fi Sabilillah bisa kita gunakan untuk
mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang reprensatif, dimana hal
tersebut digunakan untuk mendidik pemuda-pemuda muslim,
menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah Islam dari
kekufuran, karena itu adalah masuk dalam kategori Fi Sabilillah.12
Mendirikan percetakan surat kabar yang baik, untuk
menandingi berita-berita dari surat kabar yang merusak aqidah dan
menyesatkan, agar kalimat Allah tetap tegak, membela Islam dari
berita-berita kebohongan dan dijelaskan Islam itu adalah bersih dari
penipuan-penipuan, inipun termasuk juga kategori Fi Sabilillah.13
Alasan-alasan Yusuf Al-Qardawi yang memperluas arti ini
adalah : pertama : bahwa jihad dalam Islam tidak hanya terbatas
pada peperangan dan pertempuran saja, akan tetapi bisa dilakukan
11 Ibid. 12 Ibid, hlm. 643. 13 Ibid.
39
dengan lidah dan harta. Kedua : apa yang telah disebutkan beliau atas
pengertian tentang jihad dan kebangkitan Islam. Kalau tidak
termasuk ke dalam jihad dengan nash, maka wajib menyertakannya
kedalam Qiyas. Keduanya adalah perbuatan yang bertujuan untuk
membela Islam, menghancurkan musuh-musuhnya dan menegakan
kalimat Allah.14
D. Metode Istinbath Yusuf Al-Qardawi Dalam Merumuskan
Pengertian Fi Sabilillah
Masa Yusuf Al-Qardawi hidup adalah masa dimana dunia
sudah modern. Inilah metode munculnya pendapat dari Yusuf Al-
Qardawi. Dengan hidup dimasa dimana sudah tidak ada lagi yang
namanya perang, diapun mengartikan Fi Sabilillah tidak hanya
terbatas pada perang. akan tetapi semua hal kebaikan yang bertujuan
untuk menegakkan kalimat Allah adalah Fi Sabilillah.
Yusuf Al-Qardawi masa hidupnya berbeda dengan Imam
Syafi’I yang pada waktu itu masih banyak terjadi peperangan
dimana-mana. Zaman Yusuf Al-Qardawi bisa dikatakan Negara
sudah merdeka karena di Mesir tidak ada lagi perang. hal inilah
sangat berpengaruh terhadap ijtihad para ulama khususnya Yusuf Al-
Qardawi sendiri.
Hampir sama seperti Imam Syafi’I, Yusuf Al-Qardawi juga
berpegang pada hadis Nabi. Dia lebih menitik beratkan kepada
14 Ibid.
40
sesuatu perbuatan untuk kepentingan jalan Allah, seperti :
pembangunan madrasah, pembangunan masjid, pembangunan pusat
kegiatan Islam, dan lain-lain.
Hadis Bukhari dan Muslim menyatakan :
لغدوة في سبيل اهللا أوروحة خير من الدنيا وما فيها
”Sesungguhnya pergi atau berangkat untuk membela agama Allah lebih baik dari dunia dan segala isinya”.15
Maksud dari berangkat untuk membela agama Allah adalah
segala berbuatan yang ditujukan untuk kemajuan agama Islam seperti
yang telah dicontohkan diatas. Oleh karena itu, hadis tersebut adalah
hadis yang menjadi pokok pikiran Yusuf Al-Qardawi dalam
merumuskan pendapatnya mengenai Fi Sabilillah.
Hadis lain riwayat Imam Nasa’i dan Turmizi dengan hadis
Hasan menyebutkan :
من أنفق نفقة في سبيل اهللا آتبت بسبعمأة ضعف ”Barang siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka akan dituliskan dengan tujuh ratus kali lipat”.16
Karenanya tepatlah tidak meluaskan maksud Sabilillah untuk
segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan takarrub
15 Ibid, hlm. 632 16 Ibid.
41
kepada Allah, sebagaimana tepatnya tidak terlalu menyempitkan arti
kalimat ini hanya untuk jihad dalam arti bala tentara saja.17
Dasar itulah mengatakan bahwa Yusuf Al-Qardawi
menggunakan hadis seperti Imam Syafi’i. Dia berpandangan pada
hadis Nabi SAW dan selanjutnya lebih melihat situasi dan kondisi
dalam menarjihkannya dengan tidak keluar dari sumber hukum Islam
yang telah disepakati para Jumhur Ulama.
17 Ibid.
42
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF PENDAPAT IMAM SYAFI'I DENGAN
YUSUF AL-QARDAWI TENTANG PENGERTIAN
FI SABILILLAH
A. Analisis Komparatif Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Dengan Yusuf Al-
Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah
Imam Syafi’I dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa fi sabilillah
adalah relawan yang berperang melawan orang-orang kafir untuk tegaknya
agama Islam dan tidak mendapat gaji dari pemerintah setempat. Hal ini
memang sangat logis, dimana pada waktu itu banyak terjadi perang dan tidak
lain dari pengertian fi sabilillah adalah perang melawan musuh yaitu orang-
orang kafir.
Pendapat ini juga dikatakan sama dengan para Ulama Salaf yang lain,
seperti : Imam Malik, Abu Yusuf, Ibnu Qudamah, dan lain sebagainya.
Mereka juga berpendapat sejalan dari apa yang di utarakan oleh Imam Syafi’i.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa kitab-kitab yang dikarang dari para ulama
tersebut.
Penulis menganggap bahwa pendapat Imam Syafi’I memang relevan
pada zaman itu. Sah-sah saja dia berpendapat dan mengatakan Fi Sabilillah
adalah perang menggunakan senjata. Akan tetapi bila digunakan pada zaman
sekarang tidak bisa diterima khususnya di Indonesia. Karena dizaman yang
modern ini sudah tidak ada lagi yang namanya perang dengan senjata
43
melawan orang-orang kafir.
Dalam masalah ini pendapat dari Imam Syafi’i juga bisa dipakai pada
masa sekarang. Pendapatnya bisa dipakai pada suatu daerah yang masih terjadi
konflik perang, misalnya : Afganistan, Pelestina, Libanon, dan lain
sebagainya.
Imam Syafi’i lebih menekankan bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah
adalah mengenai orangnya. Dalam pendapatnya juga bisa diartikan demikian,
yang tidak lain adalah orang yang berperang yang mendapat bagian zakat
untuk Fi Sabilillah. Oleh sebab itu walaupun ada kuda dan lain sebagainya,
akan tetapi selain dari pada orang tidak bisa dikatakan Fi Sabilillah.
Perang menggunakan senjata, itulah pendapat dari Imam Syafi’i.
Konteks ini berhubungan dengan zaman dia hidup yang masih banyak terjadi
peperangan dan pemberontakan. Sah-sah saja dia mengartikan perang dengan
menggunakan senjata karena untuk melawan musuh yang menggunakan
senjata harus juga menggunakan senjata.
Pendapat dari Yusuf Al-Qardawi lain lagi, dia menerangkan pengertian
Sabilillah adalah jalan yang menuju pada keridhoan Allah. Artinya segala
perbuatan yang diperuntukkan untuk kepentingan pada jalan Allah. Misalnya
pembangunan masjid, mushola, madrasah, dakwah untuk menguatkan imam
para kaum muslimin, dan lain sebagainya.
Disini disebutkan dalam berjihad bisa dilakukan dengan harta, seperti :
mendirikan sekolah-sekolah, madrasah, masjid. Dengan diri, bisa diartikan
berperang melawan orang-orang kafir. Dengan lidah, seperti : dakwah dalam
44
meluruskan, menguatkan ataupun menyebarkan agama Islam. Hal itulah
merupakan pendapat dari Sabilillah menurut Yusuf Al-Qardawi.
Pendapat dari Yusuf Al-Qardawi lebih cocok dipakai di Indonesia..
Pendapat Yusuf Al-Qardawi bisa dikatakan sangat kuat yang menerangkan
bahwa Fi Sabilillah adalah menegakkan kalimat Allah. Adapun cara untuk
menegakkan kalimat Allah sangatlah banyak seperti yang telah disebutkan
pula diatas.
Dalam menarjihkan masalah ini, Yusuf Al-Qardawi berpegang pada
kedua Hadis yang telah disebut pada bab sebelumnya. Dengan dasar inilah
yang dipakai Yusuf Al-Qardawi, karena itu sangatlah wajar jika beliau
mengatakan bahwa Sabilillah bukan hanya terbatas pada perang, tetapi
pekerjaan yang bisa dilakukan dengan harta dan lidah untuk tujuan
menegakkan agama Islam.
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis banyak ayat-ayat mengenai Fi
Sabilillah yang mengandung arti adalah jihad. Hal tersebut dikarenakan juga
turunnya ayat itu memang pada masa yang masih bergejolak terjadinya
perang. Jadi, bisa dikatakan pendapat Imam Syafi’I lebih relevan dengan masa
turunnya ayat. Karena pandangan dari Imam syafi’I pada waktu itu masih
sangat sempit. Akan tetapi jika dilihat pula pada isi pokok kandungan ayat
pendapat Yusuf Al-Qardawi adalah yang sangat pas, bisa dilihat dari makna
ayat tersebut. Dimana disebutkan yang termasuk Fi Sabilillah adalah jihad
yang menegakkan kalimat Allah dengan setinggi-tingginya. Dengan kata lain
jihad adalah perang, tetapi tidak harus di artikan dengan perang.
45
Kedua Ulama tersebut sah-sah saja dengan apa yang mereka
ungkapkan, kerena mereka punya zaman tersendiri. Imam Syafi’i hidup di
zaman Ulama Salaf sedangkan Yusuf Al-Qardawi hidup di zaman modern.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kududukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang
banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi SAW. Hal ini berarti, bahwa
orang bebas memilih salah satu pendapat dari pandapat yang banyak itu, dan
tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.1
Sebagian orang memang mempertanyakan, bahwa perbedaan pendapat
kenyataannya membawa laknat, bukan rahmat. Perbedaan pendapat
dikalangan orang awam dan orang yang kurang ilmunya memang demikian.
Perbedaan pendapat dikalangan cendekiawan atau ilmuwan, itulah yang
membawa rahmat, karena wawasan dan pandangannya luas dan tidak kaku.2
Perbedaan pendapat antara keduanya bisa dipandang akan menguatkan
struktur Islam itu sendiri. Andaikan tidak ada perbedaan pendapat maka tidak
akan terjadi persatuan, adanya persatuan karena perbedaan.
B. Analisis Komparatif Terhadap Istinbath Hukum Imam Syafi’i Dengan
Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah
Pemikiran Imam Syafi’i dalam merumuskan suatu pengertian tidak
lepas dari peran para guru nya. Pemikiran-pemikiran gurunya selalu menjadi
pertimbangan dalam menetapkan kaidah-kaidah fiqih, walaupun tidak semua
1 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 8. 2 Ibid.
46
pemikiran dari para gurunya digunakan dalam beristinbath selain dari pada
sumber hukum Islam.
Imam Syafi’i dalam beristinbath memang meniru dari para gurunya,
meskipun tidak semua metode istinbath dari para gurunya dia pakai. Hal ini
merupakan contoh dari sifat teladan Imam Syafi’I yang sangat ta’dhim dan
menganggap guru-gurunya adalah sebagai sosok panutan yang harus ditiru
baik dari segi tingkah laku maupun cara berfikir. Inilah salah satu kunci
kesuksesan Imam Syafi’i dalam perjuangannya dalam menegakkan agama
Islam.
Menurut penulis, memang sangatlah wajar jikalau seorang ulama besar
sangat mengagumi para gurunya. Karena bagaimanapun, seorang guru
sangatlah berjasa besar dengan kesabarannya dalam mendidik, mengarahkan,
dan memberitahu tentang sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak kita ketahui.
Dalam satu riwayat menyatakan bahwa salah satu dari kunci sukses dalam
menuntut ilmu adalah ta’dhim kepada guru
Imam malik merupakan guru yang sangat dia kagumi. Hal ini
didasarkan pada Imam Syafi’i yang telah hafal kitab Al-Muwatto sejak masih
berusia 10 tahun. Banyak pengalaman yang didapat Imam Syafi’i ketika
belajar pada Imam Malik. Selain itu, dalam memecahkan setiap permasalahan
hukum ataupun dalam beristinbath, dia sering meniru metode cara berfikir
Imam Malik. Dalam menetapkan makna Fi Sabilillah, Imam Malik
mengatakan bahwa Sabilillah itu bermakna tentara yang berperang. Oleh
47
karena itu, tidak jauh pemikiran Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
sabilillah adalah sukarelawan yang berperang.
Hadis Nabi merupakan alat yang tidak pernah lepas darinya dalam
mengeluarka pendapat yang menerangkan makna Fi Sabilillah. Banyak dari
hadis-hadis Rasul yang bermakna Fi Sabilillah adalah jihad. Karena itulah dia
dalam mengungkapkan makna Fi Sabilillah adalah perang.
Imam Syafi’I dalam hal Hadis terlihat pada dasar-dasar mazhabnya.
Dalam kitabnya Al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar
mazhabnya serta beberapa contoh bagaimana merumuskan fiqih. Baginya Al-
Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, bahkan merupakan satu
kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori Istidlal, seperti : Qiyas,
Istihsan, Istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode
merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah merupakan karakteristik
menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. menurutnya, kedudukan Sunnah dalam
banyak hal mennjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari Al-
Qur’an. Karenanya, Sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi punya
keterkaitan erat dengan Al-Qur’an. Hal ini dapat dipahami karena Al-Qur’an
dan Sunnah adalam Kalamullah Nabi Muhammad SAW. Tidak berbicara
tantang hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh
Allah.
Dari keterangan di atas dapat diketahui pemikiran metodologis Imam
Syafi’i. Dia begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah,
48
diapun menganggap sunnah sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Inilah bukti
bahwa Imam Syafi’i sangat menjunjung tinggi keberadaan Hadis dan
menjajarkannya dengan Al-Qur’an, karena itu rumusan Imam Syafi’i punya
nuansa dan paradigma baru.
Penulis menganggap Hadis sebagai salah satu metode Imam Syafi’I
dalam menerangkan pengertian Fi Sabilillah. Imam Syafi’i adalah soerang
yang sangat kagum terhadap Hadis, karena itu dia menempatkannya sebagai
penjelas dari pada Al-Qur’an. Hal tersebut memang dipandang sangat rasional
dimana perilaku, perbuatan dan perkataan Rasul SAW punya kedudukan
tertinggi dalam sumber hukum Islam.
Hal inilah yang menjadi salah satu dasar Imam Syafi’I dalam
merumuskan pengertian Fi Sabilillah. Karena dia sangat menghormati dan
menghargai para penuntut hadis dan para ahli hadis Rasul dengan
penghargaan setinggi-tingginya.3 Dan diapun menganggap bahwa kedudukan
hadis Nabi sebagai penjelas dari pada Al-Qur’an.
Zaman merupakan salah satu indikasi pendapat Imam Syafi’i yang
menyatakan sabilillah adalah perang. Tidak dipungkiri lagi bahwa masa atau
keadaan pada waktu itu punya peran yang sangat besar dalam pemikiran Imam
Syafi’i. Karena zaman pada saat dia hidup masih banyak terjadi peperangan
dimana-mana. Oleh sebab itu, sangatlah logis bila perang masuk dalam
kategori Fi Sabilillah.
3 Hilaluddin MS, Riwayat Ulama Besar Syafi’i, Surabawa : Apollo, 1996, hlm. 57.
49
Masa Imam Syafi’I hidup pada waktu itu masih banyak terjadi perang.
Hal inipun juga menjadi dasar terhadap pendapatnya yang mengatakan bahwa
sabilillah adalah perang.
Imam Syafi’I dalam menarjihkan pendapatnya sangatlah literalis. Dia
memakai Qiyas tetapi tidak memakai istihsan (Berpindah dalam menetapkan
hukum, adakalanya dari hukum yang ditunjuki oleh umum nash ke hukum
khusus, dan adakalanya berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh
penerapan satu kaidah Syar’iyyah ke kaidah Syar’iyyah yang lain).4 Qiyas dia
pakai jikalau tidak ada dasar hukum yang jelas. Dalam pembahasan ini dasar
hukum sudah jelas yaitu dari hadis, oleh sebab itu Qiyas tidak dipakai oleh
Imam Syafi’I dalam menerangkan Fi Sabilillah.
Yusuf Al-Qardawipun dalam berijtihad juga bisa dikatakan sama
dengan Imam Syafi’i. Salah satunya adalah mengenai masa. Pada saat dia
hidup, zaman sudah maju. Berbeda dengan zamannya Imam Syafi’i yang pada
waktu itu masih banyak terjadi perang. Oleh karena itu, Yusuf Al-Qardawi
bependapat bahwa Fi Sabilillah bukan hanya perang, akan tetapi suatu
perbuatan yang menuju pada ridho Allah adalah pengertian dari Fi Sabilillah.
Zaman sebagai asal mula dari pendapat Yusuf Al-Qardawi mengenai
Sabilillah memang sangatlah sesuai dengan tempatnya. Karena hal ini sama
pula seperti Imam Syafi’i yang dalam pemaknaan Fi Sabilillah disesuaikan
dengan zaman pada saat dia hidup. Oleh sebab itu, pemaknaan Yusuf Al-
4 Zarkasi Abdul Salam, dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh I,
Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1994, hlm. 114.
50
Qardawi yang mengambil dari kesesuaian dengan zaman pada waktu itu
sangatlah tepat dan bisa diterima masyarakat pada umumnya.
Hadis juga dipakai Yusuf Al-Qardawi dalam hal ini. Pemaknaannya
dalam kitab Fiqhuz Zakat yang menyatakan bahwa sabilillah bukan hanya
perang. hal ini terlihat jelas bahwa dia memakai hadis dalam menerangkan
makna Fi Sabilillah, Sebagian besar dalil-dalil agama yang digunakan
berbentuk pernyataan-pernyataan umum. Yusuf Al-Qardawi memberi alasan
supaya lingkup pengertiannya yang merupakan rahasia dan membuat bahasan
ini cocok untuk setiap masa dan tempat serta sesuai dengan perkembangan
zaman.
Yusuf Al-Qardawi berpendapat bahwa keumuman ayat-ayat dan hadis-
hadis harus diperhatikan dan diterima selama tidak terdapat dalil-dalil lain
yang lebih tegas menunjukkan hal ini berlaku khusus. Bila terjadi demikian,
barulah kita bisa mendahulukan yang khusus dari pada yang umum.5
Menurut penulis, sumber-sumber dalil yang digunakan Yusuf Al-
Qardawi sangatlah komplit dan relevan. Ini bisa dilihat dari alasan-alasan
beliau yang sangat valid dan tepat dalam melampirkan dalil-dalil yang
digunakan disetiap permasalahan. Dan juga tidak ketinggalan ijtihad para
ulamapun digunakan untuk lebih memberi warna tersendiri.
Yusuf Al-Qardawi dalam memperbandingkan Mazhab-mazhab yang
terdapat dalam Islam, dia tidak membatasi hanya pada Empat Mazhab besar
yang terkenal saja, akan tetapi lebih dari itu. Dalam Islam terdapat Mazhab-
5 Yusuf Al-Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004, hlm. 20.
51
mazhab ahli fiqih, sahabat, dan tabi’in sesudah mereka yang tidak bisa
diabaikan dan dikesampingkan begitu saja, baik dipandang dari segi agama
maupun logika. Akan tetapi tidak semua pendapat dapat dijadikan bahan
referensi olehnya kecuali pendapat Rasul SAW.
Hal itulah yang membuat Yusuf Al-Qardawi menerima pendapat satu
Ulama yang tidak begitu terkenal dan menolak pendapat mayoritas ulama
(Jumhur). Beliau berpendapat kebenaran tidak selamanya berada dipihak
mayoritas sedangkan minoritas selalu salah. Oleh karena itu, pendapat para
Ulama hanya beliau dijadikan saranu untuk melengkapi.
Ada juga Ulama yang berpendapat bahwa adanya dua pendapat tentang
satu persoalan menunjukkan ijtihad tentang persoalan itu boleh. Pendapat
ketiga itu adalah sesuatu yang lahir dari ijtihad, oleh karena itu boleh saja.
Sebagian tabi’in misalnya membuat pendapat ketiga tentang beberapa masalah
yang belum pernah disinggung sahabat-sahabat. Hal itu lebih baik, apabila
masalah itu merupakan masalah-masalah yang perlu diijtihadkan, yang bisa
mengakibatkan berbagai pandangan dan pendapat yang terjadi.6
Yusuf Al-Qardawi selain menggunakan masa dan hadis, dia juga
memperbandingkan Mazhab dalam memaknai Sabilillah. Bukan hanya dari
Empat Mazhab besar saja, akan tetapi seperti Mazhab Ja’fari dan Mazhab
Zaidi masuk dalam studi perbandingannya. Maka tidak heran apabila pendapat
yang dikeluarkannya sangatlah modern dengan tidak meninggalkan sifat-sifat
keIslaman.
6 Ibid, hlm. 24.
52
Yusuf Al-Qardawi sendiri dalam mengartikan ini lebih mengutamakan
kemaslahatan dan ia menggunakan Qiyas serta Istihsan. Dia memakai Qiyas
Khofi yang menutupi Qiyas Jali, seperti contoh : hal yang tampak adalah
perang, akan tetapi dibalik perang ada dakwah, dakwah itulah sebagai illat.
Karena itulah pendapat Yusuf Al-Qardawi lebih menekankan pada
kemaslahatan umat yang menuju pada jalan Allah.
Titik temu dalam penelitian ini antara pendapat Imam Syafi’I dan
Yusuf Al-Qardawi mengenai pengertian Fi Sabilillah adalah dalam hal metode
istinbath hukumnya. Keduanya sama-sama menggunakan waktu dimana
mereka hidup serta berjuang pada masa itu dan dalil dari hadis Nabi SAW
dalam pokok pikiran dalam menafsirkan pengertian Fi Sabilillah.
53
BAB V
PENUTUP
Setelah dibahas panjang lebar mengenai pengertian fi sabilillah
dari pembahasan komparatif antara pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-
Qardawi, maka untuk mengakhiri pembahasan-pembahasan dalam karya
ilmiah ini, setelah penulis menganalisa, mengamati, dan mencermati uraian
bab-bab sebelumnya, perlu mengemukakan beberapa kesimpulan yang dapat
ditarik serta disamping itu dapat pula diajukan beberapa saran untuk mendapat
perhatian dari semua pihak.
A. Kesimpulan
1. Imam Syafi’I memaknai Fi Sabilillah adalah pada makna senjata atau
alat, sedangkan Yusuf Al-Qardawi memaknainya dengan penekanan
pada kemaslahatan umat.
2. Metode Imam Syafi’i menggunakan Hadis bukan Qiyas dan tidak
memakai Istihsan, sedangkan Yusuf Al-Qardawi menggunakan
Istihsan dengan cara Qiyas.
B. Saran-saran
1. Menghadapi adanya perbedaan pendapat harusnya kita mengikuti
dengan kritis karena pada dasarnya itu semua adalah tuntutan zaman.
2. Perbedaan adalah sebuah rahmat yang memberikan keleluasaan bagi
umat Islam. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyalahkan pendapat
salah satu Ulama tanpa mengetahui dasar hukum yang jelas.
54
C. Penutup
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT. Karena atas limpahan rahmat, hidayat, taufiq, dan inayahNya
pemulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sekalipun apabila dikaji lebih
dalam masih banyak kekurangan di sana-sini.
”Tak ada gading yang tak retak”, sebuah ungkapan yang
sepantasnya melekat pada karya ilmiah ini. Dengan kerendahan hati,
penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak,
demi perbaikan sempurnanya skripsi ini.
Dan pada akhirnya tiada untaian kata yang tidak dapat
membagiakan penulis, kecuali sebuah celah cerah do’a. Semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi penulis, para pecinta ilmu, dan para pembaca yang
budiman. Amin Ya Robbal ’Alamin.
55
DAFTAR PUSTAKA
A.B Masykur, fiqih lima mazhab, Jakarta : lentera basritama, 2000
Abbas Sirajuddin, Sejarah Dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 2004.
Al-Fauzan Saleh, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006
Al-Husaini H. MH Al-Hamid, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000
Al-Maraghi Abdullah Mustofa, “Fath Al-Mubin Di Tabaqat Al-Usuliyyin”, terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta : LPKSM, 2001, Cet 1
Al-Qardawi Yusuf, Fatwa-Fartwa Mutakhir, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000
_______________, Fatwa-Fatwa Kontemporer I, Jakarta :Gema Insani, 1995
_______________, Hukum Zakat, Jakarta : PT. Mitra Kerjaya Indonesia, 2004
_______________, “Al-Fatwa Al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, Masalah-Masalah Islam Kontemporer, Jakarta : Najah Press, 1994
Amin M, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995
Asy-Syafi’i R.A Imam, Al-Umm (Kitab Induk), Jakarta : CV Faizan, 1981
__________________, Al-Umm I, Damaskus : Darul Fikru, 1986
Asy-Syurbasi Ahmad, 4 Mutiara Zaman, Jakarta : Pustaka Qalami, 2003
_________________,“Al-Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Huda, Sejarah Dan Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta : Bumi Aksara, 1993
56
Asy ghary Basri Iba, Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1993
Asy Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997
_______________, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997
________________, Mutiara Hadis 6, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putera, 2003
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994
________________, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 4, Semarang : CV. Wicaksana, 2004
Dahlan Abdul Azia, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1996
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
Hasan, M. Ali Perbandingan Mazhab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002
Ibrahim H Muslim, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta : Erlangga, 1991
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000
Mahmassani Subhi, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1976
Mayer Robert R. & Ernest Greicn wood, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, cet I, 1984
MS Hilaluddin, Riwayat Ulama Besar Imam Syafi’i, Surabaya : Apollo, 1996
Mubarok Jaih, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002
Mughniyah Muhammad Jawad, Fiqih Ja’fari, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996
57
Mutholib Moh. Yassir Abn, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta : Pustaka Azzam, 2004
Nasution Drs. Lahmuddin, M.Ag, Fiqh I, Semarang : Logos, 1999
Nazim Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988
Rasyid H Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, 2007
Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006, jilid I,
Salam Drs. Zarkasi Abdul, dan Drs. Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh I, Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1994
Sevilla Consuelo G., dkk, Pengertian Metode Penelitian, Jakarta : UI-Press, 1993
Shihab M Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2002
Sujak Abi, Al-Iqna’ Juz I, Indonesia : Ruhya’ Kitab Arabiyah, 1996
Talimah Ishom, “Al-Qardawi Tiggihan”, Terj. Samson Rahman, Manhaj Fiqh Yusuf Al-Qardawi, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet I
Yanggo Huzaimah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Yusuf Al-Qardawi, Syaikh Muhammad Ghazali Yang Saya Kenal, Jakarta : Rabbadi Pers, 1999
http://www.assunnahqatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=519&Itemid=144, di akses tanggal. 9 Desember 2009.
http://www.gp-ansor.org/hikmah/mengenal-kebesaran-imam-asysyafiirahimahulla h.html, di akses tanggal 9 Desember 2009