studi kasus perjanjian internasional
DESCRIPTION
studi kasusTRANSCRIPT
STUDI KASUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
POSISI INDONESIA DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS
ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA)
1. Perdagangan Bebas
Perdagangan bebas (free trade) adalah prinsip perdagangan dengan
menghilangkan berbagai hambatan perdagangan baik yang bersifat tariff barrier
maupun non tariff barrier. Perdagangan yang dilandasi mekanisme pasar murni
(berdasar pada permintaan dan penawaran) tanpa pengaruh-pengarih non ekonomi
dan pengaruh-pengaruh intervensi regulasi yang menyebabkan eksklusivisme.
Perdagangan bebas juga harus bebas dari pengaruh politis dari negara dan
hubungan antar negara. Perdagangan bebas juga dipahami searah dengan pasar
bebas.
Negara-negara peserta World Trade Organisation (WTO) menandatangani
perjanjian perdagangan bebas FTA (Free Trade Agreement). Negara-negara
penandatangan menyerahkan kekuasaan yang dimilikinya (setelah melalui
pertimbangan mendalam dan proses perbandingan) untuk mengesampingkan
kebijakan nasional dan local demi norma yang lebih tinggi yaitu kesempatan
ekonomi oleh masyarakat internasional1. Setelah perjanjian FTA ini diterapkan,
kawasan-kawasan tertentu telah mengadakan kerjasama-kerjasama perdagangan
bebas antara lain AFTA (ASEAN Free Trade Area), EFTA (European Free
1 Yulianto S yahya, Hukum Antidumping di Indonesia, Ghalia Indonesia, 2008
Trade Area) termasuk adanya perjanjian antaran ASEAN dengan China (ASEAN-
China Free Trade Area (ACFTA)2.
2. Perjanjian Area Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade
Area)
Selain mengadakan perjanjian regional perdagangan bebas di wilayah
ASEAN yaitu wilayah Asia Tenggara, ASEAN juga mengadakan perjanjian
perdagangan bebas dengan negara-negara tertentu, contohnya adalah dengan
China. Pertimbangan melakukan perjanjian dengan CHINA adalah merupakan
negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tak terbendung.
Kesepakatan pembentukan perdagangan bebas ACFTA diawali oleh
kesepakatan para peserta ASEAN – China Summit di brunei Darusalam pada
Nopember 2001. Pada pertemuan antara China dan ASEAN di Bandar Seri
Begawan, Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-
China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Dalam prosesnya,
negosiasi tersebut berlanjut dalam tahapan-tahapan. Satu tahun kemudian, yaitu
tahun 2002 dilangsungkan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama
Ekonomi (The Framework Agreement on a Comprehensive Economic
Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh, yang
didalamnya terdapat pula diskusi mengenai FTA. Tidak diragukan lagi bahwa
proposal yang ditawarkan oleh China sangat menarik karena China dan ASEAN
pada awalnya melihat kemungkinan besar akan adanya pertumbuhan ekonomi
2 Tongzon, Jose, 2005, ASEAN –China Free Trade Area: A bane or boon for ASEAN countries? The World Economy, Vol.28, No.2,
yang lebih signifikan dengan adanya perjanjian tersebut, meskipun inisiatif untu
bekerjasama tersebut dating dari China.
Proposal yang diajukan oleh China tersebut, selanjutnya menjadi landasan
bagi pembentukan ACFTA dalam kurun waktu 10 tahun dengan suatu fleksibilitas
diberikan kepada negara tertentu seperti Kamboja, laos, Myanmar dan Vietnam.
Kerangka persetujuan CEC berisi tiga elemen yaitu liberalisasi, fasilitas dan
kerjasama ekonomi. Elemen liberalisasi meliputi bidang perdagangan, servis atau
jasa dan investasi.
Mulai 1 Januari 2010, Indonesia telah membuka pasar dalam negeri secara
luas kepada negara-negara ASEAN dan China. Pembukaan pasar ini merupakan
implementasi dari perjanjian perdagangan bebas ACFTA. Produk-produk impor
dari ASEAN dan China lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena
adanya pengurangan tariff dan penghapusan tariff, serta tariff akan menjadi nol
persen dalam jangka waktu tiga tahun. Sebaliknya, Indonesia juga memiliki
kesempatan yang sama untuk mamasuki pasar dalam negri negara-negara ASEAN
dan China.
3. Pengaruh ACFTA bagi Indonesia.
Pada sejarahnya Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN hingga kini
masih mengalami kesulitan untuk menegakkan struktur hukum demi melindungi
ekonomi kerakyatan sesuai dengan mandat Pasal 33 UUD 1945. Bahkan upaya
untuk memproteksi badan-badan pengelola sumber0sumber hajat hidup orang
banyak, dilepaskan kepada asing. Keberadaan banyaknya perjanjian perdagangan
bebas yang diikuti, khususnya ACFTA akan kian menambah beratnya janji
pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan rakyat. Tetapi siap tidak siap,
Indonesia telah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas ACFTA dan perlu
mempersiapkan diri serta mengantisipasi dampak yang ditimbulkan.
Ratifikasi menimbulkan akibat hukum baik eksternal maupun internal bagi
negara yang melakukannya. Akibat hukum eksternal yang timbul adalah bahwa
melalui tindakan tersebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala
kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud.
Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang
bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Sebagai
konsekuensi ratifikasi dan ikut sebagai subjek bagian dari ASEAN dalam
perjanjian perdagangan bebas ACFTA, semua produk perundang-undangan
nasional Indonesia harus mengacu pada prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan
sebagaimana dirumuskan dalam WTO dan perjanjian perdagangan bebas yang
telah disepakati dan ditandatangani.
a. Indonesia Diserbu Produk China
Neraca Ekonomi Indonesia masih tumpang tindih antara ekspor
dan impor. Cukup sulit produk nasional untuk berkompetisi dengan
negara lain ketika berjalannya Free Trade, apalagi jika dibandingkan
dengan neraca ekspor impor China, dimana saat ini Indonesia banyak
ketergantungan barang-barang dari sector industry China. Serbuan produk
asing terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuran sector-sektor
ekonomi jika Indonesia tidak benar-benar mempersiapkan diri dan
melakukan penataan.
Sebelum tahun 2009 Indonesia telah mengalami proses
deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang
Industri (KADIN) Indonesia, peran industry pengolahan mengalami
penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada tahun 2008.
Diproyeksikan beberapa tahun ke depan, penanaman modal di sector
industry pengolahan mengalami penurunan US $ 5 miliar yang sebagian
besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM. Pasar
dalam negeri diserbu produk China dengan kualitas dan harga yang sangat
bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari
produsen di berbagai sector ekonomi menjadi importer atau pedagang.
Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstil China lebih murah antara
15 % hingga 25 . Bahkan produk seperti jarum harus impor. Jika banyak
sector ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sector-sektor vital
ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing terutama
China.
Impor elektronika dari China sudah mencapai 30 % atau seninai
300 juta dollar AS, 37 % dari 57 juta dollar AS produk tekstil, 60 %
mainan anak-anak dari total 17 juta dollar AS, 14 juta dollar AS atau 50 %
produk alas kaki, belum lagi dalam bentuk produk makanan dan minuman.
b. Indonesia berpotensi merugi
Industri manufaktur berpotensi untuk merugi sebagai dampak dari
implementasi perjanjian perdagangan bebas ACFTA diperkirakan
mencapai Rp. 35 triliun per tahun. Nilai yang sangat besar tersebut
hanyalah potensi kerugian yang diderita oleh tujuh sector manufaktur
yakni industry petrokimia, pertekstilan, alas kaki dan barang dari kulit,
elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta besi dan baja. Perkiraan
potensi kerugian tersebut merupakan hasil kajian Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI). Selain itu menurut data BPS hingga Juni 2009 nilai
impor perikanan Indonesia telah mencapai 72,68 juta dollar AS atau
melebihi 50 % dari impor perikanan tahun 2008.
Data Bulan April 2011 dari Harian Kompas mengenai
pertumbuhan Ekspor dan Impor negara ASEAn yang mengalami surplus
dan deficit. Terlihat beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, Brunei
Darussalam dan SIngapura dapat memanfaatkan pertumbuhan ekspor,
sementara Indonesia masih masuk kategori deficit untuk ekspor.
No Negara Pertumbuhan Ekspor
Pertumbuhan Impor
(+) (-)
1 Vietnam 25,72 53,04 (-)2 Thailand 28,65 37,98 (-)3 Filipina 265,83 155,80 (+)4 Malaysia 137,65 51,04 (+)5 Brunei Darussalam 103,40 64,63 (+)6 Singapura 37,40 29,79 (+)7 Indonesia 25,08 54,97 (-)
Sumber data : Harian kompas 12 April 2011
c. Peraturan Perundangan di Indonesia belum mendukung
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki perundang-undangan
yang integral dan komprehensif di bidang perdagangan, akibatnya,
sebagian besar kebijakan pemerintah di bidang perdagangan dirumuskan
berdasarkan keputusan-keputusan ad hoc, lebih bersifat reaktif sesaat
terhadap permasalahan tertentu. Bahkan lebih parah lagi pada saat
kemajuan pesat teknologi informasi dan telekomunikasi serta transportasi
serta perkembangan hukum perdagangan internasional yang telah sampai
pada tahapan dimana transaksi perdagangan hamper tidak lagi mengenal
batas negara, sehingga biaya transaksi perdagangan internasional menjadi
semakin murah dan mudah dilakukan, landasan perdagangan masih
mengacu pada produk perundang-undangan colonial, yaitu
Bedrifsreglementeri ngs Ordonantie Stbl, 1934 (BRO 1934).
Keterbelakangan hukum perdagangan di negeri ini juga meliputi kesiapan
peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi
kesepakatan yang menyangkut Perjanjian Internasional di bidang
Perdagangan.
d. Apakah motif Indonesia mengikuti perjanjian perdagangan bebas jika
memang belum siap?
Hikmahanto menyebutkan bahwa setidaknya ada empat motif
keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional :
1) perasaan tak enak dengan negara lain sebab Indonesia telah
tergabung dalam suatu organisasi atau asosiasi seperti ASEAN.
Sebagai salah satu negara anggota negara ASEAN tentunya
Indonesia turut menyukseskan apa yang menjadi program-program
dan kebijakan ASEAN termasuk ikut serta menjadi bagian ASEAN
bekerjasama dengan negara lain seperti China melalui ACFTA.
2) Untuk mengangkat citra Indonesia dalam perjanjian perdagangan
bebas karena ingin disejajarkan dengan negara modern lain.
Padahal, agar perjanjian Internasional dapat berjalan di dalam
negeri, diperlukan proses transformasi ke dalam hukum nasional
dan infrastruktur penunjang.
3) Desakan negara atau lembaga keuangan internasional mengingat
Indonesia sangat bergantung secara ekonomi pada mereka.
Desakan dan dorongan tersebut akan cukup mempengaruhi
pertimbangan Indonesia turut serta dalam perjanjian perdagangan
bebas, tanpa terlebih dahulu mengkaji berbagai dampak yang
timbul dari perjanjian perdagangan bebas, sangat bertolak belakang
dengan negara lain yang mengkaji dan melakukan assessment
perjanjian perdagangan bebas sebelum negara mereka melakukan
penandatanganan.
4) Semata-mata karena proses tersebut telah dianggarkan tanpa persis
tahu kegunaan dan manfaat yang akan dihasilkan
e. Pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas oleh negara lain
Perjanjian internasional seperti perjanjian perdagangan bebas kerap
digunakan oleh negara-negara lain sebagai instrument politik untuk
kepentingan nasional mereka. Belum lagi perjanjian internasional kerap
dimanfaatkan untuk menintervensi kedaulatan hukum suatu negara
sesudah era kolonialisme berakhir. Melalui perjanjian internasional dapat
dipastikan bahwa hukum suatu negara seragan dalam derajat tertentu
dengan hukum negara lain. Perjanjian internasional seperti penjanjian
perdagangan bebas pada dasarnya dimanfaatkan oleh negara yang
memiliki produsen untuk menghilangkan atau mengecilkan hambatan yang
terdapat dalam negara yang memiliki konsumen dan pasar. Dalam hal ini
terkait dengan ACFTA, Indonesia bagi negara adalah konsumen yang
potensial dan pasar yang sangat menjanjikan keuntungan yang sangat
besar.
4. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia untuk memproteksi ekonomi dalam
negeri.
a. meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan China,
memperbaiki masalah infrastruktur sehingga memadai.
b. Indonesia perlu untuk memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana
yang bebeda dari China. Jadi apa yang tidak diproduksi di China, maka
produk itu dapat dijadikan produk ekspor andalan Indonesia ke China.
c. Indonesia dengan China dapat melakukan Voluntary Export Restraint
(VER) yaitu dengan meminta secara sukarela kepada China untuk
membatasi ekspornya ke Indonesia dengan mencabut subsidi ekspor dan
membeli lebih banyak dari Indonesia, seperti yang pernah dilakukan uleh
AS.
d. Membarantas dan meminimalkan variable ekonomi biaya tinggi seperti
pungutan liar danpenentuan harga jual produk, termasuk bentuk-bentuk
korupsi, termasuk pungli.
e. Menciptakan hambatan-hambatan non-tarif, seperti standarisasi produk
asing yang boleh masuk Indonesia. Termasuk di dalamnya sertifikasi halal
tidaknya terhadap produk makanan dan kosmetik, produk tekstil, obat-
obatan dan lain lain.
5. Kesimpulan
a. Perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan China memberikan
pengaruh terhadap Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN untuk ikut
serta melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian perdagangan
bebas tersebut .
b. Posisi Indonesia dalam ACFTA dapat dilihat dari implikasi dan
dampaknya yang cukup berarti yaitu dampak injuries terhadap produsen
tekstil dan elektronik serta makanan dan minuman.
c. Secara hukum, Indonesia sulit untuk mundur dari Perjanjian ACFTA
meskipun belum siap.
Penulis
RM.SULAIMANUDIN
DAFTAR PUSTAKA
Aksoy, M. Ataman dan John C. Beghin. Global Agricultural Trade and Developing Countries. Washington, DC: World Bank, 2004.
Altman, Andrew, Arguing About Law : An Introduction to Legal Philosophy, Belmont : Wadsworth, 2001.
Anonim. The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Washington, DC. 1993.
Azis, Yahya M. Abdul, ed. Visi Global Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke 21. Yogyakarta :Pustaka Pelajar. 1986.
Bhagwati. Free Trade, Fairness and The New Protectionism, Reflection on an Agenda for the World Trade Organization. The Institute of Economic Affairs for the Wincott Foundation : London. 1995
Bronckers, M C E J, A Cross-Section of WTO Law. Cameron May: Singapore. 2000
Cleveland, S H. Human Rights Sanction and International Trade: A Theory of Compatibility, Journal of International Economic Law. Oxford University Press: Oxford. 2002
E. Gomory, Ralph and William J. Baumol, “Global Trade and ConflictingNational Interests”, Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology Press, 2000.
Garcia, Frank, Trade, Inequality and Justice: Toward a Liberal Theory of Just Trade. Transnational Publisher, New York, 2003
Tongzon, Jose, 2005, “ASEAN–China free trade area: A bane or boon for ASEAN countries?” The World Economy, Vol. 28, No. 2.