studi kasus mikosis kutis pada kucing dengan … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis...

33
STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN MENGGUNAKAN WOOD’S LAMP SCREENING TEST TITUS ARDHI PRASETYA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: dangnhu

Post on 03-Mar-2019

342 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN

MENGGUNAKAN WOOD’S LAMP SCREENING TEST

TITUS ARDHI PRASETYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Page 2: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan
Page 3: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

PERNYATAAN MENGENAI KARYA TULIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Mikosis

Kutis pada Kucing dengan Wood’s Lamp Screening Test adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Titus Ardhi Prasetya

NIM B04080138

Page 4: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

ABSTRAK

TITUS ARDHI PRASETYA. Studi Kasus Mikosis Kutis pada Kucing dengan

Menggunakan Wood’s Lamp Screening Test. Dibimbing oleh SETYO WIDODO.

Mikosis kutis merupakan penyakit yang umum ditemukan pada praktek

kedokteran hewan. Berbagai spesies jamur dapat tumbuh dengan mudah di

wilayah tropis seperti Indonesia. Bogor adalah salah satu kota di provinsi Jawa

Barat yang memiliki curah hujan tinggi, berpotensi menjadi reservoir sekaligus

sumber penularan bagi wilayah di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan memperoleh

data jumlah kejadian mikosis kutis pada kucing berdasarkan data sekunder rekam

medik pasien di Maximus Pet Care kota Bogor, mendapatkan data jumlah kucing

yang terinfeksi mikosis kutis, yang diperiksa dengan metode Wood’s lamp

screening test dan mambahas karakteristiknya secara klinis. Berdasarkan data

sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun

adalah 16 kasus per bulan. Jumlah pasien kucing terbanyak yang terinfeksi

terdapat pada bulan Oktober yaitu pada saat musim penghujan. Sebanyak 111

sampel dari 176 sampel kucing selama pemeriksaan dengan Wood’s lamp

menunjukkan hasil fluoresen positif. Lesio yang ditemukan pada pemeriksaan

fisik adalah alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng,

papula, dan kolaret epidermis. Pengobatan mikosis kutis dapat dilakukan dengan

obat-obatan antijamur topikal dan sistemik.

Kata kunci: mikosis kutis, Wood’s lamp, screening test

ABSTRACT

TITUS ARDHI PRASETYA. Case study of Cutaneous Mycoses in Cats Using

Wood’s Lamp Screening Test. Supervised by SETYO WIDODO.

Cutaneous mycoses is a disease that commonly found in the veterinary

practice. Many kinds of fungi can grow easily in tropical countries such as

Indonesia. Bogor is a city in West Java with high rainfall, thus potential for being

reservoir and transmission source of this disease. The objectives of this study is to

determine the number of cutaneous mycoses cases in cats based on secondary data

in Maximus Pet Care Bogor, the number of infected cats were diagnosed by

Wood’s lamp screening test and described the cutaneous mycoses characteristic as

well. Secondary data summarized in one year showed that the average of

cutaneous mycoses in cats were 16 cases per month. Most infected cats were

recorded in October during raining season. Positive value was shown by 111 of

176 (63%) samples examined. Some lesions such as focus or multifocal alopecia,

scale, follicular cast, crust, papule, and epidermal collarette were found during

physical examination. Cutaneous mycoses can be treated using topical and

systemic antifungal drugs.

Keywords: cat, cutaneous mycoses, Wood’s lamp screening test

Page 5: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN

MENGGUNAKAN WOOD’S LAMP SCREENING TEST

TITUS ARDHI PRASETYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Page 6: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan
Page 7: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

Judul Skripsi : Studi Kasus Mikosis Kutis pada Kucing dengan Menggunakan

Wood’s Lamp Screening Test

Nama : Titus Ardhi Prasetya

NIM : B04080138

Disetujui oleh

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

drh Setyo Widodo, DR. MedVet

Pembimbing

Page 8: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema

yang dipilih dalam penelitian ini adalah mikosis kutis. Penyakit kulit akibat jamur

banyak bersumber dari hewan dan merupakan suatu hal yang menjadi masalah

kesehatan dan masalah sosial di masyarakat. Dengan selesainya tulisan ini

diharapkan masyarakat, dokter dan dokter hewan mampu bekerja sama untuk

mengatasi penyebaran penyakit kulit khususnya akibat jamur pada manusia dan

hewan.

Terima kasih saya ucapkan kepada drh. Setyo Widodo, DR. MedVet selaku

pembimbing skripsi, serta Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc, AIF selaku dosen

pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran dan mendukung

keberhasilan karya ilmiah ini. Saya juga menyampaikan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada keluarga besar Maximus Pet Care yang telah banyak

membantu selama pengumpulan data dan ayah, ibu, serta seluruh keluarga yang

telah memberi dukungan moral maupun materi selama pengerjaan karya tulis ini.

Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman, atas segala

bantuan dan motivasi yang telah diberikan. Akhir kata, saya mohon maaf yang

sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan yang saya buat dalam proses

pengerjaan karya ilmiah yang jauh dari sempurna ini. Saya mengharapkan kritik

dan saran bagi kemajuan karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini

bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2013

Titus Ardhi Prasetya

Page 9: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Mikosis pada Kucing dan Anjing 2

Wood’s lamp sebagai Instrumen Diagnostik Dermatologi 4

METODE 4

Lokasi dan waktu penelitian 5

Bahan 5

Alat 5

Desain Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Rekapitulasi Kasus Mikosis Kutis di Maximus Pet Care 5

Screening Test dengan Menggunakan Wood’s lamp 7

Ciri-ciri Dermatofitosis pada Kucing 10

Kultur pada Media sebagai Metode Diagnostik yang Spesifik untuk

Dermatofitosis 11

Pengobatan pada Kucing Dermatofitosis dan Vaksin untuk Dermatofita 12

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

RIWAYAT HIDUP 23

Page 10: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

DAFTAR TABEL

1 Care Data pasien berobat pertama dan didiagnosis terinfeksi mikosis

kutis pada kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012

berdasarkan rekapitulasi rekam medik pasien Maximus Pet Care

(n=1740 ekor) 5 2 Pasien yang didiagnosis mengalami infeksi mikosis kutis pada periode

September 2011 sampai Agustus 2012 6 3 Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode

September 2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012) 7 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan Wood’s lamp 7 5 Berbagai obat antijamur pada kucing dan dosisnya untuk dermatofitosis

(Plumb, 2005) 13

DAFTAR GAMBAR

1 Klasifikasi mikosis menurut Rao (2009) 3 2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang

patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit 8

3 Fluoresen positif palsu yang dihasilkan akibat penggunaan obat topikal 9 4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas

(b) pada kucing berusia tiga bulan 9 5 Bagan siklus reproduksi dermatofita (Cummings, 2004) 10

6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi

dermatofita 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Foto-foto Dokumentasi Penelitian 18

Hasil Fluoresen Positif 18

Hasil Fluoresen Negatif 21

Page 11: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hewan merupakan inang dari berbagai spesies jamur patogen yang juga

infektif terhadap manusia. Sumber penularan jamur kepada manusia salah satunya

diperantarai oleh hewan peliharaan. Penularan jamur dari satu inang ke inang

lainnya dapat melalui kontak langsung maupun lewat perantara. Beberapa spesies

jamur juga mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan berkembang sangat

baik pada iklim tropis karena perubahan suhu udaranya tidak terlalu ekstrim (Tsui

et al., 2001).

Indonesia merupakan negara yang secara geografis terletak di garis

khatulistiwa yang memiliki kelembaban udara tinggi. Bogor adalah salah satu kota

di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Kota Bogor pada bulan Oktober

2012 berada pada kisaran suhu 21°C sampai 32°C dengan kelembaban udara 52%

sampai 93%. Cuaca rata-rata pada bulan tersebut adalah hujan ringan yang turun

hampir setiap hari (BMKG, 2012). Kondisi demikian sangat sesuai dengan

lingkungan hidup jamur. Selain jamur mudah tumbuh di tempat yang lembab,

penyakit kulit karena jamur (mikosis kutis) mudah menyebar dari satu hewan ke

hewan lain melalui kontak fisik. Mikosis kutis dianggap menggangu oleh

kebanyakan pemilik hewan karena merusak estetika dan mempengaruhi perilaku

hewan, selain sifatnya yang zoonotik (Jamestown, 2010).

Saat ini banyak metode pemeriksaan mikosis kutis secara klinis, salah

satunya dengan menggunakan Wood’s lamp. Diagnostik menggunakan Wood’s

lamp adalah salah satu screening test yang cepat untuk memeriksa infeksi mikosis

kutis. Meskipun pemeriksaan dengan Wood’s lamp relatif mudah dan murah

untuk dilakukan, tidak semua hewan yang datang berobat dikeluhkan oleh

pemiliknya mengalami infeksi mikosis kutis sehingga kebanyakan tidak diperiksa

apakah terjadi infeksi atau tidak. Infeksi mikosis kutis lebih banyak dilaporkan

pemilik setelah gejala klinis muncul dan dirasakan mengganggu. Terapi antifungal

pada akhirnya diberikan ketika hewan telah terinfeksi pada stadium klinis

sehingga manajemen pengobatan hewan yang terinfeksi mikosis kutis

membutuhkan waktu yang lebih panjang dan biaya perawatan yang lebih besar.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data frekuensi kasus mikosis

kutis pada kucing dalam kurun waktu satu tahun dengan mengambil contoh data

sekunder pasien di suatu klinik hewan, mendapatkan data positif dan negatif

mikosis kutis dengan pemeriksaan langsung menggunakan metode Wood’s lamp

screening test, mengetahui jenis mikosis kutis yang muncul ketika pemeriksaan

menggunakan Wood’s lamp, dan menguraikan karakteristik kasus yang ditemukan

beserta pengobatannya.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan kelebihan

pemeriksaan mikosis kutis dengan menggunakan Wood’s lamp, memaparkan

Page 12: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

2

faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikosis kutis sehingga dapat

memutus rantai infeksi dengan manajemen perawatan hewan kesayangan yang

tepat, dan memberikan informasi mengenai cara pengobatan hewan yang

terinfeksi mikosis kutis.

TINJAUAN PUSTAKA

Mikosis pada Kucing dan Anjing

Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur (fungi)

baik di dalam maupun permukaan tubuh. Diantara penyakit tersebut yang paling

umum ditemukan adalah ringworm, sporotrichosis, dan aspergillosis (Boden

2005). Mikosis dapat digolongkan dalam beberapa kelompok: mikosis superfisial

(superficial phaeohyphomycosis, tinea versicolor, black piedra, white piedra),

mikosis kutis (dermatofitosis, dermatomikosis), mikosis subkutis

(chromoblastomycosis, rhinosporidiasis, mycetoma, sporotrichosis, subcutaneous

phaeohyphomycosis, lobomycosis), mikosis sistemik (deep) seperti blastomycosis,

histoplasmosis, coccidiomycosis, paracoccidiomycosis; mikosis oportunis

(candidiasis, cryptococcosis, aspergillosis), mikosis lain (otomycosis,

occulomycosis), alergi terhadap fungi, mycetism dan mikotoksikosis (Rao, 2006).

Bagan klasifikasi mikosis dapat dilihat pada Gambar 1.

Interaksi kompleks antara faktor virulensi jamur dengan faktor pertahanan

inangnya akan menentukan apakah infeksi jamur akan menimbulkan gejala klinis

atau tidak. Infeksi bergantung pada ukuran inokulum dan sistem imunitas secara

keseluruhan dari inang. Beberapa faktor virulensi (patogenitas) yang dimiliki oleh

jamur adalah mampu menempel dengan sel inang melalui glikoprotein pada

dinding sel, memproduksi kapsula yang mampu menahan fagositosis,

memproduksi sitokin yang disebut Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating

Factor (GM-CSF), contohnya pada spesies Candida albicans yang menekan

produksi komplemen, kemampuan menarik zat besi dari eritrosit (C. albicans),

kemampuan mencederai inang dengan sekresi enzim keratinase, elastase dan

kolagenase, pertahanan terhadap sel fagosit seperti pada jamur dimorfik, sekresi

mikotoksin, memiliki kapasitas enzimatik yang unik, ketahanan terhadap

perubahan suhu, kemampuan menahan pertahanan sistem sel mediator imun milik

inang, dan permukaan yang hidrofobik (Kurtdede et al., 2007).

Faktor pertahanan yang dimiliki oleh inang (Charmette et al., 2008) antara

lain adalah pelindung fisik yaitu kulit dan membran mukus, asam lemak yang

terkandung dalam kulit, pH dari kulit, permukaan mukus dan cairan tubuh,

pergantian sel-sel epitel, flora normal, pelindung kimiawi diantaranya sekreta dan

serum faktor, sebagian besar jamur adalah mesofil dan tidak dapat tumbuh pada

37°C, sel efektor natural (polimorf nuklear leukosit), dan sel-sel fagosit (monosit

dan makrofag). Faktor predisposisi dari infeksi jamur diantaranya adalah terapi

antibiotik yang panjang, penyakit yang mendahului (HIV, kanker, diabetes), usia,

prosedur operasi, obat-obatan imunosupresif, terapi radiasi, kateterisasi yang tidak

lege arts, obesitas, ketergantungan obat, transplantasi, aktivitas harian (DeBoer

dan Moriello, 2006).

Page 13: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

3

Pemeriksaan secara klinis hewan yang diduga terinfeksi jamur dapat

dilakukan dengan beberapa metode. Untuk mendapatkan hasil yang akurat perlu

dilakukan sekurang-kurangnya dua metode pemeriksaan. Kecurigaan terhadap

dermatofitosis dapat diperiksa dengan metode antara lain superficial skin scrape,

trichogram, sitologi (tape preparation, impression smear, cotton bud swabs),

pemeriksaan dengan Wood’s lamp, dan dermatophyte culture (Taylor, 2010).

Superficial skin scrape dapat dilakukan pada anjing atau kucing yang

mengalami pruritus (kegatalan) dan berkerak, dan diperkirakan ada infestasi dari

Cheyletiella spp., Otodectes cynotis, Scabies scabiei, Notoedres cati, dan

Demodex cati/canis. Trichogram digunakan pada hewan yang mengalami alopesia

atau dicurigai terinfeksi dermatofitosis dengan gejala klinis disertai papula,

pustula, atau keropeng (crust). Teknik ini dilakukan dengan mencabut beberapa

helai rambut dan mengevaluasi fase rambut tersebut telogen atau anagen. Kedua

fase tersebut dapat mengarah kepada suatu kausa penyebab alopesia (Mueller,

2000). Pemeriksaan sitologi sangat baik digunakan untuk melihat jenis sel yang

muncul pada suatu lesio atau mikroorganisme yang hadir sebagai agen penyebab

infeksi (Taylor, 2010).

Gambar 1 Klasifikasi mikosis menurut Rao (2009)

mikosis

superfisial

kutis

dermatofitosis dermatomikosis

subkutis

chromoblastomycosis rhinosporidiasis mycetoma sporotrichosis subcutaneous phaeohyphomycosis lobomycosis

sistemik (deep)

blastomikosis histoplasmosis coccidiomycosis paracoccidiomycosis

oportunistik

candidiasis cryptococcosis aspergillosis

alergi

mycetism dan mikotoksikosis

mikosis lain otomycosis occulomycosis

Page 14: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

4

Wood’s lamp sebagai Instrumen Diagnostik Dermatologi

Wood’s lamp dibuat pertama kali pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan

dari Baltimore yang bernama Robert W. Wood. Alat ini pertama kali digunakan

untuk memeriksa jamur pada praktek dermatologi pada tahun 1925 oleh Margarot

dan Deveze. Wood’s lamp mengeluarkan radiasi ultraviolet (UV) bergelombang

panjang yang dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi yang disaring dengan

senyawa barium silikat dengan 9% nikel oksida, disebut penyaring Wood’s.

Penyaring ini tidak tembus oleh semua jenis cahaya kecuali yang memiliki berkas

antara 320 – 400 nm dengan puncak 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika

cahaya UV diserap dan radiasi gelombang yang lebih panjang dipancarkan, yang

biasanya merupakan cahaya tampak. Fluoresen pada permukaan kulit normal

tampak sangat lemah atau tidak ada sama sekali, sebagian besar disebabkan oleh

senyawa konstituen elastin, asam amino aromatik dan prekursor atau produk

melanin (Gupta dan Singhi, 2004).

Panjang gelombang cahaya UV yang digunakan Wood’s lamp adalah 253,7

nm. Wood’s lamp harus dinyalakan 5-10 menit terlebih dahulu sebelum digunakan

karena panjang gelombang dipengaruhi oleh suhu. Metabolit spesifik pada

dermatofit yang menimbulkan fluoresen di bawah Wood’s lamp belum

teridentifikasi secara pasti namun diduga merupakan senyawa pteridin atau sebuah

metabolit dari triptopan (Angus et al., 2004).

Pendar fluoresen yang tampak dibawah Wood’s lamp dapat berbeda-beda.

Umumnya kulit normal tidak menunjukkan pendar di bawah paparan cahaya UV.

Warna kuning emas menunjukkan infeksi Tinea versicolor, hijau pucat

menunjukkan infeksi Trichophyton schoenleini, kuning kehijauan terang

(Microsporum audouini atau M. canis), aquagreen sampai biru (Pseudomonas

aeruginosa), merah muda sampai oranye (Porphyria cutanea tarda), abu bercak

berbentuk daun (Tuberous sclerosis), biru keputihan (leprosy), putih pucat

(hipopigmentasi), ungu kecoklatan (hiperpigmentasi), putih terang atau biru

keputihan (depigmentasi atau vitiligo), putih cerah atau albinism (DJJ, 2001).

Keuntungan diagnosis dengan Wood’s lamp adalah waktu yang dibutuhkan

untuk mendapatkan hasil pemeriksaan singkat dan merupakan metode screening

test yang murah untuk dermatofitosis. Namun tidak adanya pendar hijau di bawah

Wood’s lamp tidak memastikan area kulit terbebas dari dermatofitosis.

Pemeriksaan dengan menggunakan Wood’s lamp memiliki spesifisitas yang tinggi

(dapat mencapai 100% pada pengguna yang terlatih) namun sensitivitasnya

rendah, karena hanya sekitar 50% spesies dermatofita pada anjing dan kucing

menghasilkan fluoresen. Bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa dan

Corynebacterium minutissimum, scale, crust, sabun dan beberapa jenis obat oles

kulit juga dapat menghasilkan fluoresen namun tidak berwarna hijau lemon

(Angus et al., 2004).

METODE

Metode yang digunakan pada penelitian adalah studi kasus. Penelitian ini

dibagi kedalam dua tahap. Tahap yang pertama, data sekunder dari rekam medik

pasien Maximus Pet Care yang berobat pertama kali pada kurun waktu September

Page 15: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

5

2011 sampai dengan Agustus 2012 direkapitulasi. Tahap kedua adalah

pemeriksaan terhadap pasien kucing yang datang menggunakan metode Wood’s

lamp screening test. Hasil pemeriksaan berupa warna fluoresen di bawah Wood’s

lamp difoto menggunakan kamera digital. Karakteristik kasus berupa warna

pendar di bawah Wood’s lamp, lesio yang tampak dan gejala klinis penyakit

dianalisis dan dibahas beserta cara pengobatannya berdasarkan studi literatur.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan di Maximus Pet Care kota Bogor.

Rekapitulasi rekam medik pasien yang berobat pada rentang September 2011

sampai dengan Agustus 2012 dilakukan pada tanggal 6-12 Oktober 2012.

Pemeriksaan intensif menggunakan Wood’s lamp screening test dimulai pada

tanggal 13 Oktober sampai 6 November 2012.

Bahan

Bahan penelitian adalah kucing yang mandi perawatan, mandi pengobatan,

dan pasien kucing rawat inap di Maximus Pet Care selama masa penelitian

berlangsung.

Alat

Alat yang digunakan adalah Wood’s lamp, kamar gelap dan kamera digital

SLR Canon EOS 500D.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekapitulasi Kasus Mikosis Kutis di Maximus Pet Care

Pemilik hewan datang ke Maximus Pet Care pada umumnya membawa

hewannya untuk berobat, pemeriksaan kesehatan rutin, vaksinasi, rawat jalan,

mandi sehat, atau mandi pengobatan (jamur atau ektoparasit). Data pasien yang

datang untuk berobat pertama di Maximus Pet Care pada rentang September 2011

sampai dengan Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data pasien berobat pertama dan didiagnosis terinfeksi mikosis kutis

pada kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012

berdasarkan rekapitulasi rekam medik pasien Maximus Pet Care

(n=1740 ekor)

Jenis hewan Pasien berobat pertama

Pasien didiagnosis

terinfeksi mikosis kutis

n % n %

Kucing 1227 70,5 192 15,6

Anjing 441 25,3 53 12

Lain-lain* 72 4,2 5 6,9

Total 1740 100 250

*) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut

n : jumlah individu

Page 16: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

6

Pasien dengan jumlah terbanyak yang tercatat di rekam medik Maximus Pet

Care dalam kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah

kucing, yaitu sebanyak 70,5% dari keseluruhan pasien. Sebanyak 192 ekor

(15,6%) dari populasi 1227 ekor kucing didiagnosis terinfeksi mikosis kutis.

Metode yang digunakan dalam mendiagnosis adalah dengan pemeriksaan fisik.

Menurut Tewari (2002), jamur yang sering menginfeksi kulit dan rambut hewan

kesayangan adalah Dermatofita (Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton),

Sporotrix, Cryptococcus, dan Malassezia. Data rekapitulasi merupakan data

pasien yang sakit dan berobat pertama, bukan merupakan ulangan dari proses

rawat jalan. Data tidak termasuk pasien yang datang untuk vaksinasi dan

pemeriksaan kesehatan rutin.

Berdasarkan hasil rekapitulasi data rekam medik, rata-rata kasus mikosis

kutis yang terjadi pada kucing selama satu tahun adalah 16 ekor setiap bulannya.

Menurut Medleau dan Hnilica (2006), kucing berambut panjang merupakan

predisposisi terjadinya dermatofitosis. Jumlah pasien kucing yang terinfeksi

mikosis kutis tertinggi selama satu tahun yaitu sebanyak 23 pasien dan infeksi

terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2011. Suhu rata-rata kota Bogor selama satu

tahun adalah 25,8°C dengan tingkat kelembaban rata-rata 81% (Tabel 3).

Tabel 2 Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode September

2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012)

Bulan Suhu

(ºC)

Kelembaban Udara

(%)

September-11 25.1 73

Oktober 26.3 75

November 25.3 80

Desember 26.1 84

Januari-12 25.1 86

Februari 25.6 87

Maret 26.0 80

April 26.0 86

Mei 26.1 85

Juni 26.2 81

Juli 25.8 79

Agustus 25.8 74

Rata-rata 25,8 81

Faktor lain yang mempengaruhi jumlah infeksi mikosis kutis adalah

mikroklimat yang meliputi manajemen pakan (kandungan nutrisi, jenis pakan

yang diberikan), imunitas masing-masing individu, frekuensi kontak dengan

antigen, dan metode perawatan seperti mandi dan grooming serta obat-obatan

yang dipakai. Transmisi dapat terjadi melalui kalung, sikat atau mainan yang

terkontaminasi (Horzinek, 2012). Perlu dilakukan pengamatan dengan kurun

waktu sekurang-kurangnya lima tahun untuk menentukan pola epidemiologi

penyakit mikosis kutis dan profil cuaca yang berkorelasi dengan jumlah kejadian

infeksi mikosis kutis di suatu wilayah.

Page 17: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

7

Screening Test dengan Menggunakan Wood’s lamp

Pada tahap kedua, selama periode penelitian didapatkan 176 sampel kucing

yang datang diantaranya untuk mandi sehat, mandi pengobatan, titip sehat dan

rawat inap. Pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp dilakukan menyeluruh pada

semua sampel untuk mengetahui kasus mikosis kutis yang riil pada pasien kucing.

Jumlah kasus mikosis kutis yang tercatat di rekam medik Maximus Pet Care pada

periode September 2011 sampai Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3 Pasien yang didiagnosis mengalami infeksi mikosis kutis pada periode

September 2011 sampai Agustus 2012

Jumlah pasien

Total Kucing Anjing Lain-lain*

September 22 7 0 29

Oktober 23 4 1 28

November 13 7 0 20

Desember 11 3 1 15

Januari 16 3 2 21

Februari 12 2 0 14

Maret 17 4 0 21

April 20 8 0 28

Mei 14 3 0 17

Juni 16 5 0 21

Juli 16 3 1 20

Agustus 12 4 0 16

Total 192 53 5 250

Rata-rata 16,00 4,42 0,42 20,83

*) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut

Menurut ESCCAP (2011), screening test merupakan metode yang cepat dan

baik untuk menyeleksi dan mendiagnosis hewan yang keluar masuk penampungan

atau penitipan hewan. Wood’s lamp sangat baik untuk mendiagnosis infeksi

dermatofita dan akan menunjukkan fluoresen berwarna kuning kehijauan (hijau

lemon). Fluoresen diakibatkan oleh senyawa metabolit triptofan yang dihasilkan

beberapa spesies dermatofita termasuk M.canis (Horzinek, 2012). Hasil

pengamatan selama pemeriksaan dengan Wood’s lamp screening test, semua

pasien dengan nilai positif menunjukkan pendar berwarna hijau lemon di bawah

Wood’s lamp. Warna ini merujuk pada infeksi dermatofita. Hasil screening test

pada pasien kucing di Maximus Pet Care dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil Wood’s lamp screening test pada sampel kucing

Hasil Pemeriksaan N %

Fluoresen positif 111 63

Fluoresen negatif 65 37

Total 176 100

n : jumlah individu

Dermatofitosis adalah infeksi jamur pada rambut dan stratum korneum yang

disebabkan jamur yang bersifat keratinofilik. Kejadian dermatofitosis banyak

ditemukan pada anjing dan kucing muda, hewan dengan kekebalan tubuh rendah

Page 18: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

8

dan kucing berambut panjang. Kucing ras Persia menjadi salah satu predisposisi

penyakit ini (Horzinek, 2012).

Bagian kulit atau rambut yang terdapat lesio diutamakan untuk diperiksa di

bawah Wood’s lamp. Pemeriksaan dilanjutkan ke area di sekitar lesio untuk

menemukan penyebaran infeksi dermatofita. Apabila tidak terdapat lesio apapun,

pemeriksaan dilakukan menyeluruh mulai dari kepala hingga ekor. Sebanyak 111

kucing (63%) menampakkan pendar fluoresen di bawah Wood’s lamp dan sisanya

sebanyak 65 ekor tidak menampakkan fluoresen (Tabel 4). Fluoresen dapat

berasal dari kulit yang terdapat lesio maupun yang tidak terdapat lesio (Gambar 2).

Bagian batang rambut sering ditemukan berpendar hijau lemon pada area yang

tidak menunjukkan lesio secara klinis. Pemeriksaan dengan meggunakan Wood’s

lamp sangat bergantung pada kemampuan mengamati dan kejelian pemeriksa

dalam membedakan warna pendar.

(a) (b)

Gambar 2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang

patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit

Pada saat pemeriksaan, ditemukan pula lesio klinis seperti kolaret epidermis

dan alopesia di beberapa bagian tubuh yang tidak menampakkan warna hijau

lemon di bawah Wood’s lamp. Menurut Jamestown (2010), rambut yang terinfeksi

dermatofita T. mentagrophytes, M. persicolor, M. gypseum tidak akan berpendar.

Wood’s lamp baik digunakan untuk memeriksa dermatofitosis yang diakibatkan

oleh spesies M. canis. Sekitar 30-50% strain M.canis memperlihatkan efek

fluoresen positif di bawah Wood’s lamp (Budgin, 2011). Perlakuan mandi atau

membersihkan daerah lesio dengan zat-zat antiseptik akan menghilangkan

metabolit triptofan pada kulit atau rambut yang terinfeksi dan menghasilkan

negatif palsu pada saat pemeriksaan dengan Wood’s lamp. Beberapa jenis obat-

obatan topikal berbahan dasar etakridinlaktat (Rivanol®) juga dapat mengacaukan

fluoresen (Gambar 3). Kelemahan dari metode pemeriksaan dengan Wood’s lamp

adalah hasil negatif pada pemeriksaan ini tidak menyingkirkan kemungkinan

adanya infeksi dermatofitosis (DJJ, 2011). Diagnosa banding untuk penyakit ini

diantaranya adalah dermatitis secara umum, furunculosis, demodecosis, dan

psoriasis (Angus et al. 2004).

Page 19: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

9

Gambar 3 Fluoresen positif palsu yang dihasilkan akibat penggunaan

etakridinlaktat (Rivanol®

)

Fluoresen positif juga ditemukan pada kucing berusia muda. Sebanyak lima

ekor dari keseluruhan sampel merupakan kucing berusia sekitar tiga bulan.

Semuanya terinfeksi dermatofitosis yang lebih parah dari sampel lainnya.

Ditemukan alopesia multifokal yang hampir menyeluruh, kerak di seluruh bagian

yang mengalami kerontokan rambut dan hiperpigmentasi (Gambar 4). Kucing

muda memiliki risiko jauh lebih tinggi dibandingkan kucing dewasa. Hal ini

disebabkan antara lain karena sistem imunitas kucing muda masih berkembang

sehingga belum mampu menghasilkan antibodi yang spesifik terhadap antigen

yang masuk ke dalam tubuhnya.

(a) (b)

Gambar 4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas

(b) pada kucing berusia tiga bulan

Dermatofita mengalami dua fase selama siklus hidupnya, yaitu anamorf

dan teleomorf. Anamorf adalah fase dimana reproduksi aseksual (somatis) terjadi

dan dapat dibedakan secara morfologis. Pada fase ini, dermatofita

mensporulasikan mikrokonidia dan makrokonidia yang dihasilkan oleh sel-sel

konidia. Teleomorf adalah fase reproduksi yang terjadi secara seksual, fase ini

melalui tahap peleburan dua plasma membran (plasmogami) kemudian

dilanjutkan dengan dua inti (karyogami) menghasilkan inti diploid (Simpanya,

2000). Kedua fase berlangsung pada tubuh inangnya (Gambar 5).

Page 20: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

10

Gambar 5 Bagan siklus reproduksi dermatofita (Cummings, 2008)

Ciri-ciri Dermatofitosis pada Kucing

Inspeksi dan palpasi dilakukan untuk menemukan perubahan-perubahan

yang terjadi pada permukaan kulit sebelum dilihat secara keseluruhan

menggunakan Wood’s lamp. Pemeriksaan permukaan kulit harus dilakukan lebih

teliti pada kucing berambut panjang dengan cara menyisir menggunakan telapak

tangan ke arah berlawanan dengan arah tumbuhnya rambut. Lesio yang ditemukan

pada sampel sangat beragam berdasarkan letaknya di permukaan tubuh.

Berdasarkan pengamatan, bagian tubuh yang ditemukan sering terserang

dermatofita adalah wajah, daun telinga, bagian dorsal tubuh, ekor, dan ekstremitas.

Bentuk lesio yang ditemukan antara lain adalah alopesia fokal atau multifokal,

kerak, follicular cast, keropeng, papula, dan kolaret epidermis (Gambar 5).

Gambar 6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi

dermatofita

Bentuk infeksi dermatofita pada tubuh inangnya dapat berupa lokal,

multifokal dan menyeluruh. Lesio dapat berbentuk circular, irregular atau diffuse.

Page 21: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

11

Gejala yang tampak pada kucing dermatofitosis antara lain erithema, papula, crust,

seborrhea dan paronychia atau onychodystrofi (Medleau dan Hnilica, 2006). Pada

hewan sakit, batang rambut menjadi mudah patah dan fragmen rambut yang

mengandung arthrospora sangat efisien dalam menyebarkan infeksi.

Menurut DeBoer dan Moriello (2006), lebih dari 90% kasus dermatofitosis

pada kucing di seluruh dunia disebabkan oleh M. canis. T. mentagrophytes dan M.

gypseum memiliki potensi penyebaran yang rendah dari hewan ke hewan dan

tidak dinyatakan sebagai agen zoonotik yang berpotensi tinggi (Robertson, 2009).

Semua jenis Microsporum, kecuali M. gypseum menghasilkan enzim proteolitik

dan keratolitik yang membuat organisme ini mampu menggunakan keratin sebagai

sumber nutrisi, dan mengkeratinisasi bagian dari jaringan epidermal. Jaringan

keratin yang digunakan antara lain berasal dari stratum korneum dan rambut,

terkadang kuku (Horzinek, 2012).

Faktor-faktor yang menjadi predisposisi antara lain adalah umur (sampai

dengan dua tahun), kondisi imunosupresi atau terapi imunosupresan, penyakit lain,

defisiensi nutrisi (khususnya protein dan vitamin A), suhu dan kelembaban yang

tinggi (DeBoer dan Moriello, 2006). Trauma kulit yang disebabkan oleh

meningkatnya kelembaban, luka gigitan ektoparasit atau aktivitas menggaruk juga

merupakan pintu gerbang terjadinya infeksi. Secara umum, higiene yang buruk

merupakan faktor predisposisi. Pada kelompok hewan yang terlalu padat, tingkat

stres juga merupakan faktor predisposisi (Horzinek, 2012).

Masa inkubasi dermatofita adalah satu sampai tiga minggu. Hifa tumbuh di

sepanjang permukaan rambut melalui stratum korneum menuju folikel selama

periode ini, yang akan membentuk spora dan membentuk lapisan tebal disekitar

batang rambut (Moriello, 2004). Dermatofitosis jarang terjadi berulang pada satu

individu karena dapat menggertak imunitas yang efektif dan bersifat jangka

panjang. Studi eksperimental membuktikan bahwa hewan menunjukkan

peningkatan resistensi pada paparan yang diulang dengan spesies jamur yang

homolog. Infeksi ulang dapat terjadi, namun membutuhkan lebih banyak spora

dan infeksi ulang tersebut biasanya sembuh lebih cepat (DeBoer dan Moriello,

2006).

Kultur Dermatofita pada Media sebagai Metode Diagnostik yang

Spesifik untuk Dermatofitosis

Menurut Robertson (2009), kultur pada media agar adalah satu-satunya

metode diagnostik terhadap dermatofita yang dapat dipercaya. Media yang biasa

digunakan adalah Dermatophyte Test Media (DTM). Agar akan berubah warna

dari oranye menjadi merah sebagai reaksi terhadap perubahan pH. Semua jamur

patogen akan mengubah warna DTM menjadi merah, tetapi perubahan warna

menjadi merah tidak selalu mengindikasi suatu spesies patogen (Newbury, 2009).

Media lain yang sering digunakan adalah agar dekstrosa Saboraud atau Rapid

Sporulating Media. Kelompok jamur dermatofita juga akan mengubah warna

kedua media menjadi merah. Koloni M. canis dapat diamati setelah enam sampai

sepuluh hari kultur. Koloni yang tampak datar, menyebar, berwarna putih sampai

krem, memiliki tekstur seperti katun yang padat, permukaannya bergranul kasar

seperti helai-helai rambut dan memiliki alur melingkar. Koloni biasanya memiliki

pigmen kuning emas sampai kecoklatan atau tidak berpigmen. Pemeriksaan

mikroskopis dilakukan untuk mengidentifikasi spesies dermatofita setelah kultur

Page 22: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

12

dilakukan. M. canis menghasilkan hifa bersepta, makrokonidia dan mikrokonidia

yang jumlahnya lebih sedikit atau jarang (CMPT, 2007).

Pengobatan pada Kucing Dermatofitosis dan Vaksin untuk Dermatofita

Pengobatan untuk dermatofitosis adalah kombinasi antara topikal dan

sistemik (Westhoff et al., 2010). Hewan yang terinfeksi dermatofita harus

dikarantina atau dipisahkan dari hewan lainnya karena penyakit ini menular.

Semua hewan yang terinfeksi dan yang tidak menimbulkan gejala klinis

(asimptomatis) dalam satu lingkungan harus diberikan terapi topikal, termasuk

pemberian salep, sampo atau dipping dengan obat-obatan antifungal. Obat-obatan

yang bekerja sebagai antijamur sebagian besar bekerja menghambat pembentukan

senyawa sterol yang terdapat pada dinding sel jamur. Pengobatan topikal

dilakukan sampai didapatkan hasil negatif pada media kultur (Jamestown, 2010).

Rambut kucing dengan jumlah lesio yang sedikit harus dicukur dari batas

lesio sampai ke area sekitarnya. Pencukuran bertujuan untuk mencegah

penyebaran infeksi. Prosedur terapi topikal yang paling efektif adalah pengobatan

dengan larutan enilconazole 0,2% di seluruh tubuh sebanyak dua kali seminggu

(DeBoer dan Moriello, 2006). Terapi yang efektif lainnya adalah mandi dengan

miconazole 2% ditambah atau tanpa chlorhexidine 2% dua kali seminggu. Larutan

kalsium polisulfida (lime sulphur) menjadi pilihan terapi yang baik dan sering

digunakan di Amerika (Vlaminck dan Engelen, 2004).

Hewan yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan topikal selama

dua sampai empat minggu dapat diberikan tambahan obat-obatan oral untuk

memutus rantai infeksi dengan lebih cepat. Obat-obatan sistemik oral yang umum

digunakan adalah griseofulvin, namun beberapa spesies telah resisten. Disamping

itu, beberapa hewan khususnya kucing tidak dapat mentoleransi griseofulvin dan

dapat menimbulkan efek samping yang serius bahkan fatal karena sumsum tulang

yang terbebani (bone marrow suppression). Menurut Taylor (2010), gejala pada

bone marrow suppression antara lain penurunan jumlah eritrosit, leukosit dan

platelet. Perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin (CBC) untuk mengantisipasi

efek samping ini. Kucing dalam kondisi imunodefisiensi merupakan

kontraindikasi dari pemakaian griseofulvin. Itraconazole dan ketoconazole adalah

alternatif yang efektif untuk pengobatan dermatofitosis (Jamestown, 2010).

Dinding sel jamur merupakan organela yang unik yang memenuhi kriteria

toksikan yang selektif. Dinding sel jamur sangat berbeda dengan dinding sel

bakteri dan tidak terpengaruh oleh zat-zat antibakteri penghambat dinding sel

seperti golongan β-laktam atau vancomycin. Susunan komponen biomolekuler

yang terdapat dalam dinding sel pada setiap individu membedakan antara spesies

jamur satu dengan yang lain. Meskipun memiliki susunan biomolekuler yang

berbeda, secara umum struktur dinding sel jamur adalah mirip (Westhoff et al.,

2010). Ada tiga mekanisme kerja yang dimiliki oleh obat-obatan antijamur:

merusak membran sel, menghambat pembelahan sel dan menghambat

pembentukan dinding sel. Antijamur golongan polyene bekerja dengan cara

merusak membran sel jamur. Obat-obatan azole adalah kelas terbesar dalam

kelompok antimikotik polyene sintesis. Ketokonazole merupakan kelas imidazole

yang pertama kali ditemukan efektif bekerja pada rute pemberian per oral.

Itraconazole termasuk dalam kelas triazole yang merupakan perkembangan dari

Page 23: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

13

kelas imidazole. Itraconazole lebih poten, lebih tidak toksik dan secara oral

terbukti lebih efektif terhadap berbagai jenis jamur (DeBoer dan Moriello, 2006).

Mekanisme kerja keduanya adalah dengan menghambat sitokrom P450 (CYP

P450) 14 α-demethylase pada jamur. Enzim ini berperan dalam mengubah

lanosterol menjadi ergosterol. Nitrogen dalam struktur azole membentuk ikatan

kuat dengan Fe pada jamur sehingga mencegah jamur berikatan dengan substrat

dan oksigen. Penghambatan C14 α-demethylase akan mengubah struktur

membran dan mengubah permeabilitas serta susunan protein di dalamnnya (Myers,

2006). Efek dari obat golongan ini adalah fungistatik, namun dapat menjadi

fungisida dalam konsentrasi yang lebih tinggi (MIMS, 2012). Beberapa jenis obat

antijamur yang biasa digunakan pada hewan kecil dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Berbagai obat antijamur pada kucing dan dosisnya untuk dermatofitosis

(MIMS, 2012; Plumb, 2005)

Obat

antijamur Golongan obat

Rute

pemberian

Dosis

(mg/kg BB)

untuk

kucing

Efek samping

Itraconazole Triazole PO 10

Anoreksia,

hepatotoksik,

Ketoconazole Imidazole PO 10

Anoreksia, diare,

hepatotoksik,

trombositopenia

Miconazole Imidazole Topikal,

supositorial

Warna kehitaman

pada kulit, iritasi

Griseofulvin Polyene PO 10-15 Anoreksia, diare,

anemia, neutropenia,

depresi, ataksia,

dermatitis

fotosensitivitas

Terbinafine Allylamine PO 30-40 Relatif aman dan

dapat ditoleransi oleh

tubuh

Lufenuron Benzoylphenylurea PO 50-100 Depresi,

pruritus/urticaria,

diare, dyspnea,

anoreksia, skin rash.

KMnO4 Topikal Diencerkan

1:100

dengan air

Iritasi, kemerahan

pada kulit, penebalan

lapisan luar kulit, rasa

nyeri

Asam

salisilat

Topikal Iritasi, sensitivitas,

kulit menjadi kering

Itraconazole adalah atau obat pilihan terhadap infeksi dermatofita.

Kontraindikasinya adalah hewan yang sedang bunting. Penggunaan obat ini pada

kucing berusia enam minggu dapat dilakukan (DeBoer dan Moriello, 2006).

Dermatolog menggunakan itraconazole sebagai pulse terapi (intravena), dengan

dosis 5 mg/kg/hari selama satu minggu kemudian diulang setelah dua minggu.

Pulse terapi dilakukan selama enam minggu. Penelitian lain menunjukkan kadar

Page 24: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

14

itraconazole atau metabolit hydroxitraconazole dalam plasma dan rambut hewan

yang telah diberikan selama tiga kali ulangan selama satu minggu dengan dosis 5

mg/kg dan satu minggu tanpa pemberian berada pada level yang sama terhadap

ringworm. Pengurangan konsentrasi sebanyak 25-30% ditemukan setelah satu

minggu tanpa terapi, tetapi konsentrasi obat masih cukup tinggi bahkan dua

minggu setelah pemberian terakhir (Vlaminck dan Engelen, 2004).

Terbinafine merupakan antijamur kelompok allylamine. Obat-obatan

kelompok ini memiliki aktivitas terhadap spektrum yang lebih terbatas daripada

kelompok azole dan efektif terhadap dermatofita. Kelompok allylamine banyak

digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit dan kuku. Mekanisme kerjanya

adalah dengan mengubah squalene menjadi squalene-2,3-epoxide menggunakan

squalene epoxidase. Perubahan ini menyebabkan ketidaksetimbangan pH dan

hilangnya fungsi membran dalam mengikat protein. Secara umum kerja dari

terbinafine adalah mengacaukan proses biosintesis ergosterol di dinding sel

(Myers, 2006).

Menurut Bombeli (2012), asam salisilat juga telah dibuktikan memiliki

aktivitas antijamur, yaitu bersifat fungistatik. Bahan ini sering digunakan sebagai

penguat obat-obatan antijamur lainnya karena efek antijamurnya sendiri termasuk

lemah. Asam salisilat juga sering digunakan dalam obat luar karena merupakan

agen yang bersifat keratolitik dan antipruritik. Zat ini bekerja sebagai keratolitik

dengan mengangkat sel-sel kulit yang berada di lapisan teratas, yaitu stratum

korneum.

Mekanisme utama yang digunakan kalium permanganat (KMnO4) dalam

membunuh patogen adalah oksidasi langsung terhadap sel atau penghancuran

enzim-enzim spesifik. Namun dalam menggunakan KMnO4 perlu berhati-hati,

karena zat ini merupakan oksidatif kuat dan bersifat toksik sehingga dapat

menyebabkan iritasi pada kulit dan membran mukosa (MIMS, 2012).

Vaksin terhadap jamur telah diproduksi sejak 1996 di republik Ceko.

Dinding sel M.canis yang telah dimatikan menginduksi imunitas humoral dan sel

perantara membentuk antibodi. Vaksinasi sebagai tindakan profilaksis terhadap

dermatofitosis telah dikembangkan pada ternak, kuda, anjing, dan kucing.

Pembuktian terhadap efikasi vaksin jamur masih menjadi kontroversi. Menurut

Westhoff et al. (2010), tidak satupun vaksin yang diteliti menunjukkan

perlindungan yang cukup terhadap paparan antigen.

Kurtdede et al. (2007) menyatakan bahwa vaksinasi merupakan metode

yang baik untuk membentuk antibodi spesifik terhadap infeksi jamur. Studi

eksperimental dilakukan pada kucing sehat berusia tiga sampai delapan bulan,

jentan dan betina, diinjeksi 1 ml vaksin subkutan (n=9) dan intramuskular (n=4).

Keseluruhannya divaksin ulang pada hari ke-14. Lima minggu setelah vaksinasi

ulang, semua kucing yang telah divaksin dan delapan kucing yang tidak divaksin

dipapar dengan virulen strain M. canis. Semua kucing diamati secara klinis

terhadap perubahan patologis kulitnya dan dievaluasi secara mikroskopis hasil

kultur jaringannya. Pada akhir eksperimen, semua kucing yang telah divaksinasi

menunjukkan hasil negatif terhadap infeksi M. canis.

Page 25: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rata-rata kejadian kasus mikosis kutis setiap bulannya selama satu tahun

berdasarkan data sekunder rekam medik pasien kucing di Maximus Pet Care

adalah sebanyak 16 kasus. Prosentase kejadian kasus mikosis kutis di kucing pada

kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah 15,6% atau

192 kasus dari seluruh kasus pada kucing yang tercatat. Pada pemeriksaan dengan

menggunakan metode Wood’s lamp screening test, hasil yang didapatkan adalah

sebanyak 63% dari sampel kucing positif menunjukkan fluoresen. Diagnosis

dermatofitosis didapatkan dari pendar hijau lemon yang tampak pada sampel

kucing yang teruji dengan hasil positif di bawah Wood’s lamp. Batang rambut

adalah bagian yang paling sering ditemukan berpendar di bawah pemeriksaan

Wood’s lamp.

Lesio yang ditemukan pada kucing yang menderita dermatofitosis antara

lain alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng, papula,

hiperpigmentasi, dan kolaret epidermis. Prediksi area tubuh yang sering

ditumbuhi dermatofita adalah wajah, daun telinga, bagian dorsal tubuh, ekor dan

ekstremitas. Obat pilihan untuk dermatofitosis adalah itraconazole dengan efek

samping yang minimal.

Saran

Wood’s lamp adalah instrumen diagnostik praktis yang baik untuk

mendeteksi dermatofitosis, sangat disarankan untuk digunakan pada pasien kucing

di kota Bogor. Screening test juga perlu dilakukan pada hewan-hewan yang

hendak masuk tempat penitipan atau penampungan. Setelah screening test

dilakukan, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa kultur pada medium

untuk menentukan spesies spesifik yang menyebabkan infeksi. Studi lebih lanjut

perlu dilakukan untuk menentukan profil iklim dan waktu dimana tingkat kejadian

dermatofitosis tinggi di kota Bogor.

Dermatofitosis perlu dicegah dengan cara menjaga kebersihan lingkungan

dan alat-alat yang sering kontak langsung dengan hewan yang dicurigai

dermatofitosis. Sikat, sisir, alas kandang, dan obyek-obyek lain yang dapat

menjadi perantara terjadinya infeksi perlu diperhatikan kebersihannya dan dicuci

dengan disinfektan. Hewan yang terinfeksi mikosis kutis sebaiknya dikarantina

sehingga tidak menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia lainnya.

Vaksinasi terhadap dermatofita tetap disarankan untuk dilakukan meskipun

efektivitasnya masih merupakan hal yang kontroversial.

DAFTAR PUSTAKA

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca

Propinsi Jawa Barat. Jakarta: Deputi Bidang Meteorologi.

Page 26: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

16

http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/meteorologi/cuacapropinsi.bmkg?prop

=13. [30 September 2012].

[CMPT] Clinical Microbiology Proficiency Testing. 2007. Microsporum canis.

CMPT Mycology Plus. 0709-2. Vancouver (Canada): Department of

Pathology and Laboratory Medicine, University of British Columbia.

[DJJ] Department of Juvenile Justice. 2001. Wood’s lamp Examination General

Information. Attachment G. [11]:30. Georgia: Department of Juvenile

Justice.

[ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2011.

Superficial Mycoses in Dogs and Cats. ESCCAP Guidelines 02. 2nd

edition

Hlm.5. Worcestershire: European Scientific Counsel Companion Animal

Parasites.

[MIMS] Monthly Index of Medical Specialities. 2012. Potassium permanganate.

MIMS Indonesia [internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada:

http://www.mims.com/Indonesia/drug/info/potassium%20permanganate/?q

=potassium%20permanganate&type=full#Actions.

Angus JC, Bevier DE, Bloom P, Boord M, Bruner SR, Campbell KL, Credille

KM, Crow DW, Davenport GM, Lorimer LP, Dunstan RW, Fan TM,

Frank LA, Friberg CA. 2004. Small Animal

Dermatology Secret. Hlm:24.

USA: Elsevier.

Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Edition. Hlm:476. London:

Publisher.Hoad. J. 2006.

Bombeli T. 2012. Salicylic acid: A multifunctional cosmetic ingridient.

MakingCosmetics.com [internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada:

http:// www.makingcosmetics.com/articles/24-salicylic-acid-use-in-

cosmetics.pdf.

Budgin JB. 2011. Feline dermatophytosis: An update on diagnosis and treatment.

Full Circle Forum, volume 1, issue 7. New York, USA: Animal Specialty

Center.

Charmette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses in Animals.

Mycopathologia. 166, 5-6, 385-405. USA: Elsevier.

Cummings PB. 2008. Fungal Life Cycle. Biology Fungi. USA: Pearson Education,

Inc. [internet]. [diunduh 2013 Feb 9]. Tersedia pada: http://www.

nvcc.edu/home/tgillevet/NAS%20161/PDF%20EXACM%203/Ch12%20%

20FUNGILICYC.pdf.

DeBoer DJ, Moriello KA. 2006. Cutaneous fungal infections. Infectious Diseases

of the Dog and Cat. St Louis, Missouri, 555-569: Elsevier Saunders.

Gupta LK, Singhi MK. 2004. Wood’s lamp. Indian J. Dermatol Venereol Leprol

2004;70:131-5. Jodhpur: Department of Dermatology, Venereology &

Leprology, Dr. S. N. Medical College.

Horzinek MC. 2012. Dermatophytosis (Ringworm) 2012 Edition. European

Advisory Board on Cat Disease. Prancis: ABCD.

Jamestown E. 2010. Dermatophytosis, Microsporum canis, Trichophyton

mentagrophytes, Microsporum gypseum. Ringworm, fungal infection. USA:

Greenville Veterinary Clinic.

Kurtdede A, Ural K, Gazyagci S, Cingi CC. 2007. Usage of Inactivated

Microsporum Canis Vaccine in Cats Naturally Infected with M. canis.

Page 27: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

17

Mikologia Lekarska. 14[1]:19-21. Turki: Department of Internal Medicine,

Faculty of Veterinary Medicine, Ankara University.

Medleau L, Hnilica KA. 2006. Small Animal Dermatology. Hlm:71. USA:

Elsevier.

Moore D, John CA. 2012. Ecology of Fungi. Encyclopedia Britannica. USA:

Encyclopedia Britannica, Inc.

Moriello KA. 2004. Treatment of Dermatophytosis in Dogs and Cats: Review of

Published Studies. Veterinary Dermatology. Vol:15:99-107. USA:

Department of Medical Sciences, School of Veterinary Medicine, University

of Wisconsin-Madison, WI 53706.

Mueller RS. 2000. Dermatology for the Small Animal Practitioner. Hlm:19. USA:

Teton New Media.

Myers RS. 2006. Immunizing and Antimicrobial Agents. MEDCH 401[6]:1-9.

USA: Department of Medicinal Chemistry, University of Washington.

Newbury S. 2009. Lunch with Fungus: Step-by-Step Ringworm Recognition.

National Shelter Medicine Extension Veterinarian, Koret Shelter Medicine

Program. Davis (USA): Center for Companion Animal Health, UC Davis

School of Veterinary Medicine.

Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. 5th

edition. Hlm:376-377;431-

433;445-446;469;735-737. Minnesota: Pharma Vet Publishing.

Rao SPN. 2006. Introduction of Mycology. JJMMC. Davangere: Dept. of

Microbiology.

Robertson JV. 2009. Ringworm. Shelter Medicine Program. Davis (USA):

University of California, Center for Companion Animal Health.

Simpanya MF. 2000. Dermatophytes: Their Taxonomy, Ecology and

Pathogenicity. Revista iberoamericana de Micologia. Botswana:

Department of Biological Sciences, University of Botswana, Gaborone.

Taylor C. 2010. Pre Conference 1st Indonesia Small Animal Practitioners

International Conference: Dermatology. Hongkong: Cutaneous Ltd.

Tewari JP. 2002. Veterinary Mycology. Veterinary Science. USA: Encyclopedia

of Life Support Systems (EOLSS).

Tsui KM, Fryar SC, Hodgkiss IJ, Hyde KD, Poonyth AD, Taylor JE. 2001. The

Effect of Human Disturbance on Fungal Diversity in the Tropics. Fungal

Diversity. [1]:19-26. Hongkong: Fungal Diversity Research Project,

Department of Ecology and Biodiversity.

Vlaminck KMJA, Engelen MACM. 2004. Itraconazole: A Treatment with

Pharmacokinetic Foundations. Veterinary Dermatology. Vol:15[8]:4. USA:

Wiley Blackwell.

Westhoff DK, Kloes MC, Orveillon FX, Farnow D, Elbers K, Muellers RS. 2010.

Treatment of Feline Dermatophytosis with an Inactivated Fungal Vaccine.

The Open Mycology Journal, vol 4, hlm 10-17. Jerman: Boehringer

Ingelheim Vetmedica.

Yu AA. 2011. The Prevention, Diagnosis, Control and Treatment of Ringworm in

the Shelter Context. USA: Ontario Society for the Prevention of Cruelty to

Animals (OSPCA).

Page 28: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

18

LAMPIRAN

Foto Dokumentasi Penelitian

Hasil Fluoresen Positif

Page 29: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

19

Page 30: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

20

Page 31: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

21

Hasil Fluoresen Negatif

Page 32: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

22

Page 33: STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN … · sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun ... 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1990 sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak ILB Budhi Hartono dan Ibu MA Ari

Martiyanti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Nusa Indah

Pontianak, pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan formalnya di SMP

Gembala Baik Pontianak dan lulus tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis lulus dari

SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, dan pada tahun yang sama diterima

sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH

IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi

yaitu Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik

(HKSA), Uni Konservasi Fauna (UKF), dan Keluarga Mahasiswa Katolik

(KEMAKI). Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum pada mata kuliah

Diagnostik Klinik (2011) dan Ilmu Bedah Khusus Veteriner (2012).